• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembaruan Tasawuf Nusantara: Kasus di Abad XVII XIX M. Oleh: Miftah Arifin *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pembaruan Tasawuf Nusantara: Kasus di Abad XVII XIX M. Oleh: Miftah Arifin *"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Miftah Arifin Abstrak

Tasawuf Nusantara pada awal perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari mazhab Arabian (Ibnu Arabi) dengan tasawuf wujudiyah yang kemudian menimbulkan berbagai macam polemik. Para sufi Nusantara yang terlibat dalam polemik tersebut ada yang mencoba melakukan rekonsiliasi sekaligus pembaruan tasawuf. Munculnya ajaran martabat tujuh yang sangat dikenal di masyarakat Jawa yang merupakan rentetan ajaran yang berpusat pada mazhab Arabian menjadi momentum penting dalam pembaruhan tasawuf Nusantara. Pada akhirnya Ajaran tasawuf wujudiyah di Nusantara senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan serta mengarah menjadi lebih sesuai dengan semangat neo sufisme.

Kata kunci: tasawuf, martabat tujuh, neo sufisme. A. Pendahuluan

Dalam tradisi khazanah intelektual (tasawuf1) Islam, munculnya dua

aliran besar yakni golongan al-Khurasani dan golongan Baghdadi memicu lahirnya pertentangan dalam dunia Islam. Aliran Khurasanian bercirikan dengan pengutamaan tawakkul, penyerahan diri kepada kehendak Tuhan yang diekspresikan melalui hidup dengan penuh kemelaratan dan menjauhi kehidupan dunia. Tasawuf ini dikatakan memiliki

* Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jember.

1 Terkait dengan asal mula sufisme Islam ini dapat dikemukakan bahwa dalam

Literatur Islam, perkembangan doktrin tasawuf telah dimulai pada masa-masa Rasul, mulai abad-abad pertama Hijriah. Adanya gerakan-gerakan zuhud (Ascetism) oleh para shahabat Nabi semisal Abu Dzar al-Ghiffari, yang kemudian dilanjutkan oleh Hasan Basri (w. 110 H.), Ibrahim bin Nadham (w. 60 H.) ataupun Rabiah al-Adawiyah (w. 185 H.)Mengenai perkembangan doktrin sufi ini dan tokoh-tokohnya dapat dibaca dalam Abu al-Wafa al-Taftazani, Madkhal ila al-Ta¡awuf al-Islam, (Kairo:Dar al-Tsaqafah, 1983), Nicholson, “Sufis,” dalam Encyclopaedia of Religion and Ethics, Vo 12. (New York: Charles Scribers, t.t.). Setelah itu terma-terma sufi mulai menyeruak dalam literatur Islam. Meskipun dalam literatur sulit dikemukakan dengan pasti kali pertama munculnya istilah sufi, namun dalam prakteknya hal itu dapat dengan mudah kita temukan bahwasanya ada dimensi tasawuf dalam literatur Islam. Kemudian para ahli sejarah dan para pemerhati tasawuf mulai mereka-reka teori terbentuknya kata tasawuf itu.Kaum orientalis menyebut istilah tasawuf dalam Islam dengan The Mystic of Islam atau Sufism atau Islamic Mysticism, semisal AJ. Arberry menyebut hal ini dengan Sufism, A. Nicholson menyebutnya dengan The Mystic of Islam. Lihat Nicholson, The Mystics of Islam, (London: Routledghe Kegan and Paul, 1975), atau Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimension of Chapel Hill, (California: The University of North Califoenia Press, 1975).

(2)

kecenderungan untuk menyalahi prilaku keagamaan yang sudah baku di kalangan masyarakat Islam dan bahkan ada kesan cenderung mengabaikan syari’at dalam mencari dan merealisasikan pengalaman religius yang transenden. Eksponen utama aliran ini adalah Abu Yazid al-Bustami dengan doktrin fana’, baqa’ serta kemabukannya untuk berittihad dengan Tuhan yang diekspresikan dalam syatahat, al-Hallaj2 dengan konsep hululnya dengan ucapannya Ana al-Haqq yang menggemparkan dunia Islam sehingga al-Hallaj dihukum mati oleh penguasa, atau ªDzun al-Nun al-Misri (w. 245/859) dihukum mati oleh ahli hukum mazhab Maliki Mesir.3

Aliran kedua adalah Aliran Bagdadi. Aliran ini menolak asketik yang radikal dan konsep penyatuan diri dengan Tuhan. Aliran ini memegang teguh pada al-Qur’an dan Syari’at, dan dalam prakteknya aliran ini lebih mampu berinteraksi dengan masyarakat Islam dalam prilaku keagamaannya pada umumnya. Al-Harits Muhasabi (w. 243 H.) dan al-Junayd (w. 298 H.) adalah eksponen utama aliran ini.4 Mereka

mengutamakan pencapaian akhlak yang sempurna dengan melaksanakan syari’at dan prinsip-prinsip teologi. Mereka ini kelak bersama dengan murid-muridnya merupakan cikal bakal munculnya aliran tarekat sufi dalam Islam.5

Penentangan terhadap aliran Khurasanian ini bukan hanya dilakukan oleh golongan sufi (aliran Baghdadi) tetapi juga oleh kaum teolog dan fuqaha. Namun justru dari golongan teolog dan fuqaha inilah penolakan terhadap tasawuf yang seperti tersebut tampak sangat jelas. Kasus-kasus yang dialami oleh para tokoh sufi dilakukan oleh para teolog dan fuqaha yang berkolaborasi dengan penguasa. Di antaranya adalah ªDzun al-Nun al-Misri (w. 245/859) dihukum mati oleh fuqaha mazhab

2 Kasus matinya al-Hallaj dengan ucapannya Ana al-Haqq ini lebih dimungkinkan

terjadi karena faktor-faktor politik dibanding terjadi karena faktor agama. Bila diteliti dan dianalisa lebih lanjut bahwa jika dibandingkan dengan Abu Yazid al-Bustami dengan syatahat-syatahat nya maka syatahad al-Hallaj masih berada satu tingkat dibawah Abu Yazid ini. Lebih lanjut lihat Harun Nasution, Fasafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).

3 Lihat J Spencer Trimingham, The Sufi Order in Islam, (London: Oxford Univ.

Press, 1971), p. 45.

4 Ira M Lapidus, History of Islamic Societies, (Cambridge: Cambridge University

Press, 1993), pp. 90–94. Lihat juga Bernard Lewis, et, all Ed., The Encyclopaedia of Islam, (London: Penguin, 1965), p. 600.

5 Lihat Abu al-Wafa al-Taftazani, al-Madkhal..., pp. 16-20. Bahasan lebih lanjut

dapat dilihat dari karya Margaret Smith, Studies in Early Mysticism in the Near and Midlle East. (London: Oxford Univ. Press, 1931), lihat juga J Spencer Trimingham, The Sufi Orders..., 1973, p. 4.

(3)

Maliki Mesir, ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Hakam.6

Sementara itu, dalam kasus polemik doktrin wujudiyah di Indonesia, para ulama secara umum terbagi menjadi dua golongan. Di satu sisi ada ulama yang menganut doktrin wujudiyah ini dan di sisi lain terdapat ulama yang menolak secara keras ajaran wujudiyah ini sebab dianggap telah menyimpang dari ajaran yang benar. Secara historis, pertentangan ini bukan hanya sebatas wacana intelektual belaka, bahkan terjadi konflik horisontal secara fisik seperti yang di belahan dunia Islam lainnya (kasus Al-Hallaj, Shihabudin Suhrawardi). Kasus Nur Din al-Raniri dengan para pengikut Hamzah Fanzuri di Aceh, atau peristiwa hukuman mati terhadap Siti Jenar di Jawa, dan atau peristiwa hukuman mati Abdul Hamid di Kalimantan, serta beberapa kasus di tanah Jawa menjelaskan keadaan-keadaan ini.

