• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN SERTIFIKASI USAHA MIKRO DAN KECIL (UMK) TERHADAP KONTROL ATAS TANAH RINA KHAERUNNISA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN SERTIFIKASI USAHA MIKRO DAN KECIL (UMK) TERHADAP KONTROL ATAS TANAH RINA KHAERUNNISA"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN SERTIFIKASI USAHA MIKRO DAN KECIL (UMK)

TERHADAP KONTROL ATAS TANAH

RINA KHAERUNNISA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peran Sertifikasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) terhadap Kontrol atas Tanah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013 Rina Kherunnisa NIM I34090020

(4)

ABSTRAK

RINA KHAERUNNISA. Peran Sertifikasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) terhadap Kontrol atas Tanah. Dibimbing oleh HERU PURWANDARI.

Program sertifikasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) diselenggarakan untuk membantu pengembangan usaha sektor UMK, melalui kegiatan penyertifikatan tanah. Adanya program ini diharapkan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi penerima program yang memanfaatkan fungsi ekonomi tanahnya. Pilihan pemanfaatan fungsi ekonomi tanah ini didasarkan atas hak pemilik dalam mengontrol tanah. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Loji dan Situ Gede, dengan fokus penelitian pada pengaruh kepemilikan sertifikat UMK terhadap kontrol atas tanah, serta kaitan antara kontrol tanah dengan prospek usaha. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif dan kualitatif menggunakan kuesioner serta panduan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepemilikan sertifikat UMK di Loji dan Situ Gede berpengaruh pada kenaikan tingkat kontrol tanah kategori tinggi setelah bersertifikat. Adanya kontrol ini berpeluang menciptakan prospek peningkatan usaha, tetapi hanya pada responden yang melakukan kegiatan pemanfaatan saja. Perbedaan pemanfaatan ini diduga akibat perbedaan lokasi yang merupakan daerah urban dan rural urban. Kata kunci : kontrol tanah, pemanfaatan tanah, prospek usaha, sertifikat UMK

ABSTRACT

RINA KHAERUNNISA. Certification’s role of Micro and Small Enterprises (MSEs) of the Control of Land. Guided by HERU PURWANDARI.

The certification program Micro and Small Enterprises (MSEs) organized to assist the development of SMEs sector, through certifying land activity. This program expected to provide economic benefits to beneficiaries who utilize the economic function of their land. The choices from economic function of land are based on the right of the owner to control the land. The research was conducted in the Loji and Situ Gede villages, with a research focus on the influence of the MSE’s certificate ownership concerning the land control, and the relation between ground control with business prospects. The research was carried out by quantitative and qualitative methods using questionnaires and in-depth interview guide. The results of this study indicate that the MSE’s certificate ownership in Situ Gede Loji has effect to the increment the level of the land control to high category after certified. The existence of this control has the opportunity to create the prospect of a business’s excalation, but only to respondents who perform activities use only. The difference of this utilization may be due to location differences which are in urban and rural urban.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

PERAN SERTIFIKASI USAHA MIKRO DAN KECIL (UMK)

TERHADAP KONTROL ATAS TANAH

RINA KHAERUNNISA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Peran Sertifikasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) terhadap Kontrol atas Tanah

Nama : Rina Khaerunnisa

NIM : I34090020

Disetujui oleh

Heru Purwandari, SP, M.Si. Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2012 hingga November 2012 ini ialah kajian agraria, dengan judul Peran Sertifikasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) terhadap Kontrol atas Tanah.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Heru Purwandari, SP, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan saran dan masukkan selama proses penulisan hingga penyelesaikan skripsi. Kepada Prof. Dr. Endriatmo Soetarto, MA selaku dosen penguji utama, dan Dr. Ir. Dwi Sadono, M.Si selaku dosen penguji perwakilan SKPM. Selain itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak BPN, Kelurahan Loji, Kelurahan Situ Gede, serta pihak-pihak yang membantu dalam proses penelitian ini. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih kepada Ayahanda H.M.F. Machsus, SE dan Ibunda Hj. Enas Nasroh, S.Pd selaku orang tua tercinta serta Yayan Muzayyan Lathifie, S.Kom dan Naila Adiba, selaku kakak dan adik tersayang yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis. Tidak lupa terimakasih penulis juga sampaikan kepada seluruh teman-teman Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 46 (khususnya Firda, Rahma, Dini, Fia, Indra, Bahari, Dani, Randi, Yosa, dan Rangga), seluruh teman-teman akselerasi (khususnya Agustin, Lulu H, Anggi IT, Bunga H, dan Selvi A), rekan-rekan majalah Komunitas FEMA IPB, dan juga kakak-kakak SKPM angkatan 45 (khususnya Kak Selvi, Kak Ola, dan Kak Helen) yang telah mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih pada sahabat-sahabat diantaranya Imawati Annisa, Annisa Nurfajrina, Citra Paramitha, Wahyu Widjiwati, Antharest S, D. Rizky Wijaya, Desy Kusuma, Tri Utami, Irma, Chaidir, Bowo serta teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungannya selama ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2013

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR ix DAFTAR LAMPIRAN ix PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Masalah Penelitian 3 Tujuan Penelitian 4 Kegunaan Penelitian 4 PENDEKATAN TEORITIS 5 Tinjauan Pustaka 5 Struktur Agraria 5 Struktur Kepemilikan 6 Pendaftaran Tanah 7

Sertifikasi: Pisau Bermata Dua 9

Program Sertifikasi Hak atas Tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK) 11 Kontrol atas Tanah dalam Kerangka Sertifikasi 12

Kerangka Pemikiran 14

Hipotesis Penelitian 15

Definisi Konseptual 16

Definisi Operasional 16

METODE PENELITIAN 19

Lokasi dan Waktu 19

Teknik Sampling 19

Teknik Pengumpulan Data 20

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 21

PROFIL DESA 23

Profil Kelurahan Loji 23

Kondisi Ekologi 23

Struktur Demografi dan Daya Dukung 24

Peluang Jasa dan Ekonomi Lokal 26

Profil Kelurahan Situ Gede 27

Kondisi Ekologi 27

(10)

Peluang Jasa dan Ekonomi Lokal 30 SERTIFIKASI UMK: MEDIA KEBUTUHAN LOKAL DAN SUPRA LOKAL 31 Sertifikat UMK sebagai Program Lintas Sektor 31 Pandangan Komunitas Lokal terhadap Sertifikasi UMK 34

Ikhtisar 38

KONTROL ATAS TANAH 39

Tingkat Jual 39

Tingkat Sewa 43

Tingkat Gadai 47

Tingkat Kontrol Tanah sebagai Akumulasi Kegiatan Pemanfaatan Tanah 51

Ikhtisar 55 REALISASI PROGRAM DAN PENCAPAIAN PENINGKATAN PROSPEK

USAHA 57 Program Sertifikasi UMK: Analisa atas Kesenjangan 57

Pengaruh Kesenjangan terhadap Pencapaian Pemanfaatan Tanah 60 Kaitan Sertifikasi UMK dengan Peningkatan Prospek Usaha 63

Ikhtisar 67

SIMPULAN DAN SARAN 69

Simpulan 69 Saran 69

DAFTAR PUSTAKA 71

(11)

DAFTAR TABEL

1. Dampak kepemilikan sertifikat 11 

2. Sebaran penduduk Kelurahan Loji berdasarkan kategori umur 24  3. Sebaran penduduk Kelurahan Loji berdasarkan jenis mata pencaharian 25  4. Sebaran penduduk Kelurahan Loji berdasarkan tingkat pendidikan 25  5. Sebaran penduduk Kelurahan Situ Gede berdasarkan kategori umur 28  6. Sebaran penduduk Kelurahan Situ Gede berdasarkan jenis mata

pencaharian 29 

7. Sebaran penduduk Situ Gede berdasarkan tingkat pendidikan 29  8. Sebaran tingkat jual tanah sertifikasi UMK di Kelurahan Loji dan Situ

Gede 40 

9. Sebaran perubahan tingkat jual sertifikasi UMK di Kelurahan Loji dan

Situ Gede 40 

10. Sebaran tingkat sewa tanah sertifikasi UMK di Kelurahan Loji dan Situ

Gede 44 

11. Sebaran perubahan tingkat sewa tanah sertifikasi UMK di Kelurahan

Loji dan Situ Gede 44 

12. Sebaran tingkat gadai tanah sertifikasi UMK di Kelurahan Loji dan Situ

Gede 48 

13. Sebaran perubahan tingkat gadai sertifikasi UMK di Kelurahan Loji dan

Situ Gede 48 

14. Sebaran tingkat kontrol tanah sertifikasi UMK di Kelurahan Loji dan

Situ Gede 52 

15. Sebaran perubahan tingkat kontrol sertifikasi UMK di Kelurahan Loji

dan Situ Gede 53 

DAFTAR GAMBAR

1. Lingkup hubungan-hubungan agrarian 6 

2. Kerangka pemikiran 15 

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar responden di Kelurahan Loji menurut nama, alamat, usaha, dan

luas tanah 74 

2. Daftar responden di Kelurahan Situ Gede menurut nama, alamat, 75  3. Nilai tingkat jual sebelum dan sesudah sertifikat UMK serta

perubahannya di Kelurahan Loji 76 

4. Nilai tingkat jual sebelum dan sesudah sertifikat UMK serta

perubahannya di Kelurahan Situ Gede 77 

(12)

