• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep HIV/AIDS

2.1.1 Definisi HIV/AIDS

HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, merupakan penyakit lain (infeksi oportunitik) dan dapat berlangsung lama/bertahun-tahun tanpa memberikan gejala. Infeksi oportunistik adalah infeksi yang umumnya tidak berbahaya pada orang dengan tubuh normal namun dapat berakibat fatal pada ODHA (orang dengan HIV/AIDS) karena sistem kekebalan tubuhnya lemah. Sedangkan AIDS adalah singkatan dari Acquired Immunodefeciency Syndrome suatu kumpulan gejala penyakit yang di dapat akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang di sebabkan oleh virus HIV. HIV/AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV (Slyvia & Wilson, 2005) dalam (Indah, 2013).

HIV adalah virus dan seperti kebanyakan virus, HIV memerlukan sel inang untuk memperbanyak diri guna melakukan replikasi dan bertahan hidup. HIV diklasifikasikan sebagai retrovirus, yaitu virus asam ribonukleat (RNA) (French, 2015).

AIDS (Acquired Imune Deficiency Syndrome) atau Sindrom Kehilangan Kekebalan Tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang

(2)

menyerang tubuh manusia sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus yang disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Djoerban, 2000).

AIDS adalah sindrom atau kumpulan gejala yang disebabkan oleh HIV yang mudah menular dan mematikan. Virus tersebut menyerang sistem kekebalan tubuh, dengan akibat turunnya/hilangnya daya tahan tubuhnya, sehingga mudah terjangkit dan meninggal karena penyakit infeksi, keganasan dan lain-lain (Hermawan, 2006).

Dari pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Imune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan gejala penyakit yang terjadi akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia yang disebabkan oleh virus dari golongan retrovirus, yaitu virus asam ribonukleat (RNA).

2.1.2 Transmisi HIV/AIDS

HIV bukan fenomena yang terjadi secara alamiah, virus ini ditransmisikan dari mana pun agar seseorang dapat terinfeksi. Transmisi HIV dapat terjadi baik melalui kontak seksual, via darah atau produk darah, atau dari ibu ke bayinya.

a. Kontak seksual – Sebagian besar infeksi HIV terjadi melalui hubungan intim tanpa pelindung. HIV terdapat pada semen, pre-cum, cairan vagina, dan darah haid. Selama berhubungan intim tanpa pelindung dengan pasangan yang terinfeksi, HIV dapat berpindah dari satu orang ke orang lain melalui kontak

(3)

dengan membran mukosa. Seperti melalui hubungan seksual anal dan vaginal tanpa pelindung, HIV dapat ditransmisikan juga melalui seks oral tanpa pelindung meskipun beberapa bukti menyatakan bahwa metode ini berisiko lebih kecil untuk mengalami infeksi. Beberapa faktor tertentu akan membuat transmisi HIV lebih memungkinkan, contohnya, jika seorang individu sudah mengalami SAI, seperti klamidia, ia lebih rentan terhadap infeksi (French, 2015). Dalam Hermawan (2006) disebutkan juga bahwa kontak dengan menggunakan mulut, hubungan seksual menggunakan kondom, ciuman mulut dengan mulut, dan ciuman mulut dengan kelamin dapat memberikan risiko penularan HIV.

b. Kontak darah dengan darah – HIV terdapat di dalam darah, setiap kontak dengan darah yang terinfeksi HIV berpotensi menyebabkan infeksi. Metode infeksi yang paling umum adalah melalui berbagai peralatan injeksi di antara pengguna obat terlarang yang diinjeksikan. Saat ini, infeksi HIV jarang terjadi melalui tranfusi darah karena semua darah yang didonasikan untuk tranfusi di Inggris sudah diperiksa untuk HIV dan pemeriksaan tersebut sudah dilakukan sejak tahun 1985. Infeksi HIV melalui luka akibat jarum injeksi jarang terjadi dan hanya terjadi pada sekitar kurang dari 1% individu. c. Transmisi ibu ke anak – HIV dapat ditularkan ibu ke bayinya,

(4)

Semua ibu hamil ditawarkan dan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan HIV karena jika HIV dikonfirmasi selama kehamilan, medikasi dapat diberikan ke ibu untuk mengurangi risiko infeksi HIV ditransmisikan ke janin.

Risiko transmisi bergantung juga pada jenis pajanan dan daya infeksi pasien yang menjadi sumbernya. Risiko transmisi melalui hubungan intim diperkirakan sekitar 0,2% (1 dalam 500) (Varghese et al., 2002).

2.1.3 Gambaran klinis HIV/AIDS

Menurut French (2015) gambaran klinis terkait infeksi HIV adalah a. Dugaan infeksi primer dengan penyakit serokonversif (proses, setelah pajanan terhadap agens penyebab penyakit, perubahan darah dari penanda serum yang negatif menjadi positif untuk penyakit yang spesifik).

b. Setiap manifestasi yang tidak lazim dari penyakit yang disebabkan oleh bakteri, fungal, virus: infeksi tuberkulosis; dugaan Pneumocystis jiroveci pneumonia (PCP); atau dugaan oksoplasmosis serebral.

c. Ulserasi genital persisten.

d. Tumor yang tidak lazim, contohnya, limfoma serebral, limfoma non-Hodgkin, atau sarkoma Kaposi.

