• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Rumah Sakit

2.1.1. Definisi Rumah sakit

Rumah sakit adalah salah satu sarana kesehatan tempat menyelenggarakan upaya kesehatan dengan memberdayakan berbagai kesatuan personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik.

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Gawat darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut (Depkes RI, 2009)

Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat dan tempat yang digunakan untuk menyelenggarakannya disebut sarana kesehatan. Sarana kesehatan berfungsi melakukan upaya kesehatan dasar, kesehatan rujukan dan atau upaya kesehatan penunjang. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Siregar, 2004).

(2)

2.1.2. Tugas Rumah Sakit

Pada umumnya tugas rumah sakit adalah menyediakan keperluan untuk pemeliharaan dan pemulihan kesehatan. Menurut UU no. 44 Tahun 2009 tentang Rumah sakit adalah menyatakan tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan rujukan.

2.1.3. Fungsi Rumah Sakit

Rumah sakit mempunyai beberapa fungsi, yaitu menyelenggarakan pelayanan medik, pelayanan penunjang medik dan non medik, pelayanan dan asuhan keperawatan, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, pelayanan rujukan upaya kesehatan, administrasi umum dan keuangan. Maksud dasar keberadaan rumah sakit adalah mengobati dan perawatan penderita sakit dan terluka. Sehubungan dengan fungsi dasar ini, rumah sakit memberikan pendidikan bagi mahasiswa dan penelitian yang juga merupakan fungsi yang penting. Fungsi keempat yaitu pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan juga telah menjadi fungsi rumah sakit. Jadi empat fungsi dasar rumah sakit adalah pelayanan penderita, pendidikan, penelitian dan kesehatan masyarakat.

2.2. Tenaga Kesehatan

2.2.1. Definisi Tenaga Kesehatan

Menurut UU no. 36 Tahun 2014 tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau

(3)

keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Tenaga Kesehatan dikelompokkan kedalam:

1. Tenaga medis;

2. Tenaga psikologi klinis; 3. Tenaga keperawatan; 4. Tenaga kebidanan; 5. Tenaga kefarmasian;

6. Tenaga kesehatan masyarakat; 7. Tenaga kesehatan lingkungan; 8. Tenaga gizi;

9. Tenaga keterapian fisik; 10. Tenaga keteknisian medis; 11. Tenaga teknik biomedika;

12. Tenaga kesehatan tradisional; dan 13. Tenaga kesehatan lain.

Dalam UU Praktik Kedokteran yang dimaksud dengan ”Petugas” adalah dokter, dokter gigi atau tenaga kesehatan lain yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien. Sedangkan menurut PP No. 32 Tahun 1996, yang dimaksud petugas dalam kaitannya dengan tenaga kesehatan adalah dokter, dokter gigi, perawat, bidan, dan keteknisian medis. Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis,

(4)

teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, othotik prostetik, teknisi tranfusi dan perekam medis.

2.3. Kepuasan

2.3.1. Pengertian Kepuasan Pasien

Tjiptono (2008) mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai evaluasi secara sadar atau penilaian kognitif menyangkut apakah kinerja produk relatif bagus atau jelek atau apakah produk bersangkutan cocok atau tidak cocok dengan tujuan/ pemakaiannya.

Kepuasan adalah ungkapan perasaan senang atau kecewa seseorang dari hasil perbandingan antara prestasi atau produk yang dirasakan dengan yang diharapkannya. Disatu pihak, kepuasan pasien dipandang sebagai hasil yang didapatkan dari pengalaman mereka yang memanfaatkan produk barang atau jasa. Berdasarkan pihak lain, kepuasan pasien juga kerap kali dipandang sebagai proses orientasi yang lebih mampu mengungkapkan pengalaman yang mereka rasakan secara keseluruhan dibandingkan orientasi hasil (Kotler, 2009).

Menurut Setyaningsih (2013) Kepuasan pelanggan merupakan hasil (outcome) yang dirasakan pengguna atas produk atau jasa, sama atau melebihi harapan yang diinginkan dan merupakan pernyataan psikologi yang dihasilkan dari terpenuhi atau tidaknya harapan dengan pelayanan yang diterima secara nyata.

