• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Pembagian Kekuasaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Teori Pembagian Kekuasaan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Teori Pembagian Kekuasaan

Oleh: I Gusti Ngurah Santika, SPd

Salah satu ciri untuk dapat disebut sebagai negara konstitusional (constitutional state), yaitu adanya jaminan terhadap hak asasi manusia, selain juga dipersyaratkan adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan (distribution or separation of power), yang tentunya merupakan suatu masalah yang sangat prinsipil terutama bertujuan dalam rangka membatasi kekuasaan penguasa yang dalam sejarahnya cenderung bersifat absolut. Teori pembatasan (limitation of power) sangatlah erat kaitannya dengan teori tentang pemisahan kekuasaan (separation of power) atau teori pembagian kekuasaan (division of power or distribution of power). Setiap orang yang telah dengan jelas mengetahui tentang teori pemisahan kekuasaan, tentunya sangat mengenal dengan akrab nama Montesquieu yang merupakan filsuf Perancis pencetus doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan teori yang dinamakan dengan Trias Politica. Menyusul setelah lahirnya teori tersebut kemudian menjadi perdebatan di berbagai belahan dunia, baik dalam bentuk diskusi baik langsung maupun secara tidak langsung serta menghiasi berbagai buku yang merupakan karya-karya para ahli terutama yang bergerak di bidang ketatanegaraan. Tentunya sampai sekarangpun berkaitan dengan teori Trias Politica ternyata masih banyak yang mendiskusikannya bahkan menjadi sebuah perdebatan hangat di seputar kenegaraan, baik dalam bentuk dukungan sepenuhnya terhadap gagasan tersebut maupun yang tidak menyetujuinya terutama terhadap gagasannya tentang adanya pemisahan mutlak terhadap kekuasaan (separation

of power).

Namun, setidaknya perlulah diketahui oleh khalayak umum bahwa sebelum Montesquieu mencetuskan teori Trias Politica-nya ternyata ada seorang sarjana lainnya, yang merupakan penggagas utama tentang teori yang membagi kekuasaan negara ke dalam lembaga-lembaga yang tentunya melaksanakan tugas dan fungsi berbeda, yang berarti tugas dan fungsi tersebut hanya dapat dipegang masing-masing lembaga-lembaga negara. Adalah John Locke yang merupakan seorang sarjana berkebangsaan Inggris dalam tulisan terkenalnya yang berjudul “Second Treaties of Civil Government” (1690), dengan pendapatnya bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidaklah boleh dipegang sendiri oleh mereka yang bertugas untuk menerapkannya. Dengan kata lain, maksud dari John Locke adalah untuk membedakan tugas dan kewenangan dari badan legislatif dan eksekutif agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Kemudian sampailah John Locke pada konsep pembagian kekuasaan negara yang terdiri atas tiga fungsi, yaitu.

a. Fungsi Legislatif, untuk membuat peraturan; b. Fungsi eksekutif, untuk melaksanakan peraturan;

c. Fungsi federatif, untuk mengurusi urusan luar negeri dan urusan perang dan damai (Busroh,2001;84)

(2)

Menurut John Locke bahwa fungsi mengadili haruslah termasuk ke dalam lingkungan eksekutif, sedangkan urusan mengenai diplomasi atau hubungan luar negeri merupakan suatu badan tersendiri, yang tentu menurutnya harus terpisah dengan badan eksekutif. Dengan kata lain, Locke telah menyatukan fungsi antara lembaga ekskutif dan yudikatif, yang pada dasarnya merupakan dua lembaga negara yang memiliki kedudukan dan fungsi berbeda antara satu sama lainnya. Kemudian beberapa puluh tahun setelah itu yaitu pada tahun 1748 filsuf Perancis yang bernama Montesquieu berinisitaif untuk mengembangkan lebih lanjut pemikiran cemerlang John Locke tentang pembagian kekuasaan, yang kemudian hasil pemeikirannya di tuangkan kembali dalam bukunya berjudul L’Esprit des Lois (The Sprit of the Laws). Alasan utama lahirnya ide pemisahan kekuasaan oleh Montesquieu, karena ia melihat sendiri sifat despostis dari raja-raja Bourbon, kemudian berkeinginan untuk menyusun suatu sistem pemerintahan di mana warga negaranya merasa lebih terjamin haknya. Dalam bukunya The Spirit of Laws berkaitan absolutnya kekuasaan pada waktu itu, karena tiadanya konsep pembagian kekuasaan yang jelas maka dengan pemikiran jernih dan mendalam terhadap ketiga kekuasaan tersebut maka dipandang perlu untuk memisahkan kekuasaan antara lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif (Montesquieu,2011;187). Pendapat ini merupakan hasil dari suatu rangkaian kegiatan Montesquieu, terutama dalam mempelajari sistem ketatanegaraan dari berbagai negara yang selama ini dikunjunginya, terutama negara yang dimaksudkan dalam hal ini adalah Inggris. Yang menurut Montesquieu memang benar-benar telah mempraktekan idenya dalam kenyataan. Menurutnya, bahwa sistem konstitusi Inggris telah menerapkan ide tersebut berupa prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan, seperti apa yang Montesquieu bayangkan pada waktu itu. Meskipun doktrin ini sebenarnya tidaklah pernah berlaku di Inggris yang bersistem parlementer, tetapi ia tetaplah penting dalam alam ketatanegaraan Inggris. Berkait dengan tidak berlakunya teori pemisahan kekuasaan di Inggris, karena di sana justru konsep yang dianut adalah adanya hubungan erat sekali antara fungsi lembaga eksekutif dan legislatif. Terlihatlah secara jelas tentang pernyataan di atas, seperti adanya suatu persyaratan untuk dapat menduduki jabatan eksekutif tentu harusnya juga duduk dalam lembaga legislatif. Dengan demikian, jelaslah bahwa apa yang dilaksanakan dalam sistem ketatanegaraan Inggris, sebenarnya tidak adanya pemisahan kekuasaan secara mutlak sebagaimana apa yang dibayangkan oleh Montesquieu. Karena terkait dengan ide pemisahan kekuasaan sebagaimana yang diinginkan oleh Montesquieu memanglah tidak sepenuhnya dapat diterapkan dalam praktik ketatanegaraan di sana. Terkait dengan adanya teori pemisahan kekuasaan dari Montesquieu, yang kemudian membagi kekuasaan tersebut menjadi tiga cabang kekuasaan. Maka lebih lanjut menurutnya bahwa ketiga kekuasaan itu haruslah terpisah satu sama lainnya, bahkan terkait dengan tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya. Namun, perlu diketahui terkait dengan pemisahan kekuasaan bahwa berkaitan dengan ide awal mula yang sebenarnya bukanlah berasal dari Montesquieu. Kemudian selanjutnya yang memberikan nama ketiga teori pemisahan kekuasaan tersebut dengan nama Trias Politica bukanlah Montesquieu melainkan Immanuel Kant. Bahkan, Ghoffar (2009;11) menyatakan dengan tegas bahwa dasar pemikiran Trias Politica sudah pernah dikemukakan oleh Aristoteles dan kemudian juga pernah dikembangkan

