• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggungjawab Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Pembakaran Hutan T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggungjawab Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Pembakaran Hutan T1 BAB II"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Hukum Pidana

Peranan hukum dalam keseharian manusia sangatlah penting. Dimana dengan

hukum tersebut akan menciptakan kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu semua perbuatan dan tingkah laku

manusia dikontrol dengan hukum.

Mendefinisikan hukum terdapat kesulitan yang tidak lain karena wujud hukum

yang abstrak, dan cakupannya yang sangat luas sehingga manusia lahir dijemput oleh

hukum, hidup diatur oleh hukum, bahkan mati pun diantar oleh hukum.1

Berikut penulis jabarkan mengenai pengertian-pengertian hukum dan hukum

pidana secara umum dan menurut para ahli.

2.1.1 Pengertian Pidana

Secara umum terdapat banyak sekali pengertian pidana, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pidana adalah kejahatan (tentang pembunuhan,

perampokan, korupsi, dan sebagainya); kriminal: perkara, perkara kejahatan

(kriminal).2

Istilah Pidana sendiri berasal dari bahasa hindu Jawa yang artinya

Hukuman, nestapa atau sedih hati, dalam bahasa Belanda disebut straf. Istilah

1 Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2013, h. 9.

2Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (KBBI Online), http://kbbi.web.id/hukum, dikunjungi pada

(2)

2

pidana lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum sudah lazim merupakan

terjemahan dari recht. Dipidana artinya dihukum, kepidanaan artinya segala

sesuatu yang bersifat tidak baik, jahat, pemidanaan artinya penghukuman.3

Pengertian pidana menurut beberapa ahli seperti:

Soedarto, pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada

orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu.

Soesilo, pidana atau hukuman adalah suatu perasaan tidak enak

(sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah

melanggar undang-undang hukum pidana.4

Roeslan Shaleh, pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu

nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.

Pidana dapat berbentuk punishment atau treatment. Pidana merupakan

bentuk pengimbalan terhadap kesalahan si pembuat.

2.1.2 Pengertian Hukum

Secara umum yang dapat kita pahami mengenai hukum adalah suatu

peraturan yang berisi ketentuan-ketentuan yang bersifat mengendalikan,

mencegah, mengikat dan memaksa dengan tujuan terciptanya suatu kondisi

yang aman, tertib, damai dan tentram, dan terdapat sanksi bagi yang

melanggarnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian hukum

adalah 1. peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang

3 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, h. 114. 4

(3)

3

dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah; 2. undang-undang, peraturan, dan

sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; 3. patokan (kaidah,

ketentuan) mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu; 4.

keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan);

vonis.5

Beberapa ahli hukum baik di dalam negeri maupun dari luar negeri

mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian hukum seperti John Locke

dalam Teguh Prasetyo, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum (2007), hukum adalah

sesuatu yang ditentukan oleh warga masyarakat pada umumnya tentang

tindakan-tindakan mereka, untuk menilai / mengadili mana yang merupakan

perbuatan yang jujur dan mana yang merupakan perbuatan yang curang.6

Menurut Hans Kelsen, General Theory of Law and State (1881),

hukum adalah suatu perintah memaksa terhadap tingkah laku manusia. Hukum

adalah kaidah-kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.

Menurut J. C. T Simorangkir hukum adalah peraturan-peraturan yang

bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan

masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib. Soeroso

menyebutkan hukum adalah himpunan peraturan yang dibuat oleh yang

berwenang dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang

mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa

dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya.

5Kamus Besar Bahasa Indonesia Online (KBBI online), http://kbbi.web.id/pidana, dikunjungi pada

Kamis, 13 oktober 2016 pukul 1.22. 6

(4)

4 2.1.3 Pengertian Hukum Pidana

Definisi hukum pidana menurut Prof. Dr. W.L.G. Lemaire yang

dikutip oleh Drs. P.A.F. Lamintang, S.H. dalam bukunya Dasar-dasar Hukum

Pidana Indonesia, beliau menyebutkan bahwa hukum pidana itu terdiri dari

norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang

(oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa

hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus.

