• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENATALAKSANAAN NUTRISI PADA GAGAL GINJAL KRONIK.docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENATALAKSANAAN NUTRISI PADA GAGAL GINJAL KRONIK.docx"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PENATALAKSANAAN NUTRISI PADA GAGAL GINJAL KRONIK Dr. Rully M. A. Roesli, PhD, Sp.PD-KGH

Sub Bagian Ginjal Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD / RS Hasan Sadikin, Bandung Diet Rendah Protein (DRP), Progresifitas Gagal Ginjal dan Malnutrisi

Maksud awal dari terapi nutrisi dalam pengelolaan gagal ginjal adalah untuk menurunkan asupan nitrogen agar akumulasi toksin uremi dapat dikurangi. Franz Volhard pada tahun 1918 membuktikan bahwa dengan

memberikan Diet Rendah Protein (DRP) sebanyak 20-30 gram/hari (asupan nitrogen = 2-3 gram/hari) kenaikan toksin uremi dapat dihambat selama beberapa bulan 1.

Diketahui kemudian bahwa DRP bukan saja dapat menurunkan akumulasi toksin uremi, tetapi juga

memperlambat progresivitas gagal ginjal. Brenner mengajukan hipotesis yang mengatakan bahwa bila pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK) diberi asupan protein normal, akan terjadi hiperfiltrasi di glomeruli. Hal ini akan mempercepat proses glomerulosklerosis. Menurunkan kadar protein pada diet akan berakibat sebaliknya. Walser pada tahun 1975 membuktikan bahwa pemberian DRP serendah 20-30 gram/hari dengan tambahan Asam Amino Esensial (AAE) atau asam ketoanalogusnya, selain dapat mengurangi akumulasi toksin uremi, dapat membuat fungsi ginjal menjadi stabil untuk beberapa bulan bahkan tahun 2.

Dilain pihak, tanpa pemberian nutrisi yang seimbang, seorang pasien GGK dapat mengalami malnutrisi baik karena asupan nutrisi yang kurang (malnutrisi primer) maupun akibat gangguan metabolisme yang terjadi pada GGK (malnutrisi sekunder) 2. Malnutrisi sendiri diketahui akan menimbulkan berbagai kelainan fungsi ginjal, antara lain penurunan dari Glomerular Filtration Rate (GFR) maupun Renal Plasma Flow (RPF) dengan akibat peninggian kadar kreatinin dan urea nitrogen plasma. Selain itu pemberian terapi nutrisi pada pasien gagal ginjal, harus memperhitungkan terjadinya gangguan metabolisme pada pasien, akumulasi toksin-tosin maupun terjadinya akumulasi cairan. Semuanya itu menimbulkan keterbatasan didalam menyusun regimen terapi nutrisi.

Pengelolaan Nutrisi pada GGK Sebelum Memulai Program Dialisis Tujuan dari Terapi Nutrisi pada GGK

Tujuan dari terapi nutrisi pada GGK yang belum menjalani program dialisis, adalah 4, 5 : 1. Menjaga Keseimbangan Nitrogen

Keseimbangan nitrogen menggambarkan keseimbangan metabolisme protein. Artinya adalah degradasi protein harus seimbang dengan asupannya Dalam keadaan seimbang maka pada pasien yang sudah anefrik, ekskresi kreatinin dalam urin harus seimbang dengan creatinine generation (pembentukan kreatinin dalam tubuh)

2. Memperlambat Progresivitas GGK

Pada GGK dimana sebagian besar nefron sudah rusak, nefron sisa yang masih ada akan mengalami hiperperfusi. Ini merupakan usaha kompensasi untuk memperbaiki fungsi ginjal. Laju filtrasi suatu unit nefron disebut sebagai Single Nephron Glomerular Filtration Rate (SNGFR). Keadaan hiperperfusi ini akan diikuti oleh hiperfiltrasi glomeruli. Bila keadaan ini berlanjut , akan terjadi kenaikan tekanan intraglomeruli yang selanjutnya akan mengakibatkan proses glomerulosklerosis dipercepat. Makin cepat proses

glomerulosklerosis akan makin progresif pula GGK secara klinis.

