• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Secara harafiah, pestisida berarti pembunuh hama (pest: hama dan cide:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Secara harafiah, pestisida berarti pembunuh hama (pest: hama dan cide:"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian dan Formulasi Pestisida 2.1.1. Pengertian Pestisida

Secara harafiah, pestisida berarti pembunuh hama (pest: hama dan cide: membunuh). Dalam bidang pertanian banyak digunakan senyawa kimia, antara lain sebagai pupuk tanaman dan pestisida (Sartono, 2001).

Berdasarkan SK Menteri Pertanian RI No. 434.1/Kpts/TP.270/7/2001, tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida, yang dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk beberapa tujuan yaitu memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian tanaman, atau hasil-hasil pertanian; memberantas rerumputan; mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan; mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman (tetapi tidak termasuk golongan pupuk).

Sementara itu, Peduto (1996) mendefinisikan pestisida sebagai berikut : 1. Pestisida merupakan semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan

untuk mengendalikan, mencegah atau menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, nematoda, gulma, virus, bakteri, serta jasad renik yang dianggap hama; kecuali virus, bakteri, atau jasad renk lain yang terdapat pada hewan dan manusia.

(2)

Dalam konsep pengendalian terpadu hama, pestisida berperan sebagai salah satu komponen pengendalian. Prinsip penggunaannya adalah kompatibel dengan komponen pengendalian lain, efisien untuk mengendalikan hama tertentu, tidak persisten, aman bagi lingkungan fisik dan biota, relatif aman bagi pemakai, harga terjangkau oleh petani (Sudarmo, 2001).

2.1.2. Formulasi Pestisida

Bahan terpenting dalam pestisida yang bekerja aktif terhadap hama sasaran disebut bahan aktif. Produk jadi yang merupakan campuran fisik antara bahan aktif dan bahan tambahan yang tidak aktif dinamakan formulasi. Formulasi sangat menentukan bagaimana pestisida dengan bentuk dan komposisi tertentu harus digunakan, berapa dosis atau takaran yang harus digunakan, berapa frekuensi dan interval penggunaan, serta terhadap jasad sasaran apa pestisida dengan formulasi tersebut dapat digunakan secara efektif. Selain itu, formulasi pestisida juga menentukan aspek keamanan penggunaan pestisida dibuat dan diedarkan dalam banyak macam formulasi, sebagai berikut (Djojosumarto, 2008): 1. Formulasi Padat

a. Wettable Powder (WP), merupakan sediaan bentuk tepung (ukuran partikel beberapa mikron) dengan aktivitas bahan aktif relatif tinggi (50 – 80%), yang jika dicampur dengan air akan membentuk suspensi. Pengaplikasian WP dengan cara disemprotkan.

b. Soluble Powder (SP), merupakan formulasi berbentuk tepung yang jika dicampur air akan membentuk larutan homogen. Digunakan dengan cara

(3)

c. Butiran, umumnya merupakan sediaan siap pakai dengan konsentrasi bahan aktif rendah (sekitar 2%). Ukuran butiran bervariasi antara 0,7 – 1 mm. Pestisida butiran umumnya digunakan dengan cara ditaburkan di lapangan (baik secara manual maupun dengan mesin penabur).

d. Water Dispersible Granule (WG atau WDG), berbentuk butiran tetapi penggunaannya sangat berbeda. Formulasi WDG harus diencerkan terlebih dahulu dengan air dan digunakan dengan cara disemprotkan.

e. Soluble Granule (SG), mirip dengan WDG yang juga harus diencerkan dalam air dan digunakan dengan cara disemprotkan bedanya, jika dicampur dengan air, SG akan membentuk larutan sempurna.

f. Tepung hembus, merupakan sediaan siap pakai (tidak perlu dicampur dengan air) berbentuk tepung (ukuran partikel 10 – 30 mikron) dengan konsentrasi bahan aktif rendah (2%) digunakan dengan cara dihembuskan (dusting). 2. Formulasi Cair

a. Emulsifiable Concentrate atau Emulsible Concentrate (EC), merupakan sediaan berbentuk pekatan (konsentrat) cair dengan kandungan bahan aktif yang cukup tinggi. Oleh karena menggunakan solvent berbasis minyak, konsentrat ini jika dicampur dengan air akan membentuk emulsi (butiran benda cair yang melayang dalam media cair lainnya). Bersama formulasi WP, formulasi EC merupakan formulasi klasik yang paling banyak digunakan saat ini.

b. Water Soluble Concentrate (WCS), merupakan formulasi yang mirip dengan EC, tetapi karena menggunakan sistem solvent berbasis air maka konsentrat

(4)

ini jika dicampur air tidak membentuk emulsi, melainkan akan membentuk larutan homogen. Umumnya formulasi ini digunakan dengan cara disemprotkan.

c. Aquaeous Solution (AS), merupakan pekatan yang bisa dilarutkan dalam air. Pestisida yang diformulasi dalam bentuk AS umumnya berupa pestisida yang memiliki kelarutan tinggi dalam air. Pestisida yang diformulasi dalam bentuk ini digunakan dengan cara disemprotkan.

d. Soluble Liquid (SL), merupakan pekatan cair. Jika dicampur air, pekatan cair ini akan membentuk larutan. Pestisida ini juga digunakan dengan cara disemprotkan.

e. Ultra Low Volume (ULV), merupakan sediaan khusus untuk penyemprotan dengan volume ultra rendah, yaitu volume semprot antara 1 – 5 liter/hektar. Formulasi ULV umumnya berbasis minyak karena untuk penyemprotan dengan volume ultra rendah digunakan butiran semprot yang sangat halus. 3. Kode Formulasi pada Nama Dagang

Bentuk formulasi dan kandungan bahan aktif pestisida dicantumkan di belakang nama dagangnya. Adapun prinsip pemberian nama dagang sebagai berikut :

a. Jika diformulasi dalam bentuk padat, angka di belakang nama dagang menunjukkan kandungan bahan aktif dalam persen. Sebagai contoh herbisida Karmex 80 WP mengandung 80% bahan aktif. Pestisida Furadan 3G berarti mengandung bahan aktif 3%.

(5)

b. Jika diformulasi dalam bentuk cair, angka di belakang nama dagang menunjukkan jumlah gram atau mililiter (ml) bahan aktif untuk setiap liter produk. Sebagai contoh, fungisida Score 250 EC mengandung 250 ml bahan aktif dalam setiap liter produk Score 250 EC.

c. Jika produk tersebut mengandung lebih dari satu macam bahan aktif maka kandungan bahan-bahan aktifnya dicantumkan semua dan dipisahkan dengan garis miring. Sebagai contoh, fungisida Ridomil Gold MZ 4/64 WP mengandung bahan bahan aktif Metalaksil-M 4% dan Mankozeb 64% dan diformulasikan dalam bentuk WP.