Selain itu, Moeljatno menyebutkan hukum pidana adalah bagian dari

hukum yang mengadakan dasar dan aturan untuk menentukan

perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai

ancaman sanksi berupa suatu pidana tertentu.7

Kansil, hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang

pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum,

perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan

atau siksaan.8

Sudarto, hukum pidana dapat dipandang sebagai sistem sanksi negatif,

ia diterapkan jika sarana lain sudah tidak memadai, maka hukum pidana

dikatakan mempunyai fungsi yang subsider. Pidana termasuk juga tindakan

(matregelen) bagaimanapun juga suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh orang lain yang dikenai, oleh karena itu hakikat dan tujuan

7 Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia : Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2011, h.6-7. 8 Sr Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit Ahaem-Petehaem,

(5)

5

pidana dan pemidanaan, untuk memberikan alasan pembenaran (justification)

pidana itu.9

Sudarsono, pengertian hukum pidana adalah hukum yang mengatur

tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan

tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.

Menurut WPJ. Pompe, pengertian hukum pidana ialah keseluruhan

dari peraturan-peraturan yang sedikit banyaknya bersifat umum yang abstrak

dari keadaan-keadaan yang bersifat konkret.

Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa pengertian hukum pidana merupakan peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” diartikan sebagai

“dipidanakan” dimana oleh instansi tertentu yang berkuasa dilimpahkan kepada

seseorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang

tidak sehari-hari dilimpahkan.

Dari beberapa pengertian menurut ahli hukum dapat disimpulkan

bahwa hukum pidana merupakan peraturan hukum yang mengatur sanksi atas

perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan dengan melawan hukum

yang sudah ada.

Hukum pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan umum yang

memiliki implikasi secara langsung pada masyarakat luas (umum), dimana

apabila suatu tindak pidana dilakukan, berdampak buruk terhadap keamanan,

ketentraman, kesejahteraan dan ketertiban umum di masyarakat.

9

(6)

6 2.2 Tindak Pidana Oleh Korporasi

Berbicara mengenai tindak pidana oleh korporasi, dapat ditekankan bahwa ini

merupakan kejahatan yang bersifat organisatoris. Begitu luasnya penyebaran

tanggung jawab bermuara pada motif-motif yang bersifat ekonomis, yaitu tercermin

pada tujuan korporasi dan kontradiksi antara tujuan korporasi dengan kepentingan

berbagai pihak seperti kompetitor, buruh, konsumen, masyarakat dan negara.

Berdasarkan motif-motif tersebut, korban kejahatan korporasi tersebar pada spektrum

yang amat luas.10

Menurut I.S. Susanto, kejahatan korporasi adalah tindakan-tindakan korporasi

yang dapat dikenai sanksi, baik sanksi pidana, perdata maupun administrasi, yang

berupa tindakan penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan ekonomi (illegal

abuses of power) seperti produk-produk industri yang membahayakan kesehatan dan

jiwa, penipuan terhadap konsumen, pelanggaran terhadap peraturan perburuhan,

iklan-iklan yang menyesatkan, pencemaran lingkungan, manipulasi pajak.11

Korporasi rawan menjadi pelaku tindak pidana, terutama dalam tindak pidana

khusus seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana perpajakan, tindak pidana

dibidang perikanan, tindak pidana dibidang lingkungan hidup, tindak pidana

pembalakan hutan secara liar, bahkan tindak pidana pembakaran hutan.

10

H. Setiyono, Kejahatan Korporasi; Analisis Viktimologis, dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Overoes press, Malang, 2002, h.19-20.

11

(7)

7 2.2.1 Pengertian Korporasi

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli

hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum

lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum atau dalam istilah

Belanda disebut rechts persoon atau dalam bahasa Inggris disebut dengan

istilah legal person atau legalbody.12

Korporasi atau Corporation (bahasa Inggris) atau Corporatie (bahasa

Belanda) bukanlah orang / manusia pribadi, meskipun dalam kenyataannya ia

dapat mengadakan aktifitas sebagai seorang pribadi, seperti membuat transaksi

dalam bidang perdagangan dan keuangan, membayar pajak dan sebagainya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Korporasi adalah suatu “persona ficta” atau “legal fiction” atau suatu fiksi hukum.13

A.Z. Abidin menyatakan bahwa korporasi dipandang sebagai realita

sekumpulan manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan

pribadi hukum untuk tujuan tertentu.14

Dibeberapa undang-undang yang telah menyebutkan kedudukan

korporasi sebagai subjek hukum yang diakui baik sudah berbadan hukum

ataupun belum berbadan hukum. Penyebutan korporasi sebagai subjek hukum

juga tercantum dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang No 31 Tahun 1999 yang

telah dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No.

