• Tidak ada hasil yang ditemukan

CLIL Program Pengembangan Profesi dan Pr

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "CLIL Program Pengembangan Profesi dan Pr"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

FAUZIATUL HUSNA

1206188553

LINGUISTIK PENGAJARAN BAHASA

ISU-ISU MUTAKHIR DALAM PENGAJARAN BAHASA ASING

Keterkaitan dan Perbedaan Antara CLIL, CBI, dan ESP

CLIL (Content and Language Integrated Learning) pada dasarnya merupakan sistem pengajaran dual-focus yang tidak hanya berorientasi kepada pemahaman konten namun juga bahasa secara bersamaan. Dalam kelas bahasa Inggris yang menggunakan konsep CLIL, pemelajar diharapkan mampu menguasai konten subjek tertentu yang diajarkan dengan menggunakan bahasa Inggris sekaligus juga menguasai bahasa Inggris itu sendiri. Sebagaimana dinyatakan oleh Coyle, Hood, dan Marsh (2010), hal ini sejalan dengan salah satu teori dalam ancangan pemelajaran komunikatif yaitu mendorong siswa untuk memelajari bahasa dengan menggunakannya dalam konteks-konteks nyata dan tujuan yang otentik.

Sebelum lebih jauh membahas penerapan konsep CLIL terkini, ada baiknya kita menoleh ke belakang dan menyimak sejarah kemunculan dan perkembangan CLIL. Pada awalnya, istilah CLIL digunakan dalam konteks negara-negara Eropa untuk mengacu kepada keberhasilan usaha pembelajaran melalui penggunaan bahasa tambahan di berbagai jenis sekolah di sana. Penggunaan bahasa tambahan yang merupakan bahasa nasional negara-negara tetangga dan bahasa daerah mayoritas di negara itu sendiri.

(2)

Hasil dari penelitian-penelitian tersebut secara garis besar menunjukkan kecenderungan bahwa pemelajar CLIL lebih sukses daripada pemelajar di kelas biasa, baik dalam aspek bahasa maupun konten subjek.

Di lain pihak, penelitian yang mencoba membuktikan secara empiris tingkat efektifitas CLIL dinilai masih sangat jarang dilaksanakan. Hal ini tentu saja menjadi faktor yang membuat beberapa pihak meragukan efektifitas CLIL dan merasa enggan untuk menerapkan metode ini. Selain itu, isu penting lain yang sering dipertanyakan mengenai penerapan CLIL adalah karakterisitik oengajar yang paling sesuai untuk mengajar dalam sebuah program CLIL. Sebagian pihak meyakini bahwa pengajar mata pelajaran adalah kandidat yang paling tepat untuk mengajar dalam program CLIL, dengan syarat mereka memiliki kemampuan yang cukup dalam hal bahasa yang akan digunakan. Namun pihak-pihak lain percaya bahwa pengajar bahasa yang memiliki kemampuan yang cukup dalam konten subjek merupakan pilihan yang lebih masuk akal.

Tren lain yang terlihat dalam pengajaran berbasis CLIL adalah mulai meningkatnya jumlah program CLIL yang diterapkan pada mata pelajaran sosial. Dalam sebuah penelitian mengenai produksi tulisan dan lisan pemelajar dalam kelas CLIL pada kelas sosial, Whittaker dan Llinares (2006) mengedepankan fakta bahwa walaupun program CLIL lebih identik dengan kelas seperti matematika dan IPA, saat ini penerapan CLIL pada kelas-kelas IPS juga semakin berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan CLIL telah semakin berkembang lintas subjek.

(3)

berkemungkinan membuat pemelajar yang sebenarnya memahami materi dan memiliki pendapat yang ingin disampaikan tidak dapat melakukannya hanya karena mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam menggunakan bahasa target.

Beberapa perkembangan terkini dalam penerapan pemelajaran berbasis CLIL di atas tentunya hanya sebagian dari isu-isu dalam penerapan CLIL terkini. Salah satu dari isu-isu lain tersebut adalah perbedaan antara CLIL dan CBI. Walaupun Dalton-Puffer (2007) mengindikasikan bahwa CLIL dan CBI merupakan dua konsep dengan implikasi yang berbeda, menurut Catalan dan De Zarobe, istilah CLIL dan CBI dapat digunakan secara bergantian dalam merujuk kepada proses dimana pemelajaran suatu subjek mata pelajaran dilakukan melalui penggunaan bahasa target. Beberapa fitur yang sama-sama dimiliki oleh CLIL dan CBI meliputi penurunan ketakutan pemelajar, pemelajaran terfokus makna, penekanan strategi belajar dan komunikasi, pengintegrasian kemahiran bahasa dan banyak fitur lainnya. Perbedaan antara CLIL dan CBI lebih bersifar teknis pemakaian istilah ini masing-masing. CLIL lebih sering digunakan dalam konteks eropa sedangkan CBI merupakan istilah yang lazim dipakai dalam konteks amerika utara.

