• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modifikasi dan Karakterisasi Bentonit Alam Jambi Terinterkalasi Alanin dengan Variasi ph Sebagai Adsorben Ion Logam Berat Timbal dan Kadmium

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Modifikasi dan Karakterisasi Bentonit Alam Jambi Terinterkalasi Alanin dengan Variasi ph Sebagai Adsorben Ion Logam Berat Timbal dan Kadmium"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Modifikasi dan Karakterisasi Bentonit Alam Jambi Terinterkalasi Alanin

dengan Variasi pH Sebagai Adsorben Ion Logam Berat Timbal dan Kadmium

Teuku Rian Aulia

Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424

E- mail: t.rianaulia@gmail.com

Abstrak

Bentonit alam Jambi telah berhasil dimodifikasi menjadi Organoclay melalui proses interkalasi dengan senyawa asam amino Alanin. Sebelum dilakukan sintesis Organoclay, dilakukan proses fraksinasi dan sedimentasi dari bentonit alam Jambi yang bertujuan untuk mendapatkan bentonit yang kaya akan montmorillonite (MMT) dan menghilangkan pengotor yang terkandung di dalam bentonit. Kemudian dilakukan penyeragaman kation bebasnya dengan Na+ menjadi Na- Bentonit. Selanjutnya dengan menggunakan larutan tembaga amin, dilakukan penghitungan nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan diperoleh nilai KTK sebesar 35,3 mek/100 gram bentonit. Sintesis

Organoclay kemudian dilakukan dengan menginterkalasikan senyawa Alanin ke dalam Na-

MMT dengan 2 nilai KTK pada 3 kondisi pH, yaitu pH 4,7, pH isoelektrik Alanin (pH 6), dan pH 7. Hasil dari karakterisasi FTIR menunjukkan bahwa senyawa asam amino Alanin telah berhasil diinterkalasi ke dalam bentonit alam Jambi pada pH isoelektrik dengan munculnya serapan baru pada bilangan gelombang yang berbeda dengan Na- MMT. Organoclay yang telah disintesis kemudian digunakan sebagai adsorben ion logam berat kadmium dan timbal dengan proses optimasi waktu dan konsentrasi adsorpsi. Hasil menunjukkan bahwa Organoclay memiliki daya adsorpsi yang lebih besar terhadap logam berat dibandingkan dengan bentonit alam. Variasi pH interkalasi 4,7 dan 7 menghasilkan Organoclay dengan kemampuan adsorpsi yang lebih rendah dibandingkan Organoclay yang di interkalasi pada pH isoelektrik Alanin.

(2)

Modification and Characterization of Natural Jambi Bentonite Intercalated

by Alanine with pH Variation as an Adsorbent of Heavy Metal Ions Lead and

Cadmium

Abstract

Natural Jambi bentonite have been successfully modified into Organoclay through the intercalation process with acid amino compound Alanine. Before the process for the synthesis of

Organoclay begins, the process of sedimentation and fractionation conducted on natural Jambi

bentonite in order to get the rich in- montmorillonite (MMT) bentonite and removed the contaminer contained in the bentonite. Then the equalization of free cations is done with Na+ (called Na- bentonite). Next, using a solution of copper amine, its cation exchange capacity (CEC) determined and the value of CEC acquired was 35,3 meq/100 grams of bentonite. Synthesis of Organoclay then performed by intercalating Alanine into Na-MMT with 2 values of CEC on 3 pH conditions i.e. pH 4,7, the isoelectric pH of Alanine (pH 6), and the pH 7. The results of the characterization with FTIR indicated that acid amino Alanine compounds has managed to be intercalated into natural Jambi bentonite with the appearance of new absorbance at different wave number from Na- MMT. Organoclay which have been synthesized then used as an adsorbent of heavy metal ions cadmium and lead with the optimization of adsorption time and concentration process. The results show that Organoclay have better adsorption capacity compared to unmodified natural Jambi bentonite against heavy metal ions. Organoclay synthesized in variated pH conditions (4,7 dan 7) have lower adsorption capacity than the

Organoclay that synthesized in isoelectric pH of Alanine.

