• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN MENGENAI PENERAPAN KONSEP PEMBATAS DOSIS MERUPAKAN AMANAT PASAL 35 DAN 36 PP NO. 33 TAHUN 2007

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN MENGENAI PENERAPAN KONSEP PEMBATAS DOSIS MERUPAKAN AMANAT PASAL 35 DAN 36 PP NO. 33 TAHUN 2007"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

KAJIAN MENGENAI PENERAPAN KONSEP PEMBATAS DOSIS

MERUPAKAN AMANAT PASAL 35 DAN 36 PP NO. 33 TAHUN 2007

Togap P. Marpaung

Inspektur Utama Keselamatan Radiasi-BAPETEN

ABSTRAK

KAJIAN MENGENAI PENERAPAN KONSEP PEMBATAS DOSIS MERUPAKAN AMANAT PASAL 35 DAN 36 PP NO. 33 TAHUN 2007, Pembatas dosis adalah bagian dari optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi yang diatur pada pasal 35 dan 36 Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif. Meskipun PP No. 33 tersebut telah berlaku selama hampir lima tahun dan pada bagian penjelasan, disebutkan kedua pasal dinyatakan cukup jelas. Namun, konsep pembatas dosis belum dapat diterapkan sebagaimana mestinya. Secara khusus ketentuan pasal 36 ayat (1), yaitu pembatas dosis ditentukan oleh pemegang izin setelah mendapat persetujuan dari Kepala BAPETEN. Ada beberapa pakar proteksi radiasi yang menanyakan relevansi pasal 36 ayat (1) tersebut. Salah satu pertanyaan resmi perihal pembatas dosis datang dari Prof Eri Hiswara, M.Sc yang ditulis dalam makalah dan dipresentasikan ketika Seminar Keselamatan Nuklir BAPETEN 2011 di Jakarta. Berdasar kesimpulan kajian, barangkali, ada dua penyebab utama pembatas dosis belum dapat diterapkan dengan baik, yaitu: (1) Ada kerancuan pemahaman terlebih bagi BAPETEN dan BATAN mengenai pengertian pembatas dosis dan penerapan konsep pembatas dosis; dan (2) Ada tiga Peraturan Kepala BAPETEN sebagai amanat pasal 4 ayat (3) huruf b mengenai persyaratan proteksi radiasi yang belum siap, meliputi: (a) pengganti SK, No. 01/99; (b) tingkat klirens; dan (c) batas pelepasan zat radioaktif ke lingkungan.

Kata kunci: pembatas dosis, optimisasi, pekerja radiasi, anggota masyarakat, paparan medik.

ABSTRACT

ASSESSMENT ON IMPLEMENTATION OF CONCEPT OF DOSE CONSTRAINT IS A MANDATORY OF ARTICLE 35 AND 36 GOVERNMENT REGULATION (GR) NO. 33 YEAR 2007, Dose constraint is a part of

optimization of radiation protection and safety which is regulated on article 35 and 36 of GR No. 33 Year 2007 on Safety of Ionizing Radiation and Security of Radioactive Source. Eventhough the GR No.33/2007 has been in force for nearly five years and in the explanation, it says that the both article is stated quite clearly. However, the concept of dose constraint can not be applied as appropriate. Especially, provision of article 36 pragraph (1), namely (1) dose constraint is determined by the licensee after obtaining the approval of the Chairman of BAPETEN.There are some experts of radiation protection delivered some questions regarding the relevance of article 36 pragragraph(1).One of formal questions came from Prof Eri Hiswara, M.Sc whose wrote in a paper and presented it while BAPETEN’s Nuclear Safety Seminar 2011in Jakarta. Based on the conclusion of study, maybe there are two main causes that dose constraint not well implemented yet, namely:(1)There is a confusion understanding either for BAPETEN or BATAN on the meaning of dose constraints and implementation of the concept of dose constraints, and (2) There are three Chairman Regulations (CR) of BAPETEN as a mandate of article 4 pragraph (3) letter b (radiation protection requirement) not finished yet, namely (a) for replacement of CR No. 01/ 99;(2) clearance level; and (3) discharge limit of radioactive material to environment.

(2)

2

PENDAHULUAN

Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif telah berlaku selama hampir lima tahun dan pada bagian penjelasan kedua pasal tersebut dinyatakan cukup jelas [1]. Namun, penerapan konsep pembatas dosis tersebut belum dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Substansi teknis pembatas dosis dalam PP No. 33 Tahun 2007 disusun sesuai dengan rekomendasi Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) pada publikasi tentang standar keselamatan dasar internasional untuk proteksi radiasi pengion dan keselamatan sumber radiasi, yaitu BSS No.115 Tahun1996. Rekomendasi IAEA itu sendiri disusun berdasarkan pada rekomendasi Komisi Internasional untuk Proteksi Radiologik (ICRP) No 60 Tahun 1990. Pembahasan makalah ini juga mencermati beberapa referensi lain yang menjadi bahan studi literatur, misalnya rekomendasi IAEA terbaru, yaitu GSR Part 3 Tahun 2011 yang disusun berdasarkan pada ICRP No 103 Tahun 2007 .

Pembatas dosis terdiri dari dua hal pokok, yaitu: (1) pengertian pembatas dosis; dan (2) penerapan konsep pembatas dosis. Adapun penerapan konsep pembatas dosis ditujukan untuk tiga situasi paparan, yaitu: (1) pembatas dosis paparan pekerja; (2) pembatas dosis paparan anggota masyarakat; dan (3) pembatas dosis paparan medik. Konsep pembatas dosis adalah merupakan bagian dari prinsip proteksi radiasi atau persyaratan proteksi radiasi sehingga untuk membahasnya tidak dapat dipisahkan dari nilai batas dosis (NBD) dan optimisasi [2, 3].

Latar belakang penulisan makalah ini adalah dikarenakan ada pendapat Prof Eri Hiswara, M.Sc yang dianggap perlu ditanggapi. Adapun sebagain kutipan isi makalah sebagai berikut: “Pasal 36 ayat (1) menyatakan bahwa pembatas dosis ditentukan oleh pemegang Izin setelah mendapat persetujuan dari Kepala BAPETEN’. Ketentuan ini agak berlebihan dan merupakan beban tambahan yang tidak perlu bagi pemegang izin. Judul makalah adalah “Kajian

Mengenai Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2007 Tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan

Keamanan Sumber Radioaktif” yang

dipresentasikan pada Seminar Keselamatan Nuklir 2011 di BAPETEN, Jakarta [4]. Uraian mengenai konsep pembatas yang disajikan oleh Beliau kurang lengkap karena hanya dari satu sisi, yaitu isu pembatas dosis untuk pekerja.

Adapun tujuan penulisan makalah ini, antara lain memberikan uraian yang lebih lengkap

terhadap pasal 36 ayat (1) yang dianggap berlebihan dan merupakan beban tambahan yang tidak perlu bagi pemegang izin. Dengan demikian, maka pengertian pembatas dosis menjadi lebih jelas dan konsep pembatas dosis dapat diterapkan dengan tepat.

PEMBAHASAN

Studi Literatur Publikasi IAEA dan Lainnya Pengertian Pembatas Dosis Secara Umum

Ada beberapa ketentuan yang harus dipahami dalam menerapkan konsep pembatas dosis, diantaranya: (a) pembatas dosis adalah bukan nilai batas dosis; (b) pembatas dosis adalah bagian dari proses optimisasi; (c) pembatas dosis digunakan secara prospek; (d) nilai pembatas dosis untuk pekerja ditentukan oleh pemegang izin; dan (e) nilai pembatas dosis untuk anggota masyarakat ditentukan oleh pemerintah atau badan pengawas. Selain itu, konsep pembatas dosis adalah merupakan bagian dari prinsip proteksi radiasi atau persyaratan proteksi radiasi.

Untuk membahas konsep pembatas dosis tidak dapat dipisahkan dengan NBD dan optimisasi [5, 6], sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1.

Nilai Batas Dosis (NBD)

Pembatas Dosis

Untuk memproteksi pekerja individu dan orang yang terwakili dari paparan (paparan pekerja dan

publik).

Dari semua sumber yang diawasi dalam situasi paparan terencana Dari satu sumber dalam semua situasi paparan

Gambar 1. Nilai Batas Dosis dikontraskan dengan Pembatas Dosis untuk memproteksi pekerja dan anggota

masyarakat.

Gambar 1 tersebut mengilustrasikan perbedaan dalam konsep antara NBD individu dari penggunaan situasi paparan yang direncanakan dan pembatas dosis untuk proteksi dari suatu sumber dalam semua situasi.

(3)

3

Adapun hubungan antara pembatas dosis,

optimisasi dan NBD [7], seperti diberikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Hubungan antara Pembatas Dosis, Optimisasi dan NBD

Penerapan Isu Pembatas Dosis untuk Pekerja

Dalam konteks paparan kerja, definisi pembatas dosis adalah suatu nilai dosis perorangan

yang berkaitan dengan sumber radiasi untuk membatasi beberapa pilihan yang dipertimbangkan dalam proses optimisasi. Pembatas dosis tidak dapat digunakan sebagai nilai batas dosis pekerja, tetapi sebagai tingkat minimum proteksi pekerja yang dapat dicapai dalam situasi tertentu, dengan memperhatikan semua keadaan yang mempengaruhi.

Adapun tujuan pembatas dosis adalah untuk membatasi nilai maksimum dari dosis perorangan yang dapat diterima dalam proses optimisasi proteksi pekerja tersebut dari satu sumber, sekumpulan sumber dalam instalasi, kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir, tugas atau beberapa kegiatan operasi. Pembatas dosis dapat dinyatakan sebagai dosis tunggal atau dosis akumulasi dalam periode tertentu.

Dalam penerapan prinsip optimisasi, dosis perorangan hendaknya dikaji sejak tahap desain dan tahap perencanaan, dan dosis perorangan yang diperkirakan untuk berbagai pilihan harus dibandingkan dengan pembatas dosis yang sepadan. Suatu pilihan yang diperkirakan akan menghasilkan dosis lebih rendah dari pembatas perlu diperhatikan lebih

lanjut, sedangkan pilihan yang diperkirakan

akan menghasilkan dosis lebih tinggi, maka pembatas dosis seharusnya tidak disetujui karena tidak sesuai dengan kaidah pembatas dosis, lihat Gambar 2. Pembatas dosis tidak boleh berlaku surut untuk menguji pemehuhan terhadap persyaratan proteksi radiasi.

Pembatas dosis harus digunakan secara perspektif untuk optimisasi proteksi radiasi di berbagai situasi dalam perencanaan dan pelaksanaan tugas, dan dalam desain fasilitas atau peralatan. Oleh karena itu, pembatas dosis harus ditentukan secara kasus per kasus yang tergantung pada karakteristik dari situasi paparan. Karena pembatas dosis berhubungan dengan sumber maka sumber tersebut harus spesifik. Pembatas dosis dapat ditentukan oleh manajemen, berkonsultasi dengan pihak yang terlibat dalam situasi paparan. Badan pengawas dapat menggunakan pembatas dosis secara generik untuk kategori sumber yang sama, kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir atau tugas yang setara, atau secara spesifik dalam pemberian izin, kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir.

Proses dalam memperoleh pembatas dosis pada situasi tertentu harus mencakup pengkajian terhadap pengalaman operasi dan umpan balik pada situasi yang sebanding, dengan mempertimbangkan

faktor ekonomi, sosial dan teknis. Dalam hal paparan kerja, pengalaman dari operasi yang dikelola secara baik merupakan hal penting untuk penetapan dosis secara umum. Survei nasional atau bank data internasional, menyediakan pengalaman yang sangat banyak terhadap paparan yang berhubungan dengan suatu operasi tertentu yang dapat digunakan dalam penentuan pembatas [8, 9].

Isu Penerapan Pembatas Dosis untuk Anggota Masyarakat

IAEA tidak membuat publikasi khusus pembatas dosis untuk anggota masyarakat seperti pembatas dosis untuk pekerja. Dalam publikasi OECD disebutkan bahwa kriteria untuk menetapkan pembatas dosis untuk anggota masyarakat, yaitu IAEA-TECDOC-664, “Establishment of Source Related Dose Constraint for Members of the Public”, tetapi publikasi tersebut tidak ditemukan dalam situs IAEA.

