• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Penggunaan lahan Sub DAS Cisadane Hulu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Penggunaan lahan Sub DAS Cisadane Hulu"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Sub DAS Cisadane Hulu

Sub Daerah Aliran Sungai Cisadane Hulu merupakan bagian dari DAS Cisadane yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian hilir, tengah, dan hulu. DAS Cisadane dimulai dari Gunung Salak di bagian selatan Kabupaten Bogor menuju ke Laut Jawa. Menurut Departemen Pertanian (1992), daerah Cisadane Hulu termasuk tipe iklim Af (iklim hujan tropis lembab) dalam klasifikasi iklim Koppen. Panjang sungai Cisadane adalah sekitar 80 km dan merupakan salah satu sungai utama di provinsi Banten dan Jawa Barat.

Penggunaan lahan pada Sub DAS Cisadane Hulu secara detil dapat terlihat luasannya pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Penggunaan lahan Sub DAS Cisadane Hulu

Jenis Landuse Luas (ha) Persentase (%)

Pertanian lahan kering 31730.78 37.22

Hutan 23357.36 27.40 Sawah 18086.24 21.21 Pemukiman 6467.96 7.59 Semak belukar 4160.44 4.88 Perkebunan 1347.04 1.58 Rawa 52.36 0.06 Pertambangan 25.60 0.03 Tanah terbuka 14.34 0.02 Lapangan udara 14.08 0.02 Total 85256.19 100.00

Sumber : BPDAS Ciliwung-Cisadane (2007)

Penggunaan lahan paling besar dari total luas wilayah Sub DAS Cisadane (37.22%) adalah pertanian lahan kering yang antara lain terletak di sebagian besar Caringin, Cijeruk, Bogor selatan, Leuwiliang, Nanggung, Rumpin, dan Ciomas, sebagian Dramaga dan Ciampea, serta sebagian kecil Bogor barat, Megamendung, Cibungbulang, dan Taman Sari. Landuse kedua terbesar (27.40%) adalah hutan yang banyak berlokasi di daerah kaki

(2)

Gunung Salak dan Pangrango seperti kecamatan Cisarua, Megamendung, Ciawi, sebagian Nanggung dan Pamijahan, serta sebagian kecil Ciampea, Cijeruk, Taman Sari, Rumpin, dan Caringin. Luasan sawah sebesar 21.21% dari total DAS mendominasi daerah Cibungbulang, Ciampea, sebagian Pamijahan, sebagian Leuwiliang dan Dramaga. Sebaran penggunaan lahan (landuse) pada Sub DAS Cisadane Hulu dapat dilihat pada Gambar 8.

Jenis tanah yang ada pada Sub DAS Cisadane hulu terdapat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis tanah Sub DAS Cisadane Hulu.

Jenis tanah Luas (ha) Persentase

(%)

Kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat p 24026.33 28.18 Asosiasi latosol coklat dan regosol kelabu 13436.28 15.76

Andosol coklat kekuningan 12980.92 15.23

Kompleks latosol merah kekuningan latosol coklat k 10904.04 12.79

Latosol coklat 8131.79 9.54

Kompleks regosol kelabu dan litosol 7427.45 8.71

Podsolik merah 2971.90 3.49

Asosiasi latosol coklat kemerahan dan latosol coklat 2680.07 3.14 Asosiasi andosol coklat dan regosol coklat 1521.76 1.78

Asosiasi Aluvial coklat 744.56 0.87

Kompleks rensina litosol dan brown forest soil 431.08 0.51

Total 85256.19 100.00

Daerah Aliran Sungai Cisadane Hulu memiliki mayoritas jenis tanah Kompleks Latosol Merah Kekuningan Latosol coklat p, yaitu 27.66% dan terdapat pada wilayah Cibungbulang, Ciampea, Caringin, Dramaga, Kota Bogor, serta sebagian Caringin dan Rumpin. Penutupan jenis tanah pada Sub DAS Cisadane Hulu dapat dilihat pada Gambar 9.

(3)
(4)
(5)

B. Simulasi SWAT

SWAT membutuhkan banyak input data yang sebagian besar masih belum dapat terpenuhi karena terbatasnya data yang tersedia pada Sub DAS Cisadane Hulu. Oleh karena itu, input data jenis landuse lokal disesuaikan dengan input data jenis landuse global yang diperkirakan mendekati jenis landuse lokal. Input data landuse global telah tersedia di dalam database SWAT dalam bentuk Microsoft access (mwswat.mdb) yang telah terintegrasi dalam software SWAT. Penyesuaian input data landuse lokal dengan landuse global) dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Penyesuaian jenis landuse lokal dengan landuse global

Penggunaan lahan (Landuse) Tanaman/landcover (crop data) Kode SWAT (LANDUSE_ID) Keterangan Jenis Tanaman/Landcover dalam SWAT Hutan FRST Forest-mixed

Pertanian lahan kering AGRR Agricultural Land-Row Crops

Sawah RICE Rice

Semak belukar SHRB Shrubland

Perkebunan CRIR Irrigated Cropland and Pasture

Rawa WETF Wetland-forested

Tanah terbuka TNTB Pasture

Urban (urban data) Kode SWAT (IUNUM)

Keterangan Jenis Urban dalam

SWAT

Lapangan udara UTRN Transportation

Pemukiman URMD Residential-High Density

Pertambangan UCOM Commercial

Penyesuaian input data tanah lokal dan input data tanah global dilakukan sesuai yang telah dilakukan sebelumnya oleh Junaidi (2009). Data jenis tanah yang telah disesuaikan terdapat pada Lampiran 10.

Simulasi SWAT terdiri dari tahapan-tahapan. Pada tahap pertama (Step 1), keluarannya adalah :

1. Pembentukan batas (delineasi) DAS dan pembagian DAS menjadi beberapa Sub DAS yang dibentuk berdasarkan topografi yang terbaca pada peta DEM. Setiap Sub DAS akan saling berhubungan, yaitu aliran sungai dari suatu Sub DAS akan mengalir menuju ke Sub DAS berikutnya.

(6)

2.

setiap Sub DAS akan memiliki satu aliran sungai utama (

sungai Cisadane daerah Batubeulah terletak pada titik pertemuan aliran

yang telah ditambahkan pada peta raster

dibutuhkan pada tahap ini dimana input slope akan dilakukan berdasarkan kategori slope Arsyad (2006). Pada

terbentuk pada

DAS tersebut telah terbentuk juga beberapa HRU. Tampilan output pembentukan HRU pada

Keterangan : Batas Sub DAS

Batas Sub DAS Cisadane Hulu BPDAS Bogor (

Aliran sungai (Main channel/reach

pada setiap Sub DAS. Reach dari setiap Sub DAS akan mengalir menuju outlet yang telah ditentukan.

Tampilan output pembagi dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Pembagian Sub DAS Cisadane Hulu

Pada step 1, DAS akan terbagi menjadi beberapa Sub DAS dimana setiap Sub DAS akan memiliki satu aliran sungai utama (

sungai Cisadane daerah Batubeulah terletak pada titik pertemuan aliran sungai (reach).

Pada step 2, SWAT akan membaca yang telah ditambahkan pada peta raster

dibutuhkan pada tahap ini dimana input slope akan dilakukan berdasarkan kategori slope Arsyad (2006). Pada

terbentuk pada step 1 akan diberi penomoran. Pada masing

DAS tersebut telah terbentuk juga beberapa HRU. Tampilan output pembentukan HRU pada step 2 dapat dilihat pada Gambar 11.

Keterangan :

Batas Sub DAS Cisadane Hulu hasil delineasi Batas Sub DAS Cisadane Hulu BPDAS Bogor (

Batubeulah

Main channel/reach) yaitu saluran utama yang terdapat dari setiap Sub DAS akan mengalir menuju

Tampilan output pembagian Sub DAS Cisadane Hulu pada

10. Pembagian Sub DAS Cisadane Hulu

1, DAS akan terbagi menjadi beberapa Sub DAS dimana setiap Sub DAS akan memiliki satu aliran sungai utama (reach

sungai Cisadane daerah Batubeulah terletak pada titik pertemuan

2, SWAT akan membaca LANDUSE_ID dan SOIL_ID yang telah ditambahkan pada peta raster landuse dan tanah. Input slope juga dibutuhkan pada tahap ini dimana input slope akan dilakukan berdasarkan kategori slope Arsyad (2006). Pada step 2, Sub DAS yang sebelumnya telah

1 akan diberi penomoran. Pada

masing-DAS tersebut telah terbentuk juga beberapa HRU. Tampilan output 2 dapat dilihat pada Gambar 11.

