• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV GAMBARAN UMUM TENTANG DINAMIKA WAYANG KULIT DAN KOMUNITAS CINDE LARAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV GAMBARAN UMUM TENTANG DINAMIKA WAYANG KULIT DAN KOMUNITAS CINDE LARAS"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB IV

GAMBARAN UMUM TENTANG DINAMIKA WAYANG KULIT DAN KOMUNITAS CINDE LARAS

4.1 Sejarah Wayang kulit

Lebih dari 3.500 tahun, wayang bertahan mendampingi perubahan peradaban. Ia hidup, tumbuh, dan berkembang bersama problematika masyarakatnya. UNESCO mengukuhkan wayang Indonesia sebagai Karya Agung Warisan Budaya. Telah berabad-abad, wayang (utamanya wayang kulit / wayang purwa) menjadi sarana & media pendidikan budi pekerti bangsa Nusantara, khususnya Jawa, Sunda, Bali, Malaysia, Thailand. Tuntunan tentang sikap hidup yang perlu dimiliki tiap insan manusia disampaikan melalui bentuk pertunjukan yang demikian memukau dan berisi aneka seni adiluhung. Ini tertuang dalam bentuk wayang dengan aneka rupa, motif hiasan dan warna, cerita, cara pentas / pakeliran, musik instrument (gamelan), tembang, seni pedalangan (cepengan & sabetan / cara memegang & memainkan wayang, suluk, dsb). Wayang mengajarkan hal-hal seperti: keadilan, kebenaran, kejujuran, kesehatan, kepahlawanan, nasionalisme, kesusilaan, psikologi, filsafat dan berbagai dinamika kehidupan.

Kesenian wayang mampu menyentuh hati sanubari dan menggetarkan jiwa. Selain sebagai alat komunikasi yang ampuh serta sarana memahami kehidupan, wayang bagi orang Jawa merupakan simbolisme pandangan-pandangan hidup orang Jawa mengenai hal-hal kehidupan yang tertuang dalam dialog di alur cerita / lakon yang ditampilkan.Dalam wayang seolah-olah orang Jawa tidak hanya berhadapan dengan teori-teori umum tentang manusia, tetapi juga model-model hidup dan kelakuan manusia digambarkan secara konkrit. Pada hakekatnya seni pewayangan mengandung konsepsi yang dapat dipakai sebagai pedoman sikap dan perbuatan.Konsepsi-konsepsi tersebut tersusun menjadi nilai-nilai budaya yang tersirat dan tergambar dalam alur cerita-ceritanya, baik dalam sikap pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan,

(2)

2 hubungan manusia dengan lingkungannya serta hubungan manusia dengan manusia lain.

Wayang adalah gambaran watak manusia. Terdapat tidak kurang dari 200 gambaran watak manusia!! Perlu anda sekalian ketahui, ahli-ahli psikologi dewasa ini yang mengacu pada ilmu barat umumnya memahami antara 4 – 32 macam watak dasar manusia. Mulai dari Socrates (500 SM) dengan teori 4 kepribadian dasar (Sanguinis – watak periang gembira, Koleris – pekerja & pemimpin, Melankolis – pemikir dan Phlegmatis – pencinta damai) hingga Myerr Briggs (akhir abad 20) dengan 16 kepribadian utama manusia, Eneagram (watak manusia dari profil wajah), dsb. Menurut para ahli tadi, tiap manusia memiliki semua sifat yang ada, namun ada satu atau dua sifat yang dominan / menonjol. Wayang telah jauh lebih mendetail dalam mengenali watak manusia dan dinamikanya. Seluruh watak dalam wayang pun bisa saja dimiliki oleh seseorang dalam kehidupannya. Pagi hari bisa saja menjadi Gatotkaca yang ksatria, tapi malam hari menjadi Sengkuni yang pendusta. Adalah sifat manusia yang pikiran & emosinya senantiasa berubah-ubah. Terlebih jika kita belum paham jati diri kita dan tidak rajin berlatih mengendalikan dan mengolah diri. Kita akan mudah terombang-ambing oleh segala dinamika kehidupan yang beraneka ragam, baik dan buruk. Dalam wayang, watak manusia dilukiskan pada wujud:

1. raut muka/wajah (pola & bentuk mata, hidung, mulut; warna muka, posisi muka, hiasan kepala, dsb)

2. ukuran, bentuk & perhiasan tubuh [badan kecil (Arjuna, Nakula, Sadewa, Sumbadra, dsb), badan besar (Bima, Kangsa, dsb), badan dewa & pendeta – berjubah (Batara Guru, Brama, resi Bisma, dsb), kera (Anoman, Subali, dsb), raksasa (Batara Kala, Kumbakarna, dsb), punggawa (Buta Cakil, Pragola, dsb), humoris (Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, dsb); badan terbuka tanpa hiasan atau dengan hiasan, dsb.

