II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pusat Perbelanjaan
Kotler dan Armstrong (2006) menyatakan bahwa pusat perbelanjaan adalah sekelompok bisnis eceran yang direncanakan, dimiliki dan dikelola sebagai satu unit.
Pusat perbelanjaan adalah suatu kelompok perbelanjaan (pertokoan) terencana yang dikelola oleh suatu manajemen pusat, yang menyewakan unit-unit kepada pedagang dan mengenai hal-hal tertentu yang pengawasannya dilakukan oleh manajer yang sepenuhnya bertanggungjawab kepada pusat perbelanjaan tersebut (Bednington, 1982).
Menurut Neo dan Wing (2005), pusat perbelanjaan adalah sekelompok lokasi usaha ritel dan usaha komersial lainnya yang direncanakan, dikembangkan, dimiliki dan dikelola sebagai satu properti tunggal.
2.2. Recreational Shopper
Menurut Bellenger dan Korgaonkor dalam Guiry, et.al (2006),
recreational shopper adalah orang-orang yang menikmati belanja sebagai
aktivitas waktu luang, berbeda dengan economic shopper yang tidak mengalami adanya kenikmatan dari proses belanja. Prus dan Dawson dalam Guiry, et.al (2006) mengidentifikasi orientasi rekreasi belanja merangkul pengertian tentang belanja sebagai hal yang menarik, menyenangkan, menghibur dan kegiatan santai. Menurut Guiry, et.al (2006) menyatakan bahwa aktivitas rekreasi belanja yang dicirikan oleh pembelanja yang mengalami kepuasan intrinsik dari proses belanja, baik bersama-sama, atau independen, akuisisi barang dan jasa.
2.3. Recreational Shopper Identity
Guiry et.al (2006) mendefinisikan dimensi Recreational Shopper
Identity (RSI) sebagai konsep diri individu dimana konsumen mendefinisikan
dirinya sendiri dalam hal hiburan atau belanja untuk tujuan rekreasi. Meskipun kenikmatan adalah komponen utama dari rekreasi belanja, rekreasi belanja sebagai rekreasi, atau rekreasi untuk kenikmatan kepuasan-kepuasan,
seperti sebagai sarana mengakui, menghibur, atau mengekspresikan diri sendiri. RSI berkorelasi dengan konstruksi seperti dorongan, spontanitas dan kenikmatan berbelanja. Hal lainnnya ditemukan hubungan antara RSI dan perilaku, seperti uang dibelanjakan di toko-toko, waktu yang dihabiskan di toko, belanja frekuensi dan kegiatan seperti kegiatan mal, makan di luar dan hiburan.
2.3.1 Aktivitas mall
a. Sosialisasi
Sosialisasi, atau berinteraksi dengan orang lain adalah alasan lain konsumen pergi berbelanja. Konsumen diketahui ingin menonton dan bertemu orang lain saat berbelanja dan menikmati menjadi bagian dari kerumunan (Dawson, et.al dalam Karande dan Merchant, (2012). Pada kenyataannya, Argo, et.al dalam Karande dan Merchant (2012) menemukan bahwa pembeli memiliki kebutuhan saat berbelanja dan bahwa sosialisasi semacam ini memberikan manfaat emosional kepada konsumen.
b. Passing time
Browsing merujuk kepada konsumen yang mencari informasi
baru tentang produk, terlepas dari apakah benar-benar membeli apa-apa (Punj dan Stealin dalam Karande dan Merchant, 2012). Beatty dan Ferrell dalam Karande dan Merchant (2012) mengusulkan bahwa kenikmatan belanja meningkatkan perilaku browsing di antara konsumen. Demikian pula, MacInnis dan Price dalam Karande dan Merchant (2012) menemukan bahwa konsumen yang terlihat untuk belanja sebagai sarana untuk rekreasi memperoleh kenikmatan dari proses browsing, atau melihat sekeliling. Oleh karena itu, diharapkan ada hubungan positif antara RSI dan perilaku
browsing.
