• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pulau-Pulau Kecil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pulau-Pulau Kecil"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pulau-Pulau Kecil

Suatu kenyataan bahwa Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km2, yang merupakan terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, dengan wilayah teritorial seluas 5.1 juta km2(63% dari total wilayah teritorial Indonesia) ditambah dengan Zona Ekonomi Ekskulsif seluas 2.7 juta km2(Dahuri et al. 1995; Dahuri 1998). Sejumlah besar (lebih dari 10.000 buah) dari pulau-pulau tersebut adalah merupakan pulau-pulau berukuran kecil yang tersebar dari Sabang hingga ke Merauke. Walaupun hanya sebagian kecil saja yang memiliki penduduk, akan tetapi sulit untuk dikatakan bahwa terhadap pulau-pulau kecil yang tidak berpenduduk dan terpencil itu bebas dari pengeksploitasian atau bebas dari dampak kegiatan manusia (Dutton 1998). Pulau-pulau ini memiliki nilai penting dari sisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan pertahanan keamanan Indonesia.

Pulau-pulau kecil sangat penting baik dari perspektif ekosistem maupun ekonomi bagi Negara Kepulauan Indonesia. Sebagai ekosistem, Pulau-pulau kecil merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati dan non hayati yang mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan untuk meningkatkan mutu kehidupan. Komponen hayati dan non hayati secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem. Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut, maka akan dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya. Kelangsungan fungsi pulau-pulau kecil sangat menentukan kelestarian sumberdaya hayati sebagai komponen utama dalam sistem pulau-pulau kecil (Bengen 2002).

Arenas dan Huertas (1986) in Bengen (2003) menyatakan bahwa dengan berlandaskan pada kepentingan hidrologi (ketersediaan air tawar), ditetapkan oleh para ilmuwan batasan pulau kecil adalah pulau dengan ukuran kurang dari 1.000 km2 atau lebamya kurang dari 10 km. Namun demikian, temyata banyak pulau yang berukuran antara 1.000-2.000 km2 memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau dimana ukurannya

(2)

kurang dari 1.000 km2, sehingga diputuskan oleh (UNESCO 1991 in Bengen 2003) bahwa batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari 2.000 km2. Sedangkan menurut Hess (1990) menyatakan bahwa batasan untuk pulau-pulau kecil memiliki jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 500.000 orang.

Pulau adalah massa daratan yang seluruhnya dikelilingi air. Ukuran luas pulau sangat bervariasi, mulai dari pulau-pulau karang yang bisa tenggelam bila air pasang hingga yang luasnya mencapai jutaan kilometer persegi (Husni 1998 in Kusumastanto 2000).

Terdapat berbagai pendapat mengemuka tentang defenisi pulau, namun saat ini telah disepakati bahwa defenisi pulau yang digunakan adalah sebagaimana yang dituangkan dalam UNCLOS 1982 Bab VIII Pasal 121 Ayat 1; Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara alami, dikelilingi oleh air dan selalu berada/muncul di atas permukaan air pasang tinggi (IHO 1993 in Bengen dan Retraubun 2006).

Sampai saat ini masih belum ada batasan yang tetap tentang pengertian pulau kecil baik di tingkat nasional maupun internasional, akan tetapi terdapat suatu kesepakatan umum bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insular (Dahuri 1998; Bengen 2001).

Salm et al. 2000 in Bengen (2003) menyatakan bahwa pulau kecil dapat dikelompokkan atas dua kelompok yaitu: pulau oseanik dan pulau kontinental. Selanjutnya pulau oseanik dapat dibagi atas dua kategori, yaitu pulau vulkanik dan pulau koralikarang. Sebagian besar pulau kecil adalah pulau oseanik, yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan pulau kontinental baik dilihat dari ukurannya maupun stabilitas dan penggunaannya. Secara umum pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisk yang menonjol sebagai berikut (Bengen 2002) yaitu 1). Terpisah dari habitat pulau induk (mainland), sehingga bersifat insular, 2). Memiliki sumberdaya air tawar yang terbatas baik air permukaaan maupun air tanah, dengan daerah tangkapan aimya relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut, 3). Peka dan rentan terhadap pengaruh

(3)

eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar serta pencemaran, 4). Memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi, 5). Area perairannya lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utamanya (benua atau pulau besar), dan 6). Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai.

Pulau Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain sehingga keterisolasian ini akan menambah keanekaragaman oraganisme yang hidup di pulau tersebut serta dapat juga membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut. Selain itu pulau pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Akibat ukurannya yang kecil maka tangkapan air (catchment) pada pulau ini yang relatif kecil sehingga air permukaan dan sedimen lebih cepat hilang kedalam air. Jika dilihat dari segi budaya maka masyarakat pulau pulau kecil mempunyai budaya yang umumnya berbeda dengan masyarakat pulau kontinen dan daratan (Dahuri 1998).

Tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan suatu pulau kecil yaitu: (1) Batasan fisik/luas pulau, (2) Batasan ekologis/proporsi spesies endemik dan terisolasi, dan (3) Keunikan budaya. Karena secara ekologi memiliki kondisi yang sangat rentan, maka pengembangan atau pembangunan pada kawasan tersebut apabila tidak terencana dengan balk dapat mengakibatkan dampak eksternal yang cukup nyata. Oleh karena itu kajian mendasar yang intensif menduduki posisi penting dalam pengelolaan dan pengembangan sumberdaya pulau-pulau kecil (Kusumastanto 2000).

Pulau-pulau kecil sering memiliki keunikan dan keunggulan dari segi keaslian, keragaman dan kekhasan sumberdaya alam dan ekosistem, tetapi juga memiliki banyak permasalahan dari segi keterbatasan sumberdaya alam khususnya air bersih, kondisi sosial ekonomi penduduk, isolasi daerah, ancaman bencana alam, keterbatasan infrastruktur dan kelembagaan. Potensi pulau-pulau kecil sering kurang mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah dan swasta dalam usaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat karena pertimbangan-pertimbangan prespektif ekonomi yang kurang menguntungkan (Sriwidjoko 1998).

(4)

Retraubun (2001) menyatakan bahwa kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang cukup besar karena didukung oleh adanya ekosistem dengan produktivitas hayati tinggi seperti terumbu karang (coral reef), padang lamun (sea grass), rumput laut (sea weeds) dan hutan bakau (mangrove). Sumber daya hayati laut pada kawasan ini memiliki potensi keragaman dan nilai ekonomis yang tinggi seperti kerapu, napoleon, ikan hias, kuda laut, kerang mutiara, kima raksasa (Tridacna gigas) dan teripang. Selain itu, pulau-pulau kecil ini juga memberikan jasa-jasa lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan berlangsungnya kegiatan kepariwisataan.

Dahuri (1998); Sriwidjoko (1998); Sugandhy (1998); Yudhohusodo (1998); Solomon dan Forbes (1999) menyatakan bahwa masalah-masalah yang ada pada pulau-pulau kecil sebagai akibat kondisi biogeofisik pulau-pulau tersebut adalah keberadaan penduduk maupun ekosistem alam pulau tersebut dan beberapa yang utama yaitu 1). Secara ekologis pulau-pulau kecil amat rentan terhadap pemanasan global, angin topan dan gelombang tsunami. Erosi pesisir disebabkan kombinasi faktor-faktor tersebut terbukti sangat progresif dalam mengurangi garis pantai kepulauan kecil. Akibatnya adalah penurunan jumlah mahluk hidup, hewan-hewan maupun penduduk yang mendiami pulau tersebut, 2). Pulau-pulau kecil diketahui memiliki sejumlah besar spesies-spesies endemik dan keanekaragaman hayati yang tipikal yang bernilai tinggi. Apabila terjadi perubahan lingkungan pada daerah tersebut, maka akan sangat mengancam keberadaan spesies-spesies tadi, 3) Pulau kecil yang letaknya jauh dari pusat pertumbuhan, pembangunannya tersendat akibat sulitnya transportasi dan SDM. Pulau ini tetap bisa dikembangkan akan tetapi diperlukan biaya yang lebih besar untuk pengembangannya, 4). Pulau-pulau kecil memiliki daerah tangkapan air yang sangat terbatas sehingga ketersediaan air tawar merupakan hal yang memprihatinkan. Untuk kegiatan pengembangan seperti pariwisata, industri dan listrik tenaga air, sebagai contoh, akan sangat terbatas, 5). Pengelolaan pulau kecil belum terintegrasi dengan pengelolaan daerah pesisir kecuali pulau-pulau terpencil di gugusan kepulau-pulauan di Propinsi Maluku. Hal lain yang sering menjadi masalaha adalah keterbatasan pemerintah daerah dan kurangnya dana untuk mengembangangkan pulau-pulau sekitar, dan 6). Sampai dengan saat ini

(5)

belum ada klasifikasi menyangkut keadaan biofisik, sosial ekonomi terhadap pulau-pulau kecil yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan atas alokasi sumberdaya alam agar lebih efektif.