2.2. Jenis-jenis dan Karakteristik Pestisida 2.2.1. Jenis-jenis Pestisida

Pestisida dapat digolongkan menjadi bermacam-macam dengan berdasarkan fungsi dan asal katanya. Penggolongan tersebut disajikan sebagai berikut (Sartono, 2002).

1. Akarisida, berasal dari kata akari yang dalam bahasa Yunani berarti tungau atau kutu. Akarisida sering juga disebut sebagai mitesida. Fungsinya untuk membunuh tungau atau kutu.

2. Algisida, berasal dari kata alga yang dalam bahasa latinnya berarti ganggang laut. Berfungsi untuk melawan algae.

3. Avisida, berasal dari kata avis yang dalam bahasa latinnya berarti burung. Berfungsi sebagai pembunuh dan mengontrol populasi burung.

(6)

5. Herbisida, berasal dari kata latin herba yang berarti tanaman setahun. Berfungsi membunuh gulma (tumbuhan pengganggu).

6. Insektisida, berasal dari kata latin insectum yang berarti potongan, keratan atau segmen tubuh. Berfungsi untuk membunuh serangga.

7. Larvisida, berasal dari kata Yunani lar. Berfungsi untuk membunuh ulat atau larva.

8. Molluksisida, berasal dari kata Yunani molluscus yang berarti berselubung tipis lembek. Berfungsi untuk membunuh siput.

9. Nematisida, berasal dari kata latin nematoda atau bahasa Yunani nema yang berarti benang. Berfungsi untuk membunuh nematoda (cacing yang hidup di akar).

10. Ovisida, berasal dari kata latin ovum yang berarti telur. Berfungsi untuk membunuh telur.

11. Rodentisida, berasal dari kata Yunani rodera yang berarti pengerat. Berfungsi untuk membunuh binatang pengerat, seperti tikus

2.2.2. Karakteristik Pestisida

Beberapa karakteristik pestisida yang perlu diketahui dalam pengertian dasar pestisida antara lain (Novisan, 2002):

1. Toksisitas Pestisida

Dosis pestisida sangat penting untuk diketahui, karena pada dasarnya adalah racun pembunuh atau penghambat proses yang berlangsung pada sistem hidup khususnya serangga atau arthopoda termasuk manusia. Tindakan

(7)

penggunaannya lebih efektif, efisien dan ekonomis serta pertimbangan keamanan bagi manusia dan lingkungan hidup. Daya racun terhadap organisme tertentu dinyatakan dalam nilai LD50 (Lethal Dose atau takaran yang mematikan). LD50

menunjukkan banyaknya racun persatuan berat organisme yang dapat membunuh 50% dari populasi jenis binatang yang digunakan untuk pengujian, biasanya dinyatakan sebagai berat bahan racun dalam milligram, perkilogram berat satu ekor binatang uji. Jadi semakin besar daya racunnya semakin besar dosis pemakainya.

2. Kategori Toksisitas

Label pestisida memuat kata-kata simbol yang tertulis dengan huruf tebal dan besar yang berfungsi sebagi informasi (Sastroutomo, 2002):

a. Kategori I

Kata–kata kuncinya ialah “Berbahaya Racun” dengan simbol tengkorak dengan gambar tulang bersilang dimuat pada label bagi semua jenis pestisida yang sangat beracun. Semua jenis pestisida yang tergolong dalam jenis ini mempunyai LD 50 yang aktif dengan kisaran antara 0-50 mg perkg berat badan.

b. Kategori II

Kata-kata kuncinya adalah “Awas Beracun” digunakan untuk senyawa pestisida yang mempunyai kelas toksisitas pertengahan, dengan daya racun LD 50 oral yang akut mempunyai kisaran antara 50-500 mg perkg berat badan. c. Kategori III

(8)

Kata-kata kuncinya adalah “Hati-Hati” yang termasuk dalam kategori ini ialah semua pestisida yang daya racunnya rendah dengan LD50 akut melalui mulut

berkisar antara 500-5000 mg perkilogram berat badan.

2.3. Klasifikasi Pestisida Menurut Rumus Kimia

Atas dasar rumus kimia pestisida dapat diklasifikasikan menjadi (Soemirat, 2003):

1. Pestisida Golongan Organoklorin

Pestisida ini sedikit digunakan di negara berkembang. Sifat dari pestisida ini adalah senyawa yang tidak reaktif, memiliki sifat yang tahan atau persisten baik dalam tubuh maupun lingkungan dan memiliki kelarutan yang sangat tinggi dalam lemak dan memiliki kemampuan terdegradasi yang lambat. Organoklorin dibagi dalam beberapa bagian yaitu diklorodifenil etan (DDT, DDD, portan, metoksiklor, metioklor), siklodin (aldrin, dieldrin, heptaklor, chlordane dan endosulfan) dan sikloheksan benzene terklorinasi (HCB, HCH). Semua organoklorin merupakan racun saraf. DDT disintesis oleh Othmar Zeidler pada tahun 1873, namun efeknya baru ditemukan oleh Paul Muller pada tahun 1939. Oleh karena efikasinya yang sangat baik, DDT menjadi sangat terkenal di bidang pertanian dan kesehatan masyarakat. DDT sempat dijuluki the wonder chemical, bahan kimia ajaib yang menyelamatkan ribuan hektar tanaman dari serangan hama serangga. DDT juga menyelamatkan jutaan orang dari penyakit malaria dan tifus dengan mengendalikan serangga penularnya (Sartono, 2002).

(9)

Pada tahun 1970-an, senyawa piretroid menjadi buruan para ahli kimia perlindungan tanaman. Piretrum adalah pestisida alami yang merupakan ekstrak dari bunga chrysanthemum, Phyretrum cinerariaefollium (Dalmantian insect flower). Piretroid memiliki beberapa keunggulan diantaranya diaplikasikan dengan takaran relatif sedikit, spectrum pengendaliannya luas, tidak persisten dan memiliki efek melumpuhkan yang sangat baik.

Sejarah piretroid dimulai sejak tahun 1949, ketika Schechter berhasil mensintesis alletrin, yaitu piretroid komersial pertama. Pada tahun 1964, Sumitomo Chemical Cooperation dari Jepang mengenalkan tetrametrin yang memiliki efek melumpuhkan yang lebih baik. Senyawa ini kemudian digunakan terutama di bidang kesehatan masyarakat (Sastroutomo, 2002).

