• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENELITIAN KELOMPOK BIDANG EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK AGENDA KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PANAS BUMI DALAM RANGKA KETAHANAN ENERGI NASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PENELITIAN KELOMPOK BIDANG EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK AGENDA KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PANAS BUMI DALAM RANGKA KETAHANAN ENERGI NASIONAL"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

LAPORAN PENELITIAN KELOMPOK

BIDANG EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK

AGENDA KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PANAS BUMI DALAM

RANGKA KETAHANAN ENERGI NASIONAL

Oleh:

Hariyadi, SIP., MPP

Ari Mulianta Ginting, SE., M.SE

Yuni Sudarwati, SIP., M.Si

Rasbin, S.TP., M.SE

PUSAT PENGKAJIAN PENGOLAHAN DATA DAN INFORMASI

SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI

(2)

2

EXECUTIVE SUMMARY

Indonesia pada saat sekarang memasuki suatu masa pembangunan dimana terjadi pertumbuhan ekonomi yang konstan dan positif setiap tahunnya. Dampak dari pertumbuhan ekonomi tersebut adalah semakin meningkatnya pertumbuhan akan kebutuhan energi. Karena pertumbuhan ekonomi yang terjadi memerlukan energi sebagai sumber tenaga. Artinya setiap tahun pertumbuhan ekonomi yang terjadi mengakibatkan pertumbuhan kebutuhan akan energi. Namun peningkatan kebutuhan akan energi yang dibutuhkan selama ini masih didominasi oleh sumber energi non terbarukan seperti minyak bumi, batu bara, dan gas. Sumber-sumber energi non terbarukan tersebut memiliki keterbatasan, sehingga penggunaan secara terus menerus energi tersebut sebagai energi utama dapat mengancam ketahanan energi nasional.

Dalam rangka mewujudkan ketahanan energi nasional dalam jangka panjang, pemerintah beserta Komisi VII DPR RI telah menyetujui draf Perpres tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) menggantikan Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang KEN. KEN telah menetapkan politik bauran energi primer sampai dengan tahun 2025 dan 2050, dimana minyak bumi minimal 25% atau minimal 20% (2050), dan Energi Baru Terbarukan (EBT) paling sedikit 23% atau 31% (2050), batu bara minimal 30% atau 25% (2050), dan gas minimal 22% atau minimal 24% (2050). Melihat besarnya tantangan dan besarnya kebutuhan akan energi Indonesia, maka keberhasilan pengembangan EBT akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh kemauan politik dan segenap kebijakan implementatif pemerintah dalam menstimulus pengembangan EBT. Salah sumber energi EBT yang dimiliki oleh Indonesia dan memiliki potensi yang sangat besar adalah sumber energi panas bumi (geothermal).

Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan terdapat 299 lokasi panas bumi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan potensi sebesar 28.617 MW atau 40 persen dari potensi panas bumi dunia. Akan tetapi sampai dengan saat ini pengembangan energi panas bumi di Indonesia baru mencapai 1.341 MW atau sebesar 4,6 %

(3)

3

dari potensi yang ada. Jika dikelola secara optimal, maka besarnya potensi ini akan dapat menjawab kebutuhan akan sumber energi Indonesia. Dari sisi suprastruktur, dibutuhkan kemauan politik pemerintah beserta dengan DPR RI dalam pengembangan sumber energi panas bumi. Dalam kerangka pemahamaan diatas, penelitian ini ditujuan untuk melihat sejauh mana pengembangan energi panas bumi ke depan dengan fokus beberapa isu atau indikator seperti (1) aspek kelembagaan; (2) analisa untung rugi; (3) insetif yang diberikan kepada pengembang dan/atau pengelolan panas bumi dan (4) kaitannya dengan aspek lingkungan terhadap pengembangan panas bumi.

Pengembangan panas bumi menjadi sumber pembangkit listrik sendiri di Indonesia masih mengalami banyak kendala yang cukup besar, diantaranya adalah (1) masalah perizinan pinjam pakai hutan; (2) tanggung jawab pembangunan jaringan transmisi yang diserahkan kepada pengembang tanpa keterlibatan PLN; (3) investasi panas bumi yang memerlukan biaya atau dana yang sangat besar; (4) perlu diatur tarif/ harga listrik yang tepat agar layak secara keekonomian; (5) ijin penggunaan air permukaan untuk eksplitasi dan ekplorasi yang harus sampai persetujuan menteri; (6) tawaran pendaan melalui PIP sangat sulit direalisasikan; (7) masih banyak penolakan masyarakat akibat kurangnya informasi akan PLTP dan (8) kurangnya sumber daya manusia dalam bidang panas bumi.

