• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Penanganan Perkara Kartel dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Antitrust Law di Amerika Serikat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perbandingan Penanganan Perkara Kartel dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Antitrust Law di Amerika Serikat"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

“Perbandingan Penanganan Perkara Kartel dalam Hukum Persaingan

Usaha di Indonesia dan Antitrust Law di Amerika Serikat”

Nur Ana Wijayanti, Ditha Wiradiputra (Pembimbing)

Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, Depok, 16424, Indonesia

E-mail:  kimihana81@gmail.com    

Abstrak

Penanganan perkara kartel merupakan bagian dari penegakan hukum persaingan usaha. Di Indonesia, penanganan perkara kartel yang dilakukan oleh KPPU memiliki banyak permasalahan terutama berkenaan dengan pembuktian kartel yang masih sulit dan kewenangan KPPU sebagai penegak hukum persaingan usaha. Sedangkan negara lain seperti Amerika Serikat telah melakukan penanganan perkara kartel dengan lebih baik. Untuk itu, penelitian ini akan membahas perbandingan penanganan perkara kartel di Indonesia dengan Amerika Serikat. Melalui perbandingan tersebut, penulis mengungkapkan berbagai hal dalam penanganan perkara kartel di Amerika Serikat yang dapat diaplikasikan di Indonesia antara lain penggunaan circumstantial evidence, penerapan program leniency, dan kewenangan upaya paksa oleh lembaga penegak hukum persaingan usaha. Kata kunci: kartel, penanganan perkara, hukum persaingan usaha, antitrust law.

“Comparison of the Handling of Cartels Case in Competition Law in Indonesia and Antitrust Law in the United States”

Abstract

The handling of cartel case is part of the enforcement of competition law. In Indonesia, the handling of cartel cases which is conducted by the KPPU has several problems, especially in connection with the difficulty of proving of cartel and the authority of the KPPU as a competition law enforcement agency. Whereas, other countries such as the United States has had the handling of cartel cases better. Therefore, this research will discuss the comparison of the handling of cartel case in Indonesia and the United States. Through this comparison, the authors explain several things from the handling of cartel case in United States that can be applied in Indonesia, among others, the use of circumstantial evidence, the application of leniency programs, and the authority of competition law enforcement agencies to do forceful measures.

Keywords: cartel, case handling, competition law, antitrust law.

PENDAHULUAN

Persaingan usaha memberikan dampak positif pada pelaku usaha dan konsumen. Dengan persaingan usaha, para pelaku usaha akan melakukan efisiensi produksi dan memotivasi diri untuk mengembangkan inovasi terhadap produk atau jasa yang mereka pasarkan. Kemudian, penggunaan sumber daya dapat dilakukan dengan lebih produktif dan

(2)

konsumen akan mendapatkan apa yang diinginkan. Namun, pelaku usaha bisa mendapat kerugian apabila harus terus menekan ongkos produksi untuk dapat menurunkan harga dalam rangka meraih konsumen. Dengan kemungkinan kerugian tersebut, para pelaku usaha akan mencoba mengadakan kesepakatan di antara sesamanya untuk memperoleh keuntungan agar tidak terjadi penurunan harga yang dapat merugikan mereka. Salah satu bentuk kesepakatan yang dilakukan adalah kartel. Istilah kartel dapat pula diartikan sebagai kesepakatan, kolusi, konspirasi atau persekongkolan yang dilakukan oleh pelaku usaha.

Terdapat beberapa definisi mengenai kartel, dalam salah satu literatur, kartel didefinisikan sebagai perjanjian pengaturan antara pelaku usaha dalam pasar yang sama dengan tujuan untuk meningkatkan keuntungan mereka.1 Dalam Black’s Law Dictionary, kartel merupakan “a combination of producers or sellers that join together to control a product’s production or price”.2 Dengan demikian, kartel merupakan persekongkolan jahat antara para pelaku usaha dalam suatu pasar yang bersangkutan untuk menekan persaingan usaha yang wajar, dengan tujuan untuk meraih keuntungan.

Sedangkan tindakan yang dilakukan kartel dapat meliputi, antara lain : price fixing, market atau customer allocation, restrain production, bid rigging, dan group boycott. 3 Hal-hal ini mengakibatkan dampak negatif seperti, antara lain : menimbulkan persaingan yang tidak sehat atau menimbulkan hambatan dalam persaingan usaha, juga dapat menyebabkan barrier to entry untuk pelaku baru atau lainnya, dan eksploitasi terhadap konsumen.

Pengaturan hukum mengenai kartel yang ada di Indonesia diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Berbeda dengan Indonesia, pengaturan mengenai kartel di Amerika Serikat telah dimulai sejak tahun 1890 dengan munculnya Sherman Antitrust Act of 1890. Kemudian berlanjut dengan berbagai pengaturan seperti, antara lain, Clayton Act, dan Robinson Patman Act. Di samping pengaturan mengenai adanya kartel, aspek penanganan perkara kartel merupakan hal yang penting dalam penegakan hukum persaingan usaha. Di Indonesia, lembaga yang berwenang untuk menangani masalah kartel adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sedangkan, di Amerika Serikat, terdapat dua badan penegak antitrust law yaitu the Antitrust Division of the Department of Justice (DOJ) dan The Federal Trade Commission (FTC).                                                                                                                          

1 Eleanor M Hadley, Antitrust in Japan, (New Jersey: Princeton University Press, 1970), hal. 357.

2 Bryan.A Garnier, Black’s Law Dictionary, cet.8, (St.Paul Minnesota: West Publishing Co., 2004), hal.

751.

3 Rikrik Rizkiyana, et al., “Catatan Kritis Terhadap Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia”,

(disampaikan dalam Lokakarya Penelitian Komisi Hukum Nasional RI Tahun 2011 “Penegakan Hukum

Persaingan Usaha: Kajian terhadap Hukum Acara dan Pelaksanaan Putusan KPPU”, Jakarta, 20 Oktober 2011),

(3)

Hal inilah yang menjadikan penegakan antitrust law di Amerika Serikat lebih unik daripada negera lainnya.

Permasalahan mengenai kartel, merupakan salah satu permasalahan dalam hukum persaingan usaha yang dianggap serius oleh KPPU. Terhadap hal tersebut KPPU telah membuat Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 UU No.5/1999. Pedoman tersebut menekankan penjelasan tentang pembuktian dalam perkara kartel.4 Selain itu, pedoman tersebut juga mengatur indikator awal identifikasi kartel yang dapat terjadi melalui faktor struktural dan faktor perilaku.5 Dalam pelaksanaan penanganan perkara kartel oleh KPPU terdapat beberapa permasalahan yang cukup penting. Antara lain terkait dengan kelembagaan KPPU itu sendiri. Permasalahan lainnya adalah mengenai kewenangan KPPU baik saat menyidik atau memutus perkara. Selanjutnya, terdapat pula permasalahan dalam hal pembuktian kartel oleh KPPU yang dirasakan masih sulit.

Lebih lanjut, terdapat pula perbedaan metode pendekatan yang digunakan dalam penanganan kartel di beberapa Negara dengan Indonesia. Di beberapa negara lain, kartel telah berkembang ke arah per se illegal karena adanya konsekuensi ekonomi negatif yang akan terjadi dengan adanya suatu tindakan. Bahkan, di beberapa negara di dunia, kartel sudah mengarah pada tindakan kriminal.6 Namun di Indonesia, kartel masih menggunakan pendekatan rule of reason. Hal ini memberikan implikasi pada penanganan kartel di Indonesia.

Permasalahan yang cukup penting terjadi manakala KPPU telah dengan sah memutus pelaku usaha yang terlibat kartel, namun putusan tersebut dibatalkan melalui mekanisme Keberatan atas Putusan KPPU di Pengadilan Negeri. Dengan alasan yang diberikan adalah bahwa KPPU tidak berhasil membuktikan bukti kesepakatan kartel di antara pelaku usaha. Permasalahan lainnya adalah terkait pembuktian kesepakatan kartel yang dilakukan secara lisan.7 UU No. 5/1999 telah berusaha mengakomodasi kekurangan ini, dikarenakan banyaknya perjanjian kartel yang dilakukan secara lisan. Namun, hal tersebut dimentahkan oleh Pengadilan Negeri dengan alasan ketiadaan bukti tertulis. Pengadilan Negeri tidak menerima indirect evidence yang digunakan oleh KPPU dalam penyelesaian perkara kartel, sehingga dalam Keberatan atas Putusan KPPU, putusan KPPU tersebut dibatalkan. Contoh

                                                                                                                         

4 Hukum Online, “Mengkritisi Draft Pedoman KPPU tentang Kartel”,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bcff9789b44c/talk-hukumonline--discussion, diunduh 3 April 2014.

5 Hukum Online, “Asosiasi Pengusaha Tuntut Term of Conduct Kartel”,

http://202.153.129.35/berita/baca/lt4c51776ed231/asosiasi-pengusaha-tuntut-iterm-of-conducti-kartel, diunduh 3 April 2014.

6 Hukum Online, “Memahami Parameter dan Kasus-Kasus Pelanggaran Kartel di Indonesia”,

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c3d67c1bccf6/seminar-hukumonline-2010, diunduh 2 April 2014.

(4)

terhadap hal ini adalah kasus PT Pzifer dan PT Dexa Media dimana putusan KPPU dibatalkan di tingkat Pengadilan Negeri. Hal ini berbeda dengan Amerika Serikat yang memperbolehkan penggunaan indirect evidence, sehingga bukti tertulis perjanjian bukan lagi menjadi alat bukti utama dalam pembuktian. Hal inilah salah satu yang mendasari perlunya perbandingan penangan kartel di Indonesia dengan Amerika Serikat.

Pembuktian kartel di Amerika Serikat tidak mengharuskan kita untuk menunjukkan bahwa para konspirator mengadakan perjanjian resmi tertulis atau tersurat. Penetapan harga, persekongkolan tender, dan perjanjian kolutif lainnya dapat didapatkan baik oleh bukti langsung maupun dengan bukti tidak langsung seperti tawaran yang mencurigakan, catatan perjalanan dan biaya perjalanan, catatan telepon, dan catatan harian.8 Misalnya dalam kasus Theatre Enterprises, Inc. v. Paramount Film Distributing Corp., 346U.S. 537, 540-41 (1954) dimana bukti yang digunakan adalah economic evidence dengan melihat keadaan pasar.

Penanganan perkara kartel di Amerika Serikat dilakukan secara perdata maupun pidana. Secara pidana, DOJ melakukan penuntutan berupa hukuman denda dan hukuman pidana. Sementara itu, secara perdata, tuntutan dapat diajukan baik oleh DOJ maupun FTC. DOJ memiliki kewenangan yang luas dalam perkara kartel yang berkaitan dengan pidana misalnya melakukan penyadapan dan melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran kartel. DOJ dan FTC melakukan koordinasi antara lain melalui prosedur FTC Clearance.

Apabila diperhatikan lebih lanjut, kewenangan DOJ dan FTC telah diatur dengan lebih jelas dibandingkan KPPU. Dengan demikian, menurut penulis perlu dilakukan analisis untuk membandingkan penanganan perkara kartel di Amerika Serikat dan Indonesia. Hal ini bertujuan untuk melakukan pembahasan mengenai penanganan perkara kartel di Indonesia. Selain itu, penulis juga akan membahas hambatan yang dihadapi KPPU dalam menangani perkara kartel. Analisis ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai sejauh mana perbedaan penanganan kartel di antara kedua negara, dan hal-hal apa sajakah yang perlu diaplikasikan dalam penanganan perkara kartel di Indonesia berdasarkan penanganan di Amerika Serikat.

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana pengaturan adanya kartel dan pengaturan penanganan kartel dalam hukum persaingan usaha di Indonesia berdasarkan UU No. 5/1999 tentang

                                                                                                                         

8 Shriya Luke, Role of Circumstantial Evidence in the Prosecution of Cartels, (Delhi: Amity Law School,

(5)

Larangan praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan Antitrust di Amerika Serikat ?

2. Bagaimana hambatan penanganan perkara kartel yang dihadapi oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)?

3. Bagaimana seharusnya pengaturan dan penanganan kartel di dalam hukum persaingan usaha di Indonesia berdasarkan perbandingan dengan Antitrust di Amerika Serikat?

TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan pengaturan kartel dan pengaturan penanganan perkara kartel dalam UU No. 5/1999 di Indonesia, dan di Amerika Serikat berdasarkan Sherman Antitrust Act, Wilson Tariff Act, Hart-Scott Rodino Act, Clayton Act, Antitrust Civil Process Act, Federal Trade Commission Act, dan Robinson – Patman Act. 2. Menguraikan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh KPPU dalam menangani

perkara kartel di Indonesia.

3. Menjelaskan pengaturan kartel dan penanganan kartel yang seharusnya dapat dilakukan oleh KPPU, dengan meninjau perbandingan penanganan perkara kartel dengan Amerika Serikat.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, bentuk penelitian yang digunakan oleh penulis adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif akan berdasarkan kepada bahan kepustakaan dan juga peraturan perundang-undangan terkait. Bahan pustaka yang dipergunakan adalah bahan pustaka yang berasal dari dalam negeri dan luar negeri. Bentuk penelitian tersebut dipilih oleh penulis untuk memberikan paparan normatif yang berkaitan dengan hukum terkait yang dibahas dalam melakukan penelitian ini. Penelitian yuridis normatif ini diperlukan karena pembahasan mengenai tema kajian bersumber dari bahan-bahan kepustakaan yang ada. Sumber kepustakaan terutama berguna untuk landasan teori terhadap pengaturan kartel hingga penanganan kartel baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat.

Adapun, tipologi penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk menggambarkan kondisi yang ada terkait pengaplikasian hukum di Indonesia dan Amerika Serikat. Penelitian juga akan memberikan penjelasan mengenai perbandingan penanganan kartel dalam hukum persaingan usaha di Indonesia dan Amerika Serikat.

(6)

Selanjutnya, jenis data yang dipergunakan penulis adalah data sekunder, yakni dengan data yang diperoleh dari kepustakaan. Dalam memperoleh data, penulis akan mengambil dari berbagai literatur berupa buku teks, jurnal ilmiah, hingga melalui jurnal atau informasi yang diterbitkan oleh pemerintah. Pembahasan dengan data sekunder dilakukan dengan mendatangi perpustakaan, pusat dokumentasi, dan dari bahan pustaka yang dimiliki oleh penulis.

Adapun jenis bahan hukum yang dipergunakan adalah:

1. Bahan hukum primer yaitu merupakan bahan hukum yang mengikat kepada masyarakat. Terdiri dari:

a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

b. Sherman Antitrust Act. c. Wilson Tariff Act. d. Hart-Scott Rodino Act. e. Clayton Act.

f. Antitrust Civil Process Act. g. Robinson – Patman Act.

h. Federal Trade Commission Act.

2. Bahan hukum sekunder yaitu merupakan bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer. Antara lain merupakan buku, jurnal ilmiah, skripsi dan artikel ilmiah. Buku yang dipergunakan yakni buku-buku mengenai hukum persaingan usaha baik di Indonesia maupun Amerika Serikat terutama yang berkaitan dengan penanganan perkara kartel, serta sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian.

3. Bahan hukum tersier yaitu merupakan bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer atau sekunder. Antara lain kamus ekonomi, kamus hukum, dan ensiklopedia.

Sebagai alat pengumpulan data, penulis menggunakan alat pengumpulan data berupa studi dokumen dan wawancara. Studi dokumen dilakukan dengan menelaah berbagai bahan kepustakaan. Selanjutnya, wawancara dilakukan dengan mewawancarai narasumber yang terkait dengan penelitian ini. Metode analisis data yang digunakan oleh penulis adalah metode kualitatif. Metode ini menghasilkan data deskriptif analitis yang menyatakan mengenai sasaran penelitian yang bersangkutan dengan baik secara tertulis maupun lisan dan berdasarkan perilaku nyata.9 Metode ini dipilih karena data yang digunakan adalah data

                                                                                                                         

(7)

sekunder. Metode ini juga sesuai dengan bentuk penelitian yaitu yuridis normatif yang menelaah bahan-bahan kepustakaan dengan tataran normatif.

Berdasarkan bentuk penelitian sebelumnya, bentuk hasil penelitian yang sesuai adalah deskriptif-analitis. Hasil ini memberikan penggambaran dan penjelasan berdasarkan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini. Hasil penelitian juga diharapkan dapat memberikan gambaran secara lengkap terhadap permasalahan yang diteliti.

PEMBAHASAN

Secara umum, kartel telah diatur hampir di seluruh negara di dunia. Pengaturan kartel yang terdapat di dalam berbagai negara tersebut tidaklah sama namun pada pokoknya peraturan yang terdapat di negara-negara tersebut melarang praktek kartel dan menganggap kartel sebagai perbuatan yang melawan hukum. Terjadinya kesamaan atau perbedaan tersebut disebabkan kondisi sosiologis dan politis yang terjadi pada saat pembentukan regulasi persaingan usaha yang terdapat di negara tersebut, sebab regulasi persaingan usaha sebagai produk hukum tidak lepas dari konfigurasi dan pengaruh politik dan kebijakan pemerintah dari negara yang bersangkutan.10

Bahkan, meskipun telah terdapat persamaan dari regulasi persaingan usaha yang ada diantara negara-negara, tetapi dalam pelaksanaannya dapat terjadi perbedaan. Hal tersebut terjadi disebabkan dua hal yaitu perbedaan karakter sistem perekonomian dan tidak adanya standar interpretasi yang bersifat internasional.11 Begitu pula dengan pengaturan kartel di Indonesia dan Amerika Serikat yang memiliki perbedaan-perbedaan meskipun memiliki pokok yang sama yakni kartel merupakan perbuatan melawan hukum karena dapat menghambat persaingan usaha yang sehat.

Perbedaan pertama dari pengaturan kartel yang terdapat di Indonesia dan Amerika Serikat terletak pada sumber hukum yang digunakan. Pengaturan mengenai hukum persaingan usaha diatur secara spesifik dalam UU No. 5/1999 dan kartel dimuat dalam Pasal 11 UU No. 5/1999. Di samping itu, KPPU juga telah membuat Peraturan KPPU Nomor 04 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 Tentang Kartel. Sedangkan Amerika Serikat menggunakan kumpulan peraturan perundang-undangan yang disebut antitrust law dengan ketentuan yang mengatur kartel dalam 15 U.S. Code § 1 (Section 1 Sherman Act), termasuk

                                                                                                                         

10 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Prakteknya di Indonesia), Cet.1, (Jakarta:

Rajagrafindo Persada, 2010), hal 251.

(8)

pula 15 U.S. Code § 13-14 (Section 2 dan Section 3 Clayton Act), 15 U.S. Code § 8 (Section 73 Wilson Tariff Act), 15 US Code § 13a (Robinson Patman Act). Di samping itu, terdapat beberapa perbandingan lain antara hukum persaingan usaha di Indonesia dan Antitrust Law di Amerika Serikat seperti dijelaskan tabel berikut.

Tabel 1.1 Perbandingan Pengaturan Kartel dalam Hukum Persaingan Usaha dan

Antitrust Law

No. Perbandingan Indonesia Amerika Serikat

1. Dasar Hukum Pasal 11 UU No.5/1999, termasuk

pula Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 22, dan Pasal 24 UU No.5 / 1999.

15 U.S. Code § 1 (Section 1 Sherman Act),

termasuk 15 U.S. Code § 13-14 (Section 2 dan

Section 3 Clayton Act), 15 U.S. Code § 8 (Section 73 Wilson Tariff Act), 15 US Code § 13a (Robinson Patman Act).

2. Sanksi 1. Tindakan Administratif

2. Pidana Pokok

a. Denda 25 miliar rupiah s.d 100 miliar rupiah atau pidana kurungan peng-ganti denda selama - lamanya 6 (enam) bulan. b. Denda 5 miliar rupiah s.d

25 miliar rupiah atau pidana kurungan peng-ganti denda selama - lamanya 5 (lima) bulan. 3. Pidana Tambahan

1. Dalam Section 1 Sherman Act, US$ 100 juta

untuk pelaku yang merupakan perusahaan atau asosiasi dan paling banyak US$ 1 juta untuk pelaku perseorangan dengan maksimum pidana penjara 10 tahun.

