1 BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bangsa Indonesia memiliki banyak suku bangsa yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing suku bangsa tersebut
memiliki adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda antara yang satu dengan yang
lain. Hal ini seperti yang dijelaskan Koenjaraningrat (1985:89) sebagai berikut;
“Keanekaragaman kebudayaan tidak saja menyebabkan perbedaan dalam gaya dan pola hidup, tetapi juga menyebabkan perbedaan– perbedaan terhadap nilai-nilai, pengertian atau makna peralihan tingkat sepanjang hidup yang dalam ilmu antropologi disebut “stage a long the life cycle” seperti masa bayi, masa penyapihan, masa remaja, masa pubertes, masa sesudah nikah, masa tua dan sebagainya”.
Masyarakat Karo adalah salah satu bagian dari berbagai suku bangsa di
Indonesia. Masyarakat Karo adalah suku bangsa yang berasal dari dataran tinggi
Kabupaten Karo, dan sebagian menyebar (merantau) ke seluruh pelosok tanah air.
Menurut Neumann dalam Martin Perangin-angin (1986:13) wilayah Karo adalah
seluruh wilayah yang luas, yang terlepas dari perbedaan-perbedaan antara suku, yang
menganggap dirinya termasuk ke dalam Karo. Seluruh perpaduan suku-suku Karo
diikat oleh suatu dialek yang dapat dimengerti dimana-mana dan hampir tidak ada
perbedaannya antara satu dengan yang lain. Masyarakat Karo bermukim di Kabupaten
Karo, Langkat, Deli Serdang, Simalungun, Dairi, dan Aceh Tenggara. Mereka
memiliki adat istiadat, bahasa, kesenian, dan tata pergaulan yang hampir sama
(Bangun,1986:148).
2
Pada masa sebelum masuknya Belanda ke tanah Karo, masyarakat Karo
terkenal dengan struktur (susunan) masyarakatnya yaitu kuta1
Masyarakat Karo yang pada umumnya masih memegang teguh nilai dan
norma-norma dari sangep nggeluh
. Sendi-sendi kehidupan
terutama mengenai pelaksanaan adat masih dipegang teguh oleh masyarakatnya
(Sitepu,1996:63). Namun, terjadinya perubahan dan perkembangan dalam
masyarakat, menimbulkan perbedaan golongan terutama dikaitkan dengan sejarah dan
keturunan suatu keluarga. Meskipun demikian tidak merupakan suatu ancaman bagi
kesatuan dan kekompakan masyarakat Karo karena hal itu mereka terima sebagai
suatu kenyataan. Dalam kehidupan sehari-hari adanya perbedaan itu tidak merupakan
suatu penonjolan kekuasaan atau mendapatkan perlakuan istimewa. Hal ini
disebabkan karena masih adanya ikatan lain yang cukup besar fungsinya seperti
hubungan keluarga dan adat yang berlaku.
2
. Pada masa sekarang ini hubungan kekerabatan
masyarakat Karo masih tetap merupakan suatu unsur yang penting dalam segala aspek
kehidupan. Jaman Tarigan (1980:2) mengatakan hubungan kekerabatan pada
masyarakat Karo berdasarkan merga3. Lebih lanjut Tarigan (1980:23) mengatakan
pada seminar gelemen4
“Merga Ginting terdiri dari Suka, Babo, Sugihen, Gurupatih, Anjartambun, Capah, Beras, Garamata, Jadibata, Munte, Manik, Sinusinga, Jawak, Saragih, Tumangger, Pase. Merga Karo-karo
merga silima, iket sitelu, tutur siwaluh merkomendasikan
pengunaan merga berdasarkan Gelemen Silima dan jumlah sub marga 86, yaitu:
1
Kuta (desa) dihuni oleh merga tertentu.Mereka ini disebut “si mateki kuta”(kelompok pendiri kampung).Untuk mendirikan kuta ini, si mateki kuta membawa serta anak beru, senina,dan kalimbubunya.anak beru dibawa pada waktu mendirikan kuta ini beserta keturunanya disebut anak beru si ngian rudang. Selanjutnya kalimbubu yang dibawa pada waktu pendirian kuta ini beserata keturunanya disebut kalimbubu si majek lulan.
2
Sangkep nggeluh adalah istilah kelompok kekerabatan pada masyarakat Karo
3
Merga adalah istilah yang dipaki masyarakat karo dalam menyebutkan nama merga, nama keturunan yang didapatkan menurut garis ayah dan untuk perempuan disebut beru
4
Gelemen adalah istilah kelompok-kelompok merga dalam suku Karo
3
terdiri dari Karo Sekali, Sinulinga, Surbakti, Barus, Sinukaban, Sinubulan, Ujung, Purba, Ketaren, Gurusinga, Kaban, Sinuhaji, Kemit, Bukit, Sinuraya, Kandibata, Samura, Sitepu, Kacaribu, Karo Biring. Merga Sembiring terdiri dari Sembiring si man biang: Keloko, Sinulaki, Kembaren, Sinupayung, Sembiring simantangken biang: Brahmana, Colia, Pandia, Depari, Guru kinayan, Pande Bayang, Meliala, Pelawi, Tekang, Muham, Depari, Busuk, Sinuhaji, Keling, Bunuhaji. Merga Tarigan terdiri dari Sibero, Silangit, Tua, Tambak, Tegor, Gersang, Gerneng, Gana-gana, Jampani, Tambun, Bondong, Pekan, Kahak, Purba. Merga Peranginangin terdiri dari Mano, Sebayang, Sinurat, Pinem, Namohaji, Sukatendi, Pincawan, Perbesi, Ulinjandi, penggurun, Uwir, Lakasa, Singarimbun, Kelit, Kacinambun, Bangun, Tanjung, Benjerang”.
Ideologi-ideologi merga telah mempersatukan masyarakat Karo ke dalam
sitem kekerabatan sangkep nggeluh meskipun mereka tidak memiliki keterikatan
genelogis yang dapat ditelusur. Namun, ada dua hal penting yang mempengaruhi
hubungan sangkep nggeluh, yaitu kelahiran dan perkawinan. Kedua hal tersebut akan
menimbulkan hubungan genetika yang dapat diketahui jauh dekatnya hubungan
kekerabatan dalam masyarakat Karo itu sendiri. Sarjani Tarigan (2009:108)
mengatakan pada masyarakat Karo, perkawinan menjadi petanda bahwa seseorang
telah mempunyai hak untuk bicara dalam pertemuan adat maupun hak untuk
mengadakan upacara adat. Perkawinan juga merupakan saranan perluasan tali ikatan
antara kelompok kekerabatan sangkep nggeluh, yaitu sukut, kalimbubu dan anak beru.
Perkawinan merupakan kebutuhan seksual yang harus dipenuhi oleh setiap
manusia yang sudah dewasa untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya dan
meneruskan keturunan (Konentjaraningrat,1980:89-90). Perkawinan adalah moment
yang sangat penting dalam hidup seseorang karena akan dikenang sepanjang hidup.
