• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT SAPI BETINA MUDA (JUVENILE)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT SAPI BETINA MUDA (JUVENILE)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT SAPI

BETINA MUDA (JUVENILE)

(Embryo Production Through in Vitro Fertilization (IVF) from Collection of Juvenile Oocytes)

ENDANG TRIWULANNINGSIH, A.LUBIS, P.SITUMORANG danT SUGIARTI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT

Breeding improvement in cattle has made much progress over several decades due to the use of large-scale field data derived from many herds based on progeny testing of males. At one time, breeding improvement programs of dairy cattle, were based almost exclusively on field progeny testing methods using AI (Artificial Insemination). An advance concept embryo production through in vivo and in vitro fertilization and combination of MOET (Multiple Ovulation and Embryo Transfer) with AI as a new breeding method for use in dairy cattle. Twelve bovines juvenile 4-5 month old were used in this study. All animals were treated with CIDR (Control Intravaginal Device Release) for 5 days before were superovulation with FSH (Follicle Stimulating Hormones) The regimes of FSH ranged from 2.4, 2.8, 3.2 and 3.6 mg as treatment A, B, C and D respectively. FSH was intramuscularly administrated in 6 injections over 3 days with 12 hours interval. Laparotomy were conducted on one day after superovulation treatment and oocytes were matured in TCM-199 medium enriched with FSH 10µl/ml, oestradiol 17 β 1µl/ml and 10% FCS for 24 hours. Total oocytes were collected and total follicle were counted 44, 6, 34 and 14 for treatment A,B, C, D and 74, 24, 71 and 38 for treatment A, B, C and D respectively.The oocytes were fertilized in vitro with motile sperm selection by Percoll gradient and incubation between sperm and oocytes for 20 hours. All zygotes were cultured in CR1aa medium up to 7 days. Percentage of morula for treatment A, C and D were 45.9%, 11.1% and 30.8% respectively. Results of this study concluded that the influence of 2.4 mg FSH and combination with CIDR implantation in 5 days (treatment A) was effective for increasing total follicles and oocytes recovered from juveniles than the other treatments (B,C,D).

Key words: Juvenile, CIDR, oocytes, FSH, laparotomy, in vitro

ABSTRAK

Peningkatan mutu genetik sapi perah telah berkembang pesat saat ini melalui test progeny. Pada sapi perah penggunaan inseminasi buatan (IB) yang dikombinasikan dengan MOET (Multiple Ovulation and Embryo Transfer) dapat mempercepat populasi sapi yang berkualitas unggul. Pengembangan sapi perah melalui transfer in vivo maupun

in vitro embrio kini menjadi salah satu alternatif yang diharapkan dapat mempercepat peningkatan produksi susu. Dua

belas ekor sapi betina muda (juvenile) digunakan dalam penelitian ini. Semua sapi diimplantasi dengan CIDR (Control

Intravaginal Device Release) selama 5 hari sebelum perlakuan superovulasi dengan menggunakan FSH. Dosis FSH

2,4; 2,8; 3,2 dan 3,6 mg sebagai perlakuan A, B, C dan D. Sehari setelah perlakuan superovulasi, dengan laparotomy oositnya dikoleksi untuk kemudian dimatangkan dalam media TCM-199 yang diperkaya dengan FSH 10 µl/ml, estradiol 1µl/ml serta FCS (fetal calf serum) 10% selama 20-24 jam, kemudian difertilisasi dengan menggunakan semen beku dari BIB Singasari dan dikultur secara in vitro dengan menggunakan CR1aa media selama 7 hari. Total jumlah folikel yang dapat dihitung dan jumlah oosit yang dikoleksi adalah 74, 24, 71, 38 dan 44 (59,5%), 6 (12,5%), 34 (47,9%), dan 14 (36,8%) masing-masing untuk perlakuan A, B, C dan D. Persentase morula yang dihasilkan 45,9%, 11,1% dan 30,8% masing-masing untuk perlakuan A, C, dan D sedangkan pada perlakuan B tidak dihasilkan morula. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengaruh induksi 2,4 mg FSH yang dikombinasikan dengan implantasi CIDR selama 5 hari cukup efektif meningkatkan total folikel dan total oosit yang dikoleksi dibandingkan perlakuan B, C dan D.

