• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELASI KUASA DALAM WACANA IDENTITAS. Irzanti Susanto

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RELASI KUASA DALAM WACANA IDENTITAS. Irzanti Susanto"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

RELASI KUASA DALAM WACANA IDENTITAS

Irzanti Susanto PENDAHULUAN

Makalah ini akan membahas masalah identitas ras Mongoloid Asia Ti-mur -Cina- dalam konteks bangsa Indonesia. Pembahasan akan bertumpu pada konsep bangasa dri Benedict Anderson, teori strukturasi dari Anthony Giddens, dan relasi kuasa dari Michel Foucault.

Anderson (1983:15) merumuskan bangsa sebagai it is an imagined political com-munity –and imagined as both inherently limited and sovereign. Empat kata kunci, yaitu: 1. terbayang karena anggota-anggota dari bangsa, yang jumlahnya terkecilpun, belum tentu saling mengenal, bertemu atau pernah mendengar tentang mereka, tetapi setiap anggota hidup dengan bayangan tentang kebersamaan mereka.

2. komunitas, artinya ada hubungan persaudaraan di antara para anggotanya, meskipun ada kesenjangan dan eksploitasi di antara mereka.

3. terbatas, dalam arti jumlahnya terbatas, sebanyak apa pun anggotanya dan selalu ada batas teritori yang memisahkannya dengan bangsa lain.

4. berkedaulatan, artinya memiliki kekuasaan dan kebebasan. Konsep ini lahir dari pada Abad Pencerahan dan Revolusi yang menjatuhkan legitimasi kekuasaan Monarki dan adi-kodrati.

Dengan konsep bangsa ini, anggota komunitas tahu bahwa ada kebersamaan dengan ang-gota-anggota lain yang tidak semua (bahkan mungkin sebagian besar) ia kenal atau ia ke-tahui keberadaannya secara fisik. Kapitalisme cetakan, sebagai alat distribusi gagasan, pengetahuan, memegang peranan penting dalam pembentukan identitas bangsa secara na-sional. Identitas tersebut dapat dirasakan dan turun menjadi identitas setiap anggotanya.

Bertolak dari konsep tersebut, bangsa Indonesia terbayangkan sebagai komunitas yang multietnik (misalnya Sunda, Jawa, Larantuka, Sentani, Minangkabau, Batak, Bugis, Ambon), multiras (misalnya Caucasoid -India, Arab-, Asiatic Mongoloid -Cina-), dan multiagama (Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu). Secara teoritis, konsep ras

(2)

berke-naan dengan ciri biologis, genetika dan fisiologi; sedangkan konsep etnik berkeberke-naan dengan konsep kultural dan pranata sosial khusus (Koentjaraningrat, 2002:90,263).

Teks yang saya analisis dalam makalah ini adalah keberadaan etnis Cina sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

WACANA IDENTITAS KULTURAL

Orang-orang Indonesia-Cina yang lahir di bumi Indonesia, telah menjadi wargane- gara, menetap sejak lama, dan menjalankan praktik-praktik sosial yang berlaku di Indo-nesia mengambil bagian dalam sistem representasi budaya yang melaluinya identitas na-sional diproduksi secara terus-menerus melalui tindakan diskursif (Sutrisno: 137). Iden-titas merupakan konstruksi dan selalu didasari oleh oleh konteks sosial dan kultural. Dengan demikian, mereka menganggap bahwa Indonesia adalah bangsanya, sesuai dengan konsep B. Anderson. Tempat seorang Indonesia –Cina dilahirkan dan dibesarkan membentuk dunia budayanya. Budaya itulah yang diadopsi dan menjadi bagian dari iden-titasnya. Pada kesempatan ini, saya mengutip salah satu konsep budaya dari Williams (Sutrisno:8), yaitu “yang menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, berkeya-kinan, dan adat kebiasaan”. Artinya, sebagai keturunan ras Cina, seorang Indonesia-Cina menyatu secara kultural dengan anggota masyarakat lainnya di sekitarnya (dari ras lain). Sebagai agen -anggota masyarakat-, ia melakukan praktik sosial sesuai dengan struktur yang berlaku di lingkungannya. Struktur tersebut membatasi tindaknya, ia harus tunduk pada aturan tertentu, tetapi di pihak lain struktur tersebut juga memampukannya untuk berkreasi, berkembang. Menurut pendapat saya, mereka adalah orang Indonesia-Cina yang berhasil menghapus stereotip Indonesia-Cina (kaya, eksklusif, konglomerat yang egois), misalnya Yap Thiam Hien, Kwik Kian Gie, Ciputra, Arif Budiman, para olah-ragawan yang berhasil mengangkat nama Indonesia di dunia internasional, dan masih banyak lagi yang mungkin tidak menjadi terkenal secara nasional.

Dari kondisi tersebut, saya akan memaparkan beberapa permasalahan yang disebab-kan oleh adanya relasi kuasa sehingga kegiatan orang Indonesia-Cina tidak dapat sepe-nuhnya mengembangkan dirinya dengan struktur tersebut.

(3)

Foucault mengemukakan teorinya mengenai wacana sebagai pengetahuan yang ter-struktur: aturan, praktik yang menghasilkan pernyataan bermakna pada satu rentang his-toris tertentu. Oleh karena itu, wacana erat hubungannya dengan kekuasaan. Ia berpenda-pat bahwa konsep kekuasaan telah berubah dibandingkan dengan abad ke-19. Ciri kekua-saan pada saat itu: pertama, cenderung brutal. Kedua, dioperasikan secara terus-menerus. Ketiga, menekankan ketaatan pada tata cara dan penuh dengan simbolisme. Keempat, berada di ruang publik. Kekuasaan, menurut Foucault, bukan milik siapa pun; kekuasaan ada di mana-mana; kekuasaan merupakan strategi. Kekuasaan adalah praktik yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu -ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu dengan yang lain dan senantiasa mengalami pergeseran-. Kekuasaan menentukan susunan, aturan, dan hubungan dari dalam. Kekuasaan bertautan dengan pengetahuan yang berasal dari relasi-relasi kekuasaan yang menandai subjek. Karena Foucault mena-utkan kekuasaan dengan pengetahuan sehingga kekuasaan memproduksi pengetahuan dan pengetahuan menyediakan kekuasaan, ia mengatakan bahwa kekuasaan tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, melainkan juga normalisasi dan regulasi (Su-trisno, 2005:154).

DAMPAK RELASI KUASA

Pada suatu rentang waktu tertentu, perkawinan antara pribumi dan Indonesia-Cina tidak disetujui para sesepuh dari kedua belah pihak dengan alasan utama berbeda ras. Hu-bungan relasi kuasa antara kakek nenek, orang tua dan anak memungkinkan pelarangan tersebut. Para sesepuh lebih memiliki wewenang atas masa depan anak cucu mereka dari-pada si anak itu sendiri atas masa depannya dan perasaannya. Masalah ini hendak saya kaitkan dengan budaya, seperti yang telah dirumuskan di atas tadi. Para sesepuh sama se-kali tidak mempertimbangkan latar belakang budaya yang sama (dengan catatan: kedu-anya berasal dari keluarga dengan konteks budaya yang sama, misalnya dari Ciamis). Budaya yang sama dapat merupakan modal untuk mengurangi permasalahan pertemuan dua orang asing yang menjadi satu (seharusnya) selamanya. Dalam hal ini basic assum-ption sebagai bagian terdalam dari struktur kebudayaan muncul pada saat kritis dan dapat mengesampingkan aturan lain (materi kuliah Prof. Dr. B.H. Hoed, 8 Oktober 2008).

(4)

Relasi kuasa (di satu pihak orang Indonesia-Cina dan di pihak lain otorita publik, kelompok pribumi) masih terjadi, misalnya dalam hal penempatan posisi penting, peme-rolehan dokumen administratif, dan pergaulan.

IDENTITAS DAN PERUBAHANNYA1

Masih dalam kaitannya dengan relasi kuasa, berikut ini dampaknya dalam hal iden-titas. Oleh sebab tertentu, orang Indonesia-Cina diberi identitas khusus yang bersifat eks- plisit, seperti nomor khusus dalam KTP, berbagai dokumen pelengkap akte kewarganega- raan. Penandaan semacam itu merupakan panotikon administratif dari pemerintah.

Pemerintah Indonesia dengan kesadaran diskursifnya mengubah tatanan dan meng-adakan beberapa perubahan seperti berikut. Pada tahun 1965, setelah pecahnya G30S, dengan alasan asimilasi, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan SK agar orang Indo-nesia-Cina mengganti namanya. Akibatnya, mereka yang tidak mengganti nama beresiko mendapat tekanan dari lingkungannya. Jadi, di satu pihak mereka diberi tanda berbeda, di pihak lain mereka diminta untuk menanggalkan tanda-tanda asal ras, termasuk melarang diadakannya upacara adat dan keagamaan mereka serta beredarnya surat kabar berbahasa mereka. Tampak jelas di sini relasi kuasa Pemerintah dan warganegara Indonesia-Cina.

Perubahan tatanan terjadi lagi ketika Gus Dur menjadi presiden. Ia mencabut la-rangan perayaan upacara adat dan keagamaan orang Indonesia-Cina; bahkan sekarang ini ada siaran televisi berbahasa Mandarin.

Demikianlah orang Indonesia-Cina mengalami berbagai perubahan yang pada wak-tu lain diubah lagi. Mereka mengalami represi dan menjadi pihak yang termaginalisasi akibat relasi kuasa (mayoritas atas minoritas).

Gejala mutakhir memperlihatkan bahwa ada sementara orang Indonesia-Cina yang melakukan penyesuaian diri dengan menganut agama Islam dan memakai jilbab. Saya be-lum mendengar ada penelitian tentang perubahan tersebut. Apakah hal tersebut meru-pakan buah pemaknaan terhadap kondisi diskriminatif atau buah refleksi diri dalam perenungan religius yang terlepas dari situasi sosial.

1Pada makalah ini, saya berfokus pada perubahan yang disebabkan oleh relasi kuasa saja, tanpa

menyinggung sebab-sebab lain secara lebih dalam, misalnya stereotip Indonesia-Cina yang ka- ya dan eksklusif sehingga menimbulkan kecemburuan sosial, ketidakinginan tercampurnya da- rah keturunan, dll.

(5)

PENUTUP

Dari paparan di atas, tampak bahwa pemerintah dengan tujuan meregulasi asimilasi dirasakan sebagian pelaku sebagai represi karena peraturan masuk ke dalam ranah priba-di, seperti nama, kepercayaan, adat istiadat.

Relasi kuasa berjalan bersama perubahan yang dilakukan agen dan mengakibatkan perubahan identitas yang selanjutnya dapat berdampak pada krisis identitas (misalnya malu, takut mengaku keturunan Cina).

Perubahan yang dilegitimasi oleh pemerintah untuk membaurkan ras lain ke dalam bangsa Indonesia berlaku pada tataran formal. Begitu kita masuk ke dalam kehidupan se-hari-hari, praktik sosial yang terjadi mengikuti struktur yang berlaku di dalam konteks so- sial dan budaya masing-masing. Pembauran tidak berjalan semulus yang diatur di atas kertas. Namun, dengan kesadaran diskursif dari kedua belah pihak, pribumi dan non-pribumi, serta praktik-praktik yang diproduksi terus menerus oleh pihak otoritas, pem-bauran orang Indonesia-Cina semakin meningkat ke arah yang positif, yaitu masuknya nonpribumi ke dalam konsep imagined community Indonesia.

(6)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict. 1983. Imagined Community. New York: Verso. Hlm. 11-40.

Budianta, Melani. Problematizing „Asia‟ dalam Jurnal Inter-Asia Cultural Studies. Volume 1 Nomor 1 April 2000. Didukung oleh Japan Foundation, National Science Council, dan National Tsing Hua University, Taiwan.

Cassell, Philip. 1993. The Giddens Reader. Stanford, CA: Stanford University Press. Hlm. 88-126 dan 284-303.

Haryatmoko. Foucault dan Kekuasaan dalam majalah Basis. No.01-02, Thn ke-51, Januari-Februari 2002. Yogyakarta.

Sutrisno, Muji dan Hendar Putranto, ed. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

---, In Bene, dan Hendar Putranto, ed. (tahun tidak tercantum). Tantangan Bagi Teori-teori Besar Kebudayaan. Depok: koekoesan.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Model antrian yang diperoleh adalah (M/M/2):(GD/∞/∞), menunjukkan bahwa distribusi jumlah kedatangan dan jumlah pelayanan pelanggan di bagian Quick Service

Bahan yang digunakan sebagai basis chewable lozenges adalah bahan-bahan yang dapat memberikan bentuk gummy atau kenyal pada sediaan.. Basis yang biasa dipakai dalam

pada angka IPM ini pun disebabkan karena terjadinya peningkatan pada semua komponen yang termasuk kedalam komponen Indeks Pembangunan Manusia yaitu terjadinya

Apabila seseorang dilarang meminjamkan uang dengan bunga yang tinggi, maka secara rasional lebih baik ia meminjamkannya kepada kalangan menengah dan

Pada kesempatan yang berbagia ini, penulis ingin menghaturkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan anugerah- Nya yang besarlah, penulis

yang mengatakan bahwa kepuasan kerja berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan, Karena dengan. merasakan kepuasan karyawan akan merasa senang dan lebih mencintai

Puji syukur ke Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Profil Protein Ekstrak Biji