Ada dua poin utama dari definisi tersebut, yaitu: (1) Nilai pembatas dosis ditetapkan oleh pemerintah atau badan pengawas; dan (2) Beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam menetapkan pembatas dosis, meliputi: (a) karakteristik sumber dan praktik; (b) praktik yang baik dalam operasi Pembatas Dosis Tkt yang dioptimasi O p ti m is as i d i b aw ah P e m b at as d o si s NBD

(4)

4

sumber yang serupa; (c) kontribusi dosis dari praktik lain; dan (d) pandangan dari pihak-pihak yang terkait.

Menurut ICRP, pembatas dosis lebih penting daripada NBD. Dengan penggunaan sumber-sumber yang sedemikian luas, badan pengawas harus memperkirakan bahwa nilai pembatas dosis lebih kecil daripada NBD. Dalam beberapa publikasinya, ICRP merekomendasikan bahwa nilai pembatas dosis anggota masyarakat 0, 3 mSv, sedang untuk fasilitas pengelolaan limbah radioaktif, nilainya lebih kecil dari NBD 1 mSv per tahun [10, 11].

Isu Penerapan Pembatas Dosis untuk Paparan Medik

Pembatas dosis hendaknya diinter-pretasikan sebagai tingkat panduan, kecuali jika digunakan dalam optimisasi proteksi radiasi terhadap orang yang dipapari untuk tujuan penelitian medik atau orang yang membantu pasien. Jadi, penerapan konsep pembatas dosis untuk paparan medik, yaitu: (1) tingkat panduan; dan (2) pembatas dosis untuk orang yang membantu pasien (comferters) atau orang yang menjadi tenaga sukarela dalam program penelitian biomedik (volunteers) [12, 13].

Indonesia menentukan tingkat panduan dengan cara mengadopsi secara utuh nilai-nilai tingkat panduan yang direkomendasikan oleh IAEA. Dalam Peraturan Kepala BAPETEN No. 8 Tahun 2011, tingkat panduan radiografi diagnostik pasien dewasa tertentu, dosis permukaan masuk tiap radiografi, misalnya foto rontgen paru-paru 0,4 mGy (proyeksi posterior anterior-PA) dan 1,5 mGy (proyeksi lateral-LAT) [14]. Adapun tingkat panduan prosedur diagnostik kedokteran nuklir, misalnya pemeriksaan imajing tiroid menggunakan radionuklida 99Tcm, bentuk kimia TcO4, dan aktivitas maksimum per pemeriksaan 400 MBq, diatur dalam draf Peraturan Kepala BAPETEN mengenai kedokteran nuklir [15 ].

Nilai pembatas dosis untuk comforter atau volunteer yang direkomendasikan oleh IAEA untuk radiologi diagnostik dan intervensional atau radioterapi adalah 5 mSv. BAPETEN juga menetapkan nilai pembatas dosis 2 mSv untuk comferter atau volunteer Penerapan pembatas dosis (khususnya untuk pekerja di bidang medik terutama di radiologi intervensional, kedokteran nuklir dan radioterapi) masih belum terlihat diterapkan oleh pemegang izin.

Tinjauan Makalah Prof Eri Hiswara, M.Sc Terkait Pembatas Dosis

Prof Eri Hiswara, M.Sc adalah pakar proteksi radiasi di PTKMR-BATAN. Beliau menulis makalah “Kajian Mengenai Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif” ketika Seminar Keselamatan Nuklir BAPETEN 2011. Adapun isi makalah terkait pembatas dosis sebagai berikut:

Pada rancangan dokumen pengganti BSS, dose constraint didefinisikan sebagai nilai prospektif dan terkait sumber dari dosis individu yang digunakan sebagai alat pada optimisasi proteksi dan keselamatan sumber, yang bertindak sebagai batas dalam menentukan rentang pilihan dalam optimisasi. Dari uraian di atas bahwa dose constraint hanya berfungsi sebagai alat dalam proses optimisasi untuk menghambat agar dosis yang mungkin diterima tidak mencapai nilai batas dosis. Dengan demikian, terjemahan untuk dose constraint yang lebih tepat barangkali adalah

‘penghambat dosis’.