Sebagai contoh, sebuah program dimana konten subjek diajarkan menggunakan bahasa target dimana fokusnya adalah kedua hal tersebut di Canada sebenarnya sama saja dengan program serupa yang dilakukan di Spanyol atau Italia. Akan tetapi, program di Canada disebut sebagai sebuah program CBI sedangkan program di Eropa disebut program CLIL. Jadi, perbedaan yang ada hanya terkait dengan pelabelan yang lebih dipilih oleh para peneliti dan praktisi di kedua kawasan tersesbut.

(4)

programnya (Fernandez, 2009). Dalam hal ini, perbedaan yang ada lebih signifikan dibandingkan perbedaan antara CLIL dan CBI yang disebutkan di atas. Perbedaan yang paling mendasar terletak pada fokus dari kedua konsep pengajaran ini. Jika CLIL berfokus pada penguasaan bahasa dan konten subjek yang diajarkan melalui pengajaran subjek tersebut menggunakan bahasa target, ESP berfokus pada penguasaan bahasa target melalui pengajaran bahasa target tersebut dengan menggunakan konteks dimana bahasa tersebut akan digunakan (situasi target).

Program pemelajaran bahasa Inggris yang diikuti oleh karyawan PT.Telkom dengan tujuan mampu menggunakan bahasa tersebut dengan baik dalam konteks pekerjaan mereka merupakan satu contoh program ESP. Dalam proses ini, topik-topik mengenai ketelomunikasi memang tetap dijadikan sebagai materi ajar di dalam kelas, namun topik-topik tersebut telah dipahami oleh para pemelajar dan bukanlah salah satu dari tujuan pemelajaran.

Konsep pengajaran CLIL, CBI dan ESP merupakan konsep yang sangat banyak diterapkan dewasa ini karena karakteristiknya yang sangat komunikatif yaitu dengan menggabungkan pemelajaran bahasa dengan konten-konten tertentu yang relevan bagi pemelajarnya. Namun disamping beberapa fitur-fitur yang sama, ketiga konsep pengajaran ini juga memiliki berbagai poin yang membedakannya satu sama lain.

Referensi:

Coyle, D., Hood, P., dan Marsh, D. 2010. CLIL: Content and Language Integrated Learning. Cambridge: Cambridge University Press.

Dalton-Puffer, C. 2007. Discourse in Content and Language Integrated Learning (CLIL) Classrooms. Philadelphia: John Benjamin

Whittaker R.dan Llinares, A.2009. CLIL in social science classroooms: analysis of spoken and written Productions. Content and Language Integrated Learning: Evidence from Research in Europe. Salisbury: Short Run Press Ltd.

(5)

& Language integrated Learning, 2(2), 10-26. Doi:10.5294/laclil.2009.2.2.11

Rancangan Program Pengembangan Profesi Pengajar Bahasa Inggris BKB Nurul Fikri Jakarta

Usaha peningkatan profesionalisme pengajar melahirkan konsep yang dikenal dengan istilah Continuing Professional Development (CPD). Seperti yang tersirat dalam istilah tersebut, gerakan ini menekankan adanya proses peningkatan profesionalisme pengajar yang dilakukan secara berkelanjutan dan terus menerus sepanjang karir mereka. Hal ini dibutuhkan karena beberapa alasan. Salah satu latar belakang yang paling jelas adalah karena bidang pemelajaran bahasa asing adalah bidang yang sangat dinamis sehingga para praktisi di dalamnya, terutama pengajar, harus menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang akan selalu terjadi. Perubahan ini meliputi penemuan metode pengajaran yang baru, hasil penelitian terkini mengenai pemelajar, ataupun konsep-konsep baru terkait dengan aspek kebahasaan yang harus diajarkan.