Pernikahan menyatukan dua manusia menjadi satu keluarga. Pernikahan juga menyatukan
dua keluarga besar dalam jalinan persaudaraan. Dalam pernikahan, dilakukan beberapa
acara mulai dari ritual pernikahan atau acara–acara adat sampai dengan resepsi
4
pernikahan. Resepsi pernikahan yang identik dengan pesta pernikahan, baik itu secara
sederhana maupun pesta besar –besaran.
Perkawinan (perjabun) pada masyarakat Karo bersifat religius dengan
menganut sistem Eksogami, yakni seseorang harus kawin dengan orang-orang di luar
merganya(klan) kecuali pada merga Peranginangin dan merga Sembiring. Sifat
religius dalam perkawinan masyarakat Karo terlihat dengan adanya perkawinan yang
jujur, maka tidak hanya mengikat kedua belah pihak yang berkawin saja, tetapi juga
mengikat kedua belah pihak keluarga termasuk arwah-arwah leluhur mereka (Prinst
2004:71).
Adanya larangan perkawinan semerga dalam masyarakat Karo, karena
masyarakat Karo menganggap bahwa orang yang semerga adalah satu nenek moyang
atau sedarah. Namun, ada pengecualian pada merga Peranginangin dan Sembiring.
Merga Peranginangin membagi merga tersebut menjadi dua kelompok merga besar
yakni Bangun dan Sebayang karena menurut apa yang diketahui oleh masyarakat
Karo bahwa kedua kelompok merga tersebut memiliki nenek moyang yang berbeda.
Merga Sembiring juga membagi merga tersebut menjadi dua kelompok berdasarkan
larangan makanan (si man biang dan si la man biang5
5
si man biang dan si la man biang adalah larangan pada kelopok merga sembiring yang yang bias memakan daging anjing dan kelompok yang dilarang memakan daging anjin
). Hal larangan perkawinan
semerga juga ditulis oleh Pdt. Surbakti di dalam buku bimbingan Permata GBKP,
Pdt.Surbakti (2008:64) mengatakan:
“Perkawinan semerga (sumbang atau incest) dalam masyarakat Karo merupakan suatu hal yang memalukan karena dianggap masih ada hubungan darah”
5
Larangan perkawinan semerga yang dilangsungkan oleh masyarakat Karo
dimaksudkan untuk menjaga kemurnian keturunan berdasarkan sistem kekerabatan
gelemen merga silima, sangkep nggeluh, tutur siwaluh pada masyarakat Karo.
Larangan perkawinan dalam masyarakat Karo tidak hanya pada merga tetapi juga
dalam kekerabatan sangkep nggeluh, misalnya dengan sepemeren adalah orang-orang
yang bersaudara ersenina,erturang6 karena ibu mereka bersaudara, atau beru7 ibu
mereka adalah sama. siperibanen adalah orang-orang yang bersaudara ersenina
karena istri mereka bersaudara sembuyak, atau beru istri mereka sama. Sipengalon
adalah persaudaraan yang timbul karena anak perempuan kita menikah kepada merga
tertentu, kalimbubu dari suami anak perempuan kita menjadi sipengalaon dengan kita.
Sendalanen adalah persaudaraan yang timbul karena ia menjadi menantu laki-laki dari
“mama”8, atau karena ia mengawini impal9
Masyarakat Karo sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya khususnya
dalam hal perkawinan (Prinst, 2004:71). Namun, kenyataannya pada masyarakat Karo
telah terjadi pelanggaran terhadap nilai dan norma-norma dalam budaya sangkep
nggeluh khususnya di desa Sugau, kecamatan Pancur Batu, kabupaten Deli Serdang.
Pelanggaran yang dilakukan itu adalah perkawinan semerga. Adapun yang melakukan
perkawinan semerga tersebut antara lain merga karo Sitepu dengan beru
Karo-karo Gurusinga, merga Karo-Karo-karo Gurusinga dengan beru Karo, merga Karo-Karo-karo (sepupu silang).
6
Senina adalah istilah pangilan kepada sesame Laki-laki yang mempunya merga yang sama dan pangilan kepada sesame perempuan jika beru mereka sama dan erturang adalah istilah pangilan kepad seorang laik-laki kepada perempuan dan sebaliknya jika merga laki-laki sama denga beru siperempuan.
7
Beru adalah istilah yang sama dengan merga, merga digunakan untuk anak laki-laki sedangkan beru untuk anak perempuan
8
Mama istilah pagilan kepada saudara laki-laki ibu atau pangilan kepada ayah istri kita
9 Impal adalah istilah yang dipakai oleh dalam masyarakat Karo untuk sapaan kepada mereka yang
sepupu silan dan bagi mereka yang berbeda merga.
6
Gurusinga dengan beru Karo-karo Sinuraya, merga Tarigan Tambak dengan beru
Tarigan Sibero, merga Karo-karo Sinuraya dengan beru Karo.
Pada masyarakat Karo, perkawinan semerga seorang pria dan seorang
perempuan adalah sebuah larangan keras, sebab perkawinan semerga itu sama dengan
menikahi saudara kandung sendiri. Dari penjelasan di atas perkawinan semerga
merupakan tindakan yang tidak sesuai peraturan-peraturan dalam budaya Karo
khususnya dalam perkawinan.
Pada masa sebelum masuknya Belanda ke tanah Karo dan pada masyarakat
Karo dataran tinggi (Kabupaten Karo), pasangan yang melakukan pelanggaran atas
ketetapan akan dihukum berat seperti pengusiran dari desa, tidak diakui sebagai
anggota merga, dilarang mengikuti upacara adat (Bangun,1986:24). Di desa
Kandibata, kecamatan Munthe seorang yang melakukan perkawinan semerga diusir
dari kampung dan disuruh tinggal di ladang dan konon di desa Serdang, kecamatan
Barusjahe orang yang melakukan perkawinan semerga akan dihukum mati dengan
dipengal kepalanya. Namun, berbeda di desa Sugau pasangan yang melakukan
perkawinan semerga tidak diberi sanksi walaupun perkawinan yang mereka lakukan
tidak sesuai dengan adat perkawinan masyarakat Karo. Hal ini menunjukkan bahwa
adat istiadat kebudayaan Karo yang asli diduga telah mengalami pergeseran nilai
budaya Karo pada masyarakat Sugau, kecamata Pancur Batu, kabupaten Deli
Serdang.
Wan Chaidir Barus, ketua Pemangku Adat Urung Senembah Patumbak
mengatakan:
“Masyarakat Karo yang tinggal di dataran tinggi adat istiadat asli tersebut lebih kuat, sedangkan di dataran rendah dipengaruhi
7
kebudayaan melayu dan agama islam”(Wawancara TV One dengan Wan Chidrin Barus,patumbak,11 November 2013).
Desa Sugau termasuk dataran rendah wilayah Karo dan dimanteki merga
Purba. Mayoritas suku dari penduduk yang ada di desa Durin Pitu adalah suku Karo,
Toba, dan Jawa. Sedangkan, mayoritas agama yang dianut Kristen Protestan (GBKP)
yang lainnya adalah Katholik, Pentakosta, dan Islam.
Fenomena tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti lebih jauh dan
mencatat mengenai bagaimana sebenarnya perkawinan semarga(sumbang) pada
masyarakat Karo di desa Sugau, kecamatan Pancur Batu, kabupaten Deli Serdang,
provinsi Sumatra Utara.