6. Nilai tingkat sewa sebelum dan sesudah sertifikat UMK serta

perubahannya di Kelurahan Situ Gede 79 

7. Nilai tingkat gadai sebelum dan sesudah sertifikat UMK serta 80  8. Nilai tingkat gadai sebelum dan sesudah sertifikat UMK serta

perubahannya di Kelurahan Situ Gede 81 

9. Nilai tingkat fungsi ekonomi tanah sebelum dan sesudah sertifikat UMK serta perubahannya di Kelurahan Loji 82  10. Nilai tingkat fungsi ekonomi tanah sebelum dan sesudah sertifikat

UMK serta perubahannya di Kelurahan Situ Gede 83 

11. Kuesioner 84 

12. Panduan wawancara mendalam 88 

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah agraria adalah produk dari relasi antara masyarakat, negara, dan lingkungan dengan menempatkan tanah dan kekuasaan sebagai inti persoalan. Relasi-relasi tersebut melibatkan aspek kekuasaan (politik), kesejahteraan (ekonomi), dan hirarki (sosial) yang mengakibatkan semakin tergerusnya penguasaan rakyat atas sumber-sumber penghidupan (Wiradi 2009a). Pembangunan di Indonesia saat ini dihadapkan pada masalah penyediaan tanah. Tanah dibutuhkan oleh banyak orang sedangkan jumlahnya tetap, sehingga tanah yang tersedia tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan yang terus meningkat terutama kebutuhan untuk perumahan, pertanian, dan pembangunan fasilitas umum. Mengingat arti pentingnya tanah bagi kehidupan masyarakat, maka diperlukan pengaturan yang lengkap dalam hal penggunaan, pemanfaatan, dan pemilikan tanah sesuai dengan hukum yang berlaku (Arifin 2008).

Reforma agraria merupakan suatu solusi dalam perubahan struktur kepemilikan atas tanah tersebut. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidato kenegaraan, menyatakan akan melaksanakan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Program Reforma Agraria. Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) ini lebih ditumpukan kepada dua hal yaitu: (1) redistribusi lahan secara terbatas, dan (2) sertifikasi tanah. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi, dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat (Pidato Kenegaraan Susilo Bambang Yudhoyono dalam Arifin 2008). Menurut Rosset et al. (2008), akses tanah bagi mereka yang tak bertanah dapat memberikan kesempatan masyarakat secara adil untuk mengakumulasikan asetnya. Terbukanya akses rakyat terhadap tanah maka kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraannya pun semakin besar. Oleh karena itu administrasi tanah sangat penting dalam proses reforma agraria. Tanpa adanya peraturan pertanahan dan peran administrasi, kebijakan dan strategi reforma agraria akan gagal. Sistem administrasi tanah dapat menyiapkan keamanan tenurial untuk investasi pribadi jangka panjang. Lebih lanjut, De Soto dalam Amir (2008) menyatakan pentingnya pencatatan atau sertifikasi tanah, dengan asumsi setelah tanah tersebut terdata secara resmi dan sah, pemilik bisa menjadikannya modal hidup. Kemakmuran bukan pada tanah melainkan pada pemanfaatan tanah itu sendiri, sehingga tanah harus diolah untuk meningkatkan pendapatan pemilik tanah.

Pemerintah mewajibkan untuk melaksanakan pendaftaran tanah yang ada di seluruh Indonesia. Kewajiban itu tertuang dalam UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) pasal 19 ayat (1), yang berbunyi: “untuk menjamin kepastian hukum hak dan tanah oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Menurut PP No. 10 Tahun 1961 sebagaimana telah diubah dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, disebutkan tujuan dari pendaftaran tanah yaitu untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat

(14)

2

membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, serta untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Sejak UUPA diundangkan tahun 1960 sampai dengan tahun 2006 telah diterbitkan sebanyak 33.74 juta sertifikat hak atas tanah atau sekitar 36% jumlah bidang tanah yang perlu disertifikat di luar kawasan hutan. Sekitar 65% dari jumlah tersebut diterbitkan melalui kegiatan pendaftaran tanah secara sporadik dan 35% sisanya melalui pendaftaran tanah secara sistemik, seperti ajudikasi PAP, PRONA, dan sektoral lainnya (transmigrasi, perkebunan, sawah, irigasi, UKM, dll) (Amir 2008).

Penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia kenyataannya belum mencapai hasil yang menggembirakan (Iswanto 1991). Kaitannya dengan program sertifikasi, terdapat kelompok yang seringkali kepentingannya terabaikan yaitu kelompok miskin seperti kaum buruh perdesaan dan perempuan. Menurut hasil penelitian de Soto (2000), sebagian besar masyarakat miskin sudah memiliki aset yang mereka butuhkan, tetapi mereka memegang sumberdaya ini dalam bentuk yang tidak sempurna karena belum terdaftar secara resmi. Studi Bank Dunia dalam Soehendera (2010) menyebutkan bahwa hanya 20% dari tanah di Indonesia yang terdaftar di BPN. Kondisi ini menyebabkan banyaknya “penguasaan” maupun “penggunaan” tanah yang informal, terutama oleh kelas menengah ke bawah. Akibatnya, mereka tidak bisa memanfaatkan kepemilikan tanah tersebut sebagai jaminan untuk meminjam modal atau agunan ke bank. Maka dari itu, salah satu cara yang sangat efektif dalam mewujudkan administrasi di bidang pertanahan adalah dengan mempercepat pendaftaran tanah di Indonesia melalui penyelenggaraan secara sistematik (Ismy 2005).

Salah satu program pemerintah dalam rangka percepatan pendaftaran tanah yaitu sertifikasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Kegiatan legalisasi UMK merupakan bantuan bagi pengusaha skala kecil dan menengah untuk mendapatkan sertifikat hak atas tanah bagi usaha yang sedang dijalaninya. Sertifikasi UMK ini difasilitasi oleh pemerintah dengan bantuan dana dari APBN. Selama ini sektor UKM tersendat perkembangannya, karena tak dapat mengakses permodalan dari bank atau lembaga keuangan, salah satunya karena legalisasi usaha yang belum dilakukan. Oleh karena itu program pemberdayaan UMK melalui kegiatan sertifikasi hak atas tanah ini diharapkan dapat meningkatkan kontrol pemilik dalam memanfaatkan tanahnya.

Pemanfaatan tanah dapat memberikan sumbangan ekonomi sehingga dapat mendorong prospek peningkatan usaha. Kegiatan pemanfaatan tanah ini menjadi mekanisme kontrol bagi pemilik tanah dalam menggunakan sumberdaya yang dimiliki. Kepastian pemanfaatan ini dapat dilakukan secara legal dan formal karena hak atas tanah telah tertera dalam sertifikat. Menurut Hall et al. (2011), formalisasi dapat membuat pemilik bertambah haknya karena batas tanah yang jelas, kepemilikan tercatat di sistem registrasi, diakuinya kepemilikan tanah dan dimilikinya hak untuk menjual, mentransfer, atau menjaminkannya. Selain itu, Hall et al. (2011) juga menambahkan bahwa sertifikasi ternyata dapat pula menimbulkan proses akumulasi dan kehilangan lahan melalui transfer tanah. Hal ini menunjukkan bahwa kepemilikan sertifikat dapat menimbulkan dua sisi. Pada kasus Serikat Petani Pasundan (SPP), para petani melakukan berbagai aksi kolektif seperti reklaiming demi diakuinya kepemilikan tanah yang sudah mereka garap bertahun-tahun dalam bentuk kepemilikan sertifikat (Fermata 2006).

(15)

3 Meskipun sertifikat memiliki dua sisi, namun tidak dapat dipungkiri jika kepemilikannya sangat dinanti oleh banyak orang, seperti halnya yang terjadi pada Serikat Petani Pasundan (SPP).

Di Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Provinsi Jawa Barat masih banyak usaha-usaha yang belum bersertifikat, maka pemerintah melakukan kebijakan dengan memberikan fasilitas dan kemudahan kepada pemegang hak atas tanah berupa keringanan dalam pembiayaan dan mempercepat proses penyelesaian sertifikat. Selain itu, kedua daerah ini merupakan daerah yang memperoleh alokasi untuk kegiatan sertifikasi hak atas tanah UMK di wilayah Kota Bogor. Program sertifikasi ini bertujuan meningkatkan kepastian hukum tanah UMK agar dapat memiliki kontrol dalam memanfaatkan tanah, khususnya dalam hal akses terhadap modal. Sertifikasi UMK di Bogor Barat telah selesai diselenggarakan pada tahun 2010, dan telah dilaksanakan sebanyak 25 bidang di Kelurahan Loji dan 29 bidang di Kelurahan Situ Gede. Berdasarkan uraian di atas maka sangat menarik untuk mengkaji peran kepemilikan sertifikat melalui program sertifikasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede terhadap kontrol kepemilikan tanah, tetapi dilihat pada wilayah yang tidak berkonflik seperti pada Kelurahan Loji dan Situ Gede ini.