Untuk mengeliminasi persoalan-persoalan ini, para ulama yang datang belakangan semisal al-Singkili, atau al-Palimbani mencoba membuat sintesa-sintesa dan kemasan-kemasan yang baru dengan tujuan agar konflik horisontal keagamaan ini tidak semakin menjadi. Jalan yang diambil oleh ulama-ulama seperi ini memiliki karakteristik dan kecenderungan yang nampak hampir sama dalam mencari jalan tengah konflik yang ada.

B. Karakteristik dan Kecenderungan

Ulama-ulama Nusantara pasca polemik al-Raniri di Aceh melakukan usaha yang sistematis untuk “meluruskan” pemahaman terhadap doktrin wujudiyah serta melakukan rekonsiliasi antara golongan-golongan yang saling bertikai. Hal ini dilakukan sebab dalam sejarahnya, para ulama tidak bisa mengabaikan tradisi intelektual mazhab al-Hallaj atau Ibn Arabi ini. Meski ajaran ini ditentang dan ditebang secara paksa, namun selalu saja ia muncul di masyarakat. Maka yang dilakukan adalah upaya untuk membuat penafsiran ulang atas doktrin-doktrin wujudiyah sehingga tidak berlebih-lebihan atau dalam ungkapan yang lebih samar dan mungkin lebih ringkas. Di sisi lain golongan yang dicap sebagai penganut doktrin ini dicoba untuk disadarkan kembali. Tak pelak lagi sesungguhnya tema sentral yang dilakukan oleh para ulama-ulama Nusantara pada abad ketujuh belas seperti al-Singkili dan generasi berikutnya adalah sesungguhnya rekonsiliasi tasawuf Islam.

Yang dilakukan oleh para sufi pembaharu adalah di samping membuat penjelasan dan penafsiran doktrin Wahdat al-Wujud secara lebih jelas dan mudah agar tidak keliru, mereka juga selalu menekankan

(4)

pentingnya syari’ah dalam mencapai jalan mistis. Salik ketika hendak menjalani jalan mistis maka ia harus melaluinya dengan menjalankan syari’at, sebab hanya dengan berpegang teguh pada syari’ahlah seorang salik dapat menjalani jalan mistis secara benar. Para tokoh Nusantara seperti al-Raniri, al-Sinkili, al-Palimbani di Sumatera, Abdul Muhyi Pamijahan, Abdullah bin Abdul Qahhar di Jawa dan sebagainya adalah terkenal sebagai orang yang mumpuni dalam bidang-bidang ilmu syari’at. Al-Raniri bukan hanya mengarang kitab-kitab tentang tasawuf saja melainkan menghasilkan karya yang lain dalam bidang fiqih. Al-Sinkili bukan hanya mengarang kitab tasawuf, tetapi juga dalam bidang fiqih, dan tafsir, demikian juga ulama-ulama yang lainnya. Bahkan dalam menempuh jalan mistis al-Palimbani mewajibkan seorang salik harus mencari seorang guru dan pasrah seperti mayat di tangan orang yang memandikannya, setelah sang murid dibaiat dan bersumpah setia untuk patuh kepada gurunya.7

Kecenderungan kedua dalam pembaruan doktrin wahdat al-wujud adalah menghilangkan ungkapan yang berlebih-lebihan terhadap pemahaman dan pengungkapan doktrin ini, dengan menegaskan perbedaan yang tegas antara Tuhan dengan makhluk, bahwa Tuhan tetap Tuhan sekalipun ia turun (tanazzul) dan hamba tetaplah hamba sekalipun ia naik (taraqqi). Kasus Nur al-Din al-Raniri dalam berpolemik dengan para pengikut Hamzah Fansuri, misalnya dapat dilihat sebagai salah satu upaya dia untuk melakukan pembaruan terhadap pemahaman doktrin wujud. Meskipun ia menyerang pemahaman para pengikut dari Hamzah Fanzuri, tetapi di sisi lain ia membenarkan doktrin wujudiyah yang dikemukakan oleh ibn Arabi, dan sebaliknya ia menuduh bahwa pengikut dari Hamzah Fanzuri telah memahami secara salah doktrin wujudiyah dari Ibnu Arabi. Menurut al-Raniri, Hamzah Fanzuri dan para pengikutnya telah menyelewengkan ajaran wujudiyah dari jalur yang sebenarnya dan menganggap sama antara Tuhan dengan alam seperti yang diungkapkannya dalam perdebatan yang terjadi antara dia dengan pengikut Hamzah Fanzuri atau Syams al-Din al-Sumatrani di depan penguasa kesultanan Aceh.

Al-Raniri bukannya tidak memahami doktrin wujudiyah, tetapi yang dilakukannya adalah agar para pengikut Hamzah Fanzuri tidak berlebih-lebihan dalam menjelaskan doktrin wujudiyah sehingga dipahami secara salah. Dalam berbagai tulisannya, al-Raniri menegaskan bahwa Tuhan dengan makhluk adalah beda, dan konsep ini ditegaskannya

7 Abd al-Shamad Al-Palimbani, Siyar al-Salikin ila Ibadah Rabb al-‘Alamin, (Beirut:

(5)

ulang, sembari dengan mengutip perkataan para tokoh-tokoh seperti al-Qusyasyi, atau bahkan Muhammad ibn Fadlullah al-Burhanpuri. Kutipan dan rujukan yang dilakukannya ini menunjukkan bahwa tentu saja al-Raniri mengenal tokoh-tokoh ini.8 Atau paling tidak al-Raniri sadar bahwa

tokoh-tokoh tersebut memiliki otoritas yang lebih diakui dibandingkan dengan yang lainnya dalam kaitan dengan doktrin wujudiyah.

Ini bukan hanya dilakukan oleh al-Raniri saja, namun tokoh sufi yang datang kemudian seperti Sinkili, Palimbani, Banjari, al-Maqassari, melakukan hal sama, yaitu dengan menegaskan berulang-ulang perbedaan antara Tuhan dengan hamba. Hal ini dibarengi dengan selalu mengutip para ulama yang memiliki otoritas keilmuan dalam berbagai karyanya. Ini menunjukkan kecenderungan yang sama dari pembaruan doktrin wujudiyah yang dilakukan oleh para ulama di Timur Tengah seperti Qusyasyi, Kurani, Al-Nakhli, Mizjaji atau Abd Allah al-Bashri yang mereka bukan hanya mumpuni dalam bidang mistis melainkan juga mumpuni dalam bidang ilmu syari’at.

Pembaruan yang dilakukan oleh ulama di Indonesia, bila dilihat mewakili kecenderungan dunia Islam secara umum, yang oleh Rahman diistilahkan dengan neo-sufisme. Neo sufisme pada umumnya diartikan sebagai sebuah gerakan yang dicirikan sebagai gerakan yang menolak terhadap tasawuf yang berlebihan (extravagant), mengutamakan sisi eskatisme dan metafisika sufi, namun lebih mengutamakan dan menyukai pengamalan yang secara ketat berpegang kepada syari’ah. Definisi yang lebih jelas tentang makna dan penggunaan istilah neo sufisme dikemukakan oleh Fazlur Rahman. Menurutnya neo sufisme adalah tasawuf yang telah diperbaharui terutama dilucuti dari kandungan eskatisme dan kandungan metafisikanya, dan digantikan dengan dalil-dalil ortodoksi. Tasawuf baru ini lebih menekankan dan memperbaharui faktor moral dan mengorbankan sifat-sifat yang berlebihan dari tasawuf yang menyimpang, sebab pusat perhatian neo sufisme adalah rekonstruksi sosio moral masyarakat Muslim. Hal ini berbeda dengan ciri tasawuf sebelumnya yang lebih mengutamakan bentuk-bentuk kesalehan individu dibandingkan dengan masyarakat.9 Sementara Trimingham10 mengatakan hal ini dengan sebutan jalan tengah yaitu menggabungkan antara fiqih dan tasawuf.