Tonggak penting lainnya dalam sejarah pengembangan piretroid adalah diluncurkannya sipermetrin, deltametrin dan fenvalerat yang memiliki rantai sianida dalam struktur molekulnya. Sipermetrin dan deltametrin dikembangkan oleh Rothamsted Experiment Station, sedangkan fenvalerat oleh Sumitomo. Ketiganya merupakan pestisida piretroid terkuat dan dipresentasikan secara bersamaan untuk pertama kalinya pada konferensi pestisida yang diselenggarakan IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry) pada tahun 1974. Piretroid merupakan racun saraf meskipun toksisitasnya jarang terlihat pada manusia. Gejala keracunan akibat pestisida ini adalah parestesia (kebal, kesemutan pada kulit), eksitasi saraf, tremor, konvulsi, paralisis dan kematian (Raini, 2007).

(10)

Pestisida organofosfat ditemukan melalui sebuah riset di Jerman, selama Perang Dunia II, dalam usaha menemukan senjata kimia untuk tujuan perang. Pada tahun 1937, Schrader menyusun struktur dasar organofosfat. Meskipun organofosfat pertama telah disintesis pada 1944, struktu dasar organofosfat baru dipublikasikan pada tahun 1948 (Djojosumarto, 2008).

Pestisida golongan organofosfat banyak digunakan karena sifat-sifatnya yang menguntungkan. Cara kerja golongan ini selektif, tidak persisten dalam tanah, dan tidak menyebabkan resistensi pada serangga. Bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan juga racun pernafasan. Dengan takaran yang rendah sudah memberikan efek yang memuaskan, selain kerjanya cepat dan mudah terurai.

Golongan organofosfat sering disebut dengan organic phosphates, phosphoris insecticides, phosphates, phosphate insecticides dan phosphorus esters atau phosphoris acid esters. Golongan organofosfat struktur kimia dan cara kerjanya berhubungan erat dengan gas syaraf. Pestisida yang termasuk dalam golongan organofosfat antara lain (Sastroutomo, 2002):

a. Asefat, diperkenalkan pada tahun 1972. Asefat berspektrum luas untuk mengendalikan hama-hama penusuk-penghisap dan pengunyah seperti aphids, thrips, larva Lepidoptera (termasuk ulat tanah), penggorok daun dan wereng. LD50 (tikus) sekitar 1.030 – 1.147 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) >

(11)

b. Kadusafos, merupakan pestisida racun kontak dan racun perut. LD50 (tikus)

sekitar 37,1 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 24,4 mg/kg tidak menyebabkan

iritasi kulit dan tidak menyebabkan iritasi pada mata.

c. Klorfenvinfos, diumumkan pada tahun 1962. Pestisida ini bersifat non-sistemik serta bekerja sebagai racun kontak dan racun perut dengan efek residu yang panjang. LD50 (tikus) sekitar 10 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 31 –

108 mg/kg.

d. Klorpirifos, merupakan pestisida non-sistemik, diperkenalkan tahun 1965, serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan inhalasi. LD50 oral

(tikus) sebesar 135 – 163 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 2.000 mg/kg berat

badan.

e. Kumafos, ditemukan pada tahun 1952. Pestisida ini bersifat non-sistemik untuk mengendalikan serangga hama dari ordo Diptera. LD50 oral (tikus) 16 –

41 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 860 mg/kg.

f. Diazinon, pertama kali diumumkan pada tahun 1953. Diazinon merupakan pestisida non-sistemik yang bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan efek inhalasi. Diazinon juga diaplikasikan sebagai bahan perawatan benih (seed treatment). LD50 oral (tikus) sebesar 1.250 mg/kg.

g. Diklorvos (DDVP), dipublikasikan pertama kali pada tahun 1955. Pestisida ini bersifat non-sistemik, bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan racun inhalasi. Diklorvos memiliki efek knockdown yang sangat cepat dan digunakan di bidang-bidang pertanian, kesehatan masyarakat, serta pestisida rumah tangga. LD50 (tikus) sekitar 50 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 90 mg/kg.

(12)

h. Malation, diperkenalkan pada tahun 1952. Malation merupakan pestisida yang dalam proses metabolisme serangga akan diubah menjadi senyawa lain yang beracun bagi serangga. Pestisida non-sistemik ini bertindak sebagai racun kontak dan racun lambung, serta memiliki efek sebagai racun inhalasi. Malation juga digunakan dalam bidang kesehatan masyarakat untuk mengendalikan vektor penyakit. LD50 oral (tikus) 1.375 – 2.800 mg/lg; LD50

dermal (kelinci) 4.100 mg/kg.

i. Paration, ditemukan pada tahun 1946 dan merupakan pestisida pertama yang digunakan di lapangan pertanian dan disintesis berdasarkan lead-structure yang disarankan oleh Schrader. Paration merupakan pestisida memiliki mode of action sebagai racun saraf yang menghambat kolinesterase, bersifat non-sistemik, serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan racun inhalasi. Paration termasuk pestisida yang sangat beracun, LD50 (tikus)

sekitar 2 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 71 mg/kg.

j. Profenofos, ditemukan pada tahun 1975. Pestisida non-sistemik ini memiliki aktivitas translaminar dan ovisida. Profenofos digunakan untuk mengendalikan berbagai serangga hama (terutama Lepidoptera) dan tungau. LD50 (tikus) sekitar 358 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 472 mg/kg.

k. Triazofos, ditemukan pada tahun 1973. Triazofos merupakan pestisida berspektrum luas yang bekerja sebagai racun kontak dan racun perut. Triazofos bersifat non-sistemik, tetapi bisa menembus jauh ke dalam jaringan tanaman (translaminar) dan digunakan untuk mengendalikan berbagai hama

(13)

seperti ulat dan tungau. LD50 (tikus) sekitar 57– 59 mg/kg; LD50 dermal

(kelinci) > 2.000 mg/kg. 4. Pestisida Golongan Karbamat

Kongres Entomologi Internasional ke-9 (1951), diumumkan dua jenis pestisida baru dari kelompok kimia yang baru pula. Kedua pestisida tersebut adalah dimetan dan pirolan dari kelompok karbamat. Dengan demikian, era karbamat mulai mendominasi pada tahun 1950-an, disamping organofosfat (Djojosumarto, 2008).