2. Dalam U.S. Code § 8 (Section 73 Wilson

Tariff Act) denda minimum US$ 100 hingga

maksimum US$ 5.000. dan ketentuan pidana kurungan minimum 3 bulan atau maksimum 12 bulan.

3. Dalam 15 US Code § 13a (Robinson Patman

Act) denda maksimum US$ 5.000 atau dipenjara

maksimum 1 tahun, atau keduanya bersamaan.

3. Lembaga yang

berwenang

Berdasarkan Pasal 30 UU No.5 / 1999, yang berwenang adalah

KPPU (Komisi Pengawas

Persaingan Usaha).

1. Untuk Sherman Act dan penuntutan pidana yang

berwenang adalah Antitrust Division of

Department of Justice, dapat pula melakukan

penuntutan perdata.

2. Untuk penuntutan perdata dan perlindungan konsumen yang berwenang Federal Trade Commission (Section 45 FTC Act).

Kemudian, setelah melakukan perbandingan penanganan pengaturan kartel di kedua negara, penulis akan melakukan perbandingan penanganan perkara kartel yang terjadi di kedua negara. Lembaga yang berwenang melakukan penanganan perkara kartel di Indonesia

(9)

adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha.12 Dasar pembentukan KPPU adalah Pasal 30 ayat (1) UU No.5/1999. Kemudian, berdasarkan pasal 34 ayat (1) UU No.5/1999, Presiden membuat Keputusan Presiden No.75 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.13

Tahapan penanganan perkara kartel mengikuti tahapan penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha pada umumnya. Beberapa ketentuan yang digunakan dalam penanganan perkara kartel antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

2) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara.

3) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 Kartel UU No.5/1999.

4) Hukum acara perdata untuk ketentuan beracara dalam sidang keberatan atas putusan KPPU.14

Gambar 1.1 Alur Penanganan Perkara Hukum Persaingan Usaha di Indonesia15

                                                                                                                         

12 Indonesia, Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,

UU No. 5 Tahun 1999, LN No.33 Tahun 1999 TLN No. 3817, Pasal 30.

13 Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, Cet.1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal.140.

14 Indonesia, UU No. 5 Tahun 1999, Op.Cit., Pasal 44 ayat (2).

(10)

Tahap penanganan perkara kartel yang dilakukan oleh KPPU mengikuti tahapan penanganan perkara anti persaingan pada umumnya, hanya terdapat perbedaan dalam beberapa hal. Berikut adalah tahapan penanganan perkara kartel oleh KPPU:

(1) Laporan Kepada KPPU bersumber dari pelapor atau atas inisiatif KPPU (2) Penyidikan

(3) Pemberkasan

(4) Pemeriksaan yang terdiri dari pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan (5) Sidang Majelis Komisi

(6) Putusan KPPU

Hasil akhir dari penanganan perkara oleh KPPU adalah putusan KPPU yang berisi sanksi tindakan administratif. Terhadap putusan KPPU dapat diajukan keberatan dengan Keberatan Atas Putusan KPPU yang diajukan kepada Pengadilan Negeri. Setelah melalui keberatan, upaya hukum selanjutnya yang dapat diajukan adalah Banding ke Pengadilan Tinggi, lalu Kasasi ke Mahkamah Agung. Setelah putusan berkekuatan hukum tetap akan dilakukan eksekusi putusan dan monitoring putusan. Terhadap hal ini dapat diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Dalam Perma Pasal 7 ayat (1) No. 03 Tahun 2005 dinyatakan bahwa Permohonan penetapan eksekusi atas putusan yang telah diperiksa melalui prosedur keberatan, diajukan KPPU kepada Pengadilan Negeri yang memutus perkara keberatan bersangkutan. Sedangkan untuk Permohonan penetapan eksekusi putusan yang tidak diajukan keberatan, diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat kedudukan hukum pelaku usaha.16

Dalam melakukan penanganan perkara kartel, pada prakteknya, KPPU seringkali kesulitan mendapatkan bukti tertulis. Karena itu KPPU pernah menggunakan indirect evidence pada perkara perjanjian kartel PT Pfizer dan PT Dexa Media. Namun sayangnya, putusan KPPU akan hal tersebut dibatalkan di pengadilan negeri. Hal ini berbeda dengan Amerika Serikat yang memungkinkan digunakannya indirect evidence tetapi dengan sangat hati-hati untuk perkara kriminal tertentu. Hal tersebut dikarenakan Amerika Serikat tidak mengharuskan pembuktian adanya perjanjian tertulis di antara para pihak dalam memperjanjikan perjanjian kartel. Karena itu, perihal pembuktian ini merupakan salah satu permasalahan yang dialami dalam penegakan perkara kartel di Indonesia. Karena itu, terdapat permasalahan mengenai putusan KPPU yang seringkali dimentahkan oleh Pengadilan Negeri dengan alasan kurangnya alat bukti.

                                                                                                                         

16 Nigrum Natasya Sirait dkk, Ikhtisar Ketentuan Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Nasional Legal

(11)

Permasalahan lainnya yang terdapat dalam penegakan perkara kartel di Indonesia adalah dalam hal kewenangan penyelidikan dan penuntutan yang dimiliki KPPU. Dalam hal penuntutan, KPPU tidak memiliki wewenang seperti Jaksa, dan kewenangan dalam penyelidikan tidak sebesar aparat penegak hukum lain seperti misalnya Kepolisian.

Kemudian, mengenai penanganan perkara kartel di Amerika Serikat. Amerika Serikat memiliki dua badan penegak Antitrust Law yaitu The Antitrust Division of the Department of Justice (AD-DOJ) dan The Federal Trade Commission (FTC). Kedua badan ini memiliki pemisahan wewenang dalam menangani perkara kartel. Karena itu, dalam penegakan hukum terhadap perkara kartel dapat dilakukan dengan tiga cara yakni: (1) Penegakan pidana dan perdata oleh AD-DOJ, (2) Penegakan perdata oleh FTC, dan (3) Tuntutan hukum oleh pihak-pihak terkait untuk tuntutan perdata.

The Antitrust Division of the Department of Justice (AD-DOJ) adalah lembaga yang berada di bawah Departemen Kehakiman Amerika Serikat. Didirikan di bawah masa kepemerintahan Presiden Franklin D. Roosevelt dan Jaksa Agung Homer S. Cummings pada tahun 1933, divisi ini bertanggung jawab untuk menegakkan undang-undang antitrust terutama Section I Sherman Act. The Antitrust Division of the Department of Justice (AD-DOJ) memiliki wewenang terhadap pelanggaran Section I Sherman Act. Tuntutan AD-DOJ diajukan dalam bentuk berupa hukuman denda dan hukuman pidana. Disisi lain, AD-DOJ juga mampu melakukan tuntutan secara perdata. AD-DOJ memiliki kewenangan yang luas dalam tindak pidana perkara kartel, misalnya, penyadapan dan melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran kartel. Kepala AD-DOJ adalah asisten Jaksa Agung untuk antitrust yang ditunjuk langsung oleh Presiden Amerika Serikat.17

The Federal Trade Commission (FTC) dibentuk pada tahun 1914 berdasarkan Federal Trade Commision Act 1914. FTC memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan investigasi serta menindak pelanggaran atas Antitrust Law.18 FTC dapat melakukan tuntutan atas pelanggaran hukum secara perdata dan bersifat saling melengkapi dan koordinasi yang baik dengan AD-DOJ melalui prosedur FTC Clearance. Selain itu, FTC juga bertanggung jawab untuk isu perlindungan konsumen. Pengecualian pembagian antara DOJ dan FTC yakni ketika dampak pelanggaran Section I Sherman Act berkaitan dengan perlindungan konsumen, hal ini dikarenakan DOJ jarang menilai dampak kerugian yang ditimbulkan.