Di sisi yang lain, bila diperhatikan pembaruan yang dilakukan oleh para sufi terhadap doktrin wujudiyah, biasanya selalu diawali dari elit

8 Al-Raniri, Asrar al-Insan, (Jakarta: Perpustakaan Nasional, tth.), p. 442. 9 Lihat Fazlurrahman, Islam, (Chicago: Chicago University Press, 1979), p. 195. 10 Lihat J Spencer Trimingham, The Sufi Order..., pp. 220-225.

(6)

politik istana. Al-Raniri ketika mengadakan pembaruan di Aceh, maka yang pertama kali disentuh adalah istana kerajaan Aceh, sehingga yang terjadi kemudian yang bersangkutan diangkat menjadi qadhi (pemuka agama tertinggi). Untuk bisa menduduki jabatan tersebut tentu saja bukan pekerjaan yang mudah, sebab harus bisa merebut hati raja dan menyakinkan kepada raja bahwa jabatan ini lebih sesuai untuknya. Ketika jabatan ini sudah melekat padanya, maka gagasan pembaruan akan lebih mudah tercapai. Hal ini bukan hanya dilakukan oleh al-Raniri, melainkan juga oleh al-Sinkili yang ketika menjalankan doktrin pembaruannya dimulai dari istana.

Hal ini menjelaskan pentingnya posisi istana (elit politik) dalam perkembangan Islam di Indonesia. Dalam situasi sosial masyarakat feodal, pemimpin memiliki peran strategis untuk mempengaruhi masyarakat di bawahnya, terlebih dalam tradisi budaya keraton Jawa, Raja merupakan panutan bagi seluruh kawulanya, semua titahnya merupakan perintah yang wajib dilaksanakan. Kondisi ini bukan tidak mungkin tidak diketahui oleh para alumni Timur Tengah yang kembali dari Timur Tengah, sebab biasanya ketika kembali dari Timur Tengah, mereka mendekati pusat kekuasaan meskipun hal itu tidak semua. Akan tetapi paling tidak, istana menjadi target mereka untuk melakukan dakwah Islam. Di sisi lain, keraton memandang bahwa para ulama ini tidak boleh dibiarkan begitu saja, sebab memiliki banyak potensi yang bisa dimanfaatkan untuk menambah wibawa di masyarakat.

C. Ortodoksi dan Rekonsiliasi Tasawuf Islam

Pembaruan doktrin wahdat al-wujud ini berkembang sebagai sintesis dari tumbuhnya tradisi sufi yang ekstravagan (berlebih-lebihan) sehingga kehadirannya justru menimbulkan masalah baru, apalagi ketika fenomena tasawuf yang berlebih-lebihan tersebut bukan sebatas konsumsi pribadi tetapi sudah tersebar di masyarakat secara luas, serta dalam kepentingan kelompok-kelompok tertentu11. Seperti diketahui bahwa tradisi tasawuf pada awalnya merupakan konsumsi yang bersifat personal, akan tetapi lambat laun menjadi fenomena yang bersifat sosial. Setelah muncul

11 Kasus-kasus penolakan tasawuf yang dianggap heretic biasanya selalu

dihubungkan dengan gerakan politik dan kekuasaan. Tokoh-tokoh yang terlibat dikhawatirkan akan mengganggu stabilitas sosial politik kerajaan seperti terlihat dalam kasus al-Hallaj di Baghgad dihubungkan dengan gerakan Qaramithah, hukuman mati kepada Syekh Siti Jenar dihubungkan dengan Ki Ageng Pengging yang tidak mau tunduk kepada penguasa Demak, Syekh Amongraga dibuang ke laut karena dianggap saingan oleh Sultan Agung, Ahmad Mutamakin dianggap tidak patuh kepada raja Mataram, dan sebagainya.

(7)

berbagai tarekat di dunia Islam, tasawuf bukan hanya bersifat sosial–lokal saja tetapi mencakup wilayah regional dalam skope yang lebih luas. Timbulnya tradisi sufi dan pemikiran-pemikiran yang cenderung mengundang kontroversial ini bisa saja terjadi akibat salah memahami dan salah mengerti antara masing-masing golongan atau munculnya kontroversi akibat adanya ajaran yang dipahami secara salah oleh penganut ajaran pada generasi berikutnya, seperti yang terlihat dalam beberapa kasus yang terjadi di Nusantara.

Dalam kaitan ini usaha ortodoksi yang dilakukan oleh Nur al-Din al-Raniri di Aceh sampai kepada hukum pengkafiran serta adanya hukuman mati terhadap para penganut wujudiyah yang tidak mau bertobat sebagai sebuah anti tesis terhadap tradisi tasawuf dari pengikut Hamzah Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani. Dalam kasus tersebut banyak persoalan yang dipandang oleh al-Raniri sudah keluar dari syari’at Islam, oleh karena itu harus diluruskan. Berbeda dengan generasi berikutnya al-Raniri menempuh jalan yang sangat radikal12 yaitu dengan memberi

hukum kafir bagi penganut paham wahdat al-wujud dan boleh dibunuh. Hal itu dilakukan semata-mata untuk meluruskan ajaran wahdat al-wujud dari para penganut Hamzah Fansuri dan Syams al-Din al-Sumatrani di Aceh dan sekitarnya. Pembaharuan tasawuf sebetulnya telah dimulai di Aceh oleh al-Raniri meski melalui cara yang radikal, namun paling tidak hal ini menimbulkan shock terapy kepada masyarakat luas.

Di sisi lain, seperti halnya kecenderungan neo sufisme, pembaruan yang dilakukan al-Raniri sangat menekankan aspek syari’at (eksoteris) sebagai jalan menempuh tasawuf seperti terlihat dalam kitab Shirat al-Mustaqim. Kitab ini ditulis dalam bahasa Melayu yang isinya membahas antara lain tentang taharah, shalat, puasa, zakat, haji dan juga tentang hukum qurban, makanan hasil berburu dan sembelihan, hukum halal dan haram dalam hal makanan. Nur al-Din al-Raniri juga menulis kitab yang membahas masalah masalah esoteris seperti Asrar al-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman, Tibyan fi Ma’rifat al- Adyan (Penjelasan tentang Pengetahuan Agama), Hujjat al-Siddiq li Daf'i al-Zindiq (Pembuktian Ulama dalam Membantah Penyokong Bid’ah),

Polemik yang ditimbulkan oleh al-Raniri ini kemudian menimbulkan sintesis baru dengan tampilnya ‘Abd al-Rauf al-Sinkili, seorang ulama dengan kemampuan yang luar biasa mencoba mencari jalan tengah agar polemik yang terjadi di masyarakat segera teratasi. Dengan memanfaatkan jaringan intelektual yang dimilikinya, al-Sinkili melalui

12 Hal ini mungkin disebabkan latar belakang kehidupan al-Raniri sebelum ia

(8)

korespondensi yang intensif, bahkan dicatat oleh Lapidus bahwa setelah tahun 1660-an al-Sinkili selalu memelihara jaringan intelektualnya ke Makkah atau Madinah untuk mendiskusikan persoalan-persoalan seputar doktrin wahdat al-wujud yang berkembang di masyarakat. 13 Maka, dalam

kaitan ini, Timur Tengah memiliki posisi yang sangat penting dan signifikan sebagai melting pot (panci pelebur) terhadap tradisi yang berkembang di negeri-negeri Muslim. Posisi Makkah dan Madinah sebagai pusat Islam memungkinkan para ulama dari berbagai negeri dan latar keilmuan yang beragam untuk saling bertemu, dan mendiskusikan segala persoalan yang terjadi dan berkembang di daerahnya masing-masing dalam rangka meningkatkan kualitas keislaman. Oleh sebab itu, sebetulnya inti jaringan ulama neo sufisme pada abad 17–19 adalah di Timur Tengah. Dari sanalah gagasan dan ide neo sufisme tersebut tersebar ke segala penjuru.

