• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL KONTRAK DAN PENYELESAIAN SENGKETA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MODEL KONTRAK DAN PENYELESAIAN SENGKETA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KONTRAK DAN PENYELESAIAN SENGKETA DI PERBANKAN SYARIAH

Oleh Muhammad Abduh

Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Abstrak : Perbankan Syari’ah dalam prakteknya menjalankan fungsi penyaluran dana ke masyarakat, perbankan syariah menggunakan bermacam-macam desain akad atau kontrak, diantaranya yaitu akad atau kontrak berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli (al-Bai’), sewa (al-Ijarah) dan pinjaman (al-Qardh). Penyelesaian sengketa kontrak syari’ah di Indonesia dapat ditempuh melalui jalan litigasi dan non litigasi. Melalui litigasi maka peyelesaian sengketa kontrak perbankan syariah dapat diselesaikan di Pengadilan Umum maupun Pengadilan Negeri dan juga melalui Mediasi. Sedangkan penyelesaian secara non litigasi dapat diselesaikan dengan cara menggunakan Arbiter atau dengan cara Musyawarah.

Keyword :Kontrak Perbankan Syari’ah, sengketa syari’ah, litigasi, non litigasi. A. Pendahuluan

Hukum Kontrak Syari’ah adalah Suatu perjanjian atau perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan Hukum Kontrak Syari’ah yang dimaksud disini, adalah sebagian dari hukum islam bidang muamalah yang mengatur perilaku manusia didalam menjalankan hubungan ekonominya.

Hukum kontrak Syari’ah sebagai bagian dari hukum islam di bidang muamalah, juga memiliki sifat terbuka yang berarti segala sesuatu di bidang Muamalah dapat dimungkinkan diadakan modifikasi selama tidak bertentangan atau melanggar larangan yang sudah ditentukan dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Inilah yang memungkinkan Hukum Perikatan Islam dapat mengikuti Perkemabangan zamannya.

(2)

Pengesahan UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama oleh Presiden Republik Indonesia. Kelahiran Undang-Undang ini membawa implikasi besar terhadap perundang-undangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara luas. Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang –orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.

B. Model Kontrak Ekonomi Syari’ah di Perbankan Syariah

Fungsi dari perbankan syariah adalah melakukan fungsi penghimpunan dan penyaluran dana ke masyarakat. Dalam hal fungsi penyaluran dana ke masyarakat, perbankan syariah memakai bermacam-macam akad yang dipakai, diantaranya yaitu akad atau kontrak berdasarkan prinsip bagi hasil, jual beli (al-Bai’), sewa (al-Ijarah) dan pinjaman (al-Qardh).

Berikut desain kontrak perbankan syariah yang umumnya diterapkan pada sistem perbankan syari’ah di Indonesia ;

1. Kontrak Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing) Kontrak al-Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing)

Biasanya kontrak akad al-Musyarakah di bank syariah dipakai untuk produk-produk pembiayaan proyek dan modal ventura. Menurut buku yang dikeluarkan oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia yang berjudul Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:

a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

b. Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;

d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan

e. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujroh, tanpa imbalan, atau bagi hasil.

(3)

kepada masing-masing pemberi modal. Aplikasinya dalam perbankan terlihat pada akad yang diterapkan pada usaha atau proyek di mana bank membiayai sebagian saja dari jumlah kebutuhan investasi atau modal kerjanya. Selebihnya dibiayai sendiri oleh nasabah. Akad atau kontrak ini juga diterapkan pada sindikasi antar bank atau lembaga keuangan. Dalam kontrak tersebut, salah satu pihak dapat mengambil alih modal pihak lain sedang pihak lain tersebut menerima kembali modal mereka secara bertahap.

Inilah yang disebut Musyarakah al Mutanaqishah.1 Aplikasinya dalam perbankan

adalah pada pembiayaan proyek oleh bank bersama nasabahnya atau bank dengan lembaga keuangan lainnya, di mana bagian dari bank atau lembaga keuangan diambil alih oleh pihak lainnya dengan cara mengangsur. Akad atau kontrak ini juga dapat dilaksanakan pada mudharabah yang modal pokoknya dicicil, sedangkan usahanya berjalan terus dengan modal yang tetap.

Terdapat banyak manfaat dari kontrak al-Musyarakah ini, diantaranya yaitu:

1) bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan nasabah meningkat.

2) bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.

3) pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.

4) bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent)mencari usha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.

5) Prinsip bagi hasil dalam kontrak al-Musyarakah/al-Mudharabah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.2

Adapun risiko yang terdapat dalam kontrak al-Musyarakah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relatif tinggi, yaitu sebagai berikut:

 Risiko Pembiayaan (credit risk) yang disebabkan oleh nasabah wanprestasi atau default.

 Risiko Pasar yang disebabkan oleh pergerakan nilai tukar jika pembiayaan atas dasar akad musyarakah diberikan dalam valuta asing.

