• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Geodesi Geomatika merupakan disiplin ilmu yang menitik beratkan pada pengumpulan, pemrosesan dan penyampaian data geografis atau data informasi spasial. Salah satu metode akuisisi data spasial yang sering digunakan dalam dunia Geodesi Geomatika adalah akuisisi data dengan metode LiDAR. Secara umum LiDAR memiliki keuntungan yaitu waktu akuisisi dan proses data yang relatif cepat, cakupan daerah yang luas, data yang dihasilkan akurat, dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

Pada dasarnya data LiDAR merupakan data hasil perekaman gelombang-gelombang laser yang dipancarkan dan ditangkap kembali oleh perangkat keras LiDAR. Dalam akuisisi datanya, LiDAR membutuhkan pesawat terbang sebagai wahananya. Sejauh ini pesawat terbang yang digunakan sebagai wahana LiDAR pasti memiliki kesalahan dalam perekaman datanya. Hal ini dikarenakan pesawat tidak bisa secara konstan stabil mempertahankan arah, gerakan, elevasi, dan jalur terbang yang telah direncanakan sebelumnya, sehingga dibutuhkan koreksi khusus terhadap pergerakan pesawat dengan software tertentu.

Berbagai macam software pemrosesan data LiDAR telah membuktikan bahwa akuisisi data spasial dengan metode LiDAR mulai banyak diminati oleh pelaku bidang survei. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang seberapa teliti dan

reliable data yang dihasilkan setelah diproses dengan software LiDAR tertentu.

Software post processing data LiDAR memberikan kemudahan para pengguna untuk mengkoreksi jalur terbang dari data LiDAR secara automatis, dimana tiap-tiap jalur terbang dilakukan koreksi heading, roll, pitch, dan z shift sesuai dengan pergerakan pesawat. Data LiDAR juga dapat dimodifikasi dan dikoreksi secara manual, dimana adjustment data LiDAR pada tiap jalur terbang dilakukan berdasarkan titik-titik ground yang telah diketahui tingginya. Pentingnya informasi tentang perbedaan tingkat akurasi dari koreksi antar jalur terbang dengan

(2)

metode automatis dan manual, serta saat ini belum pernah dilakukan penelitian terkait pengaruh perbedaan adjustment jalur terbang, mendasari penulis untuk melakukan penelitian ini.

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan pada sub-bab latar belakang, hal yang hendak dicapai penulis pada penelitian ini adalah nilai perbandingan tingkat akurasi data hasil metode koreksi antar jalur terbang secara automatis dan manual.

I.3. Batasan Masalah

Batasan masalah dari Perbandingan Ketelitian Data LiDAR Hasil Koreksi Antar Jalur Terbang Secara Automatis dan Manual adalah :

1. Uji ketelitian LiDAR dilakukan untuk menghitung perbedaan koreksi secara manual dan automatis.

2. DEM yang digunakan merupakan ground class yang merupakan hasil klasifikasi point clouds.

3. Titik uji hasil pengukuran Total Station (TS) merupakan data yang dianggap benar bila dibandingkan dengan data LiDAR. Kedua data tersebut mempunyai sistem koordinat yang sama.

I.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat akurasi data hasil koreksi antar jalur terbang yang dihasilkan dari metode manual dan automatis.

I.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Pengguna software Terrasolid dapat mengkoreksi data LiDAR dengan metode manual apabila menemui masalah dalam koreksi secara automatis 2. Pengguna Terrasolid dapat menghasilkan data output yang lebih akurat

dengan nilai RMSE yang sesuai standar.

3. Mengurangi atau meniadakan kesalahan-kesalahan yang dapat mengurangi keakuratan data yang dihasilkan oleh software Terrasolid

(3)

I.6. Tinjauan Pustaka

Nugroho (2013) melaksanakan penelitian dengan menguji ketelitian elevasi data LiDAR dengan menggunakan data hasil olahan GNSS sebagai pembanding. Penelitian dilakukan di sekitar area Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dengan luas area penelitian sekitar 1,7001 km2. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu citra orthophoto, DEM (Digital Elevation Model) dan 161 titik uji GNSS yang tersebar merata di sekitar area Universitas Gadjah Mada. Sebelum melakukan pengukuran titik uji dengan menggunakan GNSS, terlebih dahulu terlebih dahulu dilakukan penandaan diatas citra orthophoto mengenai lokasi titik uji yang akan diukur. Pengukuran titik uji GNSS harus memenuhi standar baku yang telah ditetapkan, yaitu minimum 20 titik uji tiap tutupan lahan. Posisi titik uji hasil pengukuran GNSS tidak berada tepat persis dengan posisi titik uji hasil penyiaman ALS, dikarenakan posisi titik uji GNSS tidak dilakukan penandaan saat penyiaman ALS berlangsung. Posisi titik uji diperoleh dari hasil interpolasi point clouds ALS yang didasarkan pada posisi titik uji GNSS. Titik uji hasil interpolasi tersebut kemudian diselisihkan dengan titik uji GNSS. Langkah berikutnya melakukan seleksi data menggunakan uji global (3

σ)

dengan rentang kepercayaan -3

σ < x – μ <

3

σ.

Langkah terakhir adalah menghitung nilai RMSE (Root Mean Square Error) vertikal tiap tutupan lahan dan analisis ketelitian berdasarkan standar ketelitian NMAS

(National Map Accuracy Standard)/NSDAA (National Standard for Spatial Data Accuracy) agar dapat dijadikan referensi dalam pengadaan DEM untuk pembuatan

peta skala besar (peta penutup lahan 3 dimensi maupun peta orthophoto) dan pengadaan DTM ketelitian tinggi. Ketelitian yang dihasilkan untuk tanah terbuka 0,132 m, vegetasi rendah (rumput) 0,131 m, jalan aspal 0,168 m, dan paving blok 0,160 m.