1.2. Tinjauan Pustaka
Menurut Roger M Keesing (1981:212), sistem kekerabatan bukan hanya
karena adanya ikatan perkawinan atau karena adanya hubungan keluarga, tetapi
karena adanya hubungan darah. Selain itu Keesing juga mengungkapkan bahwa kunci
pokok sistem perkawinan adalah kelompok keturunan (linege) dan garis keturunan
(descent). Angota kelompok keturunan saling berkaitan mempunyai nenek moyang
yang sama. Kelompok keturunan ini bersifat patrilinear atau matrilinear.
Koentjaraningrat (1974:113) berpendapat bahwa suatu kelompok adalah
kesatuan individu yang diikat oleh sekurang kurangnya 6 unsur, yaitu:
1. Sistem norma-norma yang mengatur tingkah laku warga kelompok.
2. Rasa kepribadian kelompok yang disadari semua warganya.
3. Interaksi yang intensif antar warga kelompok.
4. Sistem hak dan kewajiban yang mengatur interaksi antar warga kelompok.
8
5. Pemimpin yang mengatur kegiatan-kegiatan kelompok.
6. Sistem hak dan kewajiban terhadap harta produktif
Koentjaraningrat (1974:114) juga membedakan 3 kategori kekerabatan
berdasarkan fungsi-fungsinya sosialnya, yaitu:
1. Kelompok kekerabatan berkorporasi, biasanya mempunyai ke-6 unsur
tersebut. Istilah “berkorporasi” umumnya menyangkut unsur 6 tersebut yaitu
adanya hak bersama atas sejumlah harta.
2. Kelompok kekerabatan tidak memiliki unsur 6 tersebut, terdiri dari banyak
anggota, sehingga interaksi yang terus menerus dan intensif tidak mungkin
lagi, tetapi hanya berkumpul kadang-kadang saja.
3. Kelompok kekerabatan menurut adat, biasanya tidak memiliki unsur pada
yang ke 4, 5 dan 6 bahkan 3. Kelompok-kelompok ini bentuknya sudah
semakin besar, sehingga warganya seringkali sudah tidak saling mengenal.
Rasa kepribadian sering kali juga ditentukan oleh tanda-tanda adat tersebut.
Koentjaraningrat (1974:115) juga mengelompokan kekerabatan ke dalam
beberapa golongan, yaitu:
1. Kindret yakni, berkumpulnya orang-orang saling membantu melakukan
kegiatan-kegiatan bersama saudara, sepupu, kerabat isteri, kerabat yang lebih
tua dan muda. Dimulai dari seorang warga yang memprakarsai suatu kegiatan.
Bisanya hubungan kekerabatan ini dimanfaatkan untuk memperlancar bisnis
seseorang.
2. Keluarga luas yakni, kekerabatan ini terdiri dari lebih dari satu keluarga inti.
Terutama di daerah pedesaan, warga keluarga luas umumnya masih tinggal
berdekatan, dan seringkali bahkan masih tinggal bersama-sama dalam satu
9
rumah. Kelompok kekerabatan berupa keluarga luas biasanya dikepalai oleh
anggota pria yang tertua. Dalam berbagai masyarakat di dunia, ikatan keluarga
luas sedemikian eratnya, sehingga mereka tidak hanya tinggal bersama dalam
suatu rumah besar, tetapi juga merupakan satu keluarga inti yang besar.
3. Keluarga ambilineal kecil yakni, terjadi apabila suatu keluarga luas
membentuk suatu kepribadian yang khas, yang disadari oleh para warga.
Kelompok ambilineal kecil biasanya terdiri dari 25-30 jiwa sehingga mereka
masih saling mengetahui hubungan kekerabatan masing-masing.
4. Klen kecil yakni, kelompok kekerabatan yang terdiri dari beberapa keluarga
luas keturunan dari satu leluhur. Ikatan kekerabatan berdasarkan hubungan
melalui garis keturunan pria saja (patrilineal), atau melalui garis keturunan
perempuan saja (matrilineal), jumlah sekitar 50-70 orang biasanya mereka
masih saling mengenal dan bergaul dan biasanya masih tinggal dalam satu
desa.
5. Klen besar yakni, kelompok kekerabatan yang terdiri dari semua keturunan
dari seorang leluhur, yang diperhitungkan dari garis keturunan pria atau
perempuan, sosok leluhur yang menurunkan para warga klen besar
berpuluh-puluh generasi yang lampau iru sudah tidak jelas lagi dan seringkali sudah di
anggap keramat. Jumlah yang sangat besar menyebabkan mereka sudah tidak
mengenal kerabat-kerabat jauh.
6. Frati yakni, gabungan antara patrilineal maupun matrilineal, dan dari
kelompok klen setempat (keln kecil ataupun bagian klen besar). Namun
penggabungannya tidak merata.
10
7. Paroh masyarakat, kelompok kekerabatan gabungan klen seperti frati, tetapi
yang selalu merupakan separoh dari suatu masyarakat.
Suatu kelompok atau kekerabatan yang besar adalah klen diterjemahkan
marga sebuah kelompok kekerabatan keturunan yang anggota-angotanya bisa
diurutkan pada suatu leluhur pria atau perempuan tetapi tidak tahu secara pasti
hubungan genologis yang menghubungkan mereka dengan sah leluhur pria atau
perempuan tersebut klen terbagi dua yaitu klen kecil dan klen besar.
Edward bruner dalam (T.O.Ihromi, 2006:159) menemukan kasus di Tapanuli
bahwa Marga adalah kelompok kekerabatan yang meliputi orang-orang yang
mempunyai kakek bersama atau yang percaya bahwa meraka adalah keturunan dari
seorang kakek bersama menurut perhitungan garis patrilinear, angota satu marga
dilarang kawin karena marga adalah kelompok yang eksogam. Jadi semua orang yang
semarga adalah orang yang berkerabat dan dengan orang lain marganya dapat juga
dicari kaiatan kekerabatan, karena mungkin saja mereka mempunyai hubungan
kekerabatan dengan bibi, paman atau saudara lain, melalui hubungan perkawinan.
Orang luar atau bukan kerabat, yang mula-mula dipersepsikan sebagai suatu golongan
besar yang tidak dibeda-bedakan, sehubungan dengan pengalaman-pengalaman
pergaulan sosial, hubungan pekerjaan dan hal-hal lain yang dapat dianggap sebagai
salah satu indikator dari derajat kemodrenan-lambat laun mengalami penghalusan dan
satuan besar yang tadinya kabur itu disadari oleh orang Batak Toba sebagai
golongan-golongan yang berbeda-beda.
Dalam Bab 1 Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
diundangkan tanggal 2 Janwari 1974, penegertian Perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang peria dan sseorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan
11
membentuk keluarga yang berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa10
1. Perkawinan memberikan ketentuan hak dan kewajiban serta perlindungan
kepada anak-anak.
. Menurut Koentjaraningrat (1980:90) mengungkapkan:
“Dipandang dari sudut kebudayaan manusia, maka Perkawinan merupakan pengaturan kelakuan manusia yang bersangkutpaut dengan kehidupan seksnya . Karena, menurut pengertian masyarakat, perkawinan menyebabkan seorang laki-laki tidak boleh melakukan hubungan seks dengan sembarangan perempuan lain, tetapi hanya dengan satu atau beberapa tertentu dalam dalam masyarakat yaitu perempuan yang sudah di saluhkan sebagai istrinya”.