                                                                                                                         

17 Diakses dari http://www.justice.gov/atr/about/division-history.html, tanggal 15 Mei 2014.

18 Diakses dari http://widyagama.ac.id/hukum/wp-content/uploads/2012/02/Sengketa-

(12)

Menurut undang-undang, baik DOJ maupun FTC keduanya memiliki tanggung jawab dalam penegakan hukum antitrust di Amerika Serikat. DOJ menangani semua kasus kriminal yang berkaitan dengan antitrust. Keduanya juga melakukan pembagian yang baik dalam jalur industri. FTC memiliki keahlian dalam hal jasa professional, makanan dan tenaga. DOJ secara khas menangani ruang lingkup telekomunikasi, komputer dan bahan kimia.19

Gambar 1.2 Alur Penanganan Perkara Antitrust di Amerika Serikat

Pada dasarnya, tahapan investigasi kasus kartel di Amerika Serikat adalah:20 1) Mencari dan mengevaluasi keluhan antitrust.

2) Merekomendasikan Pemeriksaan Pendahuluan. 3) Melaksanakan Pemeriksaan Pendahuluan. 4) Melaksanakan Penyelidikan Dewan Juri.

5) Melengkapi Penyelidikan dan Merekomendasi Gugatan Perdata atau Pidana. Setelah melalui serangkaian penyelidikan, maka akan dilanjutkan ke tahap pengadilan. Tahap persidangan dijalankan dengan prosedur persidangan pada umumnya, namun untuk kasus tertentu dapat dimintakan putusan awal (Preliminary Injunction). Setelah melalui persidangan pertama, dapat diajukan banding (Apellate Court), kemudian dapat dilanjutkan ke Supreme Court.

Sebagai catatan dalam penanganan perkara oleh Divisi, dapat dijalankan program leniency baik terhadap perusahaan maupun individu. Untuk program leniency untuk                                                                                                                          

19 Ping Lin, Baldev Raj, Michael Sandfort, dkk, The US Antitrust System And Recent Trends In Antitrust

Enforcement, diunduh dari http://www.ln.edu.hk/econ/staff/ plin/JES-us%20antitrust%20system.pdf, tanggal 16

Mei 2014.

20 US Department of Justice, Antitrust Division, Antitrust Division Manual, Fifth Edition, Last Updated

March 2014, Chapter III. Investigation and Case Development, hal. III-1 – III-4. Mencari dan Mengevaluasi Keluhan Antitrust Pemeriksaan Pendahuluan Rekomendasi Pemeriksaan Pendahuluan Proses Pengadilan Tingkat Pertama Rekomendasi Gugatan Perdata dan/atau Tuntutan Pidana Penyelidikan Dewan Juri Upaya Hukum Pengadilan di Appelate Court Upaya Hukum Pengadilan di Supreme Court

(13)

perusahaan, terbagi menjadi dua bagian yakni tipe A dan tipe B. Terakhir, terdapat pula program leniency yang diberikan untuk direktur maupun pegawai perusahaan. Kebijakan leniency tersebut terdapat dalam Leniency Program Document of 1993 untuk korporasi dan Leniency Program Document of 1994 untuk individual.

Kemudian, dalam hal pembuktian, pembuktian dalam penanganan perkara kartel di Amerika Serikat dapat menggunakan baik bukti langsung (direct evidence) seperti rekaman kesaksian, maupun juga bukti tidak langsung (indirect evidence atau circumstantial evidence) seperti tawaran yang mencurigakan, catatan perjalanan dan biaya perjalanan, catatan telepon, dan catatan harian. 21 Sedangkan untuk circumstantial evidence terbagi menjadi dua yakni jenis bukti yang tergolong “communication” dan economic evidence. Terdapat dua jenis economic evidence yaitu struktur pasar yang sedemikian rupa sehingga layak untuk membuat adanya kartel, dan pasar berperilaku dalam cara yang non-kompetitif.22

Selanjutnya, dikenal pula pembuktian dengan “Harga Paralelisme”. Penerapan terhadap economic evidence dan Harga Paralelisme ini dapat ditemukan dalam kasus Theatre Enterprises, Inc. v. Paramount Film Distributing Corp., 346 U.S. 537, 540-41 (1954) yang menggunakan perilaku bisnis, dan Bell Atlantic Corp. v. Twombly yang menggunakan harga paralelisme.23 Dalam kasus terbaru, United States v. Apple, Inc., Hachette Book Group, Inc., HarperCollins Publishers L.L.C., Verlagsgruppe Georg Von Holtzbrinck GmbH, Holtzbrinck Publishers, LLC d/b/a Macmillan, the Penguin Group, a Division of Pearson PLC, Penguin Group (USA), Inc., and Simon & Schuster, Inc., Divisi (DOJ) juga menggunakan circumstantial evidence untuk membuktikan adanya skema kartel yang diatur oleh Apple Inc. untuk menghindari persaingan dengan Amazon.

Berbagai hal tersebut, mendukung efektifitas dari penanganan perkara kartel di Amerika Serikat. Berdasarkan statistik terbitan DOJ terlihat bahwa DOJ telah menangani rata-rata 54 kasus untuk setiap tahunnya, dengan total 541 kasus dari tahun 2004-2013. 24 Dengan rata-rata hukuman penjara yang diberikan sebanyak 25 bulan untuk tahun 2010-2013. 25

Berdasarkan pembahasan tersebut, penulis akan melakukan perbandingan penanganan perkara kartel di antara kedua negara. Pada dasarnya dalam perbandingan perkara penanganan kartel di Indonesia dengan Amerika Serikat terdapat perbedaan - perbedaan yang akan

                                                                                                                         

21 Shriya Luke, Role of Circumstantial Evidence in the Prosecution of Cartels, (Delhi: Amity Law

School, 2012), hal. 37.

22 Ibid., hal. 37.

23 Ibid., hal. 38.

24 US Department of Justice, Antitrust Division, Criminal Enforcement: Fine and Jail Charts, Through

Fiscal Year 2013, diunduh dari http://www.justice.gov/atr/public/criminal/264101.html, tanggal 11 Juni 2014.