Harnanto (2012) melaksanakan penelitian dengan membandingkan ketelitian hasil akuisisi ALS terhadap pengukuran topografi menggunakan TS di lokasi tambang batubara pada lima kategori tutupan lahan, yaitu: daerah tebangan

(clearcut), daerah vegetasi (lightly thinned), jalan tanah (soil road), daerah tambang (open pit area), dan tanah terbuka (barren ground). Pengambilan data dilakukan

(4)

batubara di Muara Bungo provinsi Jambi menggunakan LITE-MAPPER 5600

Airborne Lidar System dengan laser scanner RIEGL LMS Q560. Spesifikasi

parameter survei ALS yang digunakan seperti tinggi terbang 1000m, kecepatan pesawat rerata 100 knot, sudut sapuan 600, PRR 70 khz, dan scan speed 45 lines/s. Pada penelitian ini menggunakan titik uji sebanyak 100 buah titik yang diketahui koordinatnya secara 3 dimensi. Titik tersebut merupakan hasil pengukuran secara terestris di lapangan yang diasumsikan memiliki ketelitin lebih baik dibandingkan dengan data hasil penyiaman ALS dan dianggap benar. Titik uji hasil pengukuran TS yang digunakan dalam penelitian biasanya tidak berada pada posisi yang sama pada titik hasil penyiaman ALS, dan berada diantara titik-titik hasil penyiaman ALS, karena titik pengukuran TS tidak dilakukan premark pada saat akuisisi data. Sehingga untuk memperoleh titik uji pada point clouds perlu dilakukan interpolasi titik pada DEM ALS berdasarkan data titik uji TS yang digunakan. Titik uji ALS yang dibandingkan merupakan hasil interpolasi linier dengan menggunakan perangkat lunak TerraScan Microstation V8i. Ketelitian elevasi yang di hasilkan di lakukan analisis menggunakan NMAS (National Map Accuracy Standard)/NSDAA

(National Standard for Spatial Data Accuracy) agar dapat dijadikan referensi dalam

pengadaan DEM untuk pembuatan peta topografi daerah tambang skala besar.

Kartika (2010) melaksanakan penelitian dengan membandingkan ketelitian elevasi hasil penyiaman ALS dari tinggi terbang 1100 m terhadap ketelitian elevasi hasil penyiaman ALS dari tinggi terbang 700 m pada daerah beraspal. Akuisisi data dilakukan di runway Cakrabuana Cirebon, pada runway 04 sampai dengan 22 dengan arah azimuth 40 sampai dengan 220 serta elevasi ± 21 m di atas permukaan laut. Ketelitian elevasi hasil penyiaman ALS dalam penelitian ini diuji menggunakan data hasil pengukuran TS yang dianggap benar. Proses akuisisi data ALS menggunakan RIEGL LMS Q560 Airborne Laser Scanner. Spesifikasi parameter survei ALS yang digunakan, yaitu tinggi terbang 700 m dan 1100 m, kecepatan pesawat 60 m/s, sudut sapuan 60, scan speed 60 lines/s, spasi titik 1 m. Berdasarkan parameter penyiaman tersebut, penyiaman dengan tinggi terbang 700 m diperoleh lebar swath 808,290 m,

Pulse Repetition Rate (PRR) 48,497 khz, angular step width 0,0082. Kemudian

penyiaman dengan tinggi terbang 1100 m diperoleh lebar swath 1270,171 m, Pulse

(5)

menggunakan perangkat lunak TerraScan Microstation V8i. Berdasarkan hitungan ketelitian yang dilakukan, hasil penyiaman ALS pada daerah beraspal memiliki ketelitian sangat baik walaupun aspal hanya memiliki tingkat reflektifitas sebesar 20%. Reflektifitas sebesar ini dapat diperoleh DEM yang mencukupi untuk produksi skala besar. Ketelitian elevasi hasil penyiaman ALS dari tinggi terbang 1100 m dan 700 m pada daerah beraspal mencapai 15,9 cm dan 14,1 cm.

ZhaoLijian (2008) melakukan studi survei topografi ALS pada dataran pasang surut dan zona pantai. Lokasi penelitian ini memeiliki karakteristik khusus berupa daerah berlumpur yang sulit diakses manusia. Ketelitian data ALS dianalisis menggunakan 49 titik uji hasil pengukuran GPS. Dari analisis tersebut diperoleh RMSE sebesar ± 1,327 m untuk titik uji yang tersebar pada daerah dengan topografi bergelombang dan diperoleh RMSE sebesar ± 0,403 m untuk titik uji yang terdistribusi pada daerah datar. Berdasarkan standar ketelitian GBIT 13990 – 92 (1:5000, 1:10000 Topographic Map Aerial Photographic Surveying Industri

Standard), ketelitian data ALS tersebut mencukupi kebutuhan pemetaan topografi

hingga skala 1:5000.

Penelitian mengenai ketelitian data ALS pada daerah perkotaan telah dilakukan di china oleh Wenquan (2008). Akuisisi data dilakukan pada bulan Maret 2006 menggunakan ALTM 3 100 Optech System. Lokasi studi berada di Nanjing Povinsi Jiangsu China dengan luas 10 km2. Spesifikasi parameter akuisisi data ALS yang digunakan, yaitu ketinggian terbang 800 m, kecepatan pesawat rata-rata 160 km/jam,arah terbang dari barat ke timur dan dari timur ke barat, jumlah jalur terbang 12, pulse repetition frequency (PRF) 100 KHz, sudut scan 20o, overlap swath 44%,

footprint distance 0,51 m, jarak GPS base station ke area studi 130 km. Pengolahan

data ALS dilakukan dengan menggunakan TerraSolid software yang terdiri dari TerraScan, TerraPhoto, dan TerraModeler. Untuk menentukan ketelitian data ALS digunakan 19 titik uji yang diukur menggunakan GPS. Setelah dilakukan analisis diperoleh rata-rata beda elevasi sebesar 0,008 m, beda elevasi maksimum +0,151, beda elevasi minimum -0,383 m. RMSE sebesar 0,119 m dan simpangan baku sebesar 0,122 m.