Cisadane Hulu hasil delineasi ( ) Outlet sungai Batas Sub DAS Cisadane Hulu BPDAS Bogor ( ) Aliran sungai/

Batubeulah

yaitu saluran utama yang terdapat dari setiap Sub DAS akan mengalir menuju

an Sub DAS Cisadane Hulu pada step 1

1, DAS akan terbagi menjadi beberapa Sub DAS dimana

reach). Outlet sungai Cisadane daerah Batubeulah terletak pada titik pertemuan

aliran-_ID dan SOILaliran-_ID dan tanah. Input slope juga dibutuhkan pada tahap ini dimana input slope akan dilakukan berdasarkan DAS yang sebelumnya telah -masing Sub DAS tersebut telah terbentuk juga beberapa HRU. Tampilan output

Outlet sungai ( ) liran sungai/reach ( )

(7)

Response Unit

memiliki keunikan dalam hal lahan.

Berbeda dengan Sub DAS, antar HRU akan diasumsikan tidak ada hubungan satu dengan yang lainnya. Keluaran seperti

sedimen, unsur hara, dan lainnya akan dikalkulasikan pada masing HRU.

karena terlebih dahulu dihitung pada setiap HRU, kemudian dijumlahkan sebagai keluaran satu Sub DAS

dari yan

Keterangan : Batas Sub DAS Outlet sungai Batas HRU

Gambar 11. Pembagian Sub DAS menjadi HRU

Pada step 2, diperoleh 57 Sub DAS dengan 723

Response Unit (HRU). HRU adalah bagian dari wilayah memiliki keunikan dalam hal landuse

lahan. Manajemen lahan pada kali ini tidak digunakan sebagai input. Berbeda dengan Sub DAS, antar HRU akan diasumsikan tidak ada hubungan satu dengan yang lainnya. Keluaran seperti

sedimen, unsur hara, dan lainnya akan dikalkulasikan pada masing HRU. Prediksi keluaran dari setiap

karena terlebih dahulu dihitung pada setiap HRU, kemudian dijumlahkan sebagai keluaran satu Sub DAS.

Outlet sungai Batubeulah terletak pada sub DAS nomor 57. Keluaran dari step 2 dari Sub DAS Cisadane Hulu dapat dilihat pada SWAT

yang telah dirangkum pada Tabel 5.

Keterangan :

Batas Sub DAS ( ) 1, 2, 3, …57 Outlet sungai ( ) Aliran sungai/

Batas HRU ( )

Batubeulah

Gambar 11. Pembagian Sub DAS menjadi HRU

2, diperoleh 57 Sub DAS dengan 723 HRU adalah bagian dari wilayah Sub DAS

landuse, jenis tanah, ataupun manajemen

Manajemen lahan pada kali ini tidak digunakan sebagai input. Berbeda dengan Sub DAS, antar HRU akan diasumsikan tidak ada hubungan satu dengan yang lainnya. Keluaran seperti runoff

sedimen, unsur hara, dan lainnya akan dikalkulasikan pada masing

keluaran dari setiap Sub DAS dapat dihitung secara akurat karena terlebih dahulu dihitung pada setiap HRU, kemudian dijumlahkan

Outlet sungai Batubeulah terletak pada sub DAS nomor 57. Keluaran 2 dari Sub DAS Cisadane Hulu dapat dilihat pada SWAT

g telah dirangkum pada Tabel 5.