Suparlan (1986:30) mengatakan bahwa perkawinan merupakan hubungan
antara laki-laki dan perempuan yang dilakukan secara sah oleh masyarakat yang
bersangkutan dan berdasarkan atas peraturan-peraturan perkawinan yang berlaku
dalam masyarakat tersebut. Perkawinan tidak hanya menunjukkan adanya hubungan
seksual saja, tetapi juga melibatkan hubungan–hubungan antara kerabat dari
masing-masing pasangan tersebut.
Dari sebuah perkawinan diharapkan terjadinya proses regenerasi dan juga
penerusan tradisi masyarakat melalui keluarga yang dibentuk oleh mereka yang
melaksanakan perkawinan tersebut. Dalam hal regenerasi dapat dilakukan dengan
cara menarik garis keturunan dari sistem kekeluargaan yang diatur oleh masyarakat
adat (Koencaraningrat,1883:40).
Menurut Warsani Salim S.H (1978:147), perkawinan mempunyai beberapa
fungsi,yaitu:
2. Perkawinan memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup.
10
September 2014
12
3. Perkawinan dapat dianggap sebagai alat untuk meneruskan garis keturunan
(pada masyarakat yang ber-clan dan yang organisasi clanya masih kuat sekali,
perkawinan biasanya merupakan urusan keluarga luas, yang melaksanakan
hal-hal yang perlu, menyediakan calon yang baik,dsd).
4. Perkawinan dapat pula menjadi alat untuk mengedarkan harta benda dan
kekayaan.
5. Perkawian dapat menjadi alat pengikat antara satuan-satuan kekerabatan
tertentu.
Sumbang atau incest muncul apabila adat eksogami dalam suatu masyarakat
dilarang. Dengan demikian, sumbang yang terjadi didalam suatu masyarakat yang
berdasarkan adat eksogami keluarga inti adalah persetubuhan antara dua orang
saudara kandung, atau antara ayah atau ibu dengan anaknya. Dalam banyak
masyarakat di dunia sumbang merupakan dosa besar, yang bahkan dapat diancam
dengan hukuman mati, hukuman buang (Koentjaraningrat 1997:97).
Perkawinan semarga adalah suatu penyimpangan dalam masyarakat
berdasarkan adat yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Penyimpangan
merupakan prilaku yang sejumlah besar orang dianggap sebagai hal yang tercela dan
di luar batas toleransi (Sunarto)11
Masyarakat Karo mengenal 5 besar merga dan terdiri dari beberapa sub
merga. Keputusan Hasil Kongres Kebudayaan Karo 3 Desember 1995 di Sebayak . Oleh sebab itu, pelanggaran atas ketentuan ini akan
dihukum berat, seperti pengusiran dari kampung (desa), tidak diakui sebagai anggota
marga dan dilarang mengikuti upacara adat.
11
hppt://books-googel,co.id-/perkawinansemargadalammasyarakatindonesia,/;hfadsbfas-vbbkdciesndo.id.ed, diakses 12 September 2014
13
International Hotel Berastagi ditetapkan pengunaan merga berdasarkan Merga Silima,
yaitu :
1. Merga Ginting (16 sub merga)
2. Merga Karo-karo (20 sub merga)
3. Merga Perangin-angin (18 sub merga)
4. Merga Tarigan (14 sub merga)
5. Merga Sembiring (18 sub merga)
Menurut Sempa Sitepu (1996:34), perkembanganya dan pertumbuhan merga
dirasakan memiliki nilai dan manfaat yang cukup besar. Adapun nilai dan manfaat
merga itu dari hasil kajian ialah sebagai berikut:
“Merga membuat seseorang angota masyarakat Karo dihargai, disegani dan dihormati, merga sebagai tanda pengenal bagi angota masyarakat Karo, merga sebagai tanda garis keturunan seseoragn dalam masyarakat Karo, merga bagian atau unsur yang terdapat dalam hak pemilihan dan pewarisan pada suku Karo dan merga menunjukan posisi atau sangkut paut keluarga dan lingkungan secara langsung maupun tidak lagsung.
Sistem kekerabatan orang Karo menempatkan posisi seorang secara pasti sejak
dilahirkan hinga meningal kedalam 3 posisi yang disebut sangkep nggeluh. Menurut
Darwin Prinst (2004:43), sangkep nggeluh adalah bagian dari masyarakat Karo yang
merupakan landasan bagi sistem kekerabatan dan semua kegiatan khususnya kegiatan
yang bertalian dengan pelaksanaan adat-istiadat dan interaksi pada masyarakat Karo.
sangkep nggeluh ini didukung oleh tiga aktor yang dikenal dengan kalimbubu, sukut,
dan anak beru. Hal ini maka setiap individu masyarakat Karo terikat kepada sangkep
nggeluh. Melalui sangkep nggeluh masyarakat Karo saling berkerabat, baik
berkerabat karena hubungan darah (seketurunan), maupun berkerabat karena
14
hubungan perkawinan (perjabun). Adapun nilai-nilai yang dominan yang terdapat di
dalam sangkep nggeluh adalah nilai gotong royong dan kekerabatan juga berfungsi
sebagai pengendali sosial.
Sukut dalam kekeluargaan suku Karo dimaksudkan sukut tersebut sembuyak
dan senina.
a) Sembuyak artinya saudara kandung; satu perut dalam satu ayah dan satu ibu.
b) Senina artinya saudara; karena satu nenek, dalam hal ini dari pihak ayah dan
satu marga.
Kalimbubu adalah kelompok pemberi dara bagi keluarga (merga) tertentu.
Dalam hal kehidupan sehari-hari, sering disebut juga dibata ni idah (Tuhan yang
kelihatan). Di dalam perkawinan, kalimbubu adalah pihak keluarga perempuan yang
dikawinkan. Dalam hal ini, bila pihak mereka kawin dengan seorang perempuan,
maka keluarga pihak perempuan itu adalah kalimbubu mereka. Hal itu disebabkan
adanya perkawinan tersebut maka nenek, ayah, dan anak-anaknya semua telah masuk
jadi golongan kalimbubu.
Anak beru berarti anak perempuan dan di dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Karo dikenal sebagai kelompok yang mengambil istri dari keluarga
(marga) tertentu. Di dalam perkawinan anak beru adalah keluarga laki-laki yang
kawin atau mengambil anak perempuan suatu keluarga. Contoh adalah keluarga
merga Ginting menikah dengan perempuan keluarga merga Sembiring, maka
keluarga merga Ginting akan menjadi anak beru keluarga merga Sembiring.
Tutur Siwaluh merupakan pengembangan fungsi dari sangkep nggeluh. tutur
siwaluh terdiri dari;
15
1. Puang Kalimbubu ialah semua kalimbubu dari kalimbubu itu sendiri dengan
berbagai tingkatannya.
2. Kalimbubu ialah kelompok pemberi dari bagi keluarga merga tertentu.
3. Sembuyak artinya saudara kandung; satu perut dalam satu ayah dan satu ibu.
4. Senina artinya saudara; karena satu nenek, dalam hal ini dari pihak ayah dan
satu merga.