(3)

Pendahuluan

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat di zaman modern seperti sekarang ini, tidak hanya menimbulkan dampak positif bagi kehidupan ummat manusia sehari- hari, melainkan juga menimbulkan dampak buruk atau negatif. Sebagai contoh nyata yang dapat kita lihat secara jelas adalah pesatnya pertumbuhan industri- industri baik dalam skala besar maupun kecil, dimana dalam pelaksanaan proses kegiatannya banyak sekali yang tidak mengindahkan kaidah pemeliharaan lingkungan hidup. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu semakin meluasnya pencemaran lingkungan.

Limbah buangan industri sangat berbahaya bagi lingkungan dan keberlangsungan makhluk hidup. Limbah buangan hasil industri seperti industri tekstil, baterai, proses pemurnian minyak bumi, electroplating, pertambangan, dan hasil pembakaran bahan bakar kendaraan, seringkali mengandung ion- ion logam berat yang tidak dapat terdegradasi. Sebagai contoh, ion Cd2+, Pb2+, Cr3+, Fe3+, yang banyak ditemukan di udara, limbah yang tidak diolah dengan baik, tanah yang terkontaminasi kemudian terbawa kandungan logamnya hingga ke air laut, dan sumber- sumber air terutama air minum. Ion- ion logam berat ini sangat berbahaya bagi makhluk hidup meskipun hanya terkonsumsi dalam jumlah yang sangat sedikit sedikit karena ion logam berat ini dapat terus menerus terakumulasi dan meningkat konsentrasinya dalam tubuh.

Clay alam merupakan keluarga besar alumina- silikat dengan berbagai macam komposisi

kimia, struktur, dan sifat permukaan yang sangat reaktif sebagai akibat dari ukurannya yang kecil seperti butiran, luas permukaan yang besar, dan kapasitas adsorpsi yang baik. Clay juga mampu untuk mengikat senyawa organik maupun anorganik. Bentonit merupakan salah satu dari sekian banyak jenis clay yang cukup berpotensi untuk digunakan sebagai adsorben yang baik dalam menyerap campuran organik, zat warna, dan logam berat. Selain itu, bentonit juga stabil secara kimia, murah, bisa dengan mudah didapatkan karena kelimpahannya tinggi di alam. Bentonit dapat ditingkatkan daya adsorpsinya melalui modifikasi dengan melapisinya dengan asam, basa, surfaktan kationik, dan kation polihidroksi (Vengris et al., 2001; D.M. Manohar., et al., 2006).

(4)

Tinjauan Pustaka

Bentonit adalah salah satu dari banyak jenis clay yang mempunyai kandungan utama mineral smektit (montmorillonit) dengan kadar sekitar 60-95%, memiliki nilai kapasitas tukar kation (KTK) antara 60-150 mek/100 dengan luas permukaan 700-800 m2/g, serta melebur pada 1330-1430° C. Bentonit memiliki struktur mineral liat 2:1 yang berarti struktur ruangnya terdiri atas dua lembar lapisan silika tetrahedral yang mengapit satu lembar lapisan alumina oktahedral. Sifat fisik bentonit ditentukan oleh interaksi antara air dan komponen smektit, yang biasanya merupakan mineral montmorilonit. Mineral montmorilonit sendiri berasal dari pyrophyllite yang mengalami substitusi isomorfik (isomorphic substitution) dari unsur aluminium oleh magnesium dalam lapisan oktahedral (Karnland, 1998).

Interkalat yang digunakan pada penelitian ini adalah asam amino Alanin. Alanin sendiri merupakan salah satu asam amino paling sederhana yang banyak ditemukan pada molekul protein. Alanin termasuk salah satu asam amino non- essensial dan mempunyai rumus kimia HO2CCH(NH2)CH3. Seperti kebanyakan asam amino lainnya, alanin yang memiliki nama lain

berupa asam-2-aminopropanoat juga memiliki 2 bentuk enansiomer. Bentuk yang umum di alam adalah L-alanin (S-alanin) meskipun terdapat pula bentuk D- alanin (R-alanin). Molekul L- alanin merupakan asam amino proteinogenik yang paling banyak dipakai dalam pembentukan protein setelah leusin. L-alanin lebih banyak ditemukan di alam dibandingkan D-alanin karena D-alanin hanya ditemukan pada dinding sel bakteria. Alasan tersebut yang mendasari penggunaan L-alanin dalam penelitian ini. Di bawah ini adalah struktur 2 enansiomer dari alanin :

Gambar 1 Struktur Enansiomer Alanin

(5)