Kata kunci: CIDR, oosit, FSH, laparotomy, in vitro

PENDAHULUAN

Peningkatan mutu genetik sapi perah telah berkembang pesat saat ini melalui test progeny. Pada sapi perah penggunaan inseminasi buatan (IB) yang dikombinasikan dengan MOET (Multiple Ovulation and

Embryo Transfer) dapat mempercepat populasi sapi yang berkualitas unggul. Pengembangan sapi perah

melalui transfer in vivo maupun in vitro embrio kini menjadi salah satu alternatif yang diharapkan dapat mempercepat peningkatan produksi susu.

(2)

Keberhasilan teknologi fertilisasi in vitro (FIV) ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan mempersiapkan sperma dan oosit dalam kondisi kultur in vitro yang baik untuk aktivitas metabolisme gamet jantan dan betina guna menghasilkan persentase blastosist yang tinggi dan keberhasilan mentransfer embrio hasil FIV. GORDON (1994) menyatakan bahwa faktor utama yang bertanggung jawab terhadap

keberhasilan menghasilkan blastosist antara lain: 1) Cara pengambilan oosit sehingga diperoleh oosit dengan kualitas tinggi 2) adanya sel granulosa disekitar oosit, 3) penggunaan estrous cow serum dan ada tidaknya gonadotropin hormon, 4) penggunaan non-static culture system, 5) penggunaan sperma yang baik kualitasnya setelah dikapasitasi dalam medium fertilisasi, 6) penggunan media kultur. Pemberian hormon gonadotropin dalam media pematangan dapat meningkatkan derajat fertilisasi (TOTEY et al., 1993). Pada

penelitian terdahulu pemberian hormon gonadotropin dapat meningkatkan pembuahan tetapi persentase blastosist masih rendah (SITUMORANG et al., 1998). Perkembangan zigot menjadi blastosist sangat

dipengaruhi oleh kadar glukosa (KIM et al.,1993), oxygen (RIEGER, l992), beberapa enzym yang mengatur

metabolisme glukosa (ROZELLl et al.,1992). Keberadaan tuba falopii sel monolayer pada media kultur

(TRIWULANNINGSIH et al, 1995). MARGAWATI (1996) melaporkan bahwa lama maturasi mempengaruhi persentase blastosist, tetapi leukemia inhibitory factor (LIF) tidak berpengaruh secara nyata.

Kemampuan menampung oosit dari anak sapi betina muda (juvenile) dan mematangkannya secara in

vitro dapat memperpendek generasi interval, sehingga bangsa yang unggul dapat dihasilkan dalam waktu

yang relatif lebih cepat. Primordial folikel untuk cikal bakal oosit telah ada pada ovari sebelum sapi tersebut dilahirkan dan jumlah yang cukup tinggi terdapat pada sapi juvenile yang selanjutnya akan menurun dengan bertambahnya umur sapi karena atresia. Walaupun oosit telah terdapat pada ovari sapi

juvenile, tetapi sapi tersebut belum mampu mengovulasikannya sampai masa pubertas dicapai. Mekanisme

ovulasi dipengaruhi oleh hormon reproduksi. TERVIT (1996) melaporkan bahwa pemberian hormon gonadotropin pada anak sapi umur 3-4 bulan dapat meningkatkan jumlah folikel dan oosit yang tertampung, dimana setiap donor menghasilkan 46-53 folikel dan oosit yang berhasil dikoleksi 22-32, dari jumlah tersebut 21-25% dapat berkembang jadi morula/blastosist dan sekitar 6% dapat berkembang menjadi embrio yang dapat ditransfer. Sedangkan LOHUIS (1995) memperlihatkan bahwa progeny testing pada sapi dewasa dengan MOET dan IVP (in vitro production) embrio dari anak sapi yang berumur 1-5 bulan dapat meningkatkan mutu genetik sapi perah lebih dari 22%. AMSTRONG et al. (1994) melaporkan