Misalnya yang terjadi di Nusantara pada akhir abad ke tujuh belas dan seterusnya adalah gagasan neo sufisme yang disampaikan oleh ulama Timur Tengah dan dibawa ke Nusantara melalui murid-muridnya yang berasal dari kaum Jawa. Generasi al-Kurani dan al-Barzanji menelurkan gagasan neo sufisme melalui ‘Abd al-Rauf al-Sinkili ataupun Syekh Yusuf al-Maqassari ke Nusantara pada abad ke -17. Sementara tercatat pada abad ke -18 gagasan neo sufisme juga disampaikan oleh Abd Shamad Palimbani yang merupakan murid dari Muhammad bin Abdul Karim al-Sammani.

Seperti disampaikan oleh John,14 bahwa persoalan polemik di Aceh

telah sampai di Makkah dan didiskusikan oleh para ulama Timur Tengah. Bahkan al-Kurani kemudian menulis sebuah risalah yang khusus membahas masalah-masalah kaum Jawa. Al-Sinkili sebagai salah satu murid dari al-Kurani menempuh jalan yang lebih moderat dalam menghadapi persoalan doktrin wahdat al-wujud yang berkembang di masyarakat. ‘Abd al-Rauf al-Sinkili adalah penulis yang produktif dalam berbagai hal baik ilmu batin (tasawuf) maupun ilmu lahir (syari’at) seperti fiqih, hadits, dan tafsir.

Gagasan pembaruan juga disampaikan oleh Syekh Yusuf al-Maqassari, lewat salah satu karyanya Zubdat al-Asrar, al-Maqassari menekankan pentingnya syari’at dalam pencapaian jalan mistis. Meski

13 Lihat Ira M Lapidus, History of Islamic Societies..., p. 388.

14 Lihat A.H. John, “Islam in Southeast Asia: Reflecting and New Directions”

dalam Indonesia, No. 19, (Jakarta: Cornell Modern Indonesia Project, 1975), lihat juga A.H. John, “Friends in Grace: Ibrahim al-Kurani and ‘Abd al-Rauf al-Sinkeli”, dalam S. Udin (ed), Spectrum, Essays Presented to Sutan Takdir Alisjahbana on His Seventieth Birthday, (Jakarta: Dian Rakyat, 1978), pp. 476–477.

(9)

Maqassari mengadopsi ungkapan-ungkapan dari para pendukung doktrin wahdat al-wujud seperti Ibn Arabi, al-Jili, al-Hallaj, Abu Yazid al-Bustami serta al-Burhanpuri dan sebagainya, namun al-Maqassari menegaskan bahwa Tuhan adalah tetap Tuhan dan hamba tetap menjadi hamba, dan orang yang telah mencapai tingkatan yang tinggi, maka mereka tiada sekali-kali akan meninggalkan syari’at.15

Gagasan al-Maqassari mengalir melalui para pengikutnya ataupun murid-muridnya serta melalui tulisan-tulisannya yang ditulis dalam masa-masa pembuangan oleh kolonial Belanda di Ceylon maupun di Tanjung Harapan. Bahkan besar kemungkinannya al-Maqassari berperan penting dalam perkembangan tiga tarekat yang banyak diikuti oleh masyarakat Muslim di Tanjung Harapan yaitu Satariyah, Kadiriyah dan Rifa’iyah.

Tema sentral pembaruan tasawuf pada abad ke-17 M. tersebut tak pelak lagi adalah keselarasan antara aspek syari’at (aspek hukum) dengan spiritualitas Islam (tasawuf). Pada abad ke-18 gagasan ini diteruskan oleh para ulama Indonesia lainnya. Mereka ini bukan merupakan murid-murid dari ‘Abd al-Rauf al-Sinkili, ataupun Syekh Yusuf al-Maqassari, melainkan para ulama yang hidup di abad ke-18, tetapi menuntut ilmu ke Timur Tengah. Tetapi kecenderungan untuk mendamaikan tasawuf ibn ‘Arabi dengan tasawuf al-Ghazali tampak semakin kuat, dan semakin menekankan pentingnya syari’at dalam mencapai jalan mistis. Lewat ulama di Hijaz inilah gagasan pembaruan diterima oleh para ulama seperti Abd al-¢amad al-Palimbani, Muhammad Nafis al-Banjari dan lain sebagainya. mereka mungkin tidak bertemu dengan guru-guru dari al-Sinkili ataupun al-Maqassari tetapi yang menjadi guru-guru mereka adalah para ulama terkemuka yang memiliki hubungan langsung dengan guru-guru al-Sinkili dan yang lainnya pada abad ke-17.

Kecenderungan ini tampak di Palembang. Pada pertengahan abad ke–18 M, Shihabuddin bin Abdullah Muhammad menulis sebuah kitab al-Risalah yang berisi penjelasan mengenai pokok-pokok tauhid. Kitab ini ditulis untuk mencegah timbulnya pemahaman yang salah atas ajaran martabat tujuh yang ketika itu sudah beredar di masyarakat. Shihabuddin juga melarang mempelajari kitab-kitab yang berisi doktrin martabat tujuh karena dikuatirkan justru akan menyebabkan timbulnya syirik dan zindik di kalangan masyarakat, sebab menurut Shihabudin di Palembang masih kekurangan guru-guru agama yang mumpuni dan memadai.16

15 Lihat Muhammad Yusuf Al-Maqassari, “Zubdat al-Asrar” dalam Nabilah

Lubis, “Suntingan Naskah Zubdat al-Asrar fi Tahqi Ba’d Masyarib al-Akhyar Karya Syekh Yusuf al-Taj”, Desertasi, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1991), pp. 198–203.

16 Lihat GWJ Drewes, Directions on Travelers on the Mystic Path, (Leiden: The Hague

(10)

Ulama Palembang berikutnya adalah Abd al-Shamad al-Palimbani. Jika Shihabudin cenderung kepada tasawuf Ghazalian maka al-Palembani cenderung untuk melakukan penyelarasan antara al-Ghazalian dengan ibn Arabian. Al-Palimbani lewat Siyar al-Salikin yang merupakan adaptasi dari ringkasan kitab Ihya al-Ghazali dengan beberapa tambahan, menjelaskan pentingnya syari’at untuk mencapai makrifat. Ia juga mengadopsi kitab-kitab yang mengacu kepada madhab wahdat al-wujud seperti karangannya ibn Arabi, al-Jili, Syams al-Din Al-Samatrani, al-Burhanpuri dan sebagainya, sekaligus menukil pendapat-pendapat dari kalangan ulama lainnya. Ia menafsirkan doktrin-doktrin wahdat al-wujud dengan menggunakan pendekatan al-Ghazali yang menekankan pemenuhan kewajiban agama dalam pemenuhan mistik. Maka seperti al-Ghazali, Al-Palimbani memberikan petunjuk dan cara-cara yang mesti dilalui oleh seorang salik dalam menempuh jalan mistik. Al-Palimbani menentang pandangan spekulatif yang tidak terkontrol dalam tasawuf dan ia mencela yang dinamakannya wujudiyah mulhid (ateis).