Penelitian yang dilakukan penulis adalah membandingkan elevasi hasil koreksi data ALS secara manual dan automatis, dengan data pengukuran terestris sebagai

(6)

data yang dianggap benar. Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari 2012. Akuisisi data dilakukan pada daerah di sekitar Universitas Gadjah Mada menggunakan LITE-MAPPER 5600 Airborne Lidar System dengan laser scanner RIEGL LMS Q560 dan dibawa dengan menggunakan pesawat Cessna 402B. Spesifikasi parameter survei ALS yang digunakan seperti tinggi terbang 1000 m, kecepatan pesawat rata-rata 117 knot, sudut sapuan 60o, PRR 100 KHz, dan scan

speed 100 lines/s. Pada penelitian ini menggunakan titik uji sebanyak 150 buah

dengan jenis tutupan lahan yang berbeda-beda dan dengan koordinat 3 dimensi yang diketahui. Titik tersebut merupakan hasil pengukuran terestris menggunakan Total Station yang dianggap memiliki ketelitian lebih tinggi dibanding hasil penyiaman ALS dan dianggap benar. Oleh karena titik uji dengan TS tidak dilakukan premark pada saat akuisisi data, maka untuk memperoleh titik uji pada point cloud, perlu dilakukan interpolasi titik pada DEM ALS berdasarkan data titik uji TS yang digunakan. Titik uji ALS yang dibandingkan merupakan hasil interpolasi linear secara manual.

(7)

I.7. Landasan Teori 1.7.1. Teknologi LiDAR

LiDAR (Light Detection and Ranging) telah secara luas dikenal oleh berbagai kalangan yang digunakan untuk akuisisi data, baik itu di dunia topografi, morfologi, hidrografi, forestri dan lain-lain.

Keakuratan LiDAR yang mencapai fraksi desimeter baik dalam planar maupun ketinggian membuat LiDAR menjadi pilihan utama untuk pengukuran yang membutuhkan keakuratan sekaligus kecepatan. Dalam mencapai hasil yang optimal, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan (Maas 2003). Diantaranya adalah :

1. Jarak maksimum dari base station GPS tidak boleh lebih dari 10km (Cramer, 1997; Behan dkk., 2000; Kozmus dan Stopar, 2003; Turton, 2006) 2. Harus ada satelit konstelasi maupun geometri yang memadai.

(Katzenbeisser, 2003; Turton, 2006).

3. Di awal dan akhir pengukuran disarankan terdapat GPS statis yang merekam data dengan menggunakan mobile GPS station yang dioperasikan dekat dengan stasiun referensi. (Behan dkk., 2000; Burman, 2000).

(8)

1.7.1.1. Prinsip kerja LIDAR secara umum.

Sistem kerja LiDAR berbeda-beda untuk tiap pabrikan. Tetapi semua jenis LiDAR menggunakan komponen berikut :

1. Detektor dan pemancar laser 2. Mekanisme dan kotrol penyiaman

3. GPS (Global positioning system)dan IMU (Inertial measurement unit).

4. A high-accuracy, high-resolution clock untuk mengukur waktu emisi laser

dan kembalinya laser

5. pengukur sudut penyiaman. 6. Komputer high performance, 7. Media penyimpanan kapasitas besar

Dengan komponen di atas, maka pulsa laser dapat dipancarkan, pantulan pulsa dari laser tersebut yang dipantulkan oleh permukaan tanah dapat terdeteksi dan waktu yang presisi dapat terekam. Dengan tingkat akurasi posisi dan orientasi tinggi yang dihasilkan oleh GPS dan IMU, maka pantulan sinar laser dari permukaan tanah dapat dihitung, dengan persamaan berikut ini (Wehr and Lohr 1999).

R = c/

2

. t

L ……… (I.1)

Keterangan :

R = jarak antara sensor dengan titik target yang diukur (m) c = konstanta kecepatan cahaya (3.108 m/s)

tL = Travelling Time (ns)

Jarak yang harus dilewati laser sebanyak 2 kali, yaitu jarak sensor menuju target dan dikembalikan lagi ke sensor sehingga jarak sensor ke titik target harus dibagi dua.

Menurut Wehr dan Lohr (1999) prinsip pengukuran jarak menggunakan beda fase menerapkan cara memancarkan sinar laser secara terus yang disebut sistem gelombang sinar laser CW (continuous wave-system). Prinsip pengukuran jarak dengan beda fase dapat dihitung dengan persamaan (Li dkk 2005).

(9)

Keterangan :

R : Jarak dari sensor ke titik target yang diukur dengan beda fase (m) ΔR : Selisih jarak yang didapat dari pancaran gelombang sinar laser (m) c : Konstanta kecepatan cahaya (3.108 m/s)

f : frekuensi (Hz) φ : fase (rad)

Δ φ : resolusi fase (rad), dan π : phi (3,14)

Cermin mempunyai fungsi utama, yaitu memancarkan sinyal dari sensor laser ke permukaan topografi. Tipe cermin dibagi menjadi dua, yaitu cermin putar dan cermin osilasi dengan tipe pantulan yang berbeda (Sutanta 2002, dalam Nugroho 2013). Tipe pantulan cermin putar dan cermin osilasi dapat dilihat pada Gambar I.2

Gambar I.2 (a)Pola data hasil scanning dengan oscillating mirror dan (b)rotating mirror (Sutanta 2002, dalam Nugroho 2013)

Berdasarkan Gambar I.2, arah terbang ditunjukkan dengan menggunakan arah panah kemudian angka i, ii, dan iii merupakan pendefinisian dari garis penyiaman. Karakteristik lain dari sensor, antara lain (Sutanta 2002, dalam Nugroho 2013) :

1. Panjang gelombang dari sinar laser yang digunakan,

2. Divergence angle,

3. Ukuran pulsa sinar laser di permukaan tanah (foot print size) 4. Frekuensi pemancaran pulsa

5. Frekuensi penyiaman, dan 6. Sudut penyiaman.

(10)

Menurut Istarno (2011) cara kerja LRF (Laser Range Finder) seperti halnya RADAR, dengan pengecualian laser mentransmisikan pulsa sempit atau sorotan (beam) sinar yang lebih baik dari pancaran gelombang radio. LRF terdiri dari dua unit, yaitu : optis-mekanis scanner (penyiam) dan unit pengukur jarak laser (Wehr dan Lohr 1999). Sensor tersebut merupakan kombinasi antara pemancar laser dan penerima elektro-optis

Terdapat beberapa tipe penyiaman (scanner) yang umumnya digunakan untuk akuisisi data LIDAR (Optech 2003, dalam Istarno dkk 2011), antara lain :

1. Penyiam cermin putar dengan kecepatan konstan

Gambar I.3 Pola penyiaman cermin putar kecepatan konstan (Maune 2007, dalam Istarno dkk 2011)

2. Penyiam cermin osilasi

(11)

3. Penyiam cermin nutasi

Gambar I.5 Pola penyiaman cermin nutasi (Maune 2007, dalam Istarno dkk 2011)