Dari percobaan didapatkan bahwa DRP dapat menurunkan SNGFR 5. Di lain pihak, Ando dkk (1989) membuktikan bahwa pemberian diet protein tinggi, yaitu 1,2-1,5 g/kgBB/hari dapat menaikkan SNGFR akibat peninggian glukagon plasma 6. Terbukti bahwa DRP dapat mempengaruhi progresivitas GGK karena efek langsungnya terhadap SNGFR. Lamanya progresivitas GGK dapat dihambat oleh DRP tergantung banyak faktor antara lain aktifitas penyakit dasarnya, komposisi DRP, kepatuhan pasien terhadap DRPdan adanya faktor predisposisi .

3. Mempertahan Status Nutrisi secara Optimal

Terjadinya malnutrisi pada pasien gagal ginjal dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : • Asupan nutrisi yang kurang atau tidak seimbang

• Adanya gangguan metabolisme yang menyertai

• Adanya kondisi penyakit lain yang menyertai seperti infeksi, stres, dan lain-lain

Terjadinya malnutrisi menimbulkan percepatan progresivitas penyakit maupun penurunan daya tahan pasien. Sebaliknya mempertahankan status nutrisi dengan baik dapat

memperbaiki penyakit yang menyertai, seperti gangguan kardiovaskular dan lain-lain. Indikasi Memulai Terapi Nutrisi pada GGK

Tidak ada pendapat yang seragam mengenai kapan sebaiknya dimulai terapi nutrisi dengan DRP pada GGK. Bila GFR masih diatas 70 cc/menit , dapat dikatakan bahwa terapi DRP belum banyak gunanya, malahan dapat memberi beban psikologis terhadap pasien.Terapi DRP sebaiknya dimulai pada titik kritis dimana sudah mulai

(2)

terjadi penimbunan toksin uremi. Menurut Ikizler dkk bila GFR menurun sampai 50 cc/menit akan diikuti oleh penurunan nafsu makan pasien yang segera akan menimbulkan malnutrisi protein-kalori ditandai dengan adanya menurunnya massa otot (muscle wasting).

Indikasi Inisiasi Dialisis berdasarkan Status Nutrisi

Inisiasi dialisis biasanya disepakati bila klirens kreatinin telah mencapai 5 cc/menit. Tetapi untuk menghindari telah terjadinya malnutrisi sebelum inisiasi dialisis, maka Bonomini dkk (1970) menganjurkan inisiasi dialisis lebih awal, yaitu pada saat klirens kreatinin 10 – 15 cc/menit.

Berdasarkan panduan dari National Kidney Foundation / Dialysis Outcomes Quality Initiative, inisiasi program dialisis bila telah tercapai nPNA [ protein equivalent of total nitrogen appearance normalized to bodyweight] kurang dari 0,8 g/kgBB/hari atau kira-kira bila telah tercapai Kt/V urea kurang dari 2.0 / minggu (ekuivalen dengan klirens kreatinin 14 cc/menit). nPNA dikalkulasi dari besarnya urinary nitrogen output dan non-urea nitrogen losses. Dialisis sebaiknya dimulai sebelum terjadi malnutrisi. Bila kadar albumin menurun sampai 40 g/liter pada saat inisiasi dialisis survival pasien akan menurun

Cara Pemberian Terapi Nutrisi pada GGK

Bila keadaan memungkinkan, terapi nutrisi secara oral menjadi pilihan pertama. Tetapi biasanya pasien dalam keadaan sakit berat dan nafsu makan sangat menurun. Pilihan berikutnya adalah dengan terapi nutrisi secara enteral (nasogastric tube) . Bila ini juga tidak memungkinkan baru dipikirkan cara terapi Nutrisi Par-Enteral (NPE). Perlu diperhatikan bahwa pada pasien dengan GGK sering disertai dengan keluhan gastrointestinal seperti mual dan muntah, padahal kebutuhan akan nutrisi justru meningkat sehingga dalam banyak kasus perlu dilakukan terapi kombinasi NPE dengan enteral atau oral agar asupan nutrisi yang dibutuhkan dapat dipenuhi.

