• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. budaya Jawa. Hal tersebut karena sebelum masuknya Islam, masyarakat Jawa pada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. budaya Jawa. Hal tersebut karena sebelum masuknya Islam, masyarakat Jawa pada"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya yaitu budaya Arab. Awal masuknya Islam ke Indonesia, dirasakan umat Islam sulit membedakan ajaran Islam dan budaya Jawa. Hal tersebut karena sebelum masuknya Islam, masyarakat Jawa pada umumnya adalah penganut animisme dan dinamisme sebagai pemeluk agama Hindu dan Buddha. Perkembangan agama Islam di Jawa berhadapan dengan budaya lokal yang masih ada kepercayaan animisme dan dinamisme dan banyak pengaruh dari unsur ajaran Hindu dan Buddha.

Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang mayoritas beragama Islam dan belum dapat meninggalkan tradisi dan budaya Jawa. Ada tradisi yang masih dipegang teguh tanpa bertentangan dengan ajaran Islam, adapula tradisi yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang memegang ajaran Islam tentunya dapat memilih mana budaya Jawa yang dapat dipertahankan tanpa harus bertentangan dengan ajara-ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman agama Islam yang kuat, lebih banyak menjaga warisan leluhur dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pulau Jawa selalu terbuka bagi siapapun yang masuk. Orang Jawa terkenal dengan ramah tamah sejak dahulu dan menjalin kerjasama dengan siapapun. Agama Islam masuk ke Jawa sebagaimana Islam datang ke Malaka, Sumatra dan Kalimantan. Kebudayaan Jawa tidak lepas dari pengaruh dan peran para Walisongo yang menyebarkan agama Islam

(2)

2 di Jawa. Dengan demikian, agar agama Islam bisa diterima dalam kehidupan masyarakat Jawa, para Walisongo menyebarkan agama Islam salah satunya melalui media kesenian. Media kesenian dipilih karena orang Jawa sangat menyukai kesenian dan orang Jawa memiliki berbagai kesenian yang telah mengakar kuat dalam kehidupannya.

Sikap Islam yang akomodatif dalam menerima unsur budaya Jawa telah mengantarkan Islam sebagai agama yang banyak dianut oleh masyarakat Jawa. Melalui media kesenian, sehingga Islam bisa bertahan hingga sekarang ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai kesenian telah mengakar kuat sebagai tradisi dalam masyarakat. Tanpa adanya akomodasi, berbagai benturan dan gesekan akan terasa kuat dalam kehidupan masyarakat. Islam di Jawa telah membawa harmonisasi dalam kehidupan masyarakat.

Kebudayaan merupakan sebuah ekspresi kehidupan sosial. Dalam hal ini, kebudayaan dapat berupa kesenian yang didalamnya terdapat suatu karya yang baik dalam bentuk khususnya seni tari. Karya tersebut merupakan hasil dari kreasi manusia yang diolah sesuai dengan kemampuan dan untuk tujuan tertentu. Fungsi dari karya tersebut antara lain sebagai alat untuk menguasai atau beradaptasi dengan lingkungan. Selain itu, kebudayaan dapat berupa serangkaian institusi yang didalamnya berisi simbol, nilai, keyakinan, kebiasaan yang terkait dengan kehidupan manusia. Nilai-nilai tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk membuat penilaian terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial. Oleh karena itu, kesenian termasuk kebudayaan yang tinggi maka tidak mengherankan bahwa kesenian selalu digunakan oleh manusia untuk mengungkapkan relasinya dengan Sang Pencipta-Nya.

Kesenian adalah manifestasi dari kebudayaan sebagai hasil karya cipta manusia meliputi seni tari, seni musik dan lain-lain. Dengan perwujudan melalui kesenian tari,

(3)

3 gamelan, atau tembang tradisional, manusia mengharapkan bahwa kekuatan adikodrati tersebut senantiasa melindungi mereka. Bentuk kesenian yang merupakan bagian dari upacara adat kemudian berkembang menjadi kesenian tradisional salah satunya adalah jathilan. Pertumbuhan dan perkembangan kesenian rakyat tidak lepas dari masyarakat sebagai pendukungnya. Hampir disetiap daerah di Indonesia mempunyai kesenian rakyat yang menggambarkan ciri khas daerah setempat dan latar belakang sejarah yang berbeda.

Jathilan adalah jenis tarian yang selalu dilengkapi dengan prop tari yang berupa kuda kepang yang lazimnya dipertunjukan sampai klimaks yang berupa keadaan tidak sadar pada salah satu penarinya (Soedarsono, 1976: 10). Seseorang yang memainkan jathilan, bisa dianggap mengalami trance atau ndadi dan pada saat trance itulah kesadaran dirinya dikuasai oleh “alam lain”. Beralihnya kesadaran diri tersebut mengakibatkan seseorang tidak sadar atas perilaku yang ia lakukan misalnya makan sajen, mengupas kelapa dengan menggunakan gigi, makan pecahan kaca, minum air yang ditaruh dalam ember dan lain-lain.Para pemain jathilan yang mengalami trance disebabkan adanya praktik mistis yang dilakukan pawang jathilan.

Jathilan merupakan salah satu kesenian yang sudah sangat lama berkembang di masyarakat Jawa dan bila ditelusuri latar belakang sejarahnya termasuk tarian yang paling tua di Jawa. Adapun kelompok-kelompok jathilan di Daerah Istimewa Yogyakarta masih dapat ditelusuri keberadaannya. Hampir disetiap Kabupaten di Yogyakarta dapat di jumpai kelompok jathilan, salah satunya di Kabupaten Bantul tepatnya di Dusun Srunggo 1.

Kelompok jathilan “Kudho Rumekso” merupakan nama kelompok jathilan yang ada di Dusun Srunggo 1, Selopamioro, Imogiri, Bantul. Kelompok jathilan “Kudho Rumekso” mampu menampilkan akulturasi budaya Jawa dan Islam yang dapat dilihat pada saat prosesi pertunjukan dan amalan yang dilakukan para pemain jathilan. Wujud

(4)

4 akulturasi budaya Jawa dan Islam seperti doa yang digunakan menggunakan doa islam dan mantra Jawa. Adapun praktek islam (praktek laku puasa, wirid dan dzikir) dan praktek kejawen dilakukan oleh pemain jathilan. Selain terdapat akulturasi budaya Jawa dan Islam, adapula akomodasi islam dalam jathilan. Akomodasi Islam dapat dilihat pada lirik lagu yang dinyanyikan pada saat pertunjukan. Pada saat pertunjukan lagu-lagu Jawa yang bernuansa Islam dinyanyikan untuk mengiringi pemain ketika akan masuk pada adegan trance. Islam mengakomodasi jathilan melalui lirik lagu yang digunakan kelompok jathilan tersebut. Adapun doa yang digunakan pawang menggunakan doa Islam yang dipadukan dengan mantra Jawa.