Interkalasi dapat diartikan sebagai suatu proses insersi/ penyisipan yang reversibel dari spesi pendatang (guest) ke dalam spesi yang bertindak sebagai tuan rumah (host) antar lapis senyawa berstruktur lapis dengan tetap mempertahankan struktur berlapisnya (Schubert, 2002). Metode ini dapat memperbesar pori material karena interkalat akan mendorong lapisan untuk mengembang. Salah satu fungsi interkalasi di bentonit adalah untuk memperbesar d-

spacing dalam bentonit dan melalui interkalasi, sifat bentonit yang hidrofilik dapat diubah

menjadi organofilik dengan memodifikasi bentonit menggunakan molekul organik yang dapat berinteraksi dengan muatan negatif yang ada pada bentonit. Hasil penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa bentonit hasil interkalasi memiliki kemampuan adsorpsi kation logam yang lebih baik daripada bentonit alam yang tidak diinterkalasi.

Organoclay dapat dibuat dengan memodifikasi bentonit dengan menginterkalasi molekul

organik ke dalam lapisan bentonit. Dari percobaan- percobaan sebelumnya, bentonit memiliki kemampuan swelling yang baik dalam air, dan proses swelling ini dapat juga terjadi pada beberapa larutan organik setelah ditambahkan garam ammonium. Untuk berinteraksi dengan senyawa/ polutan organik, perlu dilakukan sintesis organoclay bentonit yang dapat berinteraksi lebih baik dengan senyawa organik karena bentonit dan kebanyakan jenis clay pada umumnya tidak efektif berikatan dengan senyawa- senyawa organik.

Organoclay antara lain digunakan sebagai prekursor nanokomposit, adsorben

polutan organik dan material elektrik. Tiller (1996), juga telah mempelajari adsorpsi mineral bentonit terhadap ion-ion logam dan menyimpulkan bahwa organoclay lebih cenderung mengadsorpsi ion logam berat dibandingkan dengan ion logam alkali atau alkali tanah.

(6)

Metode Penelitian

1 . Fraksinasi dan Sedimentasi Bentonit

Sebanyak 200 gram bentonit dimasukkan ke dalam beaker glass dan ditambahkan 2 liter akuades. Campuran tersebut kemudian diaduk dengan stirrer selama 6 jam dan didiamkan selama 3-4 menit untuk mendapatkan fraksi 1 (F1). Filtrat yang berbentuk koloid dipisahkan dengan cara dekantasi, filtrat ini disebut sebagai fraksi dua (F2). Koloid F2 ini lalu didiamkan selama 1 malam. Setelah terbentuk 2 fase, air yang berada di bagian atas kemudian dipisahkan dengan cara dekantasi. Endapan yang sebagian diambil untuk dikarakterisasi menggunakan XRD dan FTIR setelah dikeringkan di oven pada suhu 80oC.

2. Preparasi Na- Montmorillonit (Na- MMT)

Endapan hasil dari fraksinasi bagian 2 (F2) disuspensikan ke dalam larutan NaCl 0.25 M sebanyak 1 liter dan diaduk menggunakan stirrer selama 6 jam. Campuran tersebut didiamkan selama 1 malam lalu air yang terbentuk di bagian atas didekantasi. Pengulangan dilakukan dengan penambahan larutan NaCl dengan jumlah dan konsentrasi yang sama, didiamkan 1 malam dan air yang terbentuk kembali didekantasi. Endapan yang didapat kemudian dicuci dengan akuades dan diuji dengan menambahkan AgNO3 0,01 M sampai yakin tidak terbentuk

endapan putih AgCl. Setelah itu, endapan dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 80-100o C. Endapan yang didapat lalu digerus dan diayak dengan ayakan 100 micron. Na- MMT yang diperoleh ini dikarakterisasi dengan XRD, FTIR, dan EDS.

3. Penentuan Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Larutan CuSO4 0,1 M sebanyak 50 mL dicampurkan dengan larutan etilendiamin 0,5 M

sebanyak 20 ml dan diencerkan hingga mencapai volume 100 ml untuk membuat larutan 0,05 M Cu(en)22+. Setelah itu, 0,3 gram Na- MMT disuspensikan ke dalam masing-masing 1.5 mL,

4 mL, dan 5 mL larutan Cu(en)22+ yang dilarutkan dengan akuades hingga 25 mL. Lalu

suspensi tersebut diaduk dengan menggunakan stirrer selama 30 menit. Kemudian larutan sebelum dan sesudah dicampur diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometri UV/Vis.