5. Senina sepemeren ialah saudara karena ibu bersaudara.
6. Senina seperibanen ialah saudara karena istri bersaudara.
7. Anak beru ialah anak perempuan dan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Karo.
8. Anak beru menteri ialah (menteri asal katanya minteri) yaitu anak beru dari
anak beru itu sendiri.
Marse singarimbun dalam Bangun Teridah (1986:121) mengatakan
masyarakat Karo sangat menyetujui perkawinan cross-cousin pihak ibu (cross-cousi
dari matrilateral) hal itu merupakan tanda bahwa keluarga dari pasangan tersebut
mempunyai hubungan yang baik antara anak beru dengan kalimbubu, karena begitu
idealnya perkawinan seorang laki-laki dengan Impalnya, sehingga seorang perempuan
atau ibu merasa mempunyai kewajiban moral untuk berusaha agar salah satu anak
laki-lakinya menikah dengan salah seorang anak perempuan saudara laki-lakinya.
Alasan bagi orang tua untuk mempertemukan anak laki-lakinya dengan impalnya agar
hubungan kekerabatan antara keluarga tetap terpelihara, saling menghormati di mana
sang menantu menganggap mertua adalah orang tuanya sendiri, agar menatu tidak
khawatir menyampaikan persoalan dan masalah yang timbul dalam rumah tangga.
Orang tua dan mertua sendiri ikut serta dalam membantu kesejahtraan rumah tangga
16
anaknya tanpa selalu jauh mencampuru urusan rumah tangga anaknya, suami istri ini
adalah kelompok keluarga yang dekat, karena ada hubungan darah, maka biasanya
mereka mampu mengendalikan diri untuk menciptakan kerukunan rumah tangga
walaupun sering terjadi masalah dalam perjalanan hidup mereka.
Menurut Darwin Prinst (2004:75), ada beberapa syarat perkawinan pada
masyarakat suku Karo, yaitu:
1. Tidak berasal dari satu merga, kecuali merga Perangin-angin dan
merga Sembiring.
2. Bukan menurut adat, dilarang untuk berkawin ertutur (bersaudara)
sipemeren, dan erturang impal.
3. Sudah dewasa, dalam hal ini tidak mengukur kedewasaan seseorang
tidak dikenal batas usia yang pasti, tetapi berdasarkan pada
kemampuan untuk bertangung jawab untuk memenuhi kebutuhan
keluarga. Untuk laki-laki, hal ini diukur dengan telah mampu membuat
peralatan rumah tangga, peralatan bertani dan telah mengetahui
peraturan adat berkeluarga (Meteh Mehuli12). Sedangkan, untuk
perempuan hal ini diukur dengan telah akal baik ,telah mengetahui
adat (Meteh Ertutur13
Lebih lanjut lagi menurut Darwin Prinst (2004:75), ada beberapa fungsi dalam
perkawinan masyarakat Karo, antara lain: ).
1. Melanjutkan hubungan kekeluargaan.
12
Meteh Mehuli istilah yang dipakai masyarakat karo untuk mengambarkan seseorang yang bepilaku baik.
13
Meteh Ertutur istilah dalam basar karo untuk menyatakan sopan santun dalam berbicara dengan saudara dan mengetahui sistem kekerabatan dalam suku karo.
17
2. Menjalin hubungan kekeluargaan, apabila sebelumnya belum ada hubungan
kekeluargaan.
3. Melanjutkan keteraturan dengan lahirnya anak laki-laki dan perempuan.
4. Menjaga kemurnian suatu keturunan.
5. Menghindari berpindahnya harta kekayaan kepada keluarga lain.
6. Mempertahankan atau memperluas hubungan kekeluargaan
Pembatasan jodoh dalam perkawinan masyarakat di dunia ada
larangan-larangan yang harus dipatuhi dalam memilih jodoh. Di dalam masyarakat Karo,
seseorang itu dilarang kawin dengan saudara sekandungnya (eksogami keluarga inti),
sepemeren, seperibanen, sipengalon, sendalanen dan juga seseorang dilarang kawin
dengan sesame marga (eksogami marga). Misalnya seorang laki-laki bermerga
Ginting kawin dengan merga Ginting karena mereka adalah sedarah, walupun mereka
tidak saling kenal.
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah fenomena perkawinan semerga pada masyarakat
Karo di Desa Sugau. Pokok permasalahan ini akan dijabarkan ke dalam 2(dua)
pertanyaan penelitian yaitu:
1. Bagaimana peroses perkawinan semerga bisa terjadi pada bangsa suku Karo di
desa Sugau?
2. Bagaimana perubahan pada budaya Sangkep nggeluh dan Tutur Siwalu dalam
perkawinan Semarga?
18 1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah:
1. Untuk mengetahui fenomena terjadinya perkawinan semerga di desa Sugau.
2. Mengetahui faktor dan alasan penyebab terjadinya perkawinan semerga di
desa Sugau.
3. Mengetahui perubahan pada budaya Sangkep nggeluh dan Tutur Siwalu dalam
perkawinan semarga.
1.4.2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ada dua yaitu secara akademis dan secara praktis. Secara
akademis adalah menambah kekhasan, keilmuan, dan kepustakaan bidang antropologi
untuk dijadikan sebuah kajian dan pembelajaran sekaligus memperkaya literatur
mengenai perkawinan semerga pada masyarakat Karo dan suku bangsa yang lain.
Secara praktis, peneliti ini diharapkan dapat dijadikan informasi tentang sistem
kekerabatan marga silima, sangkep nggeluh, tutur siwaluh di dalam perkawinan
semerga, memberikan informasi mengenai semerga serta memberikan bahan dan
masukan khususnya untuk masyarakat Karo.
1.5. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data dan gambaran yang
mendalam tentang perubahan merga silima, sangkep nggeluh, dan tutur siwaluh,
penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi etnografi.
Etnografi merujuk pada defenisi Spradley (1997:3). Yang merupakan pekerjaan untuk
mendekripsikan suatau budaya yang bertujuan untuk memahami suatu pandangan
19
hidup dari sudut pandang penduduk asli. Defenisi ini juga sejalan dengan pendapat
Malinoski bahwa tujuan etnografi adalah memahami sudut pandang penduduk asli,
hubungan dengan kehidupan untuk mendapatkan pandangan mengenai dunia. Untuk
mendeskripsikan hal tersebut, maka peneliti melkukan penelitian lapangan
sebagiamana cara untuk memperoleh dara primer dan data sekunder.
Melalui pendekatan ini, nantinya diharapkan dapat membantu dalam
menggali informasi sebanyak mungkin di lapangan, sehingga didapatkan data yang
diinginkan. Tentunya dengan observasi dan wawancara.
1.5.1. Data Primer
Data primer adalah salah satu data yang diperoleh dari observasi (pengamatan)
dan wawancara lapangan:
1. Observasi partisipasi.
Dalam observasi partisipasi, pengamatan yang dilakukan melibatkan peneliti
secara langsung dalam kegiatan di lapangan yakni dengan cara ikut berpartisipasi
dalam melakukan kegiatan subjek penelitian. Salah satunya ikut serta dalam kegiatan
adat (Mengket Rumah Mbaru14, Nurunken Kalak Mate15, Acara perjabun16
2. Wawancara mendalam
dan
sebagainya) yang akan dilakukan subjek penelitian dan lain sebagainya.
Wawancara mendalam merupakan suatu cara mengumpulkan data atau
informasi dengan cara bertatap muka atau berkomunikasi langsung dengan informan.
14
Mengket Rumah Mbaru adalah upacara yang diadakan oleh mayarakat karo saat hendak memasuki rumah yang baru. Acara ini akan melibatkan keluarga Sanggkep Nggeluh. Upacara ini tergolong sebagai peseta suak cita dan mulia, kareana upacara ini menggambarkan kesuksesaan tuan umah. 15
Nurunken Kalak Mate adalah Upacaara kematian pada masyarakat karo yang dihadiri oleh seluruh keluarga, dimana dalam upacara ini semua tingkata akan meberikan kata turut berduka cita dan nasehat-nasehat.
16
Acara perjabub adalah acara adat pernikahan pada masyarakat Karo
20
Teknik wawancara digunakan untuk mendapatkan keterangan dan penjelasan yang
lebih mendalam secara lisan dari informan. Wawancara mendalam ini akan dibantu
dengan pedoman wawancara agara lebih terarah. Sebelum melakukan wawancara,
peneliti terlebih dahulu membuat janji dengan informan dan menentukan lokasi
dilakukannya wawancara. Adapun informan yang digunakan dalam wawancara dalam
penelitian ini adalah:
Informan pangkal yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemuka adat
Karo didesa Sugau disini peneliti mewawancarai masyarakat Karo desa Sugau yang
mengetahui adat perkawinan pada masyarakay dan keturunan dari pematek kuta disini
yang diwawancarai peneliti adalah orang yang paling dituakan dalam merga Purba,
Tokoh agama yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah masyarakat Karo yang
memeiliki jabatan sebagai pengurus dalam agama mereka seperti Pendeta, Pertua,
Diaken dan tokoh agama islam, pemerhati budaya karo disini adalah orang-orang
yang memeberikan sebagaian waktunya untuk menulis mengenai kebudayaan
masyarakat Karo, dan kerabat dekat yang di wawancarai adalah para kalimbubu, anak
beru, sukut dan anak pelaku perkawinan semerga. Selanjutnya, informasi yang
didapat dijadikan sebagai pebanding dan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi
yang dibutuhkan selanjutnya.
Informan pokok (Utama) yang digunakan dalam penelitian ini adalah delapan
keluarga yang melakukan perkawinan semerga di Desa Sugau. Namun, hanya lima
keluarga yang bersedia di wawancarai oleh peneliti dan Kepala desa Sugau dijadikan
sebagai informan pokok kareana bagai masyarakat di desa Sugau yang ingin menikah
maka pernikahan itu harus diketahu dan mendapatkan ijin dari kepala desa dan salah
satu pelaku perkawinan semerga adalah kerabat dari beliau. Sehinga informan dipilih
21
karena mereka telah mengalami perkawinan semarga sehingga dan mengetahu
fenomena perkawian semerga, peneliti menganggap objek penelitian paham benar
mengenai masalah peneliti yang dilakukan. Informan biasa yang digunakan dalam
penelitian ini adalah masyarakat penduduk desa Sugau. Mereka telah mengikuti
perkawinan semarga yang telah dilakukan subjek penelitian.
1.5.2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumentasi yang ada pada
Kantor Camat, Kepala Desa, buku kepustakaan, artikel, surat kabar, jurnal, internet,
dan lain-lain. Data tersebut digunakan sebagai perlengkapan dan penyempurnaan hasil
dari observasi dan wawancara.
Selama proses pengumpulan data penelitian akan menggunakan rekaman, baik
suara, video dan catatan lapangan (fieldnote), untuk membantu mendokumentasikan
hal-hal yang diteliti untuk memperkecil kemungkinan ada bagian dari pengumpulan
data yang terlewatkan.
1.5.3. Analisis Data
Analisis data merupakan suatu peroses pengaturan data yang diorganisir dalam
suatu bentuk atau kategori. Data yang diperoleh dari lapangan akan peneliti analisis
secara kualitatif (Moleong)17
17
. Dalam hal ini peneliti melakukan pengelompokan data
ke dalam kategori-kategori tertentu dan mencari cara hubungan-hubungan data
tersebut. Peroses analisia data ini diawali dengan cara mengumpulkan data-data dari
lapangan berupa dasil observasi maupun wawancara serta data-data yang diperoleh
dari studi kepustakaan yang mengambarkan fenomenan parkawinan semerga pada
masyarakat Karo di desa Sugau, Kce. Pancur Batu, Kab. Deli Serdang.
22
Kemudian peneliti mengatorikan data tersebut berdasarkan kategori-kategori
yang terkandung dalam data tersebut. Kemudian hasil analisis tersebut dipaparkan
dalam laporan hasil penelitian berupa skripsi.
1.6. Pengalaman Lapangan
Hari pertama (22 oktober 2014), peneliti mulai kelapangan dengan tujuan
untuk mengantarkan surat izin penelitian ke desa Sugau. Hal pertama yang dilakukan
peneliti dengan mendatangi kantor Kepala Desa Sugau. Namun, di dalam kantor
tersebut peneliti tidak menemukan satu orang pun berada dalam kantor tersebut.
Sehingga peneliti menanyakan kepada warga yang berdekatan rumahnya dengan
kantor Kepala Desa. Warga itu berkata kepada peneliti:
“Kepala Desanya sedang pergi ke kantor kecamatan, dan biasanya beliau tidak kembali lagi kekantor jika sudah jam 12.00 WIB”
Peneliti merasa kecewa karena telalu siang untuk pergi kekantor Kepala Desa.
Peneliti memutuskan untuk melanjutkan penelitian kerumah Kepala Desa. Karena
peneliti menduga bahwa keluarga dari Kepala Desa masih berada di rumah. Ketika
peneliti sampai didusun II Durin Pitu. Peneliti menanyakan alamat rumah Kepala
Desa kepada warga. Warga menyarankan peneliti untuk menjumpai sekretaris yang
bernama Josep Barus (32 tahun), karena beliau sedang berada di jambur. Sesampainya
peneliti di jambur, peneliti langsung menyapa sekretaris tersebut. Peneliti
memberikan surat izin lapangan tersebut. Beliau mengatakan kepada peneliti bahwa
alamat penelitian salah. Ternyata peneliti membuat alamat di desa Durin Pitu.
Sedangkan nama desa secara administrasi adalah Desa Sugau. Namun masyarakat
desa sering menyebut desa ini dengan desa Durin Pitu atau desa Simpang Durin Pitu.
23
Peneliti menyampaikan tujuannya datang ke desa Sugau. Sehingga beliau
menyuruh peneliti untuk datang pada hari senin tanggal 27 oktober 2014. Josep Barus
memberikan alasan kepada peneliti mengapa datang pada hari senin. Josep Barus
mengatakan.
