• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM ISL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TINJAUAN HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM ISL"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

MATA KULIAH PENGANTAR USHUL FIQIH

TUGAS MAKALAH

TINJAUAN HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

Dosen : H.M. Imamudddin, Lc. MA

Penyusun

Muhammad Said Hannaf

145020501111025

Muhammad Fikri

145020501111033

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

(2)

i

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI i

KATA PENGANTAR ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 3

1.3 Tujuan Masalah 3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi Hukum dan Hadist 4

2.2 Perbedaan Penyebutan Sunnah, Hadist, Khabar dan Atsar 11

2.3 Klasifikasi Hadis 12

2.4 Latar belakang munculnya kodifikasi Hadist 16

2.5 Urgensi kodifikasi hadist sebagai sumber hukum Islam 23

2.6 Kedudukan Hadist sebagai sumber hukum Islam 23

BAB III PENUTUP

Kesimpulan 25

(3)

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah yang Tuhan yang Maha Kuasa, karena

berkat pertolongan melalui doa kepada-Nya serta usaha kita dapat menyelesaikan

makalah yang berjudul Tinjauan Hadist sebagi sumber hukum Islam yang membahas

tentang kedudukan hadist sebagai sumber hukum Islam makalah ini dibuat dengan

tujuan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Pengantar Ushul Fiqih.

Makalah Ini membahas kedudukan hadis sebagai dasar hukum Islam serta

berkaitan denganperan dan fungsi hadist serta kodifikasi hadist. Kemudian hal yang

terpenting adalah pemahaman muslim dalam melakukan istinbath penggalian hukum

yang menghasilkan produk hukum yang bersumber dari hadist.

Kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Imamuddin selaku dosen pembimbing

mata kuliah Pengantar Ushul Fiqih, kemudian pihak-pihak yang telah berperan

membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini membutuhkan saran dan kritik yang

membangun untuk meningkatkan kualitas makalah ini. Akhir kata Semoga makalah

yang kami buat dapat bermanfaat bagi kita semua.

(4)

1

Tinjauan Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tinjauan hadist sebagai sumber hukum Islam adalah mengungkap pentingnya hadist

sebagai sumber hukum islam dan perkembangan hadist dalam kodifikasi karena hal tersebut

memengaruhi kesempurnaan hadist sebagai sumber hukum Islam yang kedua. Dengan

anugerah yang diberikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan kemuliaan kepada Nabi

Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam. Allah Subhanahu Wa Ta’ala, serta menjadikannya

sebagai rosul terakhir umat manusia dengan tujuan menyampaikan pesan-pesan ajaran Allah

Subhanahu Wa Ta’ala, serta memperbaiki akhlak.

Ilmu Ushul Fiqh tidak dapat terlepas dari sunnah karena sumber pedoman dan

penyelesaian masalah yang berkaitan dengan syariat Islam diperjelas dalam sunnah Rosululloh

Salallahu Alaihi Wasallam. Berdasarkan sabda Rosululloh Salallahu Alaihi Wasallam.

ْمكْيف تْكرت

هلْوسر ةنس ه تك : م ب ْمتْكسمت م اْولضت ْنل نْيرْمأ

artinya, “Aku tinggalkan kepada kalian dua hal, dimana kalian tidak akan tersesat selagi

memegang teguh keduanya yaitu kitabulloh dan sunnah nabi-Nya” (HR. Muslim)1.

Berdasarkan pernyataan hadist tersebut, pedoman hidup seorang muslim tidak dapat

dilepaskan dari sunnah Rosululloh Salallahu Alaihi Wasallam. Lebih lanjut dalam al Quran

surah An Nisa ayat 802











































80. Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang

berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka

Mengandung pemahaman bahwa seorang muslim dilarang untuk mengingkari segala

yang bersumber dari Rosululloh Salallahu Alaihi Wasallam setiap muslim sangatlah penting

mempelajari hadist setelah mempelajari kitab suci al Quran. Kemudian dengan pengetahuan

atas hadist dapat memberi kita pemahaman mendasar atas pentingnya peran ushul fiqh

1(Hadits

(5)

2

tersebut menysumullkan khazanah fiqh setiap muslim. Dengan demikian seorang muslim dapat

memahami Islam lebih baik.

Lebih lanjut berbagai tantangan memengaruhi pemikiran sebagian umat islam, dan

dinamika hadist sebagai dasar hukum Islam. Berbagai tantangan yang muncul adalah paham

ingkar sunnah serta kemunculan orang-orang yang mengkafirkan sesama muslim yang

menggunakan dalil sunnah yang dhaif sebagai landasan berpikir. Tentunya hal tersebut

dipengaruhi oleh faktor pembelajaran dan pemahaman setiap individu terhadap dalil hadist

tersebut. Proses perbaikan adalah langkah utama yang tepat dilakukan. Karena masyarakat

muslim harus senantiasa memurnikan ajarannya..

Sejak zaman Rosululloh Salallahu Alaihi Wasallam proses pendidikan dalam keilmuan

hadits pun sesungguhnya telah ada, jadi ilmu ushul fiqh bukanlah ilmu Islam yang kontemporer.

Kemudian urgensi mempelajari ushul fiqh yang harus diperhatikan oleh seorang muslim jika

ingin menyampaikan sebuah dalil yang bersumber dari sunnah Rosululloh Salallahu Alaihi

Wasallam.

Dan ia merupakan atsar yang masyhur dari Rosululloh sallallahu 'alaihi wasallam,"Barangsiapa menceritakan hadits dariku, yang mana riwayat itu diduga adalah kebohongan,maka dia (perawi) adalah salah satu dari para pembohong tersebut." Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki' dari Syu'bah dari al Hakam dari Abdurrahman bin Abu Laila dari Samurah bin Jundab. (dalam riwayat lain disebutkan) dan juga telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki' dari Syu'bah dan Sufyan dari Habib dari Maimun bin Abu Syabib dari al-Mughirah bin Syu'bah keduanya berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda tentang hal tersebut."3

(6)

3 Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Ghundar dari Syu'bah (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al Mutsanna dan Ibnu Basysyar keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Manshur dari Rib'i bin Hirasy bahwasanya dia mendengar Ali berkhuthbah, dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian berdusta atas namaku, karena siapa yang berdusta atas namaku niscaya dia masuk neraka." 4

Kemudian hadist Rosululloh Salallahu Alaihi Wasallam tersebut mengalami periodisasi

yang memengaruhi kesempurnaannya sebagai sumber hukum Islam. Hadist Rosululloh

Salallahu Alaihi Wasallam mengalami beberapa fase sebelum kodifikasi seperti sekarang ini.

Hadist menjadi bagian sangat penting dalam melengkapi sumber hukum Islam yang memiliki

sejarah kodifikasi maka penting membahas hal yang berkaitan sejarah singkat hadist.