12 Ibid, h. 2.

13 JE Sahetapy, Kejahatan Korporasi, PT Eresco, Bandung, 1994, h. 32.

14

(8)

8

5 tahun 1997 tentang Psikotropika, Pasal 1 angka 21 Undang-Undang No. 35

tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 8 tahun

2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang

No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,

Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan;

"Korporasi adalah kumpulan terorgaisasi dari orang/atau kekayaan, baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum".

Berbicara mengenai konsep “badan hukum”, lebih lanjut Setiyono

dalam bukunya menjelaskan bahwa konsep ini bermula timbul sekedar dalam

konsep hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatan yang diharapkan lebih berhasil. Apa yang dinamakan “badan hukum” itu sebenarnya

tidak lain sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya

suatu badan yang diberi status sebagai subjek hukum, disamping subjek hukum

yang berwujud manusia alamiah (natuulijk person).15

Diciptakannya pengakuan adanya suatu badan, yang sekalipun badan

ini sekedar suatu badan, namun badan ini dianggap bisa menjalankan segala

tindakan hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu.

dan harta ini harus dipandang sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas

dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya. Jika dari perbuatan

itu timbul kerugian maka kerugian ini pun hanya dapat dipertanggungjawabkan

15

(9)

9

semata-mata dengan harta kekayaan yang ada dalam badan yang

bersangkutan.16

2.2.2 Pengaturan Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana

Dalam lapangan hukum pidana, korporasi diterima sebagai subjek

tindak pidana, meskipun masih terbatas pada beberapa peraturan

perundang-undangan diluar KUHP. KUHP sebagai aturan umum hukum pidana belum

mengakui korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan yang harus

bertanggungjawab. Hal ini berarti KUHP masih mengikuti sistem

pertanggungjawaban yang pertama, yaitu pengurus korporasi sebagai pembuat

dan pengurus itu sebagai yang harus bertanggungjawab.

Tapi kini dalam RUU KUHP 200417 mengadopsi pendirian untuk

menjadikan korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Hal itu dapat dilihat dari bunyi pasal 47. Disebutkan dalam pasal 47, “korporasi merupakan subjek

tindak pidana”. Dalam hal ini korban dari tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi tersebut dapat berupa orang, atau orang-orang dan/atau korporasi,

atau korporasi-korporasi lain.18 Terhadap korporasi, dalam perkembangan

kaedah hukum pidana Indonesia, dapat dibebani dengan pertanggungjawaban

pidana19 atau dapat dikatakan sebagai subjek hukum pidana. Memperlakukan

16 Ibid.

17

Lihat Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia, 2004.

18 JE Sahetapy, op.cit, h. 41.

19 Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang

(10)

10

korporasi seperti manusia (natuurlijk persoon) 20 dan membebani

pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dibuat oleh korporasi, sejalan

dengan asas hukum bahwa siapa pun sama dihadapan hukum (principle of

equality before the law).

2.2.3 Pengertian Pertanggungjawaban

Menurut Black’s Law Dictionary, tanggung jawab (liability) mempunyai tiga arti, antara lain:

1. An obligation one is bound in law or justice to perform. 2. Condition of being responsible for a possible or actual loss. 3. Condition which creates a duty to perform an act immediately o

in the future.

Tanggung jawab hukum (legal liability) menurut Black’s Law

Dictionary mempunyai arti: “Liability which court recognize and enforce as between parties litigant.”

Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keharusan bagi

seseorang untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya.21

Menurut hukum, tanggung jawab adalah suatu akibat atas konsekuensi

kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau

moral dalam melakukan suatu perbuatan.22

20 M. Haryanto, “Refleksi Ilmu Hukum: Pertanggungjawaban Pidana Korpor asi dan Individualisasi

Pidana”, Edisi Oktober 2012, FH-UKSW. 2012, h. 191. 21 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005. 22

(11)

11

Menurut Sugeng Istanto, Hukum Internasional:1994,

pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan

perhitungan atas semua hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan

pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.23

Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam

kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah

hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung

jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter

hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman,

kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan

undang-undang.

Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan

kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang

yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability

menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat

kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility

menunjuk pada pertanggungjawaban politik.24

23

(12)

12

2.2.4 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Mengenai permasalahan pertanggungjawaban pidana korporasi, ada

dua ajaran pokok yang menjadi landasan bagi pembenaran dibebankannya

pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, yaitu doctrine of strict liability

dan doctrine of vicarious liability.25

Pertama Doctrine of Strict Liability, menurut doktrin ini

pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana

yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan

(kesengajaan atau kelalaian pada pelakunya). Oleh karena itu menurut ajaran

strict liability pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya tidak

dipermasalahkan maka strict liability disebut juga absolute liability

(pertanggungjawaban mutlak).26

Dalam hukum pidana berlaku asas “tiada pidana tanpa kesalahan”

yang dikenal sebagai doctrine of mens rea. Dalam perkembangan hukum

pidana yang terjadi belakangan, diperkenalkan pula tindak-tindak pidana yang

pertanggungjawaban pidananya dapat dibebankan kepada pelakunya sekalipun

pelakunya tidak memiliki mens rea yang diisyaratkan. Cukuplah apabila dapat

dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan actus reus, yaitu

melakukan perbuatan yang dilarang oleh ketentuan pidana atau tidak

melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana. Tindak-tindak

25Sutan Remy Sjahdeini, op.cit., h.77. 26

(13)

13

pidana yang demikian itu disebut offences of strict liability atau yang sering

dikenal juga sebagai offences of absolute prohibition.27

Pertanggungjawaban mutlak tercantum pada pasal 35 ayat (2) dari

RUU KUHP 200428:

“Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana

tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan”.

Penjelasannya adalah sebagai berikut:

“Ketentuan dalam ayat ini juga merupakan suatu perkecualian seperti halnya ayat (2). Oleh karena itu tidak berlaku juga bagi semua tindak pidana, melainkan hanya untuk

tindak pidana tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Untuk tindak pidana

tertentu tersebut, pembuat tindak pidananya, telah dapat dipidana hanya karena telah

dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana oleh perbuatannya. Di sini kesalahan

pembuat tindak pidana dalam melakukan perbuatan tersebut tidak lagi diperhatikan. Asas ini dikenal sebagai asas “strict liability”.

Kemudian yang kedua adalah Doctrine of Vicarious Liability,

merupakan pembebanan pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang

dilakukan, misalnya oleh A kepada B. Doktrin ini biasanya berlaku dalam

hukum perdata tentang perbuatan melawan hukum.29

Dalam perbuatan-perbuatan perdata didasarkan pada perbuatan

pemberi kerja bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh

bawahannya sepanjang hal itu terjadi dalam rangka pekerjaannya. Hal ini

memberikan kemungkinan kepada pihak yang dirugikan karena

27 Ibid.

28 Lihat Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Departemen Hukum Dan Hak Asasi

Manusia, 2004

(14)

14

perbuatan melawan hukum mereka untuk menggugat pemberi kerjanya agar

membayar ganti rugi sepanjang dapat dibuktikan pertanggungjawabannya.30

Dalam common law seorang pemberi kerja bertanggungjawab secara

vikarius atas perbuatan-perbuatan dari bawahannya yang telah menimbulkan

gangguan publik atau dalam hal membuat pernyataan yang dapat merusak nama

baik orang lain (criminal libel) (Scanlan dan Ryan, 1985:120).31

Dalam bukunya Sutan Remy mengemukakan apabila teori ini

diterapkan dalam korporasi, berarti korporasi dimungkinkan harus

bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para

pegawainya, kuasanya, atau mandatarisnya, atau siapapun yang

bertanggungjawab kepada korporasi tersebut.32

Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam RUU KUHP 2004 pasal

49 menyatakan jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi,

pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau

pengurusnya. Adapun pasal 50 konsep rancangan KUHP menyatakan bahwa

korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan

yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut

termasuk dalam lingkup usaha sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar

atau ketentuan lain.33

30 Ibid.

31 Sutan Remy, 85. 32 Ibid, h. 86.

33Muladi dan Dwidja, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Edisi Revisi, Kencana Prenada Media

(15)

15

Doktrin vikarius ini banyak dikritik oleh mereka yang berpendirian

bahwa doktrin ini bertentangan dengan ketentuan moral yang berlaku dalam

sistem keadilan, yang didasarkan pada pemidanaan atas kesalahan manusia

untuk mempertanggungjawabkan seseorang karena telah melakukan perbuatan

tertentu (yang dilarang oleh hukum) atau tidak melakukan perbuatan tertentu

(yang diwajibkan oleh hukum).

Sampai sekarang ini KUHP tidak menganut asas pertanggungjawaban

vikarius, akan tetapi asas ini diadopsi dan dimasukkan ke dalam RUU KUHP

2004 sebagai ternyata dari bunyi pasal 53 ayat (3).34

Dalam hal tertentu, setiap orang dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana

yang dilakukan oleh orang lain jika ditentukan dalam suatu undang-undang.

Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Ketentuan ayat ini merupakan pengecualian dari asas tiada pidana tanpa kesalahan.