 Risiko Operasional yang disebabkan oleh internal fraud antara lain pencatatan yang tidak benar atas nilai posisi, penyogokan/ penyuapan, ketidaksesuaian pencatatan pajak

(4)

(secara sengaja), kesalahan, manipulasi dan mark up dalam akuntansi/ pencatatan maupun pelaporan.3

Kontrak al-Mudharabah (Trustee Profit Sharing)

Biasanya kontrak akad al-Mudharabah di bank syariah dipakai untuk banyak produk baik itu produk penghimpunan dana seperti tabungan, giro, deposito atau pun produk penyaluran dana seperti produk pembiayaan. Menurut buku yang dikeluarkan oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia yang berjudul Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:

a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

b. Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;

d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan

e. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujroh

Kontrak mudharabah juga merupakan suatu bentuk equity financing, tetapi mempunyai bentuk (feature) yang berbeda dari musyarakah. Pada mudharabah, hubungan kontrak bukan antar pemberi modal, melainkan antara penyedia dana (shahibul maal) dengan entrepreneur (mudharib). Pada kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat berupa perorangan, rumah tangga perusahaan atau suatu unit ekonomi, termasuk bank) memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut. Jika proyek selesai, mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia modal berikut porsi keuntungan yang telah disetujui sebelumnya. Bila terjadi kerugian maka seluruh kerugian dipikul oleh shahibul maal. Sedang mudharib kehilangan keuntungan (imbalan bagi-hasil) atas kerja yang telah dilakukannya. Bank dan lembaga keuangan dalam kontrak ini dapat menjadi salah satu pihak. Mereka dapat menjadi pengelola dana (mudharib) dalam hubungan mereka dengan para penabung dan investor, atau dapat menjadi penyedia dana (shahibul maal) dalam hubungan mereka dengan pihak pengguna dana.4 Ada dua tipe mudharabah, yaitu Mutlaqah (tidak terikat) dan Muqayyadah

(terikat);

1) Mudharabah Muthlaqah adalah Mudharabah untuk kegiatan usaha yang cakupannya tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai permintaan pemilik dana.

3 Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Kodifikasi Produk Perbankan syariah hal.12

(5)

2) Mudharabah Muqayyadah adalah Mudharabah untuk kegiatan usaha yang cakupannya dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis sesuai permintaan pemilik dana.

Terdapat banyak manfaat dari kontrak al-Mudharabah ini, diantaranya yaitu:

1) Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.

2) Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.

3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.

4) Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent)mencari usha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.

5) Prinsip bagi hasil dalam kontrak al-Musyarakah/al-Mudharabah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap di mana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.

Adapun risiko yang terdapat dalam kontrak al-Mudharabah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relatif tinggi, yaitu sebagai berikut :

1) Risiko Pembiayaan (credit risk) yang disebabkan oleh nasabah wanprestasi atau default.

2) Risiko Pasar yang disebabkan oleh pergerakan nilai tukar jika pembiayaan atas dasar akad mudharabah diberikan dalam valuta asing.

3) Risiko Operasional yang disebabkan oleh internal fraud antara lain pencatatan yang tidak benar atas nilai posisi, penyogokan/ penyuapan, ketidaksesuaian pencatatan pajak (secara sengaja), kesalahan, manipulasi dan mark up dalam akuntansi/ pencatatan maupun pelaporan

Kontrak al-Muzara’ah (Harvest-Yield Profit Sharing)

Al-Muzara’ah adalah kontrak kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen. Al-Muzara’ah seringkali diidentikkan dengan mukharabah. Di antara keduanya terdapat sedikit perbedaan yaitu: Muzara’ah untuk benihnya dari pemilik lahan dan Mukharabah untuk benihnya dari penggarap.5

Adapun rukun yang terdapat dalam kontrak kerjasama berbentuk muzara’ah terdiri dari pemilik lahan (Shahib al-ardhi), petani penggarap (al-amil/muzari’), objek muzara’ah yaitu

(6)

lahan dan hasil yang diperoleh sebagai keuntungan, dan ijab qabul. Masing-masing unsur ini mesti memenuhi syarat yang telah ditentukan. Sementara syarat-syarat yang menyangkut tanah pertanian antara lain; tanah tersebut merupakan tanah yang boleh digarap dan menghasilkan, bukan tanah tandus, batas-batas tanah harus jelas, dan tanah tersebut diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Sedangkan syarat yang berkaitan dengan hasil panen yaitu; pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas, hasil itu benar-benar milik bersama orang yang akad tanpa boleh ada pengkhususan, dan pembagian hasil panen ditentukan sejak dari awal akad, agar tidak timbul perselisihan.6

Kontrak al-Musaqah (Plantation Management Fee Based on Certain Portion of Yield)

Al-Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzara’ah di mana si penggarap hanya bertaanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan tanaman. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen. Yang dimaksud dengan “tanaman” dalam akad kontrak ini adalah tanaman tua atau tanaman keras yang berbuah untuk mengharapkan buahnya seperti kelapa dan sawit, atau yang bergetah untuk mengharapkan getahnya, bukan tanaman tua untuk mengharapkan kayunya.

Perawatan di sini mencakup mengairi (inilah arti sebenarnya dengan musaqat), menyiangi, merawat, dan usaha lain yang berkenaan dengan buahnya. Karena kerjasama disini dalam hal yang kerjanya maupun hasilnya berketerusan, maka ukuran kerjasama ditentukan oleh waktu.7

Adapun persyaratan objek kerja sama al-Musaqah dalam hal ini yaitu pohon-pohon atau tanaman keras mestilah jelas wujudnya dan diketahui kedua belah pihak, dapat dikerjakan, menghasilkan namun belum dapat dipanen sehingga memerlukan perawatan. Keuntungan yang diperoleh adalah bagian dari hasil pepohonan yang dirawat tersebut secara ukuran persentase, bukan dengan kadar yang pasti ditentukan.8

2. Kontrak Prinsip Jual-Beli

Pengertian jual-beli meliputi berbagai akad pertukaran (exchange contract) antara suatu barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang dan jasa lainnya. Penyerahan jumlah atau harga barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash and carry) ataupun secara tangguh (deferred). Oleh karenanya, untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing) syarat-syarat al bai' menyangkut berbagai tipe kontrak jual-beli tangguh (deferred contract of exchange).9

Dalam hukum ekonomi Islam, telah diidentifikasi dan diuraikan macam-macam jual-beli, termasuk jenis-jenis jual-beli yang dilarang oleh Islam. Berdasarkan barang yang dipertukarkan, dan pembagian jual beli berdasarkan harganya. Di antara jenis-jenis jual-beli tersebut, yang lazim digunakan sebagai model pembiayaan syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip bai' al murabahah, bai' as- salam dan bai' al istishna'.