Jenis dan Jumlah Kebutuhan Nutrisi 1. Kalori

Pemberian kalori yang adekuat sangat penting untuk membuat keseimbangan nitrogen menjadi positif. Menghitung kebutuhan kalori pada GGK lebih rumit karena harus

diperhitungkan kebutuhan kalori dari penyakit atau keadaan klinis yang menimbulkan GGK. Total kalori yang harus diberikan adalah penjumlahan dari kebutuhan kalori pada keadaan basal dengan kebutuhan kalori pada keadaan stres. Pada umumnya kalori yang dibutuhkan oleh pasien GGK akan berkisar antara 40 50 kkal/kgBB/hari. Perlu diperhatikan bahwa pada keadaan GGK biasanya jumlah cairan perlu dibatasi mengingat produksi urin yang rendah. Menurut Locatelli dkk (2000) kalori tidak perlu diberikan terlalu tinggi karena tidak berguna dan akan menyebabkan stress metabolic. Jumlah kalori yang dianjurkan adalah 30–35 kkal/kgBB/hari. Sumber kalori lain adalah lemak (lipid). Pemberian lemak sebagai kalori sebaiknya dibatasi hanya sekitar 20 25 % dari total kebutuhan kalori. Walaupun demikian sesuai dengan konsensus penggunaan lipid di Indonesia, pada keadaan tertentu perbandingannya dapat mencapai 50 % dari total kebutuhan kalori

Secara garis besar kebutuhan kalori pada GGK dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Tabel 1 : KEBUTUHAN KALORI PADA PENDERITA GGK

KEBUTUHAN KALORI TOTAL = KEBUTUHAN KALORI DASAR X STRESS FACTOR X 1.25 Kebutuhan Kalori Dasar :

Berat Badan : 50 kg 55 kg 60 kg 65 kg 70 kg 75 kg 80 kg Kkal/hari : 1316 1411 1509 1602 1694 1784 1872 Stress Factor :

Kelaparan 0,85 - 1.00

Pasca operasi (tanpa komplikasi) 1,00 - 1,05 Patah tulang 1,15 - 1,30

Keganasan 1,10 - 1,45 Peritonitis 1,05 - 1,25

Infeksi Berat/Trauma multiple 1,30 - 1,55 Luka Bakar : 10-30 % Lpb 1,50

30-50 % Lpb 1,75 >50 % Lpb 2,00

2. Protein dan Asam Amino

Dalam menentukan pemberian protein / asam amino kepada pasien GGK perlu diperhatikan mengenai jumlah (dosis) dan jenis protein.

(3)

Franz Volhard pada tahun 1918 membuktikan bahwa dengan memberikan DRP sebanyak 20-30 gram/hari (asupan nitrogen = 2-3 gram/hari) kenaikan toksin uremi dapat dihambat selama beberapa bulan 1. Namun demikian Locatelli dkk (2000) menganggap bahwa hampir tidak mungkin bahkan dapat berbahaya untuk memberikan protein terlalu rendah kepada pasien GGK yang belum menjalani dialisis. Mereka menganjurkan agar protein diberikan paling sedikit sebanyak 0.8 g/kgBB/hari. Penting diperhatikan bahwa angka ini harus disesuaikan dengan kebiasaan asupan protein pasien sebelum sakit.

Jenis Protein

Meskipun belum diterima secara umum tetapi menurut Weinberg dkk (1987) beberapa jenis asam amino mempunyai efek sitoprotektif terhadap kerusakan sel glomeruli, seperti glycine, glutamate, dan cystein. Sedangkan lysine dalam dosis tinggi mempunyai sifat

nefrotoksisitas. Pemilihan asam amino rantai cabang dilaporkan menstimulasi sintesis protein dan menurunkan katabolisme protein (Cera dkk, 1982). Dengan demikian secara rasional pemberian terapi nutrisi pada gagal ginjal selalu harus merupakan kombinasi antara Asam Amino Esensial (AAE) dan Asam Amino Non-Esensial (AAN-E). Pemilihan asam amino rantai cabang diduga lebih bermanfaat.

3. Keseimbangan Asam Basa dan Elektrolit

Kebanyakan pasien GGK mengalami juga keadaan asidosis, hiperkalemi dan hiperfosforemi.

Keadaan asidosis akan menimbulkan ;

• kenaikan penghancuran protein (protein breakdown)

• mengurangi kadar beberapa asam amino di otot dan intraselular • menambah pelepasan kalsium dari tulang

• menyebabkan hiperkalemi

Menurut Locatelli dkk, kadar bikarbonat plasma sebaiknya dipertahankan sekitar 18-19 mEq/L. Pemberian bikarbonat per oral tidak banyak manfaatnya, bila perlu dapat diberikan phospho-binder (kalsium karbonat). Asupan fosfat per hari dibatasi tidak lebih dari

500-600 mg.