Kelompok jathilan “Kudho Rumekso” hingga saat ini masih melestarikan jathilan karena mereka menganggap bahwa jathilan merupakan warisan nenek moyang dan harus terus disimpan serta ditampilkan dalam berbagai acara. Di zaman yang semakin modern ini kita tahu banyak orang yang sudah meninggalkan tradisi-tradisi Jawa apalagi hal-hal yang berhubungan dengan mistis dan banyak orang sudah mulai mengikuti budaya-budaya yang lebih modern. Oleh karena itu, kesenian jathilan harus tetap dijaga karena jathilan memiliki ciri khas dalam setiap pertunjukannya, melekat pada budaya dan kehidupan masyarakat. Kelompok jathilan “Kudho Rumekso” mudah ditelusuri keberadaannya karena kelompok jathilan ini masih aktif dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan jathilan. Selain itu, anggota kelompok jathilan “Kudho Rumekso” ini juga mudah untuk diajak wawancara seputar jathilan sehingga penulis mudah dalam mendapatkan data yang berhubungan dengan penelitian.

Dusun Srunggo 1 merupakan salah satu Dusun yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan masih menjalankan tradisi-tradisi Jawa. Aktifitas yang berbau mistis dapat dilihat pada saat ritual yang dilakukan pawang dan pada saat prosesi pertunjukan. Masyarakat Dusun Srunggo 1 menjalankan kegiatan-kegiatan keagamaan dengan baik,

(5)

5 namun masyarakat masih percaya terhadap hal-hal yang berhubungan dengan mistis dan dengan mistis tersebut senantiasa untuk memanggil roh-roh halus yang tujuannya untuk trance. Masyarakat Dusun Srunggo 1 bisa dikatakan sebagai penganut agama Islam abangan karena masyarakat Dusun Srunggo 1 meskipun masih menjalankan syariat Islam namun mereka tetap melaksanakan budaya-budaya Jawa juga masih mempercayai dan melakukan hal-hal yang berbau dengan mistis.

Praktik mistis yang ada dalam jathilan sebagai wujud akulturasi budaya Jawa dengan Islam yang kemudian diterima oleh masyarakat melalui proses akomodasi. Kelompok jathilan “Kudho Rumekso” ini bukan hanya menjadi hiburan masyarakat semata, namun didalamnya terdapat hal mistis dan berkaitan dengan Islam dalam setiap prosesi pertunjukannya. Kelompok jathilan “Kudho Rumekso” sangat populer di luar wilayah Dusun Srunggo 1. Adanya pertunjukan jathilan, menandakan bahwa masyarakat masih menjaga dan melestarikan kesenian jathilan sebagai proses pewarisan kepada generasi berikutnya.

B. RUMUSAN MASALAH

Berangkat dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana proses pewarisan kesenian jathilan di Dusun Srunggo 1?

2. Bagaimana akomodasi Islam dengan praktik mistis pada kesenian jathilan di Dusun Srunggo 1?

(6)

6 C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui proses pewarisan kesenian jathilan di Dusun Srunggo 1 sehingga jathilan masih bertahan hingga saat ini.

2. Untuk mengungkapkan bahwa kelompok jathilan “Kudho Rumekso” di Dusun Srunggo 1 mampu menunjukan akomodasi Islam kaitannya dengan hal yang berbau mistis yang dapat dilihat pada prosesi pertunjukan jathilan.

Adapun kegunaan atau manfaat dari penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Untuk memberikan gambaran sebagai bentuk pelestarian budaya Jawa, menambah pengetahuan dan wawasan kepada masyarakat luas mengenai kesenian jathilan yang ada di Dusun Srunggo 1, Selopamioro, Imogiri, Bantul, DIY.

2. Untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa kesenian jathilan tidak hanya sebagai tontonan dan hiburan semata, namun didalamnya terdapat unsur yang berkaitan dengan Islam.

3. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian berikutnya yang sejenis.

(7)

7 D. TINJAUAN PUSTAKA

Beberapa tulisan mengenai jathilan telah banyak yang menulis bahkan beberapa literatur telah banyak membicakan mengenai kesenian jathilan. Hal ini karena sampai saat ini kesenian jathilan masih eksis keberadaanya dan masih dipertahankan oleh masyarakat khususnya Dusun Srunggo 1. Oleh karena itu, meskipun telah banyak yang menulis terkait dengan jathilan akan tetapi masing-masing memiliki sudut pandang yang berbeda-beda dalam menganalisis tema.

Skripsi karya Zaenal Arifin pada tahun 2010 dengan judul Akulturasi Islam dan Budaya Lokal Pada Tradisi Kesenian Jathilan di Dusun Tegalsari, Desa Semin, Kecamatan Semin, Gunung Kidul. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana prosesi keseluruhan dari kesenian jathilan yang ada di Dusun Tegalsari, Desa Semin, Kecamatan Semin, Gunungkidul. Bentuk-bentuk akulturasi apa saja yang ada di dalam kesenian jathilan ini, serta untuk mengetahui reaksi masyarakat dengan adanya kesenian jathilan di daerah mereka dan apa fungsi kesenian ini bagi mereka. Penelitian yang dilakukan oleh Zaenal Arifin bersifat deskriptif kualitatif dengan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan, metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumenter. Hasil dari penelitian Zaenal Arifin adalah pada jathilan “Putra Manunggal” memperlihatkan bentuk akulturasi yang terdapat pada kesenian jathilan dengan Islam yang terlihat pada amalan-amalan dan aturan-aturan yang harus dilakukan, seperti perpaduan antara wirid dan mantra dan juga praktik laku (puasa). Selain itu, pada prosesi pertunjukkan jathilan terdapat perpaduan antara syair lagu khas jathilan dengan syair religius. Dalam penelitian Zaenal Arifin juga menjelaskan fungsi kesenian jathilan bagi masyarakat Dusun Tegalsari yaitu sebagai sarana hiburan, sebagai sarana interaksi sosial dan sebagai sarana promosi daerah wisata.

(8)

8 Penelitian yang telah dilakukan oleh Zaenal Arifin tentunya berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penelitian Zaenal Arifin mengkaji mengenai bentuk akulturasi yang terdapat pada kesenian jathilan dengan Islam. Hal tersebut jelas berbeda dengan penelitian ini mengenai bentuk akomodasi Islam yang berkaitan dengan praktik mistis pada kesenian jathilan. Persamaan skripsi ini dengan skripsi Zaenal adalah membahas bentuk akulturasi islam dengan menggunakan teori akulturasi dari J.Powel. Teori akulturasi J.Powel digunakan untuk menjelaskan akulturasi Islam dan budaya lokal pada kesenian jathilan.

