• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh. Yenni Angraini (G )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh. Yenni Angraini (G )"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas 4 Analisis Data Lanjutan

Resume 2:

Analysis of sex sequences

by means of generalized linear mixed models

Roberto Ambrosini, Diego Rubolini, Nicola Saino

Oleh

Yenni Angraini (G161150051)

SEKOLAH PASCASARJANA

2016

(2)

1

Resume Jurnal :

Analysis of sex sequences by means of generalized linear mixed models

Roberto Ambrosini, Diego Rubolini, Nicola Saino

Eksplorasi data simulasi

Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa proporsi telur menetas sebagai jantan berdasarkan urutan bertelur meningkat sepanjang urutan bertelur. Begitu juga dengan proporsi telur menetas sebagai jantan berdasarkan jenis kelamin sebelumnya atau dengan kata lain peluang telur menetas sebagai jantan lebih besar dari pada betina. Gambar 2 menampilkan logit proporsi telur menetas sebagai jantan berdasarkan urutan bertelur dan logit proporsi telur menetas sebagai jantan berdasarkan jenis kelamin sebelumnya, mendukung hasil yang diperoleh pada Gambar 1. Secara keseluruhan hasil eksplorasi ini mengindikasikan adanya pengaruh urutan telur dan pengaruh JK sebelumnya.

Gambar 1. Proporsi telur menetas sebagai jantan untuk data simulasi

Gambar 2. Logit proporsi telur menetas sebagai jantan untuk data simulasi

Selanjutnya akan dilakukan pembahasan per model untuk data simulasi. Model H0 yang mengasumsikan tidak ada pengaruh dari urutan dan pengaruh jenis kelamin telur sebelumnya serta urutan Jenis kelamin telur dipengaruhi oleh proses yang terjadi pada seluruh clutch (between clutch). Pada model ini diperoleh ragam intersep acak (1.154) < ragam sisaan (𝜋

2

(3)

2

3.29) atau dengan kata lain hampir semua keragaman terjadi dalam clutch. Padahal pada kenyataannya antar clutch sangat bervariasi, karena jumlah telur jantan sangat dipengaruhi oleh kondisi fitalitas induk betina. Sebagai alternatif digunakan uji likelihood, hasilnya menunjukkan adanya keragaman yang tinggi pada peluang telur menetas menjadi jantan antar clutch. Selang kepercayaan 95 % untuk pengaruh tetap (𝑏0) pada model ini yaitu

sebesar 0.74 ± 0.24 𝑆𝐸 . Artinya proporsi telur menetas sebagai jantan lebih tinggi dari pada menetas sebagai betina. Sementara penduga bagi 𝑃𝑖: 0.68 ± 0.05 𝑆𝐸 dan selang kepercayaan 95% untuk peluang telur menetas sebagai jantan sebesar 0.53 sampai dengan 0.77.

Model H1 mengasumsikan tidak ada pengaruh dari urutan namun diasumsikan pengaruh dari jenis kelamin telur sebelumnya ada dan konstan. Perubahan peluang telur ke-i berjenis kelamin jantan (𝑃𝑖) tergantung pada jenis kelamin telur sebelumnya. Hasil dari model H1 diperoleh tidak adanya keragaman acak antar clutch (ragam intersep acak = 0). Hal ini terjadi karena dalam membangkitkan data, tidak adanya keragaman antar clutch sebagai pengaruh jenis kelamin sebelumnya. Selain itu model ini menyumbang mekanisme yang menghasilkan keragaman dalam jenis kelamin telur. Uji signifikansi untuk pengaruh acak tidak bisa dihitung karena ragam dari pengaruh acak = 0. Keragaman acak pada H1 menurun sangat besar dibandingkan dengan H0, menunjukkan tidak adanya perubahan peluang sepanjang urutan bertelur ketika pengaruh dari jenis kelamin telur sebelumnya masuk ke dalam model. Peubah prevsex nyata pada model ini, sehingga dilakukan perhitungan perubahan peluang pada setiap urutan bertelur. Hasilnya diperoleh sebagai berikut :

• SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur pertama 0.54 ± 0. 07 𝑆𝐸 • SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada berikutnya 0. 68 ± 0.05 𝑆𝐸

• SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur berikutnya jika telur sebelumnya adalah betina 0.47 ± 0.08 𝑆𝐸

• SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur berikutnya jika telur sebelumnya adalah jantan 0.84 ± 0.05 𝑆𝐸

Terlihat bahwa peluang telur menetas sebagai jantan lebih besar dari pada jenis kelamin betina pada urutan berikutnya. Begitu juga dengan peluang telur menetas sebagai jantan jika telur sebelumnya adalah jantan.