Lahirnya pengecualian ini merupakan penghalusan dan pendalaman asas regulatif

dari yuridis moral yaitu dalam hal-hal tertentu tanggungjawab seseorang dipandang

patut diperluas sampai kepada tindakan bawahannya yang melakukan pekerjaan atau

perbuatan untuknya atau dalam batas-batas perintahnya. Oleh karena itu, meskipun

seseorang dalam kenyataannya tidak melakukan tindak pidana namun dalam rangka

pertanggungjawaban pidana ia dipandang mempunyai kesalahan jika perbuatan

orang lain yang berada dalam kedudukan sedemikian itu merupakan tindak pidana.

sebagai suatu pengecualian maka ketentuan ini penggunaannya harus dibatasi untuk

kejadian-kejadian tertentu yang ditentukan secara tegas oleh undang-undang agar

tidak digunakan secara sewenang-wenang. Asas pertanggungjawaban yang bersifat

pengecualian ini dikenal sebagai asas tanggungjawab mutlak atau vicarius liability.

Menguti pendapat Clarkson dan Keating dalam bukunya Sutan Remy,

34

(16)

16

Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang

pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi

korporasi (lihat pasal 51 Konsep Rancangan KUHP). Adapun pasal 52 ayat (1), “Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan

apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.” Ayat (2),

“Pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan dalam

putusan hakim.”

Pasal 53 konsep menyatakan, alasan pemaaf atau alasan pembenar

yang diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi,

dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan

dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi.35

2.3 Tindak Pidana Dibidang Kehutanan

Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang P3H disebutkan tindak

pidana dibidang kehutanan adalah perbuatan melanggar ketentuan Undang Undang

Nomor. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan atau Undang Undang Nomor 18 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) dengan

ancaman sanksi pidana bagi barangsiapa yang secara melawan hukum melanggarnya.

2.3.1 Pengertian Hukum Kehutanan

Menurut M. Hariyanto, hukum kehutanan adalah kumpulan peraturan

atau kaedah tentang kebolehan, keharusan atau larangan; baik tertulis maupun

(17)

17

tidak tertulis; yang mengatur hubungan antara: negara (pemerintah) dengan

hutan, kawasan hutan, hasil hutan, tumbuhan dan satwa liar; negara dengan

orang yang terkait dengan hutan, kawasan hutan, hasil hutan, tumbuhan dan

satwa liar; orang dengan hutan, kawasan hutan, hasil hutan. tumbuhan dan

satwa liar, bersifat memaksa (imperatif); dan sanksi bagi yang melanggarnya.

Sedangkan Menurut Idris Sarong Al Mar, Hukum kehutanan adalah

serangkaian kaidah-kaidah/norma-norma (tidak tertulis) dan

peraturan-peraturan (tertulis) yang hidup dan dipertahankan dalam hal-hal hutan dan

kehutanan.36

Hukum kehutanan adalah kumpulan kaidah/ketentuan hukum yang

mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan, dan hubungan

antara individu (perseorangan) dengan hutan dan kehutanan.37

Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa hukum kehutanan

meliputi:

1) adanya kaidah hukum kehutanan baik tertulis maupun tidak tertulis;

2) mengatur hubungan antara negara dengan hutan dan kehutanan,

dan;

3) mengatur hubungan antara individu (perorangan) dengan hutan dan

kehutanan.

36 BahanKuliyah, Hukum Kehutanan, “Abdul Muis Yusuf, Hukum Kehutanan Di Indonesia, (Rineka

Cipta, Jakarta 2011)”. http://www.bahankuliyah.com/2014/05/hukum-kehutanan.html. Dikunjungi pada 20 Oktober 2016 pukul 13.00 WIB.

37

(18)

18

Tujuan dari hukum kehutanan adalah untuk melindungi, pemanfaatan,

dan melestarikan hutan agar dapat berfungsi dan memberikan manfaat bagi

kesejahteraan rakyat secara lestari.38

2.3.2 Sumber Hukum Kehutanan

Hukum kehutanan mempunyai sifat khusus (lex specialis) karena

hukum kehuatan ini hanya mengatur hal-hal yang berakaitan dengan hutan dan

kehutanan. Apabila ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur materi

yang bersangkutan dengan hutan dan kehutanan maka akan diberlakukan lebih dahulu

adalah hukum kehutanan. Oleh karena itu, hukum kehutanan disebut sebagai lex

specialis, sedangkan hukum lainnya seprti agraria dan hukum lingkungan sebagai

hukum umum (lex specialis derogate legi generalis).