Kemudian pembelajaran terhadap hadis ini perlu dilakukan dengan benar pula terhadap al

Quran karena keduanya merupakan sumber pedoman hukum Islam yang saling terkait dan

tidak dapat dipisah.

1.1. Rumusan Masalah

1. Definisi hadist dan pengaruhnya terhadap pendapat ulama

2. Klasifikasi hadist dan kodifikasi hadist

3. Seberapa penting kodifikasi hadist memengaruhi perkembangan hadist sebagai sumber

hukum Islam.

4. Bagaimana kedudukan hadist sebagai sumber utama hukum Islam setelah al Quran

5. Bagaimana hubungan hadist sebagai sumber hukum dengan al Quran

1.2. Tujuan Makalah

1. Dapat memahami pentingnya hadist sebagai sumber hukum Islam

2. Mengetahui kedudukan hadist yang fundamental sebagai hukum Islam

3. Mengetahui perbedaan makna hadist dalam perbedaan definisi

4. Dapat membangun pemikiran mendasar syummul islam melalui hadist.

(7)

4

2. PEMBAHASAN

2.1. Definisi Hukum dan Hadist

1. Definisi Hukum

Sebelum membahas mengenai definisi hadist, definisi hukum harus dipahami terlebih

dahulu karena pada pembahasan lebih lanjut hadist menjadi sumber penggalian hukum

(istinbath). Bagaimana hadist sebagai sumber hukum menjadi produk fiqh yang telah melalui

analisis yang tepat. Lebih lanjut proses istinbath tersebut memiliki kaidah kaidah yang telah

ditetapkan oleh para ulama salaf, tentunya hadist sebagai sumber hukum perlu dipahami

dengan benar.

Selanjutnya mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai berikut:

Artinya, “Kalam Allah yang menyangkut perbuatan oran dewasa dan berakal sehat, baik bersifat

imperative, fakultatif atau menempatkan sesuatu sesuai sebab, syarat dan penghalang”.5

“Khithab Allah” dalam definisi di atas adalah kalam Allah atau titah Allah yang melekat

dalam dirinya, bersifat azali; tidak ada awalnya. Kemudian yang dimaksud dengan yang

menyangkut perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang

berakal sehat meliputi perbuatan hati, seperti niat dan perbuatan serta ucapan, seperti gibah

(menggunjing) dan namimah (mengadu-domba) 6

Yang dimaksud dengan imperative (iqtidha’) adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu,

baik tuntuan itu bersifat memaksa maupun tidak. Sedangkan yang dimaksud takhyir (fakultatif)

adalah kebolehan memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya dengan posisi

yang sama. Sementara yang dimaksud wadh’i (mendudukkan sesuautu) adalah memposisikan

sesuatu sebagai penghubung hukum, baik berbentuk sebab, syarat, maupun penghalang.

Definisi hukum di atas merupakan definisi hukum sebagai kaidah, yakni patokan perilaku

manusia.7

Definisi hukum tersebut membantu menjelaskan fungsi hadis sebagai sumber hukum

Islam. Mayoritas ulama ushul fiqh berkata bahwa hukum berkaitan dengan tindakan-tindakan

5 Ushul Fiqh, Andewi Suhartini, Direktorat Jendral Pendidikan Agama Islam, 2012. 6 Ibid

(8)

5 orang-orang mukallaf yang mengandung perintah mengerjakan atau menjalani, membolehkan

atau menajdikan sesuatu sebagai adanya yang lain.

2. Definisi hadis sebagai sumber hukum Islam

Hadis sebagai sumber hukum Islam yang fundamental memiliki keterkaitan makna dengan

definisinya. Didalam al Quran, terdapat 23 kali penggunaan kata hadis dalam bentuk mufrad

atau tunggal, dan 5 kali dalam bentuk jamak.8 Dalam pengertiannya secara etimologis diatas,

karena keabsahannya, hadis menjadi sangat tinggi sebagai sumber hukum Islam setelah al

Quran. hal berikut dapat dilihat dalam beberapa contoh yang tercantum dalam al Quran QS

6:68, QS 20:9, QS 39:23, QS 66:3. QS 68:44.







































68. dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, Maka tinggalkanlah mereka

sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan

ini), Maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).



9. Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa?

















































23. Allah telah menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya)

lagi berulang-ulang









(9)

6 44. Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan Perkataan ini

(Al Quran). nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak

mereka ketahui,

Sejumlah ulama membedakan definisi hadist, sunnah, khabar dan atsar serta terjadi

perbedaan definisi ketiganya menurut ulama hadis, ulama ushul dan ulama fiqh. Secara

terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits.

Kalangan ulama hadits sendiri ada juga beberapa definisi yang antara satu sama lain agak

berbeda. Ada yang mendefinisikan hadits, adalah :

"Segala perkataan Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, perbuatan, dan hal ihwalnya". 9

Ulama hadits menerangkan bahwa yang termasuk "hal ihwal", ialah segala pemberitaan

tentang Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, seperti yang berkaitan dengan himmah, karakteristik,

sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya.

Ulama ahli hadits yang lain merumuskan pengertian hadits dengan :

"Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,

maupun sifatnya".10

Ulama hadits yang lain juga mendefiniskan hadits sebagai berikut :

"Sesuatu yang didasarkan kepada Nabi Salallahu Alaihi Wasallam. baik berupa

perkataan, perbuatan,taqrir, maupun sifatnya".11

Dari ketiga pengertian tersebut, terdapat kesamaan dan perbedaan para ahli hadits dalam

mendefinisikan hadits. Kasamaan dalam mendefinisikan hadits ialah hadits dengan segala

sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, baik perkataan maupun

perbuatan. Sedangkan perbedaan mereka terletak pada penyebutan terakhir dari perumusan

definisi hadits. Ada ahli hadits yang menyebut hal ihwal atau sifat Nabi sebagai komponen

hadits, ada yang tidak menyebut. Kemudian ada ahli hadits yang menyebut taqrir Nabi secara

eksplisit sebagai komponen dari bentuk-bentuk hadits, tetapi ada juga yang memasukkannya

secara implisit ke dalam aqwal atau afal-nya.

Sedangkan ulama Ushul, mendefinisikan hadits sebagai berikut :

"Segala perkataan Nabi Salallahu Alaihi Wasallam yang dapat dijadikan dalil untuk

penetapan hukum syara'".12

9 Hujair AH. Sanaky, Hadist Pada Masa Nabi. Makalah UII Yogyakarta 1999.

10 Ibid

(10)

7 Berdasarkan definisi hadits baik dari ahli hadits maupun ahli ushul, terdapat persamaan

yaitu ;

"Memberikan definisi yang terbatas pada sesuatu yang disandarkan kepada Rasululloh,

tanpa menyinggung-nyinggung perilaku dan ucapan sahabat atau tabi'in”.