Karena keterbatasan penelitian maka berdasarkan hasil penelitian tim penelitian panas bumi difokuskan pada 4 point penting terhadap pengembangan panas bumi. Yang pertama berdasarkan hasil analisa terhadap analisa untung rugi, dengan melakukan perhitungan biaya pembangkit panas bumi dan dengan memakai sampel PLTP Sibayak dilakukan analisa biaya dan pendapatan dari PLTP Sibayak. Dari hasil perhitungan didapatkan Biaya Pembangkit Total PLTP Sibayak adalah sebesar Rp. 936/ kWh sedangkan harga jual listrik PLTP Sibayak hanya sebesar Rp. 184,57/ kWh. Maka dari perhitungan keuntungan penjualan, didapatkan hasil bahwa PLTP Sibayak mengalami kerugian Rp. 751,43/ kWh. Kondisi inilah yang terjadi sekarang berdasarkan hasil penelitian Tim yang menyebabkan proyek PLTP Sibayak dapat dikatakan mengarah kepada mangkrak dan rusak. Untuk itu penetapan

(4)

4

tarif menjadi hal penting bagi pengembangan panas bumi di Indonesia. Tarif yang ditetapkan oleh pemerintah harus memberikan win-win solution bagi semua pihak dan mengakomodasi kepentingan pengusaha akan tetapi juga tidak memberatkan PLN dan pemerintah sebagai pembeli listrik.

Yang menjadi fokus penelitian yang kedua adalah aspek kelembagaan, salah satu penyebab proyek panas bumi mangkrak atau belum ada perkembangan yang signifikan, meskipun sudah ditunjuk sebagai pemenang lelang adalah karena lambatnya perizinan yang dikeluarkan baik oleh Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian ESDM, dan pemerintah daerah setempat. Saat ini izin pemanfaat kawasan hutan dilakukan dua kali yakni pada saat eksplorasi dan eksploitas menyebabkan izin yang keluar menjadi terlambat. Lambatnya proses perizinan dalam pengembangan panas bumi menunjukkan bahwa masih adanya hambatan dalam koordinasi antar kementerian dan lembaga yang ada. Setiap kementerian masih memiliki ego sektoral masing-masing. Idealnya adalah terdapat koordinasi antar kementerian yang harus baik sehingga proses perizinan tidak menjadi penghambat dalam pengembangan panas bumi. Dalam konteks inilah, wacana atau masukan diperlukannya pembentukan sebuah lembaga baru yang secara khusus menangani pembangan panas bumi menjadi penting untuk mengkoordinasikan dan mempercepat proses pengembangan panas bumi . atau pilihan lainnya adalah dengan penguatan peran Direktorat Panas bumi, Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, penambahan sumber daya manusia dan infrastruktur yang dibutuhkan Direktorat Panas Bumi menjadi alternatif untuk mengatasi hambatan dalam perizinan dan mempercepat proses pengambangan panas bumi.

Fokus penelitian yang ketiga adalah dampak pengembangan panas bumi bagi masyarakat dan lingkungan. Secara normatif, pengembangan panas bumi telah mempertimbangkan aspek pembangunan berkelanjutan. Namun demikian, dalam proses pengembangan dan pemanfaatannya, sejatinya panas bumi tidak sepenuhnya ramah terhadap lingkungan. Dampak yang paling dirasakan adalah terhadap air dan tanah dilokasi pengembangan, vibrasi, debu, dampak visual dan air permukaan, terjadinya emisi hidrogen sulfida (H2S) dan

(5)