Sumber hukum kehutanan adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan. Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga terdapat pengaturan mengenai

kehutanan.

2.3.3 Pengertian dan Cakupan Tindak Pidana Dibidang Kehutanan

Tindak Pidana dibidang kehutanan adalah perbuatan melanggar

peraturan kehutanan, dengan ancaman sanksi pidana bagi barangsiapa yang karena

kesalahannya melanggar larangan tersebut.

Tindak pidana kehutanan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan menyebutkan perbuatan yang dilarang tersebut, yaitu:

38

(19)

19

1. Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan

hutan. (Pasal 50 ayat (1))

2. Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin

usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil

hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu

dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan

kerusakan hutan. (Pasal 50 ayat (2))

3. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan

hutan secara tidak sah; (Pasal 50 ayat (3) huruf a)

4. merambah kawasan hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf b);

5. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius

atau jarak sampai dengan: a.500 (lima ratus) meter dari tepi waduk

atau danau; b. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan

sungai di daerah rawa; c. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi

sungai; d. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; e. 2

(dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; f. 130 (seratus tiga

puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi

pantai. (Pasal 50 ayat (3) huruf c)

6. membakar hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf d);

7. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam

hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang

(20)

20

8. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,

menyimpan, ataumemiliki hasil hutan yang diketahui atau patut

diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara

tidak sah (Pasal 50 ayat (3) huruf f);

9. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau

eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin

Menteri (Pasal 50 ayat (3) huruf g);

10. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak

dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan

(Pasal 50 ayat (3) huruf h);

11. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk

secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang

(Pasal 50 ayat (3) huruf i);

12. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau

patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam

kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3)

huruf j)

13. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,

memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin

(21)

21

14. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan

kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi

hutan ke dalam kawasan hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf l); dan

15. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan

satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang yang berasal dari

kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. (Pasal 50 ayat

(3) huruf m)

2.4 Tindak Pidana Pembakaran Hutan

Tindakan pembakaran hutan untuk membuka sebuah lahan sebagai lahan

perkebunan jelas dilarang dan jika terjadi kebakaran dalam wilayah hutan industri

yang dikelola suatu korporasi, sudah merupakan kewajiban adanya tindakan

pencegahan dan pengendalian kebakaran dilahannya serta selalu memadamkan

kebakaran yang terjadi. Menurut Leden Marpaung tindakan pembakaran hutan ini

merupakan salah satu jenis tindak pidana kejahatan.39

Mengenai tindak pidana pembakaran hutan, Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan pasal 78 ayat (3) menyebut pelaku pembakaran hutan

dikenakan sanksi kurungan 15 tahun dan denda maksimal Rp 5 miliar. Adapun pasal

78 ayat (4) menyebut pelaku pembakaran hutan dikenakan sanksi kurungan 5 tahun

dan denda maksimal Rp 1,5 miliar. Kemudian Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2004 tentang Perkebunan pasal 48 ayat (1) menyebutkan, seseorang yang dengan

39

(22)

22

sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi kurungan 10 tahun dan

denda maksimal Rp 10 miliar. Dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pasal 108 menyebutkan seseorang

yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi minimal

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan

denda paling sedikit Rp 3 miliar dan paling banyak Rp 10 miliar.

2.4.1 Gambaran Umum Tentang Pembakaran Hutan

Permasalahan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi menjadi

problematika yang mendunia. Khususnya di Indonesia, Provinsi Riau tengah

menjadi sorotan baik dalam berita nasional dan internasional. Karena di

Provinsi Riau terjadi kebakaran hutan dan lahan, yang dampak tidak hanya

dirasakan oleh masyarakat di daerah kebakaran tetapi ada sebagian masyarakat

dunia merasakan dampak kebakaran tersebut yang menimbulkan asap.

Dampak kebakaran hutan dan lahan bisa menyebabkanya penyakit

(ISPA), infeksi saluran pernapasan akut yang bisa saja menimpa semua umur,

dan menggagu kegiatan atau aktivitas masyakarakat karena kabut asap.

penyakit ispa merusak sistem pernafasan, iritasi mata, dan lain-lain. Mayarakat

dunia mengecam pemerintahan Indonesia jika tidak melakukan tindakan

pencegahan kebakaran. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan penyangga

(23)

23

peraturan-peraturan yang dapat mencegah serta mengurangi tingkat kebakaran

yang terjadi. Mulai dari Peraturan Perundang-undangan Tertulis hingga

peraturan dalam bentuk himbauan yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah.