Skripsi Ratih Karim Astuti pada tahun 2015 dengan judul Unsur Magis Dalam Jatilan dan Relevansinya Terhadap Pemahaman Akidah (Studi Kasus di Desa Wonorejo, Kec. Pringapus, Kab. Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui unsur magi dan roh yang terdapat dalam jathilan, untuk mengungkapkan bahwa permainan kesenian jathilan mengandung unsur-unsur magis dan pengaruhnya terhadap akidah Islam para pelakunya dan untuk mengetahui adanya kelebihan dan kelemahan dalam kesenian jathilan. Penelitian yang dilakukan oleh Ratih Karim Astuti bersifat kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian lapangan (field research) yang bertempat di Desa Wonorejo, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang. Teknik pengumpulan data yang digunakan menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi sebagai data primer dan data sekunder yang diambil dari buku-buku yang relevan. Hasil penelitian Ratih Karim Astuti menunjukan bahwa terdapat aspek magi “kesurupan” yang merupakan teori kesadaran manusia khas Jawa, sehingga kesadaran manusia berada dibawah kendali makhluk gaib. Keberadaan roh ada dalam perilaku jathilan. Hal ini dikarenakan adanya magi yang melekat dalam jathilan. Fenomena tersebut menimbulkan pengaruh pada akidah para pelaku jathilan, yang dapat digunakan sebagai metode pembuktian adanya alam gaib

(9)

9 yang mampu memperkuat keimanan seseorang, namun apabila aqidahnya tidak kuat maka jatuh pada musyrik.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Ratih Karim Astuti jelas berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penelitian Ratih Karim Astuti lebih menitikberatkan pada aspek magis dan akidah para pelaku jathilan. Penelitian yang dilakukan penulis lebih menitikberatkan pada akomodasi Islam dengan praktik mistis pada jathilan. Persamaan skripsi ini dengan skripsi Ratih Karim yaitu sama-sama membahas mengenai aspek magis dan roh dalam jathilan.

Skripsi karya Martina Catur Nugraheni pada tahun 2014, dengan judul Analisis Sosiologi Budaya dalam Kesenian Tradisional Jathilan Tri Tunggal Muda Budaya Dusun Gejiwan, Desa Krinjing, Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan prosesi dan urutan tari dalam pertunjukan kesenian tradisional jathilan “Tri Tunggal Muda Budaya”, untuk mengetahui persepsi masyarakat Dusun Gejiwan, Desa Krinjing terhadap kesenian tradisional jathilan “Tri Tunggal Muda Budaya” dan untuk menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kesenian tradisional jathilan “Tri Tunggal Muda Budaya”. Penelitian yang dilakukan oleh Martina Catur Nugraheni bersifat kualitatif sehingga menghasilkan data deskriptif. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian Martina Catur Nugraheni memperlihatkan prosesi pertunjukan jathilan “Tri Tunggal Muda Budaya” (meliputi gladi bersih, kepung tumpeng, membaca doa, tetabuhan dan obong menyan) dan urutan tarian dalam pertunjukan kesenian tradisional jathilan “Tri Tunggal Muda Budaya” (meliputi empat periode yaitu periode tarian pembuka, periode tarian inti, periode tarian puncak dan periode tarian penyembuhan penari yang kesurupan). Selain itu, penelitian Martina Catur Nugraheni juga memperlihatkan persepsi masyarakat Dusun Gejiwan, Desa Krinjing terhadap kesenian

(10)

10 tradisional jathilan “Tri Tunggal Muda Budaya”. Kesenian tradisional jathilan “Tri Tunggal Muda Budaya” juga mengandung nilai-nilai pendidikan yang meliputi nilai agama, nilai sosial atau kemasyarakatan dan nilai budi pekerti atau kesusilaan.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui proses pewarisan kesenian jathilan di Dusun Srunggo 1 sehingga jathilan masih bertahan hingga saat ini, mengungkapkan bahwa kelompok jathilan “Kudho Rumekso” di Dusun Srunggo 1 mampu menunjukan akomodasi Islam kaitannya dengan hal yang berbau mistis yang dapat dilihat pada saat prosesi pertunjukan jathilan. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif.

E. KERANGKA KONSEPTUAL

Proses pewarisan yang dilakukan oleh kelompok jathilan “Kudho Rumekso” menjadi bukti bahwa masyarakat masih melestarikan kesenian jathilan warisan leluhur. Pengenalan mengenai kesenian jathilan harus dilakukan sejak dini. Oleh karena itu, keluarga, masyarakat, lembaga adat dan lembaga agama memiliki pengaruh besar terhadap keberlanjutan kesenian tersebut. Masyarakat kemudian mencari cara apa saja yang bisa dilakukan agar kesenian tersebut tidak hilang seiring berjalannya waktu.

Cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mempertahankan jathilan menjadi hal yang dikaji dalam penelitian ini. Batasan proses pewarisan dalam penelitian ini adalah cara apa saja yang dilakukan oleh masyarakat agar jathilan tetap eksis hingga masa mendatang. Teori pewarisan budaya dipilih untuk menganalisis cara yang dilakukan masyarakat untuk melestarikan kesenian tersebut.

(11)

11 Budaya dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui proses pembudayaan (proses belajar budaya). Pewarisan budaya adalah suatu proses, perbuatan atau cara mewarisi budaya masyarakatnya. Proses pewarisan budaya dapat dilakukan melalui proses belajar yaitu sosialisasi, internalisasi dan enkulturasi.

a. Sosialisasi

Proses sosialiasi bersangkutan dengan proses belajar kebudayaan dalam hubungannya dengan sistem sosial. Dalam proses sosialisasi itu, seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam berinteraksi sosial dengan segala macam individu disekitarnya yang memiliki beraneka macam status, peran dan pranata sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Robert Lawang (dalam Elly M.Setiadi dan Usman Kolip, 2011: 167), membagi sosialisasi menjadi 2 macam yaitu sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer dimana seorang anak dibekali pengetahuan tentang orang-orang yang berada di lingkungan sosial sekitarnya melalui interaksi seperti dengan ayah, ibu, kakak dan anggota keluarga lainnya. Sosialisasi sekunder dimana seorang individu akan memperoleh berbagai pengalaman dari lingkungan sosial yang memiliki perbedaan bentuk atau pola-pola kelakuan yang ada diantara lingkungan sosial dan keluarganya. Pada fase ini, anak mulai melakukan identifikasi terutama mengenai pola-pola dilingkungan sosial diluar lingkungan keluarganya. Menurut Koentjaraningrat (1990:232), individu dalam masyarakat yang berbeda-beda akan nengalami proses sosialisasi yang berbeda, karena proses sosialisasi itu banyak ditentukan oleh susunan kebudayaan dan lingkungan sosial yang bersangkutan.