1, 2, 3, …57 (nomor Sub DAS) Aliran sungai/reach ( )

Batubeulah

2, diperoleh 57 Sub DAS dengan 723 Hydrogical Sub DAS yang , jenis tanah, ataupun manajemen Manajemen lahan pada kali ini tidak digunakan sebagai input. Berbeda dengan Sub DAS, antar HRU akan diasumsikan tidak ada

runoff dengan sedimen, unsur hara, dan lainnya akan dikalkulasikan pada masing-masing secara akurat karena terlebih dahulu dihitung pada setiap HRU, kemudian dijumlahkan

Outlet sungai Batubeulah terletak pada sub DAS nomor 57. Keluaran 2 dari Sub DAS Cisadane Hulu dapat dilihat pada SWAT report

(8)

Tabel 5. Landuse dan jenis tanah pada report SWAT

Kode Landuse Jenis Landuse Luas (ha) % dari Sub DAS Cisadane Hulu

FRST Hutan 22091.0 26.9

URMD Pemukiman 4505.2 5.5

RICE Sawah 19222.2 23.4

AGRR Pertanian Lahan Kering 32464.1 39.5

SHRB Semak belukar 3884.6 4.7

Total 82167.1 100.0

Kode Tanah Jenis Tanah Luas (ha) % dari Sub DAS Cisadane Hulu

KRLBFS

Kompleks rensina litosol dan

brown forest soil 436.6 0.5

AAC Asosiasi aluvial coklat 590.0 0.7 ALCK

Asosiasi latosol coklat

kemerahan dan latosol coklat 2578.4 3.1 ALCRK

Asosiasi latosol coklat dan

Regosol kelabu 13431.5 16.4

KLMKLCK

Kompleks latosol merah

kekuningan latosol coklat k 10430.5 12.7

PM Podsolik merah 3022.4 3.7

AACRC

Asosiasi andosol coklat &

regosol coklat 1048.5 1.3

ACK Andosol coklat kekuningan 12762.0 15.5

LC Latosol coklat 7330.4 8.9

KRKL

Kompleks regosol kelabu &

litosol 7386.2 9.0

KLMKLCP

Kompleks latosol merah

Kekuningan latosol coklat p 23150.7 28.2

Total 82167.1 100.0

Interval slope (%) Luas (ha) % dari Sub DAS Cisadane Hulu 0-3 8775.9 10.7 3-8 21736.1 26.5 8-15 19379.8 23.6 15-30 18530.9 22.6 30-45 8650.4 10.5 45-65 4101.1 5.0 65-156 993.0 1.2 Total 82167.1 100.0

Pada simulasi step 2, terdapat perubahan pada luasan DAS yang terdelineasi sehingga berpengaruh terhadap luasan landuse dan luas tanah. Hal ini dikarenakan kurang tingginya resolusi peta DEM yang digunakan sehingga SWAT tidak dapat membentuk (mendelineasi) batas DAS dengan baik. Hasil delineasi DAS yang lebih baik pada model SWAT akan

(9)

diperoleh bila DEM yang digunakan memiliki resolusi yang lebih kecil, misalnya resolusi 30 m × 30 m. Luas landuse, tanah, dan slope yang lebih kecil dari threshold yang telah diinput pada step 2 akan diabaikan (10% landuse, 5% tanah, dan 5% slope). Pada Tabel 5, luasan DAS hasil simulasi diperoleh sebesar 82167.1 ha sedangkan luas awal DAS adalah sebesar 85256.2 ha. Luasan landuse yang terbesar setelah disimulasi adalah AGRR yang merupakan LANDUSE_ID dari pertanian lahan kering dengan persentase 39.5% dari luas total DAS yang dapat dibentuk. Luasan tanah yang terbesar dalam simulasi SWAT adalah KLMKLCP yang merupakan SOIL_ID dari Kompleks Latosol Merah Kekuningan latosol coklat p dengan persentase 28.2%. Berdasarkan peta DEM yang telah diinput, SWAT akan menghitung slope yang ada pada DAS berdasarkan interval yang telah diinput sebelumnya. Sub Daerah Aliran Sungai Cisadane didominasi oleh interval slope 3%−8% yaitu 26.44% dari total luas DAS.