Di lingkup ilmu kehutanan ada sedikit perbedaan antara istilah

kebakaran hutan dan pembakaran hutan. Pembakaran identik dengan kejadian

yang disengaja pada satu lokasi dan luasan yang telah ditentukan. Gunanya

untuk membuka lahan, meremajakan hutan atau mengendalikan hama.

Sedangkan kebakaran hutan lebih pada kejadian yang tidak disengaja dan tak

terkendali. Pada prakteknya proses pembakaran bisa menjadi tidak terkendali

dan memicu kebakaran.

Pada bagian penjelasan umum dalam Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 50 huruf d menjelaskan Pada prinsipnya

pembakaran hutan dilarang. Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan

hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan, antara lain

pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta

pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran secara

terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang.40

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan pengertian pembakaran hutan

yaitu, Suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan

40

(24)

24

kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis

dan atau nilai lingkungan.41

Menurut pakar kehutanan, Prof. Bambang Hero Saharjo pengertian

pembakaran hutan ialah, pembakaran yang penjalaran apinya bebas serta

mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan seperti serasah, rumput,

ranting/cabang pohon mati yang tetap berdiri, log, tunggak pohon, gulma,

semak belukar, dedaunan dan pohon-pohon.”42

Kebakaran-kebakaran yang sering terjadi digeneralisasi sebagai

kebakaran hutan, padahal sebagian besar (99,9%) kebakaran tersebut adalah

pembakaran yang sengaja dilakukan maupun akibat kelalaian, baik oleh

peladang berpindah ataupun oleh pelaku binis kehutanan atau perkebunan,

sedangkan sisanya (0,1%) adalah karena alam (petir, larva gunung berapi).

Saharjo (1999) menyatakan bahwa baik di areal HTI, hutan alam dan

perladangan berpindah dapat dikatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan

di Indonesia adalah berasal dari ulah manusia, entah itu sengaja dibakar atau

karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada saat penyiapan lahan.

Bahan bakar dan api merupakan faktor penting untuk mempersiapkan lahan

pertanian dan perkebunan (Saharjo, 1999). Pembakaran selain dianggap mudah

dan murah juga menghasilkan bahan mineral yang siap diserap oleh tumbuhan.

41 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. 42 Saharjo, B.H. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Yang Lestari Perlukah Dilakukan,

(25)

25

Banyaknya jumlah bahan bakar yang dibakar di atas lahan akhirnya akan

menyebabkan asap tebal dan kerusakan lingkungan yang luas.43

Mengenai permasalahan kebakaran hutan ini yang menimbulkan

pencemaran kabut asap lintas batas negara, pada tahun 1995, ASEAN

Cooperation Plan On Transboundary Pollution (ACPTP), menjadikan Polusi

Asap Lintas Batas atau Transboundary Haze Pollution sebagai salah satu

perhatian umum ASEAN. Pada tanggal 10 Juni 2002, melalui Perwakilan

Menteri Lingkungan Hidup dari masing-masing Negara anggota ASEAN

menandatangani ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution di

Kuala Lumpur, Malaysia. Perjanjian ini mulai berlaku mulai pada hari ke-60,

setelah penyimpanan (deposit) Negara anggota meratifikasi, menerima, dan

menyetujui, perjanijan tersebut. 6 Di antara lain 7 negara anggota ASEAN,

(Brunei, Laos, Myanmar, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam).

Sedangkan Indonesia, yang telah menyebabkan kebakaran hutan,sampai saat ini

belum meratifikasi AATHP. Seperti halnya Perjanjian internasional, AATHP

merupakan persetujuan internasional yang diadakan oleh negara Negara dalam

bentuk tertulis. Pengertian perjanjian Internasional terdapat dalam Undang

Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar

Negeri dan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dengan

demikian, perjanjian internasional merupakan semua perjanjian yang dibuat

oleh negara sebagai salah satu subyek hukum internasional yang berisi

ketentuan ketentuan yang mempunyai akibat hukum Dalam hukum

(26)