Sri (2006) menyatakan kepuasan pelanggan merupakan bentuk evaluasi dari pelanggan terhadap produk yang telah mereka dapatkan, sudah sesuai dengan yang diharapkan bahkan dapat melebihi harapan mereka. Bentuk dari evaluasi kepuasan pelanggan terhadap produk jasa maka akan dapat mempengaruhi pelanggan untuk datang kembali dan mampu mempengaruhi konsumen lainnya.

(5)

Rama (2011) berpendapat kepuasan pasien akan terpenuhi jika proses penyampaian jasa pelayanan kesehatan kepada konsumen suda sesuai dengan yang mereka harapkan. Kebutuhan pasien yang diharapkan adalah keamanan pelayanan, harga dalam memperoleh pelayanan, ketepatan dan kecepatan pelayanan kesehatan (Azwar,2007).

Hermanto (2010) mengatakan kepuasan pasien dinilai berdasarkan interpretasi pasien terhadap pelayanan yang diterima sudah sesuai dengan yang mereka harapkan seperti keterampilan, dan kesopanan petugas, kelengkapan sarana dan prasarana dalam memberikan suatu pelayanan kesehatan. Kepuasan tiap orang dalam menilai suatu pelayanan khususnya pelayanan kesehatan berbeda-beda tiap orang karena memiliki karakteristik yang berbeda, baik secara pengetahuan, kelas sosial, pengalaman, pendapatan dan harapan.

2.3.2 Metode Mengukur Kepuasan

Beberapa metode yang digunakan dalam mengukur kepuasan pelanggan yaitu (Kotler, 2009):

a. Sistem keluhan dan saran

Menyediakan berupa kotak saran, dalam memberikan kesempatan kepada pasien untuk menyampaikan keluhan, saran, dan kritikan mereka tentang pelayanan yang diterimanya.

b. Pembelanja Misterius (Ghost Shopping)

Metode ini merupakan bentuk strategi pelayanan kesehatan yang menggunakan beberapa orang untuk bersikap sebagai konsumen yang 13

(6)

kemudian melaporkan temuannya sehingga hasil tersebut dapat dijadikan bahan evaluasi dan pengambilan keputusan.

c. Lost Customer Analisis

Perusahaan berusaha mencari informasi mengenai para konsumen yang telah berhenti membeli produknya, agar nantinya pihak perusahaan mampu memahami kebutuhan yang diharapkan oleh konsumen.

d. Survei Kepuasan Pelanggan

Kepuasan konsumen yang dapat di ukur berdasarkan kuesioner, pos, telepon, ataupun wawancara langsung untuk memperoleh tingkat kepuasan pasien.

Faktor utama dalam penentuan kepuasan pasien adalah hasil dari persepsi pasien terhadap kualitas jasa yang diterimanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah (Tjiptono, 2004):

a. Kebutuhan dan keinginan pasien dalam memperoleh pelayanan. b. Pengalaman pasien pada masa lalu ketika merasakan produk. c. Informasi dan pengalaman dari teman-teman

d. Informasi dari iklan.

Menurut Sudian (2012) Keberhasilan yang diperoleh suatu layanan kesehatan dalam meningkatkan mutu pelayanannya sangat berhubungan erat dengan kepuasan pasien. Sehingga nantinya dapat membantu dalam meningkatkan kualitas mutu pelayanan tenaga kesehatan.