5

penyusutan sumber daya alam. Dampak terhadap kawasan hutan menjadi salah satu isu yang menjadi hambatan dalam pengembangan panas bumi sebagai konsekuensi rezim pengelolaan kehutanan yang dianut negara. Kurang lebih 40 persen potensi panas bumi di Indonesia terletak di dalam kawasan hutan. Untuk itu bagi pengembang potensi panas bumi harus mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan panas bumi dengan menggunakan teknologi yang terbaik dan mengikuti prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang baik dan paling penting harus dapat memberikan isentif bagi pengelolaan hutan yang baik dan menopang kehidupan masyarkat sekitar di lokasi hutan. Hal yang sama dengan juga penting diperhatikan adalah dampak pengembangan panas bumi terhadap sosial dan lingkungan sekitar. Pengelolaan WKP Guci yang dilakukan oleh PT. Spring Energi dapat menjadi rujukan bahwa variabel ini menjadi tantangan tersediri dan menjadi hambatan dalam pengembangan panas bumi. Resistensi masyarakat juga bisa dilihat dari bukti empiris menjadi penghambat pengembangan panas bumi, kasus ledakan salah satu pipa di PLPT Sarula di tahun 2014 menguatkan keyakinan bahwa panas bumi tidak aman secara sosial dan ekologis. Maka untuk mengurangi dampak sosial dan lingkungan maka dapat dilakukan dengan membatasi luasan wilayah kerja pengelolaan panas bumi.

Bagian ke empat yang menjadi fokus peneltian adalah mengenai insentif pengembangan energi panas bumi. Dukungan kebijakan berupa kebijakan fiskal yang mendukung (seperti pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor) dan berpihak kepada pengembangan panas bumi dalam bentuk insentif dan keringanan pajak. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menjanjikan memberikan insentif fiskal untuk mendorong pengembangan panas bumi mulai dari fasilitas perpajakan, bea masuk dan cukai serta fasilitas dana geothermal. Insentif-insentif yang diberikan bagi pengembang panas bui diatur dalam PMK No. 21 Tahun 2010. Namun berdasarkan fakta-fakta di lapangan, insentif fiskal yang dijanjikan pemerintah terhadap pengembang panas bumi belum sepenuhnya dipenuhi oleh pemerintah.

Berdasarkan paparan dan permasalahan diatas, maka diperlukan beberapa kebijakan terobosan menyangkut permasalahan besar. Pertama, perizinan

(6)

6

khusus di kawasan hutan diperlukan kerangka hukum pengembangan panas bumi sehingga potensi panas bumi dapat dikembangkan bahkan di hutan konservasi sekalipun. Kedua, besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pengembang dari tahapan-tahapan pengembangan panas bumi hingga menjadi PLTP perlu pembiayaan dari dunia perbakan dan lembaga kredit lainnya dengan bunga yang cukup kompetitif untuk mendukung pengembangan panas bumi. Ketiga, tingkat harga tingkat panas bumi yang jauh dibawah harga keekonomian perlu diperhatikan lebih lagi. Dengan semakin besarnya subsidi energi yang disediakan oleh negara dan terbatasnya insentif bagi pengembangan EBT maka pengembangan panas ubmi menjadi tidak menarik untuk dikembangkan.

Keempat, persoalan kelembagaan. Wacana pembentukan kelembagaan baru dan/atau pengutan peran kelembagaan yang scara khusus menangangi pengembangan panas bumi menjadi isu penting. Kelima, kuatnya resistensi sosial dan dampaknya terhadap lingkungan perlu menjadi perhatian yang lebih dari semua stakeholder. Pembatasan wilayah kerja pengelolaan panas bumi dan penerapan proses pengembangan panas bumi yang tepat memperhatikan kelesatarian lingkungan menjadi opsi pilihan yang harus dikedepankan.

Referensi

Dokumen terkait

Persoalan lain yang sering muncul adalah ketidak mampuan aparat penegak hukum untuk mengendalikan emosinya pada saat bertugas sehingga menyebabkan kerugian baik fisik

Dengan demikian yang dimaksud dengan judul “Pengembangan Bahan Ajar Mata Pelajaran Fiqih di MTs Ma‟arif NU 11 Purbasari, Kecamatan Karangjambu Kabupaten

Perdagangan orang sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan,

Uočili su da ukrštanja jedne vrste jednogodišnje teozinte Mexican annual teosinte (Chalco type) i kukuruza daju normalnu mejozu, pun fertilitet i gotovo istovetan

Analisis jaringan tanaman dilakukan di laboratorium Balai Besar Pasca Panen Bogor, yang bertujuan untuk mengetahui adanya perubahan terhadap kandungan substansi kimia

Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan di

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL BENTUK GEOMETRI MELALUI PENERAPAN METODE PROYEK.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu