• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN. Lampiran Surat Keterangan Penyelesaian Penelitian Dari Tempat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR LAMPIRAN. Lampiran Surat Keterangan Penyelesaian Penelitian Dari Tempat"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran Transkrip Wawancara ... 121 Lampiran Surat Ijin Penelitian ... 149 Lampiran Surat Keterangan Penyelesaian Penelitian Dari Tempat

Penelitian ... 151 Lampiran Dokumentasi Hasil Observasi ... 152 Daftar Riwayat Hidup ... 155

(2)

Lampiran 1 : Pedoman Wawancara Judul Skripsi :

“Strategi Kampanye Public Relations GIDKP Dalam Pengurangan Limbah Plastik Di Jakarta”

Pertanyaan Penelitian :

A. Bagaimana strategi kampanye public relations yang telah dijalankan oleh GIDKP dalam kegiatan kampanye sosial terkait pengurangan limbah plastik?

B. Kendala apa saja yang ditemui dalam proses kampanye public relations yang tersebut diatas?

Draft Pertanyaan : A

1. Apakah yang mendasari keputusan Greeneration untuk berubah nama menjadi GIDKP?

2. Mengapa GIDKP hanya terfokus pada masalah kantong plastik bukan limbah produk plastik secara keseluruhannya?

3. Bagaimana GIDKP menentukan strategi yang tepat dalam menyampaikan pesan sosial ini bagi masyarakat Jakarta?

4. Apa yang menjadi pertimbangan GIDKP dalam memilih media yang digunakan untuk berkampanye?

(3)

5. Apa saja yang telah dilakukan GIDKP dalam mensosialisasikan program pengurangan penggunaan kantong plastik kepada masyarakat secara khusus di Jakarta?

6. Sebagai organisasi nirlaba yang memiliki keterbatasan dana, apakah hal tersebut mempengaruhi pemilihan strategi dan media kampanye yang digunakan oleh GIDKP?

7. Bagaimana GIDKP melakukan perekrutan para sukarelawannya? 8. Apakah GIDKP menetapkan kriteria khusus dalam hal kemampuan

berkomunikasi bagi para sukarelawannya?

9. Apakah GIDKP melakukan pelatihan khusus bagi sukarelawannya dalam proses interaksi langsung dengan masyarakat?

10. Dari kelima sasaran strategis GIDKP manakah yang paling memiliki peran signifikan pada gerakan ini dan mengapa?

B

1. Bagaimana perubahan pola kebiasaan masyarakat dalam menggunakan kantong plastik dalam kurun waktu 10 tahun kebelakang dan

bagaimanakah prediksi GIDKP mengenai kebiasaan ini dalam 10 tahun kedepan?

2. Bagaimana GIDKP merubah pola pikir masyarakat terhadap limbah plastik?

3. Apakah perbedaan paling signifikan antara masyarakat di kota Bandung yang telah terlebih dahulu menjalani gerakan ini dengan masyarakat Jakarta?

(4)

4. Apakah tantangan terbesar GIDKP dalam mesosialisasikan kampanye kepada masyarakat Jakarta?

5. Bagaimana GIDKP menyelesaikan tantangan-tantangan tersebut? 6. Pihak mana sajakah yang kontra terhadap gerakan ini?

7. Apa yang menyebabkan pihak-pihak tersebut tidak mendukung gerakan ini?

8. Bagaimana GIDKP menyikapi pedagang-pedagang kaki lima yang dengan bebas menggunakan kantong plastik dan Styrofoam sebagai pengemas makanannya?

9. Mengapa GIDKP tidak memasukan pedagang-pedagang kaki lima sebagai sasaran strategis kegiatan kampanye ini?

10. Apakah GIDKP kedepannya akan mempertimbangkan bekerjasama dengan para traveler blogger mengingat jumlah sampah plastik yang amat mengkhawatirkan di berbagai lokasi wisata?

(5)

Lampiran Transkrip Wawancara Wawancara Pertama

Narasumber : Rahyang Nusantara

Profile : Koordinator Nasional GIDKP Tempat : Grand Indonesia, Jakarta Waktu : Kamis, 17 Desember 2015

Pertanyaan Jawaban

Apakah sejak awal

terbentuknya Greeneration (sebelum berubah menjadi GIDKP) sudah berfokus pada isu kantong plastik?

Awalnya Greeneration berfokus pada masalah sampah (secara umum), namun memang ada satu campaign yang bernama diet kantong plastik dulu lima tahun yang lalu barengan sama Circle-K. Pada saat itu Circle-K (sudah) menerapkan kantong plastik berbayar, setelah satu tahun kita lanjut campaign masalah lainnya. Pas 2013 ketemu Tiza, dia buat petisi “Pay For Plastic” mulai dikeluarin si diet kantong plastik maksudnya biar gerakannya lebih massive lagi. Habis dari situ udah mulai gak dibawah greeneration lagi.

Jadi salah satu penggagas yang memecahkan diri menjadi GIDKP Tiza ?

Salah satunya iya, ada bebarapa yang lainnya juga. Salah satunya yang waktu presentasinya Tiza waktu itu, kan ada beberapa logo nah itu salah satunya. Tapi sampai sekarang

Greenerationnya masih ada?

Masih tapi dia gak cuma diet kantong plastik aja, dia kan isunya banyak.

Kenapa GIDKP

mengangkatnya hanya isu kantong plastik saja bukan limbah plastik secara keseluruhan?

Karena namanya juga kan Diet Kantong Plastik, jadi ya kita fokus di masalah kantong plastik doang.

Bagaimana GIDKP merencanakan strategi kampanye yang tepat?

Waktu pas pertama sih kita emang ke targetnya dulu, karena kan sasaran kita siapa sih sebenernya kan jadi targetnya emang disitu. Waktu itu sih ada lima, waktu awal banget sekarang udah berubah soalnya. Waktu itu lima ada pemerintah,

retailer/swasta, komunitas, akademisi sama media itu waktu pas awal banget. Nah, sekarang itu mulai di kelompokan target dan sasaran kita ada di

(6)

regulasi, edukasi sama fasilitasi. Untuk Regulasi sendiri pemerintahan, berarti kalo kita ingin ada regulasi yang harus kita deketin adalah

pemerintahan. Untuk fasilitasi sendiri itu retailer. Karena si retailer ini sendiri yang akan

dipercontohkan untuk kantong plastik berbayar itu seperti apa. Kalo edukasi itu komunitas, akademisi sama media juga disitu. Jadi udah lebih fokus. Kalau saya lihat memang

kegiatannya sendiri lebih banyak ke kalangan yang sudah well educated atau menengah keatas,

berkaitan dengan itu bagaimana GIDKP menyikapi pedagang kaki lima (yang notabene adalah kalangan menengah kebawah) yang juga konsumtif menggunakan kantong plastik. Apakah kegiatan GIDKP memang tidak menyentuh kalangan tersebut?

Saat ini belum. Jadi fokus kegiatannya memang masih ke kalangan menengah keatas. Kekalangan yang memang sudah cukup paham dengan isu ini, karena pendekatan ke kalangan menengah kebawah itu beda. Kita kan beneran harus dari nol. Mereka perlu tahu juga emang kenapa sih kantong plastik, sedangkan orang dari kalangan menengah keatas paling enggak udah tahu bahaya kantong plastik seperti apa. Orang menengah kebawah itu gak peduli sama lingkungan kan, karena kebutuhan premier mereka belum terpehuni jadi boro-boro mereka mikirin bahaya lingkungan. (Penggunaan kantong plastik di pedagang kaki lima) itu memang banyak banget. Kaya pasar tradisional, ada yang bilang pasar tradisional menghasilkan sampah plastik lebih banyak cuma belum pernah di riset sih jumlahnya berapa, maksudnya apakah memang benar dibanding pasar modern pasar tradisional lebih banyak

sampahnya. Cuma, karena kita mau bikin

percontohan dulu dan yang cukup lebih mudah ya kepasar modern dulu. Orang-orang (yang) udah cukup kenal dengan isu ini ya kalangan menengah keatas. Soalnya kalo gak ada percontohan itu akan lebih susah lagi, karena kita kan pinginnya

edukasinya orang-orangnya dulu nih bukan retail-nya atau pemerintahretail-nya. Kalau mereka sudah mulai terbiasa nanti juga bakal ngikutin, kan gak mungkin si orang itu belanjanya ke supermarket terus

adakalanya mereka ke pasar atau ke warung nah kalo orangnya sudah teredukasi, sudah terbiasa pasti bakal ngikutin di sektor yang lainnya. Soalnya kalo dipasar modern jelas ya, birokrasi kemana-kemana jelas sedangkan di pasar tradisional itu gak kaya gitu. Ada asosiasinya tapi asosiasinya gak bisa ngedorong bahwa si tenan itu harus nol plastik misalkan. Kita harus satu-satu ke toko dan mereka gak punya cabang, beda dengan edukasi ke

(7)

langsung ke cabang-cabang. Nah, kalo pasar kan enggak. Mereka cuma punya satu tenan doang dan belum tentu mereka punya tenan lain di pasar-pasar yang lain dan itu perlu satu-satu. Intinya kita belum ada SDM buat kesana karena itu kita pake ke yang modern dulu yang ke perkotaan.

Mengingat tingkat keberhasilan di kota Bandung, apakah ada perbedaan antara masyarakat di Bandung dan Jakarta dalam hal penerimaan pesan kampanye ini?

Beda sih kalo pola masyarakatnya. Di Jakarta variatif banget , kebanyakan pendatang nah kalo di Bandung asli lah, pendatangnya gak terlalu banyak. Dan memang kecil kan kotanya, gak sebesar Jakarta maksudnya untuk ngaturnya sendiri bisa jadi lebih cukup mudah. Ya itu, mungkin aku gak bisa jawab sih karakteristik kota kenapa bisa berbeda, cuma paling enggak karena di Bandung itu kemana-mana lebih dekat jadi kita lebih gampang untuk

berkordinasi kemana-mana, dan terkait pasar yang memang disebutin Bu Teti waktu seminar itu, ada tiga pasar sebenernya juga bukan standar untuk pengurangan kantong plastik. Karena itu kan (grade-nya) biodegradable dan oxobiodegradable waktu itu pernah dibahas juga kan sama Pak Unso. Kalo dari diet kantong plastik sih menghindari, kita gak endorse untuk produk-produk seperti itu.