(6)

Dengan menyadari pentingnya peran pengajar dalam keberhasilan proses pemelajaran secara keseluruhan, sudah selayaknya jika para pengajar diberikan bekal untuk dapat menjalankan fungsiny dengan baik sehingga tujuan pemelajaran dapat tercapai. Kenyataan di lapangan saat ini memberikan dua gambaran yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, berbagai jenis pelatihan dan seminar peningkatan kualitas pengajar telah sangat banyak dilaksanakan. Selain itu, program sertifikasi guru yang tengah berjalan memang menimbulkan secercah semangat di kalangan para pengajar untuk melakukan lebih baik di dalam kelas mereka.

Namun di sisi lain, pelatihan yang dilakukan sekali dalam satu atau dua bulan hanya akan singgah sejenak dalam pikiran pengajar. Saat pengajar kembali ke kelasnya masing-masing, mereka tetap menggunakan metode yang telah dipakai dari dulu berdasarkan beliefs yang juga berasal dari konsep atau hasil penelitian yang sangat tua. Selanjutnya, program sertifikasi yang memberikan gaji lebih kepada para pengajar faktany hanya dipandang secara materialistis. Kenyataan yang dapat kita tenui adalah para pengajar sibuk mengumpulkan piagam dan sertifikat dan bukannya sibuk meningkatkan kemampuan diri. Maka dari itu, tujuan program sertifikasi yang awalnya adalah untuk meningkatkan kompetensi pengajar berubah menjadi proses peningkatan jumlah piagam dan sertifikat.

(7)

Jadi dapat dikatakan bahwa program peningkatan kompetensi guru sebagai suatu bentuk manifestasi dari konsep CPD yang dilakukan pemerintah masih belum berhasil mencapai tujuannya. Waktu yang kurang untuk melaksanakan berbagai pelatihan tersebut bisa menjadi penyebab tidak optimalnya dampak pelatihan terhadap kualitas profesional pengajar karena sebagian besar pengajar bahasa asing di Indonesia itu overload, lalu juga karena kurangnya variasi pelatihan sehingga tidak dapat mengakomodai seluruh kebutuhan pengajar dari konteks yang berbeda-beda.

Terlebih lagi, jenis pelatihan yang itu-itu saja juga membuat pengajar merasa jenuh dan tidak merasa perlu untuk terus menghadiri sebuah program pelatihan. Seperti yang dinyatakan Johnson (2009), program pengembangan profesi seharusnya berdampak pada timbulnya keinginan untuk mengintegrasikan persepsi dan keyakinan yang telah mereka miliki selama ini dengan pengetahuan baru yang didapatkan dari program pengembangan profesi tersebut.

Oleh sebab itu, secara institusional, salah satu solusi yang dapat dilaksanakan untuk mengatasi permasalahn tersebut adalah dengan merancang suatu program pengembangan profesi sendiri yang khusus diperuntukkan kepada pengajar di lembaga tertentu. Dengan konteks yang lebih seragam dalam sebuah institusi pendidikan, program CPD dapat dilakukan dengan lebih terfokus dan dievaluasi dengan lebih cermat. Dlam hal ini saya akan memaparkan sebuah rancangan program peningkatan progesionalisme pengajar bahasa Inggris pada lembaga bimbingan dan konsultasi belajar Nurul Fikri Jakarta dimana saya mengajar.

Dalam sebuah bab pada jurnal International Institute for Educational Planning dibahas beberapa model pengembangan profesionalisme pengajar yang dapat diterapkan. Model-model program ini sendiri dibedakan menjadi penerapan yang bersifat global dan penerapan yang skala penerapan yang lebih kecil, seperti dalam suatu institusi tertentu. Dalam hal ini saya fokus pada jenis program dengan penerapan yang bersifat institusional tersebut. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam program pengembangan profesi pengajar; diantaranya m

(8)

pemelajaran. Rapat kerja ini terdiri dari dua sesi dimana sesi pertama digunakan untuk membahasa soal-soal yang akan dibahas di kelas selama satu semester sedangkan sesi kedua digunakan untuk kegiatan micro-teaching. Dalam kegiatan micro-teaching ini para pengajar mendiskusikan berbagai metode pengajaran sekaligus bersama-sama mencari solusi untuk berbagai permasalahan yang ditemui pada semester sebelumnya. Sesi kedua ini cenderung berlangsung lebih lama dan sengit karena tak jarang para pengajar saling beradu argumen mengenai berbagai topik seputar proses pemelajaran di kelas. Menurut saya, program sumatif semacam ini memang seharusnya dilakukan dan hasil yang didapat pun cukup memuaskan. Akan tetapi, jika dilihat dari kacamata konsep CPD yang sesungguhnya, program ini tentunya masih harus dibarengi dengan pelaksanaan program pengembangan profesi lain yang lebih bersifar formatif yang berlangsung sepanjang semester.

Dalam hal ini saya merancang sebuah program pengembangan profesi yang berbasis self-reflective evaluation. Para pengajar Bahasa Inggris akan diharuskan untuk membuat sebuah jurnal mengajar yang merekam setiap proses pemelajaran yang merela laksanakan lengkap dengan berbagai isu yang muncul selama proses tersebut. Para pengajar dibebaskan untuk menyusun sendiri jurnal mengajar sesuai dengan pilihan masing-masing. Selanjutnya, pertemuan besar antar sesama pengajar bahasa Inggris untuk membahas jurnal ini akan dilakukan setiap dua minggu sekali. Dalam pertemuan inilah, pemelajar saling memberikan komentar mengenai masalah yang dihadapi ataupun meminta pendapat rekan sesama pengajar lain. Program ini akan dipimpin oleh koordinator Bahasa Inggris yang selama ini juga memimpin program rapat kerja setiap semester. Dengan demikian, para pengajar akan termotivasi untuk datang karena koordinator ini sendiri merupakan seseorang yang sangat disegani dan berpengaruh dalam institusi ini.

(9)

waktu di BKB Nurul Fikri memiliki kesibukan lain di luar mengajar sedang pengajar penuh memiliki beban mengajar yang sangat banyak. Selain itu, karena mereka tidak dinilai dan diobservasi oleh pihak lain, para pengajar tidak akan merasa tertekan dalam mengajar sehingga konsentrasi mengajar tetap dapat dipertahankan. Hal ini perlu menjadi perhatian karena berbagai penelitian telah membuktikan bahwa observasi pihak lain dalam proses pemelajaran akan mengganggu konsentrasi pengajar sekaligus memberikan tekanan yang membuat pengajar merasa tidak nyaman.

Rasionalisasi lain dari program ini adalah untuk menyesuaikan dengan bentuk program pengambangan profesi yang telah ada selama ini. Dengan sebuah program yang memiliki berbagai kesamaan seperti ini, pengajar akan lebih siap menjalankannya sehingga hasil dari program ini dapat dilihat dengan lebih cepat mengingat mereka tidak memerlukan proses pengenalan dan pembiasaan yang panjang. Bagaimanapun juga, sebuah program hanya akan membuahkan hasil jika pengajar yang terlibat di dalamnya telah mengenal dan mampu menjalankan program tersebut dengan baik. Selain itu, seperti dikatakan dalam petunjuk pelaksanaan program pengembangan profesi dari Institutu for Learning (IFL), sebuah program akan efektif jika teridiri dari kegiatan yang relevan terhadap konteks pengajaran pengajar. Pertanyaan yang harus dijawab saat ini adalah seperti apa sistem asesmen atau evaluasi yang tepat sehingga efekifitas program ini dapat diukur.

(10)

mengajar pengajar karena mengikuti program pengembangan profesi ini selama satu semester.

Menyediakan program pengembangan profesi untuk pengajar merupakan sebuah kewajiban sekaligus kebutuhan setiap institusi pemelajaran agar dapat memberikan pelayanan terbaik bagi para pemelajarnya. Akan tetapi, program pengembangan profesi tidak dapat memberikan hasil instan dan seketika, malainkan membutuhkan waktu yang panjang dan terkadang penggantian jenis program. Hal ini disimpulkan dengan sangat rapi oleh seorang peneliti yang dalam kalimat ’ teacher professional development is not an event but a process’.

Referensi

Institute for Learning. 2009. Guidelines for your continuing professional development. Retrieved from www.ifl.ac.uk

Johnson, K. 2009. Second Language Teacher Education: a Sociocultural Perspective. New York: Routledge.

Villegas-Raimers, E. 2003. Teacher professional development: An international review of the literature, chapter 5 (p. 67-118). Paris: International Institute for Educational Planning.