Sejak kecil anak harus diberi pengetahuan mengenai cara mewarisi budaya Jawa termasuk kesenian jathilan ini. Hal tersebut dapat diperoleh dari lingkungan

(12)

12 pertama kali dimana anak tersebut lahir yaitu lingkungan keluarga. Jika tidak diberi pengetahuan, memungkinkan generasi muda acuh dan tidak peduli dengan budayanya sendiri sehingga teori pewarisan budaya berperan dalam menentukan cara apa saja yang ditempuh oleh masyarakat Dusun Srunggo 1 untuk mempertahankan kesenian tersebut.

b. Internalisasi

Menurut Koentjaraningrat (1990:228), internalisasi merupakan proses yang berlangsung sepanjang hidup individu yaitu mulai dari lahir hingga akhir hayatnya. Sepanjang hayatnya individu terus belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu serta emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya. Proses internalisasi terjadi sejak anak-anak dilahirkan dari kandungan ibunya. Sejak saat itu anak mulai memahami gejala-gejala kehidupan yang ada disekitarnya melalui proses informal yang tanpa disengaja. Pada fase berikutnya, anak mengidentifikasi peran orang-orang yang lebih kuat yaitu masyarakat. Melalui proses internalisasi yang lebih luas ini, anak mempelajari peran-peran sosial didalam kesatuan fungsional mengenai peran siapakah yang harus melakukannya. Dengan mengetahui peran tersebut, pada akhirnya ia akan mengetahui tingkah laku mana yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Artinya, jika tindakan yang dilakukannya diterima oleh masyarakat berarti tindakan tersebut diperbolehkan. Sebaliknya, jika tindakan tersebut ditolak oleh masyarakat berarti tindakan tersebut tidak diperbolehkan.

Sejak kecil anak diajarkan untuk mencintai berbagai macam budaya Jawa yang ada di Dusun Srunggo 1 seperti Kirab Jodang (tradisi jodangan), Muludan, Ruwahan dan Tradisi Nyadran. Selain itu, anak juga diajarkan untuk mencintai seni jathilan yang merupakan salah satu kesenian yang dimiliki oleh masyarakat.

(13)

13 Berawal dari kecintaan dan peduli terhadap budaya Jawa tersebut ketika ada budaya baru yang masuk sehingga anak tidak acuh dan tidak meninggalkan begitu saja. Dengan demikian, maka kecintaannya terhadap seni tersebut telah tertanam dalam diri seseorang.

c. Enkulturasi

Menurut Koentjraningrat (1990:233), enkulturasi adalah proses pembudayaan yakni seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya terhadap adat-istiadat, sistem norma dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Koentjaraningrat menyebut sosialisasi sebagai proses enkulturasi (pembudayaan). Dengan kata lain, enkulturasi adalah pewarisan budaya dengan cara unsur-unsur budaya itu dibudayakan kepada individu-individu warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Oleh karena itu, sosialisasi disebut juga pengenalan seseorang dengan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, enkulturasi merupakan proses pengenalan diri seseorang dengan budaya yang berlaku didalam lingkungan sosialnya (Koentjaraningrat dalam Elly M.Setiadi dan Usman Kolip, 2011: 168). Sejak kecil proses enkulturasi telah dimulai dalam alam pikiran warga suatu masyarakat. Awal mulanya dari orang-orang didalam lingkungan keluarganya kemudian dari teman-teman bermain. Individu belajar budaya dengan cara meniru berbagai pola tindakan (sikap dan perilaku) orang-orang yang berada disekitarnya. Dari hasil belajar tersebut, berbagai nilai dan norma-norma sosial budaya kemudian diterapkan dalam kepribadiannya, sehingga terbentuk sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

(14)

14 Pewarisan seni jathilan dapat dilakukan dengan mengajak anak untuk berpartisipasi dan terlibat dalam setiap pertunjukan. Melalui aktifitas tersebut anak diajarkan untuk mengenal seni jathilan yang merupakan bagian dari budaya Jawa. Proses enkulturasi tersebut lambat laun tertanam dalam diri anak sehingga pewarisan seni jathilan dapat berlangsung sepanjang hidup manusia.

Agen dalam pewarisan budaya adalah keluarga, lembaga adat, lembaga agama dan masyarakat. Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenal oleh individu sejak lahir. Dari sini anak mengalami hubungan sosial pertama dalam kehidupan. Pengenalan nilai, norma dan kebiasaan untuk pertama kali diterima dari keluarga. Pengaruh sosialisasi dan enkulturasi yang berasal dari keluarga sangat besar bagi pembentukan dan perkembangan kepribadian individu.

Peran keluarga sangat tepat diterapkan ketika anak masih dini. Pada konteks ini, keluarga sebagai agen pertama yang mengenalkan kepada anak mengenai kesenian jathilan. Wujud pengenalan dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat dilakukan dengan mengajak anak untuk menonton setiap ada pertunjukan jathilan. Secara tidak langsung bisa dilakukan dengan memberi anak pengetahuan mengenai asal usul kesenian tersebut.

Berikutnya adalah masyarakat. Setelah melalui lingkungan keluarga, seorang individu melanjutkan sosialisasi melalui lingkungan masyarakat sekitarnya. Sosialisasi bermula dari lingkungan masyarakat yang paling kecil berlanjut sampai lingkungan yang paling besar. Lingkungan yang paling kecil dimulai dari lingkungan teman sepermainan. Seorang individu mengenal bukan hanya teman-teman sepermainannya, akan tetapi ia bersosialisasi untuk mengenal aturan-aturan main. Dari sini, individu sebagai anggota masyarakat mendapat pembentukan sikap untuk berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

(15)

15 Setelah dewasa, seorang individu mengenal lingkungan masyarakat yang lebih luas. Lingkungan yang lebih luas dimulai dari lingkungan RT, RW, Kelurahan sampai pada lingkungan kotanya. Pada kesempatan ini, seorang individu dapat mengenal berbagai sistem nilai dan norma yang lebih luas.

Masyarakat Dusun Srunggo 1 mengambil cara untuk melestarikan seni jathilan dengan membentuk kelompok jathilan. Pembentukan kelompok tersebut sebagai wadah untuk mengenalkan seni jathilan kepada generasi muda. Melalui kelompok tersebut, masyarakat mengajak generasi muda untuk bersama-sama dalam mempertahankan seni jathilan.

Setelah dibentuk kelompok jathilan sehingga generasi muda dapat saling berdiskusi dan bertukar informasi mengenai jathilan. Diskusi yang dilakukan merupakan sebuah interaksi yang dijalin kepada sesama anggota kelompok tersebut. Dapat jelaskan bahwa anggota yang telah bergabung dalam kelompok tersebut mempunyai pengaruh terhadap keberlanjutan seni jathilan.

