• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 3 Sangat penting dibedakan pengertian antara institusi dan organisasi. Seperti halnya institusi,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA. 3 Sangat penting dibedakan pengertian antara institusi dan organisasi. Seperti halnya institusi,"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelembagaan

Menurut Hayami dan Kikuchi (1987) dan Bardan (1989) dalam Peter (2000) kelembagaan mempunyai dua pengertian yaitu: Pertama, kelembagaan merupakan suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi interpersonal. Dalam hal ini kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan perlindungan hak-haknya dan tanggung jawabnya. Kedua: kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hirarki. Menurut Pakpahan (1990) dalam Kartodihardjo (1998) kelembagaan atau institusi merupakan sistem yang kompleks, rumit dan abstrak yang mencakup ideology, hukum adat istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu (perorangan atau organisasi) atau dalam bentuk bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu kelembagaan adalah instrument yang mengatur individu3. Kelembagaan merupakan sistem organisasi dan kontrol masyarakat terhadap penggunaan sumberdaya. Sebagai organisasi, kelembagaan diartikan sebagai wujud konkrit yang membungkus aturan main tersebut seperti pemerintah, bank, koperasi, pendidikan, HPH dan sebagainya. Batasan tersebut menunjukkan bahwa organisasi dapat dipandang sebagai perangkat keras dari kelembagaan sedangkan aturan main merupakan perangkat lunak.

Kelembagaan dicirikan oleh tiga komponen utama (Shafer dan Smith dalam Pakpahan, 1989), yaitu batas kewenangan (jurisdictional boundary), hak kepemilikan (property right) dan aturan perwakilan (rules of representation) yang uraiannya adalah sebagai berikut;

1. Batas kewenangan, diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh seseorang atau pihak tertentu terhadap sumberdaya faktor produksi, barang dan jasa. Oleh karena sumberdaya

3

Sangat penting dibedakan pengertian antara institusi dan organisasi. Seperti halnya institusi, organisasi juga menyediakan mekanisme yang mengatur individu. Namun dapat dibedakan bahwa aturan dalam institusi dipergunakan untuk menata aturan main dari pemain pemain atau organisasi yang terlibat, sedangkan aturan dalam organisasi ditujukan untuk memenangkan permainan tersebut. Bentuk organisasi dapat meliputi organisasi politik, organisasi ekonomi, organisasi sosial dan organisasi pendidikan (North, 1990)

(2)

tersebut harus dikonsumsi secara bersama (kolektif) maka batas kewenangan menjadi penting dalam merefleksikan keinginan dari pengguna sumberdaya tersebut dalam aturan pengambilan keputusan. Batas kewenangan ini akan menghasilkan keragaman seperti yang diharapkan ditentukan oleh empat hal yaitu; perasaan peserta sebagai suatu bagian masyarakat (sense of community), eksternalitas (externality), homogenitas (homogenety) dan skala ekonomi (economies of scale). Anwar (2001) menyatakan bahwa kewenangan berperan untuk mengatur penggunaan sumberdaya, dana dan tenaga dalam organisasi. Selain itu juga berperan dalam menentukan laju pemanfaatan sumberdaya, sehingga pada gilirannya akan menentukan sifat keberlanjutan (suistainability) sumberdaya tersebut dan pembagian (share) manfaat bersih yang diperoleh masing-masing pihak.

2. Hak kepemilikan, diartikan hak yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat terhadap sumberdaya atau output tertentu yang diatur oleh suatu peraturan, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan anggota masyarakat. Oleh karena itu tidak seorangpun yang dapat menyatakan hak milik atau hak penguasaan apabila tanpa pengesahan dari masyarakat sekitarnya. Implikasinya adalah: 1) hak seseorang adalah kewajiban orang lain dan 2) hak yang tercermin oleh kepemilikan (ownership) adalah sumber kekuasaan untuk memperoleh sumberdaya. 3. Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam

proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap keadaan dan ditentukan oleh kaidah perwakilan/repsentasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi lebih banyak ditentukan oleh kebutuhan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat terhadap anggota yang terlibat dalam organisasi tersebut.