Membangun Profesionalisme Guru Baru

Profesionalisme adalah sebuah kondisi yang didapat dari bertahun-tahun kerja keras untuk terus melakukan yang terbaik dalam bidang tertentu yang digeluti seseorang. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika salah satu bagian dari menjadi professional diukur dari seberapa lama seseorang telah mengabdi di bidangnya sehingga dapat disebut berpengalaman. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah para guru baru (novice teachers) dapat mendapatkan profesionalisme sebagai seorang pengajar atau tidak.

(11)

pemelajaran guna meningkatkan kemampuan pemelajarnya. Namun begitu, proses mencapai keadaan professional ini sendiri bukanlah sebuah proses yang dapat diselesaikan dalam beberapa kali pelatihan singkat seperti yang secara keliru dipahami oleh sebagian pihak.

Dalam hal karakteristik, guru baru tentunya berbeda dari guru yang telah memiliki pengalaman. Hal ini pada gilirannya memaksa agar program pengembangan profesi bagi guru baru dibedakan dari program serupa bagi guru yang telah berpengalaman. Guru baru, setelah melewati pendidikan keguruan selama 4 tahun, sering kali begitu kaya akan ilmu-ilmu teoritis namun masih mengalami kesulitan dalam menerapkan teori-teori tersebut di dalam kelas. Seperti yang dibahas dalam penelitian Yuen (2012), seringkali pengajar baru merasa bingung dan hilang arah dalam praktik pengajaran di kelas yang terkadang ternyata berbeda dari teori yang selama ini mereka pelajari. Kesenjangan ini menjadi semakin menyulitkn pada bidang pengajaran bahasa asing dimana praktik yang terjadi di lapangan tidak selalu dapat dilakukan sejaan dengan teori karena sifat proses pemelajaran sendiri yang dangat kontekstual dan terikat dengan berbagai keunikan masing-masing kelas. Oleh sebab itu, seperti yang dinyatakan dalam artikel Batenburg (nnnn) pengajar di lapangan lebih sering menggunakan ilmu-ilmu praktis yang didapat dari pengalaman di kelas itu sendiri. Fenomena ini menguatkan bahwa program pengembangan profesi bagi pengajar baru harus difokuskan pada penjembatanan antara teori dan praktik dalam proses pengajaran.

Ada beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk membantu pengajar baru dalam mengembangkan kemampuan mengajarnya. Dari berbagai artikel terkait, saya merumuskan beberapa bentuk usaha tersebut sebagai berikut:

 Mengadakan teaching conference antara sesama pengajar baru dengan didampingi pengajar senior sebagai pembimbing

 Mengumpulkan informasi mengenai metode dan teknik mengajar yang digunakan guru berpengalaman sebagai bahan acuan dalam mengajar

(12)

Pengadaan teaching conference dilaksanakan dengan mendesain kelompok-kelompok kecil yang teridiri dari 5 pengajar baru dan 3 pengajar yang telah berpengalaman. Setiap bulan kelompok ini mengadakan sebuah konferensi mengajar dengan fokus terhadap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi pengajar baru di kelas tempatnya mengajar. Para pengajar senior akan memimpin diskusi kelompok sekaligus menjadi mentor yang akan memberikan masukan-masukan berdasarkan pengalaman mengajar mereka. Di sisi lain, pengajar baru dapat menyumbangkan berbagai teori pengajaran baru yang mereka ketahui. Dengan demikian, tidak hanya para pengajar baru yang mendapatkan keuntungan dari konferensi ini namun para pengajar senior pun akan mendapatkan kesempatan untuk memperbarui persepsi mereka dengan mengetahui teori-teori terkini dalam bidang pemelajaran bahasa asing.

Selain itu, hal ini juga akan menguntungkan dalam hal mendekatkan kalangan pengajar berpengalaman dengan para pengajar baru dimana hubungan keduanya biasanya tidak begitu harmonis karena perbedaan sudut pandang dan preference dalam pemelajaran. Program serupa telah dilakukan pada sebuah program pengajaran bahasa asing di Arab Saudi (Ashcraft dan Ali, 2012) yang bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik dalam pengajaran bahasa asing di kalangan mahasiswa para calon pengajar. Penelitian membuktikan bahwa program ini menunjukkan hasil yang positif dalam peningkatan pemahaman para calon pengajar mengenai penerapan teori-teori pengajaran dalam praktik di kelas pemelajaran bahasa asing yang sesungguhnya.

(13)

terpercaya bagi pengajar baru untuk dapat mengatur kelas dan menyampaikan materi pelajaran dengan baik.