Masalah Penelitian

Pemerintah mewajibkan pendaftaran tanah di Indonesia, namun hasilnya belum begitu memuaskan. Banyak masyarakat yang tidak mampu mensertifikatkan tanahnya karena pendaftaran tanah di Indonesia cenderung berbelit-belit, prosesnya lama, dan biayanya mahal. Pemerintah akhirnya menetapkan program sertifikasi hak atas tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK) bagi pengusaha yang selama ini tersendat dalam perkembangan usahanya. Program ini diharapkan dapat meningkatkan kontrol pemilik dalam memanfaatkan tanah, khususnya pada akses terhadap modal. Menurut de Soto (2000) formalisasi aset memungkinkan seseorang untuk mengatur, mengendalikan, dan menghubungkannya dengan aset yang lain. Adanya pemanfaatan tanah merupakan upaya kontrol pemilik tanah terhadap sumberdaya yang dimilikinya.

Masalah umum yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu sejauhmana peran kepemilikan sertifikat UMK terhadap upaya kontrol pemilik atas tanah. Adapun beberapa masalah spesifik yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sejauhmana kepemilikan sertifikat UMK berpengaruh terhadap potensi hilangnya kontrol pemilik tanah di Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede?

2. Sejauhmana sertifikasi UMK berpeluang dalam menciptakan prospek peningkatan usaha?

(16)

4

Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah penelitian yang telah dikemukakan, disusunlah beberapa tujuan penelitian guna menjawab rumusan masalah dan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Menganalisis pengaruh kepemilikan sertifikat UMK yang berpotensi terhadap hilangnya kontrol pemilik atas tanah UMK di Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede.

2. Menganalisis kepemilikan sertifikat UMK yang mendorong penciptaan prospek peningkatan usaha.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai kalangan, antara lain:

1. Akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dan kajian untuk penelitian selanjutnya serta menambah khasanah penelitian mengenai pelaksanaan pendaftaran tanah sistematik melalui program sertifikasi tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang dilakukan oleh pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI).

2. Pemerintah, penelitian ini dapat diharapkan sebagai sarana evaluasi program sertifikasi tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang telah atau sedang dilaksanakan oleh pemerintah.

3. Masyarakat, penelitian ini dapat membantu masyarakat untuk mengambil manfaat yang dihasilkan oleh program sertifikasi tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK).

(17)

5

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka Struktur Agraria

Secara etimologis, istilah “agraria” berasal dari sebuah kata dalam bahasa Latin, “ager”, yang artinya: (a) lapangan; (b) wilayah; (c) tanah negara (Prent et al. dalam Wiradi 2009b). Kata-kata “wilayah”, “tanah negara” jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwakili olehnya. Sitorus (2002) menambahkan bahwa lingkup agraria mengandung pengertian yang luas dari sekedar “tanah pertanian” atau “pertanian”, yaitu suatu bentang alam yang mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan kehidupan sosial yang terdapat di dalamnya. Lingkup agraria tersebut mencakup dua unsur yaitu mengenai objek agraria atau sumber-sumber agraria dan subjek agraria. Unsur pertama, objek agraria menurut UUPA yakni menyangkut (1) tanah atau “permukaan bumi” yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan, (2) perairan, baik di darat maupun di laut yang meliputi kegiatan perikanan (sungai, danau, maupun laut), (3) hutan, meliputi kesatuan flora dan fauna dalam suatu kawasan tertentu dan merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas-komunitas, (4) bahan tambang, mencakup beragam bahan tambang/mineral yang terkandung di dalam “tubuh bumi”, dan (5) udara, dalam arti ruang di atas bumi dan air. Unsur kedua mengenai subjek agraria yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Secara kategoris, subjek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumah tangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga kategori ini memiliki ikatan dengan sumber-sumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan/ pemanfaatan (tenure institutions).

Hubungan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan membawa implikasi terbentuknya ragam hubungan sosial, sekaligus interaksi sosial antara ketiga kategori subjek agraria (Sitorus 2002). Lebih lanjut menurut Sitorus (2002), hubungan tersebut dibagi ke dalam dua bentuk yaitu hubungan teknis dan hubungan sosial. Hubungan teknis dapat dilihat dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure). Land tenure adalah hak atas tanah atau penguasaan tanah, sedangkan land tenancy adalah orang yang memiliki, memegang, menempati, menduduki, menggunakan atau menyewa sebidang tanah tertentu. Hubungan teknis tersebut menunjukkan cara kerja subjek agraria dalam pengolahan dan pemanfaatan objek agraria untuk memenuhi kebutuhannya. Ketiga subjek agraria satu sama lain berhubungan atau berinteraksi secara sosial dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan objek agraria tertentu. Proporsi ini menggambarkan hubungan sosial agraria yang menunjukkan cara kerja subjek agraria saling berinteraksi dalam rangka pemanfaatan objek agraria. Dengan kata lain, hubungan ini berpangkal pada perbedaan akses dalam hal penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan lahan. Hubungan-hubungan sosial agraria yang digambarkan oleh Sitorus (2002) dapat dilihat pada Gambar 1.

(18)

6

Keterangan :

Hubungan teknis agraria (kerja) Hubungan sosial agraria

Gambar 1 Lingkup hubungan-hubungan agrarian

Struktur agraria pada penelitian ini adalah hubungan antara subjek dengan sumber-sumber agraria mencakup penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan lahan. Menurut Wiradi (2009b), perlu dibedakan antara istilah pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah. Kata pemilikan menunjuk pada penguasaan formal hak milik atas tanah yaitu hak yang sah untuk menggunakan, mengolah, menjualnya dan memanfaatkan tanah, sedangkan kata penguasaan menunjukkan pada penguasaan efektif. Misalnya jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang itulah yang secara efektif menguasainya. Jika sesorang menggarap tanah miliknya sendiri, misalya 2 Ha, lalu menggarap juga 3 Ha tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 Ha. Kata pemanfaatan nampaknya cukup jelas, yaitu menunjuk pada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif. Pemilikan lahan tidak selalu mencerminkan penguasaan lahan, karena memang ada berbagai jalan untuk menguasai lahan, misalnya melalui sewa, sakap, gadai, dan sebagainya. Perubahan struktur agraria yang dimaksud dalam penelitian ini, mencakup perubahan pola pemilikan lahan, pola penguasaan lahan, dan pemanfaatan lahan masyarakat setempat menjadi lebih formal dengan adanya pendaftaran tanah.

Struktur Kepemilikan

Pengertian kepemilikan dan penguasaan tanah seringkali dianggap sama. Namun terdapat perbedaan mendasar antara pengertian kepemilikan dan penguasaan. Pengertian kepemilikan lebih condong kepada status hak (entitlement) sedangkan penguasaan mengacu pada total luasan yang dikuasai atau diusahakan. Kepemilikan mengandung arti adanya hak untuk menggunakan tanah bagi pemiliknya, baik hak untuk menjual, menggadaikan, menyewakan, mewariskan atau mengusahakan untuk kepentingan pemiliknya. Sementara pengertian penguasaan mengandung arti adanya hak untuk menggunakan tanah berdasarkan sewa atau kontrak tertentu, tetapi tidak dapat dipindah tangankan oleh yang menguasai tanah tersebut (Wijayanti dalam Hidayat 2002).

Beberapa istilah modern mengenai kepemilikan tanah yakni meliputi milik perorangan dan milik komunal. Milik perorangan yaitu suatu bentuk penguasaan

Komunitas

Pemerintah

Sumber-sumber

(19)

7 tanah dimana seseorang menduduki sebidang tanah dan dapat menyerahkan kepada ahli warisnya serta dapat mengatur secara bebas, seperti menjual, menyewakan, atau menggadaikan. Sementara milik komunal merupakan bentuk penguasaan, dimana seseorang (atau keluarga) memanfaatkan tanah tertentu yang hanya merupakan bagian dari tanah komunal desa. Hal ini berarti orang tersebut tidak berhak untuk menjual atau memindahtangankan tanah dan pemanfaatannya biasanya digilir secara berkala (Eindresume dalam Kano 2009). Berdasarkan Wiradi dan Makali (2009), masalah pemilikan tanah tetap merupakan faktor yang penting dalam kehidupan pedesaan. Menurutnya, mereka yang memiliki tanah luas akan mempunyai jangkauan lebih besar kepada sumber nonpertanian, atau sebaliknya.

Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah merupakan persoalan penting dalam UUPA, karena pendaftaran tanah akan menghasilkan surat tanda bukti hak atas tanah yang disebut sertifikat. Pada PP No. 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa pendaftaran tanah adalah “rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur melalui pengumpulan, pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satu-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”. Harsono dalam Ismy (2005), merumuskan pendaftaran tanah sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh negara/pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan termasuk penerbitan tanda bukti dan pemeliharaannya. Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan di atas, pendaftaran tanah merupakan suatu rangkaian kegiatan pengumpulan data pertanahan yang dilakukan pemerintah untuk menetapkan jaminan kepastian hukum atas tanah. Terselenggaranya pendaftaran tanah menyebabkan kepastian hukum berkenaan dengan jenis hak atas tanah, subjek hak, dan objek haknya menjadi jelas karena tercantum dalam sertifikat, sehingga dapat mengurangi terjadinya persengketaan hak atas tanah.