(14)

menjadi pembahasan utama, yaitu (1) Perbedaan lembaga yang menangani, (2) Perbedaan kewenangan lembaga yang menangani, (3) Perbedaan tahapan penanganan perkara kartel, (4) Perbedaan adanya penerapan program leniency, (5) Perbedaan sanksi yang diterapkan, dan (6) Perbedaan alat bukti yang dipakai. Perbedaan yang pertama yakni terletak pada lembaga yang berwenang menangani perkara kartel. Di Indonesia, lembaga yang berwenang menangani kartel adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai lembaga yang independen dan bertanggungjawab kepada Presiden. Sedangkan di Amerika Serikat, lembaga yang berwenang menangani perkara kartel ada dua yakni The Antitrust Division of Department of Justice U.S (AD-DOJ) dan Federal Trade Commission (FTC).

Perbedaan yang kedua terletak pada kewenangan lembaga yang menangani perkara kartel. KPPU di Indonesia tidak dapat melakukan upaya paksa seperti penggeledahan dan penyadapan yang sebenarnya dibutuhkan untuk mengungkapkan adanya kartel. Hal ini berbeda dengan AD-DOJ yang dapat melakukan upaya paksa, sebagai contohnya terhadap laporan dari program leniency, AD-DOJ dapat melakukan penggeledahan yang diperlukan.

Perbedaan yang ketiga terletak pada tahapan penanganan perkara kartel. Perbedaan penting dalam hal ini adalah bahwa di Indonesia, pemeriksaan lanjutan telah memberikan putusan KPPU yang mengenakan hukuman untuk pelaku usaha yang melanggar, sedangkan di Amerika Serikat hasil penyelidikan Dewan Juri akan dilanjutkan ke persidangan (litigation).

Perbedaan lain dari hasil putusan KPPU dan putusan pengadilan di Amerika Serikat terkait perkara kartel adalah dalam hal sanksi yang diterapkan. Di Amerika Serikat, sama dengan di berbagai negara di seluruh dunia, kartel dianggap sebagai perbuatan kriminal. Karena itu, hukuman yang dijatuhkan selain denda adalah pidana penjara yang diberikan maksimal 10 tahun untuk pelanggaran Pasal 1 Sherman Act. Hal ini berbeda dengan KPPU yang hanya menjatuhkan sanksi administratif berupa hukuman denda, dan meskipun terdapat sanski pidana berupa denda belum diatur mekanisme penuntutan pidana dengan jelas. Selain itu sanksi pidana penjara hanya dijatuhkan sebagai pidana pengganti denda.

Perbedaan lain dalam tahapan penanganan perkara adalah bahwa di Amerika Serikat terdapat program leniency yang dapat dilakukan baik sebelum atau setelah pemeriksaan pendahuluan dilakukan. Program leniency ini memberikan amnesti untuk pihak yang melaporkan adanya tindakan pelanggaran antitrust law. Saat ini, KPPU sedang mengembangkan wacana pentingnya program leniency dalam menangani perkara kartel karena di Amerika Serikat hal ini terbukti efektif.

Perbedaan terakhir terdapat dalam alat bukti yang dapat digunakan untuk perkara kartel. Di Indonesia, hanya dapat diterima penggunaan direct evidence berupa petunjuk, keterangan

(15)

saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen, dan keterangan pelaku usaha. Meskipun KPPU pernah menggunakan indirect evidence, namun hal tersebut tidak diterma saat diajukan upaya keberatan di pengadilan negeri, maka putusan KPPU tersebut dibatalkan. Hal ini berbeda dengan Amerika Serikat yang menggunakan direct evidence dan circumstancial evidence. Serta dapat pula menggunakan economic evidence, dan terdapat plus factor dari evidence. Hal ini menjadikan penanganan perkara kartel di Amerika Serikat berjalan lebih efektif ketimbang yang dilakukan oleh KPPU.

Kemudian, dalam melakukan penanganan perkara kartel terdapat berbagai hambatan yang dihadapi oleh KPPU antara lain:

1. KPPU tidak dapat melakukan upaya paksa seperti penggeledahan. 2. Kekuatan eksekusi dari putusan KPPU.

3. ketentuan menyangkut prosedur penerapan sanksi pidana dan penegakan perdata dalam UU No.5/1999 tidak diatur secara jelas, dan tidak diatur apakah pelaksanaan putusan KPPU dapat menghilangkan sifat pidana pelanggaran dan dapat menutup peluang penyidik untuk melakukan penyidikan.

4. Kesulitan dalam memperoleh alat bukti, dan kesulitan dalam menggunakan circumstantial evidence telah menghambat pelaksanaan putusan KPPU karena kerapkali dibatalkan di tingkat pengadilan negeri.

Berdasarkan hal tersebut, berdasarkan perbandingan penanganan perkara kartel dan permasalahan penanganan kartel di Indonesia dalam bagian sebelumnya, penulis melakukan analisis terhadap perbandingan dan menyampaikan hasil analisis berikut. Pertama mengenai lembaga yang menangani perkara kartel di Indonesia adalah KPPU, sedangkan di Amerika Serikat oleh The Antitrust Division of Department of Justice U.S (AD-DOJ) bersama dengan Federal Trade Commission (FTC). Kedua terkait dengan kewenanganan lembaga penegak penanganan perkara kartel, KPPU tidak dapat melakukan upaya paksa sedangkan AD-DOJ di AS dapat melakukan berbagai upaya paksa seperti penggeledahan dan penyitaan.  26

Ketiga, menyangkut tahapan penanganan perkara kartel di Indonesia dan AS. Menurut penulis, dalam hal ini lebih baik menggunakan tahapan di Amerika Serikat yang melanjutkan ke tahap penuntutan pidana atau perdata di persidangan.  Untuk penerapan tahapan seperti itu di Indonesia, dalam hal penuntutan, KPPU harus bekerja sama dengan Kejaksaan. Dengan adanya tahapan penuntutan pidana di Pengadilan Negeri diharapkan dapat mengurangi jumlah putusan KPPU terkait perkara kartel yang dibatalkan dalam tahap keberatan atas putusan

                                                                                                                         

(16)

KPPU di Pengadilan Negeri. Selain itu, hal ini juga dapat memberikan hukuman yang lebih jelas di samping sanksi administratif yang dapat diberikan oleh KPPU. Kelima terkait dengan penerapan program leniency.

Dalam tahapan penanganan kartel di Amerika Serikat dikenal program leniency yang belum terdapat di Indonesia. Program tersebut telah diterapkan di banyak negara yang telah mengatur hukum persaingan usaha. Di Amerika Serikat, program leniency telah dijalankan sejak tahun 1993 oleh AD-DOJ. Program leniency ini terbilang efektif karena saat ini pelanggar antitrust yang memasuki program leniency tercatat pada tingkat sekitar dua pelaku per bulan, bahkan program leniency juga berperan dalam kasus-kasus besar di AS.27 Keberhasilan program leniency disebabkan perusahaan dapat menghindari semua hukuman pidana (baik untuk dirinya sendiri dan petugas dan karyawan) untuk pelanggaran antitrust, asalkan perusahaan memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian dengan AD-DOJ.28 Karena itu, program leniency memiliki tujuan utama untuk menghapuskan tuntutan pidana.

