• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPTIMASI PRODUKTIVITAS LAHAN DI WILAYAH KPH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OPTIMASI PRODUKTIVITAS LAHAN DI WILAYAH KPH"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 OPTIMASI PRODUKTIVITAS LAHAN DI WILAYAH KPH

Enny Widyati

Peneliti Biologi Tanah dan Kesuburan Lahan

Kelompok Peneliti Bina Usaha Kehutanan/Perhutanan Sosial Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan

(enny_widyati@yahoo.com) PENDAHULUAN

Masalah yang sedang dan akan dihadapi oleh umat manusia di masa yang akan datang adalah kelangkaan pangan, energi dan air (food, energy and water scarecity = FEWS). Sehingga di masa depan negara yang memiliki cadangan pangan dan energy terbesar akan menjadi negara yang paling kuat. Hal ini karena jumlah penduduk yang semakin meningkat, sehingga memerlukan kebutuhan pangan, papan, energi dan air bersih yang semakin meningkat. Di lain sisi, lahan yang digunakan untuk memproduksi pangan tidak bertambah bahkan cenderung menyempit. Selain itu, energi yang disandarkan pada bahan bakar fosil makin lama juga akan makin habis. Oleh karena itu perlu dioptimasikan produktivitas lahan dan hutan dalam menghasilkan pangan, energi dan mengkonservasi air.

Hutan alam di Indonesia seluruhnya dikelola oleh negara. Pihak swasta atau BUMN diijinkan ikut serta dalam pengurusan hutan melalui ijin HPH (hak pengusahaan hutan) sesuai peraturan yang berlaku. Adapun pengelolaan hutan di luar kawasan yang dibebani HPH dikelola dengan sistem KPH (kawasan pemangkuan hutan). Optimasi produktivitas lahan merupakan salah satu kegiatan KPH tahap ke-6 yaitu Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan KPH.

Menjawab issue FEWS, KPH dapat mengoptimasi produktivitas lahan melalui pemanfaatan lahan bawah tegakan untuk meingkatkan ketahanan pangan, ketahanan energi, kecukupan air dan peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Optimasi produktivitas lahan yang umum dikenal adalah dengan penerapan pola agroforestry.

Pola agroforestry merupakan kegiatan yang mengkombinasikan produksi tanaman semusim (tanaman pangan, obat-obatan, pakan, dll) dengan tanaman kehutanan (dapat memproduksi kayu, HHBK dan jasa lingkungan) dalam satu hamparan yang sama. Dengan demikian dalam sekali pengusahaan dapat diperoleh tanaman pangan, kayu energi, tegakan hutan yang baik dapat menjamin ketersediaan air.

(2)

2 FAO (2006) mendefinisikan agroforestry sebagai suatu dinamika sistem pengelolaan sumber daya alam yang berbasis ekologi dengan mengintegrasikan penanaman pohon-pohon pada lahan pertanian dalam satu kesatuan lansekap. Agroforestry dapat menganekaragamkan dan melestarikan produksi lahan sehingga dapat meningkatkan manfaat sosial, ekonomi dan ekologi lahan pada semua tingkatan. Dengan demikian, agroforestry adalah seni dan pengetahuan untuk memanfaatkan lahan pada hutan alam atau hutan tanaman, semak, dengan tanaman pertanian dan atau ternak pada suatu unit lahan dengan meningkatkan keanekaragaman tanaman pertanian dan produktivitas tanaman kehutanan sekaligus melestarikan sumber daya alam. Pola agroforestry melibatkan berbagai macam tanaman dengan interaksi yang tinggi antara tanaman kehutanan dengan tanaman lainnya. Agroforestry dapat dilakukan melalui penanaman pohon pada lahan pertanian, atau dengan menanam tanaman pertanian di lahan hutan (Gambar 1).

Gambar 1. Agroforestry dapat dilakukan dengan menanam pohon di antara tanaman pertanian (kiri), atau menanam tanaman pangan di hutan (kanan)

Sistem agroforestry dipraktekkan hampir di seluruh dunia, terutama di daerah tropis. Pola yang ditemukan terdiri atas berbagai macam jenis tanaman kehutanan dipadukan dengan tanaman pertanian, kebun buah-buahan, taman bunga, pakan ternak, kayu bakar, jalur penyangga, dan lain-lain.

Konsep agroforestry (pemaduan kehutanan dan pertanian) sesungguhnya telah dipraktekkan sejak lama, namun baru menjadi bahasan oleh para peneliti pada tahun 1930an. Pola ini baru mulai dikembangkan pada tahun 1970an, dan sistem ini sampai saat ini belum sepenuhnya dapat diterima terutama oleh sektor pertanian. Menurut mereka sistem ini mengurangi lahan produksi pertanian, sehingga pola ini cocok diterapkan di lahan kehutanan dengan memasukkan tanaman non kehutanan ke lahan hutan (FAO, 2006).

(3)

3 KEUNTUNGAN AGROFORESTRY

Agroforestry menyediakan pilihan pemanfaatan lahan yang berbeda dengan lahan pertanian umumnya atau lahan kehutanan. Hal ini dapat saling melengkapi antara komoditas pertanian dengan kehutanan yang dapat disediakan oleh suatu hamparan lahan, sehingga sumberdaya dapat tereksploitasi lebih efektif. Saat ini pola agroforestry modern yang efisien telah banyak dikembangkan di negara-negara maju, dengan menerapkan mekanisasi. Sehingga agroforestry tetap produktif bagi petani, sekaligus dapat meningkatkan pemasukan dari hasil tanaman kehutanan. Agroforestry memungkinkan adanya diversivikasi kegiatan pertanian dan memperbaiki lingkungan.