Adanya kepastian hukum atas tanah merupakan salah satu tujuan terselenggaranya pendaftaran tanah. Lebih lanjut, tujuan pendaftaran tanah menurut Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 yaitu memberikan kepastian hukum, menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Kepastian hukum tersebut juga diperlukan dalam menghadapi kasus-kasus konkret untuk dapat membuktikan hak atas tanah yang dikuasainya, sedangkan penyediaan informasi dapat diperlukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan seperti calon pembeli dan calon kreditur untuk mengetahui data-data mengenai objek tanah yang dikuasai.

Pendaftaran tanah menurut Pasal 19 UUPA ayat 1 yaitu meliputi: a. pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah;

(20)

8

b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; dan

c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Penyelenggaraan kegiatan pendaftaran tanah untuk menjamin kepastian hukum di bidang kepemilikan atau penguasaan tanah, diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) berlandaskan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Menurut PP tersebut, dinyatakan bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir, dan terbuka. Penjelasan dari asas-asas tersebut, yakni sebagai berikut (Supriadi 2008):

1. Asas Sederhana

Asas sedarhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.

2. Asas Aman

Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

3. Asas Terjangkau

Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang memerlukan.

4. Asas Mutakhir

Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan keseimbangan dalam pemeliharaan datanya, dan data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Asas ini menuntut pula dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus-menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata di lapangan, dan masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat, dan itulah yang berlaku pula pada asas terbuka.

5. Asas Terbuka

Asas terbuka mengisyaratkan agar data pendaftaran tanah yang tersedia dapat diinformasikan kepada pemegangnya atau kepada pihak lain yang membutuhkan untuk digunakan sesuai prosedur yang berlaku.

Pasal 11 PP No. 24 Tahun 1997 menegaskan bahwa pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya dan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kalinya meliputi pengumpulan dan pengolahan data fisik, pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan sertifikat, penyajian data fisik dan data yuridis serta penyimpanan daftar umum dokumen. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi pendaftaran peralihan dan pembebanan hak serta pendaftaran perubahan data pendaftaran lainnya.

Berdasarkan rujukan dari beberapa sumber, objek pelaksanaan pendaftaran tanah sangat strategis bagi bidang-bidang tanah milik masyarakat yang masih banyak belum didaftar, berstatus hak milik adat, surat tanda bukti kepemilikan hak

(21)

9 atas tanah masih berupa girik (tradisional), dan juga tanah-tanah eks perkebunan negara yang telah dikelola oleh petani setempat. Status kepemilikan hak atas tanah tersebut dikonversi menjadi hak milik demi kekuatan pembuktian kepemilikan hak atas tanah bagi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu, dibandingkan dengan alat bukti tertulis lainnya, sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat. Artinya, harus dianggap sebagai benar sampai dibuktikan sebaliknya di pengadilan dengan bukti yang lain (Risnarto 2007). Meningkatnya kebutuhan akan tanah memerlukan kepastian jaminan hukum sebagai tempat tinggal ataupun untuk kegiatan usaha. Dengan demikian, pendaftaran tanah merupakan kewajiban bagi semua warga negara dalam rangka tertib pertanahan dan upaya peningkatan pembangunan nasional, melalui penguasaan dan pemanfaatan tanah dengan kepastian hak milik.

Sertifikasi: Pisau Bermata Dua

Kepastian dan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah di perkotaan dapat melindungi yang bersangkutan dari aksi penyerobotan ataupun penggusuran. Menurut de soto (2000), formalisasi aset memungkinkan seseorang untuk mengatur, mengendalikan, dan menghubungkannya dengan aset yang lain. Kapitalisasi aset dapat menjadi sumberdaya yang dapat meningkatkan produktivitas dan juga kemakmuran negara. Sementara menurut Hall et al. (2011) menyatakan bahwa formalisasi dapat membuat pemilik bertambah haknya karena batas tanah yang jelas, kepemilikan tercatat di sistem registrasi, diakuinya kepemilikan tanah dan dimilikinya hak untuk menjual, mentransfer, atau menjaminkannya.

Demikian pula menurut Soehendera (2010), perolehan hak formal dapat memperkuat kedudukan sosio-ekonomi warga miskin perkotaan dan melindungi mereka dari penggusuran. Hal ini diperkuat berdasarkan hasil penelitian Smeru (2002) bahwa sekitar 70% responden percaya dengan kepemilikan sertifikat tanah, mereka sekarang memiliki keamanan yang lebih besar karena diperolehnya pengakuan hak atas kepemilikan tanah mereka. Selanjutnya, penelitian Iswanto (1991) menunjukkan bahwa 47.06% responden menyatakan perlu sertifikat tanah jika dirasakan memerlukan tanda bukti hak yang kuat agar tanahnya terlindungi oleh hukum, sedangkan 52.94% menyatakan perlu memiliki sertifikat tanah jika untuk memperoleh pinjaman uang di bank.

Menurut penelitian Arisudi et al. (2008), di pedesaan tanah merupakan simbol status bagi seseorang atau keluarga. Kepemilikan tanah yang luas merupakan suatu kekuasaan politik di desanya sehingga dapat menjadikan seseorang terhormat dan dipandang tinggi di desa. Masyarakat pedesaan yang tidak memiliki tanah akan terpinggirkan, sehingga mereka tidak mempunyai posisi tawar (bargaining position) yang kuat untuk turut menentukan kebijakan di desanya. Hal ini karena mereka memiliki status sosial yang lebih rendah.

Pemerintah mewajibkan formalisasi kepemilikan tanah untuk mendapat informasi yang lebih jelas mengenai siapa yang menggunakan, dengan tujuan apa, dan untuk mengontrol kepemilikan tanah dengan diberlakukannya sistem pajak (Hall et al. 2011). Kepemilikan tanah juga dapat menentukan akses petani dalam memperoleh sumberdaya ekonomi, misalnya dari segi kredit dan teknologi. Petani

(22)

10

yang memiliki tanah yang luas akan lebih cepat menyerap teknologi baru serta memiliki akses yang lebih besar dalam memperoleh kredit dan input-input lain karena setiap kredit memerlukan agunan (Husken dan White dalam Arisudi et al. 2008). SHM merupakan salah satu jaminan yang dapat diterima oleh bank karena dianggap memenuhi persyaratan yuridis maupun ekonomis. Terpenuhinya persyaratan tersebut, dimaksudkan agar dalam pelunasan piutangnya terpenuhi dan merupakan jaminan secara hukum (Amir 2008). Selain itu, harga tanah dari tahun ke tahun semakin meningkat sehingga dapat meningkatkan investasi seseorang. Hal ini sesuai dengan penelitian Smeru (2002), bahwa telah terjadi kenaikan investasi untuk peningkatan atau perbaikan tanah sebesar 5.3% melalui PAP.

Meskipun demikian, menurut Soehendera (2010) sertifikat tanah juga memiliki dampak negatif diantaranya memudahkan transaksi dan perpindahan pemilikan dari warga miskin ke orang-orang lain dan kesulitan dalam memecah sertifikat dalam hal pewarisan atau penjualan sebagian. Hall et al. (2011) juga menambahkan bahwa sertifikasi dapat memperkuat proses akumulasi dan kehilangan lahan melalui transfer tanah. Tanah lebih mudah diperjualbelikan dan memungkin kerentanan golongan kecil tercabut hak atas tanahnya akibat terlilit hutang.

Hal ini sesuai dengan penelitan Smeru (2002), bahwa setelah adanya sertifikat telah terjadi kenaikan transaksi tanah meskipun hanya 1.7%. Kemudahan peralihan dan pemecahan hak tanah warga miskin yang disertifikatkan, berarti keamanan hak atas tanah mereka terancam terpinggirkan dan hilang. Keadaan ini jika tidak dikelola dengan seksama mendorong pemusatan tanah ke pihak ekonomi kuat (Risnarto 2007). Selain itu, Iswanto (1991) menyatakan bahwa munculnya sertifikat dapat meningkatkan ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.

Penelitan Soehendera (2010) menyatakan bahwa sebagian warga yang berhasil memperoleh sertifikat di Kampung Rawa, Jakarta Pusat, kebanyakan tetap dalam kondisi kumuh dan status lahan yang dikuasainya tetap “extralegal”. Hal ini karena BPN menyebut tanahnya dengan status “tidak dikenal”. Ini menunjukkan bahwa tujuan sertifikasi untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah tidak terjadi. Tanah yang ”tidak dikenal” tersebut menurut UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) merupakan penguasaan atau pemilikan tanah warga yang berstatus ilegal. Soehendera (2010) menambahkan bahwa berbagai masalah yang dihadapi warga, ternyata memunculkan adanya brokers (perantara) dan free-rider (pendompleng bebas). Kemunculan perantara adalah untuk membantu warga dalam mempermudah pengurusan sertifikat hak atas tanahnya, sedangkan free-riders hanya memanfaatkan situasi dan kondisi yang muncul saat itu demi keuntungan pribadi. Kepemilikan sertifikat ternyata berdampak pada aspek-aspek berikut ini:

(23)

11 Tabel 1 Dampak kepemilikan sertifikat

Positif Negatif Kepastian hak atas tanah, sehingga

melindungi dari aksi penyerobotan atau penggusuran.

Peningkatan transaksi dan peralihan hak tanah, terutama dari warga miskin ke pihak lain.