KPPU telah mencoba menerapkan program leniency tersebut dengan memasukan ketentuan leniency di dalam Draft Perkom No. 4 Tahun 2010, namun dalam Perkom No. 4 Tahun 2010 yang telah disahkan, ketentuan mengenai leniency tersebut dihapuskan. Beberapa alasan yang mendasari belum dimasukannya ketentuan mengenai program leniency adalah belum adanya kewenangan untuk melakukan program leniency dalam UU No.5/1999, dan masih dibahasnya mengenai waktu terbaik untuk mengajukan leniency yakni apakah sebelum atau setelah penyelidikan dilakukan. Namun demikian, penggunaan program leniency sebenarnya diperlukan karena KPPU tidak dapat melakukan upaya paksa untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan sehingga sulit mendapatkan alat bukti yang diperlukan. Karena itu, menurut penulis, seharusnya program leniency ini dapat diterapkan dalam penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia.

Analisis selanjutnya yang akan dibahas oleh penulis adalah dalam hal pembuktian yang dilakukan oleh KPPU. Penggunaan circumstantial evidence di Indonesia untuk membuktikan perkara kartel belum diterima dengan baik, padahal penggunaan economic evidence yang merupakan bagian dari circumstantial evidence merupakan bukti penting untuk membuktikan kepatuhan para pelaku usaha atas perjanjian kartel yang mereka sepakati. KPPU pernah

                                                                                                                         

27 Joseph Harrington, Corporate Leniency Programs and the Role of the Antitrust Authority in Detecting

Collusion, Fair Trade Commission of Japan International Symposium: Towards an Effective Implementation of

New Competition Policy 23–24 (Jan. 31, 2006), available at

http://www.econ.jhu.edu/People/Harrington/Tokyo.pdf diakses dari https://www.academia.edu /156239/Paper

tanggal 11 Juni 2014, hal. 6.

28 U.S. Departement of Justice, Antitrust Division Corporate Leniency Policy (1993), diunduh dari

(17)

menggunakan bukti price parallelism dalam perkara kartel harga minyak goreng, namun putusan tersebut dibatalkan oleh pengadilan negeri. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan circumstantial evidence untuk perkara kartel di Indonesia belum diterima dengan baik. Padahal penggunaan circumstantial evidence dalam berbagai perkara kartel di Amerika Serikat terbukti efektif dapat membuktikan adanya kartel.

Dengan demikian, penggunaan circumstantial evidence sangat diperlukan untuk digunakan dalam pembuktian perkara kartel. Penggunaan circumstantial evidence oleh lembaga yang menangani perkara kartel merupakan hal yang penting untuk keberhasilan pembuktian perkara kartel yang ada. Karena itu, sebaiknya KPPU juga memiliki kewenangan untuk dapat menggunakan circumstantial evidence dalam menanganani perkara kartel.

KESIMPULAN

Simpulan dapat diambil setelah penulis melakukan pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Beberapa kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut:

1. Ketentuan yang mengatur mengenai larangan kartel di Indonesia adalah Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Peraturan Komisi No. 4 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 Tentang Kartel. Sedangkan di Amerika Serikat, ketentuan yang mengatur larangan kartel dimuat dalam 15 U.S. Code § 1 (Section 1 Sherman Act), termasuk pula 15 U.S. Code § 13-14 (Section 2 dan Section 3 Clayton Act), 15 U.S. Code § 8 (Section 73 Wilson Tariff Act), dan 15 US Code § 13a (Robinson Patman Act). Kemudian, untuk penanganan perkara kartel, Antitrust Division of Department of Justice U.S mempunyai beberapa Manual Guideline seperti Antitrust Division Manual of 2005, Leniency Program Document of 1993 dan Leniency Program Document of 1994. 2. Komisi Pengawas dan Persaingan Usaha (KPPU) memiliki beberapa hambatan di

dalam menangani perkara kartel. Pertama, KPPU tidak berwenang melakukan upaya paksa seperti penggeledahan dan penyitaan alat bukti. Selain itu, KPPU tidak memiliki kewenangan untuk menghadirkan paksa pelaku usaha untuk diperiksa. Kedua, KPPU tidak dapat mengeksekusi putusannya sendiri. Untuk dapat melakukan pemaksaan pelaksanaan putusan, KPPU dapat mengajukan permohonan penetapan eksekusi putusan KPPU ke Pengadilan Negeri. Ketiga, ketentuan menyangkut prosedur penerapan sanksi pidana dalam UU No.5/1999 tidak diatur secara jelas, dan UU No.5/1999 tidak mengatur secara jelas mengenai penegakan hukum secara perdata.

(18)

Keempat, dalam UU No.5/1999 tidak diatur apakah pelaksanaan putusan KPPU dapat menghilangkan sifat pidana pelanggaran dan dapat menutup peluang penyidik untuk melakukan penyidikan. Dan kelima, KPPU seringkali mengalami kesulitan dalam memperoleh alat bukti langsung berupa perjanjian kartel, sedangkan penggunaan circumstantial evidence belum diterima karena kerapkali dibatalkan di tingkat pengadilan negeri.

3. Dalam menangani perkara kartel, seharusnya hukum persaingan usaha di Indonesia mengaplikasikan beberapa ketentuan dan program yang diterapkan di Amerika Serikat. Pertama, KPPU seharusnya memiliki kewenangan untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan alat bukti seperti yang dapat dilakukan Antitrust Division of Department of Justice of U.S (AD-DOJ) di AS. Kedua, sebaiknya Indonesia mengaplikasikan tahapan penanganan perkara kartel di AS yang meneruskan penyelidikan dewan juri ke penuntutan pidana dan/atau penegakkan perdata. Ketiga, seharusnya KPPU dapat melaksanakan program leniency seperti yang terdapat di AS dalam penanganan kartel di Indonesia dengan menambahkan ketentuan program leniency dalam perubahan atau amandemen UU No.5/1999. Keempat, dalam menangani perkara kartel seharusnya bukti circumstancial evidence dapat digunakan oleh KPPU. Akhirnya kelima, peraturan mengenai pidana penjara untuk pelaku kartel harus diubah menjadi lebih berat, dan pidana penjara dan pidana denda dapat dikenakan secara bersamaan untuk para pelaku kartel.