Karena itu kan tetap sekali pakai, bahkan itu beneran sekali pakai. Beda sama kantong plastik yang jaman dulu yang bisa kita pakai lebih lama. Itu justru pemakaian (kantong plastic) oxodegradable itu lebih berbahaya. Kamu bisa cek risetnya UNAID yang terbaru kalo misalkan mau ambil bahan itu, itu juga membuktikan bahwa oxobiodegradable dan biodegradable itu malah mencemari lingkungan lebih berbahaya lagi. Dan kalo bisa dibilang percontohan, Bandung itu cuma punya perda nya doang tapi implementasinya masih nol. Baru tahun ini (2016) kita mau mulai.

Jadi kalau dibandingkan antara Bandung dan Jakarta secara evaluasinya lebih maju Jakarta?

Gak juga, di Jakarta gak ada gerakan apa-apa untuk pengurangan kantong plastik kan. Cuma kalo kita bandingkan dari aspek hukumnya Bandung udah punya duluan, kota-kota lain belum punya. Dan untuk gerakan pun sebenarnya dibedakannya antara kota metropolitan sama sedang kali ya, itu kan gak bisa kita sama ratakan. Ya kalo kita bilang berhasil kita baru bisa bilang itu berhasil dari aspek

hukumnya doang. Untuk implementasi semuanya gak ada yang menerapkan kantong plastik berbayar atau (baru sekedar mengganti menjadi)

(8)

oxobiodegradable. Bagaimana dengan

sejumlah angka dan statistik pengurangan penggunaan kantong plastik di retailer seperti di Superindo?

Itu kan di Superindo, itu keberhasilnnya Superindo bukan kota. Karena kan masing-masing kota jumlah gerainya berbeda-beda. Jadi gak bisa kita sama ratakan. Oleh karena itu, itu kesuksesan Superindo. Circle-K beda lagi.

Jadi memang belum ada

alat ukurnya ya? Kalo (skala) kota belum. Karena belum di resmiin kan perdanya. Tahun depan (2016) itu Circle-K baru mau memulai lagi plastik berbayar di Bandung, hanya di Bandung. Dan emang dari KLH pun tahun depan Bandung jadi pilot project-nya untuk kota percontohan pengurangan kantong plastik. Jadi baru mau Bandung dan uji coba nya baru mau tahun depan.

Jadi kalau bisa dibilang, secara strategi setelah mengkategorikan target market dan action plan, evaluasinya belum ada?

Belum. Karena semua masih on going.

Apa yang menjadi pertimbangan GIDKP dalam menentukan strategi kampanye yang tepat?

Sebenarnya offline event itu kita cukup jarang. Tahun ini (2015) kita cuma seminar doang, tahun lalu bahkan gak ada. Itu sebenarnya karena pekerjaan kita lebih ke advokasi ke pemerintahan. Maksudnya gak semua yang kita keluarkan ke pemerintah bisa (langsung) kita sampaikan ke masyarakat kan. Karena (yang kita minta dari) pemerintah itu regulasi jadi itu lama banget. Kita dari 2010 aja baru bisa gol di kementerian tahun ini. Kalau seminar itu memang salah satu bentuk intervensi yang kita lakukan untuk membuat orang-orang (masyarakat) mulai “ngeh” bahwa di

pemerintah sudah ada kebijakan ini dan itu. Retail mana aja yang sudah mulai “melek” sama isu kantong plastik supaya orang-orang juga makin pinter kan (konsumennya). Terus kalo kaya lain-lainnya, lebih ke menjaga isu aja sih, seperti orang-orang udah mulai “ngeh” oke nih kantong plastik emang menjadi masalah nih, beberapa kali rampok plastik, atau di sosial media juga kita cukup aktif atau juga bulan lalu ada wisata plastik di sungai Ciliwung, itu juga supaya menjaga mood isu supaya kantong plastik jadi isu besar.

Berbicara tentang

organisasi nirlaba apakah keterbatasan dana akhirnya

Mungkin akhirnya karena keterbasan dana kita jarang bikin offline event apalagi yang besar-besar. Terus dulu waktu evaluasi di Greeneration kegiatan

(9)

turut mempengaruhi pemilihan strategi kampanye GIDKP?

(event) yang kaya gitu gak efektif. Orangnya banyak tapi setelah itu gak tau mau ngapain orang-orang itu. Dulu kita pernah bikin Head Bag Mob yang kaya kita nuker kantong plastik bekas terus kita ganti sama tas belanja, mereka lukis terus kita bikin long march. Itu memang secara numbers memang gede terus akhirnya kita bisa bilang bahwa seribu orang sudah teredukasi tentang kantong plastik. Tapi setelah itu kita gak bisa hitung, apa memang seribu tas belanja itu benar-benar digunakan atau ditaruh saja. Itu kan terlalu menghamburkan banyak uang (itu bisa ratusan juta loh acara begitu doang), buang-buang energi, buang-buang-buang-buang waktu, tapi gaungnya seminggu dua minggu. Makanya waktu aku yang mulai pegang (manajemen GIDKP) aku mulai ngurangin event-event yang kaya gitu karena menurutku itu gak efektif. Karena kita bukan acara yang membutuhkan jumlah media berapa yang meliput, tapi butuhnya impact yang lebih besar daripada itu. Diet Kantong Plastik ini kan bukan event CSR. Makanya dari situ, kegiatannya banyak yang kecil-kecil kaya ke sekolah-sekolah misalkan. Tahun ini (2015) kita ke enam sekolah disitu lebih bisa kita follow up. Setelah programnya beres kita masih bisa tanya ke gurunya dan masih bisa bikin program lanjutan lagi di sekolah itu, karena orang-orangnya homogen (kita ketemu orang-orang yang sama) beda sama kalau kita melakukan (di) Car Free Day terus atau seminar terus-menerus orangnya beda-beda. Mereka tahu, iya. Tapi tergerak belum tentu, itu kita gak bisa ukur. Cuma dua tahun terakhir ini penggunaan dana dari donasi itu

memang banyaknya buat program-pogram kecil sih sama aktivasi-aktivasi beberapa volunteer, terus kita juga lagi mau ngembangin website yang baru juga sekarang. Jadi kita ngebangun-ngebangun fasilitas yang memang kedepannya akan jadi portalnya GDIKP untuk ngapa-ngapain. Kedepannya memang kita proyeksi –oh, tahun ini idealnya berapa sih yang harus masuk- supaya istilahnya bisa lebih cepet (berhasil) gitu programnya.

Mengenai perekrutan relawan, GIDKP menggunakan

indorelawan.org. Apakah ada kriteria khusus yang

Dua-duanya ada. Jadi seperti GDIKP menawarkan seperti ini, kemudian indorelawan kaya kasih masukan. Sebenarnya ada (kriteria khusus untuk keahlian spesifik disatu bidang tertentu), makanya kalo kamu pernah buka (rekrutmen online di situs

(10)

ditetapkan baik dari GIDKP maupun indorelawan sendiri? Seperti relawan harus memiliki keahlian spesifik disatu bidang tertentu?

indorelawan.org) ada beda-beda kan profesinya mau yang gimana. Cuma akhirnya pas di lapangan, lagi-lagi karena kriteria kota berbeda. Bandung dan Jakarta berbeda banget relawannya, kualitas relawannya juga beda banget dan ternyata kriteria yang ada general banget itu kayanya gak berlaku. Makanya tahun ini kita gak buka perekrutan cuma satu kali aja, biasanya setahun kita buka dua kali tapi tahun ini cuma sekali dan baru akan buka lagi awal tahun depan (2016). Itu gak berhasil ternyata, karena di Jakarta itu sama Bandung beda, kriterinya yang kita bikin sama. Mungkin gak bisa gitu, mungkin di Jakarta (harus) spesifik kali ya profesinya mau kaya gimana, terus Bandung bisa lebih besar lagi. Dan itu mau kita launching di tahun depan kaya konsepnya bakalan kaya gimana. Jadi mesikpun ada kriteria di website, kenyataannya di lapangan akan berbeda, tergantung kebutuhannya kita lagi mau ngapain nih. Misalkan kaya kemarin-kemarin tuh pas kita lagi ke sekolah kita lebih banyak butuh educator, yang daftar educator padahal gak sebanyak itu. Tapi akhirnya yang mereka daftar apa di lapangannya jadi apa gitu, karena memang relawannya yang available dia lagi. Karena gak semua relawan itu bisa ikutan banyak kegiatan. Harapan dari kami sih bisa spesifik, apa yang dia bisa , dia melakukan itu gitu. Biar dia nya juga lebih berkembang lagi, cuma ternyata gak kaya gitu di lapangannya.

Dengan kondisi demikian apakah GIDKP

memfasilitasi para relawannya dengan training dan pelatihan khusus dengan kebutuhan di lapangan?

Di awal sih kita udah ada satu pelatihan, tiap-tiap enam bulan sekai mereka akan dapat pelatihan terkait sama isu-isu ini sendiri jadi saat jadi relawan mereka sudah tahu – oh, ternyata arahannya kesini ya si diet kantong plastik ini-. Pas awal tahun ini kita buat traininig lagi buat educator ke sekolah. Jadi mereka dilatih, kaya latihan presentasi, latihan tanya jawab, bikin ice breaking. Cuma akhirnya ya karena itu tadi, mungkin karena di Jakarta ini cukup unik ya. Udah dikasih training, merekanya udah bilang iya tapi ternyata pas pelaksanaannya enggak kan jadinya yang dikasih pelatihan siapa yang harus jalan siapa, itu beda kan jadinya. Sebenarnya sih dari GDIKP udah memberikan fasilitas itu cuma ternyata relawannya yang belum bisa memanfaatkannya dengan baik. Jadi Bandung Jakarta cukup beda sih. Bedanya jauh, makanya tahun ini kita gak buka lagi relawan karena memperbaiki dulu sistemnya

(11)

mungkin spesifik kota, spesifik pekerjaan juga. Apa bentuk aksi langsung

GIDKP untuk merubah paradigma masyarakat mengenai isu kampanye yang di angkat?

Salah satunya seminar, (dan) media sosial karena targetnya memang yang orang-orang kelas menengah keatas yang sudah melek media sosial makanya kita lebih fokus ke situ. Terus beberapa event kaya rampok plastik, sekali-kali seminar atau kaya kemarin wisata plastik kita ajakin komunitas-komunitas juga supaya mereka tahu –ini, loh kaya gini kondisi riil di sungai yang tercemar kantong plastic-, terus beberapa kali memang jadi pembicara di seminar-seminar itu juga, kan jadi salah satu bentuk komunikasi juga yang kita lakukan itu. Cuma memang saat mereka mau nih melakukan diet

kantong plastik, fasilitasnya gimana nih. Kaya misalkan dia ke toko, ternyata tokonya masih nawarin kantong plastik. Nah makanya, saat masyarakatnya sudah mulai siap, yang lainnya pun harus sudah siap, regulasinya harus ada. Retailnya pun sudah siap, kalau memang konsumen nolak kantong plastik dia harus memberikan apa sih – apa memang ada reward-kah atau cashback-kah, atau emang kasirnya udah paham saat si konsumen menolak memakai kantong plastik. Jadi kalo cuma masyarakatnya yang di edukasi percuma sebenarnya, makanya GIDKP banyak bermain di pemerintahan dan di retailer karena untuk mengimbangi itu. Apakah dari kelima

sasaran strategis (yang kemudian sekarang jadi tiga) ada yang memiliki peran lebih signifikan dari yang lainnya?

Semuanya pararel dan kalau dilihat memang itu yang harus dilakukan. Meskipun sebenarnya ditataran edukasi (sudah) banyak yang melakukan diluar dari organisasi GIDKP. Udah mulai banyak yang mengangkat isu kantong plastik sekarang. Jadi paling tidak untuk di sisi edukasi kita gak perlu banyak-banyak karena yang lain pun sudah ikut membantu, cuma kan gak semuanya mampu untuk di sektor pemerintah dan retailer makanya kita lebih main di sektor itu.

Selain maysrakatnya yang heterogenis, apa tantangan terbesar melakukan

edukasi ke masyarakat di Jakarta?

Kalau dari sisi pemerintahan, pemprov DKI Jakarta itu dulu sempat tapi dari merekanya responnya kurang. Baru mau kita lanjutin lagi akhir tahun ini dan awal tahun depan terkait dorongan untuk

membuat peraturan. Terus memang didalam internal mereka juga di SKPD itu gak sinkron dengan isu ini, ada yang mendukung dan ada yang gak, bahkan ada yang gak tau harus respon apa. Itu salah satu

hambatan juga kan, dari pemerintah sendiri belum bisa kasih suara. Beda sama Bandung yang memang

(12)

sudah ada peraturannya akhirnya mereka harus melakukan itu. Terus, ya karena perubahan perilaku kan gak instan apalagi dengan orang-orang yang heterogen dan banyak orang-orang yang apatis dengan isu-isu kaya gini. Tapi justru sebenarnya dari sisi retailer mendukung, dari asosiasinya

mendukung adanya pengurangan penggunaan kantong plastik. Karena kantong plastik itu buat mereka biaya (bisa sampai ratusan juta), maka kalau kantong plastiknya dikurangin justru mereka jadi lebih hemat operasional, menguntungkan mereka. Tapi dengan begitu disisi

lain masyarakat akan berpikir retailer mencari keuntungan, gak?

Ya enggak kan dananya bukan buat mereka. Contoh, kantong plastik berbayar dana itu bukan buat mereka dana itu akan dibalikan lagi buat konsumen. Yang akan dilakukan oleh Circle-K di Bandung, kantong plastik itu harganya RP. 500,- , RP. 200,-

dikembalikan oleh konsumen saat mereka kembalikan lagi kantong plastik yang udah gak dipake Rp. 300,- akan dipakai untuk mengelola plastik yang mereka kembalikan dan untuk biaya kampanye lainnya. Jadi justru retailer gak boleh dapet (keuntungan) dari (peraturan) kantong plastik berbayar. Cuma mungkin karena misalkan saja tahun depan nih, Circle-K hemat berpa juta kantong plastik (di tahun ini), artinya dia ada hemat berapa juta kantong plastik untuk dipake di tahun

depannya. Berarti juga dia bisa mengurangi cost-nya dia untuk belanja kantong plastik lagi untuk periode selanjutnya. Untungnya tuh di situ. Ke GIDKP gak ada urusannya, itu cuma urusan internal retailer. Cuma kalau kantong plastik berbayar ya uang dari kegiatan itu bukan buat si retailer.

Apakah ada pihak yang kontra terhadap kampanye ini?

Pernah waktu itu ada datang dari pabrik plastik. Mereka ketakutan. Waktu itu sempat ada acara “Pay For Plastic” di salah satu mall di Jakarta ada

volunteer kami yang ditegur oleh pemilik pabrik plastik. Dia mungkin ketakutan dari sisinya dia (akan terjadi) kenapa-kenapa, cuma kan kantong plastik bukan bisnis utamanya pabrik plastik, pasti dia itu punya yang lainnya entah itu dia

(memproduksi) wadah yang lainya, istilahnya kantong plastik itu “sisa-sisa”-nya lah. Mereka mungkin cuma ketakutan aja kali ya, nanti kantong plastik gak laku lagi atau gimana cuma ya itu bukan dari GIDKP, tapi sudah lebih ke ranah

(13)

izin dan kebijakan. Dari GIDKP (hanya sekedar) mendorong dan membatasi itu. Kalau dari

masyarakat bentuk ketidakdukungannya ya mereka tidak melakukan itu. Tahu, dan paham tapi gak dilakukan.

Terkait masalah limbah kantong plastk di lautan yang kemungkinan juga disebabkan oleh salah satunya para wisatawatan yang kurang terdukasi mengenai isu plastik, apakah GIDKP

kedepannya akan membuat sebuah strategi baru

mengenai isu ini?

Dulu sih sempat ada traveller, ada beberapa media travel yang memang ingin kerja sama, dulu sempat sih cuma gak lanjut aja. Cuma itu emang perlu sih, karena demam travelling di Indonesia cukup gede kan dan itu juga sama Nadine sudah cukup banyak dibicarakan. Cuma karena aku bukan orang

travelling jadi aku gak tau kondisi di lapangan gimana. Cuma aku gak tahu tahun depan arahannya kesitu atau gimana, cuma untuk isu global laut memang kita lagi akan kesitu (hanya saja) mungkin mainannya gak langsung ke traveller-nya.

Dengan apa yang sudah dilakukan oleh GIDKP apakah sudah ada kemajuan mengenai perilaku masyarakat terhadap penggunaan kantong plastik jika dibandingkan dengan perilaku masyrakat sekitar sepuluh tahun kebelakang?

Kita baru ada sejak 2010, tapi isu kantong plastik kalau diluar negeri (dunia barat) sudah mulai dari sejak era 90-an, cuma memang belum sebesar sekarang. 2005 sepertinya di Indonesia isu dan kampanye ini belum gede cuma emang udah mulai banyak tapi belum sebesar sekarang.

Nah, dalam lima tahun itu apakah kampanye GIDKP sudah ada hasilnya?

Kalau dari segi jumlah gak bisa dilihat, karena pemerintah sendiri gak punya data terkait kantong plastik. Cuma paling enggak dari segi awareness orang-orang sudah lebih besar. Pemerintah pusat juga akan ada kebijakan plastik berbayar itu kan juga achievement yang cukup besar juga, terus dari retailer udah ada yang mau menerapkan itu. Itu udah bisa dibilang dalam lima tahun sudah ada hasilnya. Petisi yang dikasih kemarin itu ngefek (memiliki efek positif) banget ternyata di pemerintahan makanya akhirnya mereka bikin kebijakan gara-gara petisi itu. Berarti petisi itu kalau kita bikinnya benar, bukan yang

ditandatanganin di spanduk gak jelas, kalau dibuatnya benar dan kampanyenya benar itu memang bisa efektif buat jadi bahan komunikasi ke orang yang mau kita tuju.

(14)

Wawancara Kedua

Narasumber : Tiza Mafira

Profile : Penggagas petisi “Pay For Plastic”, Koordinator umum GIDKP

Lokasi : Cyber 2 Building, Kuningan, Jakarta Waktu : Rabu, 23 Desember 2015

Pertanyaan Jawaban

Bagaimana GIDKP memisahkan diri dari Greeneration?

Tadinya GIDKP itu sebelum ada, ada Greeneration dulu. Greeneration itu dulunya juala tas reusable untuk mengkampanyekan supaya masyarakat itu pake tas jangan pakai kantong plastik. Kemudian banyak kegiatan mereka yang kampanye juga. Salah satu kampanye tersebut namanya diet kantong plastik.

Itu waktu tahun 2010 (sewaktu saya belum tahu keberadaan organisasi tersebut), nah saya pada tahun 2013 bikin petisi, petisi itu “Pay For Plastic” jadi kita minta retailer dan pemerintah untuk membuat peraturan supaya ada harga untuk kantong plastik dan plastik itu harus berbayar. Nah itu petisi itu, kemudian kan di dengar nih sama Greeneration terus banyaklah yang ikut support jadi kaya Bodyshop, kaya Nadine (dari komunitas LeavePlus) juga ikut support. Terus kan kita kumpul dan ternyata kita tuh satu visi kan sama-sama ingin mengurangi plastik, jadi kita akhirnya memutuskan ya udah kita gabung aja bikin gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik. Greeneration akhirnya di spin-off kampanyenya, kegiatan kampanyenya di spin-off ke GIDKP. Jadi sekarang Greeneration gak ngerjain kampanye diet kantong plastik lagi. Fokus dengan hal-hal lain, dia banyak ngurusin manajemen persampahan gitu, jadi dia yayasan sosial gitu. Tapi kalo kita bener-bener fokus ke diet kantong plastik.

Kenapa kampanye yang

(15)

mengenai kantong plastik, sementara sampah plastik tidak hanya sekedar dari kantong plastik. Mengapa tidak mengangkat isu sampah plastik secara lebih umum?

kita bisa ngerjain yang lain. Ini memang (isu) sampah luas banget masalahnya gak cuma kantong plastik. Gak cuma plastik bahkan tapi sampah-sampah lain seperti kardus, styrofoam kan itu juga semua masalah. Tapi kan kita pinginnya ada satu kampanye yang fokus banget ngurusin satu misi yang bener-bener sampe ngelotok jadi kalau sudah tercapai barulah kita move on ke yang lain mana lagi yang perlu diurusin. Hingga saat ini saya masih terlibat aktif dalam manajemen GIDKP.

Bagaimana GIDKP menentukan strategi kampanye yang tepat?

Semua strategi dibahas dengan semua anggota. Jadi anggota GIDKP kan ada beberapa organisasi. Kita ini bentuk hukumnya kan perkumpulan, jadi isinya member dan setiap member itu punya suara dalam membentuk si perkumupulan ini mau kemana. Nah, namanya working group lah ya. Nah jadi working group ini memutuskan dengan cara duduk bareng untuk bisa mencapai gerakan yang komprehensif kita harus bisa menjangkau masyarakat, pemerintah dan pelaku usaha. Jadi tiga elemen itu yang harus selalu ada dan selalu harus tercapai. Ya udah, jadi kita bagi tiga kategori itu aja, abis itu kita pikirkan strategi kita untuk masyarakat seperti apa, strategi kita untuk pemerintah seperti apa. Apa sih yang dipedulikan oleh pemerintah. Kalau mungkin masyarakat pedulinya lingkungan yang bersih atau prestige atau mengikuti trend atau apalah gitu. Kalau pemerintah apa sih yang dipedulikan, mungkin mereka peduli ada anggarannya atau enggak, ada peraturan yang mesti ditegakan kalau retailer kan pedulinya soal yang berbeda. Jadi strategi kita ketiga pihak yang berbeda ini juga berbeda.

Berdasarkan company profile GIDKP yang saya baca ada lima sasaran strategis, tiga diantaranya yang sudah disebutkan tadi?

Jadi tuh tadinya memang itu, yang kamu lihat itu yang lama. Tadinya tuh kita bilang, ya udah deh kita punya lima divisi aja deh, Government Relations, Grassroot Movement, Retail Outreach, Media outreach, Volunteer

organization/Management. Cuma akhirnya kita mikir entar dulu deh kalo media dan volunteer kan mereka adalah seperti tools untuk mencapai tujuan yang mana mereka kita pakai dalam ketiga strategi untuk government masyarakat begini jadi bukan, seharusnya kategorinya gak seperti itu. Seharusnya kategorinya tiga aja, (yang kita sebut dengan) audience. Audience kita tiga nah kemudian kita

(16)

menggunakan media, kita (juga) menggunakan relawan untuk mencapai audience tersebut. Apa saja pertimbangan

GIDKP dalam memilih media kampanye yang tepat? Apakah ada kecenderungan

menggunakan media sosial atau terfokus dengan pendekatan langsung kepada sasaran strategisnya secara langsung (media konvensional)?

Sejujurnya sih untuk sosial media presence kita itu masih agak kurang. Aku kasih tau aja ya angka-angka terkini, jadi media kita tuh di Instagram cuma 625 follower, di Twitter cuma 10.000. Kayanya masih kurang lah ya. Facebook like-nya cuma 4.600 ini sih masuknya biasa-biasa aja menurut saya. Cuma memang kita menganggap sosial media itu penting. Nah, masalahnya adalah kalau mau tidak hanya sekedar update sosial media -karena itu cenderung gampang- tapi kalau mau punya strategi sosial media yang bener-bener kenceng itu memang harus ada satu orang yang khusus ngurusin itu dan GIDKP itu belum punya resource itu kita masih pake relawan, masih pake siapa yang kebetulan bisa update. Tapi kalo memang mau serius banget harus ada satu orang yang ngurusin sosial media doang. Yang kedua website. Website itu penting banget, sekarang ini kita lagi preventing our website, jadi sekarang lagi direnovasi semuanya di rombak total. Kira-kira mungkin Februari kali baru launching beta. Itu akan jauh lebih interaktif dan jauh lebih informatif tentang kegiatan apa yang bisa diikuti oleh

masyarakat dan lebih bisa crowde sourcing gitu, kalau misalkan ada kegiatan ini how can you to contribute, how can you participate. Kalo misalkan ada orang yang peduli dengan isu sampah kita bisa kasih semacam menu, mereka bisa melakukan apa saja. Jadi jauh lebih interaktif. Dan kita harapkan website kita ini bisa jadi lebih aktif. Dari situ sebenarnya yang kita harapkan website itu berisi infomasi yang saking banyaknya, saking

komprehensifnya orang-orang bisa download aja. Mereka bisa pake kampanye buat di daerahnya masing-masing. Jadi kita ingin ini lebih gerakan yang open source gitu istilahnya. Ini gerakan yang semua orang bisa lakukan dimanapun mereka berada dan mereka bisa lakukan gerakan in sendiri. Dan kita sediakan caranya di website ini.

Apa yang membedakan bentuk kampanye GIDKP di Bandung dan Jakarta?

Sebenarnya bentuk kampanyenya tidak terlalu berbeda. Sekarang ini kita punya kegiatan full time di Jakarta ada dan di Bandung juga ada. Di

Bandung itu sebenarnya sama saja, cuma

(17)

di Bandung ya. Beda culture aja kalo di Jakarta kan relawannya kadang muncul kadang enggak tapi gak tau juga sih kenapa. Di Bandung mendekati

pemerintah kota Bandung dan walikota. Di Jakarta mendekati pemda sama-sama udah punya koneksi dengan pemerintah jadi sama-sama udah jalan juga. Untuk retailer Bandung udah agak jalan duluan karena mereka pernah punya kerja sama dengan Circle-K. Di Jakarta belum ada kerja sama yang kaya begitu dengan retailer dan gerai yang di Jakarta.

Jadi apakah GIDKP benar-benar bergantung kepada relawan untuk menggerakan orang-orangnya (melakukan sebuah aktivitas

kampanyenya)?

Pada saat ini kita tidak terlalu bergantung pada relawan, untuk kedepannya kita ingin bisa lebih bergantung pada relawan. Jadi kita bikin volunteer training kan. Jadi kita lihat lah volunteer mana yang bisa menelurkan ide-ide sendiri karena sifat gerakan kita itu bukan (seperti kegiatan yang) relawan hari ini datang bersih-bersih sampah itu banyak, cuma kan kegiatan kita gak fokus disitu sebenarnya. Sedangkan kegiatan kita sangat fokus ke advokasi sangat fokus untuk membuat

perubahan yang lefting yang permanen). Jadi kalo kampanye-kampanye sehari-hari kita bisa-bisa aja, kita kadang juga melakukan itu tapi bukan itu tujuan utama kita. Tujuan kita ada perubahan, ada kebijakan. Nah, kenapa susah relawan untuk diajak kearah situ karena mereka kan skill-nya beda-beda. Kadang-kadang ada yang gak commit juga, terus kadang-kadang ada yang gak ngerti juga apa sih yang mau dilakukan. Nah kalo mikirin pendekatan ke retailer, pendekatan ke sekjen asosiasi

pengusaha retail atau pendekatan ke PEMDA atau kementerian itu kan relawan agak berat relawan untuk melakukan itu. Itu agak high level interaction jadi disitulah sebenarnya kita perlu relawan yang agak lebih senior atau agak lebih berpengalaman dan itu lebih sulit.

Apa secara tidak langsung keterbatasan dana

mempengaruhi pemilihan strategi kampanye GDIKP?

Sebenernya yang lebih tepat adalah pemilihan strategi membentuk strategi pencarian dana. Jadi strateginya dulu yang dipikirin, dananya di cari. Karena kalo enggak, kita enggak akan bisa serius kalo kita cuma mikirin -ya udah deh kita pake aja duit yang udah ada-. Itu gak akan ambisius target-target kita. Jadi yang selalu kita lakukan adalah kita pikirkan dulu apa yang kita mau capai, strategi kita

(18)

mau apa dana yang dibutuhkan kira-kira berapa baru dari situ kita cari dana nya. Dananya ya fund raising, mencari donor, mencari sponsor.

Apakah GIDKP memiliki kriteria khusus untuk perekrutan relawan?

Kemarin-kemarin kita gak ada kriteria khusus. Kedepannya kita mau ngadain persayaratan

relawan harus tulis esai di GIDKP, karena dari situ keliatan orang ini niat apa enggak sebenarnya dan ekpertisinya dibidang apa. Misalkan saya anak komunikasi, saya punya ide-ide sebenarnya GIDKP bisa punya strategi komunikasi yang lebih efektif ke audience yang demografinya ini, ini, ini dan saya liat GIDKP belum nyampe kesitu. Nah itu kaya gitu-gitu, kan keliatan -wah niat nih orang emang beneran punya kepedulian dengan isu ini-, gitu aja sih akhirnya kita pingin menjaring relawan-relawan yang lebih subtansif.

Kalau aku lihat secara pengamatan pribadi sepertinya memang butuh bakat dan keahlian

berkomunikasi untuk jadi relawan apalagi untuk melakukan pendekatan ke pemeritah dan masyarakat, nah apakah GIDKP akan kedepannya menerapkan kriteria communication skill bagi para calon relawan?

Gak sih, kalo relawannya yang kita butuhkan fotografer misalnya kan gak perlu itu. Tergantung skill-nya dia aja, pasti kita bisa tampung kok. Misalnya dia skill-nya apa. Akuntansi misalnya, ya udah yuk bantuin ngecek keuangan kita. Misalkan skillnya IT, ya udah yuk bantuin maintain website kita supaya banyak traffic-nya. Banyak kok hal-hal yang bisa dipikiran karena kegiatan kita kan cukup besar. Ada juga nih yang lagi agak banyak nih relawan yang tertarik edukasi, tertarik untuk ngajar. Itu kita arahkan jadi relawan untuk pendidikan diet kantong plastik ke anak-anak sekolah. Untuk orang-orang yang berperan pada pelatihan langsung di sekolah-sekolah GIDKP akan membekali

training terlebih dahulu kepada para relawannya. Yang conduct training nanti dari GIDKP seperti Rahyang dan ada juga relawan yang sudah lama juga, jadi kita percayakan dia untuk jadi trainer. Dari sasaran-sasaran

strategis GIDKP, apakah ada yang memiliki peranan yang cenderung lebih signifikan di banding yang lainnya?