Model H2 mengasumsikan pengaruh dari urutan bersifat linear namun tidak ada pengaruh dari jenis kelamin telur sebelumnya dan perubahan peluang telur ke-i berjenis kelamin jantan (𝑃𝑖) linear. Hasil dari model ini menunjukkan adanya pengaruh keragaman acak yang artinya pola alokasi jenis kelamin berbeda antar clutch dan didukung dengan hasil uji likelihood nyata ( Chi.sq = 24.2 dengan nila-p 0.000). Dan adanya peningkatan peluang telur menetas sebagai jantan sepanjang urutan bertelur. Peubah Order0 nyata pada model ini, sehingga dilakukan perhitungan perubahan peluang pada setiap urutan bertelur. Selang kepercayaan 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur pertama 0.56 ± 0. 08 𝑆𝐸, selang kepercayaan 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur kedua 0. 69 ± 0.05 𝑆𝐸 dan selang kepercayaan 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur ketiga yaitu 0. 79 ± 0.06 𝑆𝐸. Sehingga dapat disimpulkan pada model ini terlihat adanya kenaikan peluang untuk mendapatkan telur yang berjenis kelamin jantan.

(4)

3

Pada model H3 diasumsikan pengaruh dari urutan jenis kelamin bersifat linear dan pengaruh dari jenis kelamin telur sebelumnya konstan. Pengaruh acak pada model ini sama dengan 0, sama seperti model H1, hal ini terjadi karena model ini menyumbang mekanisme yang menghasilkan keragaman dalam jenis kelamin telur. Menunjukkan tidak adanya perubahan peluang sepanjang urutan bertelur ketika pengaruh dari jenis kelamin telur sebelumnya masuk ke dalam model. Peubah prevsex nyata pada model ini, sehingga dilakukan perhitungan perubahan peluang pada setiap urutan bertelur. Hasilnya diperoleh sebagai berikut :

• SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur pertama 0.56 ± 0. 07 𝑆𝐸 • SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur kedua 0. 63 ± 0.04 𝑆𝐸 • SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur ketiga 0. 71 ± 0.07 𝑆𝐸

• SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur kedua jika telur pertama adalah betina 0.43 ± 0.07 𝑆𝐸

• SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur kedua jika telur pertama adalah jantan 0.8 ± 0.05 𝑆𝐸

• SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur kedua jika telur kedua adalah betina 0.51 ± 0.1 𝑆𝐸

• SK 95% peluang jenis kelamin jantan pada telur kedua jika telur kedua adalah jantan 0.85 ± 0.05 𝑆𝐸

Sama halnya dengan model H1 dan H2, secara umum dapat dikatakan adanya peningkatan peluang telur menetas sebagai jantan lebih besar dari pada jenis kelamin betina pada urutan bertelur. Begitu juga dengan peluang telur menetas sebagai jantan jika telur sebelumnya adalah jantan.

Untuk melakukan perbandingan model pada data simulasi, data hilang pada peubah “prevsex” tidak dimasukkan ke dalam analisis. AIC yang diperoleh pada analisis ini dilambangkan dengan AICc. Karena ukuran contoh pada data simulasi sangat kecil ( 3 telur per clutch), nilai AIC dan AICc tidak terlalu berbeda jauh ( Tabel 1) sehingga untuk membandingkan model, nilai AIC tetap digunakan. Kedua model menunjukkan peubah prevsex nyata artinya adanya perbedaan peluang menjadi jantan antar telur sebelumnya. Tabel 1. Nilai AIC dan AICc

Model AIC AICc

H1 178.59 178.59

H3 179.04 179.04

H2 185.39 184.10

H0 188.21 186.22

Analisis Data Real (Burung beo electus)

Analisis dilakukan berdasarkan urutan dari rasio jenis kelamin yang dihasilkan oleh seekor induk beo electus pada proses reproduksi yang berulang. Urutan penetasan telur tidak diketahui, sehingga satu-satunya informasi yang tersedia adalah jumlah telur yang menetas

(5)

4

pada satu kali reproduksi dan jenis kelamin. Pada data real, dimungkinkan adanya dua anak burung dari satu telur.

