• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumbangan Inspiratif dari Awardee LPDP UNAIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sumbangan Inspiratif dari Awardee LPDP UNAIR"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

Sumbangan Inspiratif dari

Awardee LPDP UNAIR

Lagi-lagi, komunitas Awardee LPDP UNAIR membuat langkah apik. Setelah sukses dengan beragam kegiatan di Scholarship Corner (SC) Perpustakaan Pusat Kampus B, kali ini mereka meluncurkan buku kumpulan esai. Terdapat tak kurang dari 30 esai dari para penerima beasiswa plat merah tersebut. Kontennya, seputar trik, tips, dan cerita menarik di balik pengalaman mereka meraih prestasi itu. Kenapa prestasi? Karena, untuk mencapainya, seseorang harus banyak berdoa dan bekerja keras. Dalam buku tersebut, ada esai yang bercerita tentang jatuh-bangunnya seorang calon Awardee. Sebab, dia pernah gagal mencari beasiswa. Meski akhirnya, seperti biasa, takdir berpihak pada mereka yang pantang menyerah. Ada pula cerita tentang anak Pramuwisma yang sukses meraih beasiswa LPDP. Di tengah segala kekurangan, mimpi itu berhasil dicapainya.

Yang jelas, tulisan-tulisan yang bergaya populer ini dapat dijadikan teman bersantai. Khususnya, bagi para pemburu kuliah S2 dan S3 gratis. Karena memang, LPDP secara teknis, setidaknya sampai saat ini, hanya menggelontorkan beasiswa magister dan doktor. Juga, beasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis.

Dari kumpulan ini dapat diketahui, penerima beasiswa LPDP beragam latar belakang. Baik dari segi asal, maupun profesi. Ada yang dari Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara, Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan lain sebagainya. Ada yang PNS, dokter, wartawan, staf perusahaan, maupun fresh graduate sarjana. Artinya, siapapun orangnya, memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat beasiswa ini.

Buku ini sudah dicetak dan bakal diedarkan secara masif pada Jum’at (29/7) mendatang. Rencananya, dalam waktu dekat, para

(2)

awardee LPDP juga bakal bersilaturahmi dengan Rektor UNAIR. Sekaligus, menghadiahkan buku ini pada orang nomor satu di kampus Airlangga.

Apresiasi rektorat UNAIR

Ada sejumlah testimoni positif dari sejumlah guru besar UNAIR di buku ini. Bahkan, Rektor UNAIR Prof. Dr. H. Mohammad Nasih, MT., SE., Ak., CMA menyempatkan diri memberi pengantar. “Karya yang berupa kumpulan esai penerima beasiswa LPDP di Unair tersebut bisa dibilang terobosan para awardee untuk bersumbangsih pada sekitar. Mereka berbagi pengalaman melalui catatan atau kisah lika-liku memburu beasiswa ini. Seru, kadang jenaka, sarat tips dan trik, serta penuh inspirasi!” catat Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis tersebut.

Wakil Rektor III Prof. Mochammad Amin Alamsjah, Ir., M.Si., Ph.D, juga memberikan apresiasi. “Tulisan di buku ini sangat penting sebagai bagian dari pencerdasan & peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas. Mari dibaca, dipahami, sehingga bisa menjadi inspirasi bagi kita semua,” katanya dalam testimoni.

Kepala Perpustakaan UNAIR Prof. Dr. I Made Narsa, SE., M.Si., Ak yang selama ini banyak mendukung kegiatan Awardee pun menganggap penerbitan ini sebagai langkah yang luar biasa. “Kehadiran LPDP telah membuka nuansa baru bagi generasi penerus bangsa kelak. Jangan pernah kehilangan asa, karena asa akan muncul dari setiap usaha & doa. Itulah inspirasi dahsyat dari buku ini, sehingga wajib dibaca, bahkan oleh siapapun. Saya berharap buku ini bisa tersebar & dibaca seluas-luasnya untuk memberikan pencerahan & pelajaran berharga dari pengalaman sukses para Awardee,” papar dia. (*)

Buku

Judul : Menggapai Asa Bersama LPDP Penulis : Awardee LPDP UNAIR

(3)

Cetakan : I, Juni 2016 Tebal : 248 halaman

Menghirup Kearifan

Agama-Agama di Dunia

Secara subyektif, tiap pemeluk agama pasti merasa ajaran yang dianutnya paling benar. Ini soal keyakinan. Jadi, tidak perlu diperdebatkan. Sebaliknya, bila secara serampangan seseorang menganggap semua agama benar, agama pun tak ubahnya seperti baju. Sehingga, bisa diganti-ganti sesuka hati. Dalihnya, semua sama benarnya. Tinggal pilih, yang mana yang disuka pagi ini, siang, atau sore nanti. Di titik ini, hilanglah kesakralan agama. Punahlah keintiman makhluk untuk menyembah Tuhan dengan segala ritual yang diklaim sebagai “kepasrahan” tertinggi.

Di sisi lain, mesti diakui pula bahwa ada misi perdamaian yang dibawa oleh semua agama. Bila kemudian dalam ajaran masing-masing ada celah: sebut saja penonjolan aspek “superioritas”, itu hal lain. Yang jelas, tiap agama memiliki kearifan atau kebijaksanaan universal.

Semua agama memfatwakan tentang perlunya manusia saling berbuat baik. Tak hanya pada manusia lain, namun juga pada makhluk hidup yang telah diciptakan. Termasuk, hewan, tumbuhan, dan segala kreasi lain umat manusia. Semua mesti dimanfaatkan untuk kemaslahatan peradaban. Bukan demi kerakusan dan kenikmatan sesaat. Agama mengajarkan bagaimana saling menjaga, bukan saling menghancurkan. Bahkan, terhadap mereka yang berbeda pandangan.

(4)

salah satu butir kesimpulan buku Agama-Agama Manusia yang disusun oleh Huston Smith. Lelaki kelahiran Tiongkok ini meringkas poin-poin luhur tiap agama yang ada dunia. Setidaknya, ada delapan agama yang kena sorot. Yakni, Hindu, Budha, Taoisme, Islam, Konfusianisme, Yahudi, Kristen, dan Agama-Agama Primal (Purba). Bahwa agama ingin membawa perubahan yang baik di dunia, merupakan kunci klise benang merah semua agama di dunia.

Walau demikian, tak sedikit pula kemiripan agama satu dengan yang lain. Misalnya, saat Yesus Kristus yang dianggap sebagai Tuhan oleh umat Kristiani, berkata, “Perlakukanlah orang lain sebagaimana kau ingin orang lain memperlakukanmu,”. Sementara Nabi Muhammad SAW pernah berpesan, yang termaktub dalam satu riwayat hadist dan diterjemahkan bebas: tidak sempurna keimanan seseorang sampai dia mencintai sesama selayaknya mencintai dirinya sendiri.

Pada bagian lain, terdapat pula kesamaan karakteristik sosok panutan sejumlah agama. Bodhisatva, contohnya. Dia pernah digambarkan sebagai penggembala yang baik. Tak ubahnya Yesus Kristus. Bertolak dari sini, dapat dimaknai, kesamaan Kristen dan Budhisme sejatinya lebih kompleks dari pada yang kasat mata (Hal. 351).

Belajar Sejarah

Yang tak kalah menarik dari buku ini adalah dipaparkannya sejarah dan seluk beluk agama di dunia. Termasuk, soal Konfusianisme yang berawal dari “pengkultusan” seorang bernama Kung fu-Tzu atau Kung Sang Guru. Masyarakat Tiongkok, yang “mensucikan” orang ini, memuja namanya sebagai Guru Pertama. Bukan berdasar kronologi waktu. Karena sebelumnya, sudah banyak guru-guru yang lain. Melainkan, dari aspek kualitas. Dia adalah manusia biasa yang memiliki ajaran lintas bidang. Khususnya, di ranah kebijaksanaan. Pemerintah Tiongkok saat ini pun sudah dipengaruhi pemikiran Konfisius dengan begitu

(5)

dalam. Tidak ada tokoh lain yang merasuk dalam perspektif tata kelola pemerintahan lelaki asal provinsi Shantung tersebut (hal. 172). Tak ayal, banyak pemikir yang menobatkannya sebagai salah satu intelektual penting dunia.

Disinggung pula tentang Yahudi yang berkiblat pada sosok Nabi Musa. Selain soal sejarahnya, disampaikan pula keunikan dari agama monoteisme ini. Umpamanya, seperti terkutip pada salah satu ayat di kitabnya. Di sana, digambarkan betapa Maha Kasihnya Tuhan. Tuhan yang mereka yakini sangat mencintai ciptaannya. Maka itu, manusia dianggap sebagai “anak-anak” kesayangan (hal. 317).

Aku-lah yang mengajari Efraim berjalan. Aku menggendong mereka dibuaianku; Aku membimbing meeka dengan tali kebaikan manusia, dengan balutan-balutan cinta (Hosea, 11:3)

Tak ketinggalan, dijabarkan tentang ragam dalam agama atau ajaran tertentu. Tak hanya soal Kristen yang memiliki sejumlah macam: Katholik, Orthodok, dan Protestan. Namun juga, soal varian dan metode umat Islam mendekatkan diri pada Tuhan. Di dalamnya, ada paham sufisme.

Idiom sufisme yang mengacu pada perspektif para sufi ini memiliki akar kata “Suf”. Artinya, kain wol dari kulit binatang. Bahan dasar pakaian yang bersahaja atau sederhana. Golongan sufi, konon, memilih pakaian wol sebagai bentuk protes pada para pejabat di masanya yang suka memakai kain sutra dan satin: yang dianggap simbol kemewahan.

Para sufi memilih untuk zuhud: tidak suka bermewah-mewah. Sebab, kemegahan duniawi kerap menipu dan membuat penyukanya mabuk. Dalam banyak kasus, sukses membuat manusia menjadi zalim. (*)

Buku

Judul: Agama-Agama Manusia Penulis: Huston Smith

(6)

Penerbit: Serambi Ilmu Semesta Tahun: Desember 2015

Tebal: 433 Halaman

Khutbah yang Melampaui Waktu

UNAIR NEWS – Yang dipotret di buku ini adalah ceramah mendiang Cak Nur yang melintas zaman. Apa bukti kalau petuahnya melangkahi waktu? Silakan nikmati kumpulan berjudul 32 Khutbah

Jum’at Cak Nur dan rasakan kerelevanannya saat ini.

Buku ini memberi gambaran keasyikan khutbah di Yayasan Waqaf Paramadina akhir 90-an. Pembaca dibawa berimajinasi, dia sedang berada di ruang kuliah yang gayeng dengan pembicara yang tidak membosankan.

Mengambil tema kehidupan sehari-hari, lulusan Chicago University ini seolah menyesuaikan diri dengan para hadirin. Mereka bukan hanya orang kampus. Namun juga, para karyawan kantor, pekerja serabutan, dan pemangku profesi lain yang luar biasa beragam dan memilih shalat Jum’at di sana.

Tanpa membaca teks, mantan ketua umum PB HMI ini membagikan pengetahuan. Topik khutbah tergolong ringan namun segar. Tentu, dia tidak menggali tema debatable yang akrab melingkupinya selama ini: sekularisme, liberalisme, dan plurarisme. Karena mungkin, dia paham, tema tersebut tidak tepat diusung dalam waktu sesingkat durasi Jum’atan.

Umumnya, khutbah Jum’at yang ada saat ini bersifat general dengan dalil yang diulang-ulang. Tidak salah memang. Cak Nur sendiri pernah mengatakan, wasiat takwa (pesan kebaikan) tak boleh berhenti diingatkan. Bahkan tidak mengapa bila saban hari digaungkan laksana jatung yang berdetak. Adapun yang

(7)

membedakan ceramah Cak Nur dengan pendakwah zaman sekarang adalah kedalaman referensi dan variasi konten.

Kelengkapan informasi yang diberikan orisinal dan tidak pasaran. Sebagai contoh, kala berbicara tentang “Mendamaikan Persaudaraan Seiman” (halaman: 133), dia tidak sekadar menyitir Al Qur’an surah Al-Hujurat (49) ayat 9: Dan apabila

ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Lebih dari itu, dia bercerita

sejarah dan kelompok muslim di masa setelah Nabi Muhammad wafat.

Ada tiga kelompok. Pertama, pewaris aristokrasi Makkah, Bani Umayyah, yang karakternya kaya dan berpengalaman di pemerintahan/politik. Kedua, kelompok populis-sosialis yang karakternya sangat saleh. Diidentikkan dengan para sahabat Nabi seperti Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar Al Ghifari, dan Salman Al farisi. Sedangkan kelompok ketiga, kaum moderat yang disimbolkan dengan sosok Abu Bakar Shiddiq dan Umar Bin Khaththab. Mereka inilah penengah dan pemilik kebijaksanaan yang sempurna.

Dia tidak berkisah bahwa tiga kelompok itu bersilang sengketa. Namun paling tidak, Cak Nur mengisyaratkan, bahwa perbedaan sudah ada sejak di zaman lampau. Persoalan ini merupakan

sunatullah atau hukum alam. Sehingga, mesti disikapi dengan

kepala dingin. Buku

Judul : Catatan Khutbah Jumat Cak Nur Penulis : Nurcholish Madjid

Penerbit : Noura Books, Jakarta Cetakan : Pertama, April 2006 Tebal : xvi + 409 halaman

(8)

Hamka:

Pesilat,

Ulama,

Sastrawan, dan Politisi

DI antara banyak tokoh ataupun pahlawan nasional negeri ini, nama Hamka (HAJI Abdul Malik Karim Amrullah) tersisip. Secara spesifik, agak sulit mendefinisikan sosok kelahiran 17 Februari 1908 ini. Kemampuan yang dia miliki begitu kompleks. Didapatkannya dari pengalaman dan tempaan mental sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga pergantian rezim demi rezim republik.

Melalui buku berjudul Ayah… Kisah Buya Hamka yang dikarang anak kelimanya, Irfan Hamka, masyarakat disuguhi sekelumit cerita tentang pribadi bersahaja ini. Tentu saja, sebuah buku tak mungkin sanggup menampung kisah pejuang yang beberapa kali bersilang opini secara frontal dengan pemerintah ini. Namun paling tidak, pelajaran hidup dari ayah dua belas anak yang dirangkum di sini cukup untuk menambah wawasan pembaca.

Di masa sebelum kemerdekaan, Hamka adalah prajurit. Dia bergabung dengan sejumlah angkatan perang semisal Front Kemerdekaan Sumatera Barat, Tentara Keamanan Rakyat, Front Pertahanan Nasional, dan Barisan Pengawas Negari dan Kota. Bahkan, beberapa kali dia didapuk sebagai pemimpin di gerakan tersebut (Hal: 17).

Sebagai tentara, dia tak bisa mengelak dari kebiasaan masuk-keluar hutan. Kemampuan silat Minang pun menjadi wajib dimiliki. Irfan menuturkan, ayahnya termasuk salah satu pendekar di kampung. Irfan juga mengaku kalau pernah diajari ilmu silat Minang oleh Hamka.

Totalitas Hamka di medan perang terbukti dari apresiasi yang diberikan Jenderal Nasution. Pada 1960, sang Jenderal berniat

(9)

memberikannya pangkat kehormatan Mayor Jenderal Tituler. Meski demikian, dengan kerendahan hati dan atas saran istrinya, Siti Raham Rasul, Hamka menolak pangkat kehormatan tersebut (hal: 199).

Mungkin tak banyak orang tahu kalau Hamka adalah pesilat atau tentara yang ikut turun di medan tempur. Masyarakat mungkin hanya paham kalau dia adalah ulama Islam. Hal itu tak lepas dari predikatnya sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah yang kharismatik. Apalagi, dia juga tergolong satu dari tak begitu banyak ulama Indonesia yang membuat tafsir Al Qur’an. Al

Azhar, itulah nama tafsir Al Qur’an yang dibuatnya saat

meringkuk di balik terali besi.

Ya, selama sekitar dua tahun, lelaki yang sempat belajar agama Islam secara “nekat” ke Arab Saudi sementara belum terlalu mahir bahasa Arab ini, harus rela tidur di ubin penjara Sukabumi. Sejak sekitar 1964, mantan politisi partai Masyumi ini dijebloskan rezim dengan alasan politis.

Tanpa peradilan, Hamka dan beberapa temannya mesti terpisah dari keluarga. Tapi toh, penjara membuatnya malah bersyukur. Dengan demikian, tafsir monumental yang dia impikan akhirnya terwujud.

Pengarang puluhan judul buku ini tidak sekali itu saja “bersitegang” dengan pemerintah. Ketika menjadi ketua MUI di era Soeharto, dia sempat menuai protes saat mengeluarkan fatwa haram bagi umat muslim merayakan natal bersama. Pemerintah juga agak tak sejalan dengan pendapatnya.

Mungkin karena merasa bertanggungjawab dan ingin memberi pemahaman bahwa dia teguh memegang prinsip, mundur dari jabatan dijadikan jawaban. Dia tidak menyesal.

Ini bukan persoalan prokontra terkait fatwa tersebut. Tapi lihatlah betapa sosok Hamka tidak mau terpengaruh “intervensi” pemerintah dalam memutuskan suatu perkara. Lebih baik lepas sama sekali dari kestrukturan yang ada, dari pada mesti

(10)

melangkah tapi bukan pada pendirian sendiri.

Perselisihan Hamka tidak hanya terjadi terhadap pemerintah. P e n u l i s D i B a w a h L i n d u n g a n K a ’ b a h i n i j u g a s e m p a t berseberangan dengan sesama sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Hal itu dapat diketahui melalui kata pengantar Taufiq Ismail di buku ini.

Taufiq menyisipkan tentang kondisi seberang pendapat antara Pram dan Hamka. Betapa dulu Pram kerap melontarkan kritikan keras pada karya dan pemikiran Hamka. Semisal, saat halaman

Lentera yang diasuh Pram di harian Bintang Timur melansir

tudingan plagiat untuk karya Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal

Van der Wijck.

Seberapapun keras dan bertolak belakang pemikiran dua sastrawan besar tersebut, ternyata di masa tua, Pram menyuruh calon menantunya belajar agama pada Hamka. Ulama besar yang sempat rutin mengisi pengajian di RRI dan TVRI itu pun tidak keberatan. Taufiq yang bisa dibilang salah satu saksi hidup “pertikaian” mereka di masa lalu, kini bersaksi pula kalau sejatinya mereka sudah “berdamai”.

Meskipun disebut sebagai buku yang berisi tindak-tanduk atau kisah-kisah Buya Hamka, beberapa bab Ayah… justru tidak fokus pada peraih Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar tersebut. Terdapat tulisan yang hanya memotret pengalaman hidup Irfan dan atau keluarganya. Irfan menyebut kondisi ini sebagai suatu hal yang wajar. Dia menilai, benang merah dalam tiap bab di buku ini tetap Hamka. Sosok yang merupakan sumbu semua gerakan keluarganya. (*)

Buku

Judul : Ayah… Kisah Buya Hamka Penulis : Irfan Hamka

Penerbit : Republika Penerbit, Jakarta Tahun : Cetakan III, Agustus 2013 Tebal : xxviii + 324 Halaman

(11)

Mewaspadai Sindrom Kekuasaan

Situasi politik akhir-akhir ini nampak jauh dari cita-cita reformasi. Mereka yang dulu kelihatan begitu reformis, kini justru ikut-ikutan memburu kekuasaan. Fenomena macam ini dalam ranah politik, boleh disebut sebagai sindrom kekuasaan. Kalau diamati, sedikitnya ada tiga jenis sindrom seperti ini. Yaitu sindrom atau penyakit pasca-kuasa (Post-Power Syndrome) dan penyakit pra-kuasa (Pre-Power Syndrome) serta Penyakit orang yang sedang berkuasa (In-Power Syndrome).

Istilah Post-Power Syndrome digunakan untuk menggambarkan seseorang yang berprilaku aneh-aneh setelah tidak lagi memegang jabatan kekuasaan, termasuk misalnya gemar mengkritik pemerintahan yang kadang malah nampak berlebihan dan sok reformis. Pre-Power Syndrome diistilahkan untuk orang yang sebelum berkuasa begitu gemar memromosikan diri untuk meraih kekuasaan. Sedangkan In-Power Syndrome adalah gambaran bagi orang yang sebelum berkuasa perilaku dan ucapannya seperti ‘orang bener’, tapi ketika berkuasa ia mulai lupa diri dan mati-matian mempertahankan kekuasaannya dengan cara apapun. Yang jelas, apapun jenisnya, penyakit tersebut bertujuan menggerogoti individu dengan iming-iming kekuasaan, hingga pada akhirnya, dia menjadi ‘budak’ atau tawanan kekuasaan. Ada satu contoh menarik berkisar tentang penyakit kekuasaan yang bersumber dari negeri seberang. Tersebutlah seorang profesor sejarah dari Harvard University bernama Henry Kissinger. Dulu, sebelum diangkat presiden Richard Nixon menjadi penasehat pemerintah dan ketua NSC (National Security Council), dia adalah sosok yang selalu mengkritik pemerintah. Nah, ketika dia memangku jabatan tersebut di atas, dia pun mulai membela pemerintah. Setelah itu, Nixon mempromosikannya menjadi menteri luar negeri. Maka bertambahlah pekerjaannya

(12)

untuk membela setiap kebijakan pemerintah. Tetapi, begitu dia turun jabatan dan tak lagi menjadi orang pemerintahan, mulailah lagi dia kritis pada pemerintahan (Hal:144).

Penyakit atau sindrom kekuasan bisa terjadi di mana pun. Sindrom tersebut bukan monopoli salah satu atau beberapa tempat atau negara tertentu saja. Semua manusia mempunyai kemungkinan dan kelemahan untuk terjerumus ke dalam jurang itu. Bila sudah terkubang di sana, seseorang akan sulit untuk berkata jujur dan benar. Sebab dasar perbuatannya adalah subyektifitas semata untuk mencari dan atau memertahankan kekuasaan pribadi.

Di situlah pentingnya manusia untuk senantiasa waspada. Maka ada baiknya bila setiap orang mengamalkan uzlah-nya Imam Ghazali. Uzlah di sini bukan berarti menyepi atau bertapa, melainkan mengambil jarak dari persolan yang mengitari, agar mampu melihat keadaan yang sesungguhnya secara obyektif. Dalam islam, shalat dimulai dengan takbiratul ihram dan ketika mengucap “Allahu Akbar”, seorang muslim harus fokus dan konsentrasi hanya pada Allah SWT, yang berarti meninggalkan segala hal di sekelilingnya. Di sinilah uzlah, melupakan semua hal yang mengandung beragam kepentingan pribadi atau golongan, menuju ke satu titik mutlak, kebenaran sejati, agar dari sana mendapat petunjuk yang lurus. Serupa salah satu do’a dalam bacaan shalat “Ihdina al-shirat al mustaqim (Tunjukanlah kami (Ya Allah) ke jalan yang lurus)”.

***

Nurcholish Madjid adalah seorang intelektual kondang dan jenius asal kota santri, Jombang. Selain dikenal sebagai agamawan alumnus pondok pesantren Gontor, dia juga tercatat sebagai lulusan Chicago University. Melihat almamaternya, khalayak seharusnya tak perlu heran jika pria yang lebih akrab dipanggil Cak Nur ini memiliki daya jelajah analisa yang jauh di atas rata-rata.

(13)

Buku Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa

Transisi ini sudah menjalani dua kali cetak. Sebelum catakan

kedua di awal tahun 2009, buku ini sudah cetak di 2002. Buku ini boleh dibilang merupakan hasil ketekunan beberapa orang yang dengan sukarela menukil-sarikan dialog-dialog selepas shalat Jum’at antara Cak Nur dan jamaah di masjid Yayasan Paramadina. Orang-orang yang berjasa itu di antaranya adalah: Iwan Himmawan, Syamsul Muin, dan Yayan Hendrayani.

Dialog-dialog jumat yang terjadi dilakukan dengan sangat bersahaja. Artinya, segala konsep pemikiran Cak Nur yang disampaikannya saat diskusi, sangatlah erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, khususnya dengan isu yang pada waktu itu berkembang. Meski demikian, Cak Nur juga kerap menyinggung sejarah-sejarah, baik yang sifatnya umum sampai yang berlatar khusus perorangan.

Cak Nur sempat membahas sekaligus menganalisa tentang Bung Karno (Hal: 131). Bahwasannya Bung Karno adalah seorang priyayi karena anak seorang raden dan beribu bangsawan Bali. Dia adalah putra Blitar sehingga unsur jawa tidak boleh dilepaskan bila ingin menelaah kepribadiannya secara kultur-sentris. Dia dibesarkan di Surabaya, sempat dititipkan pada HOS Cokroaminoto dan sempat pula mengenyam pendidikan di suatu sekolah eropa. Kebetulan, pada jaman Proklamator itu beranjak dewasa, Marxisme sedang didengungdengungkan.

Bertolok dari berbagai fakta historis tersebut, maka tak heran jika banyak jargon atau falsafah Bung Karno yang dipetik dari hikayat pewayangan jawa. Tak usah heran pula bila dia menjadi Marxis tapi sekaligus tulus pada Islam. Dan tak perlu merasa aneh ketika dia dengan yakin memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa banyak persiapan, hanya bermodal nekad, salah satu karakteristik orang Surabaya. Bondo nekad, BONEK!.—

(14)

Judul : Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi (Kumpulan dialog Jum’at di Paramadina)

Penulis : Nurcholish Madjid Penerbit : Dian Rakyat, Jakarta

Tahun : Cetakan kedua, Januari 2009 Tebal : xii + 231 Halaman

Gali Inspirasi dari Negeri

Sakura

Tak salah bila banyak anggapan menyebut Jepang adalah sebuah negara yang berkarakter kuat dan memiliki ciri khas yang mencolok. Dari segi seni, cara berpakaian, dan kreatifitas bahkan jargon, Negeri Matahari Terbit memunyai sisi-sisi yang menarik nan berbeda dengan negeri-negeri lain.

Dengarkan lagu beraliran rock dari jepang. Selalu kental dengan cabikan bass yang melompat-lompat di setiap ketukan. Musik popnya, penuh dengan irama melodik tuts keyboard dan dentingan gitar yang mendayu tajam. Siapa saja yang mendengar lagu atau nada-nada asal negeri Sakura, akan dengan mudah mengidentifikasi kelahiran lagu tanpa harus mendengar suara vokalis mendendangkan lirik lagu berlafal huruf kanji.

Di sisi lain, lihatlah para remaja jepang yang berkumpul dan bercengkrama di kawasan Harajuku, sekitar Stasiun JR Harajuku, Distrik Shibuya, Tokyo. Dandanan dan warna asal tubruk yang mungkin akan lebih terkesan norak serupa orang gila bila dipakai di negara lain, justru menjadi pusaran idola di sana. Bahkan, karakter unik tersebut sedikit demi sedikit menjangkit ke wilayah lain di Jepang bahkan dunia.

(15)

Perkara kreatifitas, Jepang tak perlu diragukan. Entah sudah berapa ribu judul komik manga yang banyak di antaranya menjadi tren dengan cerita variatif. Sebut saja Dragon Ball yang imajinatif dan telah diterbitkan versi bahasa inggrisnya, Slam Dunk dan Doraemon yang inspiratif, Samurai X yang sarat nilai-nilai kehidupan, serta Kapten Tsubasa yang fenomenal. Konon, komik karya Yoichi Takahashi yang disebut terakhir tadi menjadi motivasi tersendiri bagi tim Samurai Biru dalam meraih sukses merebut posisi di pentas sepak bola dunia.

Bila ditanya tentang jargon, Soichiro Honda si intelektual sangat brilian dengan ungkapan populernya: percayalah pada kekuatan mimpi (the power of dream). Pria kelahiran Iwatagun (kini Tenrryu City) tersebut telah menjadi simbol tersendiri di ranah otomotif dan bisnis level internasional.

Kekhasan

Salah satu kekhasan Jepang adalah bunga Sakura, yang memang identik dengan negeri tersebut. Pada Sakura, terkandung nilai-nilai luhur sebuah identitas dan semangat. Hal-hal itu ingin dipetik oleh Imam Robandi, penulis buku The Ethos of Sakura yang diterbitkan Penerbit Andi Yogyakarta. Melalui buku tersebut, guru besar teknik elektro ITS ini menjelaskan betapa kuatnya sakura mempengaruhi pandangan dan pemikiran orang Jepang.

Ketika musim Sakura mekar, sang pohon membiarkan daun-daun gagah berjatuhan untuk kemudian digantikan dengan bunga yang jauh lebih indah dan mempesona. Pohon sakura tidak cukup puas dengan memiliki daun gagah dan batang kukuh. Bila memang bisa melakukan yang lebih mempesona, mengapa harus bangga dengan kebiasa-biasaan? Mungkin demikianlah yang ada dalam pikiran pohon sakura di seluruh penjuru Nippon andai pohon tersebut memiliki otak.

Semua warga Jepang sangat antusias meluangkan waktu untuk menyaksikan kejadian tersebut di taman-taman atau pelataran

(16)

depan rumah mereka. Seluruh penduduk berusaha menggali hikmah dari tumbuh, kuncup, dan mengembang eloknya bunga yang bernama lain Japan Cherry Blossom tersebut.

Menghargai Waktu

Hidup memang tidak begitu lama. Tak ada yang abadi. Demikian pula bunga Sakura yang hanya hidup selama musim semi sekitar bulan April tiap tahunnya. Namun dalam keterbatasan tersebut, Sakura berusaha memberikan yang terbaik dari hidupnya.

Orang Jepang tak ingin membuang waktu dengan berjalan pelahan-lahan. Bila melangkah, mereka tampak seperti setengah berlari. Waktu berharga bagi mereka walau hanya beberapa detik ayunan kaki kanan dan kiri.

Imam Robandi sering menemui penundaan dan keterlambatan jam-jam penerbangan. Namun penundaan tersebut disikapinya sebagai anugerah, bukan musibah. Waktu yang molor digunakannya untuk melakukan hal yang bermanfaat. Dalam sebuah diskusi, pria yang mengambil program doctoral di Jepang ini mengatakan, buku yang berisi 75 artikel dan kisah pendek ini nyaris semua ditulis dengan cara mencuri-curi waktu dan kesempatan di balik kemelesatan jadwal bandara.

Semua artikel dan kisah merupakan sari pati dari pengalaman pria kelahiran Kebumen Jawa Tengah tersebut selama menjalani pendidikan S2 dan program doktoral di negeri Sakura. Ada juga yang murni bersumber dari penelaahan terhadap nilai-nilai kehidupan di negara itu.

Manusia yang sukses memang dia yang menghargai waktu. Pelajaran mengenai waktu tak hanya bisa dipetik melalui bangsa Jepang. Ungkapan dalam bahasa Inggris berbunyi, Time is Money (waktu adalah uang atau waktu sangat berharga).

Maestro asal Jazirah Arab Muhammad bin Abdullah pernah berkata, jagalah sempatmu sebelum sempitmu. Maksudnya, manusia harus memanfaatkan waktu dan kesempatan, sekecil apapun itu

(17)

guna melakukan hal-hal yang bermanfaat. Sebab bila masa sempit telah tiba, seseorang tidak akan bisa melakukan apapun.

Buku

Judul: The Ethos Of Sakura, Bacaan strategik pribadi sukses Penulis: Imam Robandi

Penerbit: Penerbit Andi Cetakan: 2010 Yogyakarta Tebal: 254 Halaman

Agenda

Setting

Versus

Kekritisan Masyarakat

TEORI Agenda Setting dikembangkan oleh Maxwell C. McCombs, seorang profesor peneliti surat kabar dari Universitas Syracuse USA dan Donald L. Shaw, profesor jurnalistik dari Universitas North Carolina USA. Pada 1968, McCombs dan Shaw mengembangkan pendekatan tersebut. Mereka mengamati pemilihan presiden AS saat Richard Nixon berhasil menyisihkan saingannya Rubert Humprey.

Beberapa kalangan menilai, kemenangan dalam proses politik ini tidak lepas dari kebiasaan Nixon yang dianggap dapat memanfaatkan media massa. Ia selalu tersenyum ramah pada reporter dan wartawan sehingga gambarnya sering menghiasi media massa. Ia jadi lebih populer, diperhatikan, dan tergolong tokoh yang “gampang nampang” di media massa. Kemenangan ini memunculkan opini tentang peran penting media massa dalam menonjolkan suatu tokoh atau isu tertentu. Dari sinilah agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media massa dengan perhatian yang diberikan oleh khalayak. Dengan kata lain, yang dianggap

(18)

penting atau disorot oleh media massa akan dianggap penting pula oleh khalayak (halaman 14).