Gak ada, semuanya rata.

Dari pengamatan saya saat ini kegiatan GIDKP lebih fokus kepada retailer yang mana notabene

konsumennya adalah kaum menengah keatas (middle

Betul, kita fokus ke kalangan menengah keatas dan sambil memikirkan bagaimana menyentuh kaum yang middle down. Karena yang middle down itu sangat sulit untuk dijangkau. Pemikiran awalnya kita butuh peraturan, kita butuh dialog dengan retailer. Jadi yang paling mudah dilakukan,

(19)

up) dan pedagang kaki lima di pinggiran jalan belum tersentuh padahal mereka juga cukup konsumtif memakai kantong plastik. Bagaimana GIDKP menyikapi ini?

istilahnya kalo ada pohon ada buah-buahnya yang kita ambil kan buah-buah yang gampang diambil dulu. Kalau kita ke pemerintah, kita bilang kita mau ngatur pedagang kaki lima, kita mau mengatur pasar, kita mau mengatur supaya mereka harus bayar kantong plastik itu kan susah. Karena pemerintah juga pasti gak mau, itu namanya

membebani masyarakat kecil. Nanti pedagang pasar untungnya udah kecil, terus pembelinya juga nanti dikenai harga juga untuk plastik padahal mereka juga udah pas-pasan, dan itu pasti lebih mudah menimbulkan penolakan masyarakat. Jadi kita memutuskan gak kesitu dulu, nantilah kita pikirkan gimana caranya. Nah untuk dialog dengan retailer pun, yang lebih siap untuk berdiskusi itu

supermarket, karena mereka kan sedikit banyak udah mulai mau berubah. Misalkan sekarang mereka bilang pakai biodegradable bag, meskipun itu gak tepat , bukan solusi tapi itu menunjukan ada kampanye dulu yang berhasil dilakukan dan

mereka juga punya margin yang cukup untuk menyerap perubahan kebijakan. Kalau pasar mau disuruh ini itu belum tentu pedagangnya bisa nyerep kan, jadi itu hal-hal yang pikirkan juga strateginya kalau kita sasarin pasar pedagang kaki lima itu sulit banget. Mendingan kita sasar yang lebih gampang dulu.

Apa mungkin ini karena

masalah edukasi? Gak juga, pedagang pasar juga banyak kok yang ngerasain. Ada tuh temen saya yang (tergabung di) GIDKP kemarin cerita , langganannya dia bilang “ aduh, bu seandainya semua pelanggan saya kaya ibu bawa tas sendiri. Soalnya plastik sekarang mahal banget saya ngos-ngosan belinya” si

pedagangnya bilang gitu. Sebenernya mereka tahu kok, mereka lihat sampah. Dan sebenarnya bisa dibilang orang pasar lebih paham sampah daripada supermarket karena lebih melihat limbah. Mereka juga rumahnya dimana, mungkin dibantaran kali, kan kalo orang supermarket gak liat. Cuma,dari segi mendorong kebijakan itu susah.

Tapi memang sepertinya di Bandung lebih berhasil ya kak, sampai mereka sudah ada perda bahkan Ridwan Kamil turun sendiri untuk meresmikan penggantian

Ya itu perlu pemimpin daerah yang punya fungsi juga, Bandung relative lebih mudah karena lebih kecil juga kotanya oleh karena itu lebih sedikit juga urusannya di banding Jakarta. Perda itu udah duluan kan dari 2010, kalo kita di Jakarta saat saya mulai (membuat petisi) 2013 itu. Itu pertama kali

(20)

jenis kantong plastik menjadi biodegradable di pasar-pasar tradisional, Jakarta belum bisa ya kak?

ada kampanye kantong plastik. Jadi memang butuh waktu gak bisa seketika juga, dan kita targetnya 2018, terus kemarin KLH mengumumkan mereka mau merumuskan peraturan mulai 2016. Ya pas sebenarnya, jadi kalau 2016 kita kawal dan KLH konsisten merumuskan peraturan ya inshallah 2018 itu udah ada, jadi ya kita tuhggu aja

mudah-mudahan sih. Selain masyarakat yang

multi culture, apa tantangan terbesar GIDKP

menyampaikan pesan sosial ini ke masyarakat Jakarta?

Benar, bahwa masyarakat Jakarta plural banget. Jadi untuk menentukan satu strategi itu gak bisa. Di Jakarta sendiri aja demografinya udah bermacam-macam. Misalkan, kita buat strategi untuk ibu-ibu arisan, kita buat strategi untuk sosialita, kita buat strategi untuk anak sekolah. Tapi anak sekolah pun yang seumuran itu beda-beda. Tergantung negeri atau swasta atau apa gitu. Jadi mau bikin modul untuk pengajaran ke anak sekolah itu pun harus dipikirkan, -ini sekolah yang apa nih anaknya-. Kalo misalkan sekolahnya yang bagus anak-ankanya lebih interaktif, lebih komunikatif, lebih mau berpendapat. Kalo sekolahnya gak bagus anak-anaknya bakal diam saja, kaya gitu kan udah beda walaupun seumuran. Terus Jakarta tuh cepat memikirkan kampanyenya yang harus lebih agak hipster biar lebih bisa menjangkau anak-anak muda Jakarta, yang design-nya lebih bagus, catchy, lebih untuk kalangan middle class ke atas. Tapi Jakarta kan isinya gak cuma hipster kan, ada anak-anak muda lainnya yang mungkin lebih ke kegiatan agama, pengajian atau apa. Jadi menentukan satu strategi saja untuk komunikasi gak mungkin di Jakarta.

Bagaimana dengan

dukungan dari pemerintah? Kalau dari pemerintah hambatannya adalah mereka sulit berkoordinasi di dalam pemerintahan sendiri, jadi sulit koordinasi internal. Sebenarnya niatnya sudah ada, setuju, setiap kali kita ketemu mereka bilang, iya bagus nih kegiatannya,. Kita dukung. Gak ada penolakan atau kontroversi dari

pemerintah tapi koordinasi didalamnya sulit karena birokrasinya besar. Untuk bilang A gampang tapi melakukan A dan mengimplementasikannya itu panjang. Jadi hambatannya panjangnya proses dan kita harus sabar dan mau mengikuti prosesnya, kita gak bisa memaksa karena mereka yang punya kuasa. Buat kita pemerintah udah mau dukung aja udah bagus kok, kita positive thingking aja dan kita

(21)

menjaga hubungan baik dengan pemerintah. Mereka menganggap kita mitra mereka, jadi mereka mau minta apa datang ke kita juga enak. Kalau ke retailer sendiri, mereka itu belum tentu peduli. Tidak seperti pemerintah yang sudah pasti peduli, retailer ada yang peduli ada yang enggak. Ada retailer yang cenderung berpendapat kalau ada peraturannya kita ikutin kok, asal kita jangan disuruh begini sendirian nanti pelanggan kita pada pindah ke toko sebelah. Jadi hambatan di retailer itu pemikiran mereka yang sangat praktis dan mereka cenderung memposisikan diri sebagai market player, kita mengikuti pasar. Kalau pasar mau kantong plastik gratis ya kita ikutin. Kalau pemerintahnya mau plastik berbayar ya kita ikutin. Mereka gak mau melihat diri mereka sebagai agen perubahan, gak banyak yang mau.

Sejauh ini apa saja yang sudah dilakukan GIDKP untuk merubah pola pikir masyarakat terhadap limbah kantong plastik?

Kampanye, terus menerus. Kita ada beberapa kampanye. Ada yang edukasi ada yang bentuknya kegiatan seperti wisata plastik ciliwung, bersih-bersih sampah, rampok plastik, kadang-kadang kita ikut kaya Fashion Week, kerja sama dengan

penyelenggara pameran untuk agar sepanjang pameran itu gak ada plastik, kita sering jadi pembicara diacara-acara seperti seminar, conference. Kalau kampanye semua yang bisa dilakukan kita lakukan. Gak ada batesannya. Bagaimana dengan pihak

yang kontra dengan gerakan ini?

Kontra sih gak ya, contra is very srong word, I would say that: banyak orang yang

mempertanyakan kenapa sih diet kantong plastik? Kan ada biodegradable plastik. Nah itu produsen biodegradable plastik suka ngomong gitu,padahal kita udah memposisikan diri bahwa plastik itu tidak degradable. Masyarakat yang tidak mau berpikir, tidak mau repot. Seperti debat panjang waktu di Carefour dengan seorang bapak. Banyak

masyarakat yang tidak melihat diri mereka sebagai bagian dari solusi. Tapi mereka cuma mau

menikmati aja hasilnya biar orang lain yang melakukan, dan itu susah untuk mengganti (pola pikir semacam) itu.

Mungkin karena kurangnya

edukasi ke masyarakatkah? Dia gak memahami ekosistem berarti, kita kan gak terlepas dari orang lain semua yang kita lakukan ada dampaknya. Semua interconnected dan dia gak paham konsep itu.

(22)

waktu itu kak, apakah GIDKP melihat bahwa travellers berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan karena kantong plastik di sejumlah tempat wisata? Apakah fakta ini membuat GIDKP mau mebbuat strategi baru yang menggaet traveller blogger dan lainnya?

Kita sempet mikirin itu cuma belum terlaksana aja. kita sempet mikir untuk buat kampanye ke

travellers, travel blogger, divers. Karena banyak sampah kita yang berakhirnya di laut, dan

masalahnya sangat-sangat serius sampai Indonesia jadi polutan nomor dua di dunia untuk sampah di laut. Pemerintah juga sudah pusing dengan sampah dilaut, nah komunitas divers ini melihat sendiri keadaanya. Sampah-sampah itu bisa jadi (datang dari) travellers, bisa dari masyarakat pesisir, sungai, ataupun kapal. Jadi memang ada niatan untuk membuat kampanye dengan divers kaya misalkan menyelam sambil mungutin plastik, cuma belum kesampaian dan masih wacana.