4. Penyiam elips

Gambar I.6 Pola penyiam eliptik (Maune 2007, dalam Istarno dkk 2011)

Untuk mendapatkan data range setiap pantulan sinar yang dikembalikan ke

data recorder maka dilakukan waveform signal processing. Waveform signal processing merupakan prosedur pengolahan data LIDAR dengan menggunakan

algoritma signal processing, yaitu metode pulse range secara Gauss. Pada metode ini setiap bagian signal laser yang mengenai objek akan membentuk echo pulse berupa tampilan grafik Gauss.(Kartika 2010)

(12)

Gambar I.7. Pembentukan echo pulse (RIEGL 2009)

Gambar di atas mengilustrasikan pembentukkan echo pulse saat penyiaman LIDAR. Pulsa berwarna merah merupakan signal laser yang dipancarkan ke target, sedangkan warna biru adalah echo pulse yang terbentuk dari bagian signal laser yang mengenai obyek. Setiap bagian signal laser yang mengenai obyek akan membentuk

echo pulse berupa tampilan grafik Gauss dengan bentuk unik. Prinsip dasar digitasi full waveform adalah lebar echo pulse menunjukkan kekasaran permukaan,

volumetrik dan kemiringan permukaan obyek, amplitudo dari echo pulse menunjukkan reflektivitas obyek, jarak antar echo pulse menunjukkan tinggi target sedangkan posisi echo pulse menunjukkan jarak absolut target.

Dalam pengolahannya, informasi echo signal diolah dalam bentuk kurva

Gaussian yang digunakan untuk mengestimasi lokasi masing-masing echo dan

(13)

Gambar I.8. Waveform Signal Processing (RIEGL 2009)

Ketika signal berinteraksi dengan reflektivitas permukaan target maka bagian

signal laser yang mengenai obyek akan membentuk gelombang kejut (echo pulse)

berupa tampilan grafik Gauss yang merupakan signal analog. Kemudian signal analog disampel pada interval waktu tertentu dan dikonversi ke signal digital menghasilkan digital data stream. Data stream disimpan dalam RIEGL data recorder berdasarkan waktu akurat pengukuran perjalanan sinyal untuk off-line post

processing selanjutnya. Dalam post processing, signal dapat direkonstruksi secara

sempurna sehingga dapat dianalisis secara detil untuk menghasilkan informasi jarak target, tipe target dan parameter lain (Kartika 2010).

1.7.1.2. Komponen sistem LiDAR.

LiDAR memiliki sistem yang saling terhubung dengan komponen-komponen lainnya. Komponen utama yang digunakan diantaranya ialah : aerial platform, sensor laser, IMU, GPS, dan perangkat lunak dan perangkat keras untuk pengolahan LiDAR.

Aerial Platform. Sistem LiDAR dipasang pada wahana pesawat terbang atau

helikopter sebagai platform saat akuisisi data pada kegiatan survei. Pusat koordinat dan orientasi terletak pada IMU.

Laser Scanner Unit. Sensor menembakkan sinar laser ke obyek kemudian

(14)

yang dipancarkan dapat dibedakan menjadi pulse system dan continuous wave

(CE-system). Gelombang yang digunakan adalah near infrared. Terkait dengan

kemampuan gelombang near infrared maka survei LIDAR tidak bisa dilakukan saat cuaca buruk seperti hujan, mendung dan berkabut. Bagian dari laser scanner yang memancarkan sinar adalah transmitter (Wehr 2009).

Inertial Navigation System. Komponen ini merupakan suatu sistem inersial

untuk menentukan dan menghitung orientasi 3D posisi tiap titik terhadap kesalahan roll,pitch, dan yaw (heading) pada tiap posisi LIDAR. INS dengan peralatan berupa IMU melakukan pengukuran terhadap pergerakan dan rotasi pesawat terhadap sumbu

x

(roll), sumbu Y (pitch), dan sumbu Z (yaw) berdasarkan grafitasi lokal dan utara sebenarnya. Sistem referensi INS menggunakan kaedah tangan kanan. Dimana

sumbu

x

searah dengan pergerakan pesawat dan sumbu Y searah dengan sayap kanan pesawat. (Harnanto 2007)

Global Positioning System. GPS merupakan sistem penentuan posisi tiga

dimensi secara teliti. Terdapat dua jenis GPS yang digunakan dalam pengukuran LiDAR, yaitu GPS yang dipasang di tanah sebagai base station, dan GPS yang ditempatkan di badan pesawat sebagai rover. GPS yang berada di tanah harus diaktifkan saat pesawat mulai lepas landas hingga pesawat mendarat agar dapat merekam secara utuh posisi lintasan pesawat dalam pengambilan data selama penerbangan. GPS sebagai alat pengukur posisi yang memiliki tingkat kestabilan yang baik untuk pengamatan dalam jangka waktu yang cukup lama. Airbone GPS dapat menghasilkan ketelitian horisontal 5 cm dan vertikal 10 cm, sedangkan IMU dapat menghasilkan attitude dengan akurasi dalam beberapa centimeter. (Liu 2008).

1.7.2. Ketelitian elevasi hasil penyiaman LiDAR

Pada penelitian ini, data elevasi yang dijadikan sebagai referensi menggunakan data elevasi hasil pengukuran terestris menggunakan Total Station. Ketelitian diperoleh dengan membandingkan data pengukuran LiDAR dengan data Total Station yang dianggap benar dan dianggap memiliki ketelitian yang lebih tinggi dibandingkan data LiDAR. Ketelitian hasil penyiaman LiDAR berdasarkan nilai RMSE (Root Mean Square Error) yang diperoleh. Pengujian ini dilakukan dengan

(15)

menggunakan titik sampel uji yang berjumlah 214 titik pada kategori ketinggian yang berbeda, Kerapatan titik dari raw data LiDAR tergantung pada PRR (Pulse

Repetion Rate) dari sensor LiDAR, sudut penyiaman, dan tinggi terbang pesawat

(Nugroho 2013).