Berdasarkan defenisi atau pengertian mengenai pulau-pulau kecil maka dapat dikatakan bahwa pulau kecil sering dapat dikategorikan sebagai suatu wilayah pesisir dimana dalam suatu wilayah pesisir pulau-pulau kecil terdapat satu atau lebih sistem lingkungan atau ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami yang biasanya dijumpai di pulau-pulau kecil pesisir antara lain adalah terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi pescaprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture) dan kawasan pemukiman (Dahuri 1998).

Menurut Adrianto (2005) menyatakan bahwa dalam pengembangan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu dipertimbangkan berbagai faktor berdasarkan karakteristik yang dimiliki sebuah pulau atau gugusan pulau dan diperlukan pendekatan yang lebih sistemik serta lebih spesifik berdasarkan lokasi.

2.2. Terumbu Karang

Komunitas karang adalah kumpulan karang yang membentuk terumbu dan pertumbuhannya diawali dengan pertambahan struktural sebelum terjadi seleksi alam secara terus menerus (NOAA 2001).

Terumbu karang (coral reef) sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1993).

Terumbu karang mempunyai berbagai fungsi yang antara lain sebagai gudang keanekaragaman hayati biota-biota laut, tempat tinggal sementara atau tetap, tempat mencari makan, berpijah, daerah asuhan dan tempat berlindung bagi

(6)

hewan laut lainnya. Terumbu karang juga berfungsi sebagai tempat berlangsungnya siklus biologi, kimiawi dan fisik secara global yang mempunyai tidak produktivitas yang sangat tinggi. Terumbu karang merupakan sumber bahan makanan langsung maupun tidak langsung dan sumber obat-obatan. Terumbu karang sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan sumber utama bahan-bahan kontruksi. Terumbu karang juga berfungsi sebagai daerah rekreasi baik rekreasi pantai maupun rekreasi bawah laut lainya (Suharsono 2008).

Terdapat tiga jenis tipe struktur terumbu karang di Indonesia yaitu karang tepi (fringing reef), karang penghalang (barrier reef) dan karang cincin (atoll). Terumbu karang khususnya terumbu karang tepi tumbuh subur di daerah dengan ombak yang cukup dan kedalaman tidak lebih dari 40 m sehingga berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang dan arus kuat yang berasal dari laut. Selain itu terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat, tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground) serta tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang (Bengen 2001).

Terumbu karang merupakan struktur berupa deposit kalsium karbonat di laut yang dihasilkan terutama oleh hewan karang. Karang adalah hewan tak bertulang belakang termasuk dalam filum Coelenterata (hewan berongga) atau Cnidaria, yang sangat sederhana berbentuk tabung, memiliki mulut yang di kelilingi oleh tentakel. Karang mencakup dari Ordo scleractinia dan Sub Kelas Octocorallia(kelas Anthozoa) maupun kelas Hydrozoa (Veron 2000).

Karang lunak (soft coral) lebih dikenal dengan Alcyonaria salah satu jenis Coelenteratayang mempunyai peranan penting dalam pembentukan fisik terumbu karang dengan tubuh yang lunak, tertanam dalam masa gelatin dan kokoh. Tubuh Alcyonaria lembek tapi disokong oleh sejumlah besar duri-duri yang kokoh, berukuran kecil dan tersusun sedemikian rupa sehingga lentur dan tidak mudah putus. Duri-duri yang kokoh tersebut mengandung kalsium karbonat yang dikenal dengan spikula (Manuputy 1986).

Terumbu karang berdasarkan pertumbuhannya (lifeform) Wood (1977) dan English et al (1994) mengelompokan karang batu menjadi beberapa tipe yaitu: 1). Bercabang (branching) merupakan tipe karang yang memiliki ukuran cabang

(7)

lebih panjang dibandingkan dengan ketebalan atau diameter yang dimiliki. Karang bercabang banyak terdapat disepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama pada bagian yang terlindung atau tengah terbuka. Tipe karang ini dijadikan sebagai tempat berlindung ikan-ikang karang, 2). Padat (massive) merupakan tipe yang berbentuk seperti bola dengan ukuran bervariasi mulai dari sebesar sebesar telur sampai sebesar ukuran rumah. Karang ini biasanya ditemukan disepanjang karang tepi terumbu dan bagian atas lereng terumbu yang lebih dewasa serta belum terganggu atau rusak. Tipe karang ini dijadikan sebagai perlindungan dan sebagai tempat mencari makan bagi ikan-ikan karang dan hewan lainnya, 3). Kerak (encrusting) merupakan tipe karang yang tumbuh menutupi permukaan terumbu dan sering ditemukan merambat diatas permukaan biota karang massive yang sudah mati. Pertumbuhan karang ini menyerupai kerak dengan permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil. Tipe ini banyak terdapat di daerah terbuka dan berbatu terutama disepanjang tepi lereng terumbu. Karang tipe ini juga bersifat melindungi ikan-ikan karang dan hewan-hewan kecil, 4). Meta (tabulate) merupakan tipe karang yang menyerupai meja dengan permukaan yang lebar dan datar. Karang meja ini ditopang oleh sebuah batang yang terpusat dan bertumpu pada satu sisi membentuk sudut, 5). Daun (foliose) merupakan tipe karang yang tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu dengan ukuran besar dan kecil serta membentuk lipatan yang melingkar. Tipe karang ini biasanya ditemukan pada daerah lereng terumbu dan pada daerah yang terlindungi sehingga menjadi tempat berlindung bagi ikan-ikan karang dan biota lainnya, 6). Jamur (mushroom) merupakan tipe karang yang berbentuk oval, pipih dan liat dengan sekat-sekat yang beralur serentak dari sisinya dan bertemu pada bagian tengahnya. Tipe karang ini menyerupai jamur.

Ekosistem terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang unik dan spesifik karena pada umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitive terhadap perubahan lingkungan perairan terutama suhu, salinitas, sedimentasi, eutrofikasi dan memerlukan kualitas perairan alami. Cahaya sangat diperlukan oleh zooxanthella yang fotosintetik (Veron 1995).

(8)

Tiga tipe zona terumbu karang menurut Ladd (1997) yaitu: 1). Karang tepi (fringing reef), atau terumbu karang pantai, merupakan terumbu karang yang letaknya dekat dengan pantai, umumnya pada daerah pasang surut hingga kedalaman kurang dari 40 m. Karang tepi berkembang di perairan pesisir di semua taut yang mendapatkan cukup cahaya matahari dimana suhu dan kadar oksigennya sesuai dan dasar yang cukup kuat. Lokasi ideal tipe ini di daerah tropis adalah di pesisir berbatu dari suatu pulau yang terbentuk dari gunung berapi dan pesisir dari pulau yang tersusun dari batu-batu keras, 2). Terumbu penghalang (barrier reef), merupakan bagian dari terumbu karang yang terletak agak jauh dari pantai, dalam jarak dari beberapa puluh meter hingga kilometer, dipisahkan oleh laguna yang memiliki kedalaman hingga 75 m dan lebar mencapai puluhan kilometer. Daerah ini memiliki tingkat pertumbuhan karang yang sangat cepat tapi juga sangat cepat rusak. Selain berfungsi sebagai penjaga ekosistem lingkungan pesisir, barrier reef juga berfungsi penting sebagai penahan ombak. Terumbu karang penghalang banyak ditemukan di bagian timur Indonesia, di sekitar pulau-pulau kecil, dimana terdapat pulau gunung api, karena dari sisi geografis dan geologi, jenis terumbu karang tersebut merupakan bagian dari rangkaian pulau gunung api yang melingkari cekung Samudra Pasifik, 3). Atoll, atau terumbu karang cincin, dengan penampang berbentuk lingkaran yang melingkari laguna dengan kedalarnan bervariasi antara dari beberapa meter hingga puluhan meter. Beberapa atoll malah ada yang terendam atau ditutupi oleh sedimen. Material atau substrat yang membentuk atoll dan laguna yang ada didalamnya, terdiri dari pasir bioklastik (hancuran karang dan biota laut lainnya) hingga pecahan karang dalam ukuran besar. Pergantian air yang terdapat di dalam laguna dan di luamya terjadi oleh celah-celah sempit yang terdapat diantara pulau-pulau tersebut. Perairan Nusantara, tipe terumbu karang cincin dapat ditemukan di bagian timur Indonesia, yaitu di Kepulauan Taka Bone Rate (atol terbesar di Indonesia atau yang ketiga di dunia), di Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku.