Pengertian kelembagaan diatas memberikan gambaran, bahwa jika kinerja pengelolaan hutan tidak sesuai dengan yang diharapkan, berarti institusi pengelolaan hutan tidak mengandung faktor faktor yang menjadi pertimbangan masyarakat agar memberikan respon dan melakukan reaksi untuk mencapai

(3)

kinerja yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh karena lemahnya institusi dan kontrol pelaksanaannya, perilaku, kapabilitas organisasi pemerintah dan masyarakat.

Menurut Schmidt (1987) dalam Kartodihardjo (2000), institusi atau kelembagaan dapat merubah faktor eksternal (eksogen) dalam proses pembangunan. Dengan demikian kelembagaan mampu melakukan perubahan. Dipihak lain, kelembagaan dapat menjadi peubah faktor internal (endogen) dalam pembangunan. Dengan demikian perubahan kelembagaan berlangsung sebagai akibat dari perubahan ditempat lain. Interdependensi antara teknologi dengan institusi menciptakan suatu sistem sosial yang kompleks. Kontribusi utama kelembagaan dalam proses pembangunan adalah mengkoordinasikan para pemilik input berupa: tenaga kerja, capital, manajemen dan lain lain, dalam proses transformasi dari input menjadi output. Pada saat yang bersamaan kelembagaan juga mengkoordinasikan distribusi output kepada pemilik input berupa individu, organisasi pemerintah dan lain lain, tergantung dari satuan analisis yang digunakan. Kemampuan suatu institusi dalam mengkoordinasikan, mengendalikan atau mengontrol interdependensi antar partisipan sangat ditentukan oleh kemampuan institusi tersebut mengendalikan sumber interdependensi. Sumber interdependensi merupakan karakteristik sumberdaya yang dibicarakan. Karakteristik sumberdaya mencakup inkompatibiltas, ongkos ekslusi, joint

impact, surplus, resiko dan ketidakpastian, ongkos transaksi.

2.2. Hutan Lindung sebagai Common Pool Resources

Common pool resources (sumberdaya milik bersama) merupakan istilah

yang cukup populer dalam membahas hak-hak penguasaan atas sumberdaya. Istilah ini merujuk kepada suatu sumberdaya alam, sumberdaya buatan atau fasilitas yang bernilai yang tersedia bagi lebih dari satu orang dan merupakan subjek yang cenderung terdegredasi sebagai akibat kecenderungan overuse (Ostrom, 1990)

Istilah common pool resources diperkenalkan secara lebih spesifik oleh para peneliti yang dipelopori oleh Ostrom (1999) untuk menjelaskan karakteristik sumberdaya yang memiliki dua karakteristik utama. Pertama, memiliki sifat substractibility atau rivalness dalam pemanfaatannya. Sifat substractibility berarti

(4)

setiap konsumsi atau pemanenan seseorang atas sumberdaya akan mengurangi kemampuan atau jatah orang lain di dalam memanfaatkan sumberdaya tersebut. Kedua, sifat rivalness menyebabkan adanya biaya (cost) yang harus dikeluarkan untuk membatasi akses pada sumberdaya bagi pihak-pihak lain untuk menjadi pemanfaat (beneficiaries).

Sumberdaya hutan adalah salah satu contoh bentuk CPRs yang banyak dibahas dalam berbagai literatur, selain sistem irigasi, perikanan (fisheries), dan padang penggembalaan ternak (rangelands) (Ostrom 1999). Deforestasi yang masif di negara-negara tropis dan penggurunan (desertification) wilayah Sahel merupakan contoh- contoh yang digunakan banyak pakar untuk menggambarkan teori tentang CPRs. Menurut Ostrom (1999) sumberdaya hutan dengan berbagai macam atribut yang terdapat didalamnya merupakan sumberdaya yang sulit dikelola secara berkelanjutan, efisien dan adil oleh pemerintah.

Menurut Rustiadi 2006, kecenderungan pemanfaatan berlebihan atau overuse merupakan masalah yang sekaligus penciri dari sumberdaya-sumberdaya CPRs, untuk itu diperlukan mekanisme dan sistem kelembagaan untuk dapat mengaturnya. Hal ini sejalan dengan gagasan Ostrom (1990) yang menyatakan: (1) privatisasi sumberdaya alam bukanlah cara yang tepat termasuk untuk menghambat kerusakan lingkungan, (2) pemerintah tak selalu sebagai pengatur terbaik bagi alokasi sumberdaya milik publik, dan (3) masyarakat bisa diberdayakan bagi komunitasnya sendiri, untuk mengatur sumberdaya alam.

Menurut Schlager dan Ostrom (1992) hak atas kepemilikan suatu sumberdaya air, dicirikan oleh 1) Acces adalah hak untuk memasuki suatu sumberdaya, biasanya hak ini dimiliki oleh masyarakat yang bertempat tinggal di dekat sumberdaya berada, sehingga konsekuensinya masyarakat yang berada di sekitar sumberdaya berada akan memiliki hak ini (2) Withdrawal, adalah hak untuk mengambil sumberdaya untuk dimanfaatkan bagi kebutuhan. (3)

Management adalah hak untuk membuat keputusan tentang bagaimana

sumberdaya itu dapat digunakan, biasanya otoritas ini dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat komunal yang didasarkan pada keputusan kolektif. Dalam hal demikian, terdapat dua model pengaturan sumberdaya hutan yakni pengaturan oleh manajemen pemerintah dan manajemen masyarakat lokal. (4) Exclusion,

(5)

adalah hak untuk memutuskan siapa yang boleh masuk ke sumberdaya tertentu dan siapa yang tidak boleh. Otoritas ini biasanya juga dimiliki oleh masyarakat lokal di sekitar sumberdaya berada, namun lebih baik jika disini diperlukan otoritas pemerintah yang memiliki kekuatan untuk memaksakan aturan terhadap pengguna. (5) Transfers, adalah hak untuk menjual, menyewakan, atau mewariskan sumberdaya kepada pihak lain yang memerlukannya.

Kedua hak pertama digolongkan pada hak tingkat operasional (operational

level), sedangkan ketiga hak terakhir digolongkan pada tingkat pilihan bersama

(collective-choice level). Kelima hak tersebut, lebih lanjut dinyatakan, bila kelima hak tersebut dimiliki oleh masyarakat atau seseorang atau badan usaha, berarti sumberdaya air tersebut property right-nya bersifat private property right, tetapi jika hanya sebagian, misalnya hanya memiliki hak akses dan pengambilan, maka

property right atas sumberdaya air bersifat common property right; demikian pula

bila masyarakat lokal memiliki hak exclusion, maka masyarakat lokal langsung memiliki hak akses, hak pengambilan, dan hak manajemen atas sumberdaya air yang ada.

Kelima hak kepemilikan atas sumberdaya air tersebut, secara umum dapat dikelompokan menjadi empat, yaitu: (1) pemilik (owner), (2) penggarap (propriator), (3) pengklaim (claimant), (4) pengguna yang diberi otoritas (authorized user). Dengan demikian pemilik atas sumberdaya air seharusnya memiliki otoritas dari semua hak di atas, sedangkan pengguna (user) diberi otoritas hanya memiliki salah satu dari kelima hak yang ada, misalnya hak akses dan hak pengambilan, sedangkan hak manajemen, exclusion dan transfer tidak dimiliki oleh user, namun berada di tangan pihak lain, bisa pemerintah atau masyarakat komunal, dimana hak exclusion dan transfer pengaturannya harus melalui pemerintah.

Untuk mengendalikan kerusakan terhadap sumberdaya bersama (CPR) maka Ostrom (1990) menetapkan 8 prinsip pengelolaan CPR yaitu: 1) tata batas terdefinisikan dengan jelas, 2) terdapat kesesuaian antara peraturan dan situasi lokal, 3) terdapat kesepakatan yang memungkinkan terjadinya partisipasi sebagian besar pengguna dalam proses pengambilan keputusan, 4) monitoring efektif yang dilakukan oleh pemilik sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab pemilik

(6)

terhadap sumberdaya tersebut, 5) terdapat sanksi bagi bagi yang tidak menghormati aturan 6) mekanisme penyelesaian konflik yang murah dan mudah diakses, 7) terdapat pengakuan hak dari organisasi lain, 8) Dalam kasus CPR yang luas; organisasi bisa berbentuk beberapa lapisan yang lebih kecil dan berbasis lokal

2.3. Kebijakan Pengelolaan Hutan Lindung

Tahun 1999 dapat dikatakan merupakan momentum penting bagi kehutanan Indonesia karena UU No 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang telah berumur 28 tahun akhirnya digantikan dengan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Sampai dengan tahun 2001, rejim pengaturan kehutanan yang terkait dengan pengelolaan kawasan hutan lindung lebih banyak di dominasi oleh Keputusan Menteri tentang penunjukkan dan penetapan kawasan hutan sebagai kawasan hutan lindung. Antara tahun 1981-1986 penunjukkan kawasan hutan lindung ditetapkan melalui SK Menteri Pertanian. Namun antara tahun 1986-2003 penetapan dan penunjukkan suatu kawasan hutan menjadi hutan lindung dilakukan melalui SK Menteri Kehutanan.

Pada tahun 1990 pemerintah menetapkan Keputusan Presiden (Keppres) No 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Keppres ini menyebutkan bahwa kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kawasan kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan dan nilai sejarah budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Salah satu kawasan yang dilindungi adalah hutan lindung. Hutan lindung dianggap merupakan salah satu dari kawasan lindung karena dianggap merupakan kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberi perlindungan kepada kawasan disekitar maupun dibawahnya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Oleh karena itu hutan perlu dilindungi. Akan tetapi Keppres No 32 Tahun 1990 tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai kerangka pengelolaan hutan lindung. Hal tersebut disebabkan karena Keppres tersebut tidak hanya mengatur hutan lindung tetapi juga berbagai kawasan yang masuk sebagai kawasan lindung. Secara nasional ketentuan mengenai pengelolaan hutan lindung diatur dengan keputusan Menteri Kehutanan No 464/Kpts-II/1995 yang selanjutnya

(7)

dirubah dengan Keputusan Menteri Kehutanan No 140/Kpts-II/1998 tentang Pengelolaan Hutan Lindung. Ketentuan ini merupakan satu satunya payung hukum yang mengatur pengelolaan hutan lindung terutama karena UU No 5 Tahun 1967 pada dasarnya hanya menekankan pada pengurusan hutan yang bertujuan untuk mencapai manfaat yang sebesar besarnya, namun tidak mengatur pengelolaan hutan secara lestari. Hal ini terlihat dengan tidak adanya pasal pasal yang secara jelas mengatur pengelolaan hutan lindung. Demikian pula halnya dengan PP No 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan sebagai salah satu turunan dari UU No 5 tahun 1967 lebih banyak menyinggung tentang perlindungan hutan secara makro, dari pada berisi tentang ketentuan khusus tentang hutan lindung.

Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No 140/Kpts-II/1998 tentang Pengelolaan Hutan Lindung telah diakomodir kepentingan dan peran masyarakat, karena pemerintah menilai masyarakat sangat berkepentingan dengan kawasan hutan. Meskipun demikian mekanisme peran serta masyarakat tidak dijelaskan dalam keputusan ini dan tidak pula disebutkan bahwa hal tersebut akan diatur dalam peraturan tersendiri.

Apabila melihat pada pengelolaan secara keseluruhan maka jelas bahwa pendekatan pengelolaan hutan lindung sangat bersifat top down dan kelembagaannya sangat didominasi oleh Departemen Kehutanan. Dengan kata lain sebagian kewenangan pengelolaan hutan lindung masih berada ditangan pemerintah pusat, walaupun telah disebutkan bahwa pengelolaan hutan lindung berada ditangan pemerintah daerah. Khususnya dibidang kehutanan, terbitnya UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan memberikan harapan bahwa perhatian pemerintah terhadap pengelolaan hutan lindung menjadi lebih baik dan komprehensif. Walaupun kewenangan pengelolaan atas masing-masing hutan lindung tidak lagi dibawah kendali pemerintah pusat, namun secara nasional pemerintah pusat sebagaimana tercantum pada pasal 2 PP No 38 tahun 2007 tentang kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom memiliki kewenangan dalam membuat pedoman.

(8)

2.4. Kerusakan Hutan di Indonesia

Degradasi hutan melalui proses alih guna lahan hutan secara proses legal (kebijakan pemerintah) maupun akibat perambahan oleh masyarakat, menjadi suatu dilema yang sangat mengkwatirkan, saat ini degradasi hutan sebesar 1,8 juta Ha per tahun (Dephut,2004). Permasalahan degradasi ini menjadi hal yang sangat penting jadi perhatian semua pihak karena hutan hujan tropis Indonesia merupakan salah satu hutan yang paling terancam di muka bumi.

Menurut Butler (2007) dalam Mahmuddin (2009), antara tahun 1990 – 2005, negara ini telah kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan, termasuk 21,7 persen hutan perawan. Penurunan hutan-hutan primer yang kaya secara biologi ini adalah yang kedua di bawah Brazil. Jumlah hutan-hutan di Indonesia makin menurun dan banyak dihancurkan karena aktivitas manusia. Data pada tahun 1960-an, sebanyak 82% luas negara Indonesia ditutupi oleh hutan hujan, turun menjadi 68% di tahun 1982, 53% di tahun 1995, dan 49% pada saat ini. Umumnya, hutan tersebut bisa dikategorikan sebagai hutan yang telah terdegradasi. Manusia adalah penyebab utama terdegradasinya hutan hujan tropis. Di Indonesia, aktivitas manusia yang merusak hutan antara lain penebangan kayu, penambangan di wilayah hutan, perkebunan, dan perambahan hutan. Aktivitas manusia yang menyumbang kerusahakan hutan terbesar adalah kegiatan hak pengusahaan hutan (HPH) dan perkebunan skala besar seperti perkebunan kelapa sawit.

Menurut data Direktorat Jendral Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan (DEPHUT 2006), laju kerusakan hutan saat ini turun dari kisaran 1,87 juta hektare per tahun pada kurun 1985-1998 dan 2,83 juta hektar per tahun pada 1987-2000, namun luas hutan kritis sampai akhir 2009 diperkirakan mencapai 69,9 juta hektar. Dengan kemampuan merehabilitasi kawasan hutan selama 2003-2007 hanya 846.904 hektar, maka degradasi hutan masih menghantui Indonesia. Sementara untuk 2008, Dephut merencanakan penanaman seluas 1,7 juta hektare dan untuk tahun ini 1,9 juta hektare. Di sisi lain, ancaman degradasi tidak hanya ada di kawasan hutan. Data Ditjen RHL juga menyebutkan luas lahan kritis di luar kawasan hutan pada 2003 sudah mencapai angka 41,5 juta hektar. Dengan luas lahan kritis di dalam dan luar kawasan sampai akhir tahun ini diperkirakan

(9)

mencapai 110,6 juta hektare, maka total penanaman dalam rangka Gerakan Nasioal Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) yang mencapai 2,028 juta hektar baru ibarat setitik air di padang tandus. Makin luasnya lahan kritis ini tidak saja merugikan industri pengolahan kayu yang terancam kesulitan memperoleh pasokan bahan baku kayu dari hutan alam dan hutan tanaman industri secara berkesinambungan dan lestari. Degradasi lahan dan hutan juga mengancam kelestarian sumber air, selain menyebabkan perubahan iklim yang mengakibatkan pemanasan global.

2.5. Dampak Degradasi Hutan

Menurut hasil penelitian Ihsanurizal (2005) bahwa dampak langsung dari adanya degradasi hutan di Kalimantan Timur adalah hilangnya potensi kayu, pengambilan manfaat dari kayu hasil hutan non kayu senilai Rp 24,45 miliar. Akibat dampak ini pula perekonomian di Kalimantan Timur turun sebesar 0,17%. Sedangkan dampak tidak langsung dari degradasi hutan adalah turunnya supply kayu bagi industry kayu, dengan demikian para pekerja yang berhubungan dengan industry sektor kehutanan akan kehilangan sebagian mata pencaharian.

Menurut Hutajulu (2010) akibat adanya degradasi hutan yang disebabkan oleh pembalakan liar di Kabupaten Jayapura, negara kehilangan pendapatan sebesar Rp 1.942.866.894.272,- yang terdiri dari Rp 1.941.855.537.720, potensi kehilangan kayu Rp 465.211.270,- iuran Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) dan Rp 546.145.282,- iuran Dana Reboisasi (DR). Sedangkan dampak banjir/longsor gunung Cycloops menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas pertanian, peternakan dan perikanan dengan nilai kerugian sebesar Rp 1.178.264.000. Dampak lain terhadap kesehatan masyarakat yakni meningkatnya volume penyakit gatal-gatal, kudis, malaria, flu dan lain sebagainya dengan nilai kerugian sebesar Rp 152.325.000. Biaya tidak langsung yang ditanggung oleh masyarakat akibat tidak bekerja, sehingga kehilangan pendapatan dalam waktu tertentu yakni sebesar Rp 15.102.600.

Degradasi hutan dan ekosistemnya yang terjadi akibat pembalakan liar ternyata juga diiringi dengan menurunnya kemampuan penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dalam daya beli dan akses terhadap SDAH. Keadaan ini dipersulit dengan minimnya kemampuan pemerintah dalam membangun

-20 40 60 80 100 D K I B a li R ia u K a ls e l N A D K a lt e n g S u m u t S u lu t S u ls e l B e n g k u lu K a lt im K a lb a r S u lt e n g S u lt ra M a lu k u P a p u a P E R S E N

(10)

-20 40 60 80 100 D K I B a li R ia u K a ls e l N A D K a lt e n g S u m u t S u lu t S u ls e l B e n g k u lu K a lt im K a lb a r S u lt e n g S u lt ra M a lu k u P a p u a P E R S E N

% Kaw asan Hutan/Daratan % Penduduk Miskin/Penduduk

fasilitas kesehatan dan pendidikan. Menurut Munawar (2010), Degradasi lahan sangat berkaitan erat dengan lahan, penduduk, kemiskinan dan demikian pula sebaliknya. Ketersediaan lahan yang terbatas yang diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk yang besar mengakibatkan terjadinya kekurangan lahan. Hal ini diperburuk dengan praktek pengelolaan lahan yang tidak lestari sehingga menyebabkan degradasi lahan yang dapat meningkatkan angka kemiskinan. Demikian pula sebaliknya, kemiskinan juga dapat mendorong terjadinya degradasi lahan. Dengan demikian kemiskinan merupakan penyebab dan akibat dari degradasi lahan. Sekalipun hubungan degradasi hutan dan kemiskinan belum tentu berbanding lurus dan kemiskinan bukan tanggung jawab utama sektor kehutanan, kehadiran pengelola hutan komersial secara tidak langsung telah membatasi akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang pada mulanya merupakan tempat mereka menggantungkan hidup (Sumarjani, 2006). Data dari Departemen Kehutanan menyebutkan bahwa semakin luas kawasan hutan yang dimiliki oleh suatu wilayah maka angka kemiskinan pun semakin besar seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini

Gambar 2. Hubungan antara persentase luas Kawasan Hutan Negara dengan Penduduk Miskin di Beberapa Propinsi (Kartodihardjo dan Jhamtani, 2006)

2.6. Pemanfaatan Hutan Lindung

Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang ditetapkan karena memiliki sifat khas sebagai sistem penyangga kehidupan yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar dan kawasan di bawahnya dalam bentuk pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi, serta pemeliharaan kesuburan

(11)

tanah. Kriteria penetapan kawasan hutan lindung didasarkan kepada penilaian terhadap faktor lereng, jenis tanah dan curah hujan serta ketinggian tempat dengan ketentuan ketentuan tertentu (Ngadiono, 2004). Pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan lindung menurut SK Menteri Kehutanan 464/Kpts-II/ jo No 140/Kpts-II/1998 dan SK Dirjen PHPA No 129/Kpts-DJ-VI/1996 meliputi:

1. Inventarisasi kondisi dan potensi hutan lindung meliputi flora, fauna, potensi wisata dan potensi sumberdaya air

2. Pemancangan dan pemeliharaan batas

3. Perlindungan dan pengamanan fungsi ekosistem dan kawasan 4. Rehabilitasi hutan yang rusak

5. Pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa lingkungan 6. Peningkatan peran masyarakat

Pasal 24 ayat (1) PP No 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan hutan menetapkan bahwa pemanfaatan kawasan yang dapat dilakukan dalam kawasan hutan lindung adalah meliputi usaha budidaya tanaman obat, tanaman hias, jamur, perlebahan, penangkaran satwa liar, rehabilitasi satwa liar dan budidaya hijauan pakan ternak. Selanjutnya dalam pasal 25 (2) PP No 6/2007 dalam kawasan hutan lindung juga bisa laksanakan kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan seperti pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanakeragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan dan penyerapan serta penyimpanan karbon.

Undang-undang menekankan bahwa usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung. Dengan demikian maka setiap daerah yang akan melakukan pengelolaan atau tata hutan pada hutan lindung harus mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal penting yang diatur dalam pemanfaatan hutan lindung adalah tidak diijinkan menggunakan alat mekanis dan alat berat, atau membangun sarana dan prasarana permanen yang menyebabkan terganggunya fungsi kawasan.

(12)

Untuk memanfaatkan hutan lindung berupa pemanfaatan hasil hutan non kayu, izin usahanya dapat diberikan pada perseorang atau koperasi. Sementara untuk ijin pemanfaatan jasa lingkungan dan pemanfaatan hasil non kayu dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, BUMN dan BUMD. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pemberian ijin pemanfaatan hutan lindung diberikan oleh Bupati/Walikota jika wilayah kelola berada pada satu wilayah administrasi. Apabila wilayah kelola berada pada lintas Kabupaten dalam satu propinsi maka ijin pemanfaatan dikeluarkan oleh Gubernur. Sedangkan untuk wilayah hutan lindung yang berada pada 2 wilayah propinsi maka ijin pemanfaatan dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan.

Walaupun wewenang pengelolaan hutan lindung telah dimiliki oleh propinsi dan kabupaten/kota menurut UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, namun setiap aspek dan kegiatan terkait yang dikembangkan dan dilaksanakan haruslah mengacu pada kepada UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai payung hukum aturan bidang kehutanan dan PP No 6 Tahun 2007 yang memberikan landasan operasionalnya. Keharusan untuk mengacu kepada suatu aturan yang lebih tinggi tersebut merupakan doktrin umum tentang produk hukum, yang disebut dengan asas les superior derogate inferiori, dimana aturan yang lebih rendah harus mengacu kepada dan tidak boleh bertentangan dengan aturan yang ada diatasnya. Hal ini secara jelas telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Itulah sebabnya dalam penyusunan Suatu Perda harus mencantumkan peraturan yang relevan sebagai dasar hukum di dalam konsideran yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ataupun tingkatannya sama

Referensi

Dokumen terkait

Praktek Dokter Gigi” yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan dan perilaku respondenterhadap penularan HIV/AIDS melalui tindakan perawatan kedokteran gigi di praktek dokter

struktur menu pada website perlu diperbaharui karena kurangnya menu utama website ini berupa menu wisata yang terdiri dari wisata bahari, wisata alam, wisata

Half Coefficient 0.876 Hasil pengujian validitas dan reliabilitas untuk masing-masing variabel tersebut menunjukkan bahwa semua variabel mempunyai koefisien alpha yang cukup besar

Valuasi saham adalah metode untuk menghitung estimasi harga wajar suatu saham atau sesuai nilai instrinsiknya valuasi saham adalah suatu nilai saham yang dianggap

Mata kuliah ini mengantar mahasiswa untuk menguasai filosofi karakteristik kimia hasil hutan, baik hasil hutan kayu maupun bukan kayu dan menganalisis arah tujuan penggunaan

7.2 Kondisi untuk penyimpanan yang aman, termasuk ketidakcocokan Bahan atau campuran tidak cocok.. Pertimbangan untuk nasihat lain •

Penelitian mengenai penanaman budi pekerti bagi anak Taman Kanak-kanak melalui pembelajaran mendongeng ini dilakukan oleh peneliti yang dibantu oleh 2 (dua) orang