1.7.5.1. Titik uji. Pemilihan titik uji dilakukan pada daerah yang sudah ditentukan. Daerah yang dipilih adalah wilayah yang bertampalan antara flight line satu dengan lainnya. kemiringan terain tidak boleh lebih curam dari 20% karena kesalahan horisontal akan mempengaruhi perhintungan RMSE vertikal. Titik uji pada penelitian ini berada di sekitar titik-titik GCP yang diukur dengan receiver GNSS. 1.7.5.2. Ketelitian elevasi. Ketelitian LiDAR salah satunya ditentukan oleh besarnya RMSE dari elevasi. RMSE adalah akar kuadrat dari rata-rata perbedaan data yang dikuadratkan antara nilai koordiant dataset dan nilai koordinat dari hasil survei independen dengan ketelitian yang lebih tinggi untuk titik-titik identik (NSSDA 1998).

RMSE elevasi didapat dari hitungan kuadrat akar rata-rata perbedaan nilai elevasi yang didapat dari penyiaman LIDAR dengan data hasil ukuran independen yang mempunyai ketelitian lebih tinggi. Dengan rumus matematis sebagai berikut (ASPRS 2004).

n Z Z

RMSE lidar survei

2 ) (    ……….(I.3) Keterangan:

ZLiDAR = elevasi data hasil penyiaman LIDAR

Zsurvei = elevasi hasil survei independen yang mempunyai ketelitian lebih tinggi

n = jumlah titik uji

Flood (1999), dalam Nugroho (2013) menyatakan bahwa hubungan matematis ketelitian vertikal NMAS dan NSSDA dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut.

(16)

NSSDA (1998), dalam Nugroho (2013) menyatakan bahwa jika kesalahan vertikal terdistribusi normal, faktor 1,96 diterapkan untuk menghitung kesalahan linier pada tingkat kepercayaan 95%.

1.7.3. Sistem tinggi LiDAR

Tinggi suatu titik di bumi didefinisikan sebagai jarak vertical terhadap suatu bidang referensi. Pendefinisian ketinggian suatu bidang referensi (datum) sering disebut system tinggi. Sistem tinggi di bidang geodesi berdasarkan bidang acuannya yang dijadikan sebagai kerangka referensi tinggi ada 2, yaitu :

1. Sistem tinggi orthometris (geoid), yaitu jarak dari suatu titik di permukaan bumi yang diukur sepanjang garis gaya berat bumi sampai ke geoid. Sistem tinggi orthometris mempunyai realisasi fisis di permukaan bumi sehingga dapat digunakan untuk keperluan praktis.

2. Sistem tinggi geometris (elipsoid), yaitu jarak linier di atas bidang ellipsoid yang diukur sepanjang normal ellipsoid pada titik tersebut. Sistem tinggi geometris tidak memiliki realisasi fisis di permukaan bumi sehingga tidak dapat digunakan untuk keperluan praktis. Gambar hubungan tinggi geometris (elipsoid), orthometris (geoid), dan topografi dapat dilihat pada Gambar I.9.

Gambar I.9 hubungan tinggi geometris (elipsoid), orthometris (geoid), dan topografi

(17)

Menurut Heliani (2011) prinsip hubungan matematis antara ketinggian titik di atas elipsoid (h), tinggi titik diatas geoid (H), dan undulasi geoid di suatu titik di permukaan topografi (N) dapat ditulis dalam persamaan (I.5)

N = h – H……….(I.5)

Keterangan :

N : Undulasi geoid di suatu titik di permukaan topografi (m) h : Tinggi titik di atas elipsoid (m)

H : Tinggi titik di atas Geoid (m)

Ketinggian titik di atas ellipsoid (h), didapat dari pengukuran GPS, sedangkan ketinggian titik diatas geoid (H) didapat dari pengukuran sipat datar. Apabila tidak memungkinkan dilakukan pengukuran sipat datar maka dapat digunakan model geoid global. Jikanilai ketinggian titik di atas elipsoid (h), ketinggian titik di atas geoid (H) diketahui, maka nilai undulasi geoid di suatu titik di atas permukaan bumi dapat dihitung dengan persamaan (I.5).

GPS adalah sistem penentuan posisi dengan menggunakan satelit yang didesain untuk menentukan posisi secara tiga dimensi dan memberikan informasi waktu secara kontinu. Pemetaan LIDAR menggunakan dua sistem penentuan posisi, yaitu penentuan posisi menggunakan ground GPS dengan tipe GPS Geodetic Dual

Frequency dan airborne GPS (GPS navigasi pesawat). Ground GPS didirikan di

permukaan topografi yang berfungsi sebagai titik kontrol tanah (base station). Airborne GPS (GPS navigasi pesawat) berfungsi sebagai alat perekam posisi pesawat, dan waktu saat pesawat terbang.

Posisi obyek di permukaan topografi didapat dengan mengintegrasikan dua sistem utama, yaitu LIDAR dan GPS. Posisi obyek yang didapat dari hasil akuisisi LIDAR berada di atas referensi elipsoid. Oleh karena itu, titik koordinat yang dihasilkan dari pengukuran GPS adalah koordinat geografis dengan ketinggian elipsoid

(18)

1.7.4. Kekuatan sinyal laser

Ketelitian hasil penyiaman LiDAR antara lain ditentukan oleh kekuatan sinyal laser. Faktor yang mempengaruhi kekuatan sinyal laser antara lain panjang gelombang dan energi dari pulsa yang dipancarkan, tinggi terbang, serta kemampuan reflektivitas obyek. Makin tinggi wahana terbang maka kekuatan sinyal laser makin berkurang. Reflektivitas merupakan kemampuan obyek memantulkan kembali laser yang mengenainya. Reflektivitas permukaan obyek menentukan kekuatan pantulan pulsa LiDAR yang diterima detektor. Kekuatan pantulan LiDAR inilah yang disebut dengan intensitas LiDAR. Kualitas data sangat ditentukan oleh besarnya presentase sinyal yang diterima kembali oleh sensor. Pada tipe area yang mampu mematulkan 100% dari pulsa yang diterima maka akan dihasilkan data elevasi yang sangat akurat. Kualitas data sangat ditentukan oleh besarnya presentase sinyal yang diterima kembali oleh sensor. Besar reflektivitas setiap kategori tutupan permukaan bumi adalah berbeda – beda tergantung dari kekasaran permukaannya (Kartika 2010).

Di bawah ini disajikan grafik reflektivitas untuk berbagai kategori tutupan permukaan bumi.

(19)

I.7.5. Sumber kesalahan LiDAR.