Memperkuat kedudukan sosio-ekonomi warga miskin (tanah yang luas menjadikan dirinya terhormat).

Meningkatnya ketimpangan

penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah.

Memudahkan akses memperoleh sumberdaya ekonomi (kredit dan teknologi).

Timbulnya kategori tanah yang tidak dikenal (penguasaan ilegal).

Sumber investasi. Munculnya brokers (perantara) dan free-rider (pendompleng bebas).

Program Sertifikasi Hak atas Tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK)

Sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menunjukkan bahwa usaha ini mempunyai ketahanan relatif lebih baik dibanding usaha besar pada masa krisis. UKM berperan positif dalam membuka lapangan kerja maupun mengatasi kemiskinan. UKM adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih paling banyak Rp200 000 000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp1 000 000 000; milik warga negara Indonesia; berdiri sendiri dan bukan merupakan anak perusahaan (UU RI No 9 Tahun 1995). Namun, sektor UKM memiliki keterbatasan terhadap perolehan modal untuk meningkatkan usahanya. Oleh karena itu, pemerintah memberdayakan UKM salah satunya dengan memfasilitasi pembuatan sertifikasi tanah.

Pemerintah melaksanakan sertifikasi hak atas tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK) melalui kerjasama Kementerian Negara Koperasi dan UKM dengan BPN RI yang tertuang dalam Kesepakatan Bersama (KB) antara Menteri Negara Koperasi dan UKM dengan Kepala BPN No. 04/SKB/M.UKM/VII/2003, tanggal 16 Juli 2003. Program sertifikasi tanah milik Pengusaha Mikro dan Kecil (PMK) ini merupakan salah satu program pembangunan koperasi dan UKM di bidang pembiayaan. Tujuan program ini adalah (1) meningkatkan kemampuan UMK dalam memperoleh kredit dari bank, (2) meningkatkan ratio tertib administrasi pertanahan, dan (3) meningkatkan status agunan (Sidipurwanty 2008).

Sasaran program menurut petunjuk teknis yaitu pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dan/atau calon debitur pada Bank dan Koperasi yang membutuhkan tambahan kredit dan secara teknis dinyatakan layak tetapi belum memiliki sertifikat hak atas tanah. Sertifikasi UMK dilaksanakan menurut beberapa kriteria objek diantaranya tanah tidak dalam status sengketa, luas tanah pertanian maksimal 2 Ha sedangkan tanah non pertanian maksimal 2000 m2, bukan tanah warisan yang belum dibagi, dan tanah tersebut sudah dikuasai secara fisik oleh pelaku UMK.

Legalisasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) termasuk sertifikasi tanah khusus, yakni program sertifikasi tanah atas dasar kerjasama antara instansi,

(24)

12

misalnya kerjasama antara BPN-RI dengan Kementrian Koperasi-UKM dalam memberi bantuan untuk para pengusaha kecil menengah berupa tanda bukti hak atas tanah atau sertifikat tanah yang dilaksanakan oleh BPN-RI (Amir 2008). Dukungan dan bantuan usaha tampaknya menjadi keharusan, apalagi mengingat jumlah manusia yang terlibat di dalam kelompok ini teramat besar yakni menggapai proporsi mayoritas lebih dari 90% pelaku ekonomi di Indonesia (Bustomi 2003). Intervensi pemerintah untuk memberdayakan UKM telah melingkupi organisasi usaha. Pada kelembagaan terendah, terdapat kelembagaan koperasi dan di level yang lebih tinggi terdapat beberapa departemen yang turut andil dalam pemberdayaan UKM. Salah satu bank yang mempunyai andil dalam pembiayaan kredit untuk sektor UKM biasanya adalah PT. Bank Rakyat Indonesia (BRI). BRI bekerjasama dengan BPN-RI melakukan penyeleksian sasaran penerima sertifikasi UMK, sehingga sertifikat tanah yang diperoleh dapat dijadikan pinjaman modal ke BRI. Dengan adanya sertifikat tanah yang dianggap sebagai alat bukti terkuat pemilik tanah, diharapkan akan mendorong pemanfaatan tanah yang lebih efektif dan efisien, serta berfungsi secara ekonomi mencari modal melalui lembaga hak tanggungan yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas usahanya sehingga mampu memberikan nilai tambah tanah yang bermanfaat (Amir 2008).

Kontrol atas Tanah dalam Kerangka Sertifikasi

Pesatnya perkembangan ekonomi masyarakat dewasa ini, khusus di bidang pertanahan menyebabkan nilai ekonomi dari tanah semakin tinggi dan menyebabkan status hak tanah semakin penting, karena akan memberikan jaminan kepemilikan atas tanah dan memberi kepastian hukum bagi pemilik tanah yang bersangkutan. Kedudukan seseorang/masyarakat/negara dalam memanfaatkan sumberdaya diposisikan sesuai dengan kumpulan hak (bundle of right) yang dimilikinya. Ostrom dan Schlager (1992) menggambarkan hak milik sebagai pengelompokan dari lima tingkat operasional hak:

1. Hak atas akses (rights of access), yaitu hak untuk memasuki wilayah tertentu, berlaku bagi pemanfaat yang diijinkan (authorized users), pemakai atau penyewa (claimant), kepunyaan (propeitors), dan pemilik (owners). 2. Hak pemanfaatan (rights of withdrawal), yaitu hak untuk mengambil

manfaat atas sesuatu dari suatu tempat, berlaku bagi pemakai dan penyewa, kepunyaan, dan pemilik.

3. Hak pengelolaan (rights of management), yaitu hak untuk mengatur pola pemanfaatan dan mengubah sumberdaya yang ada untuk tujuan tertentu, berlaku bagi pemakai atau penyewa, kepunyaan, dan pemilik.

4. Hak pembatasan (rights of exclusion), yaitu hak untuk membatasi akses pihak lain terhadap sesuatu dan membuat aturan pemindahan hak ini, berlaku bagi kepunyaan dan pemilik.

5. Hak pelepasan (rights of alienation), yaitu hak untuk melepaskan penguasaan atas sesuatu, berlaku bagi pemilik saja. Hak pelepasan merupakan hak tertinggi karena pemilik mampu berbuat apa saja atas sesuatu yang diklaim sebagai miliknya.

(25)

13 Tingkatan hak ini disediakan sebagai alat untuk memahami bagaimana distribusi yang berbeda dari bundle of right yang dapat mempengaruhi insentif individu untuk mengelola sumber daya. Oleh karena itu, kedudukan sebagai pemilik (owner) merupakan kedudukan yang memiliki hak paling lengkap. Pemilik tanah memiliki kontrol dalam memanfaatkan tanahnya, karena telah memiliki legalitas yang tertuang pada sertifikat yang dimiliki.

Salah satu faktor ekonomi dan non ekonomi yang mempengaruhi nilai tanah adalah hak atas tanah (property right). Hal ini sesuai dengan penelitan Risnarto (2007), yang menemukan bahwa telah terjadi peningkatan nilai tanah berdasarkan jenis hak atas tanah, yakni 13.52% untuk sertifikat Hak Milik, 6.08% untuk sertifikat Hak Guna Bangunan, 4.57% untuk sertifikat Hak Guna Usaha, 4.21% untuk belum bersertifikat dan 1.79% untuk Hak Milik atas satuan rumah susun. Jadi bagi pemilik tanah, sertifikat hak milik sangat menentukan harga tanah itu sendiri karena dapat memperoleh pengaruh langsung atas tanah dengan kepastian penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai tujuan yang ingin dicapai. Demikian pula bila tanah tersebut akan dialihkan pada pihak lain, kedua pihak akan merasa yakin tidak ada sengketa dikemudian hari karena mempunyai bukti kepemilikan yang kuat. Hal ini sesuai dengan penelitan Smeru (2002) bahwa sebanyak 98.4% responden menyatakan kepemilikan sertifikat dapat bermanfaat bagi kehidupan mereka. Berdasarkan hasil penelitian Smeru (2002), kepemilikan sertifikat tersebut bermanfaat pada hal-hal berikut: kepemilikan kuat secara hukum, sertifikat dapat memberikan rasa aman dan dapat dijaminkan, tanah bersertifikat mudah dijual, dan harganya pun kian meningkat.

Fungsi ekonomi tanah menurut Tarigan dan Fauzia (2006) yakni tanah dapat diperjualbelikan, dapat disewakan, dan dapat dijadikan jaminan kredit. Adanya sertifikat yang diagunkan ke bank untuk memperoleh pinjaman, berarti dengan kepemilikan sertifikat dapat dimanfaatkan dalam membantu perekonomian mereka. Kegiatan pemanfaatan dilihat dari fungsi ekonomi tanah ini merupakan insentif pemilik dalam mengontrol haknya terhadap sumberdaya yang dikuasai. Namun, penelitian Amir (2008) menunjukkan bahwa program sertifikasi tanah belum memberi pengaruh nyata terhadap peningkatan pendapatan petani selaku pemilik tanah, sebelum SHM tersebut dimanfaatkan sebagai jaminan kredit. Berdasarkan hasil penelitian Smeru (2002), telah terjadi kenaikan perolehan kredit melalui pengagunan sertifikat sebanyak 12.8%. Adanya pengagunan sertifikat tersebut, meningkatkan pula kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 33.2%. Sertifikat dapat diagunkan ke bank ataupun pada hubungan kekerabatan dalam masyarakat. Berbagai kesulitan yang dihadapi warga miskin dengan lembaga formal menjadikan tetap berkembangnya sektor informal. Mereka dapat saling meminjam uang sebagai strategi untuk mempertahankan hidup. Selain itu, pengagunan sertifikat bagi petani dapat meningkatkan akses terhadap kredit dan teknologi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas pertanian mereka. Hasil penelitian Aldrianto (2001) menemukan bahwa petani dengan tanah bersertifikat cenderung melaksanakan teknologi konservasi dalam bercocok tanam, karena mengutamakan aspek sustainability dari tanah. Hal ini berarti petani tersebut melakukan investasi lahan untuk meningkatkan produktivitas lahannya, sehingga pendapatan aktual (masa kini) petani lebih rendah tetapi pendapatan potensialnya (masa datang) akan lebih besar. Dengan demikian, petani

(26)

14

tersebut menyadari sekumpulan hak yang melekat pada dirinya sebagai pemilik tanah, sehingga ia melakukan upaya kontrol tanah melalui produktivitas lahannya. Pemanfaatan sertifikat dapat pula digunakan untuk perumahan, tempat rekreasi, ataupun untuk tempat usaha sehingga tanah tersebut dapat bermanfaat bagi pemiliknya. Pemanfaatan tanah yang dijadikan tempat usaha merupakan upaya dari pemilik tanah untuk meningkatkan pendapatannya. Tanah maupun bangunan di atasnya dapat disewakan ataupun dijual sehingga merupakan ladang investasi bagi pemilik tanah tersebut. Secara luas, pemanfaatan tanah berdampak pula pada peningkatan kesempatan kerja bagi masyarakat melalui pengupayaan tanah menjadi lahan usaha. Hasil penelitian Soehendera (2010) menyatakan bahwa di Kampung Rawa terdapat 67 buah industri rumahtangga. Adanya industri rumahtangga di Kampung Rawa mengindikasikan bahwa terdapat strategi bertahan hidup masyarakat melalui pemanfaatan tanah menjadi tempat usaha, baik skala kecil, menengah, maupun agak besar.

Meskipun demikian, terdapat sebagian warga yang tidak begitu memahami fungsi dan peran sertifikat hak miliknya, sehingga mereka tidak memanfaatkan dan hanya menyimpan di bawah bantal. Kepemilikan sertifikat yang hanya ditaruh di bawah bantal membuat orang tersebut tidak dapat merasakan manfaat yang diperoleh setelah adanya kepemilikan sertifikat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Soehendera (2010) bahwa masyarakat Kampung Rawa, Jakarta Pusat cenderung memilih menyimpan sertifikat di bawah bantal karena adanya sikap kehati-hatian atau keragu-raguan terhadap lembaga keuangan resmi. Mereka merasa ragu dan takut untuk masuk ke dalam sektor formal meskipun dilengkapi dengan surat-surat resmi. Hal ini dapat pula dinyatakan sebagai upaya kontrol pemilik dalam menjaga keberlanjutan tanahnya. Selain itu, dalam perkembangannya terdapat tanah-tanah yang dikuasai dalam bentuk Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan serta Hak Pakai yang tidak dimanfaatkan secara maksimal. Tanah tersebut merupakan tanah terlantar1 yang biasanya dimiliki sekelompok kecil masyarakat yang memang memiliki modal untuk membeli tanah seluas-luasnya. Seharusnya, tanah terlantar jangan dibiarkan begitu saja tanpa adanya pemanfaatan secara fungsi agar dapat meningkatkan nilai dari tanah tersebut.

Kerangka Pemikiran

Pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah di Indonesia salah satunya melalui legalisasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK). UMK merupakan program yang diinisiasi pemerintah sebagai upaya memfasilitasi warga yang memiliki usaha skala kecil agar lebih akses terhadap permodalan melalui peningkatan status hukum hak atas tanah yang dimiliki. Pendaftaran tanah akan menghasilkan bukti kepemilikan tanah berupa sertifikat.

Pemanfaatan sertifikat dilihat dari kegiatan fungsi ekonomi tanah yaitu jual, sewa, dan gadai. Akumulasi dari tingkat jual, sewa, dan gadai ini menghasilkan tingkat kontrol atas tanah. Kegiatan perlakuan tanah ini merupakan upaya pemilik

1 Menurut Supriadi (2008), tanah terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang Hak atas

Tanah, pemegang Hak Pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah, tetapi belum memperoleh Hak atas Tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(27)

15 tanah dalam mengontrol sumberdaya yang dikuasai. Pemilik berhak menjual-beli tanah ataupun menyewakannya pada pihak lain. Jual-beli yakni pemindahan hak pemilikan atas tanah dari satu pihak ke pihak lain, sedangkan sewa merupakan perpindahan penguasaan tanah dari satu pihak ke pihak lain tanpa adanya peralihan kepemilikan tanah. Selain jual beli dan sewa, pemilik juga dapat memanfaatkan kepemilikan sertifikat untuk meminjam ke bank (agunan), sebagai solusi kurangnya modal usaha yang dialaminya. Pengagunan sertifikat UMK ke bank dapat meningkatkan kemampuan UMK dalam memperoleh kredit usaha.

Ketiga pemanfaatan berdasarkan fungsi ekonomi tanah tersebut secara akumulutif diduga akan mempengaruhi kontrol pemilik atas tanah yang dikuasainya. Adanya kontrol tanah ini dapat berpengaruh pula pada peningkatan prospek usaha. Sertifikasi UMK merupakan pemberdayaan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kapasitas sektor UKM di Indonesia melalui peningkatan kepastian hukum atas tanah. Kerangka penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Kerangka pemikiran

Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini adalah:

1. Kepemilikan sertifikat UMK mempengaruhi kontrol atas tanah UMK di Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede.

Tingkat Kontrol atas Tanah 1. Tingkat jual 2. Tingkat sewa 3. Tingkat gadai Keterangan: Mempengaruhi Dianalisis secara deskriptif Prospek Usaha Kepemilikan Tanah UMK (Sertifikat)

(28)

16

Definisi Konseptual

Sejumlah definisi konseptual yang menjadi pegangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kepemilikan tanah UMK adalah hak pemilikan dan penguasaan tanah UMK yang tercantum dalam sertifikat, yang dihasilkan BPN untuk meningkatkan akses permodalan dalam rangka pemberdayaan terhadap pengusaha Mikro dan Kecil. Kepemilikan tanah yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu ketika periode sebelum sertifikasi UMK yang masih berupa kepemilikan tanah tradisional, dan periode setelah sertifikasi UMK dengan hak milik yang sudah tercantum dalam sertifikat.

2. Kontrol atas tanah adalah kegiatan pemanfaatan fungsi ekonomi tanah berdasarkan kepemilikan sertifikat yang dimiliki, dan sekumpulan hak yang melekat pada pemilik tanah. Kontrol atas tanah ini merupakan pilihan pemilik tanah dalam memanfaatkan dan menggunakan tanah yang dimiliki. Kontrol atas tanah dilihat dari sebelum sertifikasi UMK dan sesudah sertifikasi UMK.

3. Prospek usaha adalah nilai usaha UMK di masa mendatang yang menunjukkan usaha yang positif dan menguntungkan, dilihat dari perkembangan usaha dan tenaga kerja.

Definisi Operasional

Pengukuran variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada perumusan penjabaran masing-masing variabel tersebut secara operasional. Variabel-variabel tersebut adalah:

1. Tingkat kepemilikan tanah dilihat dari sebelum bersertifikat UMK dan sesudah bersertifikat. Tingkat kepemilikan tanah tinggi ketika seseorang telah memiliki bukti kepemilikan kuat dan sah yang tercantum pada sertifikat, sedangkan tingkat kepemilikan tanah rendah ketika seseorang belum memiliki sertifikat dan hanya memiliki alat bukti tanah tradisional seperti girik, leter C, atau akta.

2. Tingkat jual adalah tingkat peralihan tetap kepemilikan tanah dari pemilik (penjual) kepada pihak lain (pembeli) dengan sejumlah syarat tertentu. Pengukuran:

a. kepemilikan sertifikat dianggap sebagai investasi, b. terdapat keinginan menjual tanah UMK,

c. terdapat pihak yang menghubungi PMK terkait penjualan tanah, dan d. terdapat pihak yang menawar tanah UMK untuk dijual.

Jumlah pertanyaan mengenai tingkat jual adalah 4, dengan skor 1 untuk jawaban tidak dan skor 2 untuk jawaban ya. Total skor minimun setiap individu adalah 1x4 = 4 dan skor maksimumnya adalah 2x4 = 8. Setelah skor minimum dan skor maksimum diketahui, maka jarak intervalnya adalah (8-4)/2 = 2. Oleh karena itu, dapat diketahui skor tingkat penjualan tanah, sebagai berikut:

• Skor 4-6 = tingkat jual tanah UMK rendah • Skor 7-8 = tingkat jual tanah UMK tinggi

(29)

17 Tingkat penjualan tanah UMK dilihat dari sebelum sertifikasi dan sesudah sertifikasi dengan nilai rendah atau tinggi pada masing-masing periode tersebut. Setelah penetapan nilai kategori tinggi atau rendah, kemudian dilihat perubahan tingkat jual sebelum dan sesudah sertifikasi apakah memiliki perubahan naik, turun, atau tetap. Perubahan adalah perbedaan nilai tingkat jual dari sebelum sertifikat hingga sesudah sertifikat UMK. Perubahan naik jika terdapat perubahan dari rendah ke tinggi, sedangkan perubahan turun jika perubahannya dari tinggi ke rendah. Sementara perubahan tetap berarti tidak ada perubahan, misalnya dari rendah ke rendah atau dari tinggi ke tinggi.