Sebagaimana organisme yang termasuk kelompok yang bersifat sessil di dasar perairan, terumbu karang rentan dengan terjadinya perubahan lingkungan karena tidak memiliki kemampuan utuk menghindar dari perubahan kondisi

(9)

lingkungan sebagaimana kelompok hewan yang bisa bergerak bebas. Beberapa factor pembatas utama dalam menentukan kehadiran dan kelangsungan hidup pada suatu perairan meliputi faktor kedalaman, fluktuasi temperature, salinitas, cahaya, arus, substrat yang cocok dan kecerahan perairan (Thamrin 2006).

Terumbu karang memberikan berbagai manfaat langsung maupun tidak langsung. Cesar (2000) menyebutkan bahwa ekosistem terumbu karang banyak menyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, mollusca, crustacean bagi kehidupan masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir. Sementara Supriharyono (2000) menyatakan bahwa tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan dan pencarian makan bagi banyak biota laut.

Ekosistem terumbu karang kaya akan keragaman spesies penghuninya. Salah satu penyebab tingginya keragaman spesies adalah karena variasi habitat yang terdapat di terumbu dan ikan merupakan organisme yang jumlahnya terbanyak yang dapat ditemui (Dahuri et al. 1996).

Menurut Veron (1995) menyatakan bahwa terumbu karang merupakan endapan massif (deposit) padat kalsium (CaCo3) yang dihasilkan oleh karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur (Calcareous algae) dan organisme -organisme lain yang mensekresikan kalsium karbonat (CaCo3). Dalam proses pembentukan terumbu karang maka karang batu (Scleractina ) merupakan penyusun yang paling penting atau hewan karang pembangun terumbu (reef -building corals). Karang batu termasuk ke dalam Kelas Anthozoa yaitu anggota Filum Coelenterata yang hanya mempunyai stadium polip. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul, morfologi dan fisiologi

Moberg dan Folke (1999) in Cesar (2000) menyebutkan bahwa fungsi ekosistem terumbu karang yang mengacu kepad habitat, biologis atau proses ekosistem sebagai penyumbangbarang maupun jasa. Fungsi terumbu karang untuk jasa dibedakan yaitu: 1). Sebagai pelindung pantai (jasa struktur fisik), 2). Sebagai habitat dan support rantai makanan (jasa biologi), 3). Sebagai fiksasi nitrogen (jasa biokimia), 4). Sebagai pencatat iklim (jasa informasi) dan sebagai keindahan (jasa sosial dan budaya). Sementara Supriharyono (2000) menyatakan beberapa

(10)

aktivitas yang berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang yaitu perikanan terumbu karang, aktivitas pariwisata bahari, aktivitas pembangunan darat dan aktivitas pembangunan di laut.

Terumbu karang merupakan potensi utama dalam pengembangan wisata bahari. Nilai estitika keindahan laut banyak ditentukan oleh kehadiran dan keindahan terumbu karang termasuk didalamnya keragaman jenis, tutupan karang dan keanekaragaman biota yang hidup di dalamnya (Apriliani 2009).

Terumbu karang dapat menjadi sumber devisa yang diperoleh dari penyelam dan kegiatan wisata baharinya. Bahkan dewasa ini berbagai jenis biota yang hidup pada ekosistem terumbu karang ternyata banyak mengandung senyawa senyawa bioaktif sebagai bahan obat-obatan, makanan dan kosmetika. Selain itu terumbu karang juga menjadi daya tarik tersendiri dan menjadi perhatian bagi para ahli, mahasiswa, perusahaan farmasi sebagai objek penelitian (Dahuri 2003).

Terumbu karang mempunyai nilai arti yang sangat penting dari segi sosial ekonomi dan budidaya karena hampir sepertiga penduduk Indonesia yang tinggal di daerah pesisir menggantungkan hidupnya dari perikanan laut dangkal. Pada umumnya masih menggunakan cara-cara tradisional dan terbatas di daerah relative dangkal yang umumnya berupa terumbu karang (Suharsono 2008).

Bengen (2001) menyatakan bahwa terumbu karang khususnya terumbu karang tepi dan penghalang, berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut Selain itu, terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makanan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya. Terumbu karang dapat dimanfaatkan baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai berikut: 1). Sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi, dan berbagai jenis ikan hias, 2). Bahan konstruksi bangunan dan pembuatan kapur, 3). Bahan perhiasan dan 4). Bahan baku farmasi.

Supriharyono (2007) menyatakan bahwa mengingat binatang karang (hermatypic atau reff building corals) hidupnya bersimbiosis dengan ganggang (zooxanthellae) yang melakukan proses fotesintesa, maka pengaruh cahaya

(11)

(illumination) adalah penting sekali. Terkait dengan pengaruh cahaya tersebut terhadap karang maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Menurut Kinsman (1964) secara umum karang tumbuh baik pada kedalaman kurang dari 20 m. akan tetapi menurut Supriharyono (2007) tidak sedikit spesies karang yang tidak mampu bertahan pada kedalaman hanya satu meter disebabkan oleh kekeruhan air dan tingkat sedimen tinggi.

Suharsono (2009) menyatakan bahwa peran dan fungsi ekologis terumbu karang sangat besar yaitu sebagai tempat bertelur, memijah, pengasuhan dan tempat mencari makan bagi hewan laut lainnya. Peran terumbu karang secara fisik adalah sebagai tempat tinggal yang kokoh bagi biota laut dan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan erosi pantai. Keindahan terumbu karang tidak diragukan lagi sebagai daya tarik wisata. Bentuk koloni karang yang sangat bervariasi dan indah juga mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi sebagai hiasan untuk akuarium. Bongkah-bongkah batu karang sering dimanfaatkan untuk bahan bangunan dan pondasi jalan. Nilai ekonomis terumbu karang sangat tergantung dari lokasinya, namun secara umum nilai terumbu karang di Indonesia berkisar antara US$ 1.542-6.076 ha/th (UNEP 2007 in Suharsono 2009). Coba bandingkan nilai terumbu karang di Great Barrier reef, Australia, yaitu US $ 100.000-600.000 per km2/th. Divisa yang dihasilkan dari sektor pariwisata terumbu karang US$ 6.1 milyar/th (Access economic 2007 in Suharsono 2009).

2.3. Wisata Bahari Berbasis Ekologi (Ekowisata Bahari)

Terminologi ekowisata bahari (marine ecotourism) merupakan pengembangan dari wisata bahari. Menurut Orams (1999) menyatakan bahwa wisata bahari merupakan aktivitas rekreasi yang meliputi perjalanan jauh dari suatu tempat tinggal menuju lingkungan laut. Dimana lingkungan laut adalah perairan yang bergaram dan dipengaruhi oleh pasang surut.

Yulianda (2007) menyatakan beberapa prinsip dasar ekowisata yaitu 1). Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam serta budaya setempat, 2). Pendidikan konservasi lingkungan, mendidik pengunjung dan masyarakat akan pentingnya konservasi, 3). Pendapatan langsung untuk kawasan yaitu retribusi atau pajak konservasi dapat digunakan

(12)

untuk pengelolaan kawasan, 4). Partisipasi masyarakat dalam perencanaan yaitu merangsang masyarakat agar terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan, 5). Penghasilan bagi masyarakat yaitu masyarakat mendapat keuntungan ekonomi sehingga terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan, 6). Menjaga keharmonisan dengan alam yaitu kegiatan pengembangan fasilitas tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam, 7). Daya dukung sebagai batas pemanfaatan yaitu daya tampung dan pengembangan fasilitas hendaknya mempertimbangan daya dukung lingkungan, 8). Kontribusi pendapatan bagi negara baik pemerintah daerah maupun pusat.

Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut. Konsep pengembangan ekowisata bahari sejalan dengan misi pengelolaan konservasi yang mempunyai tujuan yaitu: 1). Menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung system kehidupan, 2). Melindungi keanekaragaman hayati, 3). Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya dan 4). Memberikan kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat (Ndruru 2009).

Yoeti (1987) menyatakan bahwa ekowisata (ecotourism) adalah aktivitas yang berkaitan dengan alam, wisatawan diajak melihat alam dari dekat, menikmati keaslian alam dan lingkungannya sehingga membuatnya tergugah untuk mencintai alam.

Ekowisata berarti berkunjung ke daerah yang alami yang belum tereksploitasi dengan tujuan untuk melihat, mengagumi dan mempelajari suatu wilayah, flora dan fauna, dan juga untuk mempelajari tentang aspek-aspek budaya yang dijumpai di wilayah tersebut (Ecological Tourism in Europe (ETE) 2003).