Pembaruan tasawuf Islam juga merambah ke wilayah Kalimantan lewat Muhammad Arsyad al-Banjari yang merupakan teman seperguruan dari Abd al-Shamad al-Palimbani. Berlainan dengan al-Palimbani yang mencoba untuk mendamaikan tradisi tasawuf Islam, Arsyad al-Banjari lebih mementingkan pelaksanaan aspek syari’at di Kalimantan. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa pelaksanaan syariat Islam di Palembang masih minim, sehingga masyarakat perlu diberi tahu praktek-praktek syari’at Islam. Maka ia menulis kitab Sabil al-Muhtadin, sebuah kitab fiqih terbesar ketiga yang ditulis oleh ulama Melayu setelah Shirat Mustaqim al-Raniri dan Mir’at al-Tullab al-Sinkili.

Usaha untuk mendamaikan tasawuf al-Ghazali dengan ibn Arabi dilakukan oleh ulama berikutnya yaitu Muhammad Nafis al-Banjari yang mengarang kitab Durr al-Nafis. Pada kitab ini Nafis al-Banjari mengatakan bahwa tauhid kepada Allah itu ada empat macam yaitu tauhid al-af’al (keesaan perbuatan Tuhan), tauhid al-Shifah (keesaan sifat-sifat Tuhan), tauhid al-asma’ (keesaan nama-nama Tuhan) dan tauhid al-Dzat (keesaan esensi Tuhan) yang merupakan tauhid tertinggi. Tauhid tertinggi ini termasuk di dalamnya ajaran wahdat al-wujud. Untuk mencapai tauhid tertinggi itu mesti melalui jalan syari’at, mustahil orang akan memperoleh kasyf tanpa melalui jalan syari’at. Maka seperti yang dilakukan oleh al-Palimbani, Nafis al-Banjari juga menguraikan jalan-jalan, tahapan-tahapan yang mesti dilalui oleh seorang salik dalam mencapai tauhid tertinggi, dan sekali lagi selalu dalam perspektif syari’at.

Pembaruan keagamaan juga terjadi di Sumatera Barat. Tarekat Syattariyah mulai ditentang oleh penganut tarekat Naqsabandiyah yang

(11)

menganggap tarekat ini sesat karena mengajarkan ajaran Wahdat al-Wujud dan doktrin martabat tujuh. Meskipun menurut Fathurrahman17 tarekat Syattariyah yang ada di Sumatera Barat Ketika itu sudah terlucuti dari doktrin martabat tujuh dan Wahdat al-Wujud, sehingga berbeda dengan Syattariyah yang dibawa oleh al-Singkili pada awalnya. Oleh karenanya, Fathurrahman menyimpulkan bahwa sesungguhnya konflik yang terjadi antara antara kedua kelompok ini bukan semata-mata persoalan perbedaan faham dan ajaran, melainkan juga dipengaruhi oleh masalah rebutan pengaruh dan kehormatan. Beberapa sumber misalnya menginformasikan bahwa Syaikh Jalaluddin, seorang Syaikh tarekat Naqsyabandiyyah paling berpengaruh dari Cangking telah berhasil menarik perhatian sejumlah pengikut tarekat Syattariyyah di Ulakan untuk berpindah menjadi pengikut tarekat Naqsyabandiyyah.

Pada tahun 1802 ada tiga orang ulama dari Minangkabau yang kembali dari Mekkah yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat, Luhak Agam, Haji Abdurrahman dari Piobang, Luhak Lima Puluh Kota, dan Haji Muhammad Arif dari Sumanik, Luhak Tanah Datar. Mereka berhasil mempengaruhi salah seorang ulama berpengaruh yaitu Tuanku Nan Renceh dari Lembah Alahan Panjang, Dato Bendaharo, dan muridnya yaitu Peto Syarif yang kemudian dikenal dengan gelar Tuanku Imam Bonjol. Merekalah kemudian yang terkenal dengan gerakan puritanisme (kaum modernis) yang diilhami oleh kaum Wahabi18 terhadap perilaku keagamaan masyarakat Minangkabau ketika itu sampai menimbulkan peristiwa perang Paderi.19 Gerakan tiga Haji tersebut juga kemudian diikuti

oleh generasi ulama Minangkabau berikutnya pada pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20, seperti: Syaikh Muhammad Djamil Djambek,

17 Lihat Oman Fathurrahman, “Tarekat Syattariyyah di Dunia Melayu-Indonesia:

Kajian atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-Naskah di Sumatra Barat”, Disertasi, (Jakarta: Program Studi Ilmu Sastra Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003), pp. 71-73.

18 Pembina aliran ini adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (1115/1703–

1201/1787 M). dilahirkan di Nejd Saudi Arabia. Nama Wahabi sesungguhnya diberikan oleh golongan lainnya, sementara ia sendiri menamakan golongannya sebagai al-Muwahhidun atau al-Muslimun yaitu kelompok yang berusaha mengesakan Tuhan semurni-murninya. Tema besar dari kelompok Wahabi ini adalah membersihkan tauhid di kalangan umat Islam karena mereka memandang bahwa pada saat itu banyak umat Islam yang sudah tercampur tauhidnya dengan bid’ah dan khurafat serta syirik. Pengaruhnya di Indonesia terlihat dengan jelas misalnya dalam kasus perang Padri di Minangkabau, dan ulama-ulama lainnya yang menuntut ilmu di Timur Tengah pada abad ke sembilan belas.

19 Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah:

Sumatera Tengah, 1784–1847, terjemahan dari ”Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economi: Central Sumatra 1784-1847”, (Jakarta: INIS, 1992), p. 155.

(12)

Haji Abdullah Ahmad, dan Haji Abdul Karim Amrullah.20

Sementara itu di Jawa, berlainan dengan wilayah luar Jawa yang tradisi neo sufisme berada di kalangan ulama (meski terkadang mereka menulis sebuah kitab juga atas permintaan raja atau sultan), tradisi dan khazanah intelektual Islam berada dalam lingkaran keraton Mataram, yang ditulis oleh para pujangga keraton (mungkin juga atas perintah raja atau sultan). Karena ditulis oleh para pujangga (biasanya juru tulis istana), maka wacana keagamaan muncul dalam karya-karya sastra. Menurut Ricklefs, masa pemerintahan Paku Buwana II21 merupakan masa kebangkitan budaya Jawa. Keraton menjadi pusat reproduksi nilai dan makna dan mengetengahkan rumusan Jawa Islam yang relatif khas. Isu-isu legitimasi raja dan kerajaan, hubungan raja dan rakyat, soal-soal politik, tradisi ritual dan spiritual diketengahkan dalam teks-teks yang berkembang di Keraton Mataram.

Kasus yang terjadi dalam Serat Cabolek (serat ditulis pada abad ke– 18) yang menceriterakan kasus Ahmad Mutamakin yang dianggap melalaikan syari’at untuk mencapai makrifat, sehingga meresahkan para ulama. Akhirnya mereka dengan dipimpin oleh Ketib Anom melaporkan hal ini kepada Raja. Mutamakin digambarkan orang yang mengabaikan syari’at dan Ketib Anom digambarkan orang yang mempedulikan syari’at dalam mencapai jalan mistis. Ketib Anom digambarkan sebagai profil ideal orang Islam Jawa. Ia mendalami aspek eksoteris dan juga esoteris Islam, sebaliknya Mutamakin digambarkan sebagai orang yang mengajarkan mistisisme tetapi tidak memiliki dasar keilmuan yang kuat.