SARAN

Berdasarkan pembahasan dalam bagian-bagian sebelumnya dan kesimpulan di atas, maka penulis mengajukan beberapa saran berkaitan dengan penanganan perkara kartel di Indonesia, yaitu:

1. Untuk KPPU, KPPU seharusnya lebih memperhatikan ketentuan yang ada dalam menangani perkara kartel sehingga dapat mengatasi hambatan yang ada dan dapat mengurangi jumlah putusan KPPU yang dibatalkan di tingkat pengadilan negeri. Kemudian, KKPU juga harus meningkatkan kemampuan sumber daya manusia di KPPU untuk dapat melakukan analisa ekonomi yang baik.

2. Untuk peraturan terkait kartel, saat ini sudah diperlukan amandemen terhadap UU No. 5/1999, sebab telah terdapat beberapa ketentuan yang harus ditambahkan dan diubah dari undang-undang tersebut. Dalam melakukan

(19)

amandemen UU No. 5/1999, pembuat undang-undang seharusnya mengaplikasikan beberapa ketentuan yang ada di Amerika Serikat. Misalnya, penambahan ketentuan penggunaan circumstantial evidence sebagai alat bukti, ketentuan penerapan program leniency, dan perubahan ketentuan pidana sanksi dan penjara menjadi lebih berat.

3. Untuk pelaku usaha, pelaku usaha harus sedapat mungkin menghindari praktek kartel dengan sesama pelaku usaha lainnya, sebab hal tersebut dapat meniadakan persaingan dan juga merugikan konsumen serta pelaku usaha lain. Apalagi, saat ini kartel telah dianggap sebagai tindak kriminal, terutama kartel pangan dianggap sebagai kejahatan extraordinary, sehingga pelaku usaha harus menghindari praktek kartel dengan pelaku usaha lain.

DAFTAR REFERENSI

Aryani, Christina. (2010). Studi Komparatif Leniency Program untuk Pembuktian Kartel dan Antitrust Law di Amerika Serikat dan Antimonopoly Law di Jepang. Tesis Magister Hukum, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

Garnier, Bryan. A. Black’s Law Dictionary. (Cet.8). St.Paul Minnesota: West Publishing Co. Hadley, Eleanor. M. (1970). Antitrust in Japan. New Jersey: Princeton University Press. Harrington, Joseph. (2014). Corporate Leniency Programs and the Role of the Antitrust

Authority in Detecting Collusion, Fair Trade Commission of Japan International Symposium: Towards an Effective Implementation of New Competition Policy 23–24 (Jan. 31, 2006), available at http://www.econ.jhu.edu/People/Harrington/Tokyo.pdf Accessed on 11 June 2014 from https://www.academia.edu /156239/Paper.

Hukum Online. (2014). “Mengkritisi Draft Pedoman KPPU tentang Kartel”, Accessed on 3 April 2014 from http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bcff9789b44c/talk-hukumonline-discussion.

Hukum Online. (2014) “Asosiasi Pengusaha Tuntut Term of Conduct Kartel”. Accessed on 3 April 2014 from http://202.153.129.35/berita/baca/lt4c51776ed231/asosiasi-pengusahatuntut-iterm-of-conducti-kartel.

Hukum Online. (2014) “Memahami Parameter dan Kasus-Kasus Pelanggaran Kartel di

Indonesia”. Accessed on 2 April 2014 from

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4c3d67c1bccf6/seminar-hukumonline-2010. Indonesia, Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat, UU No. 5 Tahun 1999, LN No.33 Tahun 1999 TLN No. 3817.

Lin, Ping dkk, The US Antitrust System And Recent Trends In Antitrust Enforcement, Accessed on 16 May 2014 from http://www.ln.edu.hk/econ/staff/plin/JES-us%20antitrust%20system.pdf.

(20)

Luke, Shriya. (2012). Role of Circumstantial Evidence in the Prosecution of Cartels. Delhi: Amity Law School.

Margono, Suyud. (2009). Hukum Anti Monopoli. (Cet.1). Jakarta: Sinar Grafika.

Moleong, Lexy J. (1993). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.Rizkiyana, Rikrik et al., (2011). “Catatan Kritis Terhadap Hukum Acara Persaingan Usaha di Indonesia”, disampaikan dalam Lokakarya Penelitian Komisi Hukum Nasional RI Tahun 2011 “Penegakan Hukum Persaingan Usaha: Kajian terhadap Hukum Acara dan Pelaksanaan Putusan KPPU”, Jakarta, 20 Oktober 2011. Rokan, Mustafa Kamal. (2010). Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Prakteknya di

Indonesia). (Cet.1). Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Sirait, Nigrum Natasya dkk. (2009). Ikhtisar Ketentuan Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Nasional Legal Reform Program.

Universitas Widyatama. Jurnal Hukum: Yustisia Edisi 80 Tahun XXI Mei-Agustus 2010. Accesed on 15 May 2014 from http://widyagama.ac.id/hukum/wp-content/uploads/2012/02/Sengketa-kewenangan-Jurnal-Yustisi-UNS.pdf.

US Department of Justice, Antitrust Division, Antitrust Division Manual, Fifth Edition, Last Updated March 2014, Chapter III. Investigation and Case Development, hal. 1 – III-4.

US Department of Justice, Antitrust Division, Criminal Enforcement: Fine and Jail Charts,

Through Fiscal Year 2013, Accessed on 11 June 2014 from

http://www.justice.gov/atr/public/criminal/264101.html.

U.S. Departement of Justice, Antitrust Division Corporate Leniency Policy (1993), Accessed on 11 June 2014 from http://www.usdoj.gov/atr/public/guidelines/0091.pdf.

Gambar

Tabel  1.1  Perbandingan  Pengaturan  Kartel  dalam  Hukum  Persaingan  Usaha  dan  Antitrust Law
Gambar 1.1 Alur Penanganan Perkara Hukum Persaingan Usaha di Indonesia 15
Gambar 1.2 Alur Penanganan Perkara Antitrust di Amerika Serikat

Referensi

Dokumen terkait

(sosiaalihuollon palvelutehtäväluokitus) havaittavissa merkittäviä maantieteellisiä eroja. Sosiaalihuollon palvelutehtävät, kunkin palvelutehtävän sisältämät sosiaalipalvelut

Perawatan orangtua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikan merupakan faktor yang sangat

yang menggunakan model pembelajaran connected mathematics project dan kelas kontrol yaitu kelas XI IPS yang menggunakan pembelajaran konvensional, hasilnya siswa yang

Penjadwalan merupakan kumpulan kebijaksanaan dan mekanisme di sistem operasi yang berkaitan dengan urutan kerja yang dilakukan sistem

Peraturan Gubernur Sulawesi Barat Nomor 13 Tahun 2015.. Tentang Rencana Kerja Pemerintah Daerah

STRATEGI PENUGASAN DAN ASESMEN PORTOFOLIO UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN SERTA MENGETAHUI SIKAP SISWA.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Kemampuan pemahaman matematis merupakan salah satu tujuan penting dalam pembelajaran, memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan hanya

kekurangan gizi; (b) Lingkungan keluarga, masyarakat dan sekolah yang kurang menguntungkan bagi anak, yang akan menghambat perkembangan sosial, psikologis dan