“Nanti hari senin aja datang ke sini lagi, agar saya mendata dulu berapa jumlah warga yang melakukan perkawinan semarga dan saya juga menyampaikan surat ini kepada kepala desa”(wawancara, 25 Oktober 2014)
Pada tanggal 27 oktober 2014, peneliti datang kembali ke desa Sugau dan
peneliti langsung menuju ke rumah Kepala Desa. Peneliti mendapati kepala desa
Dahlan Purba (48 tahun) sedang sarapan dengan keluarga, sehingga beliau mengajak
peneliti untuk sarapan bersama, namun peneliti mengatakan bahwa dia sudah sarapan
dari Kota Medan. Sesudah beliau siap sarapan, beliau menjumpai peneliti. Peneliti
menyampaikan tujuannya datang ke desa Sugau. Lalu beliau menanyakan surat izin
penelitian lapangan kepada peneliti. Peneliti mengatakan bahwa surat izin penelitian
sudah terlebih dahulu beliau sampaikan kepada sekretaris desa pada hari sabtu tanggal
25 Oktober 2014. Beliau mengatakan kepada peneliti bahwa beliau belum menerima
surat dari sekretaris desa.
Beliau menanyakan kembali apa tujuan peneliti datang ke desa Sugau. Peneliti
menceritakan tujuanya untuk meneliti sistem kekerabatan pada masyarakat Karo yang
melakukan perkawinan semerga. Peneliti merasa sangat senang berbicara dengan
Kepala Desa karena beliau sangat ramah. Peneliti merasakan data dari Kepala Desa
sudah mulai mendalam. Sudah sekitar 1 jam berlalu pembicaraan dengan beliau,
beliau mengajak peneliti untuk berbicara di warung kopi.
24
Sesampainya di kedai kopi, peneliti merasa sangat senang karena beliau begitu
ramah terhadap pendatang. Beliau memberikan minum kepada peneliti. Ketika
peneliti sedang berbicara dengan beliau, datanglah Jonatan Purba (52 tahun) abang
kandung dari beliau. Jonatan Purba menanyakan kepada beliau siapa yang sedang
minum bersama beliau. Beliau berkata;
“Enda mahsiswa arah USU nari, penelitian tena jenda mengenai kalak perkawinan semarga bas kuta enda”(ini mahasiswa dari USU yang ingin melakukan penelitian di desa kita mengenai perkawinan semarga”(wawancara dengan D. Purba 27 Oktober 2014)
Jonatan purba mengajak peneliti untuk berbicara dan ertutur. Jonatan Purba
mengatakan kepada peneliti agar peneliti memangil dia sebagai bengkila/kila18
Karena peneliti tertarik dengan apa yang dikatakan Jonatan Purba, maka
peneliti semakin semangat untuk melakukan penelitian. Setelah sekitar 1 jam peneliti ,
karena dari ayahnya sampai dengan keluarganya telah menjadi anak beru dari merga
ginting. Jonatan Purba memberikan tanggapan mengenai perkawinan semerga yang
ada di desa Sugau ini. Tanggapan Jonatan Purba yang paling disukai peneliti adalah
ketika beliau berkata kepada peneliti.
“orang-orang yang melakukan perkawinan semerga tidak memiliki rasa malu, kadang-kadang mereka merasa bangga menunjukkan kalau dia telah menikah dengan turangnya meskipun sebagian masyarakat dulu belum bisa menerima mereka. Namun, karena keluarga mereka tidak melakukan apa-apa, sehingga masyarakat tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka yang melakukan perkawinan semerga jarang sekali terjadi keributan dalam keluarga ini” (wawancara 27 Oktober 2014)
Peneliti menayakan apa sebab dari hal tersebut, Jonatan Purba mengatakan:
“karena mereka takut jika terjadi masalah dalam keluarga ini maka tidak ada keluarga yang mau menjadi penengah dalam masalah keluarga tersebut”(wawancara 27 Oktober 2014).
18 Bengkila/kila adalah suami dari saudara permpuan ayah beserta seluruh saudaranya dan juga untuk
anak beru yang satu tingkatan dengan ayah
25
berbicara dengan Kepala Desa. Beliau menyuruh peneliti untuk pergi kantor Kepala
Desa untuk menjumpai sekretaris desa untuk mengambil data-data yang diperlukan
oleh peneliti. Dari hasil wawancara dengan Dahlan Purba dan Jonatan Purba, peneliti
belum mendapatkan data yang memadai.
Pada sore hari, peneliti sangat percaya diri untuk melakukan penelitian
selanjutnya. Peneliti kembali datang ke rumah Dahlan Purba dan berharap agar beliau
mangantar peneliti pergi ke rumah pelaku perkawinan semerga. Sesampainya di
rumah Modal Gurusinga (52 tahun) pelaku perkawinan semerga, beliau langsung
kembali ke rumahnya.
Peneliti menyampaikan tujuan datang ke rumah informan. Pertama kali
peneliti melihat informan, peneliti merasa kurang nyaman, karena beliau selalu
menunjukan sikap yang kurang menerima peneliti, peneliti menganggap Modal
Gurusinga tersinggung dari perkataan peneliti. Hal ini terlihat sejak istri beliau
menanyakan apa tujuan kedatangan peneliti. Modal Gurusinga mengatakan:
“Ini ada mahasiswa datang dan ingin berbicara dengan kita. karena kita berbeda dengan masyarakat Karo yang lainnya, terutama karena kita malakukan perkawinan semarga”(wawancara 27 Oktober 2014).
Setelah beberapa menit wawancara berjalan, informan tetap berbicara yang
kurang mengenakan kepada peneliti. Sehingga peneliti merasa masih takut untuk
melakukan wawancara yang lebih mendalam. Jam terus berputar menunjukkan waktu
sudah larut malam, dan peneliti pun ingin pulang ke Medan.
Pada tanggal 28 Oktober 2014, pagi-pagi sekali informan pergi ke desa Sugau
untuk melanjutkan kembali penelitian. Namun melihat situasi hari senin dimana salah
seorang informan perkawinan semerga yang tidak suka dengan peneliti, sehingga
26
peneliti merasa malas untuk pergi malakukan penelitian dengan informan yang
lainnya.
Pada sore hari, informan mendapat SMS dari salah satu sahabatnya.
Sahabatnya ini mengajak informan untuk pergi ke desa sekitar kecamatan Pancur
Batu untuk membeli satu ekor anak anjing. Sehingga peneliti mengajak sahabatnya
pergi ke desa tempat penelitiannya. Setelah sesampainya di desa, peneliti lebih
dahulu mengajak sahabatnya untuk melakukan penelitian ke rumah Santi br Sinuraya.
Sesampainya dirumah dan bertemu dengan Santi br Sinuraya, peneliti langsung
mengungkapkan apa tujuan peneliti datang kerumah informan. Informan ini sangat
ramah dan baik sehingga peneliti pun merasa sangat nyaman dalam melakukan
wawancara. Sehingga wawancara yang berlangsung terarah. Sekitar jam 21.00 WIB
hujan turun sehingga peneliti tidak dapat pulang. Informan mengatakan:
“Tidur disini aja dulu, besok pagi aja pulang ke Medan, hujannya sangat deras”(wawancara,28 oktober 2014)
Pada tanggal 29 Oktober 2014 sekitar jam 09:00 WIB, ketika Santi Br
Sinuraya lekas pergi keladang untuk bekerja, peneliti melihat suami informan sedang
membawa sisa-sisa makanan yang banyak. Peneliti menanyakan untuk apa sisa-sisa
makanan tersebut. Informan mengatakan:
“Banyak anjing kita diladang dan sekitar satu bulan yang lalu salah satu induk anjing kita melahirkan lagi”(wawancara,29 oktober 2014)
Pada sore hari, peneliti datang bersama sahabatnya, dimana sahabat peneliti
tersebut sedang mencari seekor anak anjing. Peneliti pun ikut ke ladang untuk melihat
anak anjing tersebut. Peneliti merasa sangat senang karena informan memberikan
salah satu anak anjingnya kepada peneliti tanpa biaya dari peneliti.
27
Pada tanggal 30 Oktober 2014, peneliti melanjutkan penelitiannya pada pagi
hari. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengunjungi rumah Nd.M.br Gurusinga
(76 tahun). Sesampainya di rumah informan dan bertemu dengannya, peneliti
langsung menyampaikan tujuan peneliti datang ke rumah informan tersebut. Peneliti
merasa sangat bahagia melihat informan yang begitu ramah terhadap peneliti.
Informan menceritakan ketika pertama kali informan melakukan perkawinan semerga
di desa Sugau:
“Sewaktu kami masih pertama kali erteman-teman19, sudah di larang
oleh kedua belah pihak keluarga kami. Namun, karena kami saling mencintai, kami tetap pada keinginan membina hubungan keluarga yang bahagia. Pada awal pernikahan kami, masyarakat Sugau tidak
menerima kami dan menyebutkan kami dengan sebutan Ikan Bado.20
Setelah peneliti selesai melakukan wawancara dengan Nd.M.br Gurusinga,
peneliti memutuskan untuk melanjutkan penelitian dengan menemui tokoh
masyarakat dan tokoh agama. Jadi, yang pertama kali dijumpai oleh informan adalah
tokoh agama bernama Pdt.R Sembiring. Informan ini sangat ramah dan sedikit
melawak dalam berbicara, sehingga peneliti merasa sangat senang terhadap informan,
karena informan suka memberikan lelucon dalam wawancara. Dari informan ini, Namun kami sabar menerima hal tersebut. Karena kami juga merasa bahwa kami telah melanggar perkawinan masyarakat Karo. Setelah beberapa tahun, ketika kami memasuki rumah baru, anak beru kami berinisiatif untuk membuat acara untuk membayar sanksi dan hutang adat”(wawancara 30 Oktober 2014)
Peneliti sangat merasa sedih mendengar cerita perjuangan hidup keluarga
informan. Wawancara yang terjadi dengan informan ini sangat terarah sesuai dengan
apa yang diharapkan.
19
Erteman-teman adalah istilah yang digunakan oleh orang tua untuk mengatakan seorang laki-laki dan perempuan yang memuliki setatus pacaran.
20
Ikan Bada adalah ikan gabus yang memilik sifat memakan anaknya sediri jadi pengunaan makna kata ikan bado untuk mengambarkan orang tua yang menikah dengan anaknya atau mereka yang melakukan perkawinan semerga.
28
peneliti mendapatkan data yang cukup mendalam. Selesainya melakukan wawancara,
peneliti melanjutkan penelitian ke tokoh masyarakat yang bernama Togong Purba (75
tahun). Informan ini memiliki wawasan yang sangat luas dan menerima perubahan
terhadap masyarakat Karo. Hal ini dibuktikan melalui perkataanya yang diberikan
informan mengenai perkawinan semarga;
“Orang tua di desa ini tidak mengajarkan lagi cara bertutur yang baik. Hal ini disebabkan karena orang tuanya juga tidak mengetahui cara bertutur. Hal yang sangat disesalkan akibat dari para pemuda yang tidak mengetahui cara bertutur. Sehingga menimbulkan tidak adanya sopan santun kepada orang yang lebih tua. Dan hal yang paling tidak saya fikirkan, masyarakat di desa ini melakukan perkawinan semarga. Namun hal ini harus di terima oleh masyarakat karena keluarga mereka tidak melarang”(wawancara 30 Oktober 2014)
Pada tanggal 31 Oktober 2014, peneliti melanjutkan penelitiannya dan
berkeinginan untuk tinggal di desa tersebut, karena pada tanggal 1 November 2014,
ada pernikahan salah satu warganya. Peneliti memilih untuk tinggal di rumah Santi br
Sinuraya, karena peneliti sangat nyaman tinggal di rumah informan. Santi br Sinuraya
akan menjadi sembuyak dalam acara adat pernikahan tersebut, sehingga peneliti
mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh Santi br Sinuraya dalam acara tersebut.
Pada tanggal 1 November 2014, peneliti merasa heran melihat Modal
Gurusinga dijadikan sebagai orang tua penadingen21
21
Orang tua penadingen adalah orang tua angkat sebuah keluarga, diman orang tua angkat in harus memiliki merga dan beru dari isti yang sama dengan istrinya.contohnya seorang perempuan beru karo-karo, beber Tarigan maka orang tua penadingennya haru suminya bermergaKaro-karo dan isterinya beru Tarigan
pihak pria, sehingga muncul
pertanyaan dalam benak peneliti mengapa Modal Gurusinga bisa menjadi orang tua
penadingen dari pihak pria. Peneliti menanyakan hal tersebut kepada salah satu
kerabat yang masih termasuk anggota dekat keluarga tersebut. Beliau mengatakan:
29
“Sewaktu mereka mengket rumah, anak beru dari Modal Gurusinga mengganti beru istrinya dengan beru ibunya dan membuat orang tua penadingen istrinya”(wawancara, 1 november 2014)
Dalam acara pernikahan, peneliti ikut mengambil bagian dalam kelompok
anak beru dan peneliti ikut serta membagikan makanan kepada tamu undangan.
Peneliti sangat merasa senang terhadap anak beru pesta, karena anak berunya sangat
baik terhadap peneliti.
Pada tanggal 3 November 2014 peneliti kembali ke desa Sugau untuk
melakukan penelitian. Karena peneliti merasa bahwa data yang didapatkan oleh
peneliti belum memadai. Peneliti memutuskan akan tinggal di desa Sugau sampai
pada tanggal 6 November. Peneliti memilih untuk tinggal di rumah Santi br.Sinuraya.
hal ini dilakukan peneliti agar peneliti dapat beradaptasi terhadap masyarakat sekitar
dan mendapat data yang lebih mendalam.
Banyak kegiatan yang dilakukan oleh peneliti selama 4 hari seperti peneliti
ikut memanen buah kelapa sawit dan ikut dengan Simon Sembiring untuk mengambil
air nira (air pohon aren). Namun ada hal yang sangat menyenangkan bagi peneliti,
ketika peneliti diajak oleh pemuda desa Sugau untuk pergi berekreasi ke Sembahe
sambil memanggang ikan.
Begitulah pengalaman peneliti selama di lapangan dalam meneliti perkawinan
semarga di desa Sugau. Ada suka dan duka yang dialami oleh peneliti. Ada juga
sebagian masyarakat yang tidak ingin diwawancarai oleh peneliti. Dan ada juga
masyarakat yang senang kedatangan peneliti.