Report pada SWAT juga berisi keterangan hasil simulasi pada tingkat Sub DAS yang terbentuk dari total luasan Sub DAS Cisadane Hulu. Outlet sungai Batubeulah terdapat pada Sub DAS nomor 57. Report SWAT pada Sub DAS 57 terdapat pada Tabel 6.

(10)

Tabel 6. Report SWAT pada Sub DAS 57

Kode

Landuse Jenis Landuse

Luas (ha)

% dari Sub DAS

57

% dari Sub DAS Cisadane Hulu

AGRR Pertanian lahan kering 47.4 100 0.06

Total Sub DAS 57 47.4 100 0.06

Kode

Tanah Jenis Tanah

Luas (ha)

% dari Sub DAS

57

% dari Sub DAS Cisadane Hulu

KLMKLCP

Kompleks latosol merah

kekuningan latosol coklat p 43.68 92.16 0.05 AAC Asosiasi aluvial coklat 3.72 7.84 0.00

Total Sub DAS 57 47.4 100 0.06

Interval slope Luas

(ha)

% dari Sub DAS

57

% dari Sub DAS Cisadane Hulu

0-3 12.08 25.49 0.01

3-8 11.15 23.53 0.01

8-15 19.52 41.18 0.02

15-30 4.65 9.8 0.01

Total Sub DAS 57 47.4 100 0.06

Nomor HRU HRU Luas (ha) % dari Sub DAS 57

% dari Sub DAS Cisadane Hulu 719 AGRR/KLMKLCP/15-30 4.65 9.8 0.01 720 AGRR/KLMKLCP/8-15 19.52 41.18 0.02 721 AGRR/KLMKLCP/3-8 7.44 15.69 0.01 722 AGRR/KLMKLCP/0-3 12.08 25.49 0.01 723 AGRR/AAC/3-8 3.72 7.84 0.00

Total Sub DAS 57 47.41 100 0.06

Sub DAS nomor 57 memiliki luasan 47.4 ha atau hanya 0.06% dari luas total DAS. Landuse pada Sub DAS 57 adalah pertanian lahan kering (AGRR) yaitu sebesar 100% dari luas total Sub DAS 57. Sebagian besar jenis tanah di Sub DAS 57 adalah KLMKLCP yaitu sebesar 92.16% dari luas total Sub DAS 57. Areal Sub DAS 57 sebanyak 41.18% memiliki kemiringan (slope) dengan interval 8% − 15%. Pada Sub DAS 57, terbentuk lima HRU, yaitu HRU nomor 719 sampai dengan 723 dengan kombinasi landuse, tanah, dan slope yang spesifik.

Pada step 3, SWAT akan mensimulasi semua input data iklim yang telah ada untuk memperoleh output yang diinginkan. Lima stasiun iklim (weather station) yang terdiri dari lima file harian .pcp dan satu file .tmp

(11)

akan dibaca oleh SWAT. Adapun data iklim lainnya berupa data radiasi surya dan data kecepatan angin yang sebenarnya juga dibutuhkan

SWAT akan dibangkitkan dengan menggunakan (.wgn).

penyinaran matahari, kecepatan angin, dan titik embun dari stasiun iklim Dramaga dari tahun 2003

diinginkan adalah debit sungai Cisadane pada outl

debit (FLOW_OUT) akan disimulasi secara bulanan untuk kemudian dibandingkan dengan debit di lapangan (

stasiun iklim pada

terdahulunya adalah terdapat tambahan

memvisualisasikan output simulasi yang diinginkan. Visualisasi output ditandai dengan gradasi warna. Pada

akan dibaca oleh SWAT. Adapun data iklim lainnya berupa data radiasi surya dan data kecepatan angin yang sebenarnya juga dibutuhkan

SWAT akan dibangkitkan dengan menggunakan (.wgn). File .wgn berisi data rata

penyinaran matahari, kecepatan angin, dan titik embun dari stasiun iklim Dramaga dari tahun 2003-2008. Pada

diinginkan adalah debit sungai Cisadane pada outl

debit (FLOW_OUT) akan disimulasi secara bulanan untuk kemudian dibandingkan dengan debit di lapangan (

stasiun iklim pada step 3 terdapat pada Gambar 12.