bahwa pemberian FSH dengan sekali suntik dan dikombinasikan dengan eCG dapat meningkatkan koleksi oosit dengan interval 3 minggu dari anak sapi yang berumur 3 minggu hingga 9 minggu. REVEL et al. (1995) membandingkan oosit dari anak sapi dengan oosit dari rumah potong hewan (RPH), ternyata rataan persentase blastosist sekitar 10% vs 24% , tetapi AMSTRONG et al. (1997) mendapatkan hasil yang lebih

baik dimana rataan blastosist dari anak sapi 27,5% dan dari sapi dewasa 26%. Embrio dari anak sapi yang dihasilkan telah ditransfer pada 23 resipien dan pada pemeriksaan kebuntingan hari ke 45 menunjukkan , ternyata 43% positif bunting dan telah lahir 7 ekor anak sapi (33% dari embrio yang ditransfer) dengan berat lahir 31+2 kg.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa faktor individu sangat berperan dalam koleksi oosit dari sapi muda. Namun demikian, terobosan penelitian ini sangat penting untuk memperpendek generasi interval. CHIAN et al. (1994) melaporkan bahwa hanya sekitar 40% oosit dari RPH

dapat berkembang menjadi blastosist. Beberapa penelitian terdahulu telah menyimpulkan bahwa keberadaan sel kumulus sangat penting untuk proses induksi reaksi acrosom dari sperma dan untuk mempertahankan derajat fertilisasi yang tinggi dan selanjutnya perkembangan oosit hingga blastosist.

Pada penelitian ini oosit telah ditampung dari anak sapi betina umur sekitar 5 bulan dengan memberikan kombinasi hormon FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan CIDR (Control Intravaginal

Device Release) yang berisi 0,3 progesterone dalam inert silicone elastomer.

MATERI DAN METODE

Dua belas ekor anak sapi betina muda (juvenile) umur 4-5 bulan dipergunakan dalam penelitian ini. Sapi dibagi dalam 4 perlakuan, masing-masing 3 ekor per perlakuan sebagai ulangan. CIDR (Control

Intravaginal Device Release) yang berisi 0,3 progesterone dalam inert silicone elastomer (InterAg, 558,

Hamilton, NZ.Australia) yang diimplantasikan selama 5 hari ke dalam vagina sapi juvenile. Pada sore hari ke-5 CIDR dicabut dan hari ke-6 pagi hari mulai diberi FSH selama 3 hari dengan metode menurun dengan

(3)

interval 12 jam. Perlakuan FSH sbb. A= 2,4 mg, B=2,8 mg, C=3,2 mg dan D= 3,6 mg FSH yang diproduksi oleh Research Institute of Animal Science Malianwa, Haidian-Beijing, China.

Operasi laparotomy dilakukan sehari setelah perlakuan berakhir. Oosit diaspirasi langsung dari folikel dengan jarum suntik 18 G dalam 10 ml syringe dengan media TL Hepes

(N-[2-Hydroxyethyl]piperazine-N’-[2-ethanesulfonic acid) dan sesegera mungkin dipindah-kan kedalam tabung kerucut yang bervolume 15

ml dan disimpan dalam termos bersuhu 37°C dalam media TL Hepes yang diberi heparin 25 µl/50 ml media guna menghindari koagulasi, kemudian langsung dibawa ke laboratorium untuk dicuci dengan media TL Hepes tanpa heparin dan dikultur dalam media TCM-199 yang ditambahkan FSH 10µl dan estrogen 2.5 µl dan gentamycine 2.5µl per 10 ml media maturasi. Maturasi oosit selama 24 jam dalam 5% CO2 incubator yang bersuhu 39°C dan kelembaban nisbi (RH) 90%.

Fertilisasi in vitro dilakukan setelah oosit dimatangkan selama 24 jam dengan menggunakan sperma beku dari BIB (Balai Inseminasi Buatan) Singosari yang telah dikapasitasi dengan metode Percoll Gradient (90% dan 45%) seperti yang telah dilakukan pada penelitian terdahulu (TRIWULANNINGSIH et al.,1999).

Setiap 10 oosit diinkubasi bersama 2µl sperma yang diberi 2 µl phe (phenicilamine hypotaurine

epinephrine) dan 2 µl heparin dalam 44 µl fertilisasi media dan disimpan didalam CO2 inkubator .

Kultur zigot dilakukan setelah inkubasi oosit dan sperma selama 20 jam. Oosit dicuci dengan menggunakan TL Hepes, lalu divortex selama 3 menit dan dicuci kembali dengan TL Hepes dua kali kemudian dimasukkan dalam media kultur CR1aa (25 oosit yang difertilisasi per 100 µl media) selama 7 hari. Pada hari ke-6 diberi tambahan serum sebanyak 5 µl/50 µl media.

Pengamatan dilakukan terhadap zigot yang telah dikultur selama 7 hari. Analisa statistik dilakukan dengan rancangan acak lengkap terhadap jumlah folikel dan oosit yang berhasil ditampung dan dikultur hingga blastosist.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemberian FSH dalam berbagai dosis (2,4 mg vs 2,8 mg vs 3,2 mg vs 3,6 mg) ternyata berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap jumlah folikel maupun oosit tertampung. Dari hasil penelitian ini didapat bahwa pemberian 2.4 mg FSH yang dikombinasikan dengan implantasi CIDR yang berisi 0,3 g progesterone selama 5 hari memberikan hasil yang terbaik untuk memproduksi embrio secara in vitro, sesuai dengan penelitian terdahulu (LUBIS et al,. 2000). Tabel 1 memperlihatkan pengaruh dosis FSH dan implantasi

CIDR pada anak sapi betina muda (juvenile) terhadap jumlah folikel dan oosit. Sedangkan Tabel 2 memperlihatkan jumlah oosit yang terkoleksi dan perkembangan embrio sampai hari ke 7.

Tabel 1. Pengaruh dosis FSH terhadap jumlah folikel dan oosit yang terkoleksi.

Perlakuan No.Sapi Fol.Kiri Jumlah osit kiri

Fol.Kanan Jumlah oosit kanan Total oosit A 033 3 1 3 2 3 A 026 10 2 12 8 10 A 031 20 15 26 16 31 B 028 6 1 0 0 1 B 035 8 2 3 0 2 B 030 6 0 0 0 0 C 029 18 6 12 5 11 C 034 10 5 7 4 9 C 027 14 8 10 6 14 D Hitam 4 3 4 2 5 D 032 4 1 8 1 2 D Putih 8 2 10 5 7

(4)

Perlakuan FSH Jumlah oosit Jumlah zigot Jumlah Cleavage Jumlah morula Jumlah Unfertilized A (2,4 mg) 44 37 6 17 (45,9%) 14 B (2,8 mg) 3 0 0 0 0 C (3,2 mg) 34 27 7 3 (11,1%) 17 D (3,6 mg) 14 13 3 4 (30,8%) 6

Dari hasil tersebut diatas, ternyata respons terhadap perlakuan yang diberikan pada sapi juvenile sangat tergantung pada reaksi individu. Perlakuan A (2,4 mg FSH dan implantasi CIDR selama 5 hari) adalah merupakan perlakuan terbaik dalam penelitian ini. Sapi yang mendapat perlakuan B, tidak ada memberi respon terhadap perlakuan hormon, tetapi pada sapi yang mendapat perlakuan A dan C umumnya sangat respons terhadap perlakuan yang diberikan, sedangkan pada perlakuan D, terlihat bahwa sapi menjadi kurang responsive terhadap induksi FSH, mungkin disini terjadi proses feed back mechanism terhadap FSH. Untuk mengatasi hal ini maka pada penelitian yang akan datang, sebelum dilberi perlakuan, ternak sapi juvenile akan diperiksa terlebih dahulu keadaan ovariumnya dengan cara laparoscopy. Apabila ternyata sapi juvenile tersebut ovariumnya rudimenter, maka tidak diikutsertakan dalam penelitian lebih lanjut.

AMSTRONG et al. (1992) melaporkan bahwa penggunaan oosit dari sapi juvenile yang disuntik hormon gonadotropin menyebabkan terjadinya ekspansi sel kumulus dan meiotic maturation dari oosit, yang mengindikasikan terjadinya pematangan oosit. Pada penelitian lebih lanjut AMSTRONG et al. (1994)

melaporkan bahwa oosit yang diambil secara aspirasi folikel dari sapi juvenile yang mendapat perlakuan gonadotropin tidak perlu lagi melalui prosedur maturasi namun langsung difertilisasi secara in vitro, sedangkan oosist yang tidak mengalami ekspansi sel kumulus mendapatkan perlakuan maturasi secara in

vitro terlebih dahulu sebelum memasuki tahap fertilisasi secara in vitro.

Bila pada seekor ternak betina donor yang bagus sekali produksinya (valuable donor) dilakukan TVOR (transvaginal ocytes recovery) atau OPU (ova pick up) setiap minggu dan setiap kali dilakukan OPU diperoleh 5-10 oosit, maka dalam setahun seekor donor dapat menghasilkan 10x52x0,25x0,5x0,5= 32 ekor sapi dara, dengan catatan persentase blastosist 25%, keberhasilan kebuntingan 50% dan ratio jantan dan betina 50%. Pada penelitian yang akan datang rencana akan dilakukan program breeding yang dikombinasikan dengan TVOR-IVP yang antara lain akan memberikan keuntungan a) oosit dapat dikoleksi per minggu selama beberapa bulan, b) embrio dapat diproduksi dari ternak donor yang sedang bunting (0-3 bulan pertama), c) beberapa pejantan dapat diinseminasikan untuk oosit yang dikoleksi dari donor yang spesifik dan d) biaya hormon dapat dihindari karena donor tidak perlu distimulasi dengan gonadotropin hormon. Embrio dari sapi juvenile penting digunakan dalam program peningkatan produksi ternak terutama dalam rangka multiplikasi genotoip yang baru.

AMSTRONG et al. (1997) telah melakukan aspirasi oosit dari anak sapi yang berumur 12 minggu yang

distimulasi dengan FSH memperoleh 33+5 oosit per ekor. Pada umumnya sapi juvenile donor dapat mengurangi dosis hormon dibanding ternak dewasa dengan kualitas oosit yang sama untuk IVP. Embrio dari anak sapi yang dihasilkan telah ditransfer pada 23 resipien dan pada pemeriksaan kebuntingan hari ke 45, ternyata 43% positif bunting dan telah lahir 7 ekor anak sapi (33% dari embrio yang ditransfer) dengan berat lahir 31+2 kg.

DAFTAR PUSTAKA

AMSTRONG, D.T., P.HOLM, B. IRVINE, B.A.PETERSEN, R.B.STUBBING, D. MCLEAN and G.F.STEVENS, R.F.SEAMARK. 1992. Pregnancy and livebirth from in vitro fertilization of calf oocytes collected by laparoscopic follicular aspiration. Theriogenology 38: 667-678.

AMSTRONG, D.T., B.J.IRVINE, C.R.EARL, D. MCLEAN andR.F.SEAMARK. 1994. Gonadotropin stimulation regimes for follicular aspiration and in vitro embryo production from calf oocytes. Theriogenology 42: 1227-1236.

AMSTRONG, D.T., P.J.KOTARAS andC.R.EARL. 1997. Advance in production of embryos in vitro from juvenile and prepubertal oocytes from the calf and lamb. Reprod. Fertil. Dev. 9: 333-340.

(5)

CHIAN, R.C., K NIWA and M.A.SIRARD. 1994. Effect of cumulus cells on male pronuclear formation and subsequent early development of bovine oocytes in vitro. Theriogenology 41: 1449-1508.

GORDON, I. 1994. Laboratory Production of Cattle Embryos. Dept.of Animal Science and Production. Univ.of College Dublin. Irelend. CAB International.

KIM, J.H., H.FUNAHASHI, K.NIWA andK.OKUDA. 1993. Glucose requirement at different development stages of in vitro fertilized bovine embryo cultures in semi defined media. Theriogenology 39: 875-886.

LOHUIS, M.M. 1995. Potential benefits of bovine embryo-manipulation technologies to genetic improvement programmes. Theriogenology 43: 51-60.

LUBIS, A., P. SITUMORANG, E.TRIWULANNINGSIH dan T.SUGIARTI. 2000. Pengaruh stimulasi CIDR pada pertumbuhan folikel dan jumlah oosit hasil aspirasi secara laparotomy pada sapi juvenile. Unpublished.

MARGAWATI, E.T. 1996. Pengaruh lama maturasi dan leukemia inhibitory factor (LIF) terhadap perkembangan embrio sapi secara in vitro. Jurnal Ilmu Ternak dan Vet. 1 (.3):149-154.

RIEGER, D.1992.Relationship between energy metabolism and development of early mammalian embryos. Theriogenology 37: 75-87.

ROZELL, M.D., J.E.WILLIAMS andJ.E.BUTTER. 1992. Changes in concentration of adenosine triphosphate and adenosine diphosphate in individual preimplantation sheep embryos .J.Biol.reprod. 47: 866-870.

REVELL, F., P. MERMILLOD, N. PEYNOT, J. P. BENARD andY. HEYMAN. 1995. Low developmental capacity of in vitro matured and fertilized oocytes from calves compared to that of cow. J. Reprod. Fertil 103: 115-120.

SITUMORANG, P., E. TRIWULANNINGSIH, A. LUBIS, N. HIDAYATI dan T. SUGIARTI. 1998. Pengaruh penambahan hormon pada medium pematangan terhadap produksi embrio secara in vitro. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner.3 (1):

TOTEY, S.M., C.H.PAWSHE and G.P.SINGH. 1993. In vitro maturation and fertilization of buffalo oocytes: Effects of media, hormone and sera. Theriogenology 39: 1153-1171.

TRIWULANNINGSIH, E., A. LUBIS dan P. SITUMORANG. 1995. Pengaruh jenis serum dan tuba falopii cell monolayer untuk memproduksi embrio secara in vitro. Pros.Sem.Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi II. Puslitbang Bioteknologi LIPI. Hal. 264-268.

TERVIT, H.R. 1996. Laparoscopy/laparotomy oocyte recovery and juvenile breeding. Animal reproduction Science. 42: 227-238.

TRIWULANNINGSIH, E, P. SITUMORANG, A. LUBIS, N. HIDAYATI, T.SUGIARTI, W. CAROLINE, J. J. RUTLEDGE. 1999. Optimalisasi teknologi maturasi, fertilisasi dan kultur media untuk meningkatkan persentase blastosist.

Gambar

Tabel 1. Pengaruh dosis FSH terhadap jumlah folikel dan oosit yang terkoleksi.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian kuasi eksperimen. Hal ini dilakukan untuk melihat pengaruh dari program pembelajaran komputer

globalisasi, dan informasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi melakukan perubahan atau penyesuaian, untuk mendukung kinerja Hakim Konstitusi dalam

Tujuan penelitian yang berjudul analisis gaya bahasa pada novel anak Pondok Senja karya Mulasih Tary adalah untuk mendeskripsikan jenis gaya bahasa dan fungsi gaya

Bagi pemohon WNI membawa persyaratan antara lain Foto Copy KTP, Kartu Keluarga (KK), Akte Kelahiran atau Ijazah, Paspor (bagi yang akan keluar negeri), pasfoto 4 X 6 berjumlah 6

Data dari hasil wawancara dengan informan menunjukkan bahwa motif mahasiswa memilih program studi Pendidikan Agama Islam (PAI) di IAIN Purwokerto, antara lain:

Dari sekian banyak masalah yang dikemukakan, maka masalah yang menjadi pembahasan dalam penelitian ini dibatasi pada pengaruh pelatihan menjahit terhadap

4 Sarana teleconference di bidang teknologi ini, maka yang dahulunya hanya bisa mendengarkan suara lawan bicara saja dari jarak jauh melalui telepon, akan tetapi dengan

semakin sering, kemuadian peserta didik juga mengalami keenganan untuk membuka buku, dan yang menjadi perhatian guru PPKn adalah peserta didik melihat apa yang