Dengan penggambaran yang detail pada wayang, kita yang dikaruniai akal budi jika sering memperhatikan diri kita & orang-orang sekitar, saat melihat wayang akan segera paham watak seperti apa yang digambarkan dalam tiap sosok wayang

(3)

3 melalui kemampuan rasa kita. (Orang Barat / modern lebih mengutamakan rasio /

akal nalar, sedangkan tradisi luhur kita adalah mengutamakan rasa, dimana rasa tingkatannya lebih dalam & kuat dari rasio. Orang yang rasa-nya sudah terolah pasti telah memiliki rasio yang baik, namun orang dengan rasio baik belum tentu rasa-nya hidup. Namun saat ini orang Barat mulai menyadari pentingnya olah rasa, sehingga mulai mengembangkan Kecerdasan Emotional / Spiritual. Kita yang sudah diwarisi ajaran luhur jangan sampai kalah dan tertinggal!!!). ( Dwijo, 1993)

Sesaat melihat Arjuna kita pasti dapat merasakan getaran pesona kesatria, wibawa, keagungan, keluhuran, kesabaran dan ketampanan Arjuna. Saat melihat Buta Cakil kita akan segera tahu watak angkara murka, serakah, bodoh, kejam, dan ke-angkerannya. Lalu dengan mudah kita akan mengidentifikasikan diri kita sebagai Arjuna dengan berbagai sifat positifnya. Namun, benarkah demikian? Jangan-jangan justru kita ini si Buta Cakil yang merasa telah menjadi Arjuna, atau ‘rumangsa

bisa’?.Lakon wayang adalah gambaran dinamika kehidupan. Kelir adalah panggung

kehidupan kita. Wayang adalah sifat-sifat dalam diri kita ataupun sifat di lingkungan kita. Kita tidak bisa selalu menjadi sang Arjuna yang senantiasa lemah lembut tapi cekatan dalam bertindak, sabar dan jujur, tekun mengolah diri. Jika kita kurang hati-hati dan waspada dalam hidup ini, sering kali kita turun derajat menjadi Buta Cakil. Mudah marah, tersinggung, bertindak bodoh, tidak tahu kebenaran sejati, merasa paling hebat, ingin unjuk gigi. Sifat dasar atau hakekat diri kita yang berupa percikan sinar Ilahi, yang senantiasa baik / utama akan bertarung dengan pengaruh buruk dari pandangan dan pikiran yang tidak benar yang akan mewujud dalam tindakan (perbuatan / kata-kata yang tidak benar).

Istilah wayang purwa, yang sekarang dikenal dengan sebutan wayang kulit adalah salah satu hasil budaya Jawa. Dinamakan wayang, karena secara harfiah berasal dari kata wewayang yang berarti bayangan, dan dalam bahasa Inggris berarti

shadow, dimana siapapun yang melihat pertunjukan wayang hendaknya dilihat dari

balik layar/kelir. Dengan begitu, maka seolah-olah wayang itu bergerak sendiri tanpa ada yang menggerakkan. Namun secara filosofis, wayang berarti gambar. Yaitu

(4)

4 gambaran tentang manusia, khususnya masyarakat Jawa dan umumnya nusantara yang saat itu masih terpecah-pecah kedalam beberapa kerajaan. Dinilai dari budaya, yaitu gambaran tentang sifat manusia yaitu baik dan buruk/jahat. Namun dari segi pedalangan, sifat manusia itu dibagi menjadi empat macam yaitu amarah, suwiyah, mutmainah dan lauwamah. Amarah berarti satu sifat manusia yang cepat marah, berangasan dan suka menghakimi. Suwiyah berarti orang yang bersifat banyak keinginan, suka kepada yang indah-indah. Mutmainah berarti orang yang bersifat welas asih, suci dan berbakti sedangkan Lauwamah adalah orang yang bersifat tamak, serakah dan sebagainya. Tetapi oleh masyarakat Jawa secara umum hanya dikenal dua sifat yaitu baik dan buruk/jahat.