Gambar 12. Sebaran stasiun iklim Sub DAS Cisadane Hulu

Keunggulan pada software

terdahulunya adalah terdapat tambahan

memvisualisasikan output simulasi yang diinginkan. Visualisasi output ditandai dengan gradasi warna. Pada

Keterangan :

Batas Sub DAS hasil delineasi ( Outlet sungai ( ) Batas HRU ( )

Batubeulah

akan dibaca oleh SWAT. Adapun data iklim lainnya berupa data radiasi surya dan data kecepatan angin yang sebenarnya juga dibutuhkan

SWAT akan dibangkitkan dengan menggunakan file weather generator

.wgn berisi data rata-rata tahunan dari curah hujan, temperatur, penyinaran matahari, kecepatan angin, dan titik embun dari stasiun iklim 2008. Pada step 3 ini, keluaran output yang diinginkan adalah debit sungai Cisadane pada outlet Batubeulah. Output debit (FLOW_OUT) akan disimulasi secara bulanan untuk kemudian dibandingkan dengan debit di lapangan (debit observed). Sebaran okasi

3 terdapat pada Gambar 12.

Gambar 12. Sebaran stasiun iklim Sub DAS Cisadane Hulu

software SWAT 1.5 dibandingkan versi terdahulunya adalah terdapat tambahan step 4 yang dapat digunakan untuk memvisualisasikan output simulasi yang diinginkan. Visualisasi output ditandai dengan gradasi warna. Pada step 4, akan dipilih output berupa debit

) 1, 2, 3, …57 (nomor Sub DAS) Aliran sungai/reach (

Stasiun Iklim ( Batubeulah

akan dibaca oleh SWAT. Adapun data iklim lainnya berupa data radiasi surya dan data kecepatan angin yang sebenarnya juga dibutuhkan dalam

weather generator

rata tahunan dari curah hujan, temperatur, penyinaran matahari, kecepatan angin, dan titik embun dari stasiun iklim 3 ini, keluaran output yang et Batubeulah. Output debit (FLOW_OUT) akan disimulasi secara bulanan untuk kemudian ). Sebaran okasi

Gambar 12. Sebaran stasiun iklim Sub DAS Cisadane Hulu

SWAT 1.5 dibandingkan versi 4 yang dapat digunakan untuk memvisualisasikan output simulasi yang diinginkan. Visualisasi output 4, akan dipilih output berupa debit

(nomor Sub DAS) )

(12)

rata

output visualisasi nilai debit pada

bahwa secara umum Sub DAS yang memiliki debit rata

terbesar adalah Sub DAS yang terletak di sekitar outlet dan serta sebagian besar merupakan daerah pemukiman dan pertanian (Sub DAS 44, 46, 48, 49, 52, 54, 55, 56,

Keterangan : Batas Sub DAS Outlet sungai Batas HRU

Visualisasi nilai debit rata

rata-rata bulanan dari masing-masing Sub DAS (FLOW_OUT). Tampilan output visualisasi nilai debit pada

Gambar 13. Visualisasi debit rata

Bila dibandingkan dengan peta

bahwa secara umum Sub DAS yang memiliki debit rata

terbesar adalah Sub DAS yang terletak di sekitar outlet dan serta sebagian besar merupakan daerah pemukiman dan pertanian (Sub DAS 44, 46, 48, 49, 52, 54, 55, 56, dan 57).

Keterangan :

Batas Sub DAS hasil delineasi ( Outlet sungai ( ) Batas HRU ( )

Visualisasi nilai debit rata-rata bulanan simulasi :

Batubeulah

masing Sub DAS (FLOW_OUT). Tampilan output visualisasi nilai debit pada step 4 dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Visualisasi debit rata-rata bulanan setiap Sub DAS

Bila dibandingkan dengan peta landuse pada Gambar 8, dapat dilihat bahwa secara umum Sub DAS yang memiliki debit rata-rata bulanan terbesar adalah Sub DAS yang terletak di sekitar outlet dan serta sebagian besar merupakan daerah pemukiman dan pertanian (Sub DAS 44, 46, 48, 49,