LiDAR atau ALS merupakan teknologi yang modern dan canggih, namun bukan berarti alat tersebut tidak memiliki kesalahan. Kesalahan tersebut ada pada masing-masing komponen yang saling terhubung. Adapun kesalahan LIDAR akan disebutkan dibawah ini.

a. Kesalahan acak (random errors)

Kesalahan acak menyebabkan ketidaktepatan koordinat yang diperoleh yang dipengaruhi oleh kesalahan komponen persamaan LIDAR. Menurut Habib (2008), terdapat beberapa efek noise (position noise, orientation noise, dan range noise) pada sistem pengukuran LIDAR dalam menghasilkan point cloud.

a. Position noise.

Pengaruh dari noise ini adalah independen terhadap tinggi terbang dan metode penyiaman.

b. Orientation noise.

Noise ini akan lebih mempengaruhi koordinat horisontal daripada koordinat vertikal. Pengaruhnya dependen terhadap tinggi terbang dan sudut penyiaman.

c. Range Noise.

Range Noise akan lebih mempengaruhi komponen vertikal. Pengaruhnya independen terhadap tinggi terbang, tetapi dependen tehadap sudut penyiaman.

b. Kesalahan sistematik.

Kesalahan sistematik terbentuk dari kesalahan bias dan kalibrasi yang buruk dalam proses penyiaman LiDAR. (Cekada dkk 2009).Basic

systematic error dapat dimodelkan dengan persamaan geolokasi (Schenk

2001). Kesalahan ini mempengaruhi akurasi , jarak, planimetris, dan ketinggian. Tetapi karena kesalahan ini merupakan kesalahan sistematik, maka kesalahan ini dapat secara umum dihilangkan dengan mengkaliberasi sistem penyiaman laser. Persamaan geolokasi tanpa kesalahan dapat dijabarkan sebagai berikut (Schenk 2001).

(20)

...( I.6) Keterangan :

XL = lokasi berkas laser pada sistem koordinat ortogonal global

X0 = merupakan center point dari GPS pesawat pada sistem koordinat ortogonal global

RW = merupakan rotasi dari sistem koordinat ortogonal lokal, ke sistem koordinat ortogonal global

RGEO = merupakan rotasi dari sistem referensi pada ketinggian vertikal lokal ke sistem referensi ortogonal lokal

RINS = merupakan rotasi dari sistem referensi tubuh pesawat ke sistem referansi lokal pada ketinggian lokal

S0 = merupakan vektor offset antara GPS/INS dan sistem penyiaman laser

RM = penyimpangan pada penyangga alat (mounting)

RS = rotasi antara pancaran sinar laser dan sistem penyiaman yang didapat dari scan angle

h_d = vektor pengukuran jarak yang diperoleh

Gambar 1.11 Ilustrasi unsur-unsur persamaan geolokasi (Schenk 2001).

Jika ditambahkan komponen kesalahan yang tidak berkorelasi maka persamaan geolokasinya akan menjadi seperti berikut :

(21)

Keterangan:

∆XO = kesalahan tingkat akurasi sensor GPS ∆RINS = kesalahan sudut INS

∆S0 = kesalahan offset dari vektor GPS/INS dan sistem penyiaman laser

∆RM = kesalahan penyimpangan penyangga alat ∆d = kesalahan pada pengukuran jarak

Besar total kesalahan yang berpengaruh pada pengukuran data LiDAR dinamakan Schenk’s error model, yang dimodelkan sebagai berikut :

...(I.8) Berdasarkan persamaan I.6 dan I.7 maka kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi dalam pengukuran LiDAR adalah:

a. Kesalahan pada sudut penyiaman

Kesalahan pada sudut penyiaman yang mempengaruhi data hasil penyiaman LiDAR dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian (Cekada dkk 2009) yaitu :

i. index error and swath-angle error ii. vertical beam misalignment iii. horizontal beam misalignment

(1) (2) (3) Gambar 1.12 kesalahan pada sudut penyiaman (Cekada dkk 2009)

b. INS systematic errors

Kesalahan sistematik pada INS sangat bergantung pada harga dan kualitas sistem INS. Kesalahan yang terjadi setelah kaliberasi pada roll ϕ dan pitch θ biasanya memiliki rentang dari 0,004o hingga

(22)

0,02o (Katzenbeisser 2003; Skaloud danLichti 2006; Friess 2006). Kesalahan pada heading ψ dua kali lebih besar daripada kesalahan yang terjadi pada roll ϕ dan pitch θ (Katzenbeisser 2003).

Gambar 1.13 Ilustrasi kesalahan Heading, roll, pitch (Katzenbeisser 2003)

c. Kesalahan pada penyangga alat penyiaman (mounting bias error) Besarnya sudut penyimpangan pada penyangga alat penyiaman biasanya kurang dari 3o (Bäumker dan Heimes 2002; Morin dan El-Sheimy 2002; Katzenbeisser 2003; Skaloud dan Lichti 2006).

(mounting bias error) dapat dianggap sebagai ketidaksejajaran

antara sistem referensi INS dan alat penyiaman laser. Kesalahan ini bergantung pada prosedur kaliberasi serta kesalahan sistematik lainnya dan kesalahan ini sulit untuk dimodelkan (Schenk 2001; Katzenbeisser 2003)

d. Kesalahan pada translasi vektor

Kesalahan ini bergantung pada (mounting bias error) dan translasi S0 (Schenk 2001).

e. Kesalahan pada pengukuran jarak laser

Kesalahan ini bergantung pada kecepatan terbang dan pencatat waktu interval laser. Besarnya kesalahan alat pencatat waktu dapat dianggap konstan dan nilainya ditetapkan oleh produsen sensor. Namun pada kenyataannya, kesalahan ini dapat dipengaruhi oleh perubahan temperatur dan bertambahnya umur alat.

(23)

1.7.6. Definisi DEM, DTM dan DSM

Digital Elevation Model (DEM), Digital Terrain Model (DTM) dan Digital Surface Model (DSM) memiliki pengertian yang hampir sama sehingga sering timbul

pertanyaan. Namun pengertian ketiga istilah tersebut berbeda – beda untuk masing – masing negara.

DEM merupakan data elevasi digital terain (topografi dan batimetri) tanpa adanya fitur permukaan bumi seperti bangunan dan vegetasi (ASPRS 2004). Menurut Kartika (2010) ”DEM merupakan model permukaan bumi yang terbentuk dari titik –titik yang memiliki nilai koordinat 3D (X, Y, Z). Titik – titik tersebut dapat berupa titik sample permukaan bumi atau titik hasil interpolasi atau ekstrapolasi titik – titik sample”.

Istilah DTM hampir sama dengan DEM yakni representasi relief dari terain serta informasi ketinggian dari permukaan bumi tanpa ada fitur alam maupun buatan manusia, namun DTM mencakup unsur – unsur dengan elevasi yang signifikan dari fitur topografi yakni unsur linier berupa breakline, mass point (DEM) dan hidrologic

condition sehingga DTM mampu memodelkan relief secara lebih realistik atau

sesuai dengan kenyataan (ASPRS 2004).

Gambar I.14 Ilustrasi DTM dan DSM (ASPRS 2004)

DSM adalah model dari permukaan bumi termasuk fitur – fitur baik alami maupun buatan manusia seperti gedung, vegetasi dan pepohonan (ASPRS 2007). DSM menggambarkan puncak fitur yang terdapat di atas bare-earth. DSM merupakan model elevasi topografis permukaan bumi yang memberi batas acuan yang benar secara geometris, yang ke atasnya dapat diletakkan lapisan data lainnya. Data DSM mencakup bangunan, vegetasi, dan jalan, serta fitur terain alami.

(24)

1.7.7. Interpolasi linier

Penentuan titik uji LiDAR dapat dilakukan dengan cara interpolasi terhadap

point cloud. Titik-titik uji hasil pengukuran Total Station akan dibandingkan dengan

data hasil penyiaman LiDAR. Dari titik-titik itu, hasil pengukuran Total Station biasanya tidak tepat berada pada titik penyiaman LiDAR, akan tetapi berada di antara titik-titik hasil pengukuran LiDAR, sehingga perlu dilakukannya proses interpolasi

linier agar titik uji Total Station dapat tepat berada pada titik point cloud LiDAR.

Proses interpolasi ini mengunakan pemodelan dalam bentuk TIN yang merupakan representasi permukaan bumi dalam bentuk kumpulan titik-titik elevasi yang terdistribusi secara acak. TIN merupakan bentuk jaring segitiga dengan unsur-unsur linier seperti breaklines dan mass point. Untuk membentuk jaring segitiga yang teliti diperlukan titik-titik yang terdistribusi rapat dan memiliki ketilitian yang tinggi sehingga model yang diperoleh dapat menggambarkan representatif permukaan bumi secara teliti. Penentuan elevasi titik uji berdasarkan dari titik point

cloud LiDAR yang dilakukan berdasar titik uji posisi X dan Y pada hasil pengukuran Total Station. Dengan demikian, nilai elevasi titik uji pada TIN model merupakan

interpolasi linear dari ketinggian point cloud di sekitarnya.

Untuk membentuk TIN yang mampu merepresentasikan terain dengan kualitas bagus diperlukan data elevasi yang sangat rapat dengan ketelitian tinggi. Jika terdapat serangkaian titik (X ,Y) pada bidang datar, maka nilai dari titik-titik tersebut dapat divisualisasikan sebagai ketinggian Z pada bidang tersebut. Titik-titik pembentuk bidang-bidang segitiga pada TIN model merupakan nodal yang memiliki koordinat 3D (X, Y, Z), permukaan-permukaan segitiga-segitiga tersebut menjadi bidang interpolasi titik-titik yang ada didalamnya. Misal titik A1 (X1,Y2), A2 (X2, Y2), dan A3 (X3,Y3) terdapat pada satu bidang dan merupakan nodal-nodal dari sebuah segitiga serta memiliki nilai Z1, Z2, dan Z3, dengan demikian nilai semua titik (Z) pada posisi A (X, Y) dalam sebuah bidang segitiga adalah sebagai berikut.

Z = aX + bY + c ...(I.9)

Persamaan (1.4) di atas merupakan persamaan dasar dari interpolasi linier. Untuk menentukan elevasi sebuah titik pada suatu bidang melalui interpolasi linier dengan teknik ini diperlukan minimal tiga buah titik agar koefisien-koefisien (a ,b ,c) pada persamaan tersebut dapat dipecahkan. Dari ketiga titik tersebut dapat dibentuk

(25)

sisitem persamaan linier sebagai berikut.

Z1 = aX1 + bY1 + c ...(I.10) Z2 = aX2 + bY2 + c ...(I.11) Z3 = aX3 + bY3 + c ...(I.12)

Persamaan I.10, I.11, I2. dapat disusun dalam bentuk matriks X = A. B, koefisien X sebagai matriks a,b,c, koefisien A sebagai matriks X,Y dan koefisien B sebagai matriks Z, maka terbentuk persamaan matrik sebagai berikut.

=

... ( I.13) Hasil interpolasi akan semakin baik jika bentuk segitiga penyusun TIN model sistematis yakni mendekati segitiga sama kaki dan hasil interpolasi semakin buruk jika perbandingan panjang salah satu sisinya dengan tinggi segitiga semakin besar (Guruh 2007).

I.7.8. Survei Terestris

Menurut Basuki (2006), pemetaan terestris adalah proses pemetaan yang pengukurannya langsung di permukaan bumi dengan peralatan tertentu. Teknik pemetaan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Dengan perkembangan peralatan ukur tanah secara elektronis, maka proses pengukuran menjadi semakin cepat dengan tingkat ketelitian yang tinggi, dan dengan dukungan komputer langkah dan proses perhitungan menjadi semakin mudah, cepat, dan penggambarannya dapat dilakukan secara otomatis.

1.7.7.1 Penentuan posisi dengan GPS metode static surveying. Salah satu metode penentuan posisi dengan GPS adalah static surveying, dimana data yang dihasilkan dari pengukuran GPS metode ini memiliki tingkat akurasi yang tinggi (orde mm atau cm). (Abidin 2007)

Lamanya waktu pengukuran bergantung pada hal-hal berikut : 1. Tingkat kepresisian yang diinginkan

2. Jumlah satelit yang terlihat 3. Geometri dari satelit

3

2

1

Z

Z

Z

c

b

a

1

3

3

1

2

2

1

1

1

1

Y

X

Y

X

Y

X

(26)

4. Jenis receiver, single frequency atau dual frequency 5. Jarak antar receiver

Menurut Abidin (2007), Selama pengukuran, titik-titik yang diukur posisinya tidak bergerak. Penentuan posisinya dapat berupa absolute maupun differential

positioning dan data yang digunakan bisa menggunakan data pseudorange maupun

data fase. Pengukuran yang dilakukan harus cukup lama agar software post

processing dapat memberikan solusi atas integer ambiguity. Namun receiver dan software post processing generasi terbaru telah dapat memberikan solusi atas integer ambiguity dengan jumlah data yang sedikit.