(3)

oleh John Locke. Dengan begitu, ajaran ini bukan ajaran yang baru bagi Montesquieu. Kemudian Latif (2009;24) lebih lanjut menyatakan hal yang kurang lebih sama bahwa terkait dengan ajaran ini yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai doktrin “Trias Politica” Montesquieu. Dasar pemikiran doktrin Trias Politica sebelumnya pernah ditulis oleh Aristoteles dan kemudian dikembangkan oleh John Locke, dengan menyatakan bahwa yang membatasi kekuasaan yang absolut, bukan karena pemisahan kekuasaan melainkan hak asasi manusia itu sendiri. Tidaklah jauh dengan pernyataan di atas, maka di bawah dapat juga dinyatakan, bahwa.

Gagasan Trias Politika ini semula ditawarkan oleh John Locke dengan tawarannya tentang keharusan adanya tiga kekuasaan yang berbeda agar negara tidak menjadi totaliter, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif dan federatif. Kemudian oleh Montesquieu menyempurnakannya dengan meletakan kekuasaan federatif sebagai bagian dari eksekutif, serta meletakan kekuasaan yudikatif yang berdiri sendiri sejajar dengan kekuasaan legislatif maupun eksekutif. Nama “Trias Politika” itu bukan berasal dari John Locke maupun Montesquieu, melainkan berasal dari Immanuel Kant yang datang kemudian (Mahmud MD dan Marbun,2000).

Ajaran Trias Politica Montesquieu, sangatlah menekankan kepada kebebasan kekuasaan yudikatif (kehakiman), hal ini dikarenakan menurutnya bahwa di sinilah letaknya kemerdekaan individu dan hak asasi manusia itu untuk dijamin bahkan menjadi taruhan. Tidak lain, karena Montesquieu tahu betul bahwa jika seandainya kekuasaan yudikatif tidak dipisahkan dengan kedua lembaga negara yang lainnya, maka apa yang mungkin terjadi adalah berupa putusan-putusan pengadilan tidaklah dapatlah dipertanggungjawabkan terutama terhadap kebenaran dan keadilan. Bahkan yang menjadi jaminan utama dalam mempertahankan hak asasi manusia merupakan tugas mulia daripada lembaga yudikatif. Latar belakang pemisahan lembaga yudikatif dengan kedua lembaga lainnya tersebut, tidak lain karena latar belakang daripada pekerjaan Montesquieu itu sendiri sebagai seorang hakim, yang tahu betul apa yang menjadi tugas dari lembaga yudikatif, yang tentunya sangat berlainan sekali dengan lembaga negara lainnya terutama berkaitan dengan wewenang dan tugasnya sehari-hari. Kekuasaan legislatif, menurutnya adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kemudian kekuasaan eksekutif meliputi pelaksanaan daripada undang-undang, (tetapi oleh Montesquieu juga termasuk dalam tindakan di bidang politik luar negeri), sedangkan lembaga terakhir yang terkait dengan kekuasaan yudikatif adalah kewenangan untuk mengadili atas terjadinya suatu pelanggaran terhadap undang-undang.

Dari sini kemudian dapatlah kita membedakan antara konsep teori dari John Locke dengan Montesquieu. Jika Locke memasukan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, maka Montesquieu memandang kekuasaan pengadilan (yudikatif) itu sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri. Hal itu disebabkan karena pekerjaan sehari-hari sebagai seorang hakim, Montesquieu mengetahui betul bahwa kekuasaan eksekutif itu sangat berlainan dengan kekuasaan yudikatif. Sebaliknya, Montesquieu cenderung untuk memasukan kekuasaan federatif ke dalam kekuasaan eksekutif (Budiardjo,2008). Oleh karena itu, berkaitan dengan kekuasaan yudikatif, Bechar

(4)

(2005;99) menyatakan bahwa yang khusus itu (kekuasaan yudikatif, pen) berbeda dengan kewajiban pokok pejabat-pejabat eksekutif maupun legislatif yang berpangkal kepada pembagian kekuasaan negara menjadi 3 kekuasaan menurut Trias Politika Montesquieu. Tidak lain terkait dengan kewenangan lembaga yudikatif, yang memiliki kekuasaan berbeda dan sangat besar terutama dalam memutuskan sebuah kasus konkret berdasarkan norma umum, yang tentunya harus selalu dipertahankan independensinya, terutama dari pengaruh-pengaruh lembaga-lembaga negara lainnya yang berada di luar kekuasaan yudikatif. Untuk itulah, perlunya pertimbangan yang matang bahwa terkait dengan ketiga kekuasaan yaitu berkenaaan kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudikatif, untuk tidak saling mencampuri urusan satu sama lainnya, tidak lain hanya semata-mata demi untuk menjaga independensi daripada masing-masing lembaga negara, serta yang menjadi tujuan utamanya adalah untuk menjamin hak asasi manusia agar tidak dilanggar oleh penguasa yang kebetulan memegang kekuasaan tersebut.