) 1, 2, 3, …57 (nomor Sub Aliran sungai/reach (

rata bulanan simulasi :

m3/detik

masing Sub DAS (FLOW_OUT). Tampilan 4 dapat dilihat pada Gambar 13.

rata bulanan setiap Sub DAS

pada Gambar 8, dapat dilihat rata bulanan terbesar adalah Sub DAS yang terletak di sekitar outlet dan serta sebagian besar merupakan daerah pemukiman dan pertanian (Sub DAS 44, 46, 48, 49,

(nomor Sub DAS) ( )

(13)

C. ANALISIS DEBIT

Step 4 merupakan aplikasi tambahan pada software MapWindow SWAT. Pada step 4, Sub DAS yang memiliki gradasi warna paling gelap merupakan daerah Sub DAS yang memiliki debit rata-rata bulanan paling besar. Pada tampilan step 4 (Gambar 13) ditunjukkan bahwa daerah Sub DAS 57 memiliki nilai debit rata-rata bulanan yang paling besar, yaitu lebih besar dari 61.9 m3/det.

Penyebab utama dari besarnya debit pada Sub DAS 57 adalah karena DAS yang berbentuk radial. Menurut Sosrodarsono dan Takeda (2006), dapat dilihat bahwa Sub DAS Cisadane Hulu termasuk ke dalam kategori DAS berbentuk radial dimana bentuk DAS melebar dan anak-anak sungai mengalir dengan arah yang terkonsentrasi di satu titik, yaitu menuju outlet Batubeulah. Akibatnya, debit dari bagian Sub DAS lainnya sampai pada titik outlet yang ada pada Sub DAS 57 pada saat yang hampir bersamaan. Dampak yang ditimbulkan dapat dilihat secara jelas pada Sub DAS 57 yang menerima akumulasi debit yang dikirimkan dari Sub DAS lainnya.

Tahap tambahan yang merupakan tahap terakhir dari simulasi SWAT adalah menampilkan debit hasil simulasi (FLOW_OUT) dan kemudian dibandingkan dengan debit di lapangan (debit observasi). Tahap ini dilakukan dengan menggunakan SWAT Ploth and Graph. Debit simulasi outlet Batubeulah menggunakan SWAT pada Sub DAS 57 dirunning secara bulanan dengan periode 1 Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2008. Debit hasil simulasi akan dibandingkan dengan debit terukur pada outlet sungai Batubeulah. Tampilan hasil dari SWAT Ploth and Graph dapat dilihat pada Gambar 14.

(14)

0 20 40 60 80 100 120 140 160 De b it ( m 3 /d e t)

Debit Simulasi (m3/det)

Debit Observasi (m3/det)

Gambar 14. Debit simulasi dan debit observasi SWAT Ploth and Graph

Perbandingan debit rata-rata bulanan yang telah dilakukan dengan menggunakan SWAT Ploth and Graph menghasilkan koefisien determinasi (R2) sebesar 0.712 dan Nash-Sutcliffe Index (NSI) sebesar 0.696. Dengan kedua nilai tersebut, dapat disimpulkan bahwa simulasi yang telah dilakukan dengan menggunakan SWAT dikategorikan memuaskan karena nilai debit hasil simulasi telah hampir mendekati nilai debit pada keadaan sebenarnya. Nilai debit rata-rata bulanan hasil simulasi SWAT selama tahun 2008 adalah sebesar 77.08 m3/detik dan nilai yang ada di lapangan (observed) adalah sebesar 78.72 m3/detik. Nilai debit rata-rata bulanan hasil simulasi dengan observasi terdapat pada Lampiran 9.

Gambar 15 berikut menunjukkan kaitan antara debit simulasi dan debit observasi dengan besarnya hujan yang dihasilkan oleh SWAT.