26

internasional perjanjian internasional yang dibuat dengan wajar menimbulkan

kewajiban kewajiban yang mengikat bagi negara-negara peserta (para pihak),

dan kekuatan mengikat perjanjian internasional terletak dalam adagium Pacta

Sunt Servanda, yang 6 Art.4 ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution, mewajibkan negara negara untuk melaksanakan dengan itikad baik

kewajiban kewajibannya.44

Selain itu, menurut undang-undang kehutanan kegiatan pengendalian

kebakaran hutan mencakup pencegahan, pemadaman hingga ke rehabilitasi

pasca kebakaran. Pengelolaan pengendaliannya dilakukan secara berjenjang

mulai dari pemerintah daerah tingkat II, tingkat provinsi hingga tingkat

nasional.45

2.4.2 Pengaturan Pembakaran Hutan dan Pencegahannya

Mengenai pencegahan pembakaran hutan sebenarnya sudah diatur

dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 4 tahun 2001 mengatur

tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang

Berkaitan dengan Kebakaran dan atau Lahan, sebagai berikut :

Beberapa pengertian dijelaskan pada pasal 1 :

1. Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup

adalah upaya pencegahan dan penanggulangan serta pemulihan

44 Dewi Budiaman, Tanggung Jawab Negara (State Responsibility) Terhadap Pencemaran Udara

Lintas Batas Negara Berdasarkan Asean Agreement On Transboundary Haze Pollution, 2015. http://docplayer.info/397532-Tanggung-jawab-negara-state-responsibility-terhadap-pencemaran-udara-lintas-batas-negara-berdasarkan-asean-agreement-on-transboundary-haze-pollution.html. dikunjungi pada 11 November 2016 pukul 14:39.

45 Cecep Risnandar, Kebakaran Hutan, Jurnal Bumi, 3 Agustus 2016 | 09:25 WIB,

(27)

27

kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan

dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

2. Pencegahan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup

adalah upaya untuk mempertahankan fungsi hutan dan atau lahan

melalui cara-cara yang tidak memberi peluang berlangsungnya

kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan

dengan kebakaran hutan dan atau lahan.

3. Penanggulangan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup

adalah upaya untuk menghentikan meluas dan meningkatnya

kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup serta dampaknya

yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan;

4. Dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan

dan atau lahan adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup

yang berupa kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup

yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan yang

diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan;

Tata laksana pengendalian kebakaran hutan dan lahan diuraikan

pada pasal 11 s/d pasal 16 sebagai berikut :

1. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan

(28)

28

2. Setiap orang berkewajiban mencegah terjadinya kerusakan dan atau

pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran

hutan dan atau lahan.

3. Setiap penanggung jawab usaha yang usahanya dapat menimbulkan

dampak besar dan penting terhadap kerusakan dan atau pencemaran

lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau

lahan wajib mencegah terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan di

lokasi usahanya.

Penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dijelaskan dalam pasal 17

dan pasal 18 sebagai berikut :

1. Setiap orang berkewajiban menanggulangi kebakaran hutan dan

atau lahan di lokasi kegiatannya, dalam penjelasan pasal ini

dikatakan : ”Penanggulangan kebakaran lahan tidak berlaku

bagi masyarakat adat atau tradisional yang membuka lahan untuk

ladang dan kebunnya, kecuali kebakaran lahan tersebut terjadi

sampai diluar areal ladang dan kebunnya. Pembakaran tersebut

dilakukan dengan sengaja dalam rangka menyiapkan ladang dan kebun”.

2. Pedoman umum penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan

ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri yang

(29)

29

dengan Menteri lain yang terkait dan Instansi yang bertanggung

jawab.

Ketentuan lebih lanjut tentang pedoman teknis penanggulangan kebakaran hutan dan

Referensi

Dokumen terkait

bahwa korporasi memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana, dilakukan untuk kepentingan korporasi, korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana, tidak

Dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, penentuan tindak pidana perdagangan orang oleh korporasi tercermin

a) Untuk pelaku setiap orang (orang perorangan dan korporasi) yang melakukan tindak pidana perdagangan orang.. 5) Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan

(2) Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korporasi APABILA TINDAK PIDANA TERSEBUT DILAKUKAN OLEH ORANG- ORANG BAIK BERDASARKAN HUBUNGAN KERJA MAUPUN BERDASARKAN HUBUNGAN LAIN,

Berkembanganya kejahatan yang dilakukan oleh korporasi sebagai suatu subjek tindak pidana, maka diperlukan adanya pandangan yang baru tentang pertanggungjawaban pidana

Ketentuan Pasal 6 menyebutkan secara jelas bahwa pidana dapat dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang dalam hal : 1) dilakukan atau diperintahkan

dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya; 2 Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila ndak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan

Barda Nawawi Arief menyimpulkan 11 a: Penentuan korporasi sebagai subjek tindak pidana hanya untuk tindak pidana tertentu, yang diatur dalam. undang- undang khusus;