Peubah sex pada analisis data real merupakan rasio jenis kelamin anak burung. Sementara peubah prevsex merupakan rasio jenis kelamin yang dihasilkan oleh seekor induk dalam proses reproduksi sebelumnya. Karena adanya perbedaan yang sangat besar dari panjang urutan bertelur antar clutch (5 sd 36 kelahiran per induk) maka dua peubah baru dimasukkan ke dalam model, yaitu Corder dan Morder. Peubah Corder sebagai peubah yag mengukur perbedaan dalam urutan bertelur antar telur lainnya. Peubah Morder mengukur rata-rata urutan bertelur untuk semua telur dalam satu clutch. Sebagai contoh, dalam satu clutch ada 5 telur, Corder : -2, -1, 0, 1, dan 2 untuk eggs [1:5], Morder : 3, 3, 3, 3, dan 3. Contoh lain, dalam satu clutch ada 4 telur, Corder : -1.5, -0.5, 0.5, 1.5, dan 2 untuk eggs [1:5], Morder : 2.5, 2.5, 2.5, dan 2.5. Peubah Corder signifikan menunjukkan adanya keragaman dalam peluang untuk menetas sebagai jantan sepanjang urutan bertelur dalam setiap clutch, sementara peubah Morder siginifikan menunjukkan adanya pengaruh antar clutch. Respon yang digunakan dalam analisis data real yaitu jumlah anak burung jantan dari seekor induk dalam suatu proses reproduksi (m) dan jumlah anak burung dari seekor induk dalam suatu proses reproduksi (n).

Gambar 3. Proporsi dan logit telur menetas sebagai jantan untuk data real

Gambar 3 menunjukkan adanya keragaman yang tinggi dalam rasio jenis kelamin yang dihasilkan pada sekali proses reproduksi dibandingkan dengan proses sebelumnya. Sehingga pengepasan model perlu mempertimbangkan keragaman dalam peluang menetas sebagai jantan sesuai dengan rasio jenis kelamin anak burung dari peristiwa reproduksi sebelumnya. Selama urutan jenis kelamin sangat berbeda antar induk, peubah “Corder” dan “Morder”

1 6 12 19 26 33 breeding event pr op or tio n of m al e fle dg lin gs 0. 0 0. 4 0. 8 first M MF F

sex ratio of the preceding fledglings

pr op or tio n of m al e fle dg lin gs 0. 0 0. 3 0. 6 1 6 12 19 26 33 breeding event lo gi t p ro po rt io n of m al e fle dg lin gs -6 -2 2 6 first M MF F

sex of the preceding fledgling

lo gi t p ro po rt io n of m al e fle dg lin gs -1 .5 0. 0 1. 0

(6)

5

lebih dipilih untuk mendeteksi pengaruh potensi antar induk. Adapun model yang akan diuji pada data real adalah sebagai berikut :