Ceritera ini memang tidak sepenuhnya dipercayai sebab Serat Cabolek ditulis oleh Yasadipura I (1729 – 1803 M.), sementara kejadian Ahmad Mutamakin dan Ketib Anom terjadi pada masa pemerintahan Paku Buwana II (1726–1749 M.), maka jika diasumsikan peristiwa itu terjadi pada akhir pemerintahannya, maka usia Yasadipura I masih sangat muda yaitu 11 tahun. Dalam teks yang diperkirakan sebagai tulisan Ahmad Mutamakin yaitu ‘Arsy al-Muwahidin22 justru menampilkan wacana yang

berbalik 180 derajat dengan teks Serat Cabolek. Oleh karena itu,

20 Iihat Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES,

1987), p. 10.

21 Muncul banyak para pujangga yang menulis, menulis ulang, atau menggubah ke

dalam bahasa Jawa Baru, seperti Ratu Paku Buwana, Yasadipura I, Yasadipura II. Uraian detailnya lihat dalam MC Ricklefs, Sejarah Modern Indonesia 1200–2004, (Jakarta: Serambi, 2005), khususnya bab IV– IX..

22 Naskah ini dijadikan rujukan dan dicantumkan sebagian dalam bukunya

Bizawie. Lihat dalam Zainul Milal Bizawie, Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Sekh Ahmad al-Mutamakin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645 – 1740), (Yogyakarta: Keris, 2002).

(13)

dimungkinkan terjadi reduksi dan pemaknaan yang disesuaikan dengan kehendak raja. Namun, terlepas dari kebenaran ceritera tersebut, wacana neo sufisme telah merambah di kalangan Keraton.

Gambaran ortodoksi tasawuf berikutnya terlihat dengan jelas dalam Serat Centini yang ditulis pada awal abad ke-19 berisi lebih banyak informasi mengenai kitab-kitab yang dipelajari di Pesantren, meskipun sesungguhnya penekanan pada aspek fiqih tidak pernah terlepas dari para ulama seperti yang terlihat dalam serat yang dikatakan sebagai serat yang mungkin ditulis paling awal di Jawa yaitu Serat Sunan Bonang yang diteliti oleh BJO. Schrieke dengan judul Het Book van Bonang, dan diedit kembali oleh Drewes menjadi The Admonition of Seh Bari. Dalam buku tersebut misalnya tertulis kitab fiqih yang sangat terkenal di Jawa yaitu al-Taqrib fi al-Fiqh, dengan terjemahan bahasa Jawa.23 Serat Centini ini menggambarkan sosok Amongraga seorang santri Giri yang mengelana mencari ilmu, tetapi sebetulnya ia adalah santri yang memiliki pengetahuan yang mendalam dalam hal syari’at dan ilmu batin. Hal itu diperlihatkan dengan literatur bacaannya antara lain dalam bidang fiqih kitab-kitab yang tercatat dalam Serat Centini adalah Mukarrar (al-Muharrar), karya Abu al-Qasim Abdul Karim bin Muhammad (w. 1226), Suja’ karya Qadi Abu Suja’, al-Mukhtasyar fi al-Fiqh ‘ala Mazhab al-Imam al-Syafi’i (Ringkasan Fiqih menurut Madhab Imam Syafi’i), dan kitab Ibnu Hajar karangan Ibnu Hajar al-Haitami.

Untuk bidang teologi yang dijadikan acuan adalah Asmarakandi, kemungkinan besar kitab karangan al-Samarkandi, Bayan Aqidah wa al-Usul Penjelasan tentang Dasar-Dasar Teologi), kitab al-Durrah (mutiara) karangan Abdullah Muhammad Yusuf al-Sanusi (w. 1486), sebuah kitab tentang teologi (sifat duapuluh) yang dipergunakan secara luas di Indonesia, Talsiman, karangan Abdullah bin Umar bin Ibrahim al-Tilimisani (w, 1591) yang berisi penjelasan terhadap kitab al-Durrah tersebut, Patakul Mubin (Fath al-Mubin) karangan Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri.

Untuk masalah ilmu tasawuf, Serat Centini menyebutkan kitab Hulomudin (Ihya Ulum Din) karya Ghazali, dan Adkiya (Hidayah al-Azkiya’ ila Tarikh al-Auliya’ (Petunjuk Orang Berakal ke Jalan Para Wali) karangan Zainudin Ali al-Mailabari (w. 1522). Dalam bidang tafsir disebutkan kitab Baedawi, kitab tafsir dari Abdullah bin Umar al-Baidawi, (w. 1206) yang berjudul Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (cahaya Wahyu dan Rahasia Takwil), dan tafsir Jalalen (kitab tafsir al-Jalalain) karangan

23 Lihat GWJ Drewes, The Admonition of Seh Bari, (Leiden: The Hague–Martinus

(14)

Jalaludin al-Mahalli (w. 1459) dan Jalaludin al-Suyuti (w. 1505), juga kitab Tuhfah al-Mursalah karya al-Burhanpuri.24

Gambaran referensi dari Amongraga ini juga menunjukkan kecenderungan yang kuat untuk rekonsiliasi antara syari’at dengan tasawuf di kalangan keraton dan masyarakat Jawa. Para ahli sejarah memberikan gambaran tentang kehidupan keagamaan di kalangan keraton. Praktek-praktik ritual keagamaan mendapat dukungan dari pihak keraton terutama yang dilakukan oleh para kyai dan haji. Tercatat pada tahun 1812, sejumlah besar kyai dan haji tinggal di lingkungan istana Keraton Surakarta dan terdapat 51 ulama dan 24 haji yang menerima dana pensiun dari keraton.25

Ketika dunia keraton semakin memapankan dirinya sebagai pemelihara tradisi Jawa Islam dengan berbagai penulisan karya sastra, dunia pesantren di Jawa pada abad ke-19 pun seolah tidak mau ketinggalan. Ulama-ulama yang muncul pada abad ini pun semakin mempertegas upaya ortodoksi Islam. Ulama-ulama Jawa pada periode ini tampil gemilang dan membawa Jawa menjadi pusat keagamaan di Indonesia. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari Timur Tengah sebagai pusat keilmuan Islam, sebab ulama-ulama Jawa yang muncul dan bersinar pada waktu itu adalah alumni dari Timur Tengah. Kecenderungan mereka adalah ortodoksi tasawuf Islam bahkan secara lebih radikal jika dibandingkan dengan ulama-ulama sebelumnya. Ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial dan politik yang juga terjadi di Timur Tengah.

Berpindah ke Jawa, paling tidak terdapat tiga tokoh penting yang menjelaskan fenomena pembaruan keagamaan yaitu Ahmad Rifa’i26

24 Lihat Pakubuwana V, Falsafah Centhini, (Semarang: Dahara, 1995), lihat juga

Suluk Tambangraras, Ringkasan Serat Centini, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985). Bandingkan dengan Martin van Bruinessen, “Kitab Kuning, Buku-buku Berhuruf Arab yang Dipakai di Lingkungan Pesantren, dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1999), pp. 28-30, Burhanudin, “Tradisi Keilmuan dan Intelektual” dalam dalam Taufik Abdullah (ed). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jilid V, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002), p. 171.

25 Lihat Peter Carey, “Satria and Santri: Some Note on the Relationship between

Dipanagara’s Kraton and Religious Supporters Duirng the Java War (1825-30)” dalam T. Ibrahim Alfian et. All (ed.), Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis, (Yogyakarta: UGM Press, 1992). p. 304. Lihat juga Burhanudin, “Tradisi Keilmuan dan Intelektual” dalam Taufik Abdullah (ed). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jilid V, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002), p. 173.