Dalam pelaksanaannya, proses optimisasi bisa berlangsung sejak perencanaan fasilitas dan kegiatan nuklir atau radiasi, hingga dilaksanakannya dekomisioning. Karena itu, ‘penghambat dosis’ juga bisa digunakan sejak tahap perencanaan hingga dekomisioning. Namun demikian, proses optimisasi hanya dilakukan jika terjadi perubahan metode atau prosedur kerja. Untuk suatu kegiatan yang bersifat rutin yang prosedur kerjanya tidak berubah selama bertahun-tahun, proses optimisasi biasanya cukup dilakukan di awal kegiatan. Begitu proses optimisasi selesai, peranan ‘penghambat dosis’ secara operasional juga berakhir. Hasil dari proses optimisasi adalah pilihan tingkat dosis atau besaran turunan lainnya yang akan digunakan sebagai target selama operasi. Pasal 36 ayat (1) menyatakan bahwa pembatas dosis ditentukan oleh pemegang Izin setelah mendapat persetujuan dari Kepala BAPETEN’. Ketentuan ini agak berlebihan dan merupakan beban tambahan yang tidak perlu bagi pemegang izin. IAEA menyatakan bahwa penetapan nilai dosis pada dose constraint dapat merupakan hasil interaksi antara badan pengawas, operator dan, jika perlu, wakil pekerja. Namun, secara umum, IAEA menegaskan bahwa badan pengawas cukup mendorong agar pemegang izin menentukan sendiri dose constraint untuk kegiatannya, yang pelaksanaannya dapat diawasi oleh badan pengawas, dan tidak menetapkan nilai dose constraint tertentu yang harus dilaksanakan oleh pemegang izin.

Pendapat yang dikemukan oleh Prof Eri Hiswara, M.Sc mengenai pembatas dosis

(5)

5

adalah tepat karena sejalan dengan rekomendasi

IAEA. Tetapi, materi pembahasan cukup terbatas sehingga kurang dalam memberikan contoh-contoh terapan. Hal itu sangat dimaklumi mengingat topik makalah sangat luas. Materi pembatas dosis yang dibahas, hanya satu poin, yaitu pembatas dosis terhadap pekerja, Berdasar literatur IAEA, misalnya BSS No.115 dan GSR, ruang lingkup pembatas dosis terdiri dari tiga poin (pembatas dosis untuk pekerja, pembatas dosis untuk anggota masyarakat, dan pembatas dosis untuk medik).

Saran Prof Eri agar dose contraint tidak diterjemahkan sebagai “pembatas dosis” tetapi “penghalang dosis” yang disertai uraian adalah ide yang baik. Namun, terjemahan dose constraint perlu juga dipertimbangkan sesuai aslinya, yaitu “konstrein dosis” supaya menjadi lebih fokus. Istilah lain dalam teknologi nuklir juga sudah diterjemahkan sesuai aslinya, diantaranya, tingkat klirens (clearance level), daerah supervisi (supervised area) dan rilis ke udara (airbone release). Sebenarnya, kata konstrain juga sudah umum digunakan oleh publik ketika membahas hal-hal terkait “ketidakleluasaan”, “paksaan” atau “keterbatasan”. Selain itu, arti constraint adalah pembatas menurut Kamus Inggris-Indonesia, oleh John M. Echols dan Hassan Shadily, Percetakan PT. Gramedia, Jakarta 1996 [16].

Penafsiran Prof Eri mengenai pasal 36 ayat (1) tersebut dapat dimengerti karena poin yang dibahas hanya pembatas dosis untuk pekerja radiasi. Klausul pasal 36 ayat (1) dapat dikembangkan sehingga tidak hanya ditujukan terhadap pembatas dosis untuk pekerja tetapi juga anggota masyarakat.

