ADOPSI DALAM SISTEM HUKUM
NASIONAL
(merujuk pada Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007)
1.
Aulia Akbar
135010101111166 (01)
2.
Fahmi Widi W.
145010107111192 (03)
3.
Mia Louisa S.
155010100111054 (08)
4.
Puput Pratiwi W.
155010107111045 (19)
5.
Harby Reza H.
155010107111086 (24)
1 Perlu diketahui bahwasannya Indonesia yang memiliki sistem hukum yang plural ( pluralism hukum ) dari sistem hukum perkawinan hingga waris, sehingga dalam memutusnya juga perlu menggali hukum apa yang berlaku di daerah tersebut. Misalnya hakim dalam memutus perkara yang berhubungan dengan hal tersebut maka harus menerapkan asas iur curia novit dimana hakim tidak boleh menolak perkara karena dianggap perkaranya tidak ada aturan hukumnya, sehingga hakim wajib menggali dengan mengobservasi untuk mnecari data sebab hakim dianggap tahu akan hukumnya.
Dalam Ketentuan Pasal 2 PP Nomor 54 Tahun 2007 pelaksanaan pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Permasalahan ini juga berkaitan dengan adopsi bahwasannya mengenai luas dan intensitas dari akibat hukum pengangkatan anak ( adopsi ) untuk sebagian besar masih harus kembali kepada kaidah-kaidah pada hukum yang berlaku berdasarkan golongan penduduk pada masa lalu beserta kaidah-kaidah yang dikembangkan oleh sejumlah putusan hakim ( judicial precedents ).
Rusli Pandika, Hukum pengangkatan Anak, Jakarta, Sinar Grafika, cetakan pertama, 2012, hlm.123
2
AKIBAT HUKUM PENGANGKATAN
ANAK DALAM HUKUM NASIONAL
Pengangkatan anak bertujuan untuk pelimpahan kasih sayang dari orang tua kepada anak. Anak yang mana dalam kondisi sebelumnya kurang mendapatkan cinta kasih orang tua kemudian diharapkan setelah diangkat sebagai anak akan merasakan cinta dan kasih sayang tersebut ( dalam Putusan MA No.2866 K/Pdt/187 yang memutus sengketa waris antara anak angkat melawan orang tua angkat/ayah angkat di Yogyakarta) dilihat dalam bukunya Soedharyo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Jakarta, Sinar Grafika, cetakan kedua, 2004, hlm.150.
Mengenai kedudukan seorang anak angkat, apabila seorang anak telah
diangkat atau diadopsi oleh orang tua angkatnya, maka akan timbul akibat
hukum dari perbuatan pengangkatan/adopsi tersebut.
Contoh pada hukum di Indonesia, bila seorang anak telah diangkat oleh
keluarga angkatnya, maka anak tersebut akan mendapatkan hak dan kewajiban
yang sama seperti anak kandung orang tuanya. Anak angkat akan mendapatkan
kewajiban seperti menghormati orang tua atau walinya, sedangkan hak yang
anak tersebut akan dapatkan ketika telah diangkat adalah warisan dari keluarga
angkatnya, yang dapat berupa tanah, harta kekayaan, uang, dan materi yang
dapat diwariskan lainnya.
3
• Di Indonesia, akibat hukum yang ditimbulkan dari
pengangkatan
anak
menunjukkan
perbedaan-perbedaan yang prinsipil, tergantung dari norma
hukum apa yang diterapkan dalam pengangkatan
anak tersebut.
• Perbuatan
pengangkatan
anak
merupakan
perbuatan yang menimbulkan akibat hukum baik
terhadap orangtua angkatnya maupun terhadap
anak angkatnya.
• Akibat
hukum
pengangkatan
anak
dalam
lapangan hukum kekeluargaan sangatlah luas,
pengangkatann anak berdampak pula pada hal
perwalian, waris, keturunan, kekuasaan orang tua
dan perkawinan.
• Akibat hukum bagi pengangkatan anak berdasarkan Pasal
39 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyatakan bahwa pengangkatan anak
TIDAK MEMUTUS hubungan darah antara anak yang
diangkat dengan orang tua kandungnya.
• Hal serupa juga dinyatakan dalam Pasal 4 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yaitu bahwa
pengangkatan anak tidak memutus hubungan darah antara
anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.
Hubungan Anak Angkat Dengan Orang Tua Kandung
5
• Pada hakikatnya, pelaksanaan pengangkatan
anak tidak diperbolehkan memutus hubungan
darah antara orang tua kandung dengan anak
angkat tersebut sebab sitem keturunan anak
kandung dengan orang tua kandung tidak bisa
dihapus atau tidak ada namanya mantan anak,
Kemudian apabila dirasa anak angkat yang
sudah dewasa atau sudah bisa berpikir rasional
maka orang tua angkat wajib memberitahu
kepada anak angkatnya mengenai asal-usul
dan orang tua kandungnya.
6
•
Status anak angkat berkedudukan sebagai anak turunan setelah dilakukan
proses pengangkatan secara hukum kebiasaan di daerah tersebut
kemudian dengan dimintakan akta notaris dan atau pengakuan berupa
permohonan kepada pengadilan tentang penetapan status anak angkat
tersebut. (Putusan PN Brebes, 13-12-167 Nomor 14/1966/Pdt. joPT
Semarang, 17-9-1974 No.56/1968/Pdt/PT Smg).
•
Sehingga apabila secara hukum berkedudukan menjadi anak turunan maka
anak tersebut dilekati oleh hak dan kewajiban sama halnya dengan anak
turunan, Namun untuk waris, kita lihat lagi kepada sistem hukum waris
yang dipilih oleh orang tua angkatnya, misal beragama islam maka
pembagian sesuai syariat islam berdasarkan SEMA Nomor 2 Tahun 1990
dalam ranah waris islam:
Dalam kewarisan islam tidak megenal bagian waris untuk anak angkat,
kecuali dengan wasiat atau hibah dari pewaris yang nilainya tidak
lebih dari 1/3 jumlah harta peninggalan. Kalau dengan hukum adat
maka sitem waris apa yang dipakai patrilinial, matrilineal, atau
parental. Kalau di BW melihat dari sistem penggolongan dari golongan
1 sd golongan 4.
Hak waris anak adopsi terhadap orang tua
biologisnya dan orang tua angkatnya
• Dalam pewarisan menurut hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya. • Peraturan Per-Undang-undangan hukum perdata barat atau BW
• Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut. Karena status anak angkat sama dengan anak kandung dari orang tua angkatnya maka dengan demikian pembagian harta warisan berlaku sama dengan anak kandung seperti tertuang dalam Pasal 857 KUHPerdata dan berlaku “legitieme portie” pasal 913 sampai dengan pasal 929.
C. Bagaimana jika hubungan anak adopsi dan
orang tua angkatnya memburuk
Memburuk disini perlu diklasifikasikan terlebih dahulu : Dapat dilakukan pembatalan pengangkatan anak
Anak angkat melakukan perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan whitten and willens atau dikehendaki dan diketahui.
Pembatasan pembatalan anak tidak boleh ketika anak belum genap 18 Tahun atau Cacat fisik ataupun mental.
Dilihat di : Siti Putri Hawa, Warkum Sumitro SH.,MH.,Ratih Dheviana Puru Hitaningtyas SH.,LL.M hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/238, tanggal 21 Februari 2018 jam 14.16
9
Pembatalan (Batal demi Hukum) Pengangkatan
Anak berdasarkan Putusan PN Surakarta
Nomor67/Pdt.G/2007/PN.Ska
Batal demi hukum maka dianggap tidak tidak
pernah terjadi pengangkatan anak.
1. Mengajukan gugatan pembatalan ke PN
2. PN memanggil para pihak hadir di
persidangan
10
ADOPSI DALAM SISTEM HUKUM
ADAT
11
AKIBAT HUKUM
A. Terhadap Anak Angkat
• Dikemukakan oleh Ter Haar bahwa pengangkatan anak
yang berasal darri luar lingkungan kerabat sendiri
senantiasa dibarengi oleh pemberian “tara”, yang berupa
benda yang mempunyai nilai magis kepada keluarga asal
anak angkat.
• Bersamaan dengan hal itu maka TERPUTUSLAH hubungan
anak tersebut dengan keluarga asalnya.
• Dengan terputusnya hubungan itu maka hapus pula segala
status sosial dan kedudukan serta hak-hak waris yang akan
diperoleh dari keluarga asal anak tersebut teta[i kembali
lagi terhadap hukum waris adat menurut suku yang berlaku
• Di dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya, anak
angkat mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban seperti
anak sah (anak kandung) sehingga ia akan menerima
kedudukan dan hak-hak waris dari orangtua angkatnya.
• Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi
anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku.
Bagi keluarga yang parental, Jawa misalnya pengangkatan
anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak
itu dengan orangtua kandungnya. Oleh karenanya, selain
mendapatkan hak waris dari orangtua angkatnya, dia juga
tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya.
Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan
kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari
keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak
tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya
dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya
13
B. Terhadap Orang Tua Angkat
Dengan pengangkatan anak maka bagi orangtua angkat
menimbulkan hubungan orang tua antara dirinya dengan
anak angkatnya. Hubungan ini menimbulkan hak-hak
sebagai orangtua (kekuasaan orang tua) selama anak itu
beum dewasa dengan segala akibatnya. Juga hak waris
dan mewariskan satu sama lain. Anak angkat itu menjadi
anggota keluarga dengan menerima segala kedudukan,
hak, dan kewajiban.
C. Terhadap Orang Tua Asal
Dengan menyerahkan anak kandungnya untuk diangkat
makan putuslah hubungan antara orangtua asal dengan
anaknya dan putus lah juga hubungan hukum, hak, dan
kewajiban antara keduanya. Orang tua asal tidak lagi
mempunyai kekuasaan orang tua terhadap anak tersebut.
14
Syarat Materil Pengangkatan Anak
PERATURAN MENTERI SOSIAL NOMOR : 110 / HUK /2009 TENTANG PERSYARATAN PENGANGKATAN ANAK
BAGI CALON ANAK ANGKAT
• Pasal 4:
a.
belum berusia 18 tahun;
b.
merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c.
berada dalam asuhan keluarga atau lembaga pengasuhan anak;
d.
memerlukan perlindungan khusus.
• Pasal 6 menyatakan bahwa yang dimaksud dalam Pasal 4 huruf a
dibagi dalam 3 kategori meliputi:
a.
anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
b.
anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12
(dua belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak; dan
c.
anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia
18 (delapan belas) tahun.
BAGI CALON ORANGTUA ANGKAT: Pasal 7 AYAT (1):
a. sehat jasmani dan rohani;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun; c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan; e. berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak; h. dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;
i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis dari orang tua atau wali anak; j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik
bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak; k. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial setempat;
l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan
m. memperoleh izin Menteri atau Kepala Instansi Sosial Propinsi.
(2) Umur COTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu perhitungan umur COTA pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak.
(3) Persetujuan tertulis dari CAA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, disesuaikan dengan tingkat kematangan jiwa dari CAA
Pasal 8
(1) Calon Orang Tua Angkat dapat mengangkat anak paling
banyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu paling singkat 2 (dua)
tahun.
(2) Jarak waktu pengangkatan anak yang kedua sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)dapat dikecualikan bagi anak
penyandang cacat.
(3) Dalam hal calon anak angkat adalah kembar,
pengangkatan anak dapat dilakukan sekaligus dengan saudara
kembarnya oleh Calon Orang Tua Angkat.
17
Syarat Formil COTA
• Dalam pasal 21 harus melampirkan :a. surat keterangan sehat dari Rumah Sakit Pemerintah;
b. surat keterangan Kesehatan Jiwa dari Dokter Spesialis Jiwa dari Rumah Sakit Pemerintah; c. copy akta kelahiran COTA;
d. surat Keterangan Catatan Kepolisian setempat; e. copy surat nikah/akta perkawinan COTA; f. kartu keluarga dan KTP COTA; g. copy akta Kelahiran CAA;
h. keterangan penghasilan dari tempat bekerja COTA;
i. surat izin dari orang tua kandung/wali yang sah/kerabat di atas kertas bermaterai cukup; j. surat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa pengangkatan
anak demi kepentingan terbaik bagi anak dan perlindungan anak;
k. surat pernyataan jaminan COTA secara tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang menyatakan bahwa seluruh dokumen yang diajukan adalah sah dan sesuai fakta yang sebenarnya; l. surat pernyataan secara tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang menjelaskan bahwa COTA
akan memperlakukan anak angkat dan anak kandung tanpa diskriminasi sesuai dengan hak-hak dan kebutuhan anak;
m. surat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai cukup yang menjelaskan bahwa COTA akan memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya dengan memperhatikan kesiapan anak;
n. surat rekomendasi dari Kepala Instansi Sosial Kabupaten/Kota; dan
o. surat Keputusan Izin Pengangkatan Anak yang dikeluarkan oleh Kepala Instansi Sosial Propinsi.
18
PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR :
110 / HUK /2009 TENTANG
PERSYARATAN PENGANGKATAN ANAK
Pasal 5
Permohonan pengangkatan anak harus
melampirkan persyaratan administratif CAA
yang meliputi:
a. copy KTP orang tua kandung/wali yang
sah/kerabat CAA;
b. copy kartu keluarga orang tua CAA; dan
c. kutipan akta kelahiran CAA.
19
Lembaga yang mengesahkan adopsi
Menurut Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia
Nomor 110/Huk/2009
• Lembaga Pengasuhan Anak adalah lembaga atau
organisasi sosial atau yayasan yang berbadan hukum
yang menyelenggarakan pengasuhan anak terlantar
dan telah mendapat izin dari Menteri untuk
melaksanakan proses pengangkatan anak
Menurut SURAT EDARAN NOMOR 4 TAHUN 1989
• Departemen Sosial sebagai satu satunya instansi di
mana administrasi Pengangkatan Anak dipusatkan
DAFTAR PUSTAKA
Pandika, Rusli, “Hukum Pengangkatan Anak”, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata,Jakarta, Sinar Grafika, cetakan
keenam,2005
Soimin, Soedharyo. “Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak”, Jakarta,
Sinar Grafika, cetakan kedua, 2004.
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor:
110 / HUK /2009
tentang persyaratan pengangkatan anak.
Website, Artikel masyarakat11.wordpress.com, Adopsi anak tata cara dan
akibat hukumnya
Siti Putri Hawa, Warkum Sumitro SH.,MH.,Ratih Dheviana Puru Hitaningtyas
SH.,LL.M
hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/238,
tanggal 21 Februari 2018 jam 14.16
21
TAMBAHAN
• Penekanan dalam adopsi saat ini: untuk kepentingan
terbaik bagi anak, bukan karena kepentingan orang tua
angkat, seperti meneruskan keturunan (pemikiran
tradisional).
• Harus memikirkan umur anak
• Anak yang dilahirkan karena perceraian tetap memiliki
akibat hukum yang sama dengan anak sah. Melihat
pada putusan MK, akibat hukum anak diluar kawin:
1. Tidak memperoleh warisan
2. Hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya
• Pembatalan perkawinan, bisa dilakukan karena para
pihak atau pihak ketiga. Dianggap tidak pernah terjadi
perkawinan. Berbeda dengan perceraian.
22
• Pembatalan perkawinan maksimal tidak lebih
dari 6 bulan. Tidak akan mempengaruhi status
anak. Tidak berlaku surut (anak tetap
dianggap sah)
• Bila anak angkat bukan merupakan anak yang
lahir dari perkawinan tersebut.
• Keabsahan anak adopsi dilihat dari terpenuhi
syarat-syarat materil dan formil
• Apabila terdapat pemalsuan akta, bukan
merupakan kesalahan orang tua semata,
namun pihak rumah sakit juga.
PERTANYAAN
1. Rosalina (23)
Apakah dalam pelaksanaan adopsi diperlukan pengawasan terhadap
anak angkat, karena mengingat banyak kasus pengangkatan anak untuk
dipekerjakan atau diperlakukan dengan tidak layak?
2. Miranda Widyawati (12)
Dalam kasus Vena Melinda, ia menemukan dan mengangkat anak yang
ditemukan di pom bensin. Bagaimana saat anaknya sudah besar,
orangtua kandung mengakui bahwa anak itu adalah anaknya.
Bagaimana bila anak itu menolak? Apakah ada peraturan yang
mengatur? Hubungan anak angkat dan orangtua angkat putus atau
masih ada?
3. Ika (30)
Di indonesia kita mengenal pembatalan perkawinan yang diatur di bab 4
uu no 1/74 tentang perkawinan. Keputusan pengadilan mengenai
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut bagi anak yang dilahirkan
dalam masa perkawinan. Apakah hal itu juga berlaku bagi anak yang
diadopsi (apakah memiliki akibat hukum yang sama?). Dalam Pasal 28
ayat 2 huruf a hanya dijelaskan bagi anak yang dilahirkan dalam masa
perkawinan.
4. Cindra (5)
Adanya pengakuan anak angkat sebagai anak kandung di akta kelahiran,
dalam akta kelahiran langsung dituliskan nama orang tua angkatnya, tidak
melalui pengadilan, apa hukum nasional melarang atau tidak?
5. Taradita (27)
Saat terjadi perceraian pada orang tua angkat, bagaimana status anak
angkat? mengikuti ayah atau ibu angkat atau dikembalikan kepada orang
tua kandung atau panti asuhan?
25
JAWABAN
1.
Apabila
terjadi
pelanggaran
masyarakat
dapat
melakukan
pengaduan kepada KPAI dan dinas sosial terkait. Harus adanya peran
penting dari masyarakat. Sebelum terjadi pengangkatan anak, dalam
PP Nomor 54/2007 pasal 26
calon orang tua angkat harus ada
bimbingan atau pelatihan yang dilakukan oleh pemerintah.
2. Vania telah dimintakan penetapan pengadilan, oleh karena itu hak
dan kewajiban seperti anak kandung. Dasar hukum: putusan PN brebes
13-12-167 Nomor 14/1966/Pdt. Apabila orang tua kandungnya datang,
tidak bisa karena telah menjadi anak vena, namun tidak memutus
hubungan darah dengan orang tua kandung. Kembali ke keuasaan
orang tua, dengan orang tua kandung telah menelantarkan anaknya,
apabila kemudian dia kembali maka harus dipidana terlebih dahulu
kemudian dimintakan kepada pengadilan apakah kekuasaan itu dicabut
atau tidak.
26