26 Ahmad Rifa’i dilahirkan di Kendal pada tahun 1786 dari seorang penghulu

(pejabat agama yang mengurusi soal kemasjidan pada masa pemerintahan kolonial Belanda). Ia pernah belajar di Mekkah selama 8 tahun (1833 – 1841 M) 3 tahun setelah berakhirnya perang Jawa (Dipanegara). Ia dikenal dengan gerakan perlawanannya kepada pemerintah kolonial yang terkenal dengan gerakan Tarajumah Tentang pemikiran dan

(15)

(1786–1875) dari Kalisalak, Muhammad bin Umar al-Nawawi al-Bantani27 (1230/1813–1314/1897) dari Banten dan Muhammad Kholil dari Bangkalan Madura. Ketiganya pulang ke Jawa setelah menuntut ilmu di Hijaz dan bahkan membuat kesepakatan yang harus dilaksanakan masing-masing yaitu melaksanakan amar makruf nahi mungkar, menerjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke bahasa setempat demi terlaksananya dakwah Islam, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, dan berjuang fi sabilillah untuk mengusir kaum penjajah. Pada pelaksanaannya ketiganya memiliki tugas yang berbeda. Kyai Kholil bertugas untuk menulis kitab-kitab dalam masalah ilmu akidah, al-Bantani menulis ilmu tasawuf dan Ahmad Rifai menulis kitab-kitab yang membahas masalah fiqih.28

Tokoh yang memiliki pengaruh luas di Indonesia pada abad ke-19 ini tentu saja adalah Syekh Nawawi al-Bantani. Meskipun pada awalnya dia dan kawan-kawannya belajar di Makkah dan kembali ke Nusantara, tetapi beliau adalah seorang yang paling produktif dan berpengaruh,29 sehingga

hampir semua kiai di zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang intelektual mereka, dan bahkan Syekh Ahmad Khatib Minangkabau yang dikenal sebagai bapak Reformis Indonesia, KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Kholil Bangkalan juga pernah menjadi salah satu muridnya.30 Ulama yang mungkin saja hidup sezaman atau lebih dulu

dengan Nawawi adalah Muhammad Hasbullah. Ia dikenal karena karyanya yang disyarah oleh Nawawi.31

Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1915) menjadi terkenal karena polemik dengan adat matrilineal di Minangkabau dan melawan tarekat Naqsyabandiyyah yang memiliki pengikut paling banyak di Sumatera Barat. Namun peranannya di Mekkah lebih dari itu semua. Ia adalah ulama Indonesia yang pertama kali dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram dan menjadi imam di sana, sebuah penghargaan yang luar biasa yang

gerakannya lihat Djamil, Perlawanan Kiai Desa, Pemikiran dan Gerakan Islam KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak, (Yogyakarta: LKiS, 2001).

27 Muhammad bin Umar al-Nawawi al-Bantani adalah seorang yang pembaru

Islam terkemuka pada abad ke -19.

28 Azyumardi Azra, “Jaringan Ulama” dalam dalam Taufik Abdullah (ed).

Ensiklopedi..., pp. 121–122. Yang terlihat adalah pembagian tugas yang telah disepakati oleh ketiga orang tersebut tidak berjalan linear, sebab ternyata ketiga ulama tersebut menulis berbagai disiplin keilmuan baik fiqh, tasawuf, tafsir atau pun aqidah.

29 Mengenai karya tulis dan murid-muridnya yang lain lihat dalam Hafidudin,

“Tinjauan atas Tafsir al-Munir Karya Imam Muhammad Nawawi Tanara” dalam Ahmad Rifa’i Hasan, Warisan Intelektual Islam Indonesia, Telaah atas Karya-karya Klasik, (Bandung: Mizan, 1990), p. 46.

30 Lihat Martin van Bruinessen, Kitab Kuning…, p. 38. 31 Ibid, p. 122.

(16)

biasanya diberikan kepada ulama kelahiran Mekkah saja. Kedudukannya ini memberikan pengaruh yang kuat kepada masyarakat Indonesia khususnya yang berada di Mekkah. Ulama lainnya adalah Muhammad Kholil dari Bangkalan Madura yang menuntut ilmu di Timur Tengah pada tahun 1860-an dan kembali ke Madura sebagai seorang guru, baik ilmu lahir maupun batin. Dia dianggap sebagai seorang wali dan memiliki kekuatan magis yang luar biasa.

Pada abad ini banyak ulama Indonesia yang memiliki pengaruh luas dan menjadi pengarang terkemuka di Indonesia. Di samping Syekh Nawawi Bantani, yang lainnya adalah Saleh Darat (Shalih bin Umar al-Samarani, w. 1321/1903). Dia menulis beberapa kitab syarah dalam bahasa Jawa atas beberapa kitab penting dalam bidang fiqih, akidah dan tasawuf. Mahfudz Termas (Mahfudz bin Abdullah al-Tarmasi), yang hidup dan mengajar di Mekkah pada pergantian abad ke-19.32 Karyanya yang paling besar adalah empat jilid kitab fiqih yang berjudul Mauhibah ¨awi Fadl, yang merupakan komentar atas kitab fiqih Muqaddimah al-Hadramiyah karya ‘Abdullah Ba-Fadl yang banyak dipakai di pesantren. Ia juga mengarang kitab nahwu sebagai syarah atas kitab Alfiyah ibn Malik. Di samping itu, tampaknya ia merupakan ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab hadits sahih Bukhari. Salah seorang murid kesayangannya yaitu Hasyim Asy’ari membawa tradisi ini ke Indonesia dan menjadikan pesantren Tebu Ireng menjadi pondok pesantren hadits yang paling terkenal.33

Para ulama Nusantara yang muncul dan bersinar pada abad ke-19 hampir selalu mengangkat tema penekanan kepada aspek syari’at, serta penulisan kitab-kitab yang lebih berorientasi kepada fiqih, sementara kitab-kitab yang berkaitan dengan doktrin Wahdat al-Wujud cenderung ditinggalkan dan jika pun diajarkan hanya pada santri-santri pilihan. Van Den Berg menyusun katalog kitab yang diajarkan di Pesantren, dan dilanjutkan oleh Martin van Bruinessen yang menelusuri sekaligus mengkoleksi kitab-kitab yang sering dipakai dan diajarkan di kalangan pesantren. Pembaruan keagamaan yang dilakukan di kalangan pesantren pada abad ke-19 menemukan bahwa tidak ada kitab-kitab yang diajarkan di pesantren berhubungan dengan doktrin wujudiyah.

Pada akhirnya pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam khususnya di Jawa pada abad ke -20 hampir tidak ditemui pengajaran tentang ajaran wahdat al-wujud, seperti kitab yang dikarang oleh para sufi

32 Ibid, p. 144. 33 Ibid, p. 22.

(17)

seperti ibn ‘Arabi, ataupun al-Jili.34 Apabila dilihat sekilas, hal ini tampak mengherankan mengingat corak mistik memiliki pengaruh yang kuat pada Islam di Indonesia. Hal ini -tentu saja- sesungguhnya merupakan kerugian besar bagi khazanah intelektual Islam khususnya di Indonesia, sebab pesantren semestinya menjadi tempat berkembangnya keilmuan Islam tetapi yang nampak justru pemilihan dan pemilahan terhadap khazanah intelektual yang telah dihasilkan oleh generasi terdahulu, yang hal ini akan mengakibatkan penyempitan pemahaman bagi generasi sekarang terhadap perbedaan-perbedaan pandangan yang terjadi pada generasi masa lalu.