Tidak dapat dipungkiri bahwa situasi kelas yang dihadapi pengajar baru berbeda dari situasi yang dihadapi pengajar senior. Berbagai aspek kelas dan pemelajar akan selalu beragam dan menjadikan setiap kelas pemelajaran bahasa asing tidak pernah sama. Akan tetapi setidaknya informasi-informasi ini dapat menjadi pegangan awal bagi pengajar baru untuk kemudian dimodifikasi sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan spesifik pemelajar yang mereka hadapi. Kenyataannya, seperti terungkap dalam penelitian yang dilakukan Cumming (2007), para pengajar senior yang berpengalaman cenderung memiliki pandangan yang sama dalam hal konsep bagaimana mereka memandang pemelajaran bahasa asing sebagai suatu bidang ilmu. Perbedaan yang ada terletak pada aplikasi dari berbagai metode pengajaran yang dipengaruhi oleh kurikulum dan tujuan pemelajaran.

Selanjutnya, jurnal mengajar yang mencakup berbagai masalah yang dihadapi serta usaha yang dilakukan untuk menyiasatinya dapat menjadi dasar penyusunan sebuah korpus pengajaran. Dengan membuat sebuah jurnal mengajar, pengajar baru akan dapat melakukan proses refleksi sehingga dapat terus memperbaiki kompetensi mereka dalam mengajar. Selanjutnya, dengan menyusun korpus mengenai permasalahan dalam pemelajaran, pengajar baru tidak hanya menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya sendiri melainkan memiliki kesempatan untuk ikut berkontribusi dalam bidang pemelajaran bahasa asing pada tingkat yang tinggi karena data-data yang terdapat dalam korpus tersebut tentunya dapat dimanfaatkan oleh pengajar lain.

(14)

program pengembangan profesi ini pengajar baru akan memiliki produk kekayaaan intelektual yang masing sangat sulit ditemukan. Hal ini tentunya akan sangat membantu mereka dalam hal administrative seperti kenaikan pangkat dan golongan.

Pengajar baru adalah generasi pengajar yang akan menjadi tulang punggung proses pemelajaran bahasa asing di masa depan yang tentunya lebih menantang. Untuk itu, pengembangan profesi yang dilakukan seawall mungkin dalam masa pengabdian mereka sangat diperlukan, terutama untuk menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik yang sering kali menjadi kendala bagi para pengajar baru.

Referensi

Ashcraft, N. and Ali, S. (2013). A course on continuing professional development. In Edge, J. and Mann, S. Innovations in pre-service education and training for Engish language teachers (pp. 147-162). London:British Council 2013 Brand and Design.

Cumming, A. 2007. Experienced ESL/EFL Writing Instructors’ Conceptualizations of Their Teaching: Curriculum Options and Implications

Özbilgin, A. and Neufeld, S. (2013). iCorpus: Making corpora meaningful for service teacher education. In Edge, J. and Mann, S. Innovations in pre-service education and training for Engish language teachers (pp. 181-200). London:British Council 2013 Brand and Design

Referensi

Dokumen terkait

Kecenderungan lebih banyaknya frase eksosentris direktif yang berfungsi sebagai penanda nomina lokatif di dalam novel ini berkaitan dengan data struktur dan makna

59 Dengan wawancara ini digunakan untuk memperoleh informasi mengenai model cooperative, contextual learning, dan hasil belajar pada mata pelajaran pendidikan agama

Selain dari staff, kami juga meminta bantuan dari para pengajar LTC untuk menjadi pembawa acara sekaligus juga ada yang menjadi pembuka dalam berdoa dan juga ada

Berdasarkan data di atas, penulis menarik simpulan bahwa ada dua (2) tindakan antisosial yang dilakukan Yuno, yaitu tidak peduli dengan keselamatan orang lain

9 Mewujudkan masyarakat kota Denpasar yang aman, nyaman dan tentram dalam menunjang pembangunan kota yang berwawasan budaya Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Denpasar

3) Peneliti selanjutnya dapat menggali lagi keterkaitan antara compassion dengan pola asuh orangtua, untuk mengetahui apakah orangtua dengan tingkar compassion

LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat) adalah sebuah unit kegiatan yang berfungsi mengelola semua kegiatan penelitian dan pengabdian kepada

Menurut Gagne, Wager, Goal, & Keller [6] menyatakan bahwa terdapat enam asusmsi dasar dalam desain instruksional. Keenam asumsi dasar tersebut dapat dijelaskan