6 Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Kodifikasi Produk Perbankan syariah hal.19 7 AH. Azharudin Lathif. Fiqh Muamalat (Jakarta, UIN Jakarta Press:2005) hal 128

8 Ibid. hal 127

(7)

Kontrak Prinsip jual beli al-Murabahah

Kontrak jual beli al-Murabahah adalah Transaksi jual beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati olah para pihak, dimana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli.10 Fatwa syariah yang

mengatur mengenai kontrak jual beli al-Murabahah adalah Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang Uang Muka Dalam Murabahah, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 16/DSN-MUI/IX/2000 tentang Diskon Dalam Murabahah, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 23/DSN-MUI/III/2002 tentang Potongan Pelunasan Dalam Murabahah, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan Murabahah (Khashm Fi Al-Murabahah), Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 47/DSN-MUI/II/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah dan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 49/DSN-MUI/II/2005 tentang Konversi Akad Murabahah. Dan tercantum dalam PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah beserta ketentuan perubahannya, PBI No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Dan mengenai perlakuan akuntansi kontrak atau akad bai’ murabahah diatur dalam Pedoman Standar Akuntansi Keuangan/PSAK No.102 tentang Akuntansi Murabahah dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) yang berlaku.

Dalam teknis perbankan, murabahah adalah akad atau kontrak jual-beli antara bank selaku penyedia barang (penjual) dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank memperoleh keuntungan dari jual-beli yang disepakati bersama. Rukun dan syarat murabahah adalah sama dengan rukun dan syarat dalam fiqih, sedangkan syarat-syarat lain seperti barang, harga dan cara pembayaran adalah sesuai dengan kebijakan bank yang bersangkutan. Harga jual bank adalah harga beli dari pemasok ditambah keuntungan yang disepakati bersama. Jadi nasabah mengetahui keuntungan yang diambil oleh bank.11

Selama akad belum berakhir maka harga jual-beli tidak boleh berubah. Apabila terjadi perubahan maka akad tersebut menjadi batal. Cara pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama, bisa secara lumpsum ataupun secara angsuran. Murabahah dengan pem-bayaran secara angsuran ini disebut juga bai' bi tsaman ajil. Dalam prak-teknya nasabah yang memesan untuk membeli barang menunjuk pemasok yang telah diketahuinya menyediakan barang dengan spesifikasi dan harga yang sesuai dengan keinginannya. Atas dasar itu bank melakukan pembelian secara tunai dari pemasok yang dikehendaki oleh nasabahnya, kemudian menjualnya secara tangguh kepada nasabah yang bersangkutan. Melalui akad murabahah, nasabah dapat memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh dan memiliki barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan uang tunai lebih dulu. Dengan kata lain nasabah telah memperoleh pembiayaan dari bank untuk pengadaan barang tersebut.

10 Ibid. hal 37

(8)

Secara ringkas fitur dan mekanisme dari kontrak bai’ al-murabahah adalah sebagai berikut:12

1) Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan transaksi Murabahah dengan nasabah;

2) Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya;

3) Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan nasabah; dan

4) Bank dapat memberikan potongan dalam besaran yang wajar dengan tanpa diperjanjikan dimuka.

Kontrak prinsip jual beli Bai' as Salam

Secara etimologi salam berarti salaf (dahulu). Bai' as salam adalah akad jual-beli suatu barang di mana harganya dibayar dengan segera, sedangkan barangnya akan diserahkan kemudian dalam jangka waktu yang disepakati. Menurut buku kodifikasi produk perbankan syariah yang ditulis oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia bahwa yang dimaksud dengan kontrak jual beli as-Salam adalah Transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh. Fatwa syariah yang mengatur mengenai kontrak jual beli as-Salam adalah Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam. Dan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah beserta ketentuan perubahannya. PBI No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Adapun perlakuan akuntansinya yaitu terdapat pada Pedoman Standar Akuntansi Keuangan/PSAK No. 103 tentang akuntansi Salam dan PAPSI yang berlaku.

Dalam teknis perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank dari nasabah dengan pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama. Harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang melainkan dalam bentuk tunai yang dibayarkan segera. Tentu saja bank tidak bermaksud hanya melakukan salam untuk memperoleh barang. Barang itu harus dijual lagi untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu dalam prakteknya transaksi pembelian salam oleh bank selalu diikuti atau dibarengi dengan transaksi penjualan kepada pihak atau nasabah lainnya. Apabila penjualan barang itu juga dilakukan dalam bentuk salam, maka transaksi itu menjadi paralel salam. Bank dapat juga melakukan penjualan barang itu dengan menggunakan skema murabahah.13

Adapun risiko yang terdapat dalam kontrak bai’ as-Salam, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relatif tinggi, yaitu sebagai berikut:14

(9)

1) Risiko Pembiayaan (credit risk) yang disebabkan oleh nasabah wanprestasi atau default.

2) Risiko Pasar yang disebabkan oleh pergerakan nilai tukar jika modal Salam dalam penyelesaian adalah dalam valuta asing.

Pada umumnya nasabah yang memerlukan fasilitas salam adalah nasabah yang menerima pesanan dari pelanggannya dengan syarat bahwa harga atas barang itu akan dibayar setelah barang diserahkannya. Sementara nasabah tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan pengadaan barang yang dipesan tersebut. Agar nasabah dapat memperoleh dana yang dibutuhkan itu maka ia bukan melakukan penjualan langsung kepada pemesannya, melainkan menjual kepada bank dengan salam dan posisinya sebagai penjual terhadap pemesannya digantikan oleh bank. Tentu saja harga dalam jual-beli antara bank dengan nasabah produsen itu lebih rendah daripada harga yang disepakati antara produsen dengan pemesan barang. Selisih harga itu menjadi keuntungan bank.