Jaring survei GPS dibentuk oleh titik-tik yang diketahui koordinatnya (titik tetap), dan titik-titik yang akan diketahui koordinatnya. Titik-titik tersebut dihubungkan dengan baseline-baseline yang komponennya (dx,dy,dz) diketahui.

Gambar I.15 Bentuk geometri jaring GPS (Abidin 2007).

I.7.7.2. Survei terestris konvensional. Pengukuran awal dari pekerjaan survei terestris adalah titik-titik kerangka dasar pemetaan yang cukup merata secara geometris di daerah yang akan dipetakan. Titik-titik tersebut telah diketahui koordinatnya sebelumnya, atau diukur menggunakan GPS dengan metode static surveying. Titik-titik tersebut digunakan untuk mengikatkan detil-detil yang merupakan obyek dari unsur-unsur yang ada di permukaan bumi yang akan dijadikan sebagai true value dari data LiDAR.

1. Kerangka dasar pemetaan

Kerangka dasar dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kerangka horizontal (planimetris), dan kerangka vertikal (tinggi). Kerangka dasar pemetaan horizontal bermacam-macam pemilihan, dan pemakaiannya, yang ditentukan antara lain oleh

(27)

luas daerah yang dipetakan, ketersediaan peralatan, dan kemudahan perhitungan (Basuki 2006).

2. Detil

Detil adalah segala obyek yang ada di lapangan, baik yang bersifat alamiah seperti sungai, lembah, bukit, alur, dan rawa, maupun hasil budaya manusia seperti jalan, jembatan, gedung, lapangan, stasiun, selokan, dan batas-batas pemilikan tanah yang akan dijadikan isi dari peta yang akan dibuat. (Basuki 2006)

Pemilihan detil, distribusi dan teknik pengukurannya dalam pemetaan sangat tergantung dari skala dan tujuan peta dibuat. Misal untuk peta kadaster atau pendaftaran hak atas tanah,yang diperlukan adalah unsur batas-batas pemilikan tanah, sedang beda tinggi atau topografinya tidak diperlukan. Sedang untuk peta teknik, yang diperlukan adalah unsur-unsur topografi, detil alamiah serta hasil budaya manusia yang konkrit ada di lapangan.

Penentuan posisi dari titik-titik detil, diikatkan pada titik-titik kerangka pemetaan yang terdekat yang telah diukur sebelumnya, atau mungkin juga ditentukan dari garis ukur, yang merupakan sisi-sisi dari kerangka peta ataupun garis yang dibuat khusus untuk itu.

Posisi titik detil dihitung dengan rumus :

Xa = Xp + dpa sin

αpa...(I.14)

Ya = Yp + dpa cos

αpa...(I.15)

Za = Zp + ∆hpa...(I.16) Keterangan :

a : titik detil

P : titik poligon yang telah diketahui koordinatnya

α

pa : azimuth sisi pa

1.7.9. Uji global

Data yang akan digunakan haruslah data yang terbebas dari blunder. Pada perhitungan selanjutnya harus dilakukan seleksi agar didapatkan data yang baik. Seleksi tersebut dilakukan menggunakan uji global agar data blunder dapat

(28)

dihilangkan atau dibuang sehingga data yang digunakan untuk proses selanjutnya dapat dipercaya. Uji global dilakukan dengan membuat rentang kepercayaan menggunakan simpangan baku (

σ

) pada data sebesar -3

σ < x – μ <

3

σ (

Sudjana 2005)

.

Apabila nilai data terletak diantara rentang tersebutmaka data dapat diterima. Simpangan baku (

σ

) dihitung dengan rumus berikut.

1 ) ( 2 1     

n Z Zi n i  ………...(I.17) Keterangan:

σ

= simpangan baku Zi

 = selisih elevasi hasil penyiaman LIDAR dengan hasil survei terestris untuk data ke-i

Z

 = rata – rata selisih elevasi hasil penyiaman LIDAR dengan hasil survei terestris

n = jumlah data

x – μ=

selisih antara nilai titik uji dengan data yang dianggapbenar

I.8. Hipotesis

Hasil koreksi manual data LIDAR pada software Terrasolid memiliki ketelitian elevasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil koreksi secara automatis.

Gambar

Gambar I.1. prinsip kerja LiDAR
Gambar I.3 Pola penyiaman cermin putar kecepatan konstan (Maune 2007,  dalam Istarno dkk 2011)
Gambar I.6 Pola penyiam eliptik (Maune 2007, dalam Istarno dkk 2011)  Untuk  mendapatkan  data  range  setiap  pantulan  sinar  yang  dikembalikan  ke  data  recorder  maka  dilakukan  waveform  signal  processing
Gambar I.7. Pembentukan echo pulse (RIEGL 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

anita usia subur - cakupan yang tinggi untuk semua kelompok sasaran sulit dicapai ;aksinasi rnasai bnntuk - cukup potensial menghambat h-ansmisi - rnenyisakan kelompok

Kemudian penggunaan beberapa satelit inderaja, seperti satelit HIMAWARI untuk EWS, NOAA, MODIS, SPOT dan LANDSAT beserta orbitnya yang dapat digunakan pada

Struktur pasar monopolistik terjadi manakala jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun di mana konsumen produk tersebut

Masalah utama yang akan dijawab dalam Penelitian Tindakan Kelas ini adalah : Apakah penerapan Metode pembelajaran Make a Match (Menjodohkan) dan MediaKartundapat

Latar Belakang: Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat

algoritma kompresi LZW akan membentuk dictionary selama proses kompresinya belangsung kemudian setelah selesai maka dictionary tersebut tidak ikut disimpan dalam file yang

Secara garis besar komponen-komponen pembelajaran memiliki banyak komponen, diantaranya ada tujuan pembelajaran sebagai titik tolak untuk mencapai suatu pembelajaran, guru

[r]