Lembaga adat. Dalam masyarakat tradisional, lembaga adat masih berfungsi dengan baik. Ketua adat berperan sebagai pemimpin yang memiliki wewenang dalam mensosialisasikan norma dan adat yang berlaku dalam masyarakat. Jika ada anggotanya melanggar maka ketua adatlah yang berkewajiban untuk memberikan sanksi. Selain lembaga adat, ada juga lembaga agama. Pada masyarakat tradisional masih memiliki lembaga agama yang kuat. Lembaga agama kemudian menjadi salah satu sarana pewarisan budaya yang efektif.

Lembaga adat sebagai tempat pewarisan budaya yang mengajarkan betapa pentingnya melestarikan kesenian jathilan. Dalam hal ini, lembaga adat mendukung keberlanjutan kesenian jathilan dengan mempertunjukan diberbagai

(16)

16 acara di Dusun Srunggu 1. Dengan begitu, seni tersebut mudah dikenal dan tentunya mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Cerita-cerita rakyat juga merupakan sarana yang penting dalam proses pewarisan budaya masyarakat. Cerita rakyat ini diceritakan berulang-ulang dari generasi ke generasi berikutnya, baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial yang lebih luas. Cerita rakyat pada umumnya dikenal dengan mitos, legenda dan dongeng.

a. Mitos

Mitos adalah cerita tentang peristiwa-peristiwa semihistoris yang menerangkan masalah-masalah akhir kehidupan manusia. Setiap masyarakat memiliki mitos, mitos pada dasarnya bersifat religius karena memberi rasio pada kepercayaan dan praktek keagamaan.

b. Legenda

Legenda adalah cerita semihistoris yang turun-temurun dari zaman dahulu, yang menceritakan perbuatan-perbuatan pahlawan, perpindahan penduduk dan pembentukan adat kebiasaan lokal. Legenda merupakan campuran antara realisme dan supernatural. Perpaduan antara rasional dan irrasional. Fungsi legenda adalah untuk menghibur dan memberi pelajaran serta membangkitkan atau menambahkan kebanggaan orang terhadap keluarga, suku atau bangsanya.

c. Dongeng

Dongeng adalah cerita kreatif yang diakui sebagai khayalan yang bertujuan untuk menghibur. Dongen bukanlah sejarah, meskipun demikian ia berisi wejangan atau memberi pelajaran praktis kepada masyarakat.

(17)

17 Melalui cerita-cerita di atas sehingga masyarakat dapat memperoleh pengetahuan yang luas mengenai seni jathilan. Berbekal pengetahuan tersebut timbul keinginan masyarakat untuk melestarikan jathilan. Dengan begitu, potensi jathilan tetap bertahan ada hingga dimasa mendatang.

2. Teori Akomodasi

Penelitian ini menggunakan teori akomodasi. Untuk menjelaskan akomodasi Islam pada kesenian jathilan penulis juga menggunakan teori akulturasi J.Powel. Menurut J.Powel (dalam skripsi Zaenal Arifin 2010:9) akulturasi merupakan masuknya nilai-nilai luar kedalam budaya lokal. Budaya yang berbeda kemudian bertemu, yang luar mempengaruhi yang telah mapan untuk menuju suatu keseimbangan. Akulturasi terjadi bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan yang tertentu dihadapkan pada unsur-unsur suatu kebudayaan asing yang berbeda sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu dengan lambat laun akan diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraningrat dalam Soerjono Soekanto, 2012:168).

Sama halnya dengan kelompok jathilan “Putra Manunggal” di Semin, Gunung Kidul. Pada kelompok jathilan “Kudho Rumekso” dalam praktiknya memperlihatkan adanya akulturasi islam dan budaya Jawa yang dapat dilihat amalan-amalan dan aturan yang dilaksanakan oleh para pemain jathilan. Wujud akulturasi diantaranya perpaduan wirid dan mantra dan juga praktik laku (puasa). Selain itu, akulturasi bisa dilihat pada syair-syair yang digunakan dalam pertunjukan jathilan yaitu syair-syair islam dengan lagu-lagu khas Jawa.

(18)

18 Generasi muda dianggap sebagai individu-individu yang cepat menerima unsur-unsur kebudayaan asing yang masuk melalui proses akulturasi. Sebaliknya, generasi tua dianggap sebagai orang-orang yang sukar menerima unsur baru. Hal ini disebabkan karena norma-norma yang tradisional sudah mendarah daging dan menjiwai (sudah internalized) sehingga sukar sekali untuk mengubah norma-norma yang sudah meresap dalam jiwa generasi tua tersebut. Sebaliknya, belum menetapnya unsur-unsur atau norma-norma tradisional dalam jiwa generasi muda menyebabkan mereka lebih menerima unsur-unsur baru yang kemungkinan besar dapat mengubah kehidupan mereka (Soerjono Soekanto, 2012: 169).

Proses akulturasi berjalan yang berjalan baik dapat menghasilkan integrasi antara unsur-unsur kebudayaan asing dengan unsur kebudayaan sendiri. Dengan demikian, unsur-unsur kebudayaan asing tidak dirasakan sebagai hal yang berasal dari luar, tetapi dianggap sebagai unsur-unsur kebudayaan sendiri. Unsur-unsur asing yang diterima tentunya terlebih dahulu mengalami proses pengolahan sehingga bentuknya tidaklah asli lagi. Namun, tidak mustahil timbul kegoncangan kebudayaan sebagai akibat masalah-masalah yang dijumpai dalam proses akulturasi. Kegoncangan kebudayaan terjadi apabila warga masyarakat mengalami disorientasi dimana muncul perbedaan antara cita-cita dengan kenyataan yang disertai dengan terjadinya perpecahan-perpecahan di dalam masyarakat (Soerjono Soekanto, 2012: 169).

Dalam proses sosial terdapat istilah interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang-perorangan,antara kelompok-kelompok manusia maupun antara orang-perorangan dengan kelompok manusia (Gillin dan Gillin dalam Soerjono Soekanto, 2012:55). Apabila dua orang atau lebih bertemu, interaksi sosial dapat

(19)

19 dimulai pada saat itu yang kemudian terjadi apa yang dinamakan proses sosial. Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang perorangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut atau apa yang terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang telah ada (Soerjono Soekanto, 2012:55).

Manusia berinteraksi dengan sesamanya dalam kehidupan untuk menghasilkan pergaulan hidup dalam suatu kelompok sosial. Pergaulan hidup semacam itu baru terjadi apabila manusia dalam hal ini orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia bekerja sama dan saling berbicara untuk mencapai tujuan bersama, mengadakan persaingan dan pertikaian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa interaksi sosial adalah proses-proses sosial yang menunjuk pada hubungan-hubungan sosial yang dinamis ( Elly M. Setiadi dkk, 2006: 86).

Interaksi sosial terjadi dalam kehidupan masyarakat Dusun Srunggo 1. Adanya interaksi sosial sehingga masyarakat dapat mengenal satu lain. Interaksi sosial yang dibangun bukan hanya sebatas hubungan kerabat akan tetapi dengan seluruh masyarakat desa. Selain itu, interaksi sosial tampak pada kelompok jathilan “Kudho Rumekso” dimana seorang ketua menghadapi anggota-anggotanya yang merupakan suatu kelompok manusia di dalam kelompok tersebut. Di dalam interaksi sosial tersebut, seorang ketua kelompok jathilan memberikan arahan, dukungan dan motivasi untuk melestarikan kesenian jathilan dimana kemudian terjadi saling pengaruh mempengaruhi antara kedua belah pihak. Dengan demikian, interaksi sosial hanya berlangsung ketika terjadi reaksi dari kedua belah pihak.

Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama, persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Suatu pertikaian mendapatkan suatu penyelesaian.

(20)

20 Penyelesaian tersebut hanya dapat diterima untuk sementara waktu yang dinamakan akomodasi. Akomodasi adalah suatu bentuk proses sosial yang didalamnya terdapat dua atau lebih individu atau kelompok yang berusaha saling menyesuaikan diri, tidak mengganggu dengan cara mencegah, mengurangi atau menghentikan ketegangan yang akan timbul atau yang sudah ada sehingga tercapai kestabilan. Menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack (dalam Soerjono Soekanto, 2012:68), akomodasi dapat dijelaskan dalam dua arti yaitu sebagai suatu keadaan dan suatu proses. Akomodasi menunjuk pada suatu keadaan, berarti adanya kenyataan terhadap suatu keseimbangan (equilibrium) antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam berinteraksi sehubungan dengan norma-norma sosial dan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada sebuah usaha manusia untuk meredakan atau menghindari konflik dalam rangka mencapai kestabilan.

Menurut Gillin dan Gillin (dalam Soerjono Soekanto, 2012:69), akomodasi adalah suatu pengertian yang digunakan para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan pengertian adaptasi (adaptation) yang dipergunakan oleh ahli-ahli biologi untuk menunjuk pada suatu proses penyesuaian diri makhluk-makhluk hidup dengan alam sekitarnya. Pengertian adaptasi menunjuk pada perubahan-perubahan organis yang disalurkan melalui kelahiran, dimana makhluk-makhluk hidup menyesuaikan diri dengan alam sekitarnya sehingga dapat mempertahankan hidupnya.

(21)

21 Tujuan akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya yaitu

a. Untuk mengurangi pertentangan antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham.

b. Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau secara kontemporer.

c. Untuk memungkinkan terjadinya kerja sama antara kelompok-kelompok sosial yang hidupnya terpisah sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan.

Inti dari teori akomodasi adalah untuk mencapai keselarasan. Akomodasi terjadi pada orang atau kelompok-kelompok yang mau tidak mau harus bekerja sama, sekalipun dalam kenyataannya mereka masing-masing memiliki paham yang berbeda-beda dan mungkin bertentangan. Tanpa adanya akomodasi dan kesediaan akomodasi, tak akan mungkin bekerja sama untuk selama-lamanya. Kemudian dilanjutkan dengan asimilasi merupakan suatu proses sosial dalam taraf kelanjutan, yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara individu atau kelompok dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memerhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama.

Selain akulturasi islam dan budaya Jawa, kelompok jathilan “Kudho Rumekso” juga menampilkan akomodasi islam dengan praktik mistis. Hal ini bisa dilihat dari lagu-lagu Jawa yang bernuansa islami dinyanyikan ketika penari masuk pada adegan trance atau ndadi.

(22)

22 Studi terhadap The Religion of Java, Geertz mengajukan gagasan mengenai terbelahnya masyarakat Jawa ke dalam varian abangan, santri dan priyayi. Terbitnya The Religion of Java menarik perhatian dikalangan ahli antropologi, sosiologi dan orang-orang yang berminat dalam studi agama orang Jawa.

Geertz menyebutkan ada 3 tipe varian agama yaitu Abangan, Santri dan Priyayi. Satu, Varian Abangan menekankan pada kepercayaan-kepercayaan akan roh-roh animistik. Perwujudannya melalui ritual-ritual yang berkaitan dengan usaha untuk menghalau makhluk halus yang dianggap sebagai penyebab dari kesengsaraan masyarakat. Inti ritual dari varian abangan menurut Geertz adalah slametan atau perjamuan yang dilakukan di lingkungan tetangga. Geertz mengemukakan bahwa varian abangan diasosiasikan dengan masyarakat desa dan varian abangan identik dengan kaum tani Jawa. Secara ringkas, varian abangan menurut Geertz bahwa orang Jawa mengacu pada kategori sosial yang empiris yakni mereka tidak melibatkan diri secara aktif dalam agama Islam. Varian abangan dapat dikatakan sebagai pemeluk Islam yang tidak taat. Tradisi varian abangan identik dengan tradisi rakyat (Lampiran The Religion of Java oleh Harsja W. Bachtiar dalam Clifford Geertz, 1989: 540). Dua, Varian Santri yang menekankan pada aspek-aspek Islam. Penekanannya pada tindakan-tindakan keagamaan dan upacara-upacara sebagaimana yang digariskan Islam. Menurut Geertz, varian santri mengacu pada ciri dan pola kebudayaan yang hanya diasosiasikan dengan orang-orang santri saja. Pola-pola ini termasuk satu sistem mengenai kepercayaan, nilai-nilai dan norma-norma yang dikenal sebagai tradisi agama Islam. Varian santri dimanifestasikan dalam ritual-ritual pokok peribadatan agama Islam sreperti kewajiban shalat 5 kali sehari, shalat jum’at dimasjid, puasa di bulan ramadhan dan lain sebagainya. Selain itu, dimanifestasikan pada satu

(23)

23 kompleks organisasi dan politik seperti Muhammadiyah, Masyumi dan Nahdlatul Ulama. Orang-orang santri biasanya hidup berkelompok-kelompok. Varian santri diasosiasikan dengan unsur pedagang Jawa. Di desa-desa terdapat unsur santri yang kuat, yang sering kali dipimpin oleh petani-petani kaya yang telah naik haji ke Mekah dan setelah kembali mendirikan pesantren-pesantren (Lampiran The Religion of Java oleh Harsja W. Bachtiar dalam Clifford Geertz, 1989: 541-542). Tiga, Varian Priyayi yang menekankan pada aspek-aspek Hindu yaitu menekankan pada pentingnya hakikat alus sebagai lawan kasar. Perwujudannya tampak dalam berbagai simbol yang berkaitan dengan etiket (tata krama), seni dan mistik. Menurut Geertz, Priyayi tadinya hanya mengacu pada golongan bangsawan yang turun temurun oleh Belanda yang dilepaskan dari ikatan mereka dengan raja kerajaan-kerajaan asli yang ditaklukkan dan yang lalu dijadikan pegawai negeri yang diangkat dan digaji. Varian Priyayi tidak menekankan unsur anismisme dalam sinkretisme Jawa secara keseluruhan sebagaimana yang dilakukan kaum abangan, tidak pula menekankan unsur Islam sebagaimana dilakukan oleh kaum santri, melainkan yang mereka tekankan adalah unsur Hinduisme... (Lampiran The Religion of Java oleh Harsja W. Bachtiar dalam Clifford Geertz, 1989: 545).