Secara ringkas fitur dan mekanisme dari kontrak bai’ as-Salam adalah sebagai berikut:15

 Bank bertindak baik sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan transaksi Salam dengan nasabah;

 Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa Akad Pembiayaan atas dasar Salam;

 Penyediaan dana oleh Bank kepada nasabah harus dilakukan di muka secara penuh yaitu pembayaran segera setelah Pembiayaan atas dasar Akad Salam disepakati atau paling lambat 7 (tujuh) hari setelah Pembiayaan atas dasar Akad Salam disepakati; dan

 Pembayaran oleh Bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang nasabah kepada Bank atau dalam bentuk piutang Bank.

Kontrak prinsip jual beli Bai’ al-Istishna’

Bai’ al-Istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran: apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang. Menurut buku kodifikasi produk perbankan syariah yang ditulis oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia bahwa yang dimaksud dengan kontrak jual beli istishna’ adalah Transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. Musthofa Ahmad al-Zarqa’ mendefinisikan istishna’ sebagai “akad penjualan barang yang bersifat manufacture (barang hasil olahan/kerajinan), dengan kewajiban bagi penjual untuk menghadirkan barang tersebut, dengan materilnya berasal dari pihak penjual dengan spesifikasi dan harga yang telah disepakati”. Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaily, istishna’ adalah akad dengan pihak pengrajin untuk mengerjakan suatu barang (pesanan) tertentu, di mana materi dan biaya

(10)

produksi menjadi tanggung jawab pihak pengrajin. Dalam akad istishna’ hanya berlaku pada objek barang yang dapat dibuat (melalui proses produksi) dan tidak berlaku pada barang seperti padi, jagung, kapas, buah-buahan dan lain-lain, serta objek barang harus dapat dispesifikasikan dengan jelas hal ini ditujukan untuk menghindari unsur gharar (ketidakjelasan).16

Fatwa syariah yang mengatur mengenai kontrak jual beli istishna’ adalah Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’ dan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 22/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Istishna’ Paralel. Dan diatur dalam Peraturan bank Indonesia PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah beserta ketentuan perubahannya dan PBI No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Adapun perlakuan akuntansinya yaitu terdapat pada Pedoman Standar Akuntansi Keuangan/PSAK No. 104 tentang akuntansi istishna’.

Secara ringkas fitur dan mekanisme dari kontrak bai’ istishna’ adalah sebagai berikut:

 Bank bertindak baik sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan transaksi Istishna’ dengan nasabah; dan

 Pembayaran oleh Bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang nasabah kepada Bank atau dalam bentuk piutang Bank.

Adapun tujuan/manfaat dari bai’ istishna’ ini, bagi bank ialah sebagai salah satu bentuk penyaluran dana dalam rangka menyediakan barang yang diperlukan oleh nasabah dan memperoleh pendapatan dalam bentuk margin.Sedangkan bagi nasabah yakni memperoleh barang yang dibutuhkan sesuai spesifikasi tertentu.17

Dan terdapat risiko dalam kontrak bai’ istishna’ ini, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relatif tinggi, yaitu sebagai berikut:

 Risiko Pembiayaan (credit risk) yang disebabkan oleh nasabah wanprestasi atau default, baik dalam penyelesaian aktiva istishna’ dalam penyelesaian maupun penyelesaian kewajiban pembayaran aktiva istishna’ yang sudah diserahkan.

 Risiko Pasar yang disebabkan oleh pergerakan nilai tukar jika modal aktiva istishna’ dalam penyelesaian adalah dalam valuta asing.

3. Kontrak Prinsip al-Ijarah (Operational Lease And Financial Lease)

Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang

16 Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Kodifikasi Produk Perbankan syariah hal.24

(11)

itu sendiri. 18 Kontrak al-Ijarah adalah Transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan/atau

jasa antara pemilik objek sewa termasuk kepemilikan hak pakai atas objek sewa dengan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan. Sedangkan yang dimaksud dengan kontrak al-Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah Transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakannya dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa. Fatwa syariah yang mengatur mengenai kontrak al-Ijarah dan al-Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah dan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Al Ijarah al Muntahiyah bi al-Tamlik. Dan diatur dalam Peraturan bank Indonesia PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah beserta ketentuan perubahannya. Dan PBI No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Adapun perlakuan akuntansinya yaitu terdapat pada Pedoman Standar Akuntansi Keuangan/PSAK No.59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah dan PAPSI yang berlaku.

Sewa (ijarah) dan sewa-beli (ijarah wa iqtina' atau disebut juga ijarah muntahiyah bi tamlik) oleh para ulama dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan oleh syariah Islam. Model ini secara konvensional dikenal sebagai operating lease dan financing lease. Al ijarah atau sewa adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya. Penyewa dapat juga diberi opsi untuk memiliki barang yang disewakan tersebut pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut al ijarah wa iqtina' atau al ijarah muntahiyah bi tamlik, di mana akad sewa yang terjadi antara bank (sebagai pemilik barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dengan cicilan sewanya sudah termasuk cicilan pokok harga barang.