Menurut pendapat dari Montesquieu bahwa jika ketiga kekuasaan dan tiga badan kenegaraan tersebut tidak sekali-kali dipisahkan, maka dengan sendirinya para penguasa di dalam negara dapat bertindak sewenang-wenang terhadap warga negara. Jika tiga kekuasaan dan tiga badan kenegaraan tersebut tidak sekali-kali dipisahkan, maka dengan sendirinya pada penguasa di dalam negara bertindak sewenang-wenang (Utrecht,1986;19-20). Dan dapatlah dibayangkan jika seandainya ketiga kekuasaan tersebut hanya diletakan dalam satu lembaga yang tentunya akan berpotensi untuk menggoda penguasa yang kebetulan pada waktu itu memegang kekuasaan tersebut kemudian menyalahgunakannya, yang pada akhirnya hanya melanggar hak-hak asasi manusia padahal seharusnya perlu dijamin. Berdasarkan pemikiran tersebut maka tidaklah mungkin untuk ketiga kekuasaan tersebut kemudian diserahkan hanya kepada satu tangan ataupun satu lembaga. Untuk itu ketiga kekuasaan tersebut haruslah diserahkan pula kepada ketiga lembaga, yang tentunya sudah ditentukan masing-masing hanya memiliki satu kewenangan, yang artinya berbeda kewenangan antara satu lembaga dengan lembaga yang lainnya. Hal dikarenakan ide Montesquieu yang mengemukakan ajaran Trias Politika pada dasarnya bertujuan tidak lain hanya untuk memberantas atau setidak-tidaknya dapat membatasi kekuasaan penguasa (raja) yang pada waktu itu bersifat absolut dan bertindak secara sewenang-wenang, agar hak kebebasan serta kemerdekaan individu (para warga negara) dapat terjamin pelaksanaannya (Soehino,1984;5). Penguasa yang memiliki kekuasaan terbatas terutama dalam melakukan tindakan serta mencegah kemungkingan menjadi absolutnya kekuasaan penguasa yang tentunya kemudian dapat menjamin hak warga negara merupakan landasar dari teori pemisahan kekuasaan ini. Hal ini merupakan suatu upaya dari Montesquieu dalam menjamin bahwa kewenangan yang diberikan tidak kepada lembaga tersebut tidaklah disalahgunakan. Tujuan pembagian kekuasaan ini adalah untuk mencegah penyalahgunaan atau penyelewengan tersebut, kekuasaan itu harus dibatasi, antara lain dengan tidak memperbolehkan kekuasaan itu berada di satu tangan (Manan dan Magnar,1997;38). Jadi, kesepakatan yang didapatkan untuk sementara waktu adalah kekuasaan tidaklah dapat diserahkan hanya kepada satu lembaga terutama berkaitan dengan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara, namun untuk itu perlulah dipisahkan sedemikian rupa, agar kemudian tidak terjadi hal-hal yang pada dasarnya

(5)

tidak diinginkan seperti absolutnya kekuasaan penguasa. Menurut konsep semula, tujuannya ialah “pemisahan kekuasaan” guna mencegah keabsolutan penguasa. Karena itu kekuasaan harus dipisah (tanpa hubungan) satu sama lain (Kantaprawira,1990;52).

Menurut beliau, kekuasaan itu bukannya hanya harus dibedakan saja, melainkan kita seharusnya memisahkannya juga, artinya membagi-bagi atas beberapa orang atau badan, karena penyatuan kekuasaan tersebut dalam satu tangan akan memusnahkan kemerdekaan rakyat (Apeldoorn,2011;302). Maka, jaminan utama kemerdekaan akan dapat tercapai hanya jika ketiga kekuasaan tersebut benar-benar didistribusikan ke dalam beberapa lembaga negara yang memang terpisah, guna melaksanakan tugasnya masing-masing yang tentunya berbeda serta secara terpisah yang bertujuan untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak menjadi absolut. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa gagasan pembatasan dan pengawasan penggunaan kekuasaan menjadi penting (Saptaningrum,2006;104). Yaitu dengan cara masing-masing kegiatan (lembaga,pen) tersebut adalah 1(satu) task (1985;22).

Bahkan yang lebih ekstrim lagi menurut pendapat dari Montesquieu yang dengan tegas menyatakan bahwa kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang atau dalam satu badan penguasa, maka tak ada kemerdekaan. Akan merupakan malapetaka kalau seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan ataukah dari rakyat jelata, diserahi menyelenggarakan ketiga-tiga kekuasaan itu, yakni kekuasaan membuat undang-undang, menyelenggarakan keputusan-keputusan umum, dan mengadili persoalan-persoalan individu-individu (Budiardjo,2008;282). Tentunya dalam hal ini akan sesuai dengan pandapat dari Prodjodikoro (1981;64) yang menyatakan apabila kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif dipegang oleh satu orang atau badan, maka tidak akan ada ”kemerdekaan” (liberty), karena ada kekhawatiran di antara para anggota masyarakat, bahwa seorang (monarch) atau satu badan yang berkuasa itu akan membikin peraturan-peraturan yang kejam dan sekali akan melaksanakan peraturan-peraturan itu secara kejam.