Pestisida dari golongan karbamat adalah racun saraf yang bekerja dengan cara menghambat kolinesterase. Pestisida dari golongan karbamat relatif mudah diurai di lingkungan dan tidak terakumulasi oleh jaringan lemak hewan. Karbamat juga merupakan pestisida yang banyak anggotanya. Beberapa jenis pestisida karbamat antara lain (Sartono, 2002):

a. Aldikarb, merupakan pestisida sistemik yang cepat diserap oleh akar dan ditransportasikan secara akropetal. Aldikarb merupakan pestisida yang paling toksik, dengan LD50 (tikus) sekitar 0,93 mg/kg; LD50 dermal (kelinci)

> 20 mg/kg.

b. Benfurakarb, merupakan pestisida sistemik yang bekerja sebagai racun kontak dan racun perut serta diaplikasikan terutama sebagai pestisida tanah. LD50 (tikus) 205,4 (jantan) – 222,6 (betina) mg/kg; LD50 dermal (kelinci) >

2.000 mg/kg.

c. Karbaril, merupakan karbamat pertama yang sukses di pasaran. Karbaril bertindak sebagai racun perut dan racun kontak dengan sedikit sifat

(14)

sistemik. Salah satu sifat unik karbaril yaitu efeknya sebagai zat pengatur tumbuh dan sifat ini digunakan untuk menjarangkan buah pada apel. LD50

(tikus) sekitar 500 (b) – 850 (j) mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 4.000 mg/kg.

d. Fenobukarb (BPMC), merupakan pestisida non-sistemik dengan kerja sebagai racun kontak. Nama resmi pestisida ini adalah fenobukarb, tetapi di Indonesia lebih dikenal dengan BPMC yang merupakan singkatan dari nama kimianya, yaitu buthylphenylmethyl carbamate. LD50 (tikus) sekitar 623 (j)

– 657 (b) mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 10.250 mg/kg.

e. Metiokarb, nama umum lainya adalah merkaptodimetur. Pestisida ini digunakan sebagai racun kontak dan racun perut. LD50 (tikus) sebesar 20

mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 5.000 mg/kg.

f. Propoksur, digunakan sebagai pestisida rumah tangga (antara lain untuk mengendalikan nyamuk dan kecoa), kesehatan masyarakat, dan kesehatan hewan. LD50 (tikus) sekitar 50 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 5.000 mg/kg.

2.4. Petunjuk Penggunaan Pestisida

Petunjuk penggunaan pestisida adalah sebagai berikut (Sartono, 2002): 1. Formulasi Pestisida

Dalam memformulasikan pestisida, ada beberapa hal yang harus diperhatikan (Rustia, 2010):

 Formulasi pestisida yang dipilih harus sesuai dengan jasad pengganggu yang akan dikendalikan.

(15)

 Memilih pestisida di pasaran banyak dijual formulasi pestisida yang satu sama lain dapat berbeda nama dagangnya, walaupun mempunyai bahan aktif yang sama.

 Untuk memilih pestisida, pertama yang harus diingat adalah jenis jasad pengganggu yang akan dikendalikan. Hal tersebut penting karena masing-masing formulasi pestisida hanya manjur untuk jenis jasad pengganggu tertentu.

 Sebaiknya membeli pestisida yang telah terdaftar dan diizinkan oleb Departemen Pertanian yang dilengkapi dengan wadah atau pembungkus asli dan label resmi

2. Menyimpan Pestisida

Dalam menyimpan pestisida ada beberapa hal yang harus diperhatikan (Sartono, 2002):

 Pestisida senantiasa harus disimpan dalam keadaan baik, dengan wadah atau pembungkus asli, tertutup rapat, tidak bocor atau rusak.

 Sertakan pula label asli beserta keterangan yang jelas dan lengkap

 Dapat disimpan dalam tempat yang khusus yang dapat dikunci, sehingga anak-anak tidak mungkin menjangkaunya, demikian pula hewan piaraan atau ternak.

 Jauhkan dari tempat minuman, makanan dan sumber api.

 Buatlah ruang yang terkunci tersebut dengan ventilasi yang baik. Tidak terkena langsung sinar matahari dan ruangan tidak bocor karena air

(16)

hujan. Hal tersebut kesemuanya dapat menyebabkan penurunan kemanjuran pestisida.

 Untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu pestisida tumpah, maka harus disediakan air dan sabun detergen, pasir, kapur, serbuk gergaji atau tanah sebagai penyerap pestisida.

 Sediakan pula wadah yang kosong, sewaktu-waktu untuk mengganti wadah pestisida yang bocor

3. Menggunakan Pestisida

Untuk menggunakan pestisida harus diingat beberapa hal yang harus diperhatikan (Sastroutomo, 2002):

 Sebaiknya makan dan minum secukupnya sebelum bekerja dengan pestisida

 Mengikuti petunjuk yang tercantum dalam label

 Anak-anak tidak diperkenankan menggunakan pestisida, demikian pula wanita hamil dan orang yang tidak baik kesehatannya

 Apabila terjadi luka, tutuplah luka tersebut, karena pestisida dapat terserap melalui luka

 Gunakan perlengkapan khusus, pakaian lengan panjang dan kaki, sarung tangan, sepatu kebun, kacamata, penutup hidung dan rambut dan atribut lain yang diperlukan

 Jangan mencium pestisida, karena pestisida sangat berbahaya apabila tercium

(17)

 Sebaiknya pada waktu pengenceran atau pencampuran pestisida dilakukan di tempat terbuka dengan menggunakan alat-alat yang bersih dan alat khusus

 Dalam mencampur pestisida sesuaikan dengan takaran yang dianjurkan  Tidak diperkenankan mencampur pestisida lebih dari satu macam,

kecuali dianjurkan

 Jangan menyemprot atau menabur pestisida pada waktu akan turun hujan, cuaca panas, angin kencang dan arah semprotan atau sebaran berlawanan arah angin

 Wadah bekas pestisida harus dirusak, dibenamkan, dibakar

 Pasanglah tanda peringatan di tempat yang baru diperlakukan dengan pestisida

 Setelah bekerja dengan pestisida, semua peralatan harus dibersihkan, demikian pula pakaian-pakaian, dan mandilah dengan sabun

2.5. Efek Paparan Pestisida terhadap Kesehatan

Semua pestisida mempunyai bahaya potensial terhadap kesehatan. Ada dua tipe keracunan yaitu keracunan langsung (akut) dan keracunan jangka panjang (kronis).

1. Efek Akut

Keracunan akut terjadi bila efek-efek keracunan pestisida dirasakan langsung. Beberapa gejala keracunan akut adalah sakit kepala, mual, sakit dada, muntah-muntah, kudis, sakit otot, keringat berlebihan, diare, sulit bernapas,

(18)

Efek akut lokal terjadi bila efeknya hanya mempengaruhi bagian tubuh yang terkena kontak langsung dengan pestisida. Efek akut lokal biasanya berupa iritasi, seperti rasa kering, kemerahan dan gatal-gatal di mata, hidung, tenggorokan dan kulit; mata berair dan batuk atau berupa masalah-masalah kulit, seperti kemerahan, gatal-gatal, kudis. Gejala yang umum dari keracunan pestisida adalah bila kuku berubah warna menjadi hitam atau biru, pada kasus yang serius kuku akan lepas (Peduto, 1996).

Efek sistemik muncul bila pestisida masuk ke dalam tubuh manusia dan mempengaruhi seluruh sistem tubuh. Darah akan membawa pestisida ke seluruh bagian dari tubuh dan mempengaruhi mata, jantung, paru-paru, perut, hati, lambung, otot, usus, otak dan syaraf. Gejala-gejala keracunan dan berapa cepat bekerjanya tergantung pada jenis bahan kimia, waktu dan kadar racun dalam pestisida tersebut.

2. Efek Kronis

Keracunan kronis terjadi bila efek-efek keracunan membutuhkan waktu untuk muncul atau berkembang. Efek kronis dapat dibagi dalam beberapa sistem: a. Sistem Saraf

Banyak pestisida yang digunakan di bidang pertanian sangat berbahaya bagi otak dan syaraf. Bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi sistem syaraf disebut neurotoksin. Beberapa gejala dari penyakit pada otak yang disebabkan oleh pestisida adalah masalah ingatan yang gawat, sulit berkonsentrasi, perubahan kepribadian, kelumpuhan, kehilangan kesadaran dan koma (Gossel, 1990).

(19)

Karena hati adalah organ tubuh yang berfungsi menetralkan bahan-bahan kimia beracun, maka hati itu sendiri sering kali dirusak oleh pestisida. Hal ini dapat menyebabkan hepatitis.

c. Sistem Pencernaan

Muntah-muntah, sakit perut dan diare adalah gejala umum dari keracunan pestisida. Banyak orang yang bekerja dengan pestisida selama bertahun-tahun mengalami masalah sulit makan. Orang-orang yang menelan pestisida (baik sengaja atau tidak) efeknya sangat buruk pada perut dan tubuh secara umum. Pestisida merusak langsung melalui dinding-dinding perut (Djojosumarto, 2008). d. Sistem Kekebalan Tubuh

Reaksi alergi adalah gangguan sistem kekebalan tubuh manusia. Hal ini adalah reaksi yang diberikan tubuh kita terhadap bahan-bahan asing. Pestisida bervariasi dalam mengakibatkan reaksi alergi, setiap orang memberi reaksi berbeda untuk derajat penggunaan pestisida yang berbeda pula. Beberapa jenis pestisida telah diketahui dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh manusia dengan cara yang lebih berbahaya. Beberapa jenis pestisida dapat melemahkan kemampuan tubuh untuk menahan dan melawan infeksi. Ini berarti tubuh kita menjadi lebih mudah terkena infeksi atau jika telah terjadi infeksi penyakit ini menjadi lebih serius dan makin sulit untuk disembuhkan (Sutikno, 2002).

e. Keseimbangan Hormon

Penelitian terhadap hewan menunjukan bahwa pestisida mempengaruhi produksi hormon dalam tubuh. Hormon adalah bahan kimia yang diproduksi oleh organ-organ seperti otak, tiroid, paratiroid, ginjal, adrenalin, testis dan ovarium

(20)

untuk mengontrol fungsi-fungsi tubuh yang penting. Beberapa pestisida mempengaruhi hormon reproduksi yang dapat menyebabkan penurunan produksi sperma pada pria atau pertumbuhan telur yang tidak normal pada wanita. Beberapa pestisida dapat menyebabkan pelebaran tiroid yang akhirnya dapat menyebabkan kanker tiroid (Afriyanto, 2008).

Pestisida masuk ke dalam tubuh manusia sampai berdampak buruk bagi kesehatan dapat melalui berbagai cara seperti:

1. Melalui Kulit

Hal ini dapat terjadi apabila pestisida terkena pada pakaian atau langsung pada kulit seperti pada saat petani memegang tanaman yang baru saja disemprot, petani mencampur pestisida tanpa sarung tangan atau ketika anggota keluarga mencuci pakaian yang telah terkena pestisida. Untuk petani atau pekerja lapangan, cara keracunan yang paling sering terjadi adalah melalui kulit (Rachmawati, 2001).

2. Melalui Sistem Pernapasan

Hal ini paling sering terjadi pada petani yang menyemprot pestisida atau pada orang-orang yang ada di dekat tempat penyemprotan. Perlu diingat bahwa beberapa pestisida yang beracun tidak berbau (Kishi, 1993).

3. Melalui Mulut

Hal ini terjadi bila seseorang meminum pestisida secara sengaja ataupun tidak seperti pada saat makan atau minum air yang telah tercemar, makan dengan tangan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu setelah menyemprot dengan

(21)

2.6. Aktivitas Kolinesterase Darah

Kolinesterase adalah enzim (suatu bentuk dari katalis biologik) di dalam jaringan tubuh yang berperan untuk menjaga agar otot-otot, kelenjar-kelenjar dan sel-sel saraf bekerja secara terorganisir dan harmonis. Asetilkolin merupakan salah satu jenis neurotransmiter (zat kimia penghantar rangsangan saraf) yang paling umum dikenal. Senyawa neurotransmitter ini dapat ditemukan di dalam sistem saraf organisme vertebrata. Asetilkolin berperan dalam mentransmisikan sinyal atau rangsangan yang diterima untuk diteruskan di antara sel-sel saraf yang berdekatan atau pada sambungan neuromuscular (US EPA, 2004).

Ada dua tipe kolinesterase dalam darah yaitu dalam sel darah merah dan plasma darah. Karena itu ada dua tipe tes kolinesterase. Karena kedua tes ini memeriksa hal yang berbeda maka akan lebih baik jika keduanya dilakukan, tetapi jika hanya dapat melakukan satu tes lebih baik melakukan tes kadar kolinesterase yang ada dalam sel darah merah karena tes jenis ini dapat memberikan petunjuk pada dokter perawatan yang paling efektif. Jika aktivitas kolinesterase jaringan tubuh secara cepat sampai pada tingkat yang rendah akan berdampak pada bergeraknya serat-serat otot secara sadar dengan gerakan halus maupun kasar. Penurunan aktivitas kolinesterase darah seseorang itu berkurang karena adanya organofosfat dan karbamat dalam darah yang akan membentuk senyawa phosphorilated cholinesterase sehingga enzim kolinesterase tidak dapat berfungsi lagi yang mengakibatkan aktivitas aktif dari enzim tersebut akan berkurang.

(22)

Petani dapat mengeluarkan air mata yang teriritasi serta mengalami gerakan otot yang lebih lambat dan lemah (Ames, 1989).

Pestisida golongan organofosfat dan karbamat adalah racun saraf yang memiliki cara kerja menghambat kolinesterase. Pada golongan organofosfat hambatan tersebut bersifat tidak dapat dipulihkan sedangkan pada karbamat hambatan tersebut bersifat dapat dipulihkan. Jika terjadi keracunan yang disebabkan oleh pestisida golongan karbamat, gejalanya sama seperti pada keracunan golongan organofosfat, tapi lebih mendadak dan tidak lama karena efeknya terhadap enzim kolinesterase tidak persisten. Meskipun gejala keracunan cepat hilang, tetapi karena munculnya mendadak dan menghebat dengan cepat maka dapat berakibat fatal jika tidak segera mendapat pertolongan yang disebabkan oleh depresi pernafasan.Depresi aktivitas kolinesterase ini bertahan dalam 2 minggu. Pemeriksaan ini bisa dilakukan di luar laboratorium dengan menggunakan tintometer (Sastroutomo, 2002).