Karakteristik akad/kontrak al-Ijarah yaitu;19

 al-Ijarah merupakan akad yang objeknya adalah manfaat, bukan benda (al-‘ain)

 manfaat yang menjadi objek al-Ijarah adalah manfaat terhadap sesuatu yang diperbolehkan berdasarkan ketentuan syara’

 hak memanfaatkan dalam al-Ijarah harus disertai dengan imbalan

Adapun tujuan/manfaat dari kontrak al-Ijarah dan al-Ijarah Muntahiya Bittamlik bagi bank ialah sebagai salah satu bentuk penyaluran dana dan memperoleh pendapatan dalam bentuk imbalan/fee/ujroh. Sedangkan bagi nasabah ialah memperoleh hak manfaat atas barang yang dibutuhkan.20

Secara ringkas fitur dan mekanisme dari kontrak al-Ijarah dan kontrak al-Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah sebagai berikut:

1) Bank bertindak sebagai penyedia dana dalam kegiatan transaksi Ijarah dengan nasabah;

18 Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Kodifikasi Produk Perbankan syariah hal.29

19

(12)

2) Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan obyek sewa yang dipesan nasabah;

3) Pengembalian atas penyediaan dana Bank dapat dilakukan baik dengan angsuran maupun sekaligus;

4) Pengembalian atas penyediaan dana Bank tidak dapat dilakukan dalam bentuk piutang maupun dalam bentuk pembebasan utang; dan

5) Dalam hal pembiayaan atas dasar Ijarah Muntahiya Bittamlik, selain Bank sebagai penyedia dana dalam kegiatan transaksi Ijarah dengan nasabah, juga bertindak sebagai pemberi janji (wa’ad) antara lain untuk memberikan opsi pengalihan hak penguasaan obyek sewa kepada nasabah sesuai kesepakatan.

4. Kontrak Prinsip al-Qardh (Soft and Benevolent Loan)

Al-Qardh adalah meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharap imbalan. Dalam literatur fiqih qard dikategorikan sebagai aqd tathawwu', yaitu akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.21 Dalam rangka mewujudkan tanggung jawab sosialnya, bank

Islam dapat memberikan fasilitas yang disebut al qard al hasan, yaitu penyediaan pinjaman dana kepada pihak-pihak yang patut mendapatkannya. Menurut buku kodifikasi produk perbankan syariah yang ditulis oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia bahwa yang dimaksud dengan kontrak al-Qardh adalah Transaksi pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.

Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya, walaupun syariah membolehkan peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan keikhlasannya, tetapi bank sama sekali dilarang untuk meminta imbalan apapun. Bank juga dapat menggunakan akad ini sebagai produk pelengkap untuk memfasilitasi nasabah yang membutuhkan dana talangan segera untuk jangka waktu yang sangat pendek.

Fatwa syariah yang mengatur mengenai kontrak al-Qardh adalah Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al Qardh. Dan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia PBI No.7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah Beserta ketentuan perubahannya. Dan PBI No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Adapun perlakuan akuntansinya yaitu pada Pedoman Standar Akuntansi Keuangan/PSAK No.59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah dan PAPSI yang berlaku.

Dan terdapat risiko dalam kontrak al-Qardh ini, yaitu sebagai berikut:22

1) Risiko Pembiayaan (credit risk) yang disebabkan oleh nasabah wanprestasi atau default.

21 Ibid. Hal 92

(13)

2) Risiko Pasar yang disebabkan oleh pergerakan nilai tukar jika Qardh untuk transaksi komersial adalah dalam valuta asing.

Adapun tujuan/manfaat dari kontrak al-Qardh bagi bank ialah sebagai salah satu bentuk penyaluran dana termasuk dalam rangka pelaksanaan fungsi sosial Bank dan peluang bank untuk mendapatkan fee dari jasa lain yang disertai dengan pemberian fasilitas Qardh. Sedangkan bagi nasabah ialah sebagai sumber pinjaman yang bersifat non komersial, sumber pembiayaan bagi nasabah yang membutuhkan dana talangan antara lain terkait dengan garansi dan pengambilalihan kewajiban.

Secara ringkas fitur dan mekanisme dari kontrak al-Qardh yaitu sebagai berikut:23

 Bank bertindak sebagai penyedia dana untuk memberikan pinjaman (Qardh) kepada nasabah berdasarkan kesepakatan;

 Bank dilarang dengan alasan apapun untuk meminta pengembalian pinjaman melebihi dari jumlah nominal yang sesuai Akad;

 Bank dilarang untuk membebankan biaya apapun atas penyaluran Pembiayaan atas dasar Qardh, kecuali biaya administrasi dalam batas kewajaran;

 Pengembalian jumlah Pembiayaan atas dasar Qardh, harus dilakukan oleh nasabah pada waktu yang telah disepakati; dan

 Dalam hal nasabah digolongkan mampu namun tidak mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati, maka Bank dapat memberikan sanksi sesuai syariah dalam rangka pembinaan nasabah.

C. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah

Perkembangan perbankan syariah yang ada di Indonesia harus juga bersamaan dengan perkembangan peraturan yang ada, mulai dari sistem hingga bagaimana penyelesaian sengketanya. Diawal perkembangan perbankan syariah di indonesia, belum dikenal dengan adanya lembaga peradilan yang secara khusus menangani perkara syariah, di saat itu hanya dikenal dengan nama BAMUI (Badan Arbitrase Muamalat Indonesia). Lembaga ini dibentuk oleh MUI dengan dasar hukumnya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Altrenatif Penyelesaian Sengketa. Terdapat beberapa permasalahan yang muncul ketika BAMUI yang kini menjadi BASYARNAS mengeluarkan suatu putusan. Pihak yang kalah tidak mau mengikuti putusan tersebut secara sukarela. Arbitrase tidak dapat melakukan eksekusi karena tidak memiliki kewenagan untuk melakukannya. Adanya kekurangan pada lembaga arbitrase inilah maka diterbitkan Undang - Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagai lembaga yang dapat melaksanakan eksekusi yang telah diputuskan oleh Arbitrase Syariah Nasional. Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa di luar peradilan yang saat ini banyak diminati oleh kalangan bisnis, baik nasional maupun internasional. Hal ini karena