Kekuasaan pemerintahan yang terpusat pada satu tangan cenderung disalahgunakan dan untuk mencegahnya harus dipisah-pisahkan (Pamudji,1983;24). Bahkan kecendrungan penyalagunaan kekuasaan yang akan berpotensi melanggar hak-hak dasar manusia yang sebenarnya merupakan jaminan utama bahwa hanya dengan hak dasar tersebut maka barulah ia dapat diakui sebagai seorang manusia dalam arti sesungguhnya, yang tentunya jika dilekati dengan hak-hak asasinya. Oleh karenanya, jaminan hak asasi manusia hanya dapat diperoleh yaitu dengan cara mencegah penyalahgunaan kekuasaan dengan membagi-bagi atau memisahkan yaitu seperti sesuai dengan apa yang teori Montesquieu nyatakan. Pokoknya menurut Montesquieu bahwa kekuasaan di antara ketiganya benar-benar harus dipisahkan satu sama lain, bahkan pemisahan ketiga kekuasaan tersebut haruslah bersifat mutlak. Oleh karena itu, menurut pendapat penulis bahwa inilah sebagai awal mula dari adanya “gagasan konstitusionalisme”, yang bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia yaitu dengan memisahkan ketiga kekuasaan tersebut serta mendistribusikan ke dalam tangan-tangan yang berbeda. Patutlah dicatat bahwa biarpun pelajaran Montesquieu diterima dihampir semua negara-negara di Eropa Barat, hanya

(6)

sebagian sajalah dari pelajaran tersebut kemudian menjadi dasar dari tata negara. Tidak lain karena apa yang telah dinyatakan oleh Montesquie itu, tidaklah seratus persen benar-benar dapat diikuti oleh negara-negara lain. Dikarenakan jika kekuasaan sungguh-sungguh dipisahkan secara mutlak, maka justru dapat menyebabkan kekuasaan masing-masing lembaga negara tersebut tidaklah dapat diawasi yang kemudian akan berujung tidak terkendali kekuasaan yang ada pada lembaga tersebut. Tidak lain, dikarenakan tidak adanya pengawasan terhadap kewenangan dari badan-badan tersebut dalam menyelenggarakan kekuasaannya akan menyebabkan pula si pemegang kekuasaan menjadi absolut. Namun, dapatlah dikatakan bahwa pembagian kekuasaan ini merupakan konsep yang memiliki kedudukan penting dalam sejarah ketatanegaraan bahkan sampai sekarang. Kemudian lebih lanjut menurut Marice Duverger dalam Thaib (1994;8) menyatakan bahwa persoalan tersebut maha penting. Oleh karena masalah tersebut dikemukakan justru pada waktu ilmu pengetahuan serta praktek ketatanegaraan meletakan pada tangan penguasa suatu maha kekuasaan yang tak dikenal oleh penindas manapun juga di dalam sejarah ketatanegaraan. Dalam suatu negara modern ternyata teori Montesquieu seluruhnya tidaklah dapat dipraktekan terutama secara murni dan konsekuen, ternyata pada zaman seperti sekarang ini rupanya teori Montesquieu seluruhnya hanya dapat dipraktekan di Amerika Serikat saja. Hal ini karenakan, menurut Dahl (1985;103) bahwa norma konstitusional memberikan suatu pembagian wewenang yang ekstensif berdasarkan federalisme dan pemisahan kekuasaan. Bahkan tidak lain dikarenakan pembagian kekuasaan berdasarkan Trias Politika dimaksudkan untuk lebih membatasi kekuasaan pemerintah federal terutama dalam hubungannya dengan badan legislatif dan badan yudikatif (Budiardjo,2008;278). Sehingga konsep utama yang menjadi dasar dalam hal ini adalah adanya suatu jaminan yang sifatnya utama terhadap hak asasi manusia yang ditentukan secara tegas oleh konstitusi. Ini dapat dimengerti, apabila kita mengingat, bahwa

foundhing fathers dari Amerika sangat dipengaruhi oleh teori-teori Locke, Paine, Rosseau dan

Montesquieu, yang sebelum Revolusi Perancis makin lama, makin besar pengaruhnya (Hartono,1982;25). Jadi para penyusun konstitusi Amerika Serikat, sangatlah mengagumi teori dari Montesquieu, yang memisahkan kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga lembaga negara. Selain alasan itu pula, kebencian penduduk koloni terhadap kekejaman kerajaan Inggris merupakan sebab utama yang menjadi pemikiran utama bagi para penyusun konstitusi Amerika Serikat, untuk serta merta memisahkan kekuasaan ketiga lembaga negara tersebut dengan fungsinya masing-masing. Tetapi di situpun telah timbul kesukaran-kesukaran berkaitan dengan praktik ketatanegaraan, karena untuk zaman modern seperti sekarang ini tidaklah mungkin untuk dapat diselenggarakan semua teori Montesquieu secara murni dan konsekuen dengan berbagai implikasi yang mengiringinya, apalagi suatu negara yang pada dadsarnya menganut asas negara hukum dalam arti luas, yang tidak hanya membagi kekuasaan hanya satu tugas kepada satu badan untuk diselenggarakan melainkan demi efisiensi dapat saja, satu organ memiliki lebih dari satu kekuasaan. Namun, janganlah sampai demi efisiensi kemudian ternyata terjadi pelanggaran terhadap batasan-batasan hukum oleh suatu kekuasaan yang tidak jelas konsepnya. Dalam hal ini Kelsen (2011;382) menyatakan bahwa demi keberhasilan kerja dari sistem ini, orang-orang yang diserahi kekuasaan dalam masing-masing bidang tidak diperbolehkan melanggar batas-batas

(7)

kekuasaan yang ditetapkan untuk bidang-bidang lain, dan masing-masing bidang harus dibatasi, oleh hukum yang dibuatnya sendiri, pada pelaksanaan kekuasaan-kekuasaan yang sesuai dengan bidangnya sendiri dan bukan bidang bidang lain. Jadi, pada garis besarnya Kelsen berpendirian bahwa keberhasilan suatu lembaga telah ditentukan secara tegas dalam aturan hukum yang membatasi masing-masing tugasnya, yang kemudian haruslah terlebih dahulu diselesaikannya sendiri dikarenakan bahwa hanya dengan satu tugas tentunya fokus pekerjaannya akan lebih mudah diselesaikan, serta tidak diperbolehkan untuk ikut mencampuri urusan lembaga lainnya. Tidak lain dikarenakan sudah ditentukan batas-batas kekuasaan masing-masing yang tentunya tidaklah boleh saling mencampuri urusan lembaga lain untuk menghindari terjadi tumpang tindih. Namun, tetap saja diperlukan upaya yang baik untuk dapat menyelesaikan suatu tugas, apalagi jika tugas-tugas sebagaimana dimaksud merupakan tugas yang sangat berat, tentunya diperlukan suatu bantuan dari yang lainnya, sehingga dengan kebersamaan suatu pekerjaan akan lebih mudah dapat diselesaikan. Bahkan, konsep ini sudah lama dipraktikan dan tidak dapat dihindari dalam praktik ketatanegaraan disemua negara yang kemudian dikenal dengan nama

checks and balances. Amerika Serikat yang semula ingin menjalankan teori Trias Politika secara

murni, kenyataan dalam praktiknya saling mengawasi dan saling mengadakan perimbangan antara kekuasaan-kekuasaan negara (checks and balance system). Sistem check and balance tersebut dimaksudkan agar ketiga badan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif, yang masing-masing dijalankan oleh Presiden, Kongres dan Mahkamah Agung) itu tidak menjalankan kekuasaannya melebihi atau kurang dari masing-masing kekuasaan yang ditentukan oleh konstitusi (Maksudi,2012;94-95). Asumsi yang digunakan oleh penyusun konstitusi Amerika Serikat adalah menurut teori Montesquieu yang menyatakan bahwa lebih terjamin dengan adanya pembagian fungsi yang berbeda pada lembaga-lembaga pemerintahan yang terpisah (di Amerika Serikat: Konggres, Eksekutif, dan Pengadilan) (Morgenthau,1990). Hal yang sama dinyatakan oleh K.C Wheare (2005;39) bahwa pada dasarnya kesimpulan-kesimpulan ini benar, tetapi ada satu hal yang harus digaris bawahi. Konstitusi Amerika memisahkan tiga institusi – Kongres, Presiden (beserta seluruh stafnya), dan yudikatif – dan tidak memperbolehkan terjadinya tumpang – tindih personel di antara ketiganya, tetapi konstitusi tidak memberikan masing-masing proses itu kepada salah satu dari lembaga-lembaga tersebut dengan pemisahan secara mutlak. Morgenthau (1990;10) berpendapat bahwa para penyusunnya (konstitusi,pen) menyadari bahwa pemerintah yang bertindak adalah kekuasaan. Mereka mengadu ambisi, kepentingan dan kekuatan manusia di dalam ketiga departemen, yang satu dengan lainnya sedemikian rupa hingga suatu badan-badan dicegah mengambil semua kekuasaan, menjadi sangat kuat sehingga membahayakan. Namun, dilain pihak menurut Kusnardi dan Sarigih (1986;31) bahwa sebenarnya jaminan bagi kebebasan politik tidak terlalu terikat kepada pemisahan kekuasaan seperti diterangkan di atas, akan tetapi bisa juga jaminan kebebasan politik itu diperoleh dengan menambahkan banyaknya badan-badan untuk tugas yang sama, sehingga perimbangan kekuatan bisa terwujud. Adanya pembagian peran yang seimbang dan saling melengkapi antar ketiga usur tersebut bukan hanya memungkinkan adanya checks and balances, tetapi juga menghasilkan sinergi yang baik antar ketiganya dalam mewujudkan kesejahteraan bersama

(8)

(Dwiyanto,2005;18). Kesemua organ yang terdiri dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang pada umumnya selalu terdapat dalam setiap konstitusi. Paling tidak keberadaan fungsinya merupakan pencerminan dari pentingnya organ-organ tersebut dalam setiap negara. Fungsi-fungsi antara organ yang satu dengan yang lain adalah saling menjaga dan membatasi sebagai wujud dari keseimbangan kekuasaan sehingga mampu mencegahnya menjadi absolut. Menurut apa yang diakui bahwa konstitusi yang diciptakan sebagai instrumen pengawasan dan perimbangan (checks and balances). setiap cabang pemerintahan bertugas mengawasi yang lain-lainnya, dan mempertahankan sikap seimbang secara keseluruhan. Cabang legislatifnya harus mengimbangi cabang eksekutif dan cabang yudikatif kedua-keduanya (Morgenthau,1990;9). Dengan demikian, kekuasaan tidaklah harus dipisahkan secara mutlak, namun demi keefektifan dalam mencapai tujuan negara, maka kekuasaan perlulah untuk dibagi dengan catatan tetap adanya hubungan satu fungsi dengan fungsi yang lainnya.

Menurut Fadjar (2005;61) bahwa asas pembagian kekuasaan negara merupakan asas yang paling esensial pula bagi suatu negara hukum, karena selain berfungsi untuk membatasi kekuasaan dari penguasa (alat kelengkapan negara), juga untuk mewujudkan spesialisasi fungsi dalam rangka mencapai efisiensi yang maksimum, sesuai dengan tuntutan zaman yang makin modern. Namun, dapatlah dinyatakan teori Montesquieu tentang adanya konsep berupa pemisahan ketiga kekuasaan tersebut, maka menurut Dwidjowijoto (2004;100) bahwa prinsip ini menjadi salah satu prinsip dasar penyelenggaraan negara melalui politik demokratis. Bahkan Strong (2005;14) menyatakan bahwa negara-negara yang ada di dunia dibedakan berdasarkan pada variasi komposisi dan hubungan di antara ketiga kekuasaan pemerintahan tersebut.

Jadi, dalam pelaksanaan berupa praktik ketatanegaraan sepanjang sejarah maka teori Trias Politika Montesquieu, tidaklah dapat diterapkan secara murni dalam negara-negara modern seperti sekarang ini, yang pada dasarnya memiliki tugas-tugas kengaraannya kian-kian hari menjadi semakin kompleks. Hal sama dinyatakan oleh Mahmud MD dan Marbun (2000;14) dengan mengutip pendapat Van Vollenhoven yang menyatakan bahwa ajaran Trias Politika tidak pernah dapat dilaksanakan dengan konsekuen di negara-negara modern. Bahkan doktrin pemisahan kekuasaan, seperti apa yang kemudian dibayangkan oleh Montesquieu itu, dianggap oleh para ahli sebagai suatu pandangan yang tidak realisitis, bahkan tentunya masih sangat jauh dari kenyataan. Pandangannya itu dianggap, oleh para ahli merupakan suatu kekeliruan utama Montesquieu dalam usahannya untuk memahami daripada sistem ketatanegaraan Inggris yang dijadikannya objek telaah, untuk mencapai kesimpulan mengenai Trias Politica itu dalam bukunya yang berjudul L’Espirit des Lois (1748). Karena seperti yang telah dinyatakan di atas, bahwa sistem ketatanegaraan Inggris tidaklah menganut sistem pemisahan kekuasaan, melainkan adanya hubungan yang sangat erat antara dua fungsi yang dipegang oleh eksekutif dan legislatif. Bahkan, dapat dikatakan bahwa „tidak ada satupun negara‟ di dunia ini yang sungguh-sungguh „mencerminkan gambaran‟ seperti apa yang dibayangkan oleh Montesquieu, tentang konsep pemisahan kekuasaan (separation of power). Bahkan, struktur dan sistem ketatanegaran yang dijadikan objek dalam meyelesaikan bukunya itupun ternyata tidaklah menganut sistem

(9)

pemisahan kekuasaan, seperti apa yang beliau bayangkan. Dalam hal ini Soehino (1983;219) berpendapat bahwa tentang ajaran Trias Politika Montesquieu kiranya hanya mungkin dapat dilaksanakan secara konsekuen pada negara hukum dalam pengertian sempit, seperti yang pernah dikemukakan oleh Immanuel Kant dan Fichte, yaitu negara di mana tugasnya itu hanya membuat serta mempertahankan hukum. Bahkan menurut Utrecht (1986;20) bahwa adanya pemisahan mutlak seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu, mengakibatkan adanya badan kenegaraan yang tidak (dapat) ditempatkan di bawah pengawasan (controle) (suatu badan kenegaraan lainnya). Tidak ada pengawasan itu berarti kemungkinan bagi suatu badan kenegaraan untuk melampaui batas kekuasaannya dan oleh sebab itu kerja sama antara masing-masing badan kenegaraan dipersulit. Jadi, pemisahan kekuasaan secara mutlak seperti apa yang telah dikemukakan dahulu oleh Montesquieu, yang tujuan utamanya adalah untuk memberantas kekuasaan mutlak serta tindakan sewenang-wenang dari raja, tetapi malahan hanya mengakibatkan pemindahan saja sifat mutlak itu dari raja kepada tiap-tiap badan yang memegang kekuasaan tersebut, sebab badan-badan tersebut satu sama lain lalu tidak dapat saling mengawasi. Jadi akibatnya, sekarang yang dapat bertindak sewenang-wenang bukanlah raja melainkan badan-badan kenegaraan tersebut (Soehino,1983;217). Namun, untuk sekarang adalah lebih realistis jika ketiga kekuasaan tersebut tidak dipisahkan secara kaku apalagi untuk negara yang menganut pemerintahan demokrasi. Demikian juga menurut Murhani (2008;4) yang menyatakan bahwa di dalam suatu negara dengan sistem pemerintahan demokrasi yang konsep dasarnya adalah pemisahan kekuasaan (separation of power) yang kemudian berkembang menjadi konsep pembagian kekuasaan (distribution of power). Jadi, hanya lembaganya saja yang hanya dapat dipisahkan, namun berkaitan dengan wewenang yang dimiliki oleh badan-badan tersebut satu sama lainnya haruslah saling memiliki hubungan yang dekat. Sehingga dengan demikian akan dapat saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) antar satu lembaga yang memiliki fungsi tertentu dengan lembaga lainnya yang juga memiliki fungsi berbeda. Hal ini dikarenakan menurut Isra (2010;75) bahwa perkembangan teori hukum tata negara modern (modern constitutional theory) membuktikan, cabang-cabang kekuasaan negara semakin berkembang dan pola hubungannya pun semakin complicated.

Namun, jika kita sejenak kembali ke belakang bahwa sebenarnya ajaran pembagian kekuasaan negara dari John Locke pada abad ke XVII baru merupakan gambaran dari suatu asas pokok dalam ajaran Montesquieu dalam abad ke XVIII, dalam bentuknya yang lain, yaitu menjadi kekuasaan pemisahan kekuasaan negara, dengan kemerdekaan politik sebagai tujuannya (Soehino,1983;118). Penulis rasa, bahwa tentang adanya pembagian kekuasaan, tentunya sangat berkaitan terutama dengan „struktur ketatanegaraan‟ dari suatu negara. Maka dalam hal ini menurut penulis, paling tidak untuk pembagian struktur ketatanegaraan dapatlah kemudian dibagi menjadi dua bagian yang tentunya memiliki sedikit persamaan dengan konsep pembagian kekuasaan dari Montesquieu. Kemudian dapatlah merujuk pada pendapat Soemantri (1981;39)menyatakan bahwa pada umumnya struktur ketatanegaraan suatu negara meliputi dua suasana, yaitu suprastruktur politik dan infrastruktur politik. Yang dimaksud dengan suprastruktur politik di sini adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan apa yang disebut

(10)

alat-alat perlengkapan negara termasuk segala hal yang berhubungan dengannya. Mungkin untuk lebih memperjelas pengertian dengan apa yang dimaksudkan oleh suprastruktur politik adalah seperti apa yang dimaksud oleh Soemantri tersebut di atas adalah sama dengan maksud daripada pembagian ketiga kekuasaan dari Montesquieu yang terdiri dari atas kekuasan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lebih lanjut terkait dengan infrastruktur politik disini adalah struktur politik yang berada di bawah permukaan. Adapun infrastruktur politik ini meliputi lima macam komponen, yaitu komponen partai politik, komponen golongan kepentingan, komponen alat komunikasi politik, komponen golongan penekan dan komponen tokoh politik (Soemantri,1981;39). Bahkan, kedua komponen tersebut memiliki hubungan yang erat satu sama lainnya sehingga keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan satu sama lainnya, karena infrastruktur merupakan penggerak utama dari suprastruktur yang berada di atasnya.