Perbedaan mereka terletak pada cakupan definisinya. Definisi dari ahli hadits mencakup

segala sesuatu yang disandarkan atau bersumber dari Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, baik

berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir. Sedangkan cakupan definisi hadits ahli ushul hanya

menyangkut aspek perkataan nabi saja yang bisa dijadikan dalil untuk menetapkan hukum

syara'.

Kemudian definisi sunnah menurut bahasa berarti : "Jalan dan kebiasaan yang baik atau

yang jelak". Menurut M.T.Hasbi Ash Shiddieqy, pengertian sunnah ditinjau dari sudut bahasa

(lughat) bermakna jalan yang dijalani, terpuji, atau tidak. Sesuai tradisi yang sudah dibiasakan,

dinamai sunnah, walaupun tidak baik.

Pengertian khabar selain istilah hadits dan sunnah, terdapat istilah khabar dan atsar.

khabar menurut lughat, berita yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang. Untuk itu

dilihat dari sudut pendekatan ini (sudut pendekatan bahasa), kata khabar sama artinya dengan

hadits.

Artinya: “Hampir-hampir akan ada seseorang di antara kamu yang akan berkata, “Ini Kitab Allah. Apa yang halal di dalamnya kami halalkan. Dan apa yang haram di dalamnya kami

haramkan. “Ketahuilah, barang siapa sampai kepadanya suatu ‘khabar’ dari aku, ‘lalu ia

dustakan berarti ia telah mendustakan tiga orang’ dia mendustakan Allah, mendustakan

Rasul-Nya, dan mendustakan orang yang menyampaikan berita itu” (HR. Ahmad dan Ad- Darimi).13

Pengertian Sunnah terbagi atas tiga displin ilmu pertama Pengertian sunah secara

terminologi bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu ilmu hadis, ilmu fiqih, dan ilmu ushul fiqih.

Menurut ulama ahli hadis, sunah identik dengan hadis,yaitu semua yang disandarkan kepada

Nabi Muhamad Salallahu Alaihi Wasallam., baik perkataan, perbuatan,ataupun ketetapannya

sebagai manusia biasa termasuk akhlaknya baik sebelum atau sesudah menjadi Rasul.

Menurut ulama ushul fiqih, sunah diartikan :

Artinya: “Semua yang lahir dari Nabi , selain Al-Quran, baik berupa perkataan, perbuatan,

ataupun pengakuan.”14

(11)

8

Jelasnya, setiap perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Salallahu Alaihi Wasallam.,

yang berkaitan dengan hukum dinamakan hadist. Adapun sunah menurut para ahli fiqih, di

samping mempunyai arti seperti yang dikemukakan para ulama ushul fiqih, juga dimaksudkan

sebagai salah satu hukum taklif yang mengandung pengertian, “Perbuatan yang apabila

dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.” 15 Dari beberapa pengertian

di atas, tampak bahwa sunnah/hadis menurut ulama ahli hadis itu mempunyai pengertian lebih

luas daripada menurut ulama ahli ushul. Ulama ahli hadis memandang bahwa semua yang

datang dari Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, (perkataan, perbuatan, dan taqrir) baik yang

berkaitan dengan hukum atau tidak. Sedangkan menurut ulama ahli ushul hanya terbatas pada

sesuatu yang berkaitan dengan hukum. Di luar hukum bukan dinamakan hadis, seperti cara

berpakaian, cara makan, dan sebagainya

Kedudukan Hadis Nabi sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua, telah diterima

oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam, tidak saja dikalangan Sunni tapi juga di kalangan

Syi’ah dan aliran Islam lainnya. Legitimasi otoritas ini tidak diraih dari pengakuan komunitas muslim terhadap Nabi sebagai orang yang berkuasa tapi diperoleh melaui kehendak Ilahiyah.

Oleh karena itu segala perkataan, perbuatan dan takrir beliau dijadikan pedoman dan panutan

oleh umat islam dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih jika diyakini bahwa Nabi selalu

mendapat tuntunan wahyu sehingga apa saja yang berkenaan dengan beliau pasti membawa

jaminan teologis. Bila menyimak ayat-ayat al-Qur’an, setidaknya ditemukan sekitar 50 ayat

yang secara tegas memerintahkan umat islam unuk taat kepada Allah dan juga kepada

Rasul-Nya, diantaranya dikemukakan sebagai berikut:

مكتاامو

لوسرلا

هوذخف

امو

مكاھن

ھنع

اوھتنأف

Artinya: Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa-apa yang

dilarangnya maka tinggalkanlah.

Menurut ulama ayat tersebut memberi petunjuk secara umum yakni semua perintah dan

larangan yang berasal dari Nabi wajib dipatuhi oleh orang orang yang beriman. Dengan

demikian ayat ini mepertegas posisi hadis sebagai sumber ajaran islam. Oleh karena itu

kewajiban patuh kepada Rasulullah merupakan konsekuenis logis dari keimanan seseorang.

Dalam surat al-Nisa’ ayat 80 juga dikemukakan :











































15

(12)

9 80. Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang

berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka

Ayat tersebut mengandung petunjuk bahwa kepatuhan kepada Rasulullah merupakan

salah satu tolok ukur kepatuhan seseorang kepad Allah. Hanya saja perlu dipertegas bahwa

indikasi yang terdapat dalam ayat tersebut diatas, bukan perintah yang wajib ditaati dan

larangan yang wajib ditinggalkan adalah yang disampaikan oleh beliau dalam kapasitasnya

sebagai Rasulullah.

Pada ayat lain, bahwa kehadiran Nabi Muhammad adalah menjadi panutan yang baik bagi

umat islam seperti dalam surat al-Ahzab ayat 21 dikatakan :





























































21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang

mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

Ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Nabi Muhamad adalah teladan hidup bagi

orang-orang yang beriman. Bagi mereka yang sempat bertemu dengan Rasulullah maka cara

meneladaninya dapat mereka lakukan secara langsung sedang mereka yang tidak sezaman

dengan beliau maka cara meneladaninya adalah dengan mempelajari, memahami dam

mengikuti berabgai petunjuk yang termuat dalam hadis-hadisnya. Dari petunjuk ayat-ayat

diatas, jelaslah bahwa hadis atau sunnah Nabi merupakan sumber ajaran Islam di samping

al-Qur’an.

Orang yang menolak hadis sebagi sumber ajaran Islam, berarti orang itu pada hakikatnya

menolak al-Qur’an. Walaupun demikian, tetap saja ada orang yang menolak hadis sebagi

sumber ajaran Islam baik di kalangan orang Islam maupun orientalis. Mereka umumnya

memahami bahwa adanya otoritas Nabi sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qur’an

tersebut menunjuk pada ucapan dan tindak tanduk beliau di luar al-Qur’an. Namun demikian

ada juga orientalis yang menolak pandangan semacam itu, misalnya DS. Margoliout. Ia

berpendapat bahwa bagaimanapun juga dalam al-Qur’an Nabi selalu disebut bergandengan

dengan Tuhan.

Hal demikian, hanya menunjuk pada konteks al-Qur’an sendiri bahwa otoritas Tuhan dan

otoritas Nabi Muhammad sebagi instrumen kemanuisaan bagi wahyu Ilahiah sehingga tidak

(13)

10

titik ini dapat dimengerti bahwa Muhammad tidak memiliki sunnah ekstra Qur’anik yang dapat

direkam dalam hadis. Penolakan otoritas hadis Nabi bukan hanya berkembang pada tradisi

kesarjanan barat tetapi juga berkembang dalm kesarjanaan Islam. Terdapat sejumlah ulama

dan intelaktual islam yang hanya menerima otoritas Al-Qur’an seraya menolak otoritas hadfis

Nabi sebagi sumber ajaran Islam. Mereka ini lebih dikenal sebagi inkar sunnah. Cukup banyak

argumen yang mereka kedepankan untuk menolak otoritas hadis. Selain mengajukan argumen

aqli dan naqli mereka juga mengemukakan argumen-argmen historis serta argumen lainnya.

Argumen yang bersifat naqliyah misalnya mereka mengemukakan alQur’an surat al-Nahl ayat

89 dan al-An’am ayat 38:



























































































89. (dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.

Tentunya berdasarkan ayat al Quran yang menjelaskan tentang kewajiban seorang

muslim untuk taat kepada Alloh, Rosul serta Ulil Amri merupakan ciri-ciri yang menjelaskan

kelemahan argumentasi kaum ingkar sunnah. Kalangan ulama ada yang membedakan hadis

dari sunnah, terutama karena memang kedua kata itu secara etimologis memang berbeda.

Kata hadist lebih banyak mengarah kepada ucapan Nabi; sedang sunnah lebih banyak

mengarah kepada tindakan Nabi yang sudah menjadi tradisi dalam beragama. Namun

demikian, semua ahlu sunnah sepakat bahwa kedua kata itu hanya merujuk kepada dan

berlaku untuk Nabi dan tidak digunakan untuk selain dari Nabi. 16

(14)

11

2.2. Perbedaan penyebutan Sunnah, Hadist, Khabar, dan Atsar.

Perbedaan hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan al-Atsar dari keempat istilah yaitu

Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar, menurut jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk

maksud yang sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu

pula halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka Hadits Mutawatir

dapat juga disebut dengan Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits

Shahih dapat disebut dengan Sunnah Shahih, Khabar Shahih, dan Atsar Shahih. Tetapi

berdasarkan penjelasan mengenai Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar terdapat sedikit

perbedaan yang perlu diperhatikan menurut pendapat dan pandangan ulama, baik ulama hadits

maupun ulama ushul dan juga perbedaan antara hadits dengan khabar dan atsar dari

penjelasan ulama yang telah dibahas.

Perbedaan-perbedaan pendapat ulama tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut :

a. Hadits dan Sunnah : Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber

dari Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi

Salallahu Alaihi Wasallam baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, atau

perjalan hidupnya, baik sebelum diangkat menjadi Rasul maupun sesudahnya.

b. Hadits dan Khabar : Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar sebagai sesuatu

yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi Salallahu Alaihi Wasallam., Hadits sebagai

sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada Nabi Salallahu Alaihi Wasallam. Tetapi ada

ulama yang mengatakan Khabar lebih umum daripada Hadits, karena perkataan khabar

merupakan segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, maupun dari

yang selainnya, sedangkan hadits khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi Salallahu Alaihi

Wasallam. saja. "Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits, diithlaqkan kepada

yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari sahabat dinamai Atsar".

c. Hadits dan Atsar : Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya dengan

khabar dan Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa Atsar sama dengan Khabar, yaitu

sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Salallahu Alaihi Wasallam., sahabat dan tabi'in. "Az

Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits mauquf.

Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul Salallahu Alaihi Wasallam.

(15)

12

kepada Nabi Salallahu Alaihi Wasallam. saja, sedangkan Atsar sesuatu yang disandarkan

kepada Nabi Salallahu Alaihi Wasallam., sahabat dan tabi'in.

2.3. Klasifikasi Hadis

1. Berdasarkan Bentuknya

Dikemukakan oleh Zakiyuddin Sya’ban17, bahwa para ulama umumnya membagi sunnah

menjadi tiga macam, yaitu :

a. Sunnah Qauliyah

Yaitu hadis-hadis yang diucapkan langsung oleh Nabi Sallahu Alaihi Wasallam dalam

berbagai kesempatan terhadap berbagai masalah, yang kemudian dinukil oleh para

sahabat dalam bentuknya yang utuh seperti apa yang diucapkan oleh Nabi Sallahu Alaihi

Wasallam tersebut. Diantara contoh-contohnya

b. Sunnah Fi’liyah

Yaitu hadis yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Sallahu Alaihi

Wasallam yang dilihat atau diketahui oleh para sahabat, kemudian disampaikan kepada

orang lain.

c. Sunnah Taqriyyah

Yaitu perbuatan dan ucapan para sahabat yang dilakukan dihadapan atau

sepengetahuan Nabi Sallahu Alaihi Wasallam tetapi beliau mendiamkannya dan tidak

menolaknya. Sikap diam Nabi Sallahu Alaihi Wasallam tersebut dan tidak menolak atas

perbuatan atau ucapan para sahabat itu, merupakan tanda persetujuan Nabi Sallahu

Alaihi Wasallam.

2. berdasarkan jumlah perawinya

a. Sunnah Mutawattir

Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi (periwayat) yang jumlahnya banyak dan diyakini

mustahil adanya kedustaan. Sunnah mutawattir tingkatan rawinya mulai dari sahabat, tabi’in,

tabi’ut tabi’in. Oleh karena itu, sunnah mutawattir ini hadis yang paling tinggi derajatnya, sunnah

mutawattir merupakan hujjah yang paling kuat di samping al Quran. Hadis mutawattir dibagi

menjadi dua pertama mutawattir dari segi maknanya, maksudnya dari segi lafal hadis yang

(16)

13 diriwayatkan tidak berbeda. Kedua mutawattir maknawi. Hadis ini berbeda dari segi lafalnya

akan tetapi berbedavdari segi maknanya. Hal ini terjadi karena sahabat yang meriwayatkan

mengambil maknanya saja sedangkan dari lafalnya mereka membuat sendiri. 18

b. Sunnah Masyhur.

Yang dimaksud dengan sunnah masyhur adalah hadis yang di riwayatkan oleh dua orang atau

lebih tetapi belum mencapai derajat mutawattir. Hadis ini tersebar dikalangan tabi in dan tabiut

tabi in. Dijelaskan oleh hafiz Al Din al Nafasi bahwa hadis masyhur merupakan hadis ahad yang

kemudian menyebar di kalangan orang banyak terutama pada generasi tabi in dan tabiut tabi in

hadis masyhur terbagi atas dua.

1. Hadis Muthlaq

Hadits yang termasyhur di kalangan ahli hadits dan yang lainnya (golongan ulama ahi ilmu dan

orang umum)

“seorang muslim itu ialah orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan

lidah dan tangannya”.19

Hadits diatas diriwayatkan pula oleh Abu Daud, an Nasai, at Turmudzy dan ad Darimi dari

sahabat yang berbeda; Jabir, Abu Musa, Abdullah bin Amr bin al Ash.

2. Hadis Muqoyyad

Hadits yang termasyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu misalnya hanya termasyhur di

kalangan ahli hadits saja, atau ahli fiqih saja, dan sebagainya.

Contoh Hadits Masyhur Muqoyyad :

“bahwa rasul berkunut sebulan lamanya, setelah ruku, untuk mendo’akan keluarga Ri’’in dan

Dzakwan”20

Hadits diatas hanya masyhur di kalangan para Muhadditsin saja

18 ibid

(17)

14

c. Sunnah Ahad

Sunnah ahad merupakan hadis yang di riwayatkan oleh Nabi Sallahu Alaihi Wasallam tetapi

tidak mencapai derajat mutawattir. Menurut Abdul Karim Zaidan sunnah ahad adalah hadis

yang diriwayatkan oleh sejumlah orang tetapi tidak mencapai derajat mutawatir baik pada masa

tabi in maupun tabiut tabi in.

Hadis Ahad terbagi menjadi 2

1. Hadits Aziz

Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rowi, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada

satu thobaqoh saja.

Contoh Hadits Aziz :

“Tidaklah sempurna iman salah seorang dari kalian sehingga aku lebih ia cintai dari pada ia

mencintai dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya dan manusia seluruhnya”21

Yang meriwatkan hadits diatas dari Anas bin Malik hanya dua tabi’i, yaitu Qatadah dan Abdul

Aziz bin Shuhaib, demikian juga perowi setelah tabi’in hanya dua orang juga, yaitu; Husain al

Mu’allim dan Syu’bah.

2. Hadits Gharib

Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, di

tingkatan mana saja kesendirian dalam sanadnya itu terjadi.

• Klasifikasi hadits gharib

Ditinjau dari bentuk penyendirian rawi hadits gharib terbagi dua :

1. Gharib Mutlaq

Hadits yang penyendiriannya itu terjadi di pangkal sanad atau Ashlu sanad (tabi’in bukan

sahabat).

(18)

15 Contoh hadits ghorib muthlaq :

Hadits diatas hanya diriwayatkan oleh tabi’in Abu Sholih saja dan Abu Sholih pun hanya dari Abdullah bin Dinar saja

2. Gharib Nisby.

Hadits yang penyendiriannya itu berkaitan dengan sifat-sifat atau keadaan tertentu seorang

rawi. Contoh hadits gharib Nisby :

Hadits diatas diriwayatkan oleh perowi semuanya penduduk Bashrah.

Ulama ushul kontemporer mayoritas membagi hadits berdasarkan jumlah perawinya

dengan tiga tingkatan, tetapi Imam al Ghazali dalam kitab al Mustafa membagi menjadi dua

macam yaitu sunnah mutawatir dan sunnah ahad. Al Ghazali menyebut sunnah dengan istilah

khabar. Kemudian mayoritas ulama hadits membaginya pun menjadi dua, ulama hadits

memasukkan sunnah masyhur kedalam sunnah ahad. 22

(19)

16

2.4. Latar Belakang Munculnya Kodifikasi Hadits

Pada abad pertama Hijriah sampai hingga akhir abad petama Hijriah, hadits hadits itu

berpindah dari mulut kemulut, masing-masing perawi meriwayatkannya berdasarkan kepada

kekuatan hafalannya. Saat itu mereka belum mempunyai motif yang kuat untuk membukukan

hadits, karena hafalan mereka terkenal kuat.

Namun demikian, upaya perubahan dari hafalan menjadi tulisan sebenarnya sudah

berkembang di saat masa Nabi. Setelah Nabi wafat, pada masa Umar Bin Khattab menjadi

khalifah kedua juga merencanakan penghimpunan hadits-hadits Rasul dalam satu kitab, namun

tidak diketahui mengapa niat itu batal atau urung dilaksanakan. Dikala kendali Khalifah

dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan pada tahun 99 Hijriah, seorang khalifah

dari Dinasti Umayyah yang terkenal adil dan wara’, sehingga beliau dikenal sebagai Khalifah

Rasyidin yang kelima, tergerak hatinya membukukan hadits karena dia khawatir para perawi

yang membendaharakan hadits di dalam dadanya telah banyak yang meninggal, apabila tidak

dibukukan akan lenyap dan dibawa oleh para penghafalnya ke dalam alam barzah dan juga

semakin banyak kegiatan pemalsuan hadits yang dilakukan, yang dilatar belakangi oleh

perbedaan politik dan perbedaan mazhab di kalangan umat Islam dan semakin luasnya daerah

kekuasaan Islam maka semakin komplek juga permasalahan yang dihadapi umat Islam.

a. Penulisan Hadits

Sejarah penghimpunan hadits secara resmi dan massal baru terjadi setelah Khalifah Umar

bin Abdul Aziz memerintahkan kepada ulama dan para tokoh masyarakat untuk menuliskannya.

Dikatakan resmi karena itu merupakan kebijakan kepala Negara, dan dikatakan massal karena

perintah diberikan kepada para gubernur dan ahli hadits. Di antara Gubernur Madinah yang

menerima instruksi untuk mengumpulkan dan menuliskan hadits, yaitu Abu Bakar ibn Hazm,

Umar bin Abdul Azis berkata kepada Hazm:

“Perhatikanlah apa yang bisa diambil dari hadits Rasulullah dan catatlah, saya khawatir akan

lenyapnya ilmu ini setelah ulama wafat daangan terima kecuali yang benar-benar hadits dari

Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam, hendaklah kalau seberkas ilmu dan majlis ta’lim agar

orang yang tidak tahu menjadi tahu karena ilmu merubah keadaan dia menjadi terang”23

(20)

17 Dalam intruksi tersebut Umar memerintahkan Ibn Hazm untuk menuliskan dan menuliskan

hadits yang berasal dari:

a. Koleksi Abu Bakar bin Hazm itu sendiri.

b. Amrah binti Abd. Ar-Rahman (w.98 H), seorang faqih, dan muridnya sayyidah Aisyah r.a.

c. Al Qasim Ibn Abu Bakar Al Siddiq (w.107 H) seorang pemuka tabi’in dan salah seorang

Fuqaha yang tujuh.

Abu Bakar bin Hazm melaksanakan tugasnya dengan baik, dan tugas yang serupa juga

dilaksanakan oleh Muhammad Ibn Syiihab Al-Zuhri (w.124 H), seorang ulama besar di Hijaz

dan Syam, kedua ulama di ataslah sebagai pelopor dalam kodifikasi hadits berdasarkan

perintah Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Meskipun Abu Bakar bin Hazm dan Al Zuhri telah

berhasil menghimpun dan mengkodifikasi hadits, akan tetapi kerja kedua ulama tersebut telah

hilang dan tidak bisa dijumpai lagi sampai sekarang.

b. Sistem Pembukuan Hadits

Sistem pembukuan Hadits pada awal pembukuannya, hanya sekedar mengumpulkan saja

tanpa memperdulikan selektifitas terhadap susunan Hadits Nabi, apakah termasuk di dalamnya

fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, “Ulama diperiode ini cenderung mencampuradukkan antara

hadits Nabi dengan fatwa sahabat dan tabi’in, mereka belum mengklasifikasikan kandungan

nash-nash menurut kelompoknya” (Masfuk Zuhdi, 1993: 81)

Dengan demikian pembukuan hadits pada masa ini boleh dikatakan cenderung masih

bercampur baur antara hadits dengan fatwa sahabat dan tabi’in.

c. Tokoh-Tokoh Pengumpul Hadits

Setelah periode Abu Bakar bin Hazm dan ibnu Shihab Al Zuhri, perode sesudahnya

bermunculan ahli hadits yang bertugas sebagai kodifikasi hadits jilid ke-2 yaitu:

2.4. Di Mekkah, Ibn Jurraj (w.150 H);

2.5. Di Madinah, Abu Ishaq (w.151 H) dan Imam Malik (w.179 H);

2.6. Di Basrah, Ar Rabi’ Ibn Shahih (w.160 H), Said Bin abi Arubah (w.156 H) dan

Hamud bin Salamah (w. 176 H);

2.7. Di Kufah, Sofyan Tsauri (w.161 H);

2.8. Di Syam/ Sriya, Al Auza’I (w.156 H);

2.9. Di Wasith/Iraq , Hasyim (w.188 H);

(21)

18

2.11. Di Khurasan/ Iran, jarir Bin Abdul Namid (w.188 H dan Ibnu Mubarrak (w.181

H)(Musthafa Siba’I, tt: 168).

d. Kitab-kitab Hadits yang ditulis pada abad II Hijriah

Kitab-kitab yang disusun pada periode ini jumlahnya relatif sedikit yang sampai kepada umat

Islam hari ini, di antara karya monumental yang dihasilkan oleh karya terdahulu yang sampai

pada masyarakat muslim saat ini adalah:

a. Al Muwatha, oleh Imam Malik

b. Al Musnad, Oleh Imam Syafi’i

c. Iktilaf Al Hadits, oleh Imam Syafi’i

Hadits ini dipandang unggul dan menempati kedudukan istimewa di kalangan para ahli hadits

dan penggiat ilmu ini.

d. Ciri-ciri Kitab Hadits yang ditulis pada abad II Hijriah.

1. Pada umumnya kitab-kitab hadits pada masa ini menghimpun hadits-hadits Rosululloh serta

fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in.

2. Himpunan hadits pada masa ini masih bercampur baur dengan topik yang ada seperti

bidang Tafsir, Sirah, Hukum, dan lainnya.

3. Di dalam kitab-kitab hadits pada periode ini belum dijumpai pemisahan antara hadits-hadits

yang berkualitas shahih, hasan dan dha’if.

f. Hadits Pada Masa III Hijriah, Masa Pemurnian, Penshahihan dan penyempurnaan

Kodifikasi.

Periode ini berlangsung pada masa pemerintahan Khalifah Al Ma’mun sampai pada awal pemerintahan khalifah Al-Muqtadir dari kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Pada masa ini ulama

memusatkan perhatian mereka pada pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurnian hadits

Nabi Salallahu Alaihi Wasallam, sebagai antisipasi mereka terhadap pemalsuan hadits yang

semakin marak. Kegiatan Pemalsuan Hadits Pada abad ke-II hijriah telah banyak melahirkan

para Imam Mujtahid di berbagai bidang, di antaranya di bidang Fiqih dan Ilmu Kalam. Meskipun

dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat, akan tetapi mereka saling menghormati tetapi

memasuki abad ke-3 Hijriah, para pengikut masing-masing imam berpendapat bahwa

(22)

19 antara pengikut fanatik akhirnya menciptakan hadits-hadits palsu dalam rangka memaksakan

pendapat mereka. Dan setelah Khalifah Al Ma’mun berkuasa mendukung golongan Mu’tazilah.

Perbedaan pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan siapa yang tidak sependapat akan

dipenjara dan disiksa, salah satu Imam yaitu Imam Ahmad bin Hambal yang tidak

mengakuinya. Setelah pemerintahan Al Muwakkil, maka barulah keadaan berubah positif bagi

ulama.

Upaya Pelestarian Hadits

Di antara kegiatan yang dilakukan oleh para ulama Hadits dalam rangka

memelihara kemurnian Hadits Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam adalah:

1. Perlawatan ke daerah-daerah;

2. Pengklasifikasian hadits kepada: Marfu’, Mawquf, dan Maqthu’;

3. Penyeleksian kualitas hadits dan pengklasifikasian kepada: Shahih, Hasan, Dha’if.

Tokoh-tokoh Pengumpul Hadits

Di antara tokoh-tokoh Hadits yang lahir pada masa ini adalah:

Ali Ibn Madany, Abu Hatim Ar Razy, Muhammad Ibn Jarir ath Thabary, Muhammad Ibn Sa’ad,

Ishaq Ibn Rahawaih, Ahmad, Al Bukhari Muslim, An Nasa’i, Abu Daud, At Turmudzy, Ibnu

Majah, Ibnu Qutaibah Ad Dainury.

Kitab-Kitab Hadits pada abad III Hijriah

Di abad ke-3 Hijriah ini telah muncul berbagai kitab Hadits yang Agung dan

monumental serta menjadi pegangan umat islam sampai sekarang diantaranya adalah:

1. Kitab Shahih Bukhari.

2. Kitab Shahih Muslim.

3. Kitab Sunan Abu dawud

4. Kitab Suann At Thurmudzy

5. Kitab Sunan An Nasa’i

6. Kitab Sunan Ibn Majah.

(23)

20 g. Hadits pada abad IV sampai V (Masa Pemeliharaan, Penertiban, Penambahan, dan

Penghimpunan)

Kegiatan periwayatan hadits pada periode ini Periode ini dimulai pada masa Khalifah Al

Muktadir sampai Khalifah Al Muktashim. Meskipun kekuasaan Islam pada periode ini mulai

melemah dan bahkan mengalami keruntuhan pada abad ke-7 Hijriah akibat serangan Hulaqu

Khan, cucu dari Jengis Khan, kegiatan para Ulama Hadits tetap berlangsung sebagaimana

periode-periode sebelumnya, hanya saja hadits-hadits yang dihimpun pada periode ini tidaklah

sebanyak penghimpunan pada periode-periode sebelumnya, kitab-kitab hadits yang dihimpun

pada periode ini diantaranya adalah:

1. Al Shahih oleh Ibn Khuzaimah (313 H)140

2. Al Anma’wa al Taqsim oleh Ibn Hibban (354 H)

3. Al Musnad oleh Abu Amanah ( 316 H)

4. Al Mustaqa oleh Ibn Jarud

5. Al Mukhtarah oleh Muhammad Ibn Abd Al Wahid al Maqdisi

Setelah lahirnya karya-karya di atas, maka kegiatan para ulama berikutnya pada umumnya

hanyalah merujuk pada karya–karya yang telah ada, dengan bentuk kegiatan mempelajari,

menghafal, memeriksa dan menyelidiki sanad-sanadnya dan matannya.Bentuk penyusunan

kitab hadits pada masa periode iniPara Ulama Hadits periode ini memperkenalkan sistem baru

dalam penusunanhadits , yaitu:

a) Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunannya hanya menyebutkan sebagianmatan hadits

tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu,baik dari sanad kitab hadits yang

dikutip matannya ataupun dari kitab-kitab lainya contohnya:

1. Athraf Al Shahihainis, oleh Al Dimasyqi (400 H)

2. Athraf Al Shahihainis, oleh Abu Muhammad Khalaf Ibn Muhammad al Wasithi(w 401 H)

3. Athraf Al Sunnah al Arrba’ah, oleh Ibn Asakir al Dimasyqi (w 571 H)

4. Athraf Al Kutub al Sittah, oleh Muhammad Ibn Tharir al Maqdisi ( 507 H)

b) Kitab Mustadhrak, kitab ini memuat matan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhar iatau

Muslim, atau keduanya, atau lainnya, dan selanjutnya penyusun kitab ini meriwayatkan matan

hadits tersebut dengan sanadnya sendiri, contoh:

1. Mustadhrak Shahih Bukhari, oleh Jurjani

(24)

21 3. Mustadhrak Bukhari Muslim, oleh Abu Bakar ibn Abdan al Sirazi (w.388 H)

c) Kitab Mustadhrak, kitab ini menghimpun hadits-hadits yang memiliki syarat syarat Bukhari

dan Muslim atau yang memiliki salah satu dari keduanya, contoh:

1. Al Mustdhrak, oleh Al Hakim ( 321-405 H)

2. Al Ilzamat, oleh Al Daruquthni (306-385 H)

d) Kitab Jami’, kitab ini menghimpun hadits-hadits yang termuat dalam kitab-kitab yang telah

ada, yaitu yang menghimpun hadits Shahih Bukhari dan Muslim.

Contohnya:

1. Al Jami’ bayn al Shahihaini , oleh Ibn Al Furat ( Ibn Muhammad Al Humaidi (w.414 H)

2. Al Jami’ bayn al Shahihaini, oleh Muhammad Ibn Nashir al Humaidi (488 H)l

h. Hadits pada abad ke VII sampai sekarang (masa Pensyarahan,

Penghimpunan,Pen-takhrij-an dan Pembahasannya)

Kegiatan periwayatan hadits pada periode ini

Periode ini dimulai sejak kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad ketika ditaklukkan oleh

tentara Tartar (656 H/1258 M), yang kemudian Kekhalifahan Abbasiyah tersebut dihidupkan

kembali oleh Dinasti Mamluk dari Mesir, setelah mereka menghancurkan bangsa Mongol

tersebut. Pembaiatan khalifah oleh Dinasti Mamluk hanyalah sekedar simbol saja, agar

daerah-daerah Islam lainya dapat mengakui Mesir sebagai pusat pemerintahan dan selanjutnya

mengakui Dinasti Mamluk sebagai penguasa dunia Islam, akan tetapi pada abad ke-8 H,

Utsman mendirikan kerajaan di Turki di atas puing-puing peninggalan Bani Saljuk di Asia

Tengah, sehingga bersama-sama dengan keturunan Utsman menguasai kerajaan-kerajaan

kecil yang ada disekitarnya, dan selanjutnya membangun Daulah Utsmaniyah yang berpusat di

Turki.

Dengan berhasilnya mereka menaklukkan Konstantinopel dan Mesir serta meruntuhkan

Dinasti Abbasiyah, maka berpindahlah kekuasaan Islam dari Mesir ke Konstantinopel. Pada

abad ke-13 Hijriyah (awal abad ke-19 H) Mesir dengan dipimpin oleh Muhammad Ali, mulai

bangkit untuk mengembalikan kejayaan Mesir masa waktu silam. Namun Eropa yang dimotori

oleh Inggris dan Perancis semakin bertambah kuat dan berkeinginan besar untuk menguasai

dunia, mereka secara bertahap mulai menguasai daerah-daerah Islam, sehingga pada abad

(25)

22 kebangkitan kembali dunia Islam baru dimulai pada pertengahan abad ke-20 M. Sejalan

dengan keadaan dan kondisi-kondisi dunia Islam di atas, maka kegiatan periwayatan hadits

pada periode ini lebih banyak dilakukan dengan cara ijazah dan Mukatabah. Sedikit sekali

ulama hadits pada periode ini melakukan periwayatan hadits secara hafalan sebagaimana

dilakukan oleh yang ulama Mutaqaddimin.

Diantaranya yaitu:

1. Al Traqi (w.806 H/1404 M) dia berhasil mendiktekan hadits secara hafalan kepada 400

majelis, sejak 796 H/1394 M dan juga menulis beberapa kitab hadits.

2. Ibn Hajar al Asqalani (w. 852 H/ 1448 M) seorang penghafal hadits yang tiada

tandingannya pada masa itu. Dia telah mendiktekan hadits kepada 1000 majelis dan

menulis sejumlah kitab yang berkaitan dengan hadits.

3. Al Sakhawi (w.902 H/1497 M) murid Ibn Hajar yang telah mendiktekan hadits kepada

1000 majelis dan menulis sejumlah buku.