(14)

melalui lembaga arbitrase, sebuah sengketa bisnis dapat terselesaikan dalam waktu yang relatif cepat dengan prosedur sederhana.24

Perjanjian arbitrase semata-mata ditujukan terhadap masalah penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian. Para pihak dapat menentukan kata sepakat agar penyelesaian perselisihan yang timbul dari perjanjian tidak diajukan oleh sebuah badan peradilan resmi, tetapi akan diselesaikan oleh sebuah badan kuasa swasta yang bersifat netral yang lazim disebut “wasit” atau “arbitrase”.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Altrenatif Penyelesaian Sengketa adalah sebagai dasar dimana penyelesaian sengketa melalui arbitrase syariah dapat muncul. Melalui undang-undang ini pula hingga saat ini, Arbitrase Syariah mengalami perubahan yang menuju perbaikan dimana awalnya bernamakan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).

D. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Jalur Litigasi

Penyelesaian sengketa perbankan syariah disaat sekarang telah memiliki kejelasan dimana peraturannya telah diatur dengan jelas. Para pihak yang bersengketa memiliki kebebasan dalam memilih, dimana penyelesaian sengketa itu diselesaikan apakah melalui lembaga peradilan atau diluar pengadilan. Hukum acara atau prosedur dalam menangani perkara perbankan syariah yang diajukan di lingkungan peradilan agama adalah bentuk hukum acara perdata yang biasa dilaksanakan di peradilan negeri. Hal ini sesuai dengan Pasal 54 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”. Hukum acara perdata tersebut sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum, HIR (Het Herzeine Inlandsche Reglement) dan R.Bg (Rechts Reglement Buitengewesten) termasuk ketentuan yang diatur dalam Rv (Reglement of de Rechtsvordering), KUH Perdata, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum serta beberapa peraturan lain yang berkenaan dengan itu Ada 3 (tiga) bentuk kewenangan peradilan agama, pertama; perkara-perkara perdata di luar dibidang ekonomi syariah, yang tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum, kedua; perkaraperkara di bidang perkawinan yang tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum acara khusus sebagaimana dalam Undang-Undang Peradilan Agama itu sendiri, dan ketiga; perkara-perkara dalam bidang jinayah (pidana), yang tunduk pada ketentuan hukum acara pidana yang tidak lain adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).25

Perbankan syariah merupakan perkara perdata di luar bidang perkawinan, oleh karena itu ketentuan hukum acara yang harus diterapkan dalam menyelesaikan perkaraperkara di bidang perbankan syariah di lingkungan peradilan agama adalah ketentuan yang berlaku di

24 Dam Wahyu Wiryono. Penyelesaian Sengketa Bank Syari’ah (Yogyakarta) Hal 63

(15)

peradilan umum. Dalam hal menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan perkara ekonomi syariah wajib menerapkan ketentuan-ketentuan hukum acara perdata.

Suatu kewajiban hakim apabila menerima suatu perkara adalah mendamaikan kedua belah pihak dalam hukum acara perdata. Upaya damai yang harus dilakukan hakim dalam rangka penyelesaian sengketa syariah khususnya di Pengadilan Agama tertuju pada ketentuan Pasal 154 R.Bg/130 HIR dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Ketentuan Pasal 154 R.Bg/130 HIR dan PERMA No. 01 Tahun 2008 adalah landasan yuridis dalam mengupayakan perdamaian di tingkat pertama. Adanya PERMA ini membuat hakim lebih proaktif dalam mendorong kedua belah pihak untuk berdamai, Tindakan yang harus dilakukan oleh hakim dalam mengupayakan damai berdasarkan ketentuan Pasal 154 R.Bg/130 HIR adalah:

1) Bila pada hari yang telah ditentukan para pihak datang menghadap, maka pengadilan negeri dengan perantara ketua berusaha mendamaikan

2) Bila dapat dicapai perdamaian, maka didalam sidang itu juga dibuatkan suatu akta dan para pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang telah dibuat dan akta itu mempunyai kekuatan serta dilaksanakan seperti suatu surat keputusan biasa.

Dari ketentuan pasal tersebut dapat dipahami bahwa tindakan pertama harus dilakukan oleh seorang hakim adalah mengupayakan perdamaian di kedua belah pihak. Kemudian apabila tercapai kesepakatan unutuk menyelesaikan perkara tersebut secara damai, maka kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk perjanjian (akta) perdamaian. Apabila anjuran damai yang dilakukan semata-mata atas dasar ketentuan Pasal 154 R.Bg/130 HIR ternyata tidak berhasil, maka langkah selanjutnya yang harus dilakukan hakim adalah mengupayakan perdamaian melalui mediasi sesuai dengan ketentuan PERMA No. 01 Tahun 2008. Mediasi yang diterapkan dalam sistem peradilan menurut ketentuan Pasal 1 butir 7 PERMA diartikan “cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.

Kedudukan dan fungsi mediator dalam proses perundingan tersebut menurut Pasal 1 butir 6 PERMA adalah sebagai pihak yang netral yang akan membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian tertentu. Tindakan seorang hakim setelah memerintahkan para pihak agar terlebih dahulu menempuh proses mediasi adalah menyampaikan penundaan proses persidangan perkara, hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (5) PERMA. Penundaan itu dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak menempuh proses mediasi.26

Tidak adanya kata perdamaian baik dalam anjuran hakim hingga perdamaian melalui mediator, maka pemeriksaan perkara pun harus dilanjutkan. Namun dalam pemeriksaan perkara itu, hakim harus melihat dengan cermat mengenai perjanjian antara kedua belah pihak yang bersengketa. Hakim harus memastikan terlebih dahulu bahwa kedua belah pihak tidak membuat klausula arbitrase. Ini suatu hal yang menjadi fokus utama seorang hakim dalam mencermati isi perjanjian oleh pihak yang bersengketa.

(16)

Proses pemeriksaan perkara dalam sengketa perbankan syariah adalah sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku. Setelah melewati proses pengajuan perdamaian yang ditengahi oleh seorang hakim hingga mediasi yang ditengahi oleh seorang mediator ternyata tidak mencapai kata kesepakatan, maka akan dimulai dengan proses pembacaan surat gugatan oleh penggugat, lalu disusul dengan proses jawab menjawab yang diawali dengan jawaban dari pihak tergugat, kemudian replik penggugat dan terakhir duplik dari pihak tergugat.

Setelah proses jawab menjawab selesai lalu persidangan dilanjutkan dengan acara pembuktian. Pada tahap pembuktian ini kedua belah pihak berpekara masing-masing mengajukan bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan di persidangan. Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap terakhir adalah kesimpulan dari pihak yang merupakan tahap terakhir dari proses pemeriksaan perkara di persidangan. Setelah seluruh tahap pemeriksaan perkara di persidangan selesai, hakim melanjutkan untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau memberikan keadilan dalam perkara tersebut. Untuk itu tindakan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut adalah melakukan konstatir, kualifsir dan konstituir.27 Mengkonstituir adalah menguji

benar tidaknya suatu peristiwa atau fakta yang diajukan para pihak melalui proses pembuktian dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut hukum pembuktian. Meng-kualifsir adalah menilai peristiwa atau fakta yang telah terbukti termasuk hubungan hukum apa dan menemukan hukumnya bagi peristiwa yang telah di konstatir. Meng-konstituir adalah menetapkan hukum atas perkara tersebut.

Di dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dalam penjelasan Pasal 55 penyelesaian sengketa perbankan syariah menempatkan Pengadilan Negeri sebagai salah satunya. Banyak pendapat yang tidak setuju akan hal ini karena secara peraturan, perbankan syariah menggunakan Al-Quran dan Al-Hadist. Pemeriksaan yang masuk kedalam Pengadilan Negeri secara keseluruhan khususya menggunakan hukum acara perdata sama sekali tidak menggunakan hukum Islam. Secara kompetensi Pengadilan Negeri sama sekali tidak berwenang memeriksa bahkan mengadili sengketa ekonomi syariah. Namun di dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah di penjelasan Pasal 55 disebutkan bahwa pengadilan Negeri dapat dipilih sebagai tempat penyelesaian sengketa syariah. Para pihak disaat ber akad atau melakukan perjanjian diberikan kebebasan untuk memilih dimana penyelesaian sengketa yang akan diambil. Pengadilan Agama merupakan pengadilan yang memiliki kompetensi abosolut dalam menangani sengketa syariah yang tertuang di dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Melalui Non Litigasi

Didalam Undang-Undang Tentang Perbankan Syariah, Musyawarah merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar peradilan. Kata musyawarah sedikit asing atau tidak terlalu familiar dikalangan masyarakat, namun sebenarnya musyawah ini dapat disamakan dengan proses negosiasi. Kata “negotiation” dalam bahasa inggris yang diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia yaitu memiliki arti “berunding” atau “bermusyawarah”28. Menurut Joni Emiron secara umum negosiasi dapat diartikan sebagai

suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif.

(17)

Sedangkan menurut Garry Goodpaster yang dimaksud dengan negosiasi adalah proses bekerja untuk mencapai suatu perjanjian dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan bervariasi serta bernuansa sebagaimana keadaan atau yang dapat dicapai orang. Maka dapat dipahami bahwa musyawarah merupakan negosiasi yang mana lebih dikenal oleh banyak pihak.29

Mediasi adalah suatu cara penyelesaian sengketa melalui jalur perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus suatu putusan.

Unsur-unsur esensial yang dapat dipahami didalam mediasi, yaitu30:

1) Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa melalui perundingan berdasarkan pendekatan mufakat atau konsensus para pihak

2) Para pihak meminta bantuan pihak lain yang bersifat tidak memihak yang disebut mediator

3) Mediator tidak memiliki kewenangan memutus, tetapi hanya membantu para pihak yang bersengketa dalam mencari penyelesaian yang dapat diterima para pihak.

Mediasi perbankan berbeda dengan mediasi yang ada didalam persidangan. Mediasi didalam persidangan yang sesuai dengan PERMA, merupakan mediasi yang sudah masuk diwilayah peradilan namun perkara belum diperiksa oleh hakim dan mediator yang menangani mediasi tersebut adalah seorang hakim pula. Sedangkan mediasi perbankan merupakan mediasi yang belum masuk ke wilayah peradilan dan mediator nya bukan seorang hakim.

Dasar hukum mediasi perbankan adalah PBI No. 10/1/PBI/2008 tanggal 30 Januari 2008 tentang perubahan PBI No. 8/5/PBI/2006 tentang mediasi perbankan. Dalam melaksanakan fungsi mediasi perbankan, Bank Indonesia tidak memberikan keputusan dan atau rekomendasi penyelesaian sengketa kepada nasabah dan bank. Dalam hal ini, pelaksanaan mediasi perbankan dilakukan dengan cara memfasilitasi nasabah dan bank untuk mengkaji kembali pokok permasalahan sengketa secara mendasar agar tercapai kesepakatan.