Selain adanya pembagian kekuasaan seperti apa yang telah dikemukakan oleh para sarjana tersebut di atas, ternyata ada sarjana lain yang juga mengemukakan pendapatnya terkait dengan pembagian kekuasaan. Namun, dapatlah dikatakan bahwa pada esensinya ajaran pembagian kekuasaan sarjana ini, merupakan suatu konsep yang pada dasarnya sama dengan apa disampaikan oleh para ahli di atas. Hanya saja perbedaan yang ada merupakan suatu rincian daripada konsep pembagian kekuasaan di atas, sehingga ada yang memperluasnya kembali sehingga kelihatan lebih banyak lembaga dan fungsinya, namun dapatlah dikatakan bahwa cakupan tugasnya adalah sama, dalam arti dapatlah kualifikasikan kembali ke dalam satu lembaga. Salah satu sarjana tersebut adalah C.V Vollen Hoven yang masih memakai cara berpikir menurut ajaran Montesquieu, akan tetapi kemudian memisahkan badan/kekuasaan Kepolisian secara khusus, sehingga menimbulkan suatu ajaran Catur Praja dari Van Vollen Hoeven (Muslimin,1980;8), ajarannya sebagaimana dimaksud, yaitu:

a. Pemerintahan dalam arti sempit (bestuur), b. Polisi (“Politie”),

c. Peradilan (rechtspraak),

d. Membuat peraturan (regeling, wetgeving) (Soekanto dan Purbacaraka, 1993;57).

Van Vollenhoven sendiri merupakan ahli hukum berkebangsaan Belanda yang merupakan pendasar daripada hukum adat. Kemudian ia berhasil merumuskan sistem hukum adat di Indonesia, kemudian membedakan antara susunan persekutuan-persekutuan hukum di berbagai daerah di kepulauan Indonesia menjadi 19 daerah hukum (Soepomo,2003;6,60). Dengan demikian dapatlah kemudian beliau disebut sebagai bapak dari hukum adat.

Selain pembagian kekuasaan menurut Van Vollenhoeven, Good Now yang merupakan sarjana Amerika mengemukakan fungsi negara ada 2 bagian, yaitu.

a. Policy Making;

(11)

Karena mengemukakan fungsi negara itu atas dua bagian, ajarannya itu terkenal pula sebagai Dwipraja (dichotomy). Policy making adalah kebijaksanaan negara untuk waktu tertentu, untuk seluruh masyarakat, sedangkan Policy exsecuting, adalah kebijaksanaan yang harus dilaksanakan oleh negara, untuk tercapainya policy making (Winarno,2009;40). Jadi, dapatlah dikatakan bahwa prasyarat untuk tercapainya policy making, harus dilaksanakan terlebih dahulu

policy eksekuting, tanpa itu, tidak akan mencapai sasaran-sasaran yang menjadi tujuan policy making.

Orang yang menetapkan policy making disebut dengan policy makers dan yang menetapkan policy exsecuting adalah eksekutor. Dengan demikian dapat disebutkan bahwa

policy makers adalah orang yang menentukan kebijaksanaan negara, tujuan-tujuan kenegaraan

pada waktu tertentu untuk seluruh masyarakat. Atau menentukan tujuan mana yang baik untuk negara pada waktu tertentu. Jadi, semua kebijaksanaan suatu negara akan sangat terikat oleh waktu dan tempat di mana kebijaksanaan tersebut diambil dan akan dilaksanakan. Hal mana akan memerlukan suatu dasar daripada keberlakuan suatu kebijakan negara, seperti politis, yuridis, filosofis dan sosiologis. Bahkan, secara sosiologis kembali lagi di bagi menjadi dua dadar keberlakuan, yaitu keberlakuan yang dikarenakan kebijakan tersebut memang diakui berguna oleh masyarakat (Anerkennungstheory), namun apabila masyarakat tidak menaati kebijakan tersebut, penguasa dalam hal ini dapat kemudian memaksakannya dengan kekuasaan (machtstheory) yang dimilikinya, sehingga akhirnya masyarakat mematuhi kebijakan tersebut, terlepas diakui atau tidak oleh masyarakat itu sendiri terkait dengan manfaat daripada kebijakan tersebut (lihat Mertokusumo,1996;81).

Policy exsecutors, adalah orang-orang yang berusaha mencapai apa-apa yang telah

diputuskan oleh policy makers atau menentukan daya upaya, alat-alat apa dan sebagainya untuk mencapai tujuan tadi. Ajaran dari Goodnow merupakan suatu reaksi terhadap suatu ajaran cara penggantian orang dalam pemerintahan. Ajaran ini terkenal dengan nama spoil system dari Andrew Jackson,di Amerika Serikat yang manyatakan bahwa apabila suatu pemerintahan berganti, maka semua pegawai diganti oleh penguasa yang baru tersebut dengan tujuan untuk kelancaran jalannya pemerintahan, tanpa adanya hambatan dari mereka yang tidak sepaham. Namun, Goodnow melihat fungsi negara itu secara prinsipil sehingga seperti diuraikan di atas mengutarakan dua fungsi negara. menurut Goodnow terhadap policy makers boleh dilaksanakan sistem Andrew Jackson. Sedang untuk policy excecutor tidak perlu dipakai, tetapi yang dijalankan adalah berdasarkan keahlian. Ajaran Goodnow ini disebut juga merit system, karena mengutamakan kegunaannya (Kusnardi dan Sarigih,2008;224).

Keseluruhan fungsi negara tersebut di atas yang pada dasarnya diselenggarakan oleh pemerintahan tentunya untuk mencapai tujuan daripada negara yang memang telah ditetapkan bersama. Adapun tujuan negara, tentunya akan berbeda-beda antara satu negara dengan yang lainnya. Tidak lain hal ini disebabkan oleh berbagai perbedaan, baik dalam bidang ideologi terutama cita-cita yang memang diharapkan oleh masyarakat disuatu negara tertentu. Berikut ini merupakan pandangan dari para ahli tentang tujuan negara yang harus dicapai, yaitu antara lain.

(12)

1. Roger. H. Soltau.

Tujuan negara menurut Soltau ialah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin (the frees possible devolepment and creative

self expression of it members) (Budiardjo,2008;55).

2. Harol.J. Laski

Tujuan negara adalah menciptakan keadaan di mana rakyatnya dapat mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal (Winarno,2009;41).

3. Plato

Tujuan negara adalah memajukan kesusilaan manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial (ibid).

4. Thomas Aquino dan Agustinus

Untuk mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tentram dengan taat hanya kepada dan di bawah pimpinan tuhan. Pemimpin negara menjalankan kekuasaan hanyalah berdasarkan kekuasaan tuhan yang diberikan kepadanya (ibid).

5. Shang Yang

Tujuan negara ialah membentuk kekuasaan. Untuk pembentukan kekuasaan ini ia mengadakan perbedaan tajam antara negara dengan rakyat. Perbedaan ini diartikan sebagai perlawanan atau kebalikan satu terhadap yang lainnya. Shang Yang mengatakan kalau ingin membuat negara kuat dan berkuasa mutlak, maka ia harus membuat rakyatnya lemah dan sebaliknya jika orang hendak membuat rakyat kuat dan makmur, maka ia harus menjadikan negaranya lemah (Huda,2010;54-55).

6. Dante

Dante mempunyai cita-cita tentang tujuan negara bahwa seluruh negara-negara di dunia itu menjadi satu kekuasaan raja. Tujuan yang dimaksud Dante tidak untuk memperoleh kekuasaan yang mutlak, tetapi dengan mempersatukan semua negara-negara di bawah satu kekuasaan untuk membawa kemajuan umat manusia di seluruh dunia terutama dalam mencapai kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya (Kusnardi dan Sarigih,2008;76).

(13)

BIODATA PENULIS

I Gusti Ngurah Santika S.Pd, lahir di Yeha 1 Agustus 1988. Anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan I Gusti Ngurah Oka dan I Desak Ayu Putu. Menyelesaikan pendidikan dasar di SDN 1 Peringsari (1996-2002) kemudian melanjutkan ke SMPN 1 Selat (2002-2005) dan pendidikan menengah di SMAN 1 Selat (2005-2008) kemudian pada peruguruan tinggi (2009-2012). Setelah menyelesaikan pendidikan SMA kemudian bekerja sebagai security pada PT Arkadena sampai januari 2012. Pada saat yang bersamaan mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan di perguruan tinggi sambil bekerja, akhirnya lulus dengan predikat cumlaude. Kemudian untuk sekarang ini penulis belum bekerja, namun sedang melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Pendas di Undhiksa.

Pengalaman penulis selama mengikuti pendidikan di perguruan tinggi adalah sebagai nara sumber dalam temuwicara menyambut bulan Bung Karno yang diselenggarakan Gor Kapten Sujana (Lapangan Buyung) Kota Denpasar (2012). Nara sumber dalam seminar alumni FKIP Universitas Dwijendra (2012), Mahasiswa berprestasi Prodi PKn, sebagai salah satu pemenang karya ilmiah tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Dikti. Selain itu, penulis juga aktif mengikuti seminar-seminar yang berhubungan dengan bidang studi yang di dalami. Berkaitan dengan kritik dan saran terhadap tulisan sebelumnya, dapat disampaikan langsung kepada penulis dengan menghubungi alamat maupun no hp yang ada di bawah ini.

Alamat rumah : Banjar Dinas Padang Aji Tengah, Peringsari, Selat Karangasem. No. Hp : 085237832582/085738693121

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan judul Faktor-faktor yang mempengaruhi duplikasi penomoran berkas rekam medis dengan menggunakan hasil uji

PT Pan Brothers (PBRX) Tbk menuturkan akan melakukan pemecahan nominal per lembar saham (stock spilt) sebanyak 1:4 dari nilai nominal per lembar saham sebesar Rp100 menjadi Rp25

[r]

Melalui observasi dan wawancara dapat diketahui system yang sedang berjalan pada Yayasan SMP Ganesha Bandung saat ini dalam hal pengolahan data registrasi

Menimbang, bahwa setelah mempelajari dan memperhatikan secara seksama berita acara sidang dan salinan Putusan Pengadilan Agama Cikarang Nomor 0626/Pdt.G/2016/PA.Ckr

Dari tabel 2 terlihat bahwa pada daerah penambangan kadar Merkuri sangat tinggi karena proses penggunaannya yang sangat aktif untuk mengekstrasi emas dari

Sehubungan dengan judul yang telah dikemukakan dan berdasarkan tujuan yang hendak dicapai, maka penelitian ini dapat digolongkan jenis penelitian kausal yaitu penelitian

Adapun manfaat penelitiannya sebagai berikut : dapat berkontribusi terhadap pengembangan ilmu sosial ekonomi pedesaan, wawasan bagi peneliti dan pertimbangan untuk