(15)

0 100 200 300 400 500 600 0 20 40 60 80 100 120 140 160 2 0 0 8 \1 2 0 0 8 \2 2 0 0 8 \3 2 0 0 8 \4 2 0 0 8 \5 2 0 0 8 \6 2 0 0 8 \7 2 0 0 8 \8 2 0 0 8 \9 2 0 0 8 \1 0 2 0 0 8 \1 1 2 0 0 8 \1 2 H U ja n (m m ) De b it ( m 3 /d e t) Presipitasi (mm)

Debit Simulasi (m3/det) Debit Observasi (m3/det)

Gambar 15. Hubungan debit dengan presipitasi

Pada Gambar 15 di atas dapat dilihat bahwa kenaikan besar hujan akan mempengaruhi besarnya debit. Nilai hujan yang tinggi akan berdampak pada besarnya nilai debit yang terjadi pada lahan. Debit simulasi SWAT memiliki nilai yang sedikit lebih tinggi, sedangkan pada debit observasi nilainya cenderung seragam dan tidak begitu menunjukkan perlonjakan nilai yang drastis sebagai pengaruh dari curah hujan yang ada.

Simulasi dengan menggunakan SWAT dapat semakin mendekati keadaan di lapangan apabila tersedia input data yang cukup. Input data antara lain berkaitan dengan sifat fisik tanaman/landcover, luasan wilayah kedap air suatu wilayah dan kedekatannya dengan saluran pembuangan, jumlah padatan yang dapat terbawa oleh air, sifat fisik tanah, jenis pengelolaan lahan dan nilai dari proses fisik yang dilakukan, dimensi saluran, serta masih banyak lagi. Semua data tersebut di Indonesia pada saat ini belum banyak diperhatikan untuk disediakan. Dan untuk menghasilkan data tersebut dibutuhkan waktu yang cukup lama mengingat wilayah yang cukup luas dan terkadang nilai data yang dibutuhkan didapat secara empiris sehingga memerlukan waktu yang tidak sebentar. Mengingat adanya keterbatasan data tersebut, data yang digunakan pada simulasi ini menggunakan data global yang telah tersedia dalam database SWAT.

(16)

Kekurangannya adalah, pada dasarnya setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga simulasi sulit untuk mencapai nilai sangat dekat dengan nilai sebenarnya di lapangan bila dilakukan dengan pendekatan yang kurang maksimal.

Dalam suatu pemodelan hidrologi, diperlukan proses kalibrasi dan validasi agar model tersebut dapat digunakan. Namun, kalibrasi dan validasi model tidak dilakukan pada penelitian ini.

Gambar

Tabel 2. Penggunaan lahan Sub DAS Cisadane Hulu  Jenis Landuse Luas (ha) Persentase (%)
Tabel 3. Jenis tanah Sub DAS Cisadane Hulu.
Gambar 8. Landuse Sub DAS Cisadane Hulu tahun 2008
Gambar 9. Sebaran jenis tanah Sub DAS Cisadane Hulu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ya Allah, tutupilah auratku (aib dan sesuatu yang tidak layak dilihat orang) dan tentramkan-lah aku dari rasa takut.. Ya Allah, peliharalah aku dari depan, belakang, kanan, kiri

Pembangunan fasilitas publik yang dikelola secara efisien berpotensi meningkatkan output perekonomian dan biaya pembangunan fasilitas publik yang sangat besar merupakan

Penerapan keselamatan penerbangan (aviation safety) perlu dilaksanakan pada semua sektor, baik pada bidang transportasi / operasi angkutan udara, kebandaraudaraan,

Sertifikat Akreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN) Nomor : LPPHPL-013-IDN tanggal 1 September 2009 yang diberikan kepada PT EQUALITY Indonesia sebagai Lembaga

Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut dengan menggunakan metode NDLC, dibangunlah sebuah keamanan internet dengan WPA2-PSK, management bandwidth

Untuk nilai SQI tidak ada perbedaan antara daerah yang mengalami overshooting coverage maupun yang tidak mengalami overshooting coverage berada pada kisaran nilai

Sama halnya dengan karakteristik ruang berupa pembatas ruang, komponen- komponen ruang tersebut juga menunjukkan tingkat perekonomian yang berbeda di antara pemilik

Penelitian ini ber- tujuan untuk melihat kandungan fito- kimia dan penampilan pola pita pro- tein pegagan hasil konservasi in vitro yang telah diaklimatisasikan dan