Pendekatan Agenda Setting dimulai dari asumsi bahwa media massa menyaring berita, siaran, artikel, atau tulisan yang akan dipublikasikan. Seleksi ini dilakukan oleh para awak media. Dalam perkembangannya, Agenda Setting media massa menjadi mata rantai mekanisme komunikasi politik dalam beragam pesta demokrasi.

Ini erat kaitannya dengan kepemilikan media massa oleh elite partai politik. Hal itu bisa dilihat saat Pemilu dan Pilpres tahun lalu. Saat sejumlah media massa yang merupakan basis pendukung kutub politik berbeda melakukan perang berita. Bahkan hingga sekarang, beberapa media massa besar masih “bertarung” dalam upaya pembentukan opini publik. Media massa itu memunculkan isu yang sudah terseleksi sebagai hasil Agenda Setting. Tak hanya itu, hasil Agenda Setting ini diolah agar dapat menggiring opini publik ke satu sisi tertentu.

Pada saat itulah kekritisan masyarakat diperlukan. Jangan sampai proses pembentukan opini publik yang bertujuan “membelenggu” kebebasan berpikir terjadi. Kalaupun itu dilakukan, jangan sampai masyarakat masuk dalam jebakan tersebut. Masyarakat harus tetap selektif memilih informasi. Semua kabar atau berita boleh dikonsumsi. Tapi, tidak semua harus dipercaya dan dijadikan patokan dalam melangkah. Khususnya, jika sudah berbicara di ranah politik dan kekuasaan.

Tentu saja, karya duet dosen Universitas Airlangga yang memiliki jam terbang tinggi baik di ranah nasional maupun internasional ini tidak melulu bicara tentang komunikasi politik. Karangan dengan tebal 292 halaman ini juga memuat persoalan seputar hubungan antara media dan masyarakat di segala aspek. Mulai dari kultur sosial atau budaya, gaya hidup, hingga ekonomi.

(19)

Tak dapat dipungkiri, keberadaan media massa di Indonesia saat ini berhubungan dengan roda perekonomian. Bos media selalu punya alasan untuk mengkomersilkan ruang berita atau space media massa yang dia miliki. Lagi-lagi, di dalamnya juga terdapat problematika ekonomi politik maupun politik ekonomi level nasional. Kendali politik dan ekonomi (baca: pasar) selalu menjadi faktor signifikan yang berpengaruh terhadap operasi media. Sementara kepentingan politik dan pasar sama-sama dikedepankan, maka rakyatlah (penonton atau konsumen media) menjadi target empuk sekaligus komoditas industri media (halaman 158).

Sejarah Pers

Buku ini juga menguak sejarah pers dan media massa di Indonesia. Momentum yang menarik disimak adalah kemunculan regulasi yang pro pada kepentingan media sebagai imbas perjuangan reformasi. Khususnya, soal kebebasan pers yang kemudian benar-benar dijunjung tinggi. Misalnya, sudah tidak lagi dibutuhkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Lisensi yang di zaman orde baru dianggap sebagai kutukan terhadap kebebasan berekspresi insan media.

Undang-undang (UU) 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU 32 tentang penyiaran adalah dua anak emas reformasi. Awak media sanggup bernafas lega karena terlepas dari kungkungan regulasi ketat pemerintah. Sebagai misal, radio dan televisi swasta yang awalnya tidak boleh serampangan membuat berita dan sering diwajibkan merelay informasi dari TVRI dan RRI saja, di masa reformasi menjadi lebih merdeka. Mereka bahkan boleh berkolaborasi dengan media asing seperti BBC dan VOA (halaman 87).

Pers dalam jenis apapun: media cetak, elektronik, radio, televisi, dan lain sebagainya, mendapat angin segar reformasi. Kebebasan yang selama puluhan tahun dikekang akhirnya bisa dicapai. Mereka yang sudah lama dipaksa “seiya-sekata” pun kini memiliki sayap untuk mencapai tujuannya masing-masing.

(20)

Termasuk, tujuan politik. (*)

Buku

Judul : Komunikasi Politik, Media, dan Demokrasi

Penulis : Henry Subiakto & Rachmah Ida Cetakan : II, 2014

Tebal : xii + 282 Halaman

Penerbit : Kencana Prenada Media Group Jakarta ISBN : 978-602-7985-75-9

Menanti “Edisi Revisi” Buku

Menyikapi Perang Informasi

Dalam sebuah obrolan ringan di Radio UNAIR, Rio F. Rachman menuturkan keinginannya untuk menerbitkan/mencetak kembali buku Menyikapi Perang Informasi. Karya yang dipublikasikan melalui penerbit Sarbikita Publishing pada 2015 itu, kata Rio, memerlukan penambahan artikel sebagai pendalaman dari tulisan-tulisan yang sudah ada. Pendalaman, bukan pengulangan. Tapi artikel yang sudah ada, tentu tetap dpertahankan.

Sejatinya, buku tersebut memiliki 27 esai ringkas (140 halaman) yang sudah dimuat di media massa: cetak maupun online. Pemikiran di dalamnya, dipartisi menjadi tiga topik besar: Media Komunikasi, Sosio-Kultural, dan Keindonesiaan. Di edisi revisi nantinya, ujar Rio, selain penambahan tulisan, tidak menutup kemungkinan akan diperluas pula poin pembagian topik. Bisa saja, akan ada lebih dari tiga bagian.

(21)

Menyikapi Perang Informasi adalah deskripsi solutif dari

sejumlah permasalahan di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini. Banjir informasi membuat manusia berada dalam dua posisi: hanyut atau selektif. Bila tidak selektif dan asal percaya pada bahan “share” dari internet atau media massa lain, bersiaplah tenggelam dalam kabar negatif yang menjebak. Pelbagai problem atau perspektif tentang media dan strategi komunikasi dipaparkan di satu topik besar. Sementara di topik lain, Sosio-Kultural, Alumnus S2 Media dan Komunikasi UNAIR ini memaparkan banyak kritik sosial pada lingkungan sekitar yang makin egois, materialistik, dan gampang berkiblat pada hedonisme. Sementara di topik Keindonesiaan, terdapat banyak esai yang menuturkan soal pentingnya mengobarkan optimisme. Mengapa? Karena sejatinya, Indonesia adalah negara kaya yang potensial menjadi terdepan di muka bumi.

Yang menarik, buku ini juga menjelaskan sejumlah pandangan mengenai kesusastraan. Disiplin yang digeluti penulisnya saat masih mengenyam S1 di Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya.

Edisi revisi yang diidamkan Rio, tidak akan lepas dari tema-tema tersebut di atas. Meski memang, pasti akan pembenahan di sana-sini. Awalnya, buku baru tersebut ingin diterbitkannya pada tahun lalu melalui Penerbit Suroboyo. Namun, dia beranggapan, perlu persiapan konten yang lebih lama, agar hasil dari revisi bisa maksimal. (*)

(22)

Perpolitikan Indonesia

PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) adalah sebuah partai yang kelahirannya dibidani NU dengan kepala bidan Gus Dur. Demikian Gus Mus (Sapaan akrab A.Mustofa Bisri) menyebut proses awal berkaitan dengan terbentuknya PKB. PKB dianalogikan serupa Golkar, yang kelahirannya dibidani tentara dengan kepala bidan Pak Harto (Hal: 48). Sulit dimungkiri, bahwa PKB sangat identik dengan Gus Dur. Walaupun realita berkata bahwa PKB kubu Gus Dur kalah bersaing dengan PKB kubu Muhaimin Iskandar kala bertempur di ranah hukum.

Berbicara PKB, secara otomatis pikiran akan digiring dalam kasus perpecahannya. Ternyata, konflik PKB tidak hanya terjadi di era Cak Imin (sapaan Muhaimin Iskandar). Dulu, ketika Matori Abdul Djalil masih aktif di pengurusan organisasi tersebut, polemik dan konflik juga sempat terjadi. Konflik itu pun masih berkaitan dengan Gus Dur.

Gus Dur yang dikenal sebagai guru Matori, dan Matori yang populer sebagai murid kesayangan Gus Dur, pernah beradu di meja hijau. Kalau diamati lagi, sebenarnya ada hubungan emosional yang sangat kuat di antara dua kubu konflik PKB yang terjadi pada dua masa berbeda. Jika dulu yang berkonflik adalah Guru dan Murid, di masa Cak Imin silam, yang bertikai adalah paman dan keponakan.

Polemik macam inilah yang nampaknya ingin dikupas oleh Gus Mus melalui buku yang sedang diresensi ini. Dia menganggap perseteruan tersebut tidaklah berguna dan hanya membuang energi. Perang dingin seperti itu justru membuat rakyat, khususnya warga NU selaku pendukung fanatik PKB, menjadi bingung dan resah. Sementara kaum Nahdliyin (sebutan bagi penganut NU) bimbang dan berkerut kening karena pemimpin-p e m i m pemimpin-p i n n y a d i a t a s b e r s e l i s i h s e n g i t , pemimpin-p i h a k y a n g berseberangan dengan mereka tentulah bertepuk tangan.

(23)

Hal serupa itulah yang sangat tidak diinginkan oleh Gus Mus, dan tentu pula tidak diharapkan oleh semua warga Nahdliyin. Apalagi, sebagai Ormas terbesar di negeri ini, kejadian apapun yang mengguncang NU, sedikit banyak akan terasa getarannya di masyarakat Indonesia pada umumnya.

Buku ini dibuka dengan takdim alias pengantar atau pembuka yang disampaikan oleh Gus Mus sendiri selaku penulis. Ada sepenggal kenarsisan di bagian itu. Yakni kala Gus Mus merasa ‘dihormati’ oleh PKB, sebuah partai politik besar di negeri ini. Tapi kata ‘dihormati’ nampaknya sengaja dimasukan ke dalam tanda petik. Sebagai simbol bahwa kata ‘dihormati’ tersebut tidak memiliki arti sebagaimana umum.

Di kalimat terakhir pada takdim, Gus Mus mengungkapkan bahwa selama ini dia dihormati tapi tak pernah didengarkan oleh PKB. Kiranya demikianlah arti khusus dari kata ‘dihormati’ tadi. Layaknya jamak diketahui, seharusnya orang yang dihormati senantiasa didengarkan.

Gus Mus adalah sahabat Gus Dur. Mereka pernah satu sekolah di Mesir (Universitas Al Azhar). Mereka sering terlibat diskusi mengenai berbagai hal dan beraneka bidang kehidupan. Bahkan orang-orang tua mereka pun sangat berkenal baik satu sama lain. Salah satu sebabnya, mungkin karena mereka sama-sama tokoh NU dan sama-sama keturunan dari para tokoh NU

Keakraban kedua tokoh ini sering pula jadikan alat oleh para kyai NU untuk bisa menegur yang satu melalui yang lain. Contohnya: ketika Gus Dur dinilai oleh para kyai NU sedang salah melangkah dalam berpolitik, maka Gus Mus dimintai tolong untuk mengingatkan.

Kedekatan mereka secara otomatis menghilangkan azas kesungkanan antar kedua belah pihak. Sehingga ketika Gus Dur diangkat sebagai presiden RI keempat, di kala banyak orang mengucapkan selamat kepadanya, Gus Mus justru menghaturkan belasungkawa tanpa segan. Sebab, menurut Gus Mus, jabatan

(24)

adalah amanah, sehingga harus diemban dengan penuh tanggung jawab. Pertanggungjawaban jabatan di sisi Allah SWT sangatlah berat, sehingga tidaklah pantas bergembira ketika memerolehnya. Terlebih jabatan itu berwujud pemegang tampuk tertinggi negara.

Buku bersampul dengan warna dominan hijau ini, berisi belasan artikel tentang Gus Dur dan PKB. Dengan bahasa khas Gus Mus, ringan dan sederhana, tulisan di buku ini tetap memiliki kualitas yang tak kalah tinggi dibandingkan dengan rangkaian kalimat-kalimat para pakar bahasa atau politikus. Gus Mus dengan kapasitasnya sebagai salah satu tokoh NU (yang tentu sangat dekat dengan PKB), sekaligus kawan karib sang simbol PKB (yakni Gus Dur), pastilah mampu mendeskripsikan dan menganalisis dengan objektif segala permasalahan yang ada di PKB dan dalam diri Gus Dur. (*)

Buku

Judul : Gus Dur garis miring PKB (Kumpulan Tulisan)

Penulis : A. Mustofa Bisri

Penerbit : MataAir Publishing, Surabaya Cetakan : Kedua, 2008

Tebal : xvi + 137

Dari Slilit Sampai Analogi

Pengelolaan Hasil Bumi

Emha Ainun Nadjib adalah budayawan multi talenta. Pria kelahiran Jombang yang akrab disapa Cak Nun ini lihai membuat cerpen, puisi, esai, naskah teater, dan kerap menggubah lirik lagu. Bersama grup musik Kiai Kanjeng, Cak Nun melanglang

(25)

buana di penjuru dunia. Menyuguhkan musik memikat yang diracik dengan sholawat. Tak hanya itu, diskusi Maiyah yang turut digagasnya sejak lebih dari sedekade silam terus mengalami perkembangan.

Maiyah adalah sebuah aktifitas sarasehan yang digelar di

sejumlah kota. Kegiatan ini memungkinkan semua hadirin melontarkan pendapat tentang persoalan bangsa. Baik di level mikro maupun makro. Untuk kemudian, dipikirkan bersama solusinya. Atau paling tidak, dirumuskan bagaimana seharusnya masyarakat menyikapi keadaan negeri yang dengan kondusifitas fluktuatif.

Di Surabaya, Maiyah dikenal dengan sebutan Bang-Bang Wetan. Di Jombang disebut Padhang Mbulan, di Jakarta dikenal dengan

Kenduri Cinta, di Yogyakarta bernama Mocopat Syafaat, di

Malang ada Obor Ilahi, dan ragam sebutan di kota-kota lain berdasar kearifan lokal masing-masing.

Adapun Slilit Sang Kiai adalah salah satu bukti kepiawaian Cak Nun berbahasa tulis. Pada kata pengantar, dituturkan bahwa

Slilit Sang Kiai merupakan kumpulan kolom. Ini bukan karya

yang dimaksudkan menjadi sebuah buku yang utuh. Tak heran, tema yang dibahas beraneka rupa dan terkesan melompat-lompat. Secara umum, topik buku yang pertama kali terbit pada 1991 ini berkutat soal problem yang membelit Indonesia dan alternatif cara mengatasinya. Terdapat banyak retorika dan pengandaian. Tak ayal, dalam beberapa artikel, pembaca mesti melakukan kontemplasi untuk memahaminya.

Artikel pembuka berjudul sama dengan buku ini: Slilit Sang

Kiai. Berkisah tentang kerisauan seorang Kiai. Pemuka agama

itu secara tidak sengaja mencomot potongan kecil kayu di pagar orang.

Kayu kecil seukuran tusuk gigi itu digunakannya untuk membersihkan slilit yang ada di sela-sela gigi seusai memimpin dan makan di acara kenduri salah satu warga.

(26)

Aku tak sempat minta maaf kepada yang empunya perihal tindakan mencuri itu. Apakah Allah akan mengampuniku? (hal. 18).

Kutipan tersebut dihaturkan pemuka agama yang baru meninggal dalam mimpi para santri. Cerita itu memberi pelajaran dan bahan renungan bagi murid-murid. Mereka membayangkan, betapa tambah sedihnya sang Kiai bila kayu yang dicuri sebesar batang gelondongan di hutan Kalimantan.

Apa yang disampaikan dalam artikel tersebut menyentuh aspek spiritual yang sifatnya ketuhanan. Poin serupa tampak pada banyak tulisan lain. Misalnya, dalam Berniaga dengan dan dalam

Allah (hal. 21), Allah Maha Menepati Janji (hal. 148), Bumi Tuhan (hal. 303), dan lain sebagainya.

Tak hanya soal spiritual ketuhanan yang bisa dibilang berada pada ranah hablumminallah (hubungan manusia dengan Allah atau Tuhan). Pandangan Cak Nun di ranah hablumminannas (hubungan manusia dengan manusia) juga terlihat dalam sejumlah artikel. Misalnya, yang tertuang di Watak Dialog (hal. 47).

Di artikel tersebut, Cak Nun mengutip garis besar pemikiran buku berjudul Dialog Sunnah Syiah. Lelaki yang lahir pada 27 Mei 1953 tersebut menyampaikan, terdapat makna yang dapat dipetik dari dialog antara ulama Syiah As-Sayyid Syarafuddin Al-Musawi Al-‘Amili dan ulama jumhur Syaikh Bisri Al Maliki. Betapa perbincangan mereka tidak didasari dengan upaya gesekan dan usaha menjatuhkan lawan berbicara.

Sebaliknya, yang ada adalah semangat mencari kebenaran, kesiapan untuk menyaksikan kekeliruan diri, rileksitas untuk menerima perbedaan, serta keikhlasan menginsyafi kekurangan pribadi. Faktor-faktor positif semacam itu seperti menguap dalam fenomena masa kini. Di mana perdebatan hanya menjadi konstelasi saling hujat dan menghina satu sama lain. Perbedaan bukan diposisikan sebagai anugerah, melainkan didaulat sebagai jurang pemisah.

(27)

mencerminkan kondisi pengelolaan hasil bumi di Indonesia. Kebetulan, saat ini sedang gonjang-ganjing isu freeport, salah satu perusahaan Amerika Serikat yang aktif mengeruk hasil bumi di Papua.

Dalam artikel berjudul Tamu Entah Siapa (hal. 97), Cak Nun membuat fragmen singkat. Dikemukakan, ada seorang tamu yang digdaya, meminta izin pada tuan rumah, untuk menggali tanah di bawah rumahnya.

Di bawah tanah rumahmu ini terdapat barang yang amat berharga. Tetapi, karena kau tak mampu dan tak punya biaya untuk menggalinya sendiri, sebaiknya akulah yang mengerjakannya

(hal. 97).

Dijelaskan, si tuan rumah, sempat diingatkan oleh salah satu anggota keluarganya tentang risiko jangka panjang. Namun, dia mengabaikan saran tersebut. Hingga pada suatu waktu, seseorang menyindirnya:

Engkau tertidur dalam bangunanmu, engkau membangun dunia yang akan menjadi semu dalam kurun waktu (hal. 99).

Apa yang disampaikan dalam artikel itu mengesankan, dalam melakukan pengelolaan hasil bumi di Indonesia, terdapat banyak aspek yang mesti diperhatikan. Termasuk, soal masa depan bangsa dan kondisi multi sektor lain di masa datang yang harus dipertimbangkan.

Buku

Judul: Slilit Sang Kiai Penulis: Emha Ainun Nadjib Penerbit: Mizan Pustaka Tahun: Edisi baru, 2015 Tebal: 312 halaman

Referensi

Dokumen terkait

Fenomena Koebner (juga dikenal sebagai respon isomorfik) adalah induksi traumatik pada psoriasis pada kulit yang tidak terdapat lesi, yang terjadi lebih sering selama

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) latar sosiohistoris Pramoedya Ananta Toer yaitu ia lahir di Blora 6 Februari 1925,

Peraturan Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) No. 5 Tahun 2009 tentang Keselamatan Radiasi dalam Penggunaan Zat Radioaktif untuk Well Logging, menyatakan bahwa

dalam suatu lingkungan sub unit kerja.. b) Surat kuasa adalah surat yang memuat pelimpahan wewenang atau penugasan dari pejabat yang mempunyai kewenangan menandatangani surat

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengetahuan Ibu yang mempunyai bayi atau balita mengenai swamedikasi diare pada balita di desa

bentuk sikap kerja yang tidak alamiah, misalnya badan selalu membungkuk, kepala lebih banyak menoleh kesamping daripada ke depan. 2) Mencegah tangan atau lengan terlalu

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu diperolehnya masukan bagi penentu kebijakan untuk melakukan