Kalau ditarik

kesimpulannya, apakah sudah ada perubahan pola penggunaan kantong plastik oleh masyarakat Jakarta semenjak adanya gerakan ini?

Kalau perubahan penggunaan sih belum terukur yang pasti. Kita mau perubahan yang terukur. Semua perubahan yang kita sasar itu harus terukur, misalnya salah satu achievement yang bisa kita ukur adalah pemberitaan di media massa sekarang sudah banyak menggunakan kata-kata diet kantong plastik dari tahun lalu ada 53 pemberitaan dan tahun ini naik menjadi 88 pemberitaan. Kita

menghitung banyaknya pemberitaan yang memakai kata-kata diet kantong plastik, meskipun itu bukan liputan atau kegiatan kita, hanya sekedar

ngomongan masalah kantong plastik saja mereka sudah mulai menggunakan kata-kata diet kantong plastik. Jadi branding kita sudah lebih luas dipakai. Sebagaimana tujuan kita untuk menjadikan gerakan ini open source, jadi semua orang bisa pakai kata-kata itu. Terus masalah pengurangan plastik itu belum bisa diukur karena kita belum ada kerjasama dengan retailer di Jakarta, kalau di Bandung dulu udah pernah di Circle-K. sebelum mulai

programnya kita hitung dulu, kita minta mereka data berapa kantong plastik yang mereka keluarkan bulan ini atau tahun ini, nanti sewaktu programnya sudah berjalan kita minta mereka untuk hitung lagi. Pengurangannya sampai delapan juta lembar waktu itu. Di Jakarta belum ada kerjasama dengan retailer semacam itu.

Kalau begitu dari rangkaian langkah strategi kampanye GIDKP apakah sudah sampai ke tahap evaluasi?

Tahun lalu (2014) kita lebih banyak ke perencanaan, tahun ini sudah mulai ke tahap evaluasi. Tapi nanti 2016 akan lebih banyak. Jadi bukan planning a-z tiap Harusnya begitu, cuma tahun 2015 kita lebih fokus

(23)

tahun? ke perkumpulan. Bentuk hukum GIDKP belum kelar-kelar. Ini saya cerita begini masih lumayan baru nih, kita masih coba-coba nih kampanye kaya gini , kaya gitu akhirnya kan kita mikir kayanya kita kebanyakan tanpa tujuan deh dalam arti kita ketarik-tarik ada yang ngajak kesini kita ikut, ajak kesana kita ikut, tapi belum tentu mendukung tujuan akhir kita. Akhirnya kita susun strategi besok-besok kalau ada yang ngajak mau gak buka booth disini, kita liat dulu siapa audience-nya, dimana lokasinya, kita bisa dapat apa dari buka booth disana seperti itu. Terukur gak

pencapaiannya. Itu baru pertengahan tahun 2015 kita putuskan begitu. Ini kerana gerakan ini organic banget, maksudnya ada saya, ada si ini, si itu jadi kaya gak ada bentukannya. Akhirnya baru

pertengahan tahun (2015) kita mau membenahi diri. Melihat perkembangan dari

kampanye ini, apa harapan sepuluh tahun kedepan terhadap penggunaan kantong plastik oleh masyarakat Jakarta?

Harapannya kita ada pengurangan penggunaan kantong plastik tapi kan harus terukur. Yang paling saya bisa bilang itu sebagai pencapaian

kampanyenya makin banyak, jadi 2105 dan 2014 meskipun gak begitu terarah tapi kegiatan kita banyak. Kita bisa bikin konferensi, seminar seperti yang di UI itu kita undang banyak komunitas. Dan kita membangun network dengan komunitas yang memiliki pandangan yang sama, itu sudah

achievement banget buat kita karena kekuatan kita di jumlah orang kan. Gerakan itu kan harus besar supaya besar. Terus ke pemerintah kita udah punya jalur langsung udah dikenal disana udah diajak merumuskan peraturan itu aja udah achievement yang luar biasa.

(24)

Wawancara Ketiga

Narasumber : Nadine Zamira

Profile : Spoke Person dari GIDKP,

aktif di organisasi koalisi GIDKP yaitu LeafPlus Lokasi : Head Office GIDKP, Jl. R. C Veteran,

Waktu : Rabu, 06 Januari 2016

Pertanyaan Jawaban

Jadi mba Nadine ini dari Leave Plus, salah satu anggota perkumpulan dari GIDKP?

GIDKP kan memang gerakannya dari koalisi beberapa organisasi, dan juga beberapa individu yang peduli. Cuma kalo LeafPlus memang dari awal salah satu bagian koalisi dari GIDKP itu, sama ada Change.org sebagai platform petisinya, ada Greeneration, ada Earthhour semua bagian dari koalisi GIDKP. Jadi semuanya tetap di dalam satu organisasi GIDKP sebagai sebuah perkumpulan. Kenapa fokusnya hanya di

kantong plastik bukan isu sampah plastik secara umum?

Belanja itu kan kegiatan sehari-hari dan setiap kali kita menemukan plastik yang dibawa pulang itu banyak sekali dan yang dikumpulkan oleh retailer itu selalu banyak, karena bertemu kantong plastik setiap hari dimulai lah kegelisahannya dari situ. Tapi ternyata ketika masuk ke isu itu walaupun kelihatannya sangat sedikit dan bagian kecil tapi banyak sekali hal yang harus dikerjakan. Kita memang mulai dari kantong plastik tapi

harapannya dengan pencapaian yang kita dapatkan dapat tereplikasi untuk sampah-sampah lainnya. Tapi di dalam regulasipun, sampah seperti plastik dan B3 (seperti baterai) itu pun treatment dan regulasinya pun berbeda jadi walaupun kecil bagian dan porsinya cuma scoope pekerjaannya luas sekali. Hingga saat ini masih sulit sekali mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan secara khusus mengenai limbah kantong plastik. Melalui berbagai channel, kita masih mencoba mendekati pemerintah semisalnya dengan petisi,

(25)

pendekatan langsung untuk meregulasikan ini. Kalau ini berhasil regulasi tersebut diharapkan bisa direplikasikan ke sampah-sampah plastik lain seperti, botol plastik atau limbah eletronik. Penting memang edukasi ke masyarakat dan lain

sebagainya, tapi yang paling penting memang bahwa gerakan ini di-acknowledge oleh pemerintah dan menjadi sebuah regulasi bagi retailer dan mall-mall.

Bagaimana menentukan strategi yang paling cocok untuk GIDKP?

Kalau boleh jujur sih kita ini masih coba-coba karena kita ini sebenarnya bukan pakar-pakar ahli strategi kampanye atau apapun. Kita sendiri masih cari tahu apa yang berfungsi dan apa yang paling baik, kita masih trial and error. Dan mungkin saat ini kita memang menyadari kalau fokus gerakan ini (harus bisa) lebih tertarget dan mengerucutkan kegiatannya. Sejak awal berdirinya banyak yang ingin diraih oleh gerakan ini, advokasi ke

pemerintah dan swasta, juga gerakan langsung ke masyarakat. Karena ibaratnya orang yang lagi gemes kan responsive ya, setiap ada kesempatan untuk terlibat kampanye ini terus kita ikutan, misalkan ada workshop ini kita ikutan. Karena setiap itu (kesempatan) adalah opportunity tapi sekarang kita harus lebih strategis lagi.

Tapi sebenarnya apakah penentuan strategi itu ada observasinya terlebih dahulu?

Ada, tapi mungkin memang tidak secara spesifik tapi dari pengalaman teman-teman GIDKP masing-masing dan siapa tahu ada masukan. Kaya waktu itu kita pernah bikin headbag mob,itu berdasarkan hasil dari survey yang dilakukan Greeneration bahwa ternyata salah satu alasan mengambil kantong plastik adalah karena mereka lupa dan ketinggalan di rumah, untuk mengkampanyekan faktor lupa itu akhirnya tercetuslah ide headbag mob itu. Jadi memang secara harfiah menggunakan kantong reusable itu dikepala. Ada juga yang karena memang strategi itu adalah strategi rekanan kita, misalkan ada Si Dalang yang salah satu anggota koalisi kaya LeafPlus yang masuknya banyak di edukasi ke sekolah-sekolah dengan caranya dia adalah membuat workshop T-Shirt Bag. Jadi memanfaatkan sumber daya yang sudah ada jadi T-Shirt bag (workshop) itu juga jadi salah satu cara yang kita gunakan. Jadi memang masih

eclectic sih kalo bisa dibilang karena ini GIDKP itu perkumpulan bukan organisasi yang terstruktur

(26)

sekali jadi banyak strateginya yang bisa dibilang eclectic.

Apakah hal tersebut juga mempengaruhi pemilihan media yang digunakan untuk kampanye?

At least generally, kita tahu apa yang dibutuhkan channel-channel-nya. Bikin website, terus ada petisi yang kita gunakan lewat Change.org. Jadi memang strategi besarnya bukannya tidak ada tapi istilahnya belum terdokumentasikan secara baik. Sejauh ini strateginya bisa dibilang lebih reaktif dari ide-ide teman-teman yang muncul. Strategi besarnya masih jadi pekerjaan rumah yang di 2016 ini kita pingin seriusin.

Sejauh ini apa saja yang sudah dilakukan GIDKP dalam penyampaian pesan sosial langsung ke masyarakat?

Sebenarnya pesan utamanya yang ingin

disampaikan itu bukan menolak kantong plastik, tapi memanfaatkan kantong plastik secara bijak. Caranya melalui workshop, seminar, penggunaan sosial media, kemudian ikut festival-festival yang berhubungan dengan lingkungan . Terus misalkan kita turun ke jalan kaya kemarin headbag mob, terus kita kerja sama sama Bodyshop ada yang rampok plastik di Car Free Day gitu. Edukasi itu juga, misalkan kaya kemarin LeafPlus ada kampanye Taman Kota ke sekolah-sekolah terus kaya GIDKP juga ikut buka lapak kaya workshop untuk edukasi mengenai isu kantong plastik. Memanfaatkan komunitas yang sudah ada iya, bikin (strategi) sendiri juga iya. Tapi ya itu dia apakah sudah strategis apa yang kita lakukan, tapi sejauh ini kaya petisi itu udah ada hasilnya. Direspon oleh kementerian sendiri, itu juga kita pakai sebagai senjata kalau kita meeting dengan pemerintah, nah yang itu jelas dan terukurlah. Menurut aku yang juga menarik adalah kerjasama dengan sektor swasta, pesan diet kantong

plastiknya itu dimasukan di dalam programnya Bodyshop juga di toko-toko. Itupun bisa menjadi salah satu pilihan gerakan yang bisa di-support oleh konsumennya Bodyshop. Jadi memang banyak yang kita coba, dan kemarin di working group (discussion) kita harus review lagi semua yang sudah kita lakukan yang mana yang paling strategis dan yang mana yang bisa kita fokusin. Bicara mengenai organisasi

nirlaba dan keterbatasan dana yang sering kali ditemui, apakah hal itu mempengaruhi pilihan strategi kampanye

Memang benar semakin kesini sebuah organisasi kalau mau berlanjut dampaknya dia harus

memikirkan aspek finansial. Cuma memang jika dipikirkan awalnya kita bergerak itu (dana) bukanlah pertimbangan utama. Tapi semakin

(27)

yang dilakukan oleh GIDKP? kesini, kita butuh untuk menjadi terstruktur, ter-organize, kita butuh orang-orang seperti Rahyang dan Adisa (adisa itu orang yang dalam kegiatan operasional menjadi pengurus harian) jadi kita perlu menggaji mereka. Akhirnya jadilah kita memikirkan bagaimana kita bisa berkelanjutan. Kalau selama ini terus terang dari program kita dengan Bodyshop dan program-program donasi itu bisa membiayai operasional kita, tapi kan suatu saat pasti akan habis jadi kita berpikir lagi gimana caranya kita bisa sustain secara financial. Kalau sekarang istilahnya masih untung-untungan, kerjasama yang kelihatannya jangka panjang memang dengan Bodyshop itu. Kita juga punya marchendise, topi, kemarin kita juga punya T-shirt jadi itu juga bisa jadi sumber pemasukan kita. Selain itu kita juga bikin program dengan pihak-pihak swasta untuk membuat program CSR mereka.

Dalam rentang satu tahun apakah GIDKP merancang strategi berdasarkan dana, atau justru dana dicari setelah strategy dibuat secara matang (tanpa harus memikirkan dana yang ada pada saat itu)?

Sampai saat ini memang yang kita jalani seperti itu. Kita punya dana segini, prioritas kita untuk apa aja . Untuk operasional staff, kemudian misalnya kita lagi mau buat website baru jadi skala prioritas aja. Dan kita gak secara aktif muter cari donator, jadi kita coba juga mengembangkan program-program jangka panjangyang secara kemitraan misalkan dengan Bodyshop ini. Karena kalo cari donator itu yang pertama kita capek, dan biasanya mereka donate sekali terus udah. Cuma kalo kaya

Bodyshop kerjasama berkelanjutan kan bisa lebih sustain. Jadi itu yang kita lagi coba cari kemitraan-kemitraan dengan pihak swasta. Kita juga ikut kalau ada grand (sayembara) dari kedutaan-kedutaan misalnya “masukan idemu untuk mensolusikan isu sampah” kita buat proposal dan di kompetisikan kalo menang misalnya dapet hadiah lima puluh ribu dolar.

Mengenai perekrutan relawan melalu indorelawan.org, apakah ada kriteria khusus yang ditetapkan GIDKP?

Saya gak terlalu tahu banyak mengenai ini cuma setahu aku kalau ada event besar kita buka

rekrutmen melalui indorelawan. Tapi kita mau coba merekrut relawan untuk jangka panjang. Kadang ada juga volunteer yang bantuin cuma sekali terus udah, ilang. Padahal kita kan butuh regenerasi, orang-orang yang lebih muda dan baru. Cuma aku kurang tau kalau misalkan ada kriteria dan lainnya, mungkin Rahyang bisa lebih menjawab. Cuma

(28)

satau aku kita buka rekrutmen kalo ada event yang besar, sambil kita mencoba maintain relawan-relawan yang sudah ada. Kita juga ada gathering, pelatihan, ngumpul-ngumpul, sharing update tentang GIDKP, rencana tahun ini akan seperti apa, bertukar informasi seperti regulasi sudah sampai tahap mana.

Nah, kalau ada kegiataan edukasi ke sekolah-sekolah itu relawannya memiliki

kebutuhan untuk dibekali kemampuan khusus seperti coaching, apakah GIDKP memberikan semacam pelatihan khusus semacam itu?

Kemarin-kemarin itu sempat kita adakan training, karena memang dibtuhkan fasilitator-fasilitator jadi ada pelatihan khusus seperti coaching ke anak-anak atau siapapun yang menjadi targetnya pada saat itu.

Dari kelima sasaran strategis berdasarkan company profile yang saya baca, apakah ada yang memiliki peran lebih signifikan dan lebih difokuskan oleh GIDKP?

Mungkin ya pemerintahan ini, memang belum bisa dibilang fokus tapi banyak energi yang kita

salurkan ke pemerintah. Jadi kita ketemuan, follow up, baik ke pemerintah kota maupun pemerintah pusat. Seperti di Bandung, FebruarI nanti akan memulai Pay For Plastic. Di gerai-gerai Circle-K sebagai kemitraan GIDKP dalam jangka panjang. Jadi mereka yang tidak membawa kantong belanja sendiri harus membayar untuk kantong plastik. Nanti uangnya akan dikelola oleh GIDKP, nah itu kan bisa menjadi uang yang bisa kita kelola. Nah, ini bukti bahwa pemerintah kota Bandung

acknowledge dengan keberadaan GIDKP. Di kementerian lingkungan hidup petisi itu (Pay For Plastic) sudah di respon dengan baik, ibu menteri bahkan sudah menghubungkan kita dengan dirjennya yang secara khusus mengurus waste management. Kita akan terus follow up bagaimana ini bisa dibakukan dalam regulasi dan peraturan pemerintah.

Bandung full support sekali kalau begitu ya, berbeda sekali dengan Jakarta?

Pada 2013 sebenarnya (pemerintah) Jakarta sudah mengeluarkan edaran surat, waktu itu Jakarta Great Sale bahwa dalam semua toko yang ikut dalam event tersebut tidak boleh menggunakan kantong plastik. Tapi implementasinya kurang baik, dan tidak berkelanjutan. Mungkin karena kita juga kurang follow up. Prosesnya memang harus intens, kita ingatkan lagi dan datangi lagi karena jika sudah menjadi peraturan ini akan sangat strategis untuk para retailer dan bisa menjadi

(29)

sebuah SOP bagi mereka. Kalau melihat kampanye yang

sudah jauh lebih berhasil di Bandung ketimbang di Jakarta, apa kira-kira yang menyebabkan perbedaan itu terjadi?

Aku rasa peran kepala daerah itu penting banget ya, jadi kalau misalnya (sebuah kota) memiliki kepala daerah yang support itu sangat memudahkan penterjemahan kabawah. Aku yakin di Jakarta sebenarnya gak kekurangan orang-orang yang sudah aware dengan isu ini, tapi itu perlu di dukung dengan komitmen dari

pemimpin-pemimpin kita juga. Jadi harus saling melengkapi. Apa saja yang sudah

dilakukan GIDKP dalam merubah paradigma

masyarakat mengenai sampah kantong plastik?

Bisa dibilang semua yang kita lakukan sasaran akhirnya itu. Selalu susah kalau ngomongin behavior change, karena sulit diukur. Makanya usaha kita harus dicoba dari arah yang berbeda-beda. Edukasi, masuk ke sekolah-sekolah itu tetap jalan dan tujuannya itu kan. Tapi kalau disaat bersamaan ada peraturan pemerintah orang-orang pasti akan semakin aware. Misalkan dia masuk ke Circle-K dan dia harus bayar (kantong plastik), maka dia harus inget besok-besok bawa (kantong belanja sendiri).

Sejauh ini, apa tantangan terbesar dalam

mengkampanyekan pesan sosial ini?

Yang mungkin berlomba-lomba dengan pesan sosial lainnya. Manusia setiap hari terekspose dengan messaging yang bermacam-macam, baik dari advertising produk maupun pesan-pesan sosial lainnya. Jadi kita harus berlomba bagaimana pesan sosial GIDKP melekat ke orang, aku rasa itu tantangannya. Karena sehari-hari manusia jenuh dengan pesan yang begitu banyak, jadi GIDKP harus bisa menjadi gerakan yang stand out atau grabbing audience yang general.

Apakah multikulturasi budaya di Jakarta juga menjadi salah satu tantangan?