Proses mediasi dapat dilakukan di kantor Bank Indonesia yang terdekat dengan domisili nasabah. Pelaksanaan fungsi mediasi perbankan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk sementara waktu sampai saat pembentukan lembaga mediasi perbankan independen oleh asosiasi perbankan. Sebagaimana ditetapkan dalam peraturan Bank Indonesia, sengketa keperdataan yang berpotensi menimbulkan kerugian materil bagi nasabah dengan tuntutan finansial paling banyak Rp. 500 juta, yang disebabkan tidak terpenuhinya tuntutan finansial nasabah dalam penyelesaian pengaduan nasabah, dapat diupayakan penyelesaiannya melalui mediasi perbankan.

Pengajuan penyelesaian sengketa kepada pelaksana fungsi mediasi perbankan hanya dapat dilakukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah, termasuk lembaga, badan hukum dan atau bank lain yang menjadi nasabah bank tersebut. Sengketa yang dapat diajukan penyelesaiannya kepada pelaksana fungsi mediasi perbankan adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi keuangan.

(18)

Arbitrase Syariah

Dalam perspektif islam, arbitrase dapat disepadankan dengan isitilah takhim. Takhim berasal dari kata takaham, secara etimologis berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Pengertian tersebut erat kaitannya dengan pengertian menurut terminologisnya. Ini merupakan suatu lembaga yang telah ada sejak zaman pra-islam dan pada masa itu pula apabila ada permasalahan yang muncul akan diselesaikan melalui bantuan juru damai atau wasit yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang berselisih. Hadirnya lembaga-lembaga keuangan yang menjalankan prinsip syariah, maka dianggap perlu untuk mendirikan suatu lembaga yang mana tujuannya sebagai media penyelesaian sengketa. Sejak didirkannya tahun 2003, BASYARNAS belum cukup dikenal. Terhitung hanya belasan sengketa yang diselesaikan.

Prosedur beracara dalam proses pemeriksaan sengketa di Basyarnas ini telah ditetapkan oleh institusi tersebut yang pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan mekanisme beracara di peradilan umum atau peradilan agama, sebagaimana diatur dalam HIR/RBg atau dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agam sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang no. 3 tahun 2006. Prosedur beracara Basyarnas juga hampir sama dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Selain yang disebutkan diatas, Arbitrase syariah memiliki kewenangan untuk memberikan suatu rekomendasi atau pendapat hukum, yaitu pendapat hukum yang mengikat tanpa adanya suatu persoalan tertentu yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian yang sudah barang tentu atas permintaan para pihak yang mengadakan perjanjian untuk diselesaikan19. Proses beracara dalam proses pemeriksaan sengketa di Basyarnas ini telah ditetapkan oleh institusi tersebut yang pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan mekanisme beracara di Pengadilan Umum ataupun di Pengadilan Agama. Sebagaimana diatur dalam HIR/RBg atau dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Prosedur beracara BASYARNAS juga hampir sama dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.31

Terdapat beberapa hal penting yang telah diatur dalam Basyarnas sebagai prosedur beracara, diantaranya tentang yuridiksi atau kewenangan, yaitu:

1) Penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain. Para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaian sengketa kepada Basyarnas sesuai peraturan prosesur yang berlaku

2) Memberikan pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu sengketa mengenai suatu persoalan yang berkenaan dengan perjanjian permintaan para pihak. Kesepakatan klausula seperti itu dicantumkan dalam perjanjian atau dalam suatu akta tersendiri setelah sengketa timbul.

Putusan Basyarnas yang sudah ditandatangani arbiter tunggal atau majelis langsung bersifat final dan mengikat sehingga tidak ada upaya hukum banding atau kasasi seperti lazimnya di pengadilan. Ada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak apabila tidak menyetujui dengan putusan tersebut dengan hal permintaan pembatalan putusan secara tertulis dengan didasarkan pada alasan-alasan Penunjukan arbiter tunggal atau majelis tidak

(19)

sesuai dengan ketentuan, Putusan melampaui kewenangan Basyarnas, Putusan jauh menyimpang dari ketentuan pokok peraturan prosedur Basyarnas, dan Putusan tidak memuat dasar-dasar alasan yang menjadi landasan pengambilan Putusan.

E. Contoh Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

F. Kesimpulan

Hukum Kontrak Syari’ah adalah Suatu perjanjian atau perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan Hukum Kontrak Syari’ah yang dimaksud disini, adalah sebagian dari hukum islam bidang muamalah yang mengatur perilaku manusia didalam menjalankan hubungan ekonominya.

Penyelesaian sengketa kontrak syari’ah dapat diselesaikan dengan cara ; Al-Sulh (Perdamaian) yakni menghasilkan suatu jenis akad atau perjanjian untuk mengakhir perselisihan/pertengkaran antara 2 (dua) pihak yang bersengketa secara damai; Tahkim (Arbitrase), yakni menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa, dan juga melalui Wilayat al-Qadha (Kekuasaan Kehakiman) menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang berhubungan dengan masalah masalah keperdataan maupun pidana. Di Indonesia sendiri komponen atas ketiga lembaga penyelesaian sengketa syariah telah termuat dalam kewenangan Basyarnas dan lembaga Peradilan di Indonesia.

G. Daftar Pustaka

Muhammad Syafi’I Antonio. 2001. Bank Syariah: dari Teori ke Praktik. Gema Insani Press, Jakarta,:

Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. 2008. Kodifikasi Produk Perbankan Syariah. Jakarta

AH. Azharudin Lathif. 2005. Fiqh Muamalat. UIN Jakarta Press, Jakarta.

Muhammad. 2009. Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syari’ah. UII Press, Yogjakarta.

Abdulkadir Muhammad. 2007. Hukum Acara Perdata Indonesia. Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Dam Wahyu Wiryono ,2006. Penyelesaian Sengketa Bank Syari’ah, makalah dalam Pelatihan Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.

(20)

Referensi

Dokumen terkait