2.3.2 Dimensi leisure
Mowen dan Minor (2002) menyatakan bahwa waktu luang adalah multidimensional dan sejumlah kebutuhan yang berbeda akan mendorong orang untuk mencarinya. Sebagai contoh, orang-orang
menggunakan kegiatan waktu luangnya untuk mengekspresikan dirinya kepada orang lain, juga menggunakannya untuk memperolah kesenangan dan mempertahankan tingkat stimulasi optimalnya.
Alasan prinsip lainnya yang berhubungan dengan kegiatan non kerja adalah :
a. Keinginan untuk mendapatkan kepuasan intrinsik. Disini kegiatan dipandang oleh konsumen sebagai penghargaan untuk dirinya sendiri-sebagai contoh, membaca sebuah buku yang bagus. Akan tetapi, melakukan kegiatan ini tidak menghasilkan penghargaan ekstrinsik-moneter atau sebaliknya. Beberapa ahli teori bahkan berargumentasi bahwa kepuasan intrinsik merupakan unsur kunci dalam mendefinisikan waktu luang dan semua konsep lain yang hanya menjelaskan bagaimana kepuasan intrinsik diperoleh.
b. Keterlibatan dalam kegiatan. Di sini kegiatan begitu mengasyikkan, sehingga orang melupakan semua hal tentang kehidupan sehari-hari ketika sedang melakukannya-contohnya, ketika sedang bermain bola basket, seorang anak muda menjadi begitu asyiknya, sehingga tidak ada yang menghalangi antara dirinya dan kegiatan yang menyenangkan itu.
c. Kebebasan yang dirasakan. Di sini kegiatan dilakukan sama sekali tanpa paksaan. Orang memiliki kebebasan yang dirasakan (perceived freedom) untuk melakukan, atau tidak melakukannya-sebagai contoh, mandi dengan air hangat yang lama dan mewah. Kegiatan-kegiatan yang wajib seseorang lakukan dikategorisasikan sebagai kegiatan non waktu luang, sementara segala yang bebas untuk dilakukan, atau tidak dikategorisasikan sebagai kegiatan waktu luang.
d. Penguasaan terhadap lingkungan atau diri sendiri. Di sini orang berusaha untuk mempelajari hal-hal yang baik, atau menangani beberapa kendala. Idenya untuk menguji diri sendiri, atau mengatasi lingkungan-sebuah contoh kegiatan yang memberikan kedua (2) jenis penguasaan ini adalah mendaki gunung. Olahraga
dan pertandingan intelektual seperti catur sangat kondusif untuk menimbulkan perasaan menguasai.
e. Dorongan. Kebutuhan akan dorongan adalah motivator utama dari kegiatan waktu luang. Pengisian waktu luang dengan hal-hal yang baru, kompleks dan berisiko secara temporer dapat meningkatkan tingkat dorongan dalam diri konsumen, yang menghasilkan perasaan yang menyenangkan. Contohnya adalah bungee
jumping.
2.3.3 Shopping Behaviour
Memahami perilaku belanja dari konsumen adalah penting untuk peritel (Dawson, et.al dalam Karande dan Merchant, 2012). Penelitian terdahulu ini telah memeriksa berbagai bentuk kegiatan dari perilaku belanja konsumen, termasuk (tapi tidak terbatas) jumlah uang yang dikeluarkan belanja oleh konsumen per frekuensi berbelanja dan melakukan perjalanan (Dawson, et.al dalam Karande dan Merchant, 2012), waktu yang dihabiskan untuk belanja dan kategori item yang dibeli (Hui et.al dalam Karande dan Merchant, 2012), manfaat emosional yang didapat dari belanja (Dawson, et.al dan Eroglu et.al dalam Karande dan Merchant, 2012), perilaku browsing (Beatty and Ferrell, 1998) dan perilaku bersosialisasi saat berbelanja (Argo, et.al dalam Karande dan Merchant, 2012).