Dalam GSR Part 3, IAEA mereko-mendasikan nilai pembatas dosis untuk pekerja ditentukan oleh pemegang izin, tetapi, IAEA dalam beberapa komplimen BSS No.115, berupa pedoman (safety guide) juga merekomendasikan nilai pembatas dosis agar diterapkan dalam tahap desain untuk perhitungan tebal dinding. Dengan demikian dosis yang diterima pekerja dan anggota masyarakat memenuhi prinsip optimisasi, yaitu penerimaan dosis serendah mungkin yang dapat dicapai dengan mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi (ALARA). Adapun publikasi IAEA terkait penerapan pembatas dosis dalam tahap desain, sebagai contoh adalah pada tahap desain untuk ruangan radiologi diagnostik dan intervensional; radioterapi; dan PET/CT.

BAPETEN mengadopsi pedoman-pedoman IAEA tersebut dalam sistem pengawasan melalui penyusunan peraturan yang ketentuan tahapan perizinan diatur dalam PP No. 29 Tahun 2008 tentang Perizinan Sumber Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif. Sebagai contoh

adalah penggunaan radioterapi, sistem perizinannya diatur secara bertahap: kontruksi dan operasi [17].

Ketentuan yang lebih rinci diatur dalam Perka BAPETEN, yaitu pembatas dosis dalam desain untuk perhitungan tebal dinding harus ditentukan oleh pemegang izin. Kemudian dokumen tersebut dievaluasi dan disetujui oleh Kepala BAPETEN dalam rangka memperoleh izin tahap konstruksi dan tahap akhir diajukan permohonan izin operasi untuk penggunaan radioterapi. Pada prinsipnya, desain ruangan yang berbatasan dengan pekerja radiasi dan desain ruangan yang berbatasan dengan anggota masyarakat harus menerapkan pembatas dosis dalam rangka optimasi.

Dalam tataran peraturan pelaksanaan, yaitu Perka BAPETEN, ketentuan penerapan pembatas dosis dalam tahap desain di bidang medik, diantaranya: (1) ruangan radiologi diagnostik dan intervensional; (2) ruangan radioterapi; (3) ruangan kedokteran nuklir untuk terapi; dan (4) ruangan siklotron. Untuk bidang industri, diantaranya (1) ruangan radiografi industri fasilitas tertutup; dan (2) ruangan iradiator kategori IV. Sebagai contoh adalah ketentuan yang diatur dalam draf akhir Perka BAPETEN pasal 41 mengenai penerapan pembatas dosis dalam tahap desain ruangan radioterapi [18], sebagai berikut:

(1) Pembatas dosis untuk pekerja radiasi dan anggota masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) harus ditentukan oleh Pemegang izin pada tahap desain bangunan fasilitas.

(2) Pembatas dosis bagi pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan 1/2 (satu per dua) dari Nilai Batas Dosis per tahun untuk pekerja radiasi atau 10 mSv (sepuluh milisievert) per tahun atau 0,2 mSv (nol koma dua milisievert) per minggu.

(3) Pembatas dosis bagi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan 1/2 (satu per dua) dari Nilai Batas Dosis per tahun untuk anggota masyarakat atau 0,5 mSv (nolkoma lima sievert) per tahun atau 0,01 mSv (nol koma nol satu milisievert) per minggu.

Pada bagian penjelasan PP No. 33 Tahun 2007 disebutkan bahwa pasal 35 dan 36 dinyatakan cukup jelas. Pasal 35 cukup jelas, karena merupakan norma umum. Namun, pasal 36 barangkali perlu penjelasan yang lebih rinci sehingga pada pasal 36 ini seharusnya ditambahkan satu ayat lagi menjadi lima (ayat penutup), yaitu (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembatas dosis diatur dengan Peraturan Kepala BAPETEN.

(6)

6

Sejak dari awal penyusunan PP No. 33 tersebut, tim sekretariat Direktorat Pengaturan Pengawasan Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif (DP2FRZR) telah merencanakan bahwa ketentuan lebih rinci mengenai pembatas dosis akan disusun dalam tataran Perka BAPETEN. Ada beberapa Perka BAPETEN yang sudah dan akan disusun, diantaranya pengganti SK, BAPETEN No. 01/Ka-Bapeten/V/99 yang berlaku secara umum di semua fasilitas. Status Perka pengganti SK No. 01/1999 masih draf akhir dan klausul mengenai pembatas dosis masih sama ketika Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan (PTAPB) BATAN menyampaikan keluhan adanya tahapan persetujuan nilai pembatas dosis dalam surat No: 3462/KN0002/IX/2009, 8 September 2009 [19 ]. Adapun inti surat PTAPB, sebagai berikut: “Pembatas Dosis di PTAPB sama dengan Nilai Batas Dosis yang diizinkan berdasarkan SK. Kepala BAPETEN No. 01/Ka-Bapeten/V/90 tentang Ketentuan Keselamatan Kerja terhadap Radiasi, yaitu 50 mSv/tahun bagi pekerja dan 5 mSv/tahun bagi masyarakat umum mengingat: - Berdasarkan draf PERKA pengganti SK,

BAPETEN No. 01/Ka-Bapeten/V/99, diperlukan tahapan-tahapan dalam penentuan Pembatas Dosis [20].

- Selain itu perlu kami beritahukan bahwa salah satu kegiatan PTAPB pada tahun 2010 – 2011 akan melakukan analisis untuk penentuan Pembatas Dosis (dose constraint)”.

Perka pengganti SK No. 01/1999 dan Perka mengenai tingkat klirens serta Perka mengenai pelepasan zat radioaktif ke lingkungan sangat penting, terlebih lagi untuk fasilitas milik BATAN karena kegiatannya terdiri dari berbagai jenis sumber, instalasi atau fasilitas dan operasi, yang membutuhkan penerapan pembatas dosis untuk masyarakat.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Konsep pembatas dosis yang diatur pada pasal 35 dan 36 PP No.33/2007 merupakan proses optimisasi proteksi dan keselamatan radiasi dan salah satu unsur terpenting dari persyaratan proteksi radiasi yang diatur pada pasal 4 ayat (3) huruf b. Berdasar kajian yang dilakukan, penerapan konsep pembatas dosis belum berjalan sebagaimana mestinya meskipun PP No.33/2007 sudah diberlakukan sekitar lima tahun.

Ada dua faktor penyebab utama, yaitu: (1) Ada perbedaan pemahaman mengenai pengertian dan penerapan konsep pembatas dosis; dan (2) Ada tiga Peraturan Kepala BAPETEN sebagai amanat persyaratan proteksi radiasi pasal 4 ayat (3) huruf b PP No. 33 Tahun 2007 yang belum siap, yaitu: (a) pengganti SK, No. 01/Ka-Bapeten/V/1999; (b) tingkat klirens; dan (c) batas pelepasan zat radioaktif ke lingkungan.

Saran

Agar pemahaman mengenai konsep pembatas dosis dapat ditingkatkan dan penerapan dapat dilakukan dengan baik, untuk itu, barangkali perlu diselenggarakan lokakarya terbatas antara BAPETEN dan BATAN.

UCAPAN TERIMA KASIH

Diucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Prof Eri Hiswara, M.Sc yang memberikan masukan mengenai persyaratan radiasi yang diatur dalam PP No.33 Tahun 2007, yang sekaligus memberi inspirasi penulisan makalah ini. Juga diucapkan terima kasih banyak kepada atasan kami, Bapak Dr Yus Rusdian selaku Kepala P2STPFRZR yang dengan senang hati diajak berdiskusi mengenai proteksi dan keselamatan radiasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. BAPETEN, Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif, Jakarta, 2007.

2. IAEA, “International Basic Safety Standards for Protection against Ionizing Radiation and for the Safety of Radiation Sources”, Safety Series No. 115, Vienna.

3. ICRP, The 1990 Recommendations of the International Commission on Radiological Protevtion, Annals of the ICRP Vol. 21 No. 1-3. ICRP Publication 60. Pergamon Press, Oxford. 4. ERI HISWARA, Prof, M.Sc, Kajian Mengenai Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2007 Tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan Keamanan Sumber Radioaktif, Jakarta.

5. VALENTINE, J, The 2007

Recommendations of the International Commission on Radiological Protevtion, ICRP No. 103/2007, Published by Elsevier , 2007.

6. IAEA, Radiation Protection and Safety of Radiation Sources: International Basic Safety Standards, General Safety Requirement Part 3, Safety Standards, Vienna, 2011.

(7)

7

7. TREVOR BOAL, Dose Limits and Dose

Constraints, Regional Workshop on the International Basic Safety Standards, Kuala Lumpur, Malaysia, 17 -20 April 2012.

8. IAEA, Occupational Radiation Protection, RS-G-1.1. Safety Standard Series, Vienna,

9. IAEA, Optimization of Radiation Protection in the Control of Occupational Exposure, Safety Report Series No. 21, Vienna, 2002.

10. NEA/OECD, Considerations on the Concept of Dose Constraint, Paris, France, 1996.

11. ICRP, The 2000 Recommendations of the International Commission on Radiological Protevtion, ICRP Publication 103. Pergamon Press, Oxford.

12. IAEA, Applying Radiation Safety Standards in Diagnostic Radiology and Interventional Procedures Using X-Rays, Safety Report Series No. 36, Vienna, 2006.

13. IAEA, Applying Radiation Safety Standards in Radiotherapy, Safety Report Series No. 38, Vienna, 2006,

14. BAPETEN, Peraturan Kepala BAPETEN No. 8 Tahun 2001 tentang Keselamatan Radiasi dalam Penggunaan Pesawat Sinar-X Radiologi Diagnostik dan Inyervensional, Jakarta,

15. BAPETEN, Draf Peraturan Kepala BAPETEN tentang Keselamatan Radiasi dalam Penggunaan Zat Radioaktif untuk Kedokteran Nuklir, Jakarta, 2012.

16. JHON M. ECHOLS & HASSAN SADILY, Kamus Inggris-Indonesia, PT. Gramedia Putaka Utama, Cetakan XXIII, Jakarta 1996.

17. BAPETEN, Draf Akhir Peraturan Kepala BAPETEN tentang Keselamatan Radiasi dalam Penggunaan Radioterapi, September 2012.

18. BAPETEN, Peraturan Pemerintah No.29 Tahun 2008 tentang Perizinan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir”, Jakarta, 2008.

19. BATAN, Surat Kepala Pusat Teknologi dan Aplikasi PB-BATAN melalui surat No: 3462/KN0002/IX/2009 tanggal 8 Septem-ber 2009, Yogyakarta, 2009.

20. BAPETEN, Draf Akhir Peraturan Kepala BAPETEN tentang Proteksi dan Keselamatan Radiasi dalam Pemanfaatan Tenaga Nuklir, Jakarta, September 2012.

(8)

8

Gambar

Gambar 1. Nilai Batas Dosis dikontraskan dengan  Pembatas Dosis untuk memproteksi pekerja dan anggota

Referensi

Dokumen terkait

Namun demikian, perlu kiranya dimengerti bahwa montmorillonite masih memiliki situs aktif lain, yaitu permukaan bermuatan negatif permanen (X - ) yang juga berperan

Jurnal Ilmiah ini memuat karya ilmiah yang membahas tentang Analisis Proses Rekrutmen Dan Seleksi Tenaga Keperawatan Guna Meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia Di Rumah

Tujuan dari dilaksanakanya penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja aktivitas media relations yang dilakukan corporate secretary GlobalTV dalam upaya publisitas The

Dengan demikian berdasarkan hasil penelitian mengenai Penjadwalan Online menggunakan Google Calendar merupakan salah satu aplikasi berupa kalender digital yang dapat

Untuk mengetahui kondisi religiusitas dan OCB di Unsoed digunakan analisis deskriptif kualitatif.Hasil penelitian membuktikan bahwaDimensi Religiusitas yaitu dimensi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi alkali berpengaruh nyata terhadap aroma, kenampakan, penerimaan keseluruhan, ukuran partikel dan kekerasan cokelat; sedangkan

Gambar 10 Pressure bodi Proto modifikasi Dari Gambar 9 dan Gambar 10 yang menunjukkan pressure pada Mataram Proto Diesel dan Proto modifikasi dapat dilihat bahwa

Maksud dari definisi di atas adalah satu pahaman universal yang kalau tidak dibubuhkan dalam essensi suatu individu, maka individu tersebut tidak