Meski demikian kitab-kitab tersebut tidaklah tidak dibaca sama sekali. Menurut Bruinessen, Kitab al-Insan al-Kamil karya al-Jili dan Futuhat al-Makkiyah karya ibn ‘Arabi masih ditemui di beberapa toko buku dan dibaca oleh sekelompok kecil. Sementara karya yang berbahasa Melayu seperti al-Durr al-Nafis karya Nafis al-Banjari masih banyak ditemui di Kalimantan Selatan, Aceh dan Malaysia, demikian juga kitab Siyar al-Salikin karya Abd al-Samad al-Palimbani juga masih banyak ditemukan. D. Penutup

Yang terlihat sesunguhnya adalah masyarakat Nusantara mengalami transisi-transisi budaya dari budaya lama (Hindu Budha ke zaman Islam). Transisi budaya ini tidak hanya terjadi secara temporal dan dalam waktu singkat, melainkan terjadi secara terus menerus dan intens. Orang Indonesia di satu sisi mulai mengadaptasi Islam, tetapi di sisi yang lain budaya lokal (tradisi di masa Hindu Budha) senantiasa dijaga. Misalnya, Jika dilihat proses islamisasi di tanah Jawa semenjak Wali Sanga misalnya, maka proses transisi yang dimulai oleh Wali Sanga terus berlangsung. Sunan Kalijaga menggunakan media wayang untuk memberikan pengertian tentang Islam kepada masyarakat. Sultan Agung membuat penanggalan Jawa dengan mendasarkan diri kepada penanggalan Hijriyah. Maka seperti yang disampaikan Ricklefs35 bahwasanya islamisasi masyarakat Jawa adalah transisi-transisi budaya yang terus menerus berjalan. Setelah mungkin ribuan tahun menerima Hindu dan Budha, orang-orang Jawa mulai menerima Islam sebagai agama baru. Akan tetapi penerimaan Islam sebagai agama baru mereka tidaklah berjalan secara linear, melainkan penuh dengan gejolak dan konflik, meski pada akhirnya mereka menerima Islam sebagai identitas baru mereka.

Wallahu a’lamu bisshawwab.

34 Untuk kurikulum dan kitab standar yang diberikan di pesantren-pesantren. Ibid,

pp. 131 – 171.

35 Lihat buku MC Ricklefs, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the

(18)

Daftar Pustaka

Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987.

Al-Raniri, Asrar al-Insan, Jakarta: Perpustakaan Nasional, Ml 442

Azyumardi, Azra, “Jaringan Ulama” dalam Taufik Abdullah (ed). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jilid V, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Bizawie, Zainul Milal, Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Sekh Ahmad al-Mutamakin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi (1645 – 1740), Yogyakarta: Keris, 2002.

Burhanudin, “Tradisi Keilmuan dan Intelektual” dalam Taufik Abdullah (ed). Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jilid V, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002.

Carey, Peter, “Satria and Santri: Some Note on the Relationship between Dipanagara’s Kraton and Religious Supporters During the Java War (1825-30)” dalam T. Ibrahim Alfian et. All (ed.), Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis, Yogyakarta: UGM Press, 1992. Djamil, Perlawanan Kiai Desa, Pemikiran dan Gerakan Islam KH. Ahmad Rifa’i

Kalisalak, Yogyakarta: LKiS, 2001.

Dobbin, Christine, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatera Tengah, 1784–1847, terjemahan dari Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economi: Central Sumatra, 1784– 1847, Jakarta: INIS, 1992.

Drewes, GWJ. Directions on Travelers on the Mystic Path, Leiden: The Hague KITLV, 1977.

_______, The Admonition of Seh Bari, Leiden: The Hague–Martinus Nijhoff, 1969.

_______, An Early of Javanese Code of Muslim Ethics, The Hague–Martinus Nijhoff, 1978

Fathurrahman, Oman, “Tarekat Syattariyyah di Dunia Melayu-Indonesia: Kajian atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-Naskah di Sumatra Barat”,. Disertasi, Jakarta: Program Studi Ilmu Sastra Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003. Fazlurrahman, Islam, Chicago: Chicago University Press, 1979.

(19)

Hafidudin, “Tinjauan atas Tafsir al-Munir Karya Imam Muhammad Nawawi Tanara” dalam Ahmad Rifa’i Hasan, Warisan Intelektual Islam Indonesia, Telaah atas Karya-karya Klasik, Bandung: Mizan, 1990.

John, AH, “Friends in Grace: Ibrahim Kurani and ‘Abd Rauf al-Sinkeli”, dalam S. Udin (ed), Spectrum, Essays Presented to Sutan Takdir Alisjahbana on His Seventieth Birthday, Jakarta: Dian Rakyat, 1978.

_______, “Islam in Southeast Asia ; Reflecting and new Directions” dalam Indonesia, No. 19, Jakarta: Cornell Modern Indonesia Project, 1975.

Lapidus, Ira M, History of Islamic Societies, Cambridge: Cambridge University Press, 1993.

Lewis, Bernard, The World of Islam, London: Penguin, 1994.

Maqassari, Muhammad Yusuf Al-, “Zubdat al-Asrar” dalam Nabilah Lubis, “Suntingan Naskah Zubdat al-Asrar fi Tahqi Ba’d Masyarib al-Akhyar Karya Syekh Yusuf al-Taj”, Desertasi, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1991.

Bruinessen, Martin van, “Kitab Kuning, Buku-buku Berhuruf Arab yang Dipakai di Lingkungan Pesantren”, dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1999.

Ricklefs, MC, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Century, Norwalk CT: Eastbridge, 2006.

_______, Sejarah Modern Indonesia, 1200 – 2004, Jakarta: Serambi, 2005. Nasution, Harun, Fasafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,

1973.

Nicholson, The Mystics of Islam. London: Routledghe Kegan and Paul, 1975.

_______, “Sufis” dalam Encyclopaedia of Religion and Ethics. Vo 12. Charles Scribers. tt.

Pakubuwana V, Falsafah Centhini, Semarang: Dahara, 1995.

_______, Suluk Tambangraras, Ringkasan Serat Centini, Jakarta: Balai Pustaka, 1985.

(20)

Palimbani, Abd al-Shamad Al-, Siyar al-Salikin ila Ibadah Rabb al-‘Alamin, 4 Jilid, Beirut: Dar al-Fikr, tth.

Schimmel, Annemarie, Mystical Dimension of Chapel Hill, (California: The University of North Califoenia Press, 1975.

Smith, Margaret, Studies in Early Mysticism in the Near and Midlle East. London, 1931.

Taftazani, Abu Wafa , Madkhal ila Tasawuf Islam, Kairo: Dar al-Tsaqafah, 1983.

Trimingham, J Spencer, The Sufi Order in Islam, London: Oxford Univ. Press, 1971.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan metode Think Pair Share (TPS) yang dilengkapi index card match efektif meningkatkan prestasi belajar siwa pada pokok

Setelah didapat minyak kayu putih dari berbagai metoda distilasi, kemudian dipilih yang karakteristiknya memenuhi SNI untuk kemudian dilakukan proses isolasi

Dari seluruh Anggota KELOMPOK SEJAHTERA MANDIRI, diketahui bahwa seluruh bahan baku kayu bulat hutan alam telah dilengkapi dengan dokumen angkutan yang sah, hasil DPKB

Ada tuntutan dalam masyarakat bahwa sastra haruslah dapat menjadi sarana pembelajaran moral dan pekerti un- tuk dapat dinilai sebagai karya sastra yang baik.Timbulnya banyak

Wajib Pajak yang telah menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dari KPP Pratama, KP PBB atau disampaikan

Tujuan dari desain ini adalah desain hunian vertikal sebagai solusi untuk permasalahan permukiman padat penduduk di RW 02 Kelurahan Johar Baru dengan konsep

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data kuantitatif, yaitu data yang merupakan perhitungan statistik yang digunakan untuk menghitung kinerja waktu

Setelah melakukan analisis pada ketiga rubrik yang menjadi unit analisis penelitian ini, penulis melihat bahwa perempuan yang menjadi subjek foto dalam