3. Tingkat sewa adalah tingkat pemindahkuasaan sementara akibat adanya perjanjian antara pemilik dengan pihak lain (penyewa), dengan membayar sejumlah uang (sewa) secara teratur selama periode tertentu.

Pengukuran:

a. terdapat keinginan menyewakan tanah UMK,

b. terdapat pihak yang menghubungi pmk terkait penyewaan tanah, c. terdapat pihak yang menawar tanah umk untuk disewa, dan d. terdapat tanah UMK yang disewa.

• Nilai : 1 = tidak; 2 = ya • Skor 4-6 = tingkat sewa tanah UMK rendah • Skor 7-8 = tingkat sewa tanah UMK tinggi

Tingkat penyewaan tanah UMK dilihat dari sebelum sertifikasi dan sesudah sertifikasi dengan nilai rendah atau tinggi pada masing-masing periode tersebut. Setelah penetapan nilai kategori tinggi atau rendah, kemudian dilihat perubahan tingkat sewa sebelum dan sesudah sertifikasi apakah memiliki perubahan naik, turun, atau tetap. Perubahan adalah perbedaan nilai tingkat sewa dari sebelum sertifikat hingga sesudah sertifikat UMK. Perubahan naik jika terdapat perubahan dari rendah ke tinggi, sedangkan perubahan turun jika perubahannya dari tinggi ke rendah. Sementara perubahan tetap berarti tidak ada perubahan, misalnya dari rendah ke rendah atau dari tinggi ke tinggi.

4. Tingkat gadai adalah tingkat kredit jangka pendek guna memenuhi kebutuhan dana yang harus dipenuhi pada saat itu juga dengan menggunakan barang jaminan berupa sertifikat UMK atau bukti kepemilikan lainnya kepada perbankan atau koperasi.

Pengukuran:

a. pengetahuan tentang sertifikat atau bukti kepemilikan tanah dapat diagunkan,

b. pengetahuan mengenai lembaga yang dapat menerima agunan sertifikat atau bukti kepemilikan tanah,

c. pernah menggadai dengan jaminan sertifikat atau bukti kepemilikan tanah, dan

d. pernah menggadai dengan jaminan surat berharga lain selain sertifikat atau bukti kepemilikan tanah.

• Nilai : 1 = tidak; 2 = ya • Skor 4-6 = tingkat gadai tanah UMK rendah • Skor 7-8 = tingkat gadai tanah UMK tinggi

(30)

18

Seperti halnya dengan tingkat jual dan sewa, tingkat gadai tanah UMK dilihat dari sebelum sertifikasi dan sesudah sertifikasi dengan nilai rendah atau tinggi pada masing-masing periode tersebut. Setelah penetapan nilai kategori tinggi atau rendah, kemudian dilihat perubahan tingkat gadai sebelum dan sesudah sertifikasi apakah memiliki perubahan naik, turun, atau tetap. Perubahan adalah perbedaan nilai tingkat gadai dari sebelum sertifikat hingga sesudah sertifikat UMK. Perubahan naik jika terdapat perubahan dari rendah ke tinggi, sedangkan perubahan turun jika perubahannya dari tinggi ke rendah. Sementara perubahan tetap berarti tidak ada perubahan, misalnya dari rendah ke rendah atau dari tinggi ke tinggi. 5. Tingkat kontrol atas tanah adalah akumulasi total skor dari tingkat jual,

sewa, dan gadai tanah sertifikat UMK. Jumlah pertanyaan mengenai tingkat jual, sewa, dan gadai masing-masing adalah 4 sehingga 3x4 = 12, dengan skor 1 untuk jawaban tidak dan skor 2 untuk jawaban ya. Total skor minimun setiap individu adalah 1x12 = 12 dan skor maksimumnya adalah 2x12 = 24. Setelah skor minimum dan skor maksimum diketahui, maka jarak intervalnya adalah (24-12)/2 = 6. Oleh karena itu, dapat diketahui skor tingkat kontrol atas tanah sebagai berikut:

• Skor 12-18 = tingkat kontrol atas tanah UMK tinggi • Skor 19-24 = tingkat kontrol atas tanah UMK rendah

Tingkat kontrol atas tanah UMK dilihat dari sebelum sertifikasi dan sesudah sertifikasi dengan nilai rendah atau tinggi pada masing-masing periode tersebut. Pemilik tanah sama-sama memiliki kontrol atas tanah, baik pada kategori rendah ataupun tinggi. Hal ini karena pemilik telah memiliki kewenangan atas tanah dalam bentuk kepemilikan sertifikat. Namun, perbedaan kontrol tinggi atau rendah ini dilihat dari perbedaan perlakuan pemilik atas tanah yang dikuasainya. Tingkat kontrol tinggi menunjukkan bahwa pemilik tidak atau hanya sedikit melakukan kegiatan pemanfaatan tanah, sehingga akumulasi dari tingkat jual, sewa, dan gadai tidak berpeluang terhadap lepasnya hak seseorang atas tanah. Sementara tingkat kontrol rendah menunjukkan bahwa pemilik melakukan pemanfaatan tanah yang lebih besar sehingga akumulasi dari tingkat jual, sewa, dan gadai berpeluang terhadap resiko lepasnya hak seseorang atas tanah. Seseorang memiliki kontrol yang kuat dan kewenangan pilihan dalam memanfaatkan tanahnya. Namun, pemanfaatan ini berpeluang juga terhadapnya hilangnya kontrol seseorang atas tanah.

Setelah penetapan nilai kategori tinggi atau rendah, kemudian dilihat perubahan tingkat kontrol atas tanah sebelum dan sesudah sertifikasi apakah memiliki perubahan naik, turun, atau tetap. Perubahan adalah perbedaan nilai kontrol atas tanah dari sebelum sertifikat hingga sesudah sertifikat UMK. Perubahan naik jika terdapat perubahan dari rendah ke tinggi, sedangkan perubahan turun jika perubahannya dari tinggi ke rendah. Sementara perubahan tetap berarti tidak ada perubahan, misalnya dari rendah ke rendah atau dari tinggi ke tinggi.

(31)

19

METODE PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode sensus kepada seluruh penerima program sertifikasi UMK di Kelurahan Loji dan Situ Gede. Penelitian sensus merupakan penelitian yang informasinya dikumpulkan dari seluruh populasi (Singarimbun dan Effendi 1989). Sementara pendekatan kualitatif dilakukan melalui wawancara mendalam dengan pihak informan dan responden.

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi penerima program sertifikasi tanah Usaha Mikro dan Kecil (UMK), yaitu Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, Provinsi Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan beberapa pertimbangan:

1. Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede merupakan dua kelurahan yang pada tahun 2010 ditetapkan sebagai kelurahan penerima sertifikasi tanah UMK yang berada di Kecamatan Bogor Barat, Provinsi Jawa Barat.

2. Kemudahan akses tempat. Hal ini dikarenakan jarak Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede dari Dramaga dapat ditempuh kurang dari 30 menit dengan akses kendaraan umum yang sudah lancar sehingga memudahkan peneliti menuju tempat penelitian untuk mengambil data.

3. Kelurahan Loji mewakili variasi jenis usaha yang lebih beragam sedangkan Kelurahan Situ Gede mewakili variasi jenis usaha yang cenderung dominasi dagang. Selain itu, Kelurahan Loji berada di daerah urban sedangkan Kelurahan Situ Gede berada di daerah rural urban, sehingga kedua daerah ini memiliki karakteristik yang berbeda.

Oleh karena itu, dengan memilih Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede sebagai lokasi penelitian, diharapkan dapat memberi jawaban atas berbagai pertanyaan penelitian yang diajukan. Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan September hingga November 2012. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, pengolahan data dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian.