Adapun beberapa faktor penggunaan pestisida yang mempengaruhi aktivitas kolinesterase (Djojosumarto, 2008):

1. Pencampuran Dosis

Pencampuran dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan pestisida, karena itu dalam melakukan pencampuran pestisida untuk penyemprotan petani hendaknya memperhatikan takaran atau dosis yang tertera pada label. Dosis atau takaran yang melebihi aturan akan membahayakan penyemprot itu sendiri. Dosis adalah jumlah pestisida dalam liter atau kilogram

(23)

tanaman yang dilakukan dalam satu kali aplikasi atau lebih. Pada saat pencampuran dosis sebaiknya menggunakan alat khusus seperti kayu serta memakai sarung tangan (Asnawati, 2010).

2. Waktu Penyemprotan

Waktu yang paling baik untuk penyemprotan pestisida adalah pada waktu antara 08.00 – 11.00WIB atau sore hari pukul 15.00 - 18.00WIB (Raini, 2004). 3. Frekuensi Penyemprotan

Frekuensi penyemprotan mempunyai peranan terhadap aktivitas kolinesterase darah pengguna pestisida khususnya petani. Frekuensi penyemprotan adalah kekerapan melakukan penyemprotan dengan pestisida, disarankan bagi tenaga kerja melakukan penyemprotan tidak lebih 2 kali seminggu (Raini, 2004).

4. Lama Penyemprotan

Lama penyemprotan mempengaruhi tingkat keracunan pestisida. Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai dengan ketentuan dengan memperhatikan lama penyemprotan adalah maksimal 3-4 jam per hari dan setiap minggu harus dilakukan pengujian kesehatan (Assti, 2008).

5. Arah Angin

Arah angin penting diperhatikan pada saat penyemprotan. Penyemprotan sebaiknya dilakukan searah dengan arah angin karena apabila penyemprotan dilakukan melawan arah angin, petani akan lebih banyak terpapar saat menyemprot (Prijanto, 2009).

(24)

Pemakaian alat pelindung diri bertujuan untuk melindungi diri dari sumber bahaya tertentu, baik yang berasal dari pekerjaan maupun lingkungan kerja (Asnawati, 2010). Jenis-jenis alat pelindung diri adalah :

a) Alat pelindung kepala dengan topi atau helm

b) Alat pelindung mata seperti kacamata diperlukan untuk melindungi mata dari percikan, partikel melayang, gas, debu yang berasal dari pemaparan pestisida.

c) Alat pelindung pernapasan adalah alat yang digunakan untuk melindungi pernafasan dari kontaminasi yang berbentuk gas, uap, maupun partikel zat padat.

d) Pakaian pelindung dikenakan untuk melindungi tubuh dari percikan bahan kimia yang membahayakan.

e) Alat pelindung tangan biasanya berbentuk sarung tangan yang terbuat dari bahan yan kedap air serta tidak bereaksi dengan bahan kimia yang terkandung dalam pestisida.

f) Alat pelindung kaki biasanya berbentuk sepatu dengan bagian atas yang panjang sampai dibawah lutut, terbuat dari bahan yang kedap air, tahan terhadap asam, basa atau bahan korosif lainnya.

Hasil pemeriksaan aktivitas kolinesterase dalam darah dan tingkat keracunan ditetapkan sebagai berikut (Tabel 2.1).

(25)

Tabel 2.1. Indikator Tingkat Keracunan menurut Tingkat Aktivitas Kolinestrase dalam Darah

Aktivitas Kolinesterase

Tingkat Keracunan Tindakan Penyelamatan

75% - 100% Normal Boleh kerja, perlu pemeriksaan berkala 50% - 75% Keracunan ringan Lakukan pemeriksaan ulang, jika hasilnya

sama, jauhkan dari jenis organoposphat dan karbamat dalam waktu 2 minggu

25% - 50% Keracunan sedang Lakukan pemeriksaan ulang, jika hasilnya sama, pindahkan pekerja yang bebas pestisida dan bila sakit perlu pemeriksaan dokter 0% - 25% Keracunan berat  Lakukan pemeriksaan ulang

 Pekerja dilarang bekerja sampai ada rekomendasi dari dokter

Sumber: Pedoman Praktikum Laboratorium Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Bina Kurniawan, 2004)

2.7. Pertolongan Pertama pada Keracunan Pestisida

Pada umunya kasus keracunan terjadi di kebun atau sawah yang tidak selalu dekat dengan pelayanan kesehatan maka prinsip-prinsip pertolongan pertama bagi keracunan pestisida perlu diketahui agar dapat mengambil tindakan yang benar. Ada dua prinsip utama dalam memberikan pertolongan pertama pada korban kasus keracunan, yakni (Sudarmo, 2001):

1. Putuskan segera hubungan dengan produk penyebab keracunan agar kontaminasi tidak terus berlangsung

2. Dapatkan segera pertolongan medis dari dokter atau paramedic baik di puskesmas, rumah sakit atau praktik dokter.

Di luar kedua prinsip tersebut, beberapa langkah penanganan kasus keracunan berdasarkan cara kontak racun dengan tubuh penderita:

(26)

1. Jika pestisida tertelan, langkah pertama penderita harus segera melakukan pemuntahan. Untuk merangsang pemuntahan dengan cara mengkili-kili pangkal tenggorokan penderita dengan jari yang bersih atau minum larutan garam dapur satu sendok makan penuh per gelas air hangat. Pemuntahan hanya boleh dilakukan jika penderita dalam keadaan sadar

2. Setelah pemuntahan berhasil dilakukan, berikan karbon aktif (norit). Berikan 3 sendok makan norit yang dilarutkan dalam segelas air. Ulangi pemberian norit sesering mungkin.

3. Bawa penderita sesegera mungkin ke dokter atau Puskesmas

4. Jika penderita tidak sadar, jangan lakukan pemuntahan. Longgarkan pakaian dan segera bawa ke dokter. Jika pernapasan berhenti, lakukan pernapasan buatan. Jangan lakukan pernapasan dari mulut ke mulut jika penderita menelan pestisida. Hal tersebut untuk menghindari masuknya racun ke tubuh penolong

b. Kontaminasi pada Kulit

1. Buka pakaian kerja yang terkontaminasi dan segera mandikan penderita dengan air dan sabun. Semakin cepat korban dimandikan, kontaminasi akan semakin berkurang

2. Keringkan tubuh dengan handuk kering dan bersih

3. Jika bagian tubuh yang terkena pestisida sangat luas dan pertisida termasuk ke golongan berbahaya, usahakan untuk segera mendapatkan pertolongan dokter

(27)

4. Bakar pakaian yang terkontaminasi karena sulit untuk membersihkan racun dengan tuntas.

c. Pestisida Mengenai Mata

1. Buka mata dan cuci dengan air mengalir selama 15 menit. 2. Jangan gunakan boorwater atau obat tetes mata

3. Tutup mata dengan kain atau kain kasa bersih

4. Jika mata masih terasa sakit, segera bawa ke dokter atau puskesmas. d. Pestisida Terisap Melalui Pernapasan

1. Jauhi tempat kerja, lalu tidurkan korban di tempat berudara bersih dan segar

2. Kendorkan pakaian agar penderita bisa bernapas leluasa 3. Jika pernapasan berhenti, berikan pernapasan buatan 4. Jika gawat, segera bawa ke dokter atau puskesmas

2.8. Tanaman Tomat

Tomat adalah komoditas hortikultura yang penting, tetapi produksinya baik kuantitas dan kualitas masih rendah, hal ini disebabkan antara lain tanah yang keras, miskin unsur hara mikro serta hormon, pemupukan tidak berimbang, serangan hama dan penyakit, pengaruh cuaca dan iklim, serta teknis budidaya petani (Rustia, 2010).

Tanaman tomat bisa tumbuh baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Tanaman tomat dapat tumbuh baik di dataran tinggi (> 700 m dpl), dataran medium (200 m - 700 m dpl), dan dataran rendah (< 200 m dpl). Faktor

(28)

warna buah tomat cenderung kuning sedangkan pada temperatur tidak tetap warna buah cenderung tidak merata. Temperatur ideal dan berpengaruh baik terhadap warna buah tomat adalah antara 24°C - 28°C yang umumnya merah merata. Keadaan temperatur dan kelembaban yang tinggi, berpengaruh kurang baik terhadap pertumbuhan, produksi dan kualitas buah tomat. Kelembaban yang relatif diperlukan untuk tanaman tomat adalah 80 %. Tanaman tomat memerlukan intensitas cahaya matahari sekurang–kurangya 10-12 jam setiap hari. Tanaman tomat merupakan tanaman yang bisa tumbuh disegala tempat, dari daerah dataran rendah sampai daerah dataran tinggi (pegunungan) untuk pertumbuhan yang baik, tanaman tomat membutuhkan tanah yang gembur, kadar keasaman 5 - 6, tanah sedikit mengandung pasir dan banyak mengandung humus serta pengairan yang teratur dan cukup mulai tanam sampai tanaman mulai dari panen (Natawigana, 2003).

2.9. Pengendalian Hama dan Penyakit

a. Ulat Buah

Ulat ini menyerang tomat yang masih muda sehingga buah sudah tua tampak berlubang–lubang dan biasanya busuk karena infeksi, ulat ini dapat diberantas denagn insektisida (Djojosumarto, 2005).

b. Nematoda

Cacing ini menyebabkan akar–akar tomat berbintil–bintil, biasanya hanya timbul pada tanah–tanah ringan yang terlalu asam (pH 4 – 5).

(29)

c. Lalat Buah

Lalat ini umumnya menyerang dengan cara menyuntikan telur–telurnya kedalam kulit buah tomat, dan telur tersebut akan menjadi larva yang menggerogoti buah tomat dari dalam sehinga buah tersebut menjadi busuk dan rontok. Lalat buah dapat dikendalikan dengan cara menyemprotkan inteksida sistemik sejak buah berumur 1 minggu (Sudarmo, 2001).

d. Kutu Putih

Kutu putih menyerang tomat dengan cara menghisap cairan daun. Hama ini juga mambawa penyakit embun jelaga. Akibatnya daun menjadi keriting dan bunga/buah mengalami kerontokan pemberontakan gunakan insektisida.

e. Busuk Ujung Buah

Biasanya menyerang buah tomat baik yang masih muda maupun yang sudah tua. Penyakit disebabkan oleh kekurangan unsur hara kalsium. Pemberantasnya dengan penyebaran kapur dolomite, pemupukan yang berimbangan pengairan rata penyemprotan CaCl2 pada seluruh permukaan daun dengan frekuensi 5–7 hari sekali sebanyak 0,1% (Sudarmo, 2001).

f. Layu Furasium

Biasanya menyerang buah tomat baik yang masih muda di dataran tinggi yang memiliki kelembaban tinggi dimusim hujan. Hal ini dapat dicegah dengan merendam bibit ke dalam larutan benomil 0,1 % sebelum penanaman.

g. Busuk Buah

Disebabkan oleh cendawan Collectroticum SP. Serangan penyakit ini dapat dicegah dengan cara pemangkasan yang teratur, menjaga kelembaban kebun.

(30)

Penyakit ini dapat dicegah dan diberantas dengan menggunakan bubur Bordeaux 1-3%, alcohol 50WP, Prekiur N, Prukit PR 10/56 WP, Ridomil dan Antracol (Djojosumarto, 2005).

2.10. Landasan Teori

Pestisida adalah semua zat atau campuran zat yang khusus digunakan untuk mengendalikan, mencegah atau menangkis gangguan serangga, binatang pengerat, nematode, gulma, virus, bakteri serta jasad renik yang dianggap hama; kecuali virus, bakteri atau jasad renik lain yang terdapat pada hewan dan manusia; mengatur pertumbuhan atau mengeringkan tanaman.

Semua pestisida mempunyai bahaya potensial bagi kesehatan. Ada dua tipe keracunan yaitu keracunan langsung (akut) dan keracunan jangka panjang (kronis). Penurunan aktivitas kolinesterase merupakan efek akut. Kolinesterase adalah enzim (suatu bentuk dari katalis biologik) di dalam jaringan tubuh yang berperan untuk menjaga agar otot-otot, kelenjar-kelenjar dan sel-sel saraf bekerja secara terorganisir dan harmonis. Jika aktivitas kolinesterase jaringan tubuh secara cepat sampai pada tingkat yang rendah akan berdampak pada bergeraknya serat-serat otot secara sadar dengan gerakan halus maupun kasar. Penurunan aktivitas kolinesterase darah seseorang itu berkurang karena adanya organofosfat dan karbamat dalam darah yang akan membentuk senyawa phosphorilated cholinesterase sehingga enzim kolinesterase tidak dapat berfungsi lagi yang mengakibatkan aktivitas aktif dari enzim tersebut akan berkurang. Petani dapat mengeluarkan air mata yang teriritasi serta mengalami gerakan otot yang lebih

(31)

Pestisida golongan organofosfat dan karbamat adalah racun saraf yang memiliki cara kerja menghambat kolinesterase. Pada golongan organofosfat hambatan tersebut bersifat tidak dapat dipulihkan sedangkan pada karbamat hambatan tersebut bersifat dapat dipulihkan. Jika terjadi keracunan yang disebabkan oleh pestisida golongan karbamat, gejalanya sama seperti pada keracunan golongan organofosfat, tapi lebih mendadak dan tidak lama karena efeknya terhadap enzim kolinesterase tidak persisten. Meskipun gejala keracunan cepat hilang, tetapi karena munculnya mendadak dan menghebat dengan cepat maka dapat berakibat fatal jika tidak segera mendapat pertolongan yang disebabkan oleh depresi pernafasan. Depresi aktivitas kolinesterase ini bertahan dalam 2 minggu. Pemeriksaan ini bisa dilakukan di luar laboratorium dengan menggunakan tintometer kit (Peduto, 1996).

Secara skematis ruang lingkup atau jangkauan pemahaman ahli kesehatan lingkungan meliputi sumber keberadaan bahan penyakit dalam wahana penyakit, keberadaan bahan (agent) dalam tubuh manusia serta dampak yang ditimbulkannya dengan menggunakan teori simpul seperti digambarkan secara skematis sebagai berikut (Gambar 2.1):

Gambar 2.1. Teori Simpul Keracunan Pestisida

Sumber Pestisida Media Transmisi - Udara - Air - Makanan Pajanan/ kontak  Penggunaan pestisida (pencampuran dosis, frekuensi, waktu, lama penyemprotan, arah angin, pemakaian alat pelindung diri

Dampak

Aktivitas kolinesterase darah

pada petani tomat

(32)

Keterangan gambar:

1) Simpul 1 adalah sumber keracunan adalah pestisida.

2) Simpul 2 adalah media transmisi. Media transmisi merupakan pengamatan keracunan pestisida yang telah terpapar melalui udara pada saat menyemprot dan air pada saat melakukan racikan pestisida.

3) Simpul 3 adalah proses pajanan/kontak pada petani. Pestisida yang telah berada pada media transmisi (air, makanan, udara) kemudian berinteraksi dengan petani tomat. Intensitas hubungan interaktif antara media transmisi (lingkungan) dengan petani tergantung pola penggunaan pestisida misalnya dosis pestisida, waktu penyemprotan, frekuensi penyemprotan, lama penyemprotan, arah angin, pemakaian alat pelindung diri.

Adapun beberapa faktor penggunaan pestisida yang mempengaruhi aktivitas kolinesterase:

1. Pencampuran Dosis

Pencampuran dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan pestisida, karena itu dalam melakukan pencampuran pestisida untuk penyemprotan petani hendaknya memperhatikan takaran atau dosis yang tertera pada label. Dosis atau takaran yang melebihi aturan akan membahayakan penyemprot itu sendiri. Pada saat pencampuran dosis sebaiknya menggunakan alat khusus seperti kayu serta memakai sarung tangan.

2. Waktu Penyemprotan

(33)

3. Frekuensi Penyemprotan

Frekuensi penyemprotan mempunyai peranan terhadap aktivitas kolinesterase darah pengguna pestisida khususnya petani. Frekuensi penyemprotan adalah kekerapan melakukan penyemprotan dengan pestisida, disarankan bagi tenaga kerja melakukan penyemprotan tidak lebih 2 kali seminggu.

4. Lama Penyemprotan

Lama penyemprotan mempengaruhi tingkat keracunan pestisida. Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai dengan ketentuan dengan memperhatikan lama penyemprotan adalah maksimal 3-4 jam per hari dan setiap minggu harus dilakukan pengujian kesehatan.

5. Arah Angin

Arah angin penting diperhatikan pada saat penyemprotan. Penyemprotan sebaiknya dilakukan searah dengan arah angin karena apabila penyemprotan dilakukan melawan arah angin, petani akan lebih banyak terpapar saat menyemprot.

6. Pemakaian APD

Pemakaian alat pelindung diri bertujuan untuk melindungi diri dari sumber bahaya tertentu, baik yang berasal dari pekerjaan maupun lingkungan kerja. 4) Simpul 4 adalah dampak. Dampak yang dimaksud adalah aktivitas

(34)

2.11. Kerangka Konsep

Dari uraian yang telah dibahas sebelumnya, maka dapat digambarkan kerangka konsep penelitian sebagai berikut (Gambar 2.2):

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Paparan Pestisida:  Pencampuran dosis  Waktu penyemprotan  Frekuensi penyemprotan  Lama penyemprotan  Arah angin  Pemakaian alat pelindung diri Aktivitas kolinesterase darah

Gambar

Tabel  2.1.  Indikator  Tingkat  Keracunan  menurut  Tingkat  Aktivitas  Kolinestrase  dalam Darah
Gambar 2.1. Teori Simpul Keracunan Pestisida Sumber Pestisida Media Transmisi - Udara -  Air -  Makanan Pajanan/ kontak  Penggunaan  pestisida (pencampuran dosis, frekuensi,  waktu,  lama penyemprotan, arah angin,  pemakaian  alat pelindung diri
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Paparan Pestisida:   Pencampuran dosis   Waktu penyemprotan    Frekuensi penyemprotan   Lama penyemprotan   Arah angin   Pemakaian alat pelindung diri  Aktivitas  kolinesterase darah

Referensi

Dokumen terkait

Bentuknya berupa syarat yang diajukan oleh salah satu dari dua pihak yang melakukan akad jual beli kepada pihak lainnya untuk mendapatkan suatu manfaat pada hal-hal

Berlaku Menurut Lapangan Usaha Kabupaten Bungo (juta rupiah), 2010-2012 Percentage Distribution of Gross Domestic Regional Product at Current Market Price by Industrial Origin

Seorang wanita yang mempunyai tingkat pen- didikan tinggi cenderung untuk menjadi wa- nita karier seperti terlihat pada Tabel 1 bahwa responden di Jurang Ombo yang secara umum

Penentuan umur relatif satuan khuluk dilakukan berdasarkan hasil analisis tubuh gunungapi yang telah disebutkan sebelumnya dan disebandingkan dengan satuan batuan

Simpulan : Terdapat perbedaan yang bermakna antara derajat gangguan pendengaran yang dialami dengan jenis OMSK benigna dan maligna, dimana... semakin ganas

Hasil evaluasi konteks dalam penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi program Diklatpim IV yang berkaitan dengan landasan dan tujuan dilaksanakannya Diklatpim

Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua dengan persepsi remaja tentang perilaku seks pranikah di MAN II Yogyakarta tahun 2010 yang

Try Scribd FREE for 30 days to access over 125 million titles without ads or interruptions.. Start