(7)

Menurut Khotler (2006) mengemukakan bahwa pasien dalam mengevaluasi kepuasan terhadap jasa pelayanan yang diterima mengacu pada beberapa faktor, yaitu:

1. Komunikasi

Tata cara informasi yang diberikan pihak penyedia jasa dan keluhan-keluhan dari pasien. Bagaimana keluhan-keluhan dari pasien dengan cepat diterima oleh penyedia jasa dalam memberikan bantuan terhadap keluhan pasien. Akan dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor kepuasan pasien adalah: kualitas jasa, harga, emosional, kinerja, estetika, karakteristik produk, pelayanan, lokasi, fasilitas, komunikasi, suasana, dan desain visual. Komunikasi dalam hal ini juga termasuk perilaku, tutur kata, keacuhan, keramahan petugas, serta kemudahan mendapatkan informasi dan komunikasi menduduki peringkat yang tinggi dalam persepsi kepuasan pasien.Tidak jarang walaupun pasien/keluarganya merasa outcome tak sesuai dengan harapannya merasa cukup puas karena dilayani dengan sikap yang menghargai perasaan dan martabatnya (Syafwati dkk, 2006).

2. Pelayanan

Pelayanan keramahan petugas pelayanan kesehatan, kecepatan dalam pelayanan. Pusat pelayanan kesehatan dianggap baik apabila dalam memberikan pelayanan lebih memperhatikan kebutuhan pasien maupun orang lain yang berkunjung. Kepuasan muncul dari kesan pertama masuk pasien terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan. Dapat dijabarkan dengan pertanyaan yang menyangkut keramahan, informasi yang diberikan, sejauh mana tingkat komunikasi, responsi, support, seberapa tanggap dokter di ruangan IGD, rawat jalan, rawat inap, farmasi,kemudahan dokter dihubungi, keteraturan pemberian meal, obat, pengukuran

(8)

suhu dsb (Grifin, 2005). Misalnya : pelayanan yang cepat, tanggap dan keramahan dalam memberikan pelayanan.

3. Lokasi

Meliputi letak pusat kesehatan, letak ruangan dan lingkungannya. Merupakan salah satu aspek yang menentukan pertimbangan dalam memilih pusat kesehatan.Akses menuju lokasi yang mudah dijangkau mempengaruhi kepuasan klien dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan di rumah sakit maupun pusat jasa kesehatan lainnya (Suryawati, 2004). Umumnya semakin dekat pusat kesehatan dengan pusat perkotaan atau yang mudah dijangkau, mudahnya transportasi dan lingkungan yang baik akan semakin menjadi pilihan bagi pasien yang membutuhkan pusat pelayanan kesehatan tersebut.

4. Fasilitas

Kelengkapan fasilitas pusat kesehatan turut menentukan penilaian kepuasan pasien, misalnya fasilitas kesehatan baik sarana dan prasarana, tempat parkir, ruang tunggu yang nyaman dan ruang kamar rawat inap. Walaupun hal ini tidak vital menentukan penilaian kepuasan klien, namun pusat kesehatan perlu memberikan perhatian pada fasilitas dalam penyusunan strategi untuk menarik konsumen.

5. Biaya (Cost)

Harga, yang termasuk didalamnya adalah harga produk atau jasa.Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas guna mencapai kepuasan pasien.Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar. (Iraawan, 2005) menemukan, ekspektasi masyarakat terhadap harga yang murah ditemukan cukup tinggi. Ini dikarenakan masyarakat miskin di Indonesia memang cukup tinggi. Pasien yang tidak perlu

(9)

mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa pelayanan, cenderung puas terhadap jasa pelayanan tersebut. Menurut, (Adriani, 2004), biaya dapat dijabarkan dalam pertanyaan kewajaran biaya, kejelasan komponen biaya, biaya pelayanan, perbandingan dengan rumah sakit yang sejenis lainnya, tingkat masyarakat yang berobat, ada tidaknya keringanan bagi masyarakat miskin,dan sebagainya. Selain itu, efisiensi dan efektivitas biaya, yaitu pelayanan yang murah, tepat guna, tidak ada diagnosa dan terapi yang berlebihan juga menjadi pertimbangan dalam menetapkan biaya perawatan.

2.3.3 Kepentingan/Harapan Pasien

Kepentingan pelanggan diyakini mempunyai peranan yang besar dalam evaluasi kualitas produk (Barang dan Jasa) dan kepuasan pelanggan. Kepentingan pelanggan pada dasarnya ada hubungan yang erat antara penentuan kualitas dan kepuasaan pelanggan (Tjiptono, 2004).