1. Model H0  𝑦𝑖𝑗 = 𝑏0+ 𝑢𝑖𝑗 + 𝑟0𝑗

2. Model H1  𝑦𝑖𝑗 = 𝑏0+ 𝑏1𝐴𝐹𝑖𝑗 + 𝑏2𝑝𝑟𝑒𝑣𝑠𝑒𝑥𝑖𝑗 + 𝑢𝑖𝑗 + 𝑟0𝑗

3. Model H2  𝑦𝑖𝑗 = 𝑏0+ 𝑏1𝐶𝑜𝑟𝑑𝑒𝑟𝑖𝑗+ 𝑏2𝑀𝑜𝑟𝑑𝑒𝑟𝑖𝑗+ 𝑢𝑖𝑗 + 𝑟0𝑗

4. Model H3  𝑦𝑖𝑗 = 𝑏0+ 𝑏1𝐶𝑜𝑟𝑑𝑒𝑟𝑖𝑗 + 𝑏2𝑀𝑜𝑟𝑑𝑒𝑟𝑖𝑗 + 𝑏3𝑝𝑟𝑒𝑣𝑠𝑒𝑥𝑖𝑗 + 𝑢𝑖𝑗 + 𝑟0𝑗 Tabel 2. Nilai AIC untuk data real

Model AIC delta

H3 182.42 0.00

H1 182.85 0.43

H2 240.83 58.41

H0 242.47 60.05

Berdasarkan Tabel 2, model H3 dan H1 adalah model yang terbaik untuk data real. Kedua model menunjukkan peubah prevsex nyata pada nilai-p 0.000, artinya adanya perbedaan peluang telur yang menetas sebagai jantan dengan telur sebelumnya. Selang kepercayaan 95% dari hasil analisis data real disajikan sebagai berikut :

• SK 95% rasio jenis kelamin jantan pada telur pertama 0.4 ± 0.12 𝑆𝐸 • SK 95% rasio jenis kelamin jantan pada telur berikutnya 0.46 ± 0.05 𝑆𝐸

• SK 95% rasio jenis kelamin jantan jika telur sebelumnya adalah betina 0.16 ± 0.04 𝑆𝐸

• SK 95% rasio jenis kelamin jantan jika telur sebelumnya adalah jantan 0.79 ± 0.05 𝑆𝐸

Secara umum dapat dikatakan bahwa adanya peningkatan rasio jenis kelamin jantan pada urutan telur berikutnya serta rasio jenis kelamin jantan akan lebih besar jika telur sebelumnya adalah jantan.

Hal penting pada analisis data :

Proses simulasi data hanya dilakukan sekali, sehingga menjadi pertanyaan apakah ketika analisis dilakukan dengan pembangkitan data yang lain menghasilkan hasil yang sama seperti yang dilakukan pada paper ini.

Penentuan peluang dalam menetasnya telur, tidak dijelaskan secara terperinci pemilihan nilai peluangnya.

Pengembangan model dengan asumsi perubahan peluang menetas telur menjadi jantan non-linear (polinomial) dalam paper ini juga dibahas, namun belum dilakukan pembedahan lebih dalam untuk saat ini, begitu juga untuk analisis data simulasi yang menggunakan data dengan ukuran clutcth tidak sama.

(7)

Gambar

Gambar 1. Proporsi telur menetas sebagai jantan untuk data simulasi
Tabel 1. Nilai AIC dan AICc
Gambar 3. Proporsi dan logit telur menetas sebagai jantan untuk data real

Referensi

Dokumen terkait

Proses pemberdayaan dalam program ini diorientasikan untuk penguatan (empowerment) komunitas madrasah, pesantren, masjid, dan komunitas miskin/marginal dalam berbagai

3. Sistem MHD beroperasi pada suhu yang sangat tinggi untuk mendapatkan tinggi listrik  konduktivitas. Tetapi elektroda harus relatif pada temperatur rendah dan karenanya

pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap penyelesaian yang ada. 3) Arbitrasi, merupakan suatu cara untuk mencapai

“Pengaruh Struktur Kepemilikan terhadap Luas Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial (CSR Disclosure) pada Laporan Tahunan Perusahaan : Study Empiris pada Perusahaan

hanya 1 tahun sekali dengan adanya 2 pengawas saja sebagai tim monitoring, dari pernyataan yang ada hal ini menunjukkan bahwa tugas pengawas sekolah dalam kegiatan

Hasil penelitian tentang pengelolaan media pembelajaran di SD Muhammadiyah Pasir Kidul melalui tahap (1) Perencanaan media pembelajaran yang diawali dengan

tadi salah satunya melalui media teater, teater yang dibentuk di MAN Kendal adalah kelompok STESA (Studi Teater dan Sastra) yang merupakan wadah bagi peserta didik MAN

Apa saja kendala yang dihadapi dalam proses pengolahan bahan pustaka di Perpustakaan Sekolah Tinggi Teknologi Adisutjipto Yogyakarta serta cara mengatasi kendala-kendala