Teknik Sampling

Kerangka sampling dalam penelitian ini diperoleh dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bogor yaitu sejumlah warga yang terdaftar sebagai penerima program sertifikasi UMK yaitu 25 orang di Kelurahan Loji dan 30 orang di Kelurahan Situ Gede. Teknik pengambilan responden yang digunakan adalah dengan cara sensus, sehingga responden dalam penelitian ini adalah seluruh penerima sertifikasi UMK di Kelurahan Loji dan Situ Gede yang dapat ditemui. Namun, terdapat penerima sertifikat yang dikeluarkan dari responden karena orang tersebut tidak tinggal di tempat tanahnya disertifikatkan sehingga sulit

(32)

20

untuk ditemui dan dijadikan responden. Maka jumlah responden dalam penelitian ini adalah 19 orang di Kelurahan Loji dan 24 orang di Kelurahan Situ Gede, yang merupakan penerima sertifikasi UMK di Kelurahan Loji dan Situ Gede yang dapat ditemui. Teknik pengambilan sensus dipakai dengan tujuan agar dapat memperoleh informasi yang lebih lengkap tentang kondisi sebenarnya. Alasan lainnya mengapa metode ini digunakan yaitu jumlah populasi dianggap tidak terlalu banyak. Data responden penelitian pada Kelurahan Loji dan Situ Gede dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil kuesioner yang dilakukan dengan wawancara langsung kepada responden. Selain itu, dilakukan pula wawancara mendalam dengan menggunakan panduan pertanyaan kepada informan. Informan adalah pihak yang memberikan keterangan tentang diri sendiri, keluarga, pihak lain dan lingkungannya. Pemilihan informan dilakukan secara purposive dengan teknik snow ball (teknik bola salju). Snow ball technique adalah cara penentuan informan dari satu informan ke informan lainnya yang dilakukan pada saat penelitian dilaksanakan, hingga dicapai sejumlah informan yang dianggap dapat merepresentasikan berbagai informasi yang dibutuhkan. Informan kunci yang dipilih yaitu aparatur desa, Petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bogor, dan pegawai bank terkait. Pemilihan aparatur desa sebagai salah satu informan kunci didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam hal ini pihak pemerintah desa mengetahui tentang perkembangan masyarakat di desanya. Petugas BPN Kota Bogor dilibatkan atas dasar bahwa pihak-pihak tersebut berpotensi untuk memberikan informasi terkait pelaksanaan sertifikasi UMK. Sementara itu, pegawai bank dilibatkan atas dasar bahwa pihak-pihak tersebut mewakili lembaga yang memberikan kredit usaha kepada sektor UKM. Responden didefinisikan sebagai pihak yang memberi keterangan tentang diri dan kegiatan yang dilaksanakannya. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede yang menerima sertifikasi UMK dan dapat ditemui. Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah individu, karena kepemilikan sertifikat lebih bersifat pribadi.

Selain data primer, dalam penelitian ini juga digunakan data-data sekunder. Data sekunder diperoleh dari studi literatur, yang sumbernya berasal dari berbagai arsip atau dokumen-dokumen Kantor Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede, arsip Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bogor, teks book maupun buku-buku penelitian yang berhubungan dengan sertifikasi UMK, dan pemanfaatan tanah.

Kelurahan Loji dan Kelurahan Situ Gede merupakan kelurahan yang menerima program sertifikasi UMK di Kecamatan Bogor Barat. Program tersebut berupa kegiatan pensertifikatan tanah bagi PMK yang biayanya disubsidi dari APBN. Hal ini menyebabkan adanya pengaruh positif antara kepemilikan sertifikat dengan kontrol atas tanah.

(33)

21 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data hasil kuesioner terhadap responden diolah secara statistik deskriptif dengan menggunakan Microsoft Excel 2007. Tidak dimungkinkannya penggunaan software lain karena jumlah responden kurang dari 30 pada masing-masing kelurahan. Prosesnya dimulai dari proses editing, coding, scoring, entry, dan analisis data. Analisis data dilakukan secara statistik deskriptif dengan menggunakan tabulasi frekuensi dan tabulasi silang yang disesuaikan dengan kebutuhan penelitian dan ketersediaan data. Statistik deskriptif merupakan statistik yang menggambarkan sekumpulan data secara visual dimana dapat dilakukan dalam dua bagian yaitu dalam bentuk gambar dan tulisan. Statistik deskriptif digunakan untuk menggambarkan data berupa tabel, baik tabulasi silang (crosstab) maupun tabulasi frekuensi.

Selain analisis data kuantitatif, dilakukan pula analisis data secara kualitatif sebagai pendukung dengan mengutip hasil wawancara mendalam dengan responden atau informan dan disampaikan secara deskriptif guna mempertajam hasil penelitian. Adanya pengutipan hasil wawancara ini dapat membantu dalam pengkajian secara mendalam fenomena di lapangan melalui pendeskripsian yang lebih rinci, jelas, dan akurat. Data kualitatif tersebut diolah melalui tiga tahap analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis antar variabel yang konsisten.

(34)
(35)

23

PROFIL DESA

Pada bab ini akan diuraikan mengenai profil lokasi penelitian, yang pertama mengenai profil Kelurahan Loji dan yang kedua mengenai profil Kelurahan Situ Gede. Penjelasan profil masing-masing kelurahan akan dibagi menjadi beberapa sub bab. Sub bab yang pertama adalah mengenai kondisi ekologi, sub bab kedua membahas mengenai struktur demografi dan daya dukung. Sementara pada sub bab ketiga menguraikan mengenai peluang jasa dan ekonomi lokal.

Profil Kelurahan Loji Kondisi Ekologi

Kelurahan Loji terdiri dari 13 RW dan 50 RT yang secara administrasi terletak di Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kelurahan Loji memiliki luas 115.002 Ha dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

a. utara berbatasan dengan Kelurahan Sindang Barang, b. selatan berbatasan dengan Kelurahan Gunung Batu, c. barat berbatasan dengan Desa Ciomas Rahayu, dan d. timur berbatasan dengan Kelurahan Menteng.

Kelurahan Loji berjarak 6 Km dari pusat pemerintahan kecamatan, 3 Km dari pemerintahan Kota Bogor, dan 144 Km dari ibukota Provinsi Jawa Barat. Akses transportasi menuju kelurahan ini mudah, karena letaknya berada di samping jalan protokol yang menghubungkan antara Kota Bogor dengan Kabupaten dan wilayah di sekitarnya. Keadaan jalan di Kelurahan Loji sudah cukup baik dimana jalan-jalan yang menghubungkan kelurahan dengan wilayah sekitar sudah beraspal ataupun bersemen. Namun, jalan yang terdapat dalam gang-gang luasnya sangat sempit dan hanya dapat dimasuki oleh kendaraan beroda dua ataupun jalan kaki. Fasilitas kendaraan umum sudah memadai yaitu berupa angkutan kota (angkot) yang beroperasi setiap hari selama hampir 24 jam.

Penggunaan lahan di Kelurahan Loji digunakan untuk pemukiman, persawahan, perkebunan, perkantoran, dan prasarana umum lainnya. Secara topografi daerah ini didominasi oleh dataran dengan ketinggian 300 m dpl. Curah hujan rata-rata yaitu 300-400 mm per tahun, sedangkan suhu rata-rata 23-30 °C.

Menurut salah satu petugas kelurahan, status pertanahan di Kelurahan Loji sudah banyak yang telah bersertifikat dengan persentase sekitar 60%. Sementara sisanya, mayoritas masih berupa girik ataupun akta jual beli. Sudah cukup berkembangnya kepemilikan sertifikat di kelurahan ini mungkin disebabkan oleh keadaan penduduk yang tergolong mampu sehingga dapat mengurus sertifikatnya sendiri. Hal tersebut bisa dilihat dari keberadaan beberapa komplek perumahan di kelurahan ini yang dinilai sebagai golongan yang dapat dikatakan mampu secara ekonomi. Namun, selisih persentase kepemilikan sertifikat dengan yang belum bersertifikat tidak begitu jauh perbedaannya, sehingga masih diperlukan upaya mendorong masyarakat agar memiliki sertifikat. Salah satu program fasilitasi di Kelurahan Loji yaitu sertifikasi UMK yang ditujukan bagi Pengusaha Mikro dan Kecil (PMK). Kegiatan perekonomian di Loji cukup berkembang terlihat dari

Gambar

Gambar 1  Lingkup hubungan-hubungan agrarian
Gambar 2  Kerangka pemikiran
Tabel 2  Sebaran penduduk Kelurahan Loji berdasarkan kategori umur  No  Kategori umur (tahun)  Jumlah (jiwa)
Tabel 3 menunjukkan bahwa sumber penghasilan utama sebagian besar  penduduk Loji bekerja sebagai karyawan perusahaan baik swasta, BUMN,  maupun BUMD, yaitu sebesar 59.71%
+3

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Perumahan negara atau yang biasa sering dikenal sebagai perumahan dinas adalah perumahan yang disediakan oleh negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan

Citeureup, Sentul Utara, Sentul Selatan, Bogor, Bogor 2, Ciawi dan Ciawi 2 Cabang Jagorawi Paket 2 Tahun 2017 (lelang ulang), kami sampaikan undangan tersebut di atas sebagai

Tujuan dari penulisan tulisan ini adalah: (1) menganalisa proses pemasaran yang terjadi dalam hotel; (2) membangun model data warehouse dan perangkat analitik yaitu tekait

Surat A nda telah kami terima dengan baik. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama pada kata, seperti keterangan, catatan , dan misalnya yang didahului oleh pernyataan

pada saat terbentuknya Persero sebagai pengganti Pertamina, badan usaha milik negara tersebut wajib mengadakan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana untuk melanjutkan

Pengujian masuk ke sistem bertujuan untuk verifikasi pengguna merupakan pemilik, dokter atau petugas yang dapat masuk ke sistem. Pengguna yang dapat masuk ke sistem adalah

Pada hari ini Selasa tanggal Dua Puluh Satu bulan Juni tahun Dua Ribu Enam Belas kami Pokja Pekerjaan Konstruksi Dana Alokasi Khusus (DAK) Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten

Sehubungan dengan seleksi umum Jasa Konsultansi pada Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Medan Tahun Anggaran 2014 untuk pekerjaan Konsultan Supervisi