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan harapan pelanggan menurut Gaspersz dalam (Wira, 2004) adalah sebagai berikut:

1. Kebutuhan dan keinginan yang berkaitan dengan hal-hal yang dirasakan pelanggan ketika ia sedang mencoba melakukan transaksi dengan produsen/pemasok produk (perusahaan). Jika pada saat itu kebutuhan dan keinginannya besar, harapan atau ekspektasi pelanggan akan tinggi, demikian pula sebaliknya.

2. Pengalaman masa lalu ketika mengkonsumsi produk dari perusahaan maupun pesaing-pesaingnya.

3. Pengalaman dari teman-teman, dimana mereka akan menceritakan kualitas produk yang akan dibeli oleh pelanggan itu. Hal ini jelas mempengaruhi persepsi pelanggan terutama pada produk-produk yang dirasakan berisiko tinggi.

(10)

4. Komunikasi melalui iklan dan pemasaran juga mempengaruhi persepsi pelanggan. Orang-orang di bagian penjualan dan periklanan seyogianya tidak membuat kampanye yang berlebihan melewati tingkat ekspetasi pelanggan.

2.4 Mutu Pelayanan

2.4.1. Pengertian Mutu Pelayanan Kesehatan

Mutu pelayanan kesehatan atau pemeliharaan kesehatan diterima dan didefinisikan dalam banyak pengertian. Menurut Djoko Wijono (1999) mutu pelayanan kesehatan dapat semata-mata dimaksudkan adalah dari aspek teknis medis yang hanya berhubungan langsung antara pelayanan medis dan pasien saja, atau mutu kesehatan dari sudut pandang sosial dan sistem pelayanan kesehatan secara keseluruhan, termasuk akibat-akibat manajemen administrasi, keuangan, peralatan dan tenaga kesehatan lainnya.

Mutu pelayanan adalah keseluruhan karakteristik barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan konsumen, baik berupa kebutuhan yang dinyatakan maupun kebutuhan yang tersirat (Pohan, 2007).

Mutu pelayanan kesehatan merupakan kesempurnaan suatu produk dalam pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa. Pelayanan yang bermutu merupakan penyelenggaraan pelayanan yang diberikan sesuai dengan prosedur dan standar pada kode etik profesi yang telah ditetapkan, dengan menyesuaikan potensi dari sumber daya yang tersedia secara aman dan memuaskan yang dilakukan dengan wajar, efisien dan efektif dengan memperhatikan keterbatasan dan kemampuan pemerintah dan masyarakat konsumen (Azwar, 2007).

(11)

Menurut Supardi (2008) menyatakan mutu pelayanan kesehatan dapat dilihat dari sudut pandang pengguna layanan, penyandang dana pelayanan, dan penyelanggara pelayanan. Noor Azlina (2013) juga menyatakan mutu pelayanan kesehatan bagi pasien lebih berfokus pada dimensi daya tanggap petugas dalam memberikan pelayanan yang dibutuhkan pasien meliputi keramahan dan komunikasi petugas terhadap pasien.

Menurut Rosita, dkk (2011) dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dimana empati atau perhatian tenaga kesehatan sangat diharapkan oleh pemakai jasa atau pasien. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa mutu pelayanan kesehatan adalah kesesuaian antara harapan dan kenyataan pasien dalam memperoleh pelayanan kesehatan.

2.4.2. Dimensi Mutu

Menjaga mutu sebuah pelayanan kesehatan ditentukan oleh kemampuan manajemen dan komite medik rumah sakit dalam menjaga reputasi institusi dan kepercayaan pasien terhadap para dokter dan para medis serta tetap menjaga dan mengasah keterampilan dan profesionalisme tenaga medis dan paramedisnya sesuai dengan tingkat perkembangan teknologi (Muninjaya, 2011).