Masyarakat Dusun Srunggo 1 merupakan masyarakat yang sebagian besar berprofesi sebagai petani dan buruh tani. Tingkat perekonomian mereka mayoritas menengah ke bawah dengan tingkat pendidikan rata-rata lulusan SD. Sebagian besar masyarakat tergolong dalam kelompok varian abangan. Secara formalitas, mereka beragama islam namun mereka masih menjalankan tradisi dari nenek moyang sehingga islam yang mereka anut sangat akomodatif terhadap berbagai fenomena tradisi dalam kehidupan masyarakat. Selain menjalankan syariat islam, mereka juga melaksanakan upacara-upacara ritual yang berkaitan dengan slametan.

(24)

24 Selain itu, mereka juga menunjukan kepercayaan terhadap makhluk halus dan masih melaksanakan praktik mistis yang berhubungan dengan roh-roh halus.

F. METODE PENELITIAN

Metodologi merupakan proses, prinsip dan prosedur yang digunakan untuk mendekati problem dan mencari jawabannya. Penelitian ini melihat lebih dekat mengenai kesenian jathilan dan memahaminya sebagai salah satu kesenian yang masih dilestarikan dan dipertahankan oleh masyarakat Dusun Srunggo 1. Fokus penelitian yang dilakukan mengenai proses pewarisan kesenian jathilan di Dusun Srunggo 1, Selopamioro, Imogiri, Bantul, DIY dan akomodasi Islam dengan praktik mistis pada kesenian jathilan.

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Pemilihan metode kualitatif karena penulis berupaya melihat dan mendeskripsikan kesenian jathilan di Dusun Srunggo 1, Selopamioro, Imogiri, Bantul. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriprif. Pendekatan deskriptif yaitu data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka (Moleong, 2015: 11). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Dusun Srunggo 1, Selopamioro, Imogiri, Bantul, DIY. Alasan pemilihan lokasi karena Dusun Srunggo 1 merupakan salah satu dusun yang masih melestarikan kesenian jathilan di Kelurahan Selopamioro. Masyarakat melestarikan seni tersebut dengan membentuk kelompok jathilan “Kudho Rumekso”.

(25)

25 Dalam kelompok tersebut sudah ada keterlibatan pemuda-pemudi sebagai pendukung keberadaan jathilan. Seni jathilan hingga kini masih dipertunjukan di beberapa acara seperti acara pernikahan, khitanan dan acara adat. Pada setiap proses pertunjukannya, kelompok tersebut mampu menampilkan akomodasi Islam dengan praktik mistis. Aktifitas ritual dengan pemberian sesajen pada jathilan terlihat pada sebelum dan saat pertunjukan, padahal mayoritas masyarakat beragama Islam.

3. Informan

Pertama, tokoh yang mengetahui awal munculnya kesenian jathilan di Dusun Srunggo 1. Tokoh masyarakat yaitu Kepala Dukuh Srunggo 1 bernama Abdul Kamid, tokoh adat bernama Ngadilan dan tokoh agama bernama Ahmad Abduh Syakur. Informan ini dirasa mengetahui seluk beluk adanya jathilan di Dusun Srunggo 1, Selopamioro, Imogiri, Bantul.

Kedua, kelompok jathilan “Kudho Rumekso” yakni ketua, pawang dan pemain jathilan. Ketua kelompok jathilan “Kudho Rumekso” bernama Subadi. Ada 6 pawang jathilan namun penulis hanya memilih 3 informan yaitu Mbah Kiro, Nardi dan Subadi. Selain menjadi ketua kelompok jathilan, Subadi juga berperan sebagai pawang jathilan. Pemain jathilan yang dipilih penulis bernama Budi yang merupakan anggota dari kelompok jathilan “Kudho Rumekso” dan Veri Handoko yang merupakan anggota dari kelompok jathilan “Modho Slamet Sri Mulyo” dari Dusun Kalidadap 2. Penulis menganggap informan dari kelompok jathilan paling mengerti perkembangan dan keberlanjutan kelompok jathilan di Dusun Srunggo 1.

(26)

26 Ketiga, masyarakat yang tinggal di Dusun Srunggo 1. Penulis mengambil masyarakat sekitar sebagai informan dengan tujuan untuk menambah informasi agar data yang diperoleh semakin bervariasi. Ada 2 informan yang dipilih yaitu Sogirah dan Junadiman.

Berikut ini adalah daftar nama informan:

Tabel 1.1 Daftar Nama Informan

Nama Alamat Jabatan

Abdul Kamid Srunggo 1 RT 02 Kepala Dukuh Srunggo 1 Ngadilan Srunggo 1 RT 10 Pegawai Dinas Pariwisata Ahmad Abduh

Syakur

Srunggo 1 Rt 03 Tokoh Agama

Subadi Srunggo 1 Rt 06 Ketua kelompok jathilan sekaligus pawang jathilan “Kudho Rumekso” Mbah Kiro Srunggo 1 Rt 08 Pawang jathilan “Kudho Rumekso” Sunardi Srunggo 1 Rt 05 Pawang jathilan “Kudho Rumekso” Budi Srunggo 1 Rt 06 Pemain jathilan “Kudho Rumekso” Veri Handoko Kalidadap 2 Rt 05 Pemain jathilan “Kudho Rumekso” yang berasal dari kelompok jathilan “Modho Slamet Sri Mulyo” Dusun

Kalidadap 2 Sogirah Srunggo 1 Rt 02 Warga Srunggo 1 Junadiman Srunggo 1 Rt 05 Warga Srunggo 1 Sumber: Data pribadi pada tanggal 12 Januari-28 Februari 2016.

(27)

27 4. Sumber Data

Jenis sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Data Primer

Data primer didapatkan melalui pengamatan secara langsung dan wawancara mendalam dengan para informan. Data tersebut diperoleh dari data-data yang berhubungan jathilan dan bertemu secara langsung kepada pengurus kelompok jathilan “Kudho Rumekso” seperti ketua, pawang dan para pemain jathilan serta masyarakat yang tinggal di Dusun Srunggo 1 sebagai pendukung keberlanjutan jathilan.

b. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari jurnal-jurnal, buku, artikel dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku-buku, internet yang sesuai dengan topik penelitian dan data monografi Dusun Srunggo 1 tahun 2016.

5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, penulis mengobservasi secara partisipatif subyek penelitiannya, mewawancarai secara mendalam dan mendokumentasikan data-data yang relevan dengan masalah yang diteliti. Keikutsertaan penulis dalam observasi juga wawancara mendalam dapat menggali informasi dari subyek penelitian.

(28)

28 Adapun teknik untuk menggali data, peneliti menggunakan metode sebagai berikut:

a. Observasi

Observasi dilakukan dari bulan Januari-Februari tahun 2016. Observasi yang dilakukan yakni melihat dan mengamati lebih dekat kelompok jathilan “Kudho Rumekso” saat melakukan pertunjukan jathilan di Dusun Srunggo 1, Selopamioro, Imogiri, Bantul. Observasi di mulai pada saat pertunjukan jathilan hingga selesai pertunjukan jathilan. Jika hanya melihat data sekunder saja, maka disini penulis mengalami kesulitan dalam menganalisis tema mengenai kesenian jathilan. Oleh karena itu, metode ini sangat penting untuk membantu penulis dalam memahami realitas keberadaan jathilan. Selain melihat pertunjukan jathilan penulis juga melihat penonton dan masyarakat pendukung kesenian jathilan pada saat pertunjukan dan setelahnya. Masyarakat berperan penting sebagai pendukung keberadaan kesenian jathilan.

b. Wawancara

Metode wawancara dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui proses pewarisan dan akomodasi Islam dengan praktik mistis pada jathilan agar dapat terdokumentasi dengan baik. Melalui metode wawancara penulis menganggap ada ketepatan data pada saat observasi dengan wawancara. Selain itu, wawancara yang dilakukan bersifat eksploratif yaitu memberikan gambaran dari apa yang belum digali oleh penulis dari topik penelitian, sehingga dengan ini dapat diketahui hal-hal yang belum terungkap dari observasi yang telah dilakukan. Wawancara dilakukan pada tanggal 12 Januari 2016-28 Februari 2016.

(29)

29 Wawancara secara mendalam (in-depth interview) dilakukan kepada berbagai pihak yang mengetahui kesenian jathilan termasuk perintis kesenian jathilan (seperti tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama). Wawancara juga dilakukan dengan masyarakat yang tinggal di Dusun Srunggo 1, Selopamioro, Imogiri, Bantul untuk melengkapi informasi terkait keberlanjutan jathilan dan praktik mistis pada jathilan. Adapun dalam penelitian ini dilakukan wawancara dengan kelompok jathilan “Kudho Rumekso” yakni ketua, pawang jathilan dan pemain jathilan.

c. Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan untuk membantu dalam pengumpulan data. Dokumentasi berupa tulisan atau artikel mengenai kesenian jathilan dan dokumen-dokumen resmi, publikasi media, foto, data statistik dan bahan-bahan pustaka yang relevan dengan topik penelitian. Data-data yang diperoleh dari pengumpulan dokumentasi yang selanjutnya dapat dijadikan referensi. Penulis mencatat data mengenai proses pewarisan kesenian jathilan dan praktik mistis yang dilakukan saat pertunjukan jathilan. Selain itu, penulis melakukan pengambilan gambar atau dokumentasi yang berkaitan dengan penelitian. Alat dokumentasi yang digunakan penulis berupa alat tulis, kamera dan perekam suara dengan tujuan untuk memperjelas dan membuktikan informasi.

6. Analisis Data

Analisis data merupakan upaya mencari dan mensistematiskan catatan hasil observasi, wawancara juga dokumentasi yang dilakukan dalam proses penelitian. Aktivitas dalam analisis data yaitu reduksi data (reduction), penyajian data (display data) dan penarikan kesimpulan.

(30)

30 Data yang diperoleh dari lapangan dilakukan analisis melalui tahap-tahap berikut ini:

a. Reduksi Data

Kategorisasi dan mereduksi data yaitu melakukan pengumpulan data terhadap semua informan. Semua informasi dari perintis kesenian jathilan (seperti tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh agama) dan kelompok jathilan “Kudho Rumekso” di Dusun Srunggo 1 (termasuk ketua jathilan, pawang dan pemain jathilan) serta berbagai elemen yang terlibat dalam penelitian dikumpulkan menjadi satu terkait dengan masalah penelitian ini, selanjutnya data dikelompokkan sesuai dengan topik permasalahan.

b. Penyajian Data

Penyajian data merupakan pengumpulan informasi dari data yang telah tersusun. Data yang sudah disajikan dalam bentuk teks naratif (berbentuk catatan lapangan), matriks, grafik, jaringan dan bagan dianalisis serta diinterpretasikan untuk memperoleh kesimpulan sesuai tujuan penelitian. c. Penarikan Kesimpulan

Pengambilan kesimpulan dilakukan untuk memberikan jawaban terhadap masalah penelitian. Pada analisis data ini merupakan tahap akhir dari teknik analisis data. Data yang sudah ada di analisis menggunakan teori pewarisan budaya dan teori akomodasi.

Gambar

Tabel 1.1 Daftar Nama Informan

Referensi

Dokumen terkait

[r]

atribut diluar ketentuan yang berlaku. Melakukan kegiatan PKKMB diluar jadwal dan di luar lingkungan kampus. Melakukan tindakan di luar ketentuan dan aturan yang

Peningkatan kompetensi peserta PEDAMBA: Kelas Pemanfaatan Software Tracker dalam pelajaran Fisika Tahap ke-I” dapat dilihat dari hasil evaluasi pelaksanaan

Jika Helaian Data Keselamatan kami telah diberikan kepada anda bersama bekalan Asal bukan HP yang diisi semula, dihasilkan semula, serasi atau lain, sila berhati-hati bahawa

Dengan penubuhan ISDA, antara tunggak utama yang boleh dibangunkan untuk langkah seterunya ialah satu gagasan yang dicadangkan dengan nama Wawasan Induk Kedah sejahtera 2030

Profil Kesehatan Kabupaten Kolaka Tahun 2016 merupakan gambaran pencapaian pembangunan bidang kesehatan dalam rangka pencapaian visi dan misi Dinas Kesehatan

Penelitian ini juga menunjukkan hasil bahwa tekanan hampir tidak dirasakan oleh siswa, dimana hal tersebut dapat dilihat dari seringnya siswa mengisi waktu luang