Tabel 2 : RESUME TERAPI NUTRISI PADA PENDERITA GGK PROTEIN

Jumlah : 0,8 – 1 g/kgBB/hari

Jenis : Campuran asam amino esensial dan non-esensial KALORI

Jumlah : 30-35 kkal/kgBB/hari Jenis : 1/3-1/2 dalam bentuk lipid ELEKTROLIT : Natrium 70 meq/L. Kalium, dibatasi

Fosfat 500-600 mg/hari

Terapi Nutrisi pada GGK dengan Dialisis

Bila terapi konservatif pada pasien GGK tidak berhasil, maka perlu dimulai. TPG yang dapat berupa dialisis atau cangkok ginjal.

Tujuan Terapi Nutrisi pada Dialisis

Meskipun prinsip dasarnya sama, ada sedikit perbedaan tujuan terapi nutrisi pada pasien GGK yang menjalani dialisis dengan yang tidak.

Tujuan terapi nutrisi pada dialisis adalah :

1. Mengurangi akumulasi toksin uremi, cairan, elektrolit diluar waktu dialisis.

2. Memperbaiki status nutrisi,mencegah defisiensi asam amino, vitamin, dan lain-lain.

Hasil terapi nutrisi untuk jangka pendek adalah membantu meregulasi dan menghindari akumulasi dari zat toksin maupun ekses air dan elektrolit yang seharusnya diekskresi oleh ginjal. Akumulasi air dalam tubuh dapat mengakibatkan edema paru akut, sedangkan hiperkalemi dapat menimbulkan aritmia jantung. Kedua komplikasi ini adalah yang paling sering menimbulkan kematian pasien. Untuk jangka panjang diharapkan terapi nutrisi dapat menghindarkan terjadinya malnutrisi atau gangguan metabolisme lain. Adanya malnutrisi menurunkan daya tahan dan mempermudah komplikasi infeksi. Gangguan metabolisme lemak antara lain hipertrigliseridemia mempermudah terjadinya aterosklerosis pada pasien. Terjadinya defisiensi kalsium dan kelebihan fosfat akan menimbulkan kelainan tulang (osteodistrofi renal).

Penatalaksanaan Terapi Nutrisi pada Dialisis

Proses dialisis membutuhkan energi yang didapatkan dengan peningkatan katabolisme tubuh. Pada saat dialisis terjadi juga kehilangan asam amino melalui membran semipermiabel sehingga kebutuhan nutrisi pada

(4)

pasien GGK yang sudah menjalani dialisis menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya. Perlu juga dibedakan penatalaksanaan terapi nutrisi pada pasien dengan hemodialisis (HD) kronis dan peritoneal dialisis kronis (Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis = CAPD). Pada CAPD prosesnya terjadi berkesinambungan sehingga energi yang dibutuhkan lebih besar dan terjadi lebih banyak kehilangan protein .

Penatalaksanaan terapi nutrisi pada pasien GGA yang menjalani dialisis mempunyai beberapa patokan sebagai berikut :

1. Kalori

Jumlah kalori yang dianggap adekuat untuk pasien HD adalah : 30 – 35 kkal/kgBB/hari Bila diberikan kalori yang kurang dari kebutuhan, akan terjadi proses katabolisme protein endogen. Ini merugikan karena dapat menimbulkan hiperkalemi. Katabolisme setiap 100 gram jaringan otot akan menghasilkan 10 mmol kalium. 40-50 % dari total kalori seharusnya diperoleh dari karbohidrat. Proses HD dapat memperbaiki intoleransi glukosa dan resistensi terhadap insulin yang biasanya terjadi pada pasien gagal ginjal sehingga bila diperlukan karbohidrat dapat diberikan lebih banyak. Sebaiknya 30-50 % dari total kalori yang diperhitungkan diperoleh dari lemak dan dipilih jenis lemak tak jenuh karena biasanya ada hipertrigliseridemia atau hiperkolesterolemia.

2. Protein

Pada proses HD perlu diperhitungkan adanya kehilangan asam amino sebesar 1-2 gram/jam dialisis. Pada CAPD kehilangan protein dapat mencapai 8 12 gram/hari. Oleh karena itu asupan protein harus dinaikkan menjadi :

HD = 1 - 1,2 g/kg BB/hari CAPD = 1,2 - 1,4 g/kg BB/hari

75 % dari protein sebaiknya diberikan dalam bentuk protein dengan nilai biologis tinggi. Penggunaan protein nabati kurang begitu menguntungkan karena biasanya mempunyai kadar kalium yang lebih tinggi. Perhitungan kebutuhan protein pada dialisis dapat diketahui lebih akurat dengan cara memperhitungkan klirens dialisis dan kecepatan pembentukan protein. Tetapi di klinis biasanya tidak digunakan karena tidak praktis.