Pendekatan dalam kualitas pelayanan yang dijadikan acuan adalah model kualitas dengan metode SERVEQUAL (Service Quality) yang dapat digunakan sebagai penentuan mutu pelayanan, model ini dikembangkan dengan lima dimensi mutu pelayanan oleh Parasuraman, Zeithaml dan Malholtra (2011) dan kotler (2009) yaitu:

(12)

1. Bukti fisik (Tangibles), yang meliputi penampilan fasilitas fisik seperti gedung dan ruangan, kebersihan, kerapihan, kenyamanan ruangan, dan penampilan petugas. Mutu jasa pelayanan kesehatan dapat dirasakan secara langsung oleh para penggunanya yaitu pasien dengan menyediakan fasilitas fisik dan perlengkapan yang memadai. Para penyedia layanan kesehatan akan mampu bekerja secara optimal sesuai dengan keterampilan masing-masing. Dalam hal ini, perlu dimasukkan perbaikan sarana komunikasi dan perlengkapan pelayanan yang tidak langsung seperti kenyamanan ruang tunggu. Karena sifat produk jasa yang tidak dapat dilihat, dipegang, atau dirasakan, perlu ada ukuran lain yang bisa dirasakan lebih nyata oleh pengguna layanan kesehatan. Dalam hal ini, pengguna jasa menggunakan indranya untuk menilai kualitas jasa pelayanan kesehatan yang diterimanya seperti ruang penerimaan pasien yang bersih, nyaman, lantai yang berkeramik, peralatan kator yang lengkap, seragam staf yang rapi, menarik dan bersih (Muninjaya, 2011).

2. Kehandalan (Reliability), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang tepat atau akurat dan kemampuan memberikan pelayanan sesuai dengan yang dijanjikan. Kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan tepat waktu dan akurat sesuai dengan yang ditawarkan. Untuk meningkatkan reliability di bidang pelayanan kesehatan, pihak manajemen puncak perlu membangun budaya kerja bermutu yaitu budaya tidak ada kesalahan atau corporate culture of no mistake yang ditetapkan mulai dari pimpinan puncak sampai ke front line staff (yang langsung berhubungan dengan pasien). Budaya kerja seperti ini perlu diterapkan dengan membentuk kelompok kerja

(13)

yang kompak dan mendapat pelatihan secara terus menerus sesuai dengan teknologi dan ekspektasi pasien

3. Daya tanggap (Responsiveness), yaitu kesediaan untuk membantu pelanggan, respon dan memberikan pelayanan yang cepat yang meliputi kecepatan karyawan dalam menangani keluhan pelanggan serta kesigapan karyawan dalam melayani pelanggan. Dimensi ini dimasukkan ke dalam kemampuan petugas kesehatan menolong pelanggan dari kesiapannya melayani sesuai prosedur dan bisa memenuhi harapan pasien. Dimensi ini merupakan penilaian mutu pelayanan yang paling dinamis. Harapan pasien terhadap kecepatan pelayanan cenderung meningkat dari waktu ke waktu sejalan dengan kemajuan teknologi dan informasi kesehatan yang dimiliki oleh pelanggan. Nilai waktu bagi pasien semakin mahal karena masyarakat merasa kegiatan ekonominya semakin meningkat. Time is money berlaku untuk menilai mutu pelayanan kesehatan dari aspek ekonomi para penggunanya. Pelayanan kesehatan yang responsif terhadap kebutuhan pasiennya kebanyakan ditentukan oleh sikap para front-line staff. Mereka secara langsung berhubungan dengan para pengguna jasa dan keluarganya, baik melalui tatap muka, komunikasinon-verbal, langsung atau melalui telepon 4. Jaminan (Assurance), yaitu kegiatan untuk menjamin kepastian terhadap

pelayanan yang akan diberikan kepada pelanggan, hal ini meliputi kemampuan petugas atas pengetahuan terhadap jasa secara tepat, keterampilan dalam memberikan pelayanan sehingga dapat menumbuhkan rasa aman pada pelanggan sehingga dapat menanamkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan. Kreteria ini berhubungan dengan

(14)

pengetahuan, kesopanan, dan sifat petugas yang dapat dipercaya oleh pasien. Pemenuhan terhadap kriteria pelayanan ini akan mengakibatkan pengguna jasa merasa terbebas dari resiko. Berdasarkan riset, dimensi ini meliputi faktor keramahan, kompetensi, kredibilitas dan keamanan. Variabel ini perlu dikembangkan oleh pihak manajemen institusi pelayanan kesehatan dengan melakukan investasi, tidak saja dalam bentuk uang melainkan keteladanan manajemen puncak, perubahan sikap dan kepribadian staf yang positif, dan perbaikan sistem remunerasinya.