Objek ekowisata bahari dapat dikelompokkan yaitu 1). Objek komoditi terdiri dari potensi spesies biota dan material non hayati yang mempunyai daya tarik wisata, ekosistem dan kegiatan, 2). Objek ekosistem terdiri dari ekosistem pesisir yang mempunyai daya tarik habitat dan lingkungan, 3). Objek kegiatan merupakan kegiatan yang terintegrasi di dalam kawasan yang mempunyai daya tarik wisata (Yulianda 2007).

Konsep wisata bahari didasarkan pada pemandangan, keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya, dan karakteristik masyarakat

(13)

sebagai kekuatan dasar yang dimiliki pesisir dan lautan secara langsung dan tidak langsung (Nurisyah 2001).

Secara konseptual ekowisata dapat didefinisikan sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat (Setiawati 2000).

Ekowisata yang didefenisikan oleh The Ecotourism Society (2002) in Dirawan (2003) sebagai suatu bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab ke kawasan alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. memperlihatkan kesatuan konsep yang terintegratif secara konseptual tentang keseimbangan antara menikmati keindahan alam dan upaya mempertahankannya. Sehingga pengertian ekowisata dapat dilihat sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolannya.

Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokan yaitu 1). Wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutama sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai sebagai rekreasi, olahraga dan menikmati pemandangan, dan 2). Wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air laut seperti diving, snorkling, selancar, jet ski, perahu kaca, wisata lamun dan wisata satwa (Yulianda 2007).

Ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Dengan demikian ekowisata sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistern di areal yang masih alami. Dalam pengelolaan ekowisata dipergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan, dan harus menjadi suatu sinergi dengan keberpihakan kepada masyarakat. Keterlibatan masyarakat lokal akan membantu menjaga keutuhan kawasan ekowisata dan mempertahankan budaya lokal

(14)

masyarakat serta membuka peluang untuk memposisikan masyarakat sebagai bagian dari pengelola bersama dengan stakeholder yang lain (Nurfatriani dan Evida 2003).

Konsep dan definisi tentang wisata bahari menurut Hall (2001) menyatakan bahwa wisata terbagi menjadi dua yaitu wisata pesisir dan wisata bahari. Wisata pesisir adalah wisata yang berhubungan dengan kegiatan leisure dan aktivitas rekreasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan perairan lepas pantai meliputi rekreasi menonton ikan paus dari pinggiran pantai, berperahu, memancing, snorkling dan diving. Sedangkan wisata bahari adalah wisata yang berhubungan dengan wisata pantai tetapi lebih mengarah pada perairan laut dalam. Misalnya memancing di laut dalam dan berlayar dengan kapal pesiar.

Ekowisata merupakan jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan. Dengan maksud bahwa melalui aktivitas yang berkaitan dengan alam dan lingkungan sehingga membaut orang tergugah untuk lebih mencintai alam (Valintine 1993 dan Young 1992 in Baksir 2010)

Hasil Forum Konsolidasi Pengembangan Ekowisata Indonesia yang terbentuk pada tahun 1999 oleh Direktorat Jenderal Pariwisata bahwa ekowisata merupakan salah satu corak kegiatan pariwisata khusus dimana suatu konsep pariwisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan dan kelestarian, sehingga tujuan akhir dari pengembangan ekowisata diharapkan dapat meningkatkan kualitas hubungan antar manusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan (Setiawati 2000).

Ekowisata merupakan bagian dari gejala pariwisata total yang menggunakan sumberdaya tertentu untuk menarik pengunjung yang mencari pengalaman khusus (Wall 1995). Beberapa definisi dari ekowisata sebagai berikut yaitu 1). Perjalanan ke kawasan alam yang secara relatif belum terganggu dengan tujuan mengagumi dan menikmati pemandangan indah yang ditemukan di daerah tujuan dan 2). Perjalanan yang dapat dipertanggungjawabkan ke kawasan alam dengan memelihara lingkungan.

Ekowisata harus mengangkat harkat dan martabat masyarakat lokal secara umum memiliki posisi tawar yang relative lebih rendah. Dalam perkembangannya

(15)

Aoyama (2000) menyatakan beberapa kriteria standar tentang bagaimana seharusnya ekowisata yang telah diterima secara umum yaitu: melestarikan lingkungan, secara ekonomis menguntungkan dan member manfaat bagi masyarakat.

2.4. Konsep Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan Dalam Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management, ICM)

Pada dasarnya bahwa konsep pembangunan pulau-pulau kecil mengacu kepada konsep pembangunan wilayah pesisir meskipun ekosistem yang ada di pulau-pulau kecil mungkin lebih beragam dari pada di wilayah pesisir daratan. Selain itu mengingat pulau-pulau kecil terpisah dari daratan utama (daratan induk) maka faktor aksesibilitas dapat menjadi kendala pembangunan pulau-pulau kecil berkelanjutan yang cukup berarti (Susilo 2003). Selanjutnya menurut (Adrianto et al. 2005) bahwa prinsip keterpaduan sangat penting dan memegang peranan yang fundamental sebagai salah satu kunci sukses dalam pengelolaan wilayah pesisir.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Dalam Convention Biological Diversity (CBD) yang diacu Thiang-Eng (2006) menyatakan bahwa pendekatan pengelolaan berbasis ekosistem terfokus pada memelihara integritas ekosistem tersebut yang menyediakan sumberdaya esensial dan jasa untuk kesejahteraan dan aktivitas manusia.

Cicin-Sain dan Knecht (1998) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan mencakup 3 penekanan, yaitu terdiri dari 1). Pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, 2). Pembangunan yang sesuai dengan lingkungan dan 3). Pembangunan yang sesuai dengan keadilan kesejateraan, yaitu keadilan penyebaran keuntungan dari pembangunan yang mencakup; a) ntersociental equity misalnya antar kelompok dalam masyarakat menghargai hak khusus masyarakat lokal, b). intergenerational equity yaitu tidak membatasi peluang atau pilihan bagi generasi mendatang dan c). international equity adalah memenuhi kewajiban (obligasi) terhadap bangsa lain dan terhadap masyarakat international mengingat adanya kenyataan saling ketergantungan secara global.

(16)

Casagrandi dan Rinaldi 2002 in Baksir 2010 menyatakan secara teoritis bahwa konsep wisata berkelanjutan pulau-pulau kecil mengikuti model minimalis. Tergantung tiga komponen utama yaitu kondisi lingkungan (environmental), investasi (capital) dan wisata (tourism). Ketiga komponen ini saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Wisatawan akan berkunjung apabila lingkungan baik, namun dengan bertambahnya wisatawan melebihi daya dukung akan memperburuk kondisi lingkungan dan akan berakibat pada capital. Sebaliknya wisatwan yang banyak akan menambah capital dan capital ini bisa dikembalikan untuk perbaikan lingkungan. Sehingga daya dukung kawasan lingkungan merupakan salah satu alat yang dapat dipakai untuk mengukur sejauh mana bisa berkelanjutan (McMinn 1997).

Young 1992 in Kay and Alder 1999 menyatakan bahwa ada 3 tema yang terkandung pada definisi pembangunan berkelanjutan yaitu 1). Integritas lingkungan, 2). Efisiensi ekonomi dan 3) keadilan kesejateraan (equity) yang dimaksudkan sebagai memperhatikan generasi saat ini dan mendatang serta mempertimbangkan aspek budaya selain aspek ekonomi.

Menurut Daly (1990) menyatakan bahwa ada tiga kriteria dasar bagi keberlanjutan modal alam (natural capital ) dan keberlanjutan ekologi (ecological sustainability) yaitu 1) untuk sumberdaya alam terbarukan (renewable resources) laju pemanfaatanya tidak boleh melebihi laju regenerasinya (sustainable yield), 2). Laju produksi limbah dari kegiatan pembangunan tidak boleh melebihi kemampuan asimilasi dari lingkungan (sustainable waste disposal) dan 3) untuk sumberdaya tidak terbarukan (non renewable resource) laju deplesi sumberdaya harus mempertimbangkan pengembangan sumberdaya substitusi bagi sumberdaya tersebut. Selanjutanya menurut (Adrianto 2004a) bahwa kriteria ini ideal dan lebih bersifat normative, namun dalam kontek pembangunan berkelanjutan di Indonesia ketiga kriteria ini menjadi faktor penting yang diharapkan dapat menjadi norma bagi setiap pengambil kebijakan pembangunan ekonomi nasional.

Setiap pulau memiliki format pengelolaan yang berbeda, disesuaikan dengan latar geografis, karakteristik ekosistem, dan sosial budaya masyarakat setempat. Dalam arah kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil yang berkelanjutkan terdapat beberapa pendekatan yang dikombinasikan yaitu 1). Hak,

(17)

2) Ekosistem dalam alokasi ruang wilayah pulau dan gugus pulau dan 3). Sesuai kondisi sosial budaya setempat (Dahuri 2003).

Menurut Adrianto dan Kusumantanto (2005) menyatakan bahwa dalam kontek Indonesia, pengelolaan pesisir pada dasarnya diarahkan untuk mencapai dua tujuan yaitu 1). Pendayagunaan potensi pesisir dan lautan untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional dan kesejateraan pelaku pembangunan kelautan khususnya, dan 2). Tetap menjaga kelestarian sumberdaya kelautan khususnya sumberdaya pulih dan kelestarian lingkungan.

2.5. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG)

Penginderaan jauh adalah suatu ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Purbowaseso 1996).

Soenarmo (2003) menyatakan bahwa penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau fenomena dengan menganalisa data yang diperoleh melalui alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Kegiatan observasi informasi objek tersebut dalam arti khusus adalah mendeteksi gelombang elektromagnetik yang dipantulkan, ditransmisikan dan dihamburkan oleh objek tersebut. Melalui persamaan-persamaan sifat, interaksi gelombang elekromagnetik dengan objek dapat dikembangkan teknologi akuisi dan pengolahan data sehingga informasi objek dapat diektraksi sekaligus dapat diturun dari data penginderaan jauh. Data inderaja satelit dapat dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi yaitu aplikasi untuk atmosfer, hidrosfer, litosfer-geosfer, biosfer, lingkungan, kriosfer dan sistem pengumpulan data.

Secara umum penginderaan jauh saat ini dimanfaatkan tidak saja pada alat pengumpulan data mentah, tapi penginderaan jauh dapat juga digunakan untuk memproses data mentah secara manual dan otomatis serta dapat menganalisis citra dan menampilkan hasil informasi yang diperoleh (Howard 1996).

(18)

Sutanto (1986) menyatakan bahwa dalam penginderaan jauh digunakan tenaga elektromagnetik. Matahari merupakan sumber utama tenaga elektromagnetik ini. Dalam perjalanannya radiasi matahari menembus atmosfer mengalami proses atenuasi yaitu penyerapan, pantulan, pancaran, dan hampuran oleh partikel-partikel dalam atmosfer baru kemudian diteruskan.

Sistem informasi geografis (SIG) adalah sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data dan tampilan data geografis yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan. SIG adalah sistem komputer yang terdiri dart perangkat keras, perangkat lunak, dan personal (manusia) yang dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisis dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (ESRI 1990).

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah salah satu alat yang dapat digunakan untuk menunjang pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir pulau-pulau kecil. Perencanaan spasial atau keruangan di wilayah pesisir lebih kompleks dibandingkan dengan perencanaan spasial di daratan (Dahuri 1997), karena (1) Perencanaan di daerah pesisir harus mengikutsertakan semua aspek yang berkaitan baik dengan wilayah daratan maupun lautan; (2) Aspek daratan dan lautan tidak dapat dipisahkan secara fisik oleh garis pantai karena saling berinteraksi dan bersifat dinamis sesuai dengan proses-proses fisik dan biogeokimia yang terjadi; (3) Bentang alam wilayah pesisir secara cepat berubah dibanding dengan daratan karena hasil interaksi tadi.

Rofiko (2005) menyatakan bahwa kriteria utama yang harus dipertimbangkan pada saat evaluasi kesesuaian SIG yaitu 1). Model dan struktur data yang digunakan dapat di pakai pada wilayah yang luas dengan ketelitian dan resolusi yang tinggi, 2). Data spasial maupun non spasial yang telah tersusun dapat diperbaiki, disimpan, dapat diambil pada saat tertentu dan dapat ditampilkan secara efisien dan efektif.

Supriatna et al.(2005) menyatakan bahwa SIG adalah teknologi di garis depan dan merupakan interdisiplin yang membutuhkan sumberdaya manusia yang berkualitas untuk tiap-tiap tingkatan dalam pekerjaannya. Secara umum sumberdaya manusia yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: 1). Staf operasional

(19)

yang terdiri dari end user (orang yang bertugas untuk membuat sistem menghasilkan keuntungan, termasuk mengantisipasi segala kemungkinan selama berlangsungnya pekerjaan), kartografer (bertugas melayout peta sehingga jelas dan mudah dimengerti), data capturer (bertugas mengkonversi peta menjadi bentuk digital), potential users (orang yang mampu mengoperasikan teknologi SIG), 2). Staf analis profesional terdiri dari : analist (orang yang menganalis berdasarkan pengetahuan dan pengalaman di bidang SIG), system administrator (bertugas menjaga, merawat perangkat keras dan perangkat lunak dari komputer yang digunakan untuk pekerjaan), progrmmer (bertugas menterjemahan aplikasi khusus untuk keperluan SIG menjadi program yang bisa dijalankan), data base administrator (orang yang mengatur fenomena-fenomena geografi ke dalam bentuk layer-layer, mengidentifikasi sumber data, mendokumenkan informasi yang terkandung dalam data base sehingga dapat dibaca sistem dan dapat terintegrasikan), super operator (orang yang ahli dalam semua perangkat keras dan perangkat lunak dalam SIG), dan 3). Manajer perorangan yang bertanggungjawab atas perkembangan harian dari pekerjaan yang sedang dikerjakan yang mengatur kerja tim, mengatur hasil output/produksi yang dibutuhkan seperti layaknya sebuah organisasi.

Sistem Informasi Geografis (GIS) merupakan alat yang dapat digunakan untuk pengumpulan, penyimpanan, mendapatkan kembali, tranformasi dan menampilkan suatu data dengan tujuan tertentu. Data tersebut dapat berupa data spasial maupun data atribut. Data spasial merupakan data yang mencerminkan aspek keruangan, sedangkan data atribut merupakan data yang menggambarkan suatu atribut tertentu (Aronof 1989).

Data yang digunakan untuk analisis SIG harus dilengkapi dengan informasi posisi geografis (lintang dan bujur). Database yang telah dibuat akan memudahkan dalam melakukan analisis dalam SIG. Data yang dihasilkan dari pengukuran parameter lingkungan nantinya akan dibentuk suatu layer yang akan dimasukan dalam dalam peta dasar yang telah tersedia. Data parameter lingkungan yang dikumpulkan tersebut berbentuk titik, sehingga untuk dapat melakukan analisis antar layer, data-data tersebut terlebih dahulu dilakukan

(20)

interpolasi sehingga nantinya data akan berbentuk area/poligon (Charter dan Agtrisari 2003).

Sistem Informasi Geografis (SIG), data dirujukkan dengan kejadian yang akan memberikan perbaikan, analisis dan tayangan pada kriteria spasial. SIG paling tidak terdiri dari subsistem pemrosesan, subsistem analisis data dan subsistem yang menggunakan informasi (Masrul 2002).

Raharo (1996) in Haris (2003) menyatakan keunikan SIG jika dibandingkan dengan sistem pengolahan basis data lainya adalah kemampuannya untuk menyajikan informasi spasial maupun non spasial secara bersama-sama. SIG merupakan penyederhanaan (miniatur) dari fenomena alam/geografis yang nyata, maka SIG harus betul-betul mewakili kondisi, sifat-sifat (atribut yang penting) bagi suatu aplikasi/pemanfaatan tertentu.

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah terjemahan dari Geogrphical Information Systemyang merupakan teknologi berbasis computer yang digunakan untuk memperoses, menyusun, menyimpan, memanipulasi dan menyajikan data spasial yang disimpan dalam basis data untuk berbagai macam aplikasi (Azis 1998).

Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) sudah banyak digunakan untuk pengelolaan sumberdaya alam, seperti pengelolaan dalam penggunaan lahan di bidang pertanian, kehutanan, perkebunan, dan perikanan serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya. Hanya dalam beberapa tahun, penggunaan Sistem Informasi Geografis (SIG) telah tersebar luas pada berbagai bidang, seperti dalam bidang ilmu lingkungan, perairan, dan sosial ekonomi (Anwar 2002).

2.6. Kekesuaian Kawasan

Pengembangan wisata bahari memerlukan kesesuaian sumberdaya dan lingkungan pesisir sesuai dengan kriteria yang disyaratkan. Kesesuaian sumberdaya pesisir dan lautan ditujukan untuk mendapatkan kesesuaian karakteristik sumberdaya wisata. Kesesuaian karakteristik sumberdaya dan lingkungan untuk pengembangan wisata dilihat dari aspek keindahan alam, keamanan dan keterlindungan kawasan, keanekaragaman biota, keunikan sumberdaya/lingkungan dan aksesibilitas (Hutabarat et al. 2009).

(21)

Sutrisno (2009) menyatakan bahwa kesesuaian kawasan didefinisikan dan dinodifikasi yakni: 1). Kelas S1 sangat sesuai (highly suitable) yaitu tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti yang mempunyai pengaruh nyata terhadap penggunaannya. Tidak akan menaikan masukan/ tingkatan perlakuan yang diberikan, 2). Kelas S2 sesuai (moderately suitable ) yaitu mempunyai faktor pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas akan meningkatkan perlakuan yang diberikan, 3). Kelas S3 sesuai bersyarat (marginally suitable) yaitu mempunyai faktor pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas akan lebih meningkatkan perlakuan yang diberikan, dan 4). Kelas N tidak sesuai (not suitable) yaitu mempunyai faktor pembatas permanen, sehingga tidak sesuai untuk dikembangkan ke dalam suatu peruntukan.

Kesesuaian kawasan wisata bahari kategori wisata diving kriteria yang dipakai yaitu kecerahan perairan, tutupan karang, jenis lifeform, keragaman jenis ikan karang, kecepatan arus dan kedalaman sedangkan kategori wisata snorkeling meliputi kecerahan perairan kecerahan perairan, tutupan karang, jenis lifeform, keragaman jenis ikan karang, kecepatan arus, kedalaman dan lebar hamparan terumbu karang (Yulianda 2007).

Pada dasarnya analisis keruangan untuk kesesuaian pariwisata bertujuan untuk menentukan daerah yang dianggap potensial berdasarkan kriteria-kriteria yang berhubungan secara langsung dengan daerah pesisir yang menjadi objek penelitian (Aronoff 1989).

Kesesuaian lahan (land suitability) merupakan kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, melalui penentuan nilai (kelas) lahan serta pola tata guna tanah yang dhubungkan dengan potensi wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan lahan yang lebih terarah berikut usaha pemeliharaan kelestariannya (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001).

2.7. Daya Dukung

Analisis daya dukung ditujukan pada pengembangan wisata bahari dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil secara lestari. Mengingat pengembangan wisata bahari tidak bersifat mass tourism,

(22)

mudah rusak dan ruang untuk pengunjung sangat terbatas maka perlu penentuan daya dukung kawasan (Hutabarat et al. 2009).

Daya dukung kawasan (DDK) merupakan jumlah maksimal pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang tersediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia (Yulianda 2007).

DKP (2005) menyatakan daya dukung pulau kecil adalah kemampuan pulau tersebut menyerap bahan, energi maupun komponen lainnya yang dibangun dan., dibuang di pulau dan perairan sekitar pulau tersebut. Daya dukung wilayah pulau kecil dapat didefenisikan dengan menentukan jumlah penduduk dan kegiatan di wilayah pesisir yang dapat didukung oleh satuan sumberdaya alam yang tersedia di suatu pulau. Pengertian daya dukung pulau kecil dapat juga dipahami sebagai kemampuan kawasan tersebut dalam menyediakan ruang untuk berbagai kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung.

Daya dukung lingkungan pulau pulau kecil ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu (1) potensi lestari pulau dalam menyediakan sumber daya alam khususnya sumber daya perikanan laut, (2) ketersediaan ruang untuk kegiatan pembangunan dan kesesuaian lahan serta perairan pantai untuk kegiatan pertambakan, budidaya laut, pertanian, perkebunan dan pariwisata, (3) kemampuan ekosistem pulau untuk menyerap limbah, sebagai hasil samping kegiatan pembangunan, secara aman. Dalam batas-batas tertentu, daya dukung lingkungan dapat ditingkatkan melalui intervensi teknologi, seperti pemupukan tanah dan desalinasi air laut (Dahuri 1998 in Soselisa 2006).

McNeely et al. (1992) menyatakan bahwa daya dukung wisata merupakan tingkat pengunjung yang memanfaatkan suatu kawasan wisata dengan perolehan tingkat kepuasan yang optimal dengan dampak terhadap sumberdaya yang minimal. Konsep ini meliputi dua faktor yang utama yang membatasi perilaku pengunjung berkaitan dengan daya dukung, yaitu : (1) Kondisi lingkungan dan (2) Kondisi sosial budaya masyarakat.

Kemampuan daya dukung untuk setiap kawasan berbeda-beda sehingga perencanaan secara spasial akan bermakna. Secara umum ragam daya dukung meliputi : 1). Daya dukung ekologis; Pigram (1983) in Nurisyah (2001) mengemukakan

(23)

bahwa daya dukung ekologis sebagai tingkat maksimai penggunaan suatu kawasan, 2). Daya dukung fisik suatu kawasan wisata merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang diakomodasikan dalam areal tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas, 3). Daya dukung sosial suatu kawasan wisata dinyatakan sebagai batas tingkat maksimum dalam jumlah dan tingkat penggunaan, dimana bila melampauinya akan menimbulkan penurunanan dalam tingkat kualitas pengalaman atau kepuasan dan 4). Daya dukung reakreasi merupakan suatu konsep pengelolaan yang menempatkan kegiatan reakreasi dalam berbagai objek yang terkait dengan kemampuan kawasan.

Analisis daya dukung ekologi ditujukan untuk menganalisis jumlah maksimum wisatawan yang diperbolehkan melakukan kegiatan wisata bahari disuatu kawasan, dalam hal ini kawasan ekosistem terumbu karang tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem tersebut (Orams 1999).

Daya dukung wisata menunjukan tingkat maksimum pengunjung yang menggunakan dan berhubungan dengan infrastruktur yang dapat ditampung suatu wilayah. Jika daya dukung melampaui, akan mengakibatkan kemerosotan sumberdaya di wilayah, mengurangi kepuasan pengunjung dan atau berdampak merugikan pada aspek sosial, ekonomi. Pengertian daya dukung wisata saat ini meliputi empat komponen dasar yaitu biofisik, sosial budaya, psikologi dan manajerial (Angamanna 2005).

Daya dukung lingkungan pulau kecil didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung suatu pertumbuhan biota. Misalnya ikan di laguna tumbuh secara positif jika daya dukung lingkungannya masih lebih besar. Namun, pertumbuhan yang terus menerus akan mengakibatkan timbulnya kompetisi terhadap ruang dan lahan hingga daya dukung lingkungan tidak mampu lagi mendukung pertumbuhan (Bengen dan Retraubun 2006).

Daya dukung lingkungan secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan manusia atau benda hidup lainnya. Penulis lain mendefenisikan daya dukung suatu area sebagai kemampuan area tersebut untuk menopang berbagai penggunaan sumberdaya

(24)

kegiatan pembangunan (Clark 1992, Sullivan et al. 1995 in Susilo 2006). Yulianda (2007) menyatakan konsep daya dukung ekowisata mempertimbangkan dua hal, yaitu (1) Kemampuan alam untuk mentolerir gangguan atau tekanan dari manusia dan (2) Standar keaslian sumberdaya alam.

Daya dukung dukung kawasan disesuaikan karakteristik sumberdaya dan peruntukan. Misalnya daya dukung wisata bahari kategori diving ditentukan sebaran dan kondisi terumbu karang serta diasumsikan setiap 2 orang membutuhkan 2.000 atau 200x10 m2dan untuk wisata bahari kategori snorkling setiap orang membutuhkan 500 m2. Khusus wisata diving luas terumbu karang mempertimbangkan kondisi komunitas karang. Persen tutupan karang menggambarkan kondisi dan daya dukung karang. Jika kondisi komunitas karang disuatu kawasan baik dengan tutupan 76 %, maka luas area diving di terumbu karang yang dapat dimanfaatkan adalah 76 % dari luas hamparan karang (Hutabarat et al. 2009).

2.8. Permintaan dan Penawaran Wisata Bahari

Menilai kesesuaian kegiatan wisata bahari disuatu kawasan dapat dilakukan dengan pendekatan supply (penawaran atau sediaan) dan demand (permintaan) wisata (Gold 1980). Sediaan wisata merupakan cerminan analisis potensi biofisik dan sosial budaya yang merupakan komponen daya tank potensi kawasan dipadu dengan faktor kenyamanan (ketersediaan akomodasi, sarana pendukung: makanan dan minuman), faktor aksesibilitas (jalan raya berkondisi baik, keteraturan rute perjalanan bus pariwisata dan perahu), pelayanan yang baik (promosi daerah tujuan wisata, koordinasi dan kontrol pengembangan, pelayanan sarana informasi serta fasilitas kesehatan).

Pola permintaan (demand) dari waktu ke waktu dapat terjadi perubahan sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat itu. Pengertian masyarakat disini adalah wisatawan dan masyarakat di sekitar Pulau Sebesi. Douglass (1982) mendefinisikan permintaan sebagai jumlah kesempatan yang diinginkan masyarakat. Permintaan wisata terdiri dari pemanfaatan aktual dari fasilitas yang tersedia dan permintaan yang tersembunyi karena tidak terlihat dan karena fasilitas yang tidak memadai.

(25)

Unsur-unsur dalam permintaan wisata adalah wisatawan dan penduduk lokal yang menggunakan sumberdaya (produk dan jasa) wisata. Basis utamanya adalah ketersediaan waktu dan uang pada kelompok tersebut (Gunn 2002). Distribusi pendapatan yang lebih merata dan penghasilan yang meningkat akan mendorong semangkin banyaknya permintaan perjalanan wisata (Damanik dan Weber 2006).

Disamping dua tipe permintaan tersebut Gold (1980) menyebutkan adanya tipe permintaan yang tidak disebutkan Douglass yakni permintaan yang timbul akibat adanya perubahan, misalnya karena adanya promosi. Tipe disebut permintaan terdorong. Ciri-ciri permintaan wisata adalah (Yoeti 1990): 1). Terkonsentrasi menurut musim dan daerah tujuan tertentu, 2). Elastisitasnya tinggi, dan 3). Berubah-ubah sesuai dengan motivasi masing-masing individu.

Banyak faktor yang mempengaruhi permintaan pariwisata. Faktor yang utama adalah jumlah penduduk, waktu luang, pendapatan perkapita dan transportasi. Clawson dan Knetsth in Darusman (1991) mengemukakan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi permintaan wisata adalah: 1). Faktor yang berhubungan dengan pengguna potensial: a). Jumlah total individu yang berada disekitar obyek wisata, b). Distribusi (penyebaran) geografis daerah konsumen atau pengunjung potensial yang berkaitan dengan kemudahan atau kesulitan untuk mencapai kawasan, c). Karakteristik sosial ekonomi; umur, jenis kelamin, pekerjaan, jumlah anggota keluarga dan status pendidikan, e). Pendapatan rata-rata, distribusi pendapatan dart masing-masing individu untuk keperluannya, f). Rata-rata waktu luang dan alokasinya, g). P endidikan khus us, pengal am an dan penget ahuan yan g berhubungan dengan wisata, 2). Faktor yang berhubungan dengan tempat wisata (supply) yaitu a). Keindahan dan daya tarik, b). Intensitas dan sifat pengelolaan, c). Afternatif pilihan tempat wisata lain, d). Pasilitas akomodasi untuk pengunjung potensial, e). Karakteristik iklim cuaca atau cuaca di obyek wisata, 3). Faktor yang berhubungan antara pengunjung potensial dan tempat atau obyek wisata yaitu a). Lama waktu perjalanan yang dipedukan dari tempat tinggai ke obyek wisata, b). Kesenangan atau kenyamanan dalam perjalanan, c). Biaya untuk berkunjung

(26)

ke obyek wisata, dan d). Meningkatnya permintaan akan wisata sebagai akibat promosi yang menarik.

Freyer (1993) in Damanik dan Weber (2006) menyatakan bahwa beberapa pertimbangan penting yang dilakukan orang sebelum melakukan keputusan untuk melakukan perjalanan yaitu 1). Biaya, ini hal yang paling sentral dipertimbangkan dalam mengambil keputusan berwisata, 2). Daerah tujuan wisata, pilihan daerah destinasi wisata termasuk unsur sentral dalam keputusan berwisata, 3). Bentuk perjalanan, biasanya ada tiga bentuk yakni pertama, berkelompok dalam jumlah besar dan organisasi oleh biro perjalanan (exclusive tourism); kedua, individual atau kelompok kecil (misalnya keluarga) yang diatur sendiri oleh wisatawan yang bersangkutan; dan ketiga, gabungan keduanya, 4). Waktu dan lama berwisata, lama berwisata menjadi pertimbangan tersendiri. Dalam hal ini factor ketersediaan waktu luang dan uang kembali memainkan peranan penting. Bukti-bukti nyata menunjukan betapa waktu luang saat musim liburan menjadi salah satu factor penentu besar kecilnya arus wisatawan, 5). Penginapan yang digunakan, 6). Modal Transportasi dan 7) jasa-jasa yang lain seperti pemandu, souvenir, fotografi, perawatan kesehatan dan hiburan.

2.9. Pengembangan Wisata Bahari Berbasis Ekologi

Pengembangan sebagai suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk mengenai lingkungan sosial yang disertai dengan meningkatnya taraf hidup mereka sebagai akibat dan penguasaan mereka. Dengan demikian, pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan (Manurung 1998).

Tantangan dalam pengembangan wisata bahari adalah memanfaatkan terumbu karang yang ada secara berkelanjutan tanpa menimbulkan dampak-dampak yang merugikan. Hal ini penting karena kegiatan wisata bahari pada hakekatnya memadukan dua system yaitu kegiatan manusia dan ekosistem laut dari terumbu karang. Adanya kegiatan wisata bahari sangat tergantung pada sumberdaya alam diantaranya terumbu karang dan apabila terjadi kerusakan akan menurunkan mutu daya tarik wisata (Yulianda 2007).

Setiawati (2000) menyatakan bahwa beberapa hal yang mendasari pemilihan ekowisata sebagai konsep pengembangan dari wisata bahari, yaitu 1).

(27)

Ekowisata sangat bergantung pada kualitas sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya. Kekayaan keanekaragaman hayati merupakan daya tarik utama bagi pangsa pasar ekowisata, sehingga kualiatas, keberlanjutan dan pelestarian sumberdaya alam, peninggalan sejarah dan budaya menjadi sangat penting untuk ekowisata. Pengembangan ekowisata juga memberiakan peluang yang sangat besar untuk mempromosikan pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia di tingkat internasional, nasional, regional maupun lokal, 2). Pelibatan masyarakat. Pada dasarnya pengetahuan tentang alam dan budaya serta kawasan daya terik wisata, dimiliki oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu pelibatan masyarakat menjadi mutlak dari tingkat perencanaan hingga pada tingkat pengelolaan, 3). Ekowisata meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Ekowisata memberikan nilai tambah kepada pengunjung dan masyarakat setempat dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman. Nilai tambah ini mempengaruhi perubahan perilaku dari pengunjung, masyarakat dan pengembangan pariwisata agar sadar dan lebih menghargai alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya, 4). Pertumbuhan pasar ekowisata di tingkat internasional dan nasional. Kenyataan memperlihatkan kecenderungan meningkatnya permintaan terhadap produk ekowisata baik di tingkat internasional dan nasional. Hal ini disebabkan meningkatnya promosi yang mendorong orang untuk berprilaku positif terhadap alam dan berkeinginan untuk mengunjungi kawasan-kawasan yang masih alami agar dapat meningkatkan kesadaran, penghargaan dan kepeduliannya terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya setempat, 5). Ekowisata sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Ekowisata memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi penyelenggara, pemerintah dan masyarakat setempat, melalui kegiatan-kegiatan yang non ekstraktif dan non konsumtif sehingga meningkatkan perekonomian daerah setempat. Penyelenggaraan yang memperlihatkan kaidah-kaidah ekowisata, mewujudkan ekonomi berkelanjutan.

Kegiatan pembangunan pariwisata bahari akan tetap berkelanjutan jika memenuhi tiga persyaratan daya dukung lingkungan yang ada. 1). Bahwa kegiatan pariwisata harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik (ekologis) sesuai persyaratan yang dibutuhkan untuk kegiatan ini. Selain itu penempatan kegiatan

(28)

pariwisata bahari sedapat mungkin dihindari dari lokasi-lokasi yang sudah intensiflpadat tingkat industrilisasinya, 2). Jumlah limbah dari kegiatan pariwisata itu sendiri dan kegiatan lain yang dibuang kedalam lingkungan pesisir/laut hendaknya tidak melebihi kapasitas asimilasi kemampuan suatu sistem lingkungan dalam menerima limbah tanpa terjadi indikasi pencemaran lingkungan, 3). Bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih hendaknya tidak melebihi kemampuan pulih sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu (Dahuri 1993).

Wijaya (2007) menyatakan bahwa pengembangan ekowisata memiliki kriteria khusus. Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijaksanaan pengembangan ekowisata, diantaranya cara pengelolaan, pengusahaan, penyediaan prasarana dan sarana yang diperlukan. Atas dasar itu, sifat dan jenis kegiatan yang dilakukan juga harus disesuaikan dengan kriteria sebagai kawasan ekowisata. Satu hal yang tidak pernah dilupakan adalah masalah pelestarian lingkungan hidup yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan ekowisata.

Damanik dan Weber (2006) menyatakan sejumlahnya persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjamin keberlanjutan yaitu 1). Wisatawan mengkonsumsi produk dan jasa wisata secara selektif dalam arti bahwa produk tersebut tidak diperoleh dengan mengekspoitasi secara berlebihan, 2). Produk wisata didorong ke produk berbasis lingkungan dan peka terhadap budaya lokal, 3). Masyarakat harus dilibatkan dalam perencanaan implementasi dan monitoring pengembangan wisata, 4). Masyarakat harus juga memperoleh keuntungan secara adil dari kegiatan wisata, dan 5). Posisi tawar masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya pariwisata semakin meningkat.

2.10. Analisis A’WOT

Metode A’WOT adalah gabungan (integrasi) antara AHP ( Analytical Hierarchy Process) dengan analisis SWOT (Stengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats) yang dikembangkan untuk perencanaan hutan di Filandia oleh Kangas, Pesonen, Kuartilla dan Kajanus (1996). Penggabungan analisis AHP dengan analisis SWOT ini dikarenakan analisis SWOT terlalu kualitatif. Apabila dikuantifikasikan, tidak jelas berap bobot antara

(29)

masing-masing komponen SWOT. Demikian juga bobot antar faktor dalam komponen tersebut, perlu dibuat prioritasnya sehingga dalam menentukan strategi mana yang menjadi prioritas akan lebih mudah apabila menggabungkan SWOT dan pembobotannya diperoleh dari hasil wawancara dengan responden yang berkompeten.

Proses hierarki analitik/(AHP/Analytical Hierarchy Process) pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melalui suatu prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi diantara berbagai set alternatif. Analisis ini ditujukan untuk membuat suatu model permasalahan yang tidak mempunyai struktur. Analisis ini biasanya diterapkan untuk memecahkan masalah yang terukur (kuantitatif) maupun masalah-masalah yang memerlukan pendapat (judgement) maupun pada situasi yang kompleks atau tidak terkerangka pada situasi dimana data informasi statistik sangat minim atau tidak ada sama sekali dan hanya bersifat kualitatif yang didasari oleh persepsi, pengalaman, atau intuisi. AHP (Analytical Hierarchy Process) ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan pada banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya, dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki dalam situasi konflik (Saaty 1993).

Proses hierarki analitik atau analisis jenjang keputusan (AHP/Analytical Hierarchy Process) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat pada tahun 1970-an (Susilo 2007).

Proses Hierarki Analitik atau Analisis Jenjang Keputusan (AHP/Analytical Hierarchy Process) merupakan salah satu metode MCDM (Multy Criteria Multy Decision) yang mula-mula dikembangkan oleh Saaty, dan sangat populer digunakan dalam perencanaan lahan, terutama dalam pengalokasian penggunaan lahan (land use allocation). Kelebihan dari teknik ini adalah kemampuan untuk memandang masalah dalam suatu kerangka yang terorganisir tetapi kompleks, yang memungkinkan adanya interaksi dan saling ketergantungan antar faktor, namun tetap memungkinkan kita untuk memikirkan faktor-faktor tersebut secara sederhana (Saaty 1993).

(30)

Pada dasarnya metode dari AHP (Analytical Hierarchy Process) ini adalah; (i) memecah-mecah suatu situasi yang kompleks dan tak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponennya; (ii) menata bagian-bagian atau variabel ini dalam suatu susunan hierarki; (iii) memberi nilai numerik pada pertimbangan subyektif tentang relatif pentingnya setiap variabel; (iv) mensintesis berbagai pertimbangan ini untuk menetapkan variabel mana memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut (Saaty 1993).

Menurut Permadi (1992), kelebihan AHP (Analytical Hierarchy Process) lebih disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hierarki. Sifat fleksibilitas tersebut membuat model AHP (Analytical Hierarchy Process) dapat menangkap beberapa tujuan dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hierarki. Bahkan model tersebut dapat memecahkan masalah yang mempunyai tujuan-tujuan yang saling berlawanan, kriteria-kriteria yang saling berlawanan dan tujuan serta kriteria yang saling berlawanan dalam sebuah model. Karenanya, keputusan yang dilahirkan dari model PHA tersebut sudah memperhitungkan berbagai tujuan dan berbagai kriteria yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi sumberdaya adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan baik oleh model PHA.

AHP (Analytical Hierarchy Process) merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem, dimana pengambilan keputusan berusaha memahami suatu kondisi sistem dan membantu melakukan prediksi dalam pengambilan keputusan. Sebaiknya, sedapat mungkin dihindari adanya penyederhanaan seperti membuat asumsi-asumsi dengan tujuan dapat diperoleh model yang kuantitatif. Dalam AHP (Analytical Hierarchy Process), penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible (tidak terukur) ke dalam aturan biasa sehingga dapat dibandingkan (Saaty 1993).

Poerwowidagdo (2003), menyatakan bahwa di dalam penyelesaian persoalan dengan AHP (Analytical Hierarchy Process) terdapat tiga prinsip dasar yang harus di perhatikan, yaitu: (i) menggambarkan dan menguraikan secara hierarki, yaitu memecah-mecah persoalan menjadi unsur-unsur terpisah, (ii)

(31)

pembedaan prioritas dan sintesis atau penetapan prioritas, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif kepentingannya, dan (iii) konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria logis.

Tahapan analisis data dengan AHP (Analytical Hierarchy Process) menurut Saaty (1993) yaitu 1). Identifikasi sistem, 2). Penyusunan struktur hierarki, 3). Membuat matriks perbandingan/komparasi (pairwise comparison), 4). Menghitung matriks pendapat individu, 5). Menghitung pendapat gabungan, 6). Pengolahan horisontal, 7). Pengolahan vertikal, dan 8). Revisi pendapat.

Saaty (1993) menyatakan bahwa beberapa keuntungan menggunakan AHP (Analytical Hierarchy Process) sebagai alat analisis yaitu 1). Memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tidak terstruktur., 2). Memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks, 3). Dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier, 4). Mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat, 5). Memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas, 6). Melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas, 7). Menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif, 8). Mempertimbangkan prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka, 9). Tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda, dan 10). Memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.

Analisis SWOT (Strenght Weakness Opportunities Threats) adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi organisasi/perusahaan. Analisis tersebut didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strenght) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats)

(32)

(Salusu 1996). Analisis SWOT merupakan suatu alat yang umum digunakan untuk menganalisis lingkungan internal dan eksternal dalam rangka mencapai suatu pendekatan sistematis dan dukungan untuk suatu situasi pengambilan keputusan.

Rangkuti (2004) menyatakan bahwa matriks SWOT menghasilkan 4 strategi yaitu: 1). Strategi SO (Strategi kekuatan-peluang), menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang, 2). Strategi WO (Strategi kelemahan-peluang), menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang yang ada, 3). Strategi ST (Strategi kekuatan-ancaman), menciptakan strategi dengan memanfaatkan kekuatan untuk menghindari atau memperkecil dampak dari ancaman eksternal, dan 4). Strategi WT (strategi kelemahan-ancaman), didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan, serta menghindari ancaman.

Analisis SWOT dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 2 model matriks, yaitu matriks SWOT atau matriks TOWS. Model matriks mendahulukan faktor-faktor eksternal (ancaman dan peluang), kemudian melihat kapabilitas internal (kekuatan dan kelemahan). Suatu strategi dirumuskan setelah TOWS selesai dianalisis (Salusu 1996).

Referensi

Dokumen terkait

Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak)

Data yang hasil wawancara menunjukan bahwa para pengguna layanan mempercayai petugas yang ada, hal ini berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada Ibu, Ayidah yang pernah

Metafora sebagai salah satu wujud daya kreatif bahasa di dalam penerapan makna, artinya berdasarkan kata-kata tertentu yang telah dikenalnya dan berdasarkan keserupaan atau

Lampau waktu, musnahnya barang atau tlh diselesaikannya usaha yg mjd pokok persekutuan perdata, kehendak dr seorang atau bbrp org sekutu, salah seorang sekutu meninggal

[r]

Berdasarkan teori ini, pada konteks sharing knowledge , dapat diharapkan bahwa individu yang dihubungkan dengan sistem informasi atau teknologi informasi dapat menunjukkan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang remaja mengakses situs pornografi di Kecamatan Jebres Surakarta. Untuk mengetahui habitus perilaku remaja dalam

But in spite of the titles listed written minority Muslim state relations, but not discussed minority in Asian countries such as Indonesia, how the status and rights of