Sedangkan purwa berarti awal, kuno (purba) atau asli (original), tetapi yang dimaksud disini adalah awal mula, sehingga wayang purwa berarti suatu alat untuk menyampaikan ajaran tentang baik dan buruk/jahat yang pertama kali dilakukan oleh masyarakat Jawa khususnya, kemudian oleh para wali (Sunan Kalijaga waktu itu) dipakai untuk menyebarkan agama Islam.

Wayang Purwa adalah perlambang kehidupan manusia di dunia ini. Pada intinya, wayang berasal dari dewa-dewa bernama Hyang Manikmaya (Betara Guru) dan Hyang Ismaya (Semar). Mereka adalah putera dari Hyang Tunggal. Hyang Tunggal tidak diwujudkan dalam wayang. Kedua putera itu muncul secara bersamaan dalam bentuk cahaya. Manikmaya bercahaya bersinar-sinar. Ismaya bercahaya kehitam-hitaman. Kedua cahaya ini berebut untuk mendapatkan status sebagai yang tertua diantara mereka.Kemudian Hyang Tunggal bersabda, bahwa yang tertua adalah cahaya yang kehitam-hitaman, tetapi diramalkan bahwa dia tak dapat berjiwa sebagai Dewa Ia diberi nama Ismaya, karena ia memiliki sifat sebagai manusia maka dititahkan supaya tetap tinggal di dunia dan mengasuh turunan Dewa yang berdarah Pendawa. Maka diturunkanlah ia kedunia dan bernama Semar, yang berbentuk manusia yang sangat jelek rupa. Cahaya yang bersinar terang diberi nama Manikmaya dan tetap tinggal di Suralaya (kerajaan Dewa). Manikmaya merasa

(5)

5 bangga, karena tidak mempunyai cacat dan sangat berkuasa, tetapi sikap yang demikian itu menyebabkan Hyang Tunggal memberinya beberapa kelemahan.

Kedua kejadian ini merupakan perlambang. Ismaya adalah lambang badan manusia yang kasar dan Manikmaya lambang kehalusan bathin manusia. Raga kasar (Semar) senantiasa menjaga kelima Pendawa yang berujud Panca indera atau kelima perasaan tubuh manusia: indera penciuman (Yudistira); indera pendengaran (Werkodara); indera penglihatan (Arjuna); indera perasa (Nakula), dan indera peraba (Sadewa).Tugas dari Semar adalah menjaga kesejahteraan Pendawa , supaya mereka menjauhi peperangan dengan Korawa (rasa amarah). Tetapi Hyang Manikmaya lah yang senantiasa menggoda sehingga Pendawa dan Kurawa tidak pernah berhenti berperang. Hingga akhirnya terjadilah Baratayuda, di mana Pendawalah yang menjadi pemenangnya.

4.2 Komunitas Cinde Laras

4.2.1 Sejarah Komunitas Cinde Laras

Komunitas merupakan suatu gambaran tatanan masyaraat yang ada dalam kehidupan bersosialisasi, dalam perihal ini paguyuban wayang kulit merupakan suatu wadah seni bagi para seniman yang bergerak di bidang seni pedalangan dan karawitan. Paguyuban Cinde Laras merupakan salah satu paguyuban wayang kulit yang ada di Klaten dari beberapa paguyuban wayang kulit yang ada di daerah tersebut. Cinde Laras berdiri pada tahun 1995. Yang didirikan oleh Bapak Kasim Kesda Lamono, yang sekaligus menjadi dalang dalam paguyuban itu sendiri. Memiliki anggota penabuh yang kurang lebih berjumlah 30 pengkrawit dan 5 sinden. Cinde Laras merupakan paguyuban seni yang sudah sejak lama ada di Klaten, dengan berawal dari paguyuban yang kecil pada awal tahun 1996. Dengan formasi yang seadanya dan bisa dibilang sederhana Cinde Laras sendiri mulai melakukan pagelaran wayang kulit secara tradisional dan dengan bayaran yang bisa dibilang rendah. Dengan bertambahnya penabuh dan juga sinden Ki Kasim Kesda Lamono berani menggelontorkan dana untuk membeli seperangkat gamelan dan juga satu kotak

(6)

6 wayang baru dengan harga berkisar puluhan juta. Dengan demikian di pertengahan tahun 1998 paguyuban Cinde Laras mulai di kenal di kalangan masyarakat luas, terutama daerah Klaten bagian barat, sampai Jatinom,dan daerah Boyolali.

4.2.2 Struktur Kelembagan Dalam Komunitas Cinde Laras

Komunitas Cinde Laras ini merupakan komuninas yang di ketuai oleh Ki Kasim Kesda Lamono dan juga sebagai dalang utama, dan dimenejeri oleh istri dari Ki Kasim yaitu Ibu Suyatmi, dam memiliki anggota 20 penabuh gamelan yang tetap dan memiliki wira suara 3 serta sinden berjumlah 3 orang. Ki Kasim sebagai ketua melakukan berbagai kegiatan dalam paguyuban tersebut, seperti latihan, arisan bapak-bapak penabuh dan juga silaturahmi ketempat para anggota. Dalam masalah anggaran dan juga gaji dari para anggota semua diatur oleh istri Ki Kasim yaitu ibu Suyatmi.

Cinde Laras selama ini dalam mempertahankan paguyuban dan kelompok ini memiliki berbagai kegiatan dan ritual yang dilakukan , seperti arisan para penabuh dan juga latihan setiap satu bulan sekali yang jatuh pada hari Selasa pon dalam bulan Jawa. Menurut Ki Kasim Kesda Lamono dalam mempertahankan eksistensi paguyuban ini selain menjalankan rutinitas yang selalu dilakukan juga melihat perkembangan hiburan dan juga mulai peka dengan isu-isu politik yang sekiranya bisa menambah daya tarik cerita. Dalam hal pagelaran wayang kulit merupakan titik dimana eksistensi itu dimulai, dalam permainan uang bayaran juga berpengaruh dalam hal ini. Tidak dapat dipungkiri paguyuban ini membidik target menengah kebawah yang kebanyakan berasal dari desa ke desa dan sesekali dapat tanggapan di tempat yang mewah dalam artian istimewa.

Paguyuban ini sendiri tidaklah paguyuban yang sudah terkenal dan penuh dengan modal, tapi paguyuban ini memang paguyuban yang mementingkan sisi seni karena dapat dilihat dari keterbatasan perangkatan dan juga perekonomian mereka sendiri. Berkaitan dengan struktur kelembagaan dari komunitas Cinde Laras banyak sekali kegiatan yang dilakukan seperti apa yang disampaikan diatas. Kegiatan ini memang rutin dan selalu ada dan berjalan sesuai dengan agenda yang telah

(7)

7 ditentukan, salah satunya adalah kegiatan latihan penabuh dilakukan di halaman rumah Ki Kasim Kesda Lamono, dengan tempat yang seadanya dan ala kadarnya tidak membuat para penabuh ini malas-malasan tetapi semakin semangat dan saling menunjukkan sikap semangat dan antusias dalam menjalankan profesi ini. Keadaan ini yang membuat kegiatan yang ada dalam komunitas ini berjalan dengan lancar dan juga para anggota yang selalu mendukung secara pikiran dan juga tenaga, membuat kegiatan dalam kelembagaan ini tetap berjalan dan juga semakin padu. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana pagelaran yang dilakukan dan perkembangan hiburan yang diberikan dalam lakon wayang secara pakem maupun carangan.

4.2.3 Ideologi

Ki Kasim Kesda Lamono adalah sesosok yang sangat santun dan sangat kejawen, pakem tetap menjadi salah satu caranya dalam mempertahankan ciri khas dari seni pedalangannya. Berbicara dalam pagelaran wayang kulit pengalaman Ki Kasim sendiri sudah sampai ke beberapa daerah di Jawa ini sendiri. Adapun Ki Kasim juga sudah pernah mendalang sampai ke jepang dalam rangka pertukaran mahasiswa dari ISI Surakarta. Keturunan dan trah masih melekat dalam seni padalangan perihal di percaya untuk memainkan wayang dalam suatu daerah dan ritual-ritual desa. Ki Kasim merupakan keturunan dari bapak dalang dan juga ibu yang juga dalang pula.

Hal ini membuat nama KI Kasim banyak dipercaya dan juga membuat Ki Kasim dan paguyubannya membangun eksistensi dari hal pakem dan juga tanpa meninggalkan nilai etis dalam seni padalangan dan juga identitas Jawa, tanpa melupakan perkembangan hiburan yang sekarang sedang naik daun dalam dunia hiburan dan juga dalam dunia pewayangan itu sendiri. Dalam paguyuban ini sendiri, ada ritual yang dilakukan sebelum pagelaran wayang kulit dilakukan, biasanya Ki Kasim melakukan besik ke makam desa setempat yang malamnya akan di lakukan pagelaran wayang kulit dengan harapan diberi lancar dalam melakukan pagelaran wayang kulit, selain itu Ki Kasim juga melakukan puasa selama tiga hari sebelum

(8)

8 pagelaran di lakukan. Tidak lupa juga sesajen berupa hasil bumi dan juga jajanan pasar ikut serta dalam ritual yang dilakukan oleh Ki Kasim. Ini menunjukkan ideologi dalam pagelaran wayang secara Jawa masih dilakukan dan dilaksanakan dalam komunitas ini.