5. Empati (Emphaty), yaitu membina hubungan dan perhatian secara individual yang diberikan perusahaan kepada pelanggan seperti mendengarkan keluhan konsumen, kemudahan konsumen untuk menghubungi perusahaan, kemampuan petugas untuk berkomunikasi dengan konsumen/pelanggan dan usaha perusahaan untuk memahami kebutuhan pelanggannya. Kriteria ini terkait dengan rasa kepedulian dan perhatian khusus staf kepada setiap pengguna jasa, memahami kebutuhan mereka dan memberikan kemudahan untuk dihubungi setiap saat jika para pengguna jasa ingin memperoleh bantuannya. Peran SDM kesehatan sangat menentukan mutu pelayanan kesehatan karena mereka dapat langsung memenuhi kepuasan para pengguna jasa pelayanan kesehatan. Empati (empathy) artinya, memberikan perhatian yang tulus kepada pasien individual atau pribadi yang berupaya dalam memahami keinginan pasien. Pelayanan yang diberikan 24 salah satunya meluangkan waktu khusus sehingga terjadi hubungan pasien dengan staf untuk berkomunikasi, menghibur dan memberi dorongan kepada pasien.

(15)

2.4.3. Persepsi Mutu

persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi kedalam otak manusia, melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera pengelihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium (Slameto, 2012). Persepsi adalah proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu (Walgito, 2010).

Persepsi mutu pelayanan kesehatan merupakan hasil dari pengalaman dan apa yang mereka dapatkan dalam layanan kesehatan yang nantinya mempunyai persepsi berbeda-beda tentang unsur penting dalam menentukan mutu layanan kesehatan. Perbedaan ini antara lain disebabkan oleh terdapatnya perbedaan latar belakang, pendidikan, umur, jenis kelamin, pekerjaan, pengalaman, dan lingkungan (Wijono, 2011). Persepsi mutu adalah pandangan seseorang terhadap stimulus yang diterima dari panca indera, sehingga nantinya dapat memberikan penilaian atas pelayanan yang mereka terima, jika sudah sesuai dengan apa yang mereka harapkan maka para konsumen akan merasa puas akan pelayanan yang telah mereka terima dan rasakan (Walgito, 2010). Pandangan atau sering disebut juga dengan persepsi merupakan suatu proses dimana individu memberikan makna terhadap kesan indera mereka pada saat memperoleh pelayanan kesehatan, setiap orang akan mempunyai persepsi yang berbeda secara objektif, karena persepsi merupakan penafsiran yang nyata dan masing-masing orang memandang hal tersebut dari sudut perspektif yang berbeda.

Sehingga persepsi mutu dapat disimpulkan sebagai pengetahuan maupun pengalaman pasien atas pelayanan jasa yang telah diterimanya dan faktor-faktor yang

(16)

mempengaruhinya sangat berguna dalam memberikan persepsi atas pelayanan kesehatan. Kesesuaian antara harapan dan kenyataan akan dapat mempengaruhi persepsi pada mutu pelayanan.

2.5. Importance-Performance Analysis

Importance-Performance Analysis adalah analisa tingkat kesesuaian antara harapan atau kepentingan pelanggan dan kinerja atau kenyataan yang diterima pelanggan (Supranto, 1997).

Importance-Performance Analysis digunakan untuk mengetahui sampai sejauh mana kinerja pelayanan yang telah diberikan oleh perusahaan dan perbaikan yang perlu dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kualitas pelayanannya agar senantiasa mampu memuaskan pelanggan. Berdasarkan hasil penelitian tingkat harapan dan hasil penelitian tingkat kinerja maka dihasilkan perhitungan mengenai tingkat kesesuaian antara tingkat harapan dan tingkat kinerjanya (Supranto, 1997), dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

TKi = Tingkat kesesuaian responden

Xi = Skor penilaian tingkat kinerja (kenyataan) Yi = Skor penilaian tingkat harapan

(17)

Dari tingkat kesesuaian ini, dapat diketahui apakah hasil yang diterima pelanggan sudah sesuai atau belum dengan tingkat kepentingan pelanggan. Selanjutnya, tingkat kepuasan dapat diketahui dari total rataan tingkat kesesuaian. Apabila tingkat kesesuaian di bawah rataan total, maka dapat dikatakan pelanggan kurang puas dengan hasil yang didapat. Sebaliknya, jika di atas rataan total dikatakan sudah puas.

2.5. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang analisi tingkat kepuasan pasien rawat inap terhadap mutu pelayanan di Rumah Sakit Balimed Karangasem belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Penelitian yang berhubungan antara lain :

1. Penelitian yang dilakukan Aziz (2012) yang berjudul “Analisis Tingkat Kepuasan Pasien Terhadap Pelayanan Keperawatan Prima Di RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2012”. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan jumlah sampel 115 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner yang terdiri dari data demografi dan kuisioner pengukuran kualitas pelayanan keperawatan prima menggunakan skala likert. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden (76,52%) beranggapan pelayanan keperawatan belum prima.Mayoritas responden (81,74%) beranggapan kinerja pelayanan keperawatan sudah bagus. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan keperawatan sudah bagus akan tetapi belum sampai pada tingkatan prima.

2. Penelitian yang dilakukan Hardi (2010) yang berjudul “Analisis Tingkat Kepuasan Pasien Jamkesmas Terhadap Mutu Pelayanan Rawat Inap Di RSUD Pasaman Barat Tahun 2010” Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan

(18)

rancangan cross sectional dan dilanjutkan dengan analisis Diagram Kartesius. Penelitian ini dimulai bulan Juni dan berakhir bulan Desember 2010. Tempat penelitian di RSUD Pasaman Barat. Responden adalah pasien umum dan jamkesmas yang dirawat di ruang rawat inap kelas III (n=100) yang memenuhi kriteria inklusi. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner, dianalisis secara univariat dan bivariat (Chi Square dengan tingkat kemaknaan: 95%). Menurut hasil penelitian mutu pelayanan rawat inap kelas III baik, pasien kelas III puas dengan pelayanan yang diterimanya. Hasil uji Chi Square menemukan adanya hubungan yang signifikan antara mutu pelayanan dengan tingkat kepuasan pasien (p=0,000). Menurut hasil analisis Diagram Kartesius diketahui atribut mutu pada Kuadran A yaitu: kepastian jam pelayanan dan perhatian individual kepada pasien.

3. Penelitian yang dilakukan Royanah (2015) yang berjudul “Analisis Tingkat Kepuasan Pasien Peserta Jaminan Kesehatan Nasional Bukan Penerima Bantuan Iuran (Non PBI) di puskesmas Halmahera Kota Semarang Tahun 2015” Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan studi deskriptif. Informan dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Jumlah Informan utama adalah 8 pasien dan informan pendukung yaitu kepala puskesmas. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan, berdasarkan akses pelayanan dan keamanan, pasien sangat puas dengan pelayanan yang diberikan puskesmas. Dan dilihat dari aspek kompetensi teknis, efektivitas pelayanan, hubungan antar manusia, kelangsungan pelayanan, dan efisiensi, pasien cukup puas dengan pelayanan yang diberikan. Namun pasien belum puas dengan aspek kenyamanan yang ada di puskesmas.

(19)

4. Penelitian yang dilakukan Pangestu (2013) yang berjudul “Gambaran Kepuasan Pasien Pada Pelayanan Rawat Jalan di RSU Kota Tangerang Selatan tahun 2013”. Penelitian ini merupakan penelitian survey deskriptif melalui pendekatan kuantitatif yang dilakukan pada bulan Maret-Juni 2013. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 107 responden. Alat analisis yang digunakan adalah dengan Importance-Performance Analysis (IPA). Dari hasil penelitian diketahui gambaran kepuasan pasien pada pelayanan rawat jalan di RSU Kota Tangerang Selatan dilihat dari lima dimensi service quality. Pada dimensi tangibles belum memuaskan pasien, di mana atribut kebersihan dan kenyamanan ruang tunggu pendaftaran serta kebersihan dan kenyamanan ruang tunggu poli belum memuaskan pasien. Pada dimensi reliability sudah memuaskan pasien, namun ada atribut kehandalan petugas pendaftaran belum memuaskan pasien. Pada dimensi responsiveness sudah memuaskan pasien, namun ada atribut ketanggapan petugas pendaftaran belum memuaskan pasien. Pada dimensi assurance sudah memuaskan pasien, namun ada atribut kejelasan petugas apotek belum memuaskan pasien. Pada dimensi empathy belum memuaskan pasien, di mana atribut keramahan petugas pendaftaran, keramahan perawat, dan keramahan dokter belum memuaskan pasien.

5. Penelitian yang dilakukan Wira (2014) yang berjudul “Hubungan Antara Persepsi Mutu Pelayanan Asuhan Keperawatan Dengan Kepuasan Pasien Rawat Inap Kelas III Di RSUD Wangaya Kota Denpasar”. Tujuam penelitian adalah mengetahui hubungan antara persepsi mutu pelayanan asuhan keperawatan dengan kepuasan pasien rawat inap kelas III di RSUD Wangaya Kota Denpasar. Dimana hasil penelitiannya adalah Adanya hubungan yang bermakna persepsi kehandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati dengan kepuasan pasien rawat

(20)

inap kelas III di RSUD Wangaya dan Persepsi daya tanggap dan persepsi empati mempunyai hubungan yang kuat dan bermakna dengan kepuasan pasien di ruang rawat inap kelas III RSUD Wangaya.

6. Penelitian Arimbawa (2015) yang berjudul ”Hubungan Persepsi Mutu Pelayanan Laboratorium Patologi Klinik Dengan Kepuasan Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Tahun 2015”. Tujuan Penelitian ini adalah mencari hubungan persepsi lima dimensi mutu pelayanan dengan kepuasan pasien dan ditemukan hubungan yang bermakna antara lima dimensi mutu pelayanan dengan kepuasan pasien.

Referensi

Dokumen terkait

IMAM AL FAQIH, 2015, Implementasi Bantuan Langsung Masyarakat Dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) - Mandiri) Di Desa Sapeken, Kecamatan

Partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dicirikan dengan: (a) sikap proaktif masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan masih rendah

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan jenis asam yang berbeda untuk menganalisis kadar Cu total dan Zn total dalam lumpur limbah industri pelapisan

8) Unit HRD/Personalia mengumumkan daftar nama pendaftar yang lolos seleksi administrasi melalui surat atau website STKIP PGRI Blitar. a) Surat pengumuman yang

Safety riding dipilih dalam penelitian ini sebagai salah satu kegiatan CSR yang dilakukan oleh PT XYZ karena program tersebut sudah disesuaikan dengan situasi yang

Dengan kedua nilai tersebut, dapat disimpulkan bahwa simulasi yang telah dilakukan dengan menggunakan SWAT dikategorikan memuaskan karena nilai debit hasil simulasi

Hubungan persepsi daya tanggap dengan kepuasan pasien merupakan hasil stimulus dan panca indera pasien dari pelayanan yang diterima akan dapat dipersepsikan

Oleh sebab itu para ibu diharapkan dapat beradaptasi dengan tekanan agar ibu tetap dapat menjalankan kewajibannya dalam mendampingi anak tunanetra, menjalankan