(5)

f. Masalah kulit yang tidak biasa, seperti dermatitis seboreik berat, psoriasis atau moluskum kontagiosum, herpes zoster kambuhan atau herpes zoster pada individu berusia muda. g. Limfadenopati umum (generalised lymphadenopathy, PGL)

persisten atau limfoedema yang tidak dapat dijelaskan.

h. Masalah neurologis mencakup neuropati perifer atau tanda fokal yang disebabkan oleh lesi intra serebral yang memenuhi ruang.

i. Penurunan berat badan atau diare yang tidak dapat dijelaskan, keringat berlebihan di malam hari atau pireksia yang tidak diketahui penyebabnya (Rogstad et al., 2006).

Menurut Soedarto (2010) penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu

a. Penderita Asimtomatik, tanpa gejala, yang terjadi pada masa inkubasi yang berlangsung antara 7 bulan sampai 7 tahun lamanya.

b. Persistent Generalized Lymphadenopathy (GPL) dengan gejala limfadenopati umum.

c. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan gangguan sistem imun atau kekebalan.

d. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang berat berupa diare kronis, pneumonitis interstisial, hepatomegali, splenomegali, dan kandidiasis oral yang

(6)

disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya Sarkoma Kaposi. Penderita akhirnya meninggal dunia akibat komplikasi penyakit infeksi sekunder.

Diagnosis HIV/AIDS dari gejala klinis khas HIV adalah sebagai berikut :

a. HIV stadium 1 : asimtomatis atau terjadi GPL (persistent generalized lymphadenopathy).

b. HIV stadium 2 : berat badan menurun lebih dari 10%, ulkus atau jamur di mulut, menderita herpes zoster 5 tahun terakhir, sinusitis rekuren.

c. HIV stadium 3 : berat badan menurun lebih dari 10%, diare kronis dengan sebab tak jelas lebih dari 1 bulan.

d. HIV stadium 4 : berat badan menurun lebih dari 10%, gejala-gejala infeksi pneumosistosis, TBC, kriptokokosis, herpes zoster dan infeksi lainnya sebagai komplikasi turunnya sistem imun (AIDS). Untuk menentukan diagnosis pasti HIV/AIDS, virus penyebabnya dapat diisolasi dari limfosit darah tepi atau dari sumsum tulang penderita.

Menurut kriteria W.H.O gejala klinis AIDS untuk penderita dewasa meliputi minimum 2 gejala major dan 1 gejala minor. Gejala major :

a. berat badan menurun lebih dari 10%, b. diare kronis lebih dari 1 bulan,

(7)

c. demam lebih dari 1 bulan.

Gejala minor :

a. batuk lebih dari 1 bulan,

b. pruritus dermatitis menyeluruh,

c. infeksi umum rekuren misalnya herpes zoster atau herpes simpleks,

d. limfadenopati generalisata, e. kandidiasi mulut dan orofaring,

f. ibu menderita AIDS (kriteria tambahan untuk AIDS anak).

Untuk membantu menegakkan diagnosis, dilakukan pemeriksaan serologi untuk menentukan antibodi terhadap HIV dengan uji ELISA, uji imunofluoresens, radioimmunoprecipitin assay dan pemeriksaan western blot.

2.1.4 Tahapan infeksi HIV/AIDS

Progresi penyakit HIV dibagi menjadi empat tahap utama, yaitu :

2.1.4.1 Primer

Individu yang terinfeksi HIV seringkali tidak menyadari bahwa mereka telah terinfeksi karena mereka tidak menemukan atau mengalami gejala yang dapat diidentifikasi . beberapa orang akan mengalami kondisi sakit dalam periode pendek segera setelah mereka terinfeksi, kondisi ini disebut “penyakit serokonversi” karena terjadi sesaat sebelum antibodi untuk HIV diproduksi di

(8)

dalam tubuh, ketika kadar HIV mencapai angka tertinggi di dalam darah yang bersirkulasi. Pada saat ini, orang yang terinfeksi menjadi sangat infeksius.

a. Serokonversi

Gejala untuk penyakit serokonversi bersifat samar dan sering kali dideskripsikan sebagai gejala “seperti flu”. Umumnya, gejala mulai terjadi pada 2-6 minggu pasca-infeksi HIV dan akan terjadi sekitar 10-14 hari. Gejala dapat mencakup :

a. Demam dan rasa nyeri pada ekstremitas. b. Ruam berbercak merah pada tubuh bagian atas. c. Sakit tenggorok (faringitis).

d. Ulserasi pada mulut atau genital. e. Diare.

f. Sakit kepala berat.

g. Tidak dapat melihat cahaya.

Diperkirakan hingga 80% orang yang terinfeksi HIV akan mengalami beberapa gejala ini; namun beberapa gejala ini amat samar dan berkaaitan dengan penyakit minor lainnya; gejala ini tidak dikaitkan dengan infeksi HIV.

Gejala yang lebih jarang mencakup :

a. Meningitis. b. Paralisis.

(9)

Jika gejala yang jarang terjadi ini dialami atau jika gejala terjadi lebih dari yang diperkirakan, prognosisnya buruk. Tanpa medikasi antiretroviral, diagnosis AIDS cenderung dapat ditegakkan dalam 5 tahun.

2.1.4.2 Asimtomatik

Tahap infeksi asimtomatik disebut seperti itu karena orang yang terinfeksi HIV sering kali menunjukkan tanda infeksi yang tidak terlihat dan tidak adanya progresi penyakit pada tahap ini. Tahap infeksi HIV ini dapat berlangsung selama beberapa tahun.

Jika terdapat gejala-gejala tersebut, mayoritas dari individu akan mengalami pembengkakan kelenjar getah bening, yang disebut PGL. PGL adalah tanda dari tubuh yang mencoba melawan infeksi HIV dari pada tanda kerusakan pada sistem imun.

Walaupun individu dengan HIV tidak akan memiliki tanda-tanda infeksi yang kasat mata, terkadang terdapat kerusakan pada sistem imun mereka yang hanya dapat terdeteksi dengan pemeriksaan darah spesifik. Pemeriksaan darah ini termasuk hitung sel CD4 dan pemeriksaan beban virus.

2.1.4.3 Simtomatik

Penelitian telah menunjukkan bahwa jika dibiarkan tanpa diterapi, HIV akan terus menerus menyerang sistem imun sel inang dan menyebabkan lebih banyak gangguan. Kecepatan terjadinya gangguan amat bergantung pada respons spesifim individu terhadap virus. Semakin parah imunosupresi maka individu akan

(10)

semakin rentan mengalami infeksi dan/atau tumor yang mengindikasikan infeksi HIV simtomatik.

a. Aksi spesifik HIV

Sebagian besar gejala yang terlihat pada individu yang terinfeksi HIV disebabkan oleh penurunan sistem imun dibanding aksi virus itu sendiri. Satu-satunya pengecualian dari kondisi tersebut adalah sindrom wasting HIV dan demensia HIV, yang disebabkan oleh aksi langsung HIV.

b. Infeksi oportunistik

Infeksi oportunistik adalah infeksi yang masih dapat dikendalikan oleh sistem imun yang sehat, tetapi setelah sistem imun mengalami gangguan akibat HIV; infeksi mengambil “kesempatan” untuk menimbulkan masalah dan menyebabkan kondisi sakit. Infeksi oportunistik yang paling sering terjadi di Inggris adalah Pneumocystis jiroveci (carinii) pneumonia. 2.1.4.4 AIDS

AIDS adalah diagnosis yang ditegakkan hanya jika kriteria medis tertentu telah ditemukan. Sebagai contoh, individu yang didiagnosis AIDS akan ditemukan kondisi oportunistik, seperti PCP atau Sarkoma Kaposi, dan mengalami imunosupresi yang nyata.

2.1.5 Pengobatan HIV/AIDS

Pengobatan infeksi HIV mutakhir adalah dengan antiretrovirus (ARV) yang sangat aktif (Highly Active Antiretroviral Therapy, HAART)

(11)

yang menggunakan protease inhibitor, berupa kombinasi sedikitnya 3 ARV berasal dari sedikitnya 2 jenis / kelas yang berbeda. Kombinasi ARV yang umum digunakan adalah NRTI (nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor), dengan protease inhibitor atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Penerapan HAART meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan umum penderita HIV, menurunkan dengan drastis angka kesakitan dan angka kematian HIV.

Pada prinsipnya ARV harus diberikan segera sesudah diagnosis HIV ditegakkan.

Tabel 2.1. Obat antiretroviral (NRTI) yang telah disetujui FDA

Singkatan Nama Generik Nama Dagang Cara Pemberian

3TC Lamivudine Epivir Dengan atau tanpa makanan

ABC Abacavir Ziagen Dengan atau tanpa makanan

AZT/ZDT Zidovudine Retrovir Dengan atau sesudah makan

D4T Stavudine Zerit Dengan atau tanpa makanan

DdC Zalcitabine Hivid Dengan atau sesudah makan

Ddl Didanosine Videx Berikan 30 menit sebelum makan; hindari alkohol

(12)

Tabel 2.2. Obat antiretroviral (NNRTI) yang disetujui FDA

Singkatan Nama Generik Nama Dagang Cara Pemberian

DLV Delavirdine Rescriptor Dengan atau tanpa makanan

EFV Efavirenz Sustiva/Stocrin Berikan waktu lambung dalam keadaan kosong

ETR Etravirine Intelence Berikan bersama makanan

NVP Nevirapine Viramune Dengan atau tanpa makanan

(Sumber : Soedarto, 2010)

Tabel 2.3. Protease Inhibitor yang disetujui FDA

Singkatan Nama Generik Nama Dagang Cara Pemberian

APV Amprenavir Agenerase Dengan atau tanpa makanan

Hindari makanan berlemak

FOS-APV Fosamprenavir Lexiva

Telzir

Dengan atau tanpa makanan

(13)

2.1.6 Pencegahan HIV/AIDS

Tidak ada vaksin untuk mencegah HIV atau AIDS. Pencegahan hanya dapat dilakukan dengan menghindari kontak dengan virus yang berasal dari penderita baik secara langsung maupun tidak langsung melalui barang-barang yang tercemar dengan bahan inefektif berasal dari penderita HIV.

Petugas yang telah kontak dengan virus diberikan perawatan antiretrovirus secara langsung (post exposure prophylaxis, PEP). Untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS di masyarakat harus dilakukan upaya mencegah paparan HIV yang terjadi melalui tranfusi darah, persalinan, penularan dari ibu ke anak, penggunaan jarum suntik bersama, hubungan seksual baik yang heteroseksual maupun homoseksual atau perilaku seksual lainnya.

2.1.7 Dampak Psikologis Akibat HIV

HIV adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang memiliki potensi untuk mengancam jiwa, karenanya orang yang terinfeksi HIV sering kali mengalami dampak psikologis yang membahayakan. Setelah seseorang didiagnosis positif mengalami HIV, mungkin hidupnya akan berjalan pada jalur yang berbeda dari rencana atau ekspektasi sebelumnya. Orang yang terinfeksi HIV mengalami berbagai macam kehilangan, seperti kehilangan kesehatan, teman, status sosial, pendapatan, dan ekspektasi hidup yang direncanakan.

(14)

Selama progresi HIV, individu memerlukan bertahun-tahun untuk memahami mengapa mereka terinfeksi, dapatkah mereka mencegahnya, kapan waktu yang tepat untuk memberi tahu tentang kondisinya saat ini ke orang lain, siapa yang harus mereka beri tahu karena orang tersebut berisiko terinfeksi, dan apa yang akan terjadi pada dirinya di masa depan. Bagi beberapa orang, diagnosis HIV dapat serupa dengan diagnosis kanker, seperti yang dijelaskan Elizabeth Kubler-Ross (1969) dalam siklus berdukanya-penyangkalan dan isolasi, kemarahan, penerimaan, tawar-menawar , depresi, dan akhirnya penerimaan (French, 2015).

Selanjutnya, seiring progresi HIV, individu harus menghadapi kondisi sakit. Bagi beberapa orang, kondisi sakit ini berarti hilangnya kendali terhadap tubuh yang dapat menyebabkan rasa tidak memiliki kendali terhadap hidupnya. HIV menjadi musuh dan orang yang terinfeksi HIV melaporkan bahwa mereka merasa disiksa oleh virus (Schonnesson and Ross, 1999) dalam (French, 2015).

2.2 Konsep harga diri

2.2.1 Definisi harga diri

Harga diri berdasarkan pada faktor internal dan eksternal. Harga diri atau rasa kita tentang nilai-diri; rasa ini adalah suatu evaluasi dimana seseorang membuat atau mempertahankan diri. Harga diri adalah tinggi rendahnya penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri menurut status pribadi yang dilihatnya secara subyektif dan diekspresikan lewat sikap individu tersebut terhadap dirinya sendiri (Karima, 2004).

(15)

Harga diri adalah rasa dihormati, diterima, kompeten, dan bernilai. Orang dengan harga diri rendah seiring merasa tidak dicintai dan sering mengalami depresi dan ansietas. Harga diri berfluktuasi sesuai dengan kondisi sekitarnya, meskipun inti dasar dari perasaan negatif dan positif dipertahankan (Potter and Perry, 2005).

Maslow dalam teori hirarki kebutuhannya menyatakan bahwa harga diri adalah salah satu motivasi dasar manusia untuk mencapai aktualisasi diri (dalam Huitt, 2007). APA dictionary of Psychology (2007, hal. 830) mendefinisikan harga diri sebagai tahapan dimana kualitas dan karakteristik self-concept yang dimiliki seseorang dianggap positif. Harga diri merefleksikan gambaran citra diri, kemampuan, pencapaian, dan nilai yang dimiliki serta sejauh mana seorang individu sukses menerapkannya. 2.2.2 Bentuk harga diri

Berdasarkan kajian literatur mengenai harga diri yang dilakukan beberapa ahli Brown dan Marshall (2006) membagi bentuk harga diri kedalam 3 kategori :

a. Global self-esteem

Harga diri sering digunakan sebagai istilah yang merujuk pada variabel kepribadian yang mewakili bagaimana perasaan seseorang terhadap dirinya sendiri. Peneliti menamai bentuk harga diri yang demikian sebagai, global self-esteem atau trait self-esteem, karena relatif bertahan dalam berbagai situasi dan waktu. Jika seseorang memiliki harga diri yang tinggi atau rendah ketika kanak-kanak

(16)

maka kemungkinan besar individu tersebut akan memiliki tingkat harga diri yang sama ketika dewasa (weiten et al., 2012).

b. Feeling of self-worth

Harga diri juga sering dirujuk sebagai reaksi emosi evaluatif terhadap kejadian tertentu. Contohnya seseorang mungkin merasa harga dirinya naik setelah mendapat promosi jabatan dan harga dirinya turun setelah menjalani perceraian. Self-worth adalah perasan bangga terhadap diri sendiri (dalam sisi positif) dan malu terhadap diri sendiri (dalam sisi negatif). Harga diri yang demikian disebut juga sebagai state self-esteem, yaitu harga diri yang bersifat dinamis dan dapat dirubah bergantung pada perasaan seseorang terhadap dirinya di waktu tertentu (Heathertron & Polivy dalam Weiten et al., 2012).

c. Self-evaluations

Disebut juga sebagai domain spesific self-esteem, yaitu harga diri digunakan untuk merujuk cara seseorang mengevaluasi kemampuan dan atribut bervariasi yang ada pada dirinya. Contohnya seorang individu yang memiliki keraguan atas kemampuannya di sekolah dapat disebut memiliki academic self-esteem yang rendah sedangkan individu yang merasa dirinya memiliki kemampuan yang baik dalam bidang olah raga dapat dikatakan memiliki athletic self-esteem yang tinggi.

(17)

2.2.3 Sumber harga diri

Epstein (dalam Mruk, 2006) menambahkan sumber harga diri yang dikemukakan oleh Coopersmith sehingga lebih dinamis dengan alasan apabila kesuksesan (hal positif) terlibat dalam pembentukan harga diri maka kemungkinan akan adanya kegagalan (hal negatif) juga harus dilibatkan. Keempat sumber harga diri tersebut adalah :

a. Acceptance vs. rejection

Penerimaan dan penolakan dalam hubungan interpersonal seorang individu dengan orang tua, saudara, teman, pasangan, dan rekan kerja dapat mempengaruhi perasaan seorang individu atas dirinya. Bentuk penerimaan seperti rasa peduli, pengasuhan, perasaan tertarik, respek, serta kagum dan bentuk penolakan seperti tidak dihiraukan, direndahkan, atau dimanfaatkan dapat memperharuhi harga diri seseorang.

b. Virtue vs. guilt

Virtue menurut Epstein adalah kepatuhan terhadap standar moral dan etika yang berlaku, sedangkan guilt merujuk pada kegagalan untuk mematuhi standar moral dan etika yang berlaku. Saat seorang individu bertindak sesuai dengan nila moral dan etika yang berlaku maka mereka akan merasa sebagai individu yang „layak‟ dan akan mempengaruhi harga diri mereka secara positif. Sebaliknya saat individu tersebut gagal mengikuti standar moral

(18)

yang berlaku maka akan mempengaruhi harga dirinya secara negatif.

c. Power vs. powerlessness

Epstein mendefinisikan power sebagai kemampuan untuk mengatur atau mengontrol lingkungannya atau dengan kata lain kemampuan untuk memberi pengaruh. Kemampuan seorang individu untuk berinteraksi dengan lingkungan dan individu sekitarnya dengan cara-cara yang dapat membentuk atau mengarahkan interaksi tersebut mencerminkan kompetensi dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan dan akan mempengaruhi harga diri secara positif.

d. Achievement vs. failure

Syarat agar achivement mempengaruhi harga diri seseorang adalah ketika seorang individu mengalami ke suksesan pada dimensi-dimensi tertentu yang berhubungan dengan identitas diri mereka. Contohnya menyikat gigi bukanlah pencapaian signifikan bagi sebagian besar orang, namun dapat menjadi pencapaian personal yang besar bagi individu dengan cacat fisik maupun mental. Saat seorang individu mencapai tujuan dengan menghadapi permasalahan atau rintangan yang memiliki signifikansi personal, maka individu tersebut menunjukan kompetensi dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan dan hal tersebut mempengaruhi harga dirinya secara positif.

(19)

2.2.4 Tingkat harga diri

Mruk (2006) menyimpulkan tingkat harga diri berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli menjadi tiga kategori, yaitu :

a. Low Self-esteem

Karakteristik individu dengan harga diri rendah meliputi hipersensitivitas, ketidakstabilan, rasa canggung, dan kurang percaya diri. Individu dengan harga diri rendah lebih berfokus pada melindungi diri dari ancaman dibanding berusaha untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki dan menikmati hidup. Individu dengan harga diri rendah juga tidak memiliki gambaran identitas yang jelas dan sensitif terhadap isyarat sosial yang dianggap relevan dengan dirinya, mereka menggunakan strategi self-handicapping dan menurunkan ekspektasi untuk menghindari perasaan inferior lebih lanjut.

b. High self-esteem

Harga diri tinggi berkorelasi positif dengan rasa bahagia, mereka yang memiliki harga diri tinggi memiliki pandangan yang baik atas diri mereka, kehidupan, dan masa depan. Individu dengan harga diri tinggi lebih mampu menghadapi stres dan menghindari rasa cemas yang sehingga mereka tetap mampu beindak dengan baik saat berhadapan dengan stress dan trauma. Terdapat dukungan empiris mengenai hubungan antara harga diri tinggi dan hubungan

(20)

interpersonal. Individu yang memiliki harga diri tinggi memiliki karakteristik interpersonal yang disukai serta memiliki standar moral dan kesehatan yang baik. Harga diri yang tinggi juga dapat membantu meningkatkan kinerja berkaitan dengan kemampuan pemecahan masalah dalam situasi tertentu yang membutuhkan inisiatif dan presistensi.

c. Medium self-esteem

Coopersmith (dalam Mruk, 2006) menyatakan bahwa individu dengan tingkat harga diri sedang merupakan hasil dari tidak tereksposnya seorang individu pada faktor-faktor yang mendukung kepemilikan tingkat harga diri yang tinggi, namun memiliki sebagian faktor sehingga menghindarkan mereka dari tingkat harga diri yang rendah.

2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri

Harga diri mempengaruhi bagaimana individu akan berfungsi dalam kehidupannya sehari-hari. Individu dengan harga diri rendah, cenderung memiliki motivasi rendah (Branden, 1994) dalam Karima (2004). Sementara individu dengan harga diri tinggi akan lebih dapat berperilaku efektif (Coopersmith dan Branden) dalam Karima (2004).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penghargaan seseorang atas dirinya sendiri menurut Coopersmith (1981) dalam Karima (2004), yaitu:

(21)

a. Penerimaan atau penghinaan terhadap diri.

Individu yang merasa dirinya berharga akan memiliki penilaian yang lebih baik atau positif terhadap dirinya dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami hal tersebut. Individu yang memiliki harga diri yang baik akan mampu menghargai dirinya sendiri, menerima diri, tidak menganggap rendah dirinya, melainkan mengenali keterbatasan dirinya sendiri dan mempunyai harapan untuk maju dan memahami potensi yang dimilikinya. Sebaliknya individu dengan harga diri yang rendah umumnya akan menghindar dari persahabatan, cenderung menyendiri, tidak puas akan dirinya, walaupun sesungguhnya orang yang memiliki harga diri yang rendah memerlukan dukungan.

b. Kepemimpinan atau popularitas

Penilaian atau keberartian diri diperoleh seseorang pada saat ia harus berperilaku sesuai dengan tuntutan yang diberikan oleh lingkungan sosialnya yaitu kemampuan seseorang untuk membedakan dirinya dengan orang lain atau lingkungannya. Pada situasi persaingan, seseorang akan menerima dirinya serta membuktikan seberapa besar pengaruh dan kepopulerannya. Pengalaman yang diperoleh pada situasi itu membuktikan individu lebih mengenal dirinya, berani menjadi pemimpin, atau menghindari persaingan.

(22)

c. Keluarga – orangtua

Keluarga dan orangtua memiliki porsi terbesar yang mempengaruhi harga diri, ini dikarenakan keluarga merupakan modal pertama dalam proses imitasi. Alasan lainnya karena perasaan dihargai dalam keluarga merupakan nilai yang penting dalam mempengaruhi harga diri.

d. Keterbukaan – kecemasan

Individu cenderung terbuka dalam menerima keyakinan, nilai-nilai, sikap, moral dari seseorang maupun lingkungan lainnya jika dirinya diterima dan dihargai. Sebaliknya seseorang akan mengalami kekecewaan bila ditolak lingkungannya.

2.2.6 Gambaran harga diri ODHA

Harga diri pada pasien HIV/AIDS mempunyai peranan penting dalam proses perawatan seperti yang diunhkapkan oleh Stuart dan Sundeen (2000) self esteem (harga diri) adalah perilaku tentang nilai individu menganalisa kesesuaian paerilaku dengan ideal diri. Harga diri yang tinggi berakar dari penerimaan diri tanpa syarat sehingga diharapkan pasien HIV/AIDS dengan harga diri yang tinggi dapat berpengaruh terhadap penerimaan diri tentang kondisinya tanpa syarat.

Kondisi penurunan harga diri, depresi, stress, dan tak bisa menerima kenyataan dialami hampir setiap individu atau anggota keluarga yang mengidap HIV/AIDS. Kondisi tersebut terjadi karena sampai saat ini masyarakat masih menganggap HIV/AIDS sebagai momok menyeramkan.

(23)

Saat divonis sebagai Orang dengan HIV/AIDS (ODHA), yang terbayang dibenak mereka adalah kematian (Djoerban, 2000).

Harga diri adalah konsep yang meliputi rendah diri, dan penerimaan mereka kepada orang lain. Ini meliputi penilaian diri mereka secara internal yang didasarkan pada pengalaman masa lalu. ODHA dengan harga diri rendah bukan dikarenakan untuk melindungi dirinya sendiri atau orang lain terhadap penularan infeksi HIV, namun adanya stigmatisasi, rasa bersalah, kehilangan citra tubuh yang positif, kehilangan peran, kehilangan pekerjaan, dan hilangnya jaringan sosial. Dalam mempertahankan harga diri, mekanisme koping yang digunakan pada pasien HIV/AIDS adalah sebagai berikut :

1) Penolakan: meniadakan realitas situasi

2) Penghindaran: mencoba untuk mengabaikan akibat situasi 3) Regresi: menjadi lebih tergantung, lebih pasif, lebih emosional 4) Kompensasi: meniadakan keterbatasan disatu area dan

mendapatkan keahlian didaerah lain

5) Rasionalisasi: memaafkan diri untuk tidak mencapai harapan 6) Pengalihan perasaan: penyaluran perasaan yang tidak dapat

(24)

2.3 Konsep interaksi sosial

2.3.1 Definisi interaksi sosial

Manusia adalah makhluk sosial sekaligus makhluk individual. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki motif untuk mengadakan hubungan dan hidup dengan orang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar, yang disebut dengan dorongan sosial (Mubarak, 2011).

Menurut M. Sitorus dalam Mubarak (2011), interaksi sosial adalah hubungan-hubungan dinamis yang menyangkut hubungan antarindividu-individu, individu dan kelompok, kelompok dan kelompok dalam bentuk kerja sama serta persaingan atau pertikaian.

Interaksi sosial adalah hubungan antarindividu satu dan individu lain, individu satu dapat mempengaruhi yang lainnya atau sebaliknya, jadi terdapat hubungan yang saling timbal balik (Walgito, B., 2001) dalam (Mubarak, 2011).

Interaksi sosial adalah hubungan antarsesama manusia dalam suatu lingkungan masyarakat yang menciptakan satu keterikatan kepentingan yang menciptakan status sosial. Juga dapat diartikan sebagai hubungan sosial dinamis yang menyangkut hubungan orang-perorangan antarkelompok-kelompok manusia maupun antara orang-orang perorangan dengan kelompok manusia (Mubarak, 2011).

(25)

2.3.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses interaksi sosial

Menurut Mubarak (2011) berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor-faktor antara lain faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati.

1) Faktor imitasi, faktor yang mempunyai peranan sangat penting dalam proses interaksi sosial yang dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah dan nilai yang berlaku. Imitasi misalnya, mempunyai peranan yang sangat penting dalam interaksi sosial. Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Namun demikian, imitasi mungkin pula mengakibatkan terjadinya hal negatif, misalnya yang ditiru adalah tindakan-tindakan yang menyimpang, imitasi juga dapat melemahkan atau juga bahkan mematikan pengembangan daya kreasi seseorang. 2) Faktor sugesti, faktor yang memberikan suatu pandangan

atau sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak lain. Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberikan suatu pandangan atau sikap yang berasal dari dirinya, kemudian diterima oleh pihak lain. Jadi, proses ini sebenarnya hampir sama dengan imitasi, yang membedakan adalah berlangsungnya sugesti dapat terjadi karena pihak

(26)

yang menerima dilanda oleh emosi, dimana hal tersebut dapat menghambat daya berpikirnya secara rasional.

3) Faktor identifikasi, faktor yang mempunyai kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam dari pada imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini. Identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Nyatalah bahwa berlangsungnya identifikasi mengakibatkan terjadinya pengaruh-pengaruh yang lebih mendalam daripada proses imitasi dan sugesti, walaupun ada kemungkinan bahwa pada mulanya proses identifikasi diawali oleh imitasi dan atau sugesti.

4) Faktor simpati, faktor yang merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya.

(27)

2.3.3. Bentuk-bentuk interaksi sosial

Dalam Mubarak (2011), Kimball Young mengemukakan bahwa bentuk-bentuk proses sosial adalah oposisi (opposition) yang mencakup persaingan (competition) dan pertentangan atau pertikaian (conflict), kerjasama (cooperation) yang menghasilkan akomodasi (accomodation), dan diferensiasi (differentiation) yang merupakan suatu proses dimana orang perorangan di dalam masyarakat memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban berbeda dengan orang-orang lain dalam masyarakat atas dasar perbedaan usia, seks, dan pekerjaan. Diferensiasi tersebut menghasilkan sistem lapisan-lapisan dalam masyarakat. Tamotsu Shibutani mengedepankan pula beberapa pola interaksi, yaitu sebagai berikut.

1) Akomodasi dalam situasi-situasi rutin. 2) Ekspresi pertemuan dan anjuran.

3) Interaksi strategis dalam pertentangan-pertentangan. 4) Pengembangan perilaku masyarakat.

Proses-proses interaksi sosial yang pokok adalah sebagai berikut.

1) Proses-proses yang asosiatif.

a. Kerja sama (cooperation). Menurut Sunaryo (2004), kerja sama adalah suatu usaha bersama antarorang perorang atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Ada lima bentuk kerja sama, yaitu sebagai berikut.

(28)

1) Kerukunan yang mencakup gotong-royong dan tolong-menolong.

2) Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang-barang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih.

3) Kooptasi (cooptation), yakni suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan.

4) Koalisi (coalition), yakni kombinasi antar dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama.

5) Joint-venture, yaitu kerja sama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu. Misalnya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan, antara perawat dan dokter sama-sama melakukan kerja sama, misalnya mendirikan klinik bersama. Home care bersama dan lain-lain.

b. Akomodasi. Menurut Gillin dan Gillin dalam Mubarak (2011), akomodasi adalah suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan. Berikut ini adalah bentuk-bentuk akomodasi.

(29)

1) Koersi, adalah suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan karena adanya paksaan. 2) Kompromi, adalah suatu bentuk akomodasi dimana

pihak-pihak yang terlibat saling mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap penyelesaian yang ada.

3) Arbitrasi, merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak-pihak yang berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri.

4) Mediasi, yaitu melibatkan pihak ketiga sebagai penasihat untuk menyelesaikan secara damai namun tidak berwenang memberi keputusan-keputusan dalam penyelesaian perselisihan tersebut.

5) Konsiliasi, suatu usaha untukn mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama.

6) Toleransi, disebut juga tolerant participation yang merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang bentuknya formal, toleransi timbul secara tidak sadar dan tanpa disengaja hal ini disebabkan karena adanya watak orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang sedapat mungkin menghindarkan diri dari suatu perselisihan.

(30)

7) Stalemate, merupakan suatu proses akomodasi dimana pihak-pihak yang bertentangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya.

8) Adjudication, yaitu penyelesaian perkara atau sengekta di pengadilan.

c. Asimilasi, merupakan proses sosial dalam tingkat lanjut, ditandai dengan adanya berbagai usaha mengurangi setiap perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindakan, sikap, dan prosses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan bersama. Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi antara lain adalah sebagai berikut.

1) Toleransi.

2) Kesempatan-kesempatan yang seimbang di bidang ekonomi.

3) Sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya. 4) Sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam

masyarakat.

5) Persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan. 6) Perkawinan campuran (amalgamation). 7) Adanya musuh bersama dari luar.

(31)

2) Proses-proses yang disosiatif.

Mubarak (2011) menyebutkan bahwa proses-proses disosiatif, sebagai oppositional processes persis halnya dengan kerja sama yang sering ditemukan di masyarakat walaupun bentuk dan arahnya ditentukan dengan kebudayaan dan sistem sosial masyarakat yang bersangkutan. Proses-proses yang disosiatif dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu sebagai berikut.

a. Persaingan (competition), persaingan dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan.

b. Kontravensi (contravention), merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Tipe-tipe kontravensi menurut Leopold Von Wiese dan Howard Becker terdapat tiga tipe umum, yaitu kontravensi generasi masyarakat, kontravensi yang menyangkut seks, dan kontravensi parlementer.

(32)

c. Pertentangan atau pertikaian (conflict), terjadi saat pribadi maupun kelompok menyadari adanya perbedaan-perbedaan, misalnya dalam ciri-ciri fisik, emosi, kebudayaan, pola-pola perilaku, dan seterusnya dengan pihak lain. Pertentangan adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau kekerasan.

2.3.4. Syarat terjadinya interaksi sosial

Menurut Soekanto (2002: 65) sesuatu dinyatakan sebagai Interaksi Sosial jika didalamnya terdapat dua unsur, yakni adanya kontak sosial dan adanya komunikasi:

1. Kontak Sosial (Social Contact)

Kontak sosial merupakan aksi dari individu atau kelompok dan mempunyai makna bagi pelakunya yang kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok lain. Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu sebagai berikut.

a. Antara orang perorangan, misalnya apabila anak kecil mempelajari kebiasaan-kebiaasaan dalam keluarganya. Proses demikian terjadi melalui sosialisasi (socialization), yaitu suatu proses dimana anggota masyrakat baru yang mempelajari berbagai norma dan nilai di tempat dia berada. b. Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia

(33)

bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan norma-norma masyarakat atau apabila suatu partai politik memaksa anggota-anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan ideologi dan programnya.

c. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya, misalnya dua partai politik mengadakan kerjasama untuk mengalahkan partai politik yang ketiga di dalam pemilihan umum, atau apabila dua buah perusahaan bangunan mengadakan suatu kontrak untuk membuat jalan raya, jembatan, dan seterusnya di suatu wilayah yang baru dibuka.

2. Komunikasi (Communication)

Komunikasi adalah bagian dari interaksi sosial, karena tanpa komunikasi sangat sulit seorang individu atau kelompok untuk melakukan interaksi sosial dalam kehidupannya.

2.3.5. Gambaran interaksi sosial ODHA

ODHA atau Orang Dengan HIV/AIDS cenderung mengalami permasalahan dalam berinteraksi sosial dengan masyarakat, karena penyakit HIV/AIDS merupakan penyakit paling ditakuti oleh seluruh masyarakat di dunia, hingga pada umumnya masyarakat akan menghindar atau menjauhi kontak sosial dengan ODHA (Duriah, 2014).

Djoerban (2000) mengungkapkan bahwa ODHA umumnya mengalami depresi, perasaannya tertekan dan merasa tidak berguna,

(34)

bahkan ada yang memiliki keinginan bunuh diri. Ini akibat dari stigmatisasi dan diskriminasi masyarakat terhadap informasi mengenai AIDS dan ODHA.

Kecenderungan rendahnya pemahaman masyarakat tentang HIV/AIDS dapat meningkatkan terjadinya stigma. Akan tetapi ada sebagian dari masyarakat yang masih peduli dan bersimpati serta mendukung ODHA yaitu dengan cara mendirikan yayasan HIV/AIDS yang didirikan oleh orang-orang yang tidak terinfeksi HIV/AIDS. Tetapi disisi lain banyak pula yang masih menunjukkan penolakan secara halus, perlakuan yang berbeda-beda dalam hal perumahan dan pekerjaan. Akibat kurang diterima penderita HIV/AIDS di masyarakat dan stigma yang diberikan masyarakat terhadap ODHA ini telah membuat mereka menjadi orang yang kurang terbuka (Hermawati, 2011).

Referensi

Dokumen terkait

Komponen-komponen dari suatu sistem tenaga listrik pada umumnya terdiri dari pusat pembangkit, dalam hal ini yang digambarkan adalah generatornya., transformator

Faktor-faktor potensi tinggi penyebab perselisihan antara kontraktor dengan pemilik/konsultan pengawas menurut pendapat kontraktor adalah: tingkat kemampuan manajemen,

Hal ini disebabkan makin banyak perekat, semakin baik ikatan antar partikel yang terjadi pada papan partikel ampas tebu yang dihasilkan dan sebagaimana diuraikan dalam penyerapan

Daerah potensi genangan diturunkan dari titik tinggi Peta RBI menggunakan teknik interpolasi Spline with Barriers untuk menghasilkan model permukaan digital (DEM). DEM

(KALENHUDİN)kalnehudin, Berişanin.: İsimleri Dahi ;Eğer İstersen HAlvette Ervah İle Konuşmak İ ersen Öd Günlük Mahlep İle Buhurladıktan sonra İsimleri Tilavet Edip 12

3HPEHODMDUDQ WXWRULDO \DQJ GLPDNVXG GDODP NHJLDWDQ LQL DGDODK GLPDQD SHPEHODMDUDQ GLODNXNDQ VHFDUD PDQGLUL XQWXN PDWHULPDWHUL \DQJ

5) Alokasi waktu ditentukan sesuai dengan keperluan untuk mencapai KD dan beban belajar dengan mempertimbangkan jumlah jam pelajaran yaang tersedia dalam silabus dan KD

Adanya Kontak Sosial (sosial contact). Kata kontak berasal dari bahasa latin, secara fisik kontak sosial dapat terjadi apabila ada sentuhan badan, tetapi dengan perkembangan