4.2.4 Perubahan Pakem dalam Pagelaran Wayang Kulit

Dalam pagelaran wayang kulit segala sesuatu yang dilakukan merupakan bagian dalam memenuhi selera masyarakat yang bersifat menghibur dan juga memiliki nilai-nilai dalam kehidupan. Begitu juga dengan paguyuban Cinde Laras, melakukan dan mementaskan suatu hiburan yang bersifat menuntun masyarakat ke nilai-nilai yang sesui dengan ajaran budaya Jawa, tidak lupa juga ada hiburan yang membuat penikmat wayang tidak bosan. Apabila di pilah dalam pengertian ajaran yang ada dalam wayang kulit adalah jalan dan juga alur cerita yang ada yang sering disebut dengan pakem. Pakem ini sendiri adalah cerita yang sesuai dengan silsilah yang telah ditentukan oleh pendahulunya. Cerita seperti ini masih di pertahankan demi eksistensi pagelaran yang dilakukan oleh pagelaran yang dimainkan oleh komunitas Cinde Laras.

Ada juga lakon yang dikarang oleh dalang yaitu sering disebut lakon carangan, lakon carangan adalah suatu lakon dimana alur ceritanya dibuat sendiri terkadang juga disesuaikan dengan keadaan yang ada dalam suatu daerah yang berketempatan sebagai salah satu pesan bagi masyarakat. Dalam perubahannya pagelaran wayang kulit sendiri mengalami beberapa penambahan dalam shownya, diantaranya ada tambahan instrument music campur sari dan juga dangdut yang masuk dalam pakem wayang kulit. Biasanya hiburan tersebut ada dalam limbukan yang bersifat hiburan dan penuh dengan kritik yang bersifat sindiran lelucon , dan juga pada goro-goro yang didalamnya berisi pitutur Jawa yang dibumbui dengan lelucon khas Jawa yang di dalamnya dimainkan tokoh gareng, petruk, dan bagong. Kolaborasi dilakukan untuk menarik minat penonton dan juga membuat situasi agar

(9)

9 tidak bosan dan juga menghilangkan rasa jenuh ketika menikmati alur cerita yang ada. Ini merupakan suatu cara dari komunitas Cinde Laras untuk membuat eksistensi paguyuban ini tetap ada dan selalu update dengan perkembangan seni pewayangan yang ada dan juga meningkatkan kreatifitas yang ada dalam suatu paguyuban.

Referensi

Dokumen terkait

Marketing Communication (dalam bahasa Indonesia: Komunikasi Pemasaran) adalah sarana dimana perusahaan berusaha menginformasikan, membujuk dan mengingatkan konsumen

Selain agar jangan suuzon kepada pada orang, peneliti juga menemukan pesan agar kita tetap rendah hati, bisa sebagai contohnya disini Bedil tidak gembar-gembor

Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti pada Sub Bagian Komunikasi Pimpinan Dan Tata Usaha Staf Ahli Walikota Salatiga tidak ditemukan pola komunikasi lingkaran dikarenakan

Berdasarkan pengamatan guru Y meminta dua orang dari masing- masing kelompok untuk maju kedepan kelas untuk menyampaikan hasil wawancaranya. Dalam menunjuk siswa

Untuk indikator kuesioner variabel kesadaran merek yang kedua yaitu “Saya mengetahui sepatu Converse dalam kehidupan sehari - hari”, dengan rincian. 10 orang responden

Sungai Aek Siancing mempunyai potensi besar dalam memenuhi kebutuhan hidup masyarakat kelurahan negeri lama karena pada sungai Aek Siancing ini selain memiliki air

Selanjutnya, dari kata tekstual muncul istilah kaum tekstualis yang artinya sekelompok orang yang memahami teks hadis berdasarkan yang tertulis dalam teks, tidak

Orang beragama dalam arti umum dapat dikatakan bahwa bagi mereka tidak terdapat worldview lain di samping pandangan hidup agamanya, karena arti dan penilaian terakhir tentang