2.4. Shopping Enjoyment
Sejumlah motif yang tidak ada hubungannya dengan produk yang secara nyata dibeli atau dengan kebutuhan terhadap suatu produk (Tauber dalam Pali dan Murwani, 2007), yang disebut oleh Jin dan Kim dalam Pali dan Murwani (2007) sebagai "shopping to enjoy the activity". Dengan kata lain, motif berbelanja tidak semata-mata ditentukan oleh motif untuk membeli produk (buying motive) (Tauber dalam Pali dan Murwani, 2007).
2.5. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Karande dan Merchant (2012) melakukan penelitian dengan judul The
Impact of Time and Planning Orientation on an Individual’s Recreational Shopper Identity and Shopping Behaviour dengan confirmatory factor
analysis. Hasilnya, orientasi sekarang dan masa depan berdampak nyata
terhadap perilaku belanja. Keseluruhan varians dijelaskan peubah endogen dengan baik dan semua hubungan hipotesis, kecuali untuk efek dari masa lalu dan masa depan orientasi (H1a dan H2a pada impulsif) dan efek kehati-hatian pada RSI (H4b) yang didukung. Konsumen yang lebih bijak cenderung menampilkan dan kontrol diri daripada konsumen kurang bijak. Efek ini dapat bervariasi, tergantung pada para konsumen yang terlibat dalam berbelanja. Ketika konsumen terlibat dalam belanja sangat tinggi, konsumen dengan kehati-hatian tinggi cenderung melihat belanja sebagai sebuah jalan untuk mengekspresikan diri daripada tingkat kehati-hatian konsumen rendah. Dengan demikian, alasan untuk kehati-hatian yang rendah berpengaruh kepada RSI, menginisiasikan benar tentang hubungan yang melibatkan para pelanggan
Guiry, et.al (2006) melakukan penelitian berjudul Defining and
Measuring Recreational Shopper Identity dengan confirmatory factor analysis. Hasilnya, RSI berkorelasi nyata dengan skala dimensi leisure, RSI
berkorelasi kuat dengan kepuasan intrinsik; RSI berkorelasi lemah dengan persepsi kebebasan; RSI berkorelasi kuat dan nyata dengan penguasaan. Subskala spontanitas memiliki korelasi nyata, tetapi biasa. Intinya, skor skala RSI berkorelasi nyata dengan empat (4) dimensi, yaitu kepuasan intrinsik,
arousal, penguasaan dan keterlibatan, yang berkorelasi lemah adalah persepsi
kebebasan dan spontanitas. RSI berkorelasi lemah sedang terhadap
materialism dan compulsive buying. Skala RSI berkorelasi nyata terhadap tiga
(3) dari empat (4) dimensi mall activities; hanya lemah dengan dimensi “makan di mall”. Korelasi terkuat dengan melewati waktu. Socializing dan
entertainment juga berkorelasi nyata dengan RSI. RSI berkorelasi kuat
dengan menghabiskan waktu dalam belanja sebagaimana halnya frekuensi belanja.
Ekowati (2008) melakukan penelitian berjudul Pengaruh Recreational
Shopper Identity pada Shopping Enjoyment yang dimoderasi oleh Gender.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa recreational shopper identity berupa
pengaruh positif pada shopping enjoyment. Hasil penelitian menunjukkan bahwa materialism tidak berpengaruh secara positif pada shopping
enjoyment. Berdasarkan analisis secara terpisah untuk setiap dimensi, yaitu materialism, compulsive buying, leisure dan mall activities sebagai peubah,
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk dimensi materialism, leisure,
dan mall activities, gender memoderasi pengaruh masing-masing peubah
pada shopping enjoyment. Sedangkan untuk dimensi compulsive buying, gender tidak memoderasi pengaruh peubah ini pada shopping enjoyment.