Bentuk penyusunan kitab hadits pada periode ini:

Pada periode ini para ulama hadits mempelajari kitab-kitab hadits yang telah ada, dan

selanjutnya mengembangkannya atau meringkasnya sehingga menghasilkan jenis karya

sebagai berikut:

1. Kitab Syarah, yaitu kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan hadits dari

kitab tertentu dan hubungannya dengan dalil-dalil lainnya yang bersumber dari Alquran dan

hadits, ataupun kaidah-kaidah syara’ yang lainnya. Contohnya:

a. Fath Al bari, Oleh Ibn Hajar al Asqalani, yaitu syarah shahih kitab Al Bukhari.

b. Al Minhaj, oleh Al Nawawi, yang mensyarahkan kitab Shahih Muslim.

c. Aun al-Ra’hud, oleh Syams al Haq al Achim al Abadi, syarah sunan Abu Dawud.

2. Kitab Mukhtashar, yaitu kitab yang berisi ringkasan dari suatu kitab hadits, seperti

Mukhtashar Shahih Muslim oleh Muhammad Fu’ad abd al Baqi.

(26)

23

2.5. Urgensi Kodifikasi hadis sebagai sumber hukum Islam

Kodifikasi hadist sangat penting memengaruhi perkembangannya sebagai sumber hukum

kedua Islam. Karena kodifikasi hadist menunjukkan keabsahan hadist sebagai sumber hukum

Islam setelah al Quran. Kodifikasi hadis menunjukkan proses yang ilmiah dan terstruktur

terhadap hadist. Proses yang panjang dan mengalami dinamika dalam setiap prosesnya

tersebut memperkuat hadist untuk diterima oleh seluruh golongan umat Islam.

Proses kodifikasi hadis pun melalui pengujian yang serupa dengan kodifikasi al Quran

tentunya validitas hadist yang digunakan sebagai sumber hukum Islam harus diterima oleh

mayoritas muslim.

2.6. Kedudukan Hadist sebagai Sumber hukum Islam

Fungsi hadis

Melihat penjelasan hukum yang disampaikan al Quran merupakan penjelasan yang

bersifat umum. Tentunya sulit ditafsirkan dalam bentuk amaliyah. Oleh karena itu fungsi yang

paling utama dari hadist adalah menjelaskan hukum yang bersumber dari al Quran. Hal

tersebut telah tercantum dalam al Quran An Nahl : 64,



































































64. dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan

kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.

Karena memiliki fungsi utama menjelaskan sumber hukum yang berasal dari al Quran

hadis adalah al Bayani bagi al Quran. Berdasarkan kedudukannya itulah hadis memiliki fungsi

sebagai berikut :

1. Menguatkan dan menegaskan hukum hukum yang tersebut dalam al Quran atau

disebut ta’kid atau taqrir. Dalam hal ini hadis menguatkan dalil dalam al Quran yang

belum kuat penjelasannya.

2. Memberi penjelasan terhadap hal yang masih samar

3. Merinci apa apa yang ada dalam al Quran disebutkan secara garis besar

4. Membatasi hal yang dijelaskan al Quran secara umum

(27)

24

Contoh hadist menjelaskan arti kata al Quran seperti kata “sholat” yang masih samar atau

ijmal, karena sholat juga dapat diartikan berdoa. Seperti yang dipahami saat itu. Kemudian Nabi

Salallahu Alaihi Wasallam menjelaskan bahwa beliau melakukan takbiratul ihram dan berakhir

dengan salam, kemudian beliau bersabda “inilah sholat itu, kerjakanlah sholat sebagaimana

kamu melihat saya mengerjakan sholat.”

Contoh sunnah yang menjelaskan garis-garis besar adalah, tentang penetapan waktu sholat

dan kewajiban menjalankan puasa.

(28)

25

Kesimpulan dan Penutup

Kesimpulan

1. hadis sebagai sumber hukum Islam sangat penting untuk meningkatkan pemahaman

muslim dalam memahami proses menggali hukum Islam menjadi produk hukum.

2. Memahami sejarah hadist dan kodifikasinya penting karena berkaitan dengan proses

hadist yang panjang sebagai sumber hukum Islam yang sempurna

3. Kedudukan hadist sebagai sumber hukum Islam setelah al Quran sangat penting dan

menunjang hukum al Quran karena keduanya saling berkaitan dan berdasarkan fungsinya

(29)

26

Daftar Pustaka

Fiqih Islam. Rifa’i, Moh. 1978. PT Karya Toha Putra : Semarang.

Hukum Islam. Mardani. Pustaka Pelajar. 2009 : Yogyakarta

Kedudukan Dan Fungsi Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. Jurnal Al Fikr Vol. 14 No. 3

Tahun 2010. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo.

Kumpulan Kaidah Ushul Fiqh. Waid, Abdul. 2014. IRCiSoD : Yogyakarta.

Modul 5 Hadist Sebagai Sumber Ajaran Islam. Ditjen Pendidikan Islam Kemenag. 2009.

Modul Musthalah Hadis. Yayasan Bina Ukhuwah. 2010. Karawang

Pengantar Studi Hukum Islam :Prinsip Dasar Memahami Berbagai Konsep dan Permasalahan

Hukum Islam di Indonesia. Marzuki. Penerbit Ombak. 2013 : Yogyakarta

Rekonsepsi Hadis Dalam Wacana Studi Islam [Telaah Terminologis Hadits, Sunnah, Khabar,

dan Atsar]. Jurnal Edu Islamika Vol. 3 no 1 Maret 2012. Nirwana, Dzikri. IAIN Sunan Ampel

Surabaya.

Shahih Muslim. Da’wah Rights. 2010.

Studi Perbandingan Ushul Fqh. Romli. 2014. Pustaka Pelajar : Yogyakarta.

Ushul Fiqh Jilid 1. Syarifuddin, Amir. PT Logos Wacana Ilmu. 1997 : Tangerang.

Ushul Fiqih. Suhartin, Andewi. Ditjen Pendidikan Islam Kemenag. 2012 : Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam kavum pleura

RSGM Pendidikan adalah RSGM yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan gigi dan mulut, yang juga digunakan sebagai sarana proses pembelajaran, pendidikan dan

Segala puji dan syukur sentiasa terucap ke hadirat Allah SWT yang semata karena kasih sayang-Nya yang amat besarlah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ANALISIS

Dengan kata lain, jika asset perusahaan dapat dijual sesuai dengan nilai perolehan atau nilai bukunya, seluruh kewajiban bersifat tetap sebagaimana disebutkan di dalam

118 Permen Koperasi dan UKM yang merevisi permen Koperasi dan UKM Nomor 19/PER/M.KUKM/XI/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi,

(1) Kepala Sub Bagian Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan mempunyai tugas mengumpulkan dan mengkoordinasikan bahan penyusunan program kerja, evaluasi dan pelaporan

Penelitian ini merupakan suatu studi retrospektif cross-sectional analytic untuk melihat hubungan eosinofil dan neutrofil darah tepi terhadap derajat keparahan

Namun berbeda dengan pendapat yang lain, Komisi Eropa (2001) dalam Widjaja dan Pratama (2008:7) mendefinisikan CSR (Corporate Social Responsibility) dengan lebih praktis, yang