(7)

4. Sintesis Organoclay

Sebanyak 0,0943 gram alanin dilarutkan ke dalam 25 mL buffer asetat dengan pH = 6 untuk pembuatan 1 KTK organoclay. Kemudian 3 gram Na-MMT didispersikan dalam 50 mL akuades dan dilakukan pengadukan selama 30 menit. Larutan tersebut kemudian ditambahkan dengan 25 mL larutan buffer asetat + alanin yang telah dibuat secara perlahan dan diaduk menggunakan stirrer selama 3 jam. Campuran lalu diultrasonik 5 menit. Sentrifugasi campuran tersebut, ambil padatannya lalu oven pada suhu 60o C. Untuk pembuatan 2 KTK

organoclay, jumlah alanin yang dibutuhkan sebanyak 2 kali dari 1 KTK, yaitu 0,1886 gram

dengan perlakuan yang sama seperti prosedur 1 KTK. Variasi pH interkalasi dilakukan dengan melakukan proses interkalasi pada pH = 4.7 dan pH = 7 dengan prosedur yang sama seperti proses interkalasi pada pH = 6 tetapi pada interkalasi pH = 7, buffer yang digunakan adalah buffer fosfat. Organoclay yang didapatkan lalu dikarakterisasi menggunakan XRD, FTIR, dan EDS.

.

5. Optimasi Waktu Adsorpsi Kadmium

Sebanyak 10 mL larutan kadmium dengan konsentrasi 1,5 mM ditambahkan ke dalam 0,05 gram bentonit alam, organoclay 1 KTK, organoclay 2 KTK dengan variasi waktu selama 30 menit, 1 jam, 1,5 jam, 2 jam, 2,5 jam, dan 3 jam. Kemudian larutan tersebut disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 6000 rpm. Filtrat dipisahkan dari endapannya, kemudian filtrat yang diperoleh dikarakterisasi dengan AAS.

6. Optimasi Waktu Adsorpsi Timbal

Sebanyak 10 mL larutan timbal dengan konsentrasi 1,5 mM ditambahkan ke dalam 0,05 gram bentonit alam, organoclay 1 KTK, organoclay 2 KTK dengan variasi waktu selama 30 menit, 1 jam, 1,5 jam, 2 jam, 2,5 jam, dan 3 jam. Kemudian campuran tersebut disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 6000 rpm. Filtrat dipisahkan dari endapannya, kemudian filtrat yang diperoleh dikarakterisasi dengan AAS.

7. Optimasi Konsentrasi Adsorpsi Kadmium

Sebanyak 0,05 gram organoclay 1 KTK dan organoclay 2 KTK pada semua variasi pH interkalasi ditambahkan ke dalam larutan kadmium dengan konsentrasi 1 mM, 1,5 mM, 2 mM,

(8)

3 mM, dan 5 mM sebanyak 10 mL. Kemudian larutan tersebut diaduk selama 60 menit untuk KTK 1 dan 90 menit untuk KTK 2 kemudian disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 6000 rpm. Filtrat yang diperoleh dipisahkan dari endapannya dan ukur kadar kadmium yang terdapat pada filtrat tersebut dengan menggunakan AAS.

8. Optimasi Konsentrasi Adsorpsi Timbal

Sebanyak 0,05 gram organoclay 1 KTK dan organoclay 2 KTK pada semua variasi pH interkalasi ditambahkan ke dalam larutan timbal dengan konsentrasi konsentrasi 1 mM, 1,5 mM, 2 mM, 3 mM, dan 5 mM sebanyak 10 mL. Kemudian larutan tersebut diaduk selama 90 menit untuk KTK 1 dan 120 menit untuk KTK 2 kemudian disentrifugasi selama 3 menit dengan kecepatan 6000 rpm. Filtrat yang diperoleh dipisahkan dari endapannya dan ukur kadar timbal yang terdapat pada filtrat tersebut dengan menggunakan AAS.