Agroforestry memberikan keuntungan yang menarik terhadap 3 (tiga) sektor yang berbeda, sektor pertanian, sektor kehutanan dan lingkungan.

Bagi sektor Pertanian (arable perspective)

1.

Menganekaragamkan aktivitas dengan menanam pohon-pohon bernilai yang diwariskan secara turun temurun, tanpa mengganggu produktivitas tanaman pertanian yang telah dibudidayakan.

2.

Melindungi tanaman pertanian dari angin, paparan cahaya matahari berlebihan, hujan, membantu pertumbuhan mikroba pembantu pertumbuhan, tanaman hutan dapat dijadikan sebagai pest breaker bagi tanaman pertanian.

3.

Membantu memulihkan atau memasok unsur hara yang hilang melalui erosi dengan memasok serasah dan eksudat akar.

4.

Pada pola silvopastura, lahan membantu menyediakan pakan ternak, mencegah terjadinya penggembalaan liar.

Bagi sektor Kehutanan

1. Percepatan pertumbuhan diameter pohon karena jarak tanam yang lebar (80% pada tanaman penelitian umur 6 tahun). Sehingga dapat mengurangi biaya pemeliharaan. 2. Ruang tumbuh yang optimal akan meningkatkan kualitas produksi kayu (lingkaran

tahun melebar, alur kayu menjadi lebih bagus sehingga lebih menarik untuk bahan mebel), karena pohon tidak terlalu terdesak berkompetisi dengan tanaman lain dan tidak memerlukan penjarangan.

(4)

4 3. Perawatan yang dilakukan terhadap tanaman pertanian akan berdampak positif terhadap tanaman kehutanan. Terutama pemupukan dan perlindungan terhadap kebakaran, hama penyakit dan gulma.

4. Tanaman pertanian pada sistem agroforestry akan meningkatkan pendapatan petani (tanaman pertanian merupakan komplemen bukan kompetitor karena kebutuhan nutrisi berada pada zona ke dalaman yang berbeda).

Bagi Lingkungan

1.

Memperbaiki produktivitas sumber daya alam: total kayu yang didapatkan dan produktivitas tanaman pertanian dari lahan yang diusahakan dengan pola agroforestry lebih tinggi dibandingkan dengan kalau diusahakan secara terpisah dengan total luas lahan yang sama. Hal ini karena adanya efek komplimenter antara tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian pada lahan tersebut. Di samping itu, gulma yang biasanya muncul pada saat tanaman kehutanan masih muda tergantikan oleh tanaman pertanian atau pakan, sehingga gulma tidak akan tumbuh.

2.

Penerapan sistem agroforestry membantu mengurangi ekspansi pembukaan lahan untuk budidaya tanaman pangan. Seperti diketahui banyak masyarakat yang membuka hutan untuk menanam padi huma dengan sistem ladang berpindah. Penerapan pola agroforestry secara intensif dapat membantu mengatasi masalah tersebut.

3.

Terciptanya lansekap yang bagus antara lahan pertanian dan kehutanan dalam suatu hamparan yang sama membuat lahan menjadi atraktif (Gambar 2) untuk kawasan wisata. Kawasan agroforestry yang ditata semenarik mungkin memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata, hal ini dapat mengangkat image petani di mata masyarakat.

Gambar 2. Lansekap agroforestry yang ditata secara atraktif dapat dikembangkan sebagai kawasan ekowisata

(5)

5

4.

Membantu mengatasi efek gas rumah kaca, komposisi yang sesuai antara tanaman pertanian dengan tanaman kehutanan dapat secara efektif sebagai sarana penyerapan karbon (carbon sequestration) karena tanaman kehutanan akan menyerap karbon, sementara tanaman pertanian akan memanfaatkan bahan organik yang dipasok oleh tanaman kehutanan secara cepat.

5.

Melindungi tanah dan air terutama pada daerah-daerah yang rawan (misalnya lahan dengan curah hujan tinggi dan kemiringan curam).

6.

Meningkatkan keanekaragaman hayati terutama melalui kemelimpahan di tepi lansekap (edge effects). Hal ini akan memberikan perbaikan sinergis melalui pembentukan habitat yang penting. Perlindungan terpadu oleh tanaman pertanian yang berasosiasi dengan tanaman kehutanan akan dapat menurunkan populasiserangan hama dan penyakit tanaman. Hal ini disamping akibat tanaman yang tidak monokultur juga karena menurunnya kelembaban.

BEBERAPA CONTOH KEUNTUNGAN EKONOMI DARI AGROFORESTRY

Hasil kajian pada tahun 2007 di Propinsi Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur rata-rata menunjukkan bahwa masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya melalui kegiatan PLBT (pemanfaatan lahan bawah tegakan). Berikut ini adalah contoh-contoh optimalisasi lahan bawah tegakan.

1. Masyarakat Desa Bumisari, Kec. Bojongsari, Kab. Purbalingga, Jawa Tengah

Masyarakat desa ini memanfaatkan lahan di bawah tegakan sengon pada lahan milik dengan menanam cabai, singkong dan talas. Optimasi yang dilakukan dapat memberikan hasil seperti tercantum dalam Tabel 1. Dari hasil wawancara ketika sengon ditanam secara monokultur masyarakat dapat memperoleh kayu pada akhir daur (5 – 6 tahun) sebanyak 200 batang. Per batang harganya Rp. 500.000 di lapangan. Selain itu masyarