• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuh dan mengakar dari pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tumbuh dan mengakar dari pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara formal, kewenangan Pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan tumbuh dan mengakar dari pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa : “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya

dikuasai oleh Negara untuk pergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Sebelum amandemen Undang-undang Dasar 1945, pasal 33 ayat 3 tersebut dijelaskan dalam penjelasan pasal 33 alinea 4 yang berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kemudian dituntaskan secara kokoh didalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara 1960-104 atau disebut juga Undang-undang pokok agraria UUPA).1 Hukum tanah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tersebut mengisyaratkan bagi pembuat undang-undang dalam membentuk hukum tanah nasional jangan sampai mengabaikan, melainkan harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.2

       1

Muhammad Yamin, Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Cetakan I, 2008. h. 19 

2

Ini bertumpu pada konsideran bahwa hukum agrarian merupakan wujud dari ketuhanan yang maha esa, perikemanusian, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial sebagai azas kerohanian 

(2)

Sejarah terbentuknya pasal 33 ayat 3 UUD 1945, berawal pada saat R Soepomo melontarkan didepan sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945 yang diakhir pidatonya tentang Negara integralistik. Dinyatakan bahwa, Dalam Negara yang berdasar integralistik berdasar persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem “Sosialisme Negara” (Staats Socialisme). Perusahaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh Negara sendiri. pada hakekatnya Negara yang akan menentukan dimana, dimasa apa, perusahaan apa yang akan diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah daerah atau yang akan diserahkan pada suatu badan hukum privat atau kepada seseorang, itu semua tergantung dari pada kepentingan Negara atau kepentingan rakyat seluruhnya. Begitupun tentang hal tanah, pada hakekatnya Negara yang menguasai tanah seluruhnya. Tambang-tambang yang penting untuk Negara akan diurus oleh Negara sendiri.3

Pasal 2 UUPA yang merupakan aturan pelaksanaan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dijelaskan pengertian hak menguasai Sumber daya alam oleh Negara sebagai berikut :

1. Atas dasar ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam

      

Negara dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum sebagai dasar Negara dalam pembukaan UUD 1945. 

3

Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah OLeh Negara( Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), Yogyakarta, Cetakan I, 2007, h. 35 

(3)

yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Hak menguasai Negara tersebut dalam ayat 1 pasal ini memberikan wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa.

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

2. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal 33, digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan kesejahteraan, kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat adil dan makmur.

3. Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah, swasta dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan yang berlaku.

Berdasar pasal 2 UUPA dan penjelasannya tersebut, menurut konsep UUPA, pengertian “dikuasai” oleh Negara bukan berarti “dimiliki”, melainkan hak yang

(4)

memberi wewenang kepada Negara untuk menguasai seperti hal tersebut diatas.4 Isi wewenang Negara yang bersumber pada hak menguasai SDA oleh Negara tersebut semata-mata bersifat publik yaitu, wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan bukan menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang “bersifat pribadi”.5 Hal ini dipertegas dalam pasal 9 ayat 2” tiap-tiap warga Negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”.

Wewenang Negara untuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang termasuk masyarakat hukum adat dengan tanah terkait erat hubungan hukum antara tanah dengan negara. Hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan tersebut sangat diperlukan untuk memberi jaminan kepastian hukum kepada masyarakat agar hak-hak atas tanahnya tidak dilanggar oleh siapapun. Oleh Karena itu, sangat tidak tepat jika melihat hubungan Negara dengan tanah terlepas dengan hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya dan hubungan antara perorangan dengan tanahnya. Ketiga hubungan ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

      

4 Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok

Agraria, Isi Dan Pelaksanaanya, Djambatan, h.234 

5

Istilah” Bersifat Pribadi” menyatakan bahwa, sifat pribadi hak individual menunjukkan kepada kewenangan pemegang hak untuk menggunakan tanah yang bersangkutan bagi kepentingan dan dalam memenuhi kebutuhan pribdai dan keluarganyas 

(5)

dipisahkan satu dengan yang lain, dan merupakan hubungan yang bersifat “tritunggal”.6

Hubungan hukum antara Negara dengan tanah melahirkan hak menguasai tanah oleh Negara, Hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat, dan gabungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah.7 idealnya hubungan ketiga hak tersebut (hak menguasai tanah oleh Negara, hak ulayat dan hak perorangan atas tanah) terjalin secara harmonis dan seimbang. Artinya, ketiga hak itu sama kedudukan dan kekuatannya, dan tidak saling merugikan. Namun peraturan perundang-undangan di Indonesia memberi kekusaan yang besar dan tidak jelas batas-batasnya kepada Negara untuk menguasai semua tanah yang ada diwilayahnya Indonesia. Sebagai contoh, berdasar Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang

“Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan” dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang “Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan”, dalam pemberian Hak Guna

Usaha (HGU), dan kuasa pertambangan yang diberikan diatas tanah ulayat, menyebabkan hilangnya sebagian tanah-tanah ulayat masyarakat hukum adat. Demikian pula dengan pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang “Pencabutan Hak Atas

       6 Loc. Cit, h.7 

7

Pasal 2 UUPA, Parlindungan AP, dalam bukunya Komentar atas undang-undang pokok agrarian, alumni, bandung, h.11 

(6)

Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya” dan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang “Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum” yang diganti oleh Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005

tentang “Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum”, terjadi pengambilan tanah perorangan secara paksa oleh pemerintah.

Dikalangan para ahli muncul gagasan untuk membatasi wewenang Negara yang bersumber pada hak menguasai oleh Negara atas tanah yaitu:

1. Maria Sriwulandari Sumardjono menghendaki agar kewenangan Negara yang bersumber pada hak menguasai oleh Negara atas tanah dibatasi oleh dua hal :

8

a.

garan hak-hak dasar manusia yang dijamin oleh

Undang-b.

ngkinkan

an antara hak menguasai oleh Negara dengan hak-hak adat sebagai berikut :9

       

Pembatasan oleh Undang-Undang Dasar

Pada prinsipnya, hal-hal yang diatur oleh Negara tidak boleh berakibat terhadap pelang

Undang Dasar.

Pembatasan yang bersifat substantif

Sesuai dengan pasal 2 ayat (3) UUPA, maka semua peraturan pertanahan harus ditujukan untuk terwujudnya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sedangkan ruang lingkupnya pengaturan pertanahan dibatasi oleh Pasal 2 ayat (2) UUPA. Disamping relevansi, maka kewenangan pembuatan kebijaksanaan tidak dapat didelegasikan kepada organisasi swasta, karena yang diatur itu berkaitan dengan kesejahteraan umum yang sarat dengan misi pelayanan. Pihak swasta merupakan bagian dari masyarakat yang ikut diwakili kepentingannya dan oleh karena itu tidak dimu

mengatur karena hal itu akan menimbulkan konflik kepentingan. 2. Maria Rita Ruwiastuti, mengemukakan analisis kritis tentang hubung

  8

Sumardjono, Maria Sriwulani, Kewenangan Negara Untuk Mengatur Dalam Penguasaan Tanah Oleh Negara, pidato pengukuhan jabatan guru besar pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, h.4-9 

9

Ruwiastuti, Maria Rita, Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, press KPA dan Pustaka Pelajar, Yogjakarta, h.113 

(7)

“Politik hukum agraria yang terkandung dalam Undang-Undang Pokok Agraria 1960 tersebut sejak semula telah menetapkan keluasan kewenangan Negara dalam menguasai sumber-sumber agraria di seluruh wilayah negeri ini. Kewenangan yang kemudian disebut dengan Hak Menguasai dari Negara (HMN) itu sama sekali tidak dapat diperbandingkan dengan hak-hak keperdataan (privaatrechtelijk) biasa seperti hak memiliki, sebab baik luas cakupan maupun sifat-sifatnya publik (publiekrechtelijk) itu hanya mungkin dipegang oleh sebuah badan kenegaraan.

Hubungan antara hak menguasai yang ada ditangan Negara ini dengan hak-hak penduduk Negeri ini yang ada telah ada turun temurun mendahului lahirnya Negara diatur sebagai berikut (penjelasan Umum undang-undang Pokok Agraria 1960, II/2,3) : “Adapun kekuasaan yang dimaksudkan itu mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan Negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa besar Negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyainya untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan Negara.

3. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menggugat konsep hak menguasai tanah oleh Negara yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melakukan sejumlah pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam yang ada diwilayah (tanah ulayatnya), dan memanfaatkannya untuk memberi ruang gerak bagi perusahaan-perusahaan besar dengan mengatasnamakan pembangunan. KPA menghendaki hak menguasai tanah oleh Negara dibatasi secara tegas, agar hak ini mempunyai batas-batas yang jelas baik secara konseptual maupun implementasinya. KPA memberi rekomendasi sebagai berikut:10

1. Sudah selayaknya, proses konsentrasi penguasaan sumber-sumber agraria di satu pihak dan sengketa agraria, mendorong para pembentuk kebijakan untuk melakukan pembaruan hukum pertahanan.

2. Bahwa penyebab pokok dari konsentrasi penguasaan tanah dan sengketa agraria adalah penggunaan suatu “Kekuasaan Negara atas Tanah” yang berlebihan, yang diwakili oleh konsep politik hukum hak menguasai oleh Negara atas tanah. Pembatasan itu bisa dilakukan terhadap hak menguasai oleh Negara atas tanah. KPA mengusulkan adanya pembatasan hak       

10

 Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan Konsorsium Pembaruan Agraria, Usulan Revisi Undang-Undang Pokok Agraria, Menuju Penegakan Hak-Hak Rakyat Atas Sumber Agraria, h.123

(8)

menguasai oleh Negara atas tanah. Pembatasan itu bisa dilakukan dengan me-review berbagai undang-undang yang berhubungan dengan “kekuasaan Negara atas tanah” yang terlampau besar, yang didalamnya tentunya termasuk UUPA.

3. Bahwa perubahan konsep hak menguasai oleh Negara atas tanah diperlukan setidaknya empat pertimbangan utama :

a. Secara substansial, konsep menguasai hak oleh Negara atas tanah mengasumsikan penyerahan “kekuasaan masyarakat hukum adat atas tanah” kepada Negara dimana tanah-tanah adat dijadikan tanah-tanah Negara.

b. Hak menguasai oleh Negara atas tanah berkedudukan lebih tinggi dari hak milik perdata warga Negara, padahal Negara dibentuk dengan maksud melindungi hak dari warga negaranya.

c. Mandat hak menguasai oleh Negara atas tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, tidak dijalankan dalam rangka penataan penguasaan atas tanah yang timpang. Bahkan sebaliknya, dengan hak menguasai oleh Negara atas tanah terjadi pemberian hak-hak tanah baru yang sangat besar melalui hak pengusahaan hutan, kuasa pertambangan, hak guna usaha dan yang lainnya.

d. Pengunaan hak menguasai oleh Negara atas tanah melalui pemberian hak-hak baru tersebut, telah mengakibatkan konsentrasi penguasaan tanah disatu pihak dan sengketa-sengketa agraria yang berkepanjangan dilain pihak.

4. Sri hayati dalam disertasinya juga menyarankan agar hak menguasai tanah oleh Negara dibatasi secara tegas untuk masa-masa mendatang, sebagaimana ia nyatakan bahwa Oleh karena itu hendaknya hak menguasai Negara ini dibatasi secara tegas untuk masa-masa yang akan datang dan sudah saatnya untuk memikirkan alternatif dari hak menguasai Negara agar hak itu bisa menjadi terbatas sifatnya dalam konsepsi maupun implementasinya.11

Sejalan dengan pendapat ahli diatas, A.P Parlindungan, dalam pandangan filosofisnya menyatakan bahwa permasalahan yang terdapat dalam Undang-Undang

       11

Hayati, Sri, 2003, Pengaturan Hak Atas Tanah Dalam Kaitanya Dengan Investasi, Disertasi, Universitas Airlangga, h.12 

(9)

Pokok Agraria tidak boleh terjadi, karena upaya mengatur agraria harus memenuhi prinsip pokoknya yang antara lain : 12

1. Prinsip kesatuan hukum agraria untuk seluruh wilayah tanah air 2. Penghapusan pernyataan domein

3. Fungsi sosial hak atas tanah

4. Pengakuan hukum agraria nasional berdasarkan hukum adat dan pengakuan dari eksistensi dari hak ulayat

5. Persamaan derajat sesama Warga Negara Indonesia dan antara laki-laki dan wanita

6. Pelaksanaan reformasi hubungan antara manusia (indonesia) dengan tanah atau dengan bumi, air dan ruang angkasa

7. Rencana umum penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa

8. Prinsip nasionalitas

Bila dicermati lebih rinci, beberapa ketentuan didalam undang-undang pertanahan, maka jelas negara sajapun sebagai organisasi tertinggi untuk mengolah tanah, kewenangan itu tidak turut menjual atau bahkan mengadaikan, yang jelas haknya tidak beralih kepada yang bukan warga Negara Indonesia. Sekalipun kewenangan itu ada ditangan pemerintah namun hanya kewenangan yang mencakup sebagai organisasi tertinggi untuk mengatur (dalam arti membuat aturan tentang pertanahan), menyelenggarakan aturan yang dimaksud dalam penggunaanya, peruntukanya serta pemeliharaanya saja. Jelas bahwa makna pengaturan, penyelenggaraan, pemeliharaan, penggunaan, peruntukan tanah tidak dapat diartikan untuk tujuan lain kecuali untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga bila terjadi penjualan atas nama kepentingan rakyat baik langsung maupun tidak langsung       

(10)

adalah perbuatan yang jelas bertentangan dengan kewenangan yang diberikan undang-undang itu sendiri. Sebab dengan penjualan itu ada pemutusan hubungan hukum yang tidak diperkenankan oleh isi aturan tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang penelitian ini, maka peneliti merumuskan permasalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pembatasan wewenang pemerintah terhadap hak menguasai tanah oleh Negara yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria? 2. Apakah Tanah Ulayat terhimpit oleh berlakunya berbagai peraturan

perundang-undangan di Indonesia?

3. Apakah jenis-jenis hak yang dimiliki oleh warga Negara Indonesia? 1.3 Tujuan penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pembatasan wewenang Negara terhadap hak menguasai tanah oleh Negara yang diatur dalam undang-undang pokok agraria

2. Untuk mengetahui kedudukan tanah ulayat di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia

3. Untuk mengetahui jenis-jenis hak yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia

(11)

1.4 Manfaat penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis

Secara teoritis diharapkan pembahasan masalah-masalah yang akan dibahas akan melahirkan pemahaman dan pandangan yang lebih jelas tentang tanah ulayat dan hasil penelitian ini merupakan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum bidang keperdataan khusunya bidang hukum Agraria.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada setiap orang yang berhubungan langsung dengan hukum agraria, baik praktisi, pemerintah, pengusaha, asosiasi, perkebunan dan masyarakat yang ingin mendalami hukum agraria di Indonesia, khususnya mengenai hak penguasaan tanah baik oleh Negara maupun masyarakat.

1.5 Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan baik terhadap hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya pada Sekolah Pasca Sarjana di Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian yang menyangkut masalah Hak menguasai tanah oleh Negara terhadap hak ulayat. Dengan demikian penelitian ini asli baik dari segi substansi maupun dari segi permasalahan sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

(12)

1.6 Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka teori

Dalam setiap penelitian selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data. Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka kerangka teori diarahkan secara khas kedalam ilmu hukum. Kerangka teori yang dimaksud disini adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, ilmu hukum dibidang pertanahan, khususnya yang lebih mengenai masalah penguasaan tanah.

Dalam hubunganya dengan tanah, menurut alam pikiran hukum adat tertanam keyakinan bahwa setiap kelompok masyarakat hukum adat tersedia suatu lingkungan tanah sebagai peninggalan pemberian dari sesuatu kekuatan gaib sebagai pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang zaman. Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya ini. Adapun tanah ulayat atau

(13)

tanah bersama dalam hal ini oleh kelompok dibawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan, tanah lapang.13

Hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataanya masih ada. Masih adanya hak ulayat pada suatu masyarakat hukum adat tertentu, antara lain dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari kepala adat dan para tetua adat dalam kenyataanya, sebagai pengemban tugas kewenangan mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah ulayat yang merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Selain diakui, pelaksanaanya juga dibatasi dalam arti sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang serta peraturan yang lebih tinggi lainya.14

Kerangka teori yang yang dibahas disini meliputi berbagai hal yaitu;

a. Hak menguasai tanah oleh Negara berasal dari konsep hak ulayat

Konsideran UUPA menyebutkan bahwa Hukum Agraria Nasional berdasarkan asas hukum adat, yang sederhana dan menjamin kepastian bagi seluruh masyarakat hukum Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agraria. Maka atas hak tersebut maka pembangunan Hukum tanah nasional harus dilakukan dalam bentuk penuangan norma-norma hukum adat dalam peraturan

perundang-       13

Arie Sukanti Hutagalung,” Konsepsi Yang Mendasari Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional”(pidato pengukuhan Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok: 2003), h. 15 

14

Hasim Purba, Syafruddin Kalo, Muhammad Yamin lubis, dkk” Sengketa Pertanahan Dan Alternative Pemecahan”penerbit CV Cahaya Ilmu, Cet.I, 2006, Medan, h.205  

(14)

undangan menjadi hukum yang tertulis. Dan selama hukum adat yang bersangkutan tetap berlaku penuh, serta menunjukkan adanya hubungan fungsional antara hukum adat dan hukum tanah nasional.

Hukum adat yang dipakai sebagai hukum agraria adalah hukum adat yang telah dihilangkan sifat-sifatnya yang khusus daerah yang diberi sifat nasional. Sehingga dalam hubunganya dengan prinsip persatuan bangsa dan Negara kesatuan Republik Indonesia, maka hukum adat yang dahulu hanya mementingkan suku dan masyarakat dan hukumnya sendiri harus diteliti.

Menurut Boedi Harsono mengemukakan bahwa penggunaan norma-norma hukum adat sebagai pelengkap tanah yang tertulis, haruslah tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA. 15

Hukum sebagai kaedah atau norma merupakan pencerminan dari nilai-nilai hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat bersifat dinamis yang berarti berkembang sesuai dengan perkembangan jaman, akibatnya hukumpun berkembang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat. Demikian pula terhadap konsep hukum yang ada, konsep hak menguasai tanah oleh Negara yang berlaku saat ini bukanlah muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dari suatu proses       

15

 Boedi Harsono, Hukum Agraria Hukum Indonesia, Sejarah pembentukan UUPA, isi, dan pelaksanaanya, Jilid 1 hukum tanah nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, h. 209 

(15)

perkembangan terus-menerus.16 Rumusan pasal 1 ayat 1 UUPA menyatakan bahwa seluruh wilayah adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa tanah diseluruh wilayah Indonesia adalah hak bersama dari bangsa Indonesia (aspek perdata) dan bersifat abadi, yaitu seperti hak ulayat pada masyarakat hukum adat. Dengan demikian, hak bangsa Indonesia mengandung dua unsur yaitu:

1. Unsur kepunyaan bersama yang bersifat perdata, tetapi bukan berarti hak kepemilikan dalam arti yuridis, tanah bersama dari seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi bangsa Indonesia.

2. Unsur tugas kewenangan yang bersifat publik untuk mengatur dan memimpin pengguasaan dan penggunaan tanah yang dipunyai bersama tersebut.

Apabila unsur perdata sifatnya abadi dan tidak memerlukan campur tangan kekuasaan politik untuk melaksanakanya, tugas kewajiban yang termasuk hukum publik tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh rakyat. Oleh karena itu, penyelenggaraanya dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai pemegang hak dan pengemban amanat yang pada tingkatan tertinggi diserahkan kepada Negara Republik Indonesai sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

      

(16)

Tugas kewenangan ini dilaksanakan oleh Negara berdasarkan hak menguasai Negara yang dirumuskan dalam pasal 2 UUPA yang merupakan tafsiran autentik dari pengertian dikuasai oleh Negara. dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945,” bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat sehingga harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan Negara atas tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia bersumber pada hak bangsa Indonesia yang meliputi kewenangan Negara dalam pasal 2 ayat (2) UUPA yaitu:17

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa

c. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa

Dalam Pasal 16 UUPA No. 5 tahun 1960 disebutkan juga bahwa Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) adalah:18

a. hak milik b. hak guna-usaha c. hak guna-bangunan       

17 Undang-Undang Pokok Agraria, Psl. 2 

(17)

d. hak pakai e. hak sewa

f. hak membuka tanah

g. hak memungut-hasil hutan,

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut

dalam pejelasanya, Pasal 16 UUPA menjelaskan bahwa Pasal ini adalah pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 4.Sesuai dengan azas yang diletakkan dalam pasal 5, bahwa hukum pertanahan yang Nasional didasarkan atas hukum adat, maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini didasarkan pula atas sistematik dari hukum adat. Dalam pada itu hak guna usaha dan hak guna bangunan diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern dewasa ini. Perlu kiranya ditegaskan, bahwa hak-guna usaha bukan hak erfpacht dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hak guna-bangunan bukan hak opstal. Lembaga erfpacht dan opstal ditiadakan dengan dicabutnya ketentuan ketentuan dalam Buku ke II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam pada itu hak-hak adat yang sifatnya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini (pasal 7 dan 10), tetapi berhubung dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat dihapuskan diberi sifat sementara dan akan diatur (ayat 1 huruf h yo pasal 53).

Sejalan dengan pasal 16 UUPA No. 5 Tahun 1960, Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila ( pasal 2 ayat 2 PMA No. 5 Tahun 1999):

a. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,

b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari

(18)

c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Menurut S.1875-199a pernyataan umum tanah Negara tersebut berlaku juga didaerah-daerah diluar jawa dan Madura. Berdasarkan atas pasal 1 Keputusan Agraria, ternyata bahwa semua tanah dianggap menjadi tanah Negara. Artinya Negara menjadi pemilik dari tanah itu, kecuali jikalau orang lain dapat membuktikan, bahwa dia menjadi pemilik dari tanah tersebut.

Meskipun sudah ada pernyataan umum tanah agraria, sebagaimana tersebut dalam pasal 1 Keputusan Agraria, sepertinya tentang hal ini masih ada keragu-raguan. Itulah kiranya mengapa sebelum pemberian hak erfpacht atas tanah-tanah Negara diluar jawa dan Madura diadakan pernyataan khusus tanah Negara untuk Sumatera (S. 1847-94f), Manado (S. 1877-55) dan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (S.1888-58).

Dalam pasal 1 dari masing-masing peraturan tersebut ditetapkan, bahwa semua tanah-tanah kosong didaerah Gubernuran di Sumatera, Keresidenan di Manado, Keresidenan Kalimantan Selatan dan Timur, termasuk tanah Negara, sekedar pada tanah-tanah itu tidak terdapat ada hak-hak penduduk asli (rakyat) yang diperoleh dari hak membuka tanah. Sebagaimana telah diterangkan diatas, bahwa tanah-tanah bangsa Indonesia seperti tanah komunal, tanah yang sawah-sawah, lapangan-lapangan pengembalaan umum dan sebagainya termasuk tanah Negara.

(19)

Yang dapat diberikan oleh Negara kepada orang lain hanyalah tanah-tanah kosong saja.19berhubung dengan hal tersebut, tanah-tanah Negara dapat dibagi atas dua bagian yaitu :

a. Tanah Negara yang bebas ( Vrij Landsdomein), artinya tanah yang tidak terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia.

b. Tanah Negara yang tidak bebas (Onvrij Landsdomein), artinya tanah yang terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia.

Sejak Indonesia merdeka cita-cita merombak hukum agraria kolonial telah ada, dengan menciptakan hukum agraria nasional berdasarkan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tersebut. Namun pekerjaan untuk menciptakan undang-undang yang sifatnya unifikasi yang berlaku untuk seluruh Indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah, maka baru pada tanggal 24 September 1960, cita-cita tersebut terlaksana.

Demikian mendesaknya segera direalisasikan hukum agraria yang sifatnya melindungi rakyat Indonesia, beberapa ketentuan mengenai agraria ini secara sporadik telah ditetapkan seperti:20

a. Penghapusan Tanah-Tanah Partikulir, dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1958.

       19

Purwopranoto, Penuntut Tentang Hukum Tanah, Astana Buku “ ABEDE”, Semarang, 1953, h. 98 

(20)

b. Penghapusan Tanah-tanah Swapraja, dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1953.

c. Undang-undang Bagi hasil, dengan Undang-undang No. 2 Tahun 1960. b. Hierarki peraturan perundang-undangan

Dalam ilmu hukum dikenal adanya tingkatan-tingkatan (hierarki) peraturan-peraturan berjenjang, dari tingkat yang paling bawah sampai tingkat paling atas. Di Indonesia terdapat tata urutan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang “Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan” yang berbunyi sebagai berikut :

a) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

b) Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang c) Peraturan Pemerintah

d) Peraturan Presiden e) Peraturan Daerah

Jika tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut dihubungkan langsung dengan pendapat Hans Kelsen, maka dapat dilihat kesimpulan yang menyatakan sebagai berikut:

1) Peraturan Perundang-Undangan yang paling tinggi tingkatanya, menurut Hans Kelsen adalah Constitution atau Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

(21)

2) Peraturan Perundang-Undangan dibawah Constitution (general norm created in the legislative process) adalah Undang-Undang, Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang walaupun dibuat oleh presiden namun tingkatanya disamakan dengan Undang-Undang. Seperti halnya Undang-undang No. 5 Tahun 1960

3) Peraturan Perundang-Undangan yang paling rendah tingkatanya (Administrative regulation) adalah Peraturan Perundang-Undangan

yang dibuat oleh Presiden dan Pemerintahan Daerah yaitu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden Dan Peraturan Daerah. Seperti halnya PP No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, PMA No. 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Hierarki peraturan perundang-undangan tersebut membawa konsekwensi. peraturan perundang-undangan yang tingkatanya dibawah dibentuk, bersumber dan berdasar pada peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, demikian seterusnya hingga pada akhirnya sampai pada peraturan perundang-undangan yang paling tinggi tingkatanya yaitu Undang-undang Dasar. Dengan demikian, maka pembentukan peraturan perUndang-undang- perundang-undangan yang ada dibawahnya senantiasa harus searah dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya.

(22)

Apabila terjadi konflik hukum diantara sesama peraturan perundang-undangan, konflik hukum ini diatasi dengan tiga asas yaitu: 21

1. Lex superior derogat legi inferiori artinya, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatanya mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatanya, apabila kedua peraturan perundang-undangan tersebut memuat ketentuan yang saling bertentangan

2. Lex specialis derogat legi generali artinya, peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus (special) mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (general), apabila kedua peraturan perundang-undangan itu memuat ketentuan yang saling bertentangan

3. Lex posterior derogat legi priori artinya, peraturan perundang-undangan yang baru mengenyampingkan berlakunya peraturan undangan yang lama, apabila kedua peraturan perundang-undangan itu memuat ketentuan yang saling bertentangan.

c. Kedudukan UUPA terhadap peraturan perundang-undangan lainya

Pada tanggal 24 september 1960, berlaku Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Dasar Agraria atau lebih terkenal dengan nama

       21

Hadjon, P.M, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik, Dalam Majalah Hukum Universitas Airlangga, Yuridika No.6 Tahun 1994, h. 25 

(23)

UUPA. Sesuai dengan namanya yaitu “undang-Undang Pokok Agraria”, UUPA memuat asas-asas pokok peraturan yang mengatur tentang Bumi, Air, Ruang angkasa dan Kekayaan alam yang terkandung didalamnya ( pasal 1 ayat 1-3 UUPA). Undang-undang Pokok Agraria ini juga sekaligus sebagai aturan penjabaran dari pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

d. Paradigma baru hak menguasai tanah oleh Negara

Menurut UUPA, hak menguasai tanah oleh Negara dipegang pemerintah pusat, pemerintah daerah dapat mempunyai hak itu apabila ada pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Akibatnya, hak menguasai tanah oleh Negara itu bersifat sentralistis. Setelah amandemen UUD 1945, terjadi perubahan paradigma kekuasaan Negara yang semula bersifat sentralistis menjadi desentralistis.

Dalam Pasal 18 Undang-undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960, menyatakan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

Penguasaan hak Menguasai Negara dapat kita konstruksikan dalam pengertian politis yaitu:

(24)

1. Memberikan hak seseorang atau badan yaitu melalui lembaga konversi atas tanah-tanah eks BW dan eks. Hukum adat dan atas tanah-tanah yang dikuasai oleh pemerintah daerah otonom ataupun dikuasai oleh lembaga-lembaga pemerintahan.

2. Memberikan hak-hak baru yang ditetapkan oleh UUPA seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bagunan, hak pakai.

3. Mengesahkan sesuatu perjanjian yang diperbuat antara seseorang pemegang hak milik dengan orang lain untuk menimbulkan suatu hak lain diatasnya, seperti yang kita kenal Hak Guna Bangunan diatas Hak Milik dan Hak Pakai diatas Hak Milik (Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961).

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi hukum tanah nasional secara utuh diambil dari konsepsinya hukum adat, yang oleh Boedi Harsono dikatakan bahwa Konsepsi Hukum Tanah nasional adalah komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung kesamaan. Konsepsi ini masih relevan ( dan harus tetap) dipertahankan untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang, oleh karena konsepsi ini merupakan penjabaran dari sila-sila pancasila dibidang pertanahan serta harus dijabarkan lebih lanjut dalam politik Pertanahan

(25)

Nasional sebagaimana yang digariskan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945. 22 Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain seperti asas dan standar, Oleh Karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analistis. Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi dan pengertian yang akan dipergunakan sebagai penelitian hukum.

Untuk menjadikan penelitian tesis ini lebih terarah maka diperlukan konsep atau kerangka konsepsional sebagai pengarah dan pedoman yang lebih konkret. Sebagai pegangan yang lebih nyata bagi penulis didalam penulisan tesis ini, maka penulis mempergunakan defenisi-defenisi sebagai berikut:

1. Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan

      

(26)

secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

2. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.

3. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

4. Daerah adalah daerah otonom yang berwenang melaksanakan urusan pertanahan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

5. Agraria menurut pasal 1 UUPA adalah seluruh wilayah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat yang bersatu sebagai bangsa Indonesia atau seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa.

6. Kepastian hak atas tanah adalah menekankan pada terjaminya kepentingan dari sipemilik tanah dalam rangka mempertahankan haknya.

7. Sertifikat adalah surat atau keterangan berupa pernyataan tertulis atau tercetak dari orang yang berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti suatu kejadian secara otentik.

8. Sertifikat tanah adalah surat bukti kepemilikan tanah yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.

(27)

9. Hak adalah kewenangan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena telah ditentukan oleh Undang-undang maupun peraturan yang lainya.

10. Pengukuhan kawasan hutan adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan melalui proses penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan.

1.7. Metode penelitian

Penelitian ini bersifat yuridis normatif yaitu berupa penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, studi kepustakaan dan bahan-bahan hukum lainya yang berkaitan dengan penulisan tesis ini. Pendekatan ini dilakukan guna memperoleh data sekunder dibidang hukum dan untuk Melengkapi serta menunjang data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan maupun penjabaran buku-buku. Selengkapnya cara penelitianya adalah sebagai berikut:

1. Sifat penelitian

Sifat penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang mengungkapkan suatu masalah, keadaan atau peristiwa dengan memberikan suatu penilaian secara menyeluruh, luas, mendalam, dari sudut pandang ilmu hukum, yaitu dengan meneliti asas-asas hukum, kaidah hukum, dan sistematika hukum.

(28)

2. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, oleh karena itu cara yang ditempuh dalam penelitian ini adalah melalui Penelitian kepustakaan. Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder, dan tertier.

1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat berupa norma dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. antara lain kitab undang-undang hukum perdata, dagang, hukum pertanahan, hukum kehutanan, UUPA No.5 tahun 1960 dan PMA No.5 Tahun 1999.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai hukum primer berupa hasil penelitian, karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini.

3. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder seperti kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah. surat kabar. 4. Teori-teori yang bersifat umum yang berkaitan dengan

(29)

3. Alat pengumpulan data

Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan studi :

a. Studi dokumen, yaitu dengan meneliti, mempelajari, menganalisis bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. b. Pengamatan (observasi), pengamatan ini dipergunakan dengan tujuan

untuk menambah kejelasan yang jujur dan seksama atas situasi tertentu sehingga mendapatkan pertimbangan sejumlah kenyataan. 4. Analisis Data

Analisis data terhadap data primer dan data sekunder dilakukan setelah diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan dan dievaluasi sehingga diketahui kebenaranya, kemudian dianalisis secara kualitatif dengan mempelajari seluruh peraturan maupun ketentuanya kemudian diolah dengan menggunakan metode induksi dan terakhir dilakukan pembahasan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada.

Referensi

Dokumen terkait

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan

Totalindo merupakan salah satu dari sedikit kontraktor swasta nasional yang telah memperoleh Sertifikat Badan Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi dengan kualifikasi Besar 2

Dari data yang di dapat pada Bagian Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Lampung diperoleh data yang mendapatkan SK Dekan tentang sanksi akademik pada sebelum

Tripodal extraction reagent with three phosphoric acid groups, together with the corresponding monopodal molecule has been prepared to investigate some metals extraction behavior,

Program ini merupakan penerus dari Program Karya Alternatif Mahasiswa yang dibentuk pada tahun 1997, yang lalu berganti menjadi Program Kreativitas Mahasiswa tahun 2001

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024) 8508081, Fax. Prodi Asal : Pendidikan

Pendekatan pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan penalaran, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan

Pada kegiatan pembelajaran anak usia dini, penggunaan media pembelajaran menjadi sesuatu hal yang penting terhadap pencapaian tujuan dari pembelajaran untuk