Hasil dan Pembahasan

1. Fraksinasi dan Sedimentasi Bentonit

Dasar penggunaan metode pemisahan dengan sedimentasi untuk mineral- mineral selain dari montmorillonit adalah perbedaan massa jenis dan perbedaan kemampuan hidrasi dari tiap- tiap mineral yang terkandung dalam bentonit. Diharapkan senyawa pengotor yang lebih berat akan mengendap lebih dulu dibandingkan montmorillonit dan didapatkan bentonit yang lebih kaya akan montmorillonit.

2. Preparasi Na-Montmorillonit

Bentonit hasil endapan fraksi 2 perlu diseragamkan kationnya dengan kation Na+ yang dapat memperbesar kemampuan swelling dari bentonit. Preparasi Na- Montmorillonit juga tidak merusak struktur dari bentonit.

(9)

Gambar 2. Difraktogram Bentonit Alam, Bentonit Sedimentasi dan Na-MMT

3. Penentuan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dari Na- MMT

Penentuan kapasitas tukar kation (KTK) yang bertujuan untuk menentukan jumlah asam amino yang akan diinterkalasi ke dalam bentonit. Kapasitas tukar kation terjadi melalui reaksi pertukaran kation melalui perbedaan gaya elektrostatis. Penentuan KTK pada penelitian ini menggunakan metode kompleks ([Cu(en)2]2+) yang kemudian ditambahkan sejumlah gram

bentonit untuk mengetahui berapa banyak jumlah kompleks ([Cu(en)2]2+) yang dipertukarkan

dan teradsorpsi ke dalam ruang interlayer bentonit (Bergaya dan Vayer, 1997). Berdasarkan metode ini, didapatkan nilai KTK dari Na- MMT sebesar 35,3 mek/ 100 gram bentonit.

4. Sintesis Organoclay

Pada penelitian ini, asam amino yang digunakan adalah alanin yang bersifat amfoter, dan didalam air membentuk zwitterion yaitu gugus NH3+ dan gugus COO-. Adanya gugus

NH3+ mengakibatkan alanin berinteraksi dengan permukaan bentonit yang bermuatan negatif

sehingga dapat diinterkalasikan ke dalam bentonit. Alanin dapat membentuk zwitterion seperti halnya asam amino lainnya, yaitu adanya gugus NH3+ dan gugus COO- bersamaan, dengan pH

isoelektrik (pI)= 6,02. Variasi pH organoclay yang dilakukan pada penelitian ini adalah pada pH interkalasi dengan pH 4 dan 7.

0 200 400 600 800 1000 1200 0 20 40 60 80 100 Bentonit Alam Bentonit Sedimen (F2) Na- MMT I n tens itas (a .u )

(10)

Gambar 3. Spektrum FTIR Na- MMT dan Organoclay pH = pI

Hasil karakterisasi menggunakan FTIR menunjukkan adanya serapan baru pada beberapa bilangan gelombang terhadap senyawa baru yang muncul setelah interkalasi yang dilakukan pada pH interkalasi di titik isoelektrik Alanin (pH= 6). Hal ini memperkuat bukti bahwa alanin berhasil diinterkalasi masuk ke dalam ruang interlayer dari bentonit.

Sedangkan untuk perbandingan hasil karakterisasi dari organoclay yang di interkalasi pada pH 4,7 dan 7 dengan Na- Bentonit dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.

(11)

Gambar 4 Spektrum FTIR Na-MMT dan Organoclay pH = 7

Gambar 5 Spektrum FTIR Na-MMT dan Organoclay pH = 4,7

Gambar 4 dan 5 menunjukkan perbandingan dari hasil karakterisasi antara Na- Bentonit dengan organoclay yang di interkalasi pada variasi pH interkalasi yaitu 4,7 dan 7. Hasil FTIR pada organoclay pH 7 menunjukkan bentuk spektra yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan Na- Bentonit. Pada gambar tersebut terlihat adanya daerah serapan yang muncul mirip dengan organoclay pI yaitu serapan pada bilangan gelombang sekitar 3400 cm-1 untuk vibrasi ulur amina, tetapi bentuk ulurannya tidak selandai seperti pada uluran N-H yang berada di spektra organoclay pI. Vibrasi tekuk amina pada bilangan gelombang sekitar 1471 cm-1 juga terlihat lemah, tidak seperti pada organoclay pI. Selain itu serapan pada bilangan gelombang 1580 cm-1 yang merupakan serapan dari vibrasi ulur gugus karboksilat tidak terlihat.

Hal yang sama dapat dilihat pada hasil FTIR pada organoclay yang di interkalasi pada pH 4,7, dimana terlihat di gambar bahwa spektra yang dihasilkan oleh organoclay tidak berbeda jauh dengan Na- Bentonit. Pada serapan bilangan gelombang sekitar 3400 cm-1 juga terlihat vibrasi ulur amina seperti pada organoclay pH 7, sedangkan vibrasi tekuk amina pada bilangan gelombang sekitar 1471 cm-1 terlihat muncul pada organoclay 1 KTK dan 2 KTK tetapi vibrasinya sangat lemah. Selain itu, seperti pada spektrum FTIR dari organoclay pH 7, serapan

(12)

pada panjang gelombang 1580 cm-1 yang merupakan serapan dari vibrasi ulur gugus karboksilat tidak terlihat.

Berdasarkan hasil karakterisasi menggunakan FTIR tersebut dapat dikatakan bahwa pada kondisi pH interkalasi di atas dan di bawah titik isoelektrik, senyawa alanin tidak berhasil di interkalasi secara sempurna.

5. Optimasi Waktu Adsorpsi Ion Logam Timbal dan Kadmium

Proses adsorpsi ion logam merupakan proses pertukaran ion antara kation Cd2+ dan Pb2+ yang terkandung di dalam larutan logam dengan kation Na+ yang berikatan dengan gugus COO- pada senyawa alanin, dan prosesnya merupakan reaksi kesetimbangan. Adsorpsi tidak mengalami peningkatan lagi setelah mencapai waktu optimum sehingga dapat dikatakan bahwa saat waktu optimum tercapai, maka akan tercapai pula kesetimbangan adsorbat dalam larutan dan adsorbat di dalam adsorben.

Gambar 4.1 Grafik Optimasi Waktu Adsorpsi Kadmium

0 10 20 30 40 50 60 70 0 50 100 150 200 Organoclay 1 KTK Organoclay 2 KTK Bentonit Alam Q (m ek / 1 0 0 g bento nit) Waktu (Menit)

(13)

Gambar 4.2 Grafik Optimasi Waktu Adsorpsi Timbal

Perbedaan waktu optimum yang dicapai antara organoclay 1 KTK dan 2 KTK baik dalam adsorpsi ion logam Cd2+ maupun Pb2+ dapat disebabkan karena jumlah alanin yang dapat terinterkalasi ke dalam ruang interlayer bentonit berbeda jumlahnya dimana pada organoclay 2 KTK jumlahnya 2 kali lipat dari organoclay 1 KTK. Hal ini menyebabkan jumlah gugus COO- dari alanin yang dapat berikatan dengan ion logam bermuatan positif juga lebih banyak jumlahnya pada organoclay 2 KTK dibandingkan dengan organoclay 1 KTK, sehingga dibutuhkan waktu yang sedikit lebih lama bagi organoclay 2 KTK untuk mencapai waktu optimum adsorpsinya, dan kapasitas adsorpsinya pun juga lebih besar.

0 10 20 30 40 50 60 70 0 50 100 150 200 Organoclay 1 KTK pI Organoclay 2 KTK pI Bentonit Alam Q (m ek / 1 0 0 g bento nit) Waktu (Menit)

(14)

6. Optimasi Konsentrasi Adsorpsi Ion Logam Timbal dan Kadmium

Pada penelitian ini digunakan waktu optimum yang telah didapatkan pada tahap sebelumnya untuk kemudian dilakukan optimasi konsentrasi adsorpsi. Variasi konsentrasi yang digunakan adalah 1 mM, 1,5 mM, 2 mM, 3 mM, dan 5 mM untuk adsorpsi kedua ion logam berat oleh setiap variasi organoclay.

Gambar 5 Grafik Perbandingan Kapasitas Adsorpsi pada Setiap Variasi pH

Organoclay

Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa kapasitas adsorpsi yang lebih besar dimiliki oleh

organoclay yang disintesis pada pH interkalasi= pI dibandingkan dengan organoclay yang

disintesis pada pH di atas maupun dibawah pH isoelektrik (pI). Berdasarkan grafik ini dapat disimpulkan bahwa interkalasi terbaik berlangsung pada pH isoelektrik diakibatkan oleh terbentuknya zwitterion pada pH isoelektrik asam amino yang digunakan sebagai interkalat.

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan telah dibuktikan bahwa bentonit alam Jambi berhasil diinterkalasi dengan senyawa asam amino Alanin yang meningkatkan kapasitas adsorpsi secara cukup signifikan. Jumlah alanin yang dibutuhkan untuk proses interkalasi dapat diketahui dari nilai KTK yang telah dihitung, yaitu sebesar 35,3 mek/ 100 gram bentonit. Berdasarkan data

0 20 40 60 80 100 120 140 160 4 5 6 7 8 Adsorpsi Logam Cd Adsorpsi Logam Pb Q (m ek / 1 0 0 g bento nit) pH Organoclay

(15)

diperoleh, diketahui bahwa organoclay- Alanin cenderung lebih banyak mengadsorp ion logam timbal dibandingkan dengan ion logam kadmium.

Daftar Pustaka

Gupta, Susmita Sen, Bhattacharyya, Krishna G.(2005). Interaction of metal ions with clays: I. A

case study with Pb(II). Applied Clay Science.30.199-208.

Paiva, Lucilene Betega de, Morales, Ana Rita, Diaz, Fransisco R.Valnezuela.(2008).

Organoclays: Properties, preparation and applications. Applied Clay Science.42. 8-24.

Mallakpour, Shadpour, Dinari, Mohammad. (2011). Preparation and characterization of new

organoclays using natural amino acids and Cloisite Na+. Applied Clay Science.51.

353-359.

Appel, Chip, Ma, Lena. Q, Rhue, Roy D., Reve, William. (2007). Sequential sorption of lead and

cadmium in three tropical soils. Environmental Pollution Journal.

Saputra, Dimas Dwi. 2012. Modifikasi dan Karakterisasi Bentonit Alam Jambi yang

Diinterkalasi Alanin, serta Aplikasinya sebagai Adsorpsi Logam Kadmium dan Timbal.

Skripsi. Departemen Kimia: Universitas Indonesia

Ratnasari, Bunga. 2013. Modifikasi bentonit tapanuli terinterkalasi alanin sebagai adsorben

logam berat kadmium (Cd) dan timbal (Pb).Skripsi.Departemen Kimia: FMIPA UI

Karnland, Ola. (1998). Bentonite swelling pressure in strong NaCl solutions : Correlation of

model calculations to experimentally determined data. Mikonkatu 15 A, Helsinski. Finland

Ammann, Lars. (2003). Cation exchange and adsorption on clays and clay minerals. Dissertation Christian-Albrechts-Universitat. Faculty of Mathematics and Natural Sciences. Kiel

(16)

Bergaya, F, Vayer, M. (1997). CEC of clays: Measurement by adsorption of a copper

Gambar

Gambar 1 Struktur Enansiomer Alanin
Gambar 2. Difraktogram Bentonit Alam, Bentonit Sedimentasi dan Na-MMT
Gambar 3. Spektrum FTIR Na- MMT dan Organoclay pH = pI
Gambar 4 Spektrum FTIR Na-MMT dan Organoclay pH = 7
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dalam dunia bisnis saat ini, organisasi-organisasi (perusahaan-perusahaan) melakukan upaya besar-besaran agar berkinerja unggul, yang hanya dapat dicapai dengan

Perbedaan pandangan dan pemahaman mengenai geng motor terutama geng motor XTC di kota Bandung menjadi pematik bagi peneliti untuk melakukan penelitian untuk mengetahui

This underlined theory emphasizes the background of the study explained in the beginning, which tries to find out the correlation between mastering grammar and

Hasil penelitian menunjukan bahwa ketinggian tempat tumbuh berpengaruh sangat nyata pada kadar klorofil, vitamin C, dan serat, namun berpengaruh tidak nyata terhadap kadar

Hasil analisis dari jenis-jenis kalimat dalam lirik lagu bahasa Inggris dalam album Thank You Allah oleh Maher Zain menunjukkan bahwa ada 144 kalimat deklaratif, 15

d. Menjawab pertanyaan guru yang berkaitan dengan materi operasi perkalian pecahan. b. Menanggapi penjelasan guru yang berkaitan

[r]

Dengan strategi Perancangan Sistem Penerbitan Online dan promo tanpa premi (gratis), dianggap mampu mempercepat proses penerbitan polis, meningkatkan produktivitas dari