3. Air dan Natrium

Dengan dialisis atau fungsi ginjal yang tersisa, air atau cairan lain dalam tubuh dapat diregulasi. Metabolisme air berhubungan erat dengan natrium yang pada pasien dialisis dapat diproyeksikan sebagai kenaikan berat badan. Bila asupan air atau natrium melebihi daya regulasi akan terjadi akumulasi dalam tubuh yang dapat menimbulkan komplikasi edema paru akut, krisis hipertensi, atau payah jantung kiri. Kenaikan berat badan diantara 2 waktu dialisis (= interdialytic weight gain) sebaiknya dibatasi tidak melebihi 2 kg. 4. Kalium

Hiperkalemi pada pasien dialisis dapat terjadi akibat : a. Kelebihan asupan kalium dalam diet

b. Peningkatan katabolisme protein endogen (infeksi, terapi steroid, operasi, dan lain-lain) c. Asidosis metabolik (terutama pada HD-Asetat)

d. Penggunaan obat-obat kalium sparing diuretics atau ACE-inhibitors.

Kadar kalium dalam sayur-sayuran dapat dikurangi sampai 30 % dengan cara direbus dalam air mendidih.

Daftar Pustaka

1. Abel RM, Beck CH, Abbot WM et al : Improved survival from acute renal failure after treatment with intravenous essential L-amino acids and glucose. N Engl J Med 288 :695-699, 1973.

2. Klahr S : Kidney in Nutritional Disorders. In Massry SG, Glassock RJ (eds) : Textbook of Nephrology. Volume 2. Williams & Wilkins.3rd edition 1995, pp1125-1137.

3. Cerra FB,Upson D, Angelico R, et al : Branched Chains support postoperative protein synthesis. Surgery 92:192-199, 1982.

4. Giordano C : Use of exogenous and endogenous urea for protein synthesis in normal and uremic subjects. J Lab Clin Med 62 : 231-246, 1963.

5. Modification of Diet in Renal Disease Study Group ; Effect of dietary protein restriction on nutritional status in the Modification of Diet in Renal Disease Study. Kidney International 52; 778-791, 1997.

(5)

Nephrology Volume 2. Williams & Wilkins.3rd edition 1995,pp1499-1504.

7. Necosad Study Group; Renal Function and Nutritional Status at the Start of Chronic Dialysis Treatment. J Am Soc Nephrol 12 ; 157-163, 2001.

8. Locatelli F, Valderrabano F, Hoenich N, Bommer J, Leunissen K, Combi V ; The Management of Chronic Renal Insufficiency in the Conservative Phase. Nephrol Dial Transplant 15;1529-1534, 2000

Referensi

Dokumen terkait

Penambahan larutan EDTA 0,01 % juga berperan dalam mengoptimalkan pemekatan terhadap logam-logam unsur hara mikro yang tidak dapat berinteraksi pada saat penambahan CaO

Pada tahap ini akan dilakukan penyelesaian secara numerik dari persamaan perpindahan panas pada lapisan tengah pelat menggunakan metode elemen hingga.. Dimulai

Hasil tangkapan menunjukkan 12 jenis ikan yang medominasi selama alat ini beroperasi dari tahun 2011–2013 adalah peperek (Leiognathus splendens) sebesar 28 % dan dari 12 jenis

Fatwa tarjih Muhammadiyah tidak memiliki pendekatan secara burhani terkait penggantian tanah dengan sabun dalam mensucikan najis jilatan anjing, mereka hanya

3 Memberi kelulusan/menolak Ketua Warden 4 Menyerahkan kad kebenaran Pengawal Keselamatan 5 Penghuni asrama keluar dengan. mematuhi

Populasi penelitian adalah seluruh orang tua yang mempunyai anak yang berusia 6 bulan dibawah 1 tahun yang diberikan ASI Ekslusif yang tinggal dengan mertua dan

Sedangkan kelainan mikrodelesi atau mikroduplikasi yang berukuran kurang dari 4 Mb tidak akan tampak dalam pemeriksaan kromosom konvesional sehingga akan menampakan kariotip normal

Indikator Soal : Disajikan 1 buah senyawa, peserta didik dapat menganalisis ikatan – ikatan yang terdapat dalam senyawa tersebut. Untuk menjawab soal di atas, peserta didik