I think so, karena karakter orang-orang kota, middle upper class, mereka nongkrongnya di mall. Jadi lagi-lagi gimana GIDKP bisa keliatan sebagai sesuatu yang relevan buat orang (masyarakat kota), kampanyenya menarik, secara visual dan design menarik. Bukan menjadi another social campaign yang kerjanya cuma bikin petisi, dan minta-minta donasi doang tapi GIDKP menurut aku harus bisa menjelma menjadi lifestyle. Kenapa orang bisa loyal banget terhadap sebuah brand, tatapi kenapa pada isu-isu urgent atau sosial dan lingkungan mereka gak bisa attach. Orang-orang awam yang gak begitu ngerti dengan isu lingkungan kalau dengar kampanye lingkungan pasti males duluan, karena biasanya kampanye seperti ini intimidating, terlalu banyak infomasi data yang tidak dia

(30)

mengerti, designnya jelek and that’s not interesting buat mereka. Mungkin saja mereka tertarik tapi karena seperti itu jadi tidak aspiring dan menarik jadi kita harus cari cara menerjemahkan isu-isu yang kompleks itu menjadi cara yang bisa lebih mudah diterima oleh orang-orang awam. Siapa saja yang kontra dengan

gerakan ini? Mungkin bukan kontra, cuma ada perspektif yang beda-beda. Jadi pesan yang kita tujukan ke publik bukan menolak atau anti kantong plastik cuma (menghimbau masyarakat untuk) berperilaku bijaksana (dalam menggunakan kantong plastik). Secara internal posisi kita tidak membenarkan segala jenis kantong plastik, termasuk yang “berjudul” biodegradable dan lainnya. Karena penelitian sudah menunjukan, yang terjadi (dengan limbah plastik biodegradable) tersebut adalah mereka hanya terpecah menjadi micro plastic yang kecil-kecil tapi tetap tidak sepenuhnya terurai dan tetap (bisa) menyumbat saluran-saluran air, tetap termakan oleh hewan-hewan dilaut, dan tetap menyebabkan kerusakan lingkungan sampai dengan tahap tertentu. Jadi kita sebenarnya tidak meng-endorse biodegradable plastic bags, karena belum bisa dipastikan bawah kantong plastik ini benar-benar degradable (dapat terurai dengan tanah), kecuali ada yang dibuat benar-benar dari misalnya tepung tapioca yang aku pun lihat sendiri siput pun bisa makan, atau resin singkong. Tapi yang ada di pasar-pasar swalayan kan bukan yang itu, karena itu tidak tahan lama, itu kena air sedikit saja sudah lapuk. Mereka itu pakai biodegradable bag yang kita masih menyangsikan bahwa itu benar bisa terurai atau tidak dan banyak studi yang

menyebutkan bahwa itu hanya terpecah-pecah dan itu akan tetap menjadi satuan yang padat yang bisa menyumbat saluran air dan lain-lain. Jadi seperti itu, sementara ada produsen kantong plastic biodegradable yang mengajak kerjasama dengan kita untuk meng-endorse produk mereka atau untuk melakukan gerakan itu (penggunaan kantong plastik dengan kualitas biodegradable) tapi kita kan tidak bisa, dari mereka muncul perbedaan perspektif dari isu kantong plastik ini.

Kalau dari produsen kantong plastik yang biasa ada

complain gak tuh mba, karena

Aku gak tahu ya, karena Rahyang yang meng-handle sehari-hari. Dari sosial media, atau email. Cuma setahu aku sih tidak secara langsung di

(31)

gerakan ini kan seperti

menyerang mereka sekali? depan publik, mungkin kalau mau menyerang kirim email atau apa kali. Karena semua orang juga tahu bahwa kantong plastik tidak bisa terurai dan itu adalah fakta yang tidak bisa dilawan, jadi akan terlihat bodoh kalau secara publik mereka

menyerang. Tapi Rahyang yang lebih tahu masalah ini.

Kalau dari masyrakat sendiri tidak ada protes atau keberatan dengan gerakan ini?

Gak sih, tapi aku tertarik banget untuk ngeliat percobaan kita di Bandung. Karena untuk orang yang gak aware atau yang gak tau pasti akan muncul perasaan-perasaan kaya “Kok harus bayar, biasanya gratis, di double lagi”. Jadi sangat

mungkin muncul sentimen-sentimen semacam itu. Karena ketidaktahuan atau ketidakbiasaan.

Anything yang baru pasti akan menemui resistant di awal tapi itu adalah bagian dari prosesnya. Fenomena lain yang menarik

sebenarnya keberadaan

pedagang-pedagang kaki lima. Mereka bisa dibilang cukup konsumtif menggunakan kantong plastik dan justru kurang teredukasi, bagaimana GIDKP menyikapi ini?

Sampai sekarang kita tidak secara khusus mentargetkan mereka, karena yang kita lihat retailer-retailer besar dulu nih karena mereka yang mampu untuk merubah behavior mereka. Misalnya kalau kita mau merubah semua kantong plastik jadi paper bag, itu kan pasti ada cost tertentu dan mereka yang mampu melakukan itu. Jadi kita merasa yang strategis dulu nih satu dia mampu, kedua dia punya resiko (nilai) image. Kalau tukang mie goreng pinggir jalan gak peduli juga dia pakai kemasan plastik atau gak, tapi kalau perusahaan-perusahaan besar ada resiko public perception. Dan ketiga kalau mereka sudah merubah kita berharap itu bisa trickle down ke yang lain-lainnya, tentunya di dukung dengan (lagi-lagi) regulasi dari

pemerintah. Kaya akupuntur, dicari titik-titik di badan kita. Dengan intervensi di titik ini aliran darah akan lancar, analoginya seperti akupuntur yang mana yang strategis. Dan kita melihat

dibanding pedagang-pedagang asongan itu ya lebih strategis ya retailer besar itu.

Jadi secara tidak langsung GIDKP mensegmenkan kampanyenya untuk tipe masyakat menengah keatas kalau begitu?

Mungkin secara publik kita belum mengatakan itu, cuma bisa dibilang secara tidak sadar kita

mentargetkan kesana. Karena memang orang-orang yang biasa nongkrong di mall, bisa dibilang adalah trend setter. Jadi kalau mereka sudah bisa

mengubah behavior mereka pasti trickle down effect-nya akan kelihatan. Behavior yang di-addopt oleh orang-orang yang sehari-hari nongkrong di mall atau disebut sebagai middle upper atau

(32)

urbaning itu biasanya akan menular ke segmen-segmen lainnya. Segmen disini bukan hanya orang yang tingkat ekonominya lebih rendah tapi juga orang-orang yang gak peduli. Lagi-lagi seperti analogi akupuntur.

Satu fenomena lain yang menarik adalah sampah yang ada di lokasi wisata sementara trend low cost traveling sedang naik daun, apakah GIDKP mungkin akan

mensosialisasikan pesan sosial ini kepada para wisatawan?

That’s a good idea, tapi kita harus meneliti lagi karena fakta bawah Indonesia adalah produsen sampah terbesar nomor dua di samudera sedunia (bisa jadi tidak hanya) karena sampah yang

terbuang dari darat. Itu bisa dari sungai-sungai, dari (masyarakat yang tinggal di) tepi pantai. Aku liat sendiri jalan menuju Pulau Komodo saja sudah banyak sampahnya, juga waktu di Kepulauan Seribu ketika ada suatu event sampah kotak nasi dibuang begitu saja dan mengambang di lautan. Itu menarik, dan bisa jadi angle sendiri.

Apakah sejauh ini GIDKP memiliki program evaluasi untuk program-program yang sudah dijalankan?

Kita tiap tahun bikin impact report, itu adalah bagian dari evaluasi kita juga dan hasil dari yang sudah kita capai, itu lumayan ada angka-angkanya.

(33)
(34)
(35)

Nomor : 011/ADM-1/MED/GIDKP/01/2016 Lampiran : -

Perihal : Surat Keterangan Penyelesaian Penelitian di GIDKP

Bersama ini kami sampaikan bahwa :

Nama : Nanang Supriyanto Institusi : Universitas Mercu Buana

Alamat : Jl. Meruya Selatan No.15, Kembangan, Jakarta Barat, 11610

NIM : 4421110174 No tlp : 0812-9125-4658

Telah menyelesaikan penelitian dan wawancara dengan ketiga narasumber yaitu Tiza Mafira (Koordinator Umum GIDKP), Rahyang Nusantara (Koordinator Nasional GIDKP), dan Nadine Zamira (spoke person GIDKP) terhitung sejak Oktober 2015 hingga Januari 2016. Data dan informasi yang digunakan adalah hanya untuk kepentingan skripsi dengan judul “Strategi Kampanye Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) Dalam Penggunaan Kantong Plastik Secara Bijak di Jakarta tahun 2015” milik sudara yang tersebut diatas.

Demikian surat keteranganini dibuat dengan sebenar-benarnya agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, 06’Jan 2016

Rahyang Nusantara Koordinator Harian GIDKP

(36)
(37)

Lampiran 5 : Dokumentasi Hasil Observasi

Foto 1:

Kegiatan peresmian YSEALI di Asean Youth Center, Jakarta Yang Turut dihadiri Perwakilan GIDKP pada 13’April 2015

Foto 2 :

Peneliti Bersama Nadine Zamira Selaku Spoke Person GIDKP ketika ditemui di kantor pusat GIDKP

(38)

Foto 3 :

Rahyang Nusantara Selaku Koordinator Nasional GIDKP Ketika Memberi Sambutan di Seminar “Indonesia Bebas Kantong Plastik 2020” di Universitas Indonesia pada 06’Oktober 2015

Foto 4 :

Keseruan Peserta Seminar “Indonesia Bebas Kantong Plastik 2020” di Universitas Indonesia pada 06’Oktober 2015 yang diselanggarakan oleh GIDKP

(39)

Foto 5 :

Tiza Mafira Selaku Perwakilan GIDKP Ketika Menjadi Pembicara Talkshow “Let’s Backpacking, Let’s Go Green!” Yang Diadakan oleh Universitas Mercu Buana pada Juni 2015

Referensi

Dokumen terkait

Kecamatan :Ajibata Kabupaten : Toba Samosir Propinsi : Sumatera Utara Tahun : Juni

Proses fermentasi dalam pengolahan pangan adalah proses pengolahan pangan dengan menggunakan aktivitas mikroorganisme secara terkontrol untuk meningkatkan

Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan bentuk pelanggaran prinsip kesopanan yang terdapat pada rubrik Pojok dalam koran Joglosemar dan (2) mendeskripsikan makna

Jadi, hipotesis yang diajukan dalam penelitian yaitu ada interaksi antara metode pembelajaran dan gaya kognitif terhadap hasil penanaman wawasan kegeogra• an

Aturan tersebut memberikan keleluasaan kepada hakim untuk tidak menjatuhkan pidana penjara terhadap pelaku untuk perbuatan-perbuatan tertentu yang dianggap oleh hakim tidak

ini adalah anak muda Sidoarjo telah berlomba dalam aksi peduli lingkungan dan melaksanakan kegiatan bersih-bersih lingkungan ( trashmob ) dengan tujuan dari Program

Pembahasan dari hasil pengujian disebutkan bahwa terdapat produk wisata berpengaruh terhadap keputusan berkunjung telah terbukti. Koefisien X 1 yang positif ini

Perancangan Tugas Akhir, yang berjudul “Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I di Kutoarjo dengan Pendekatan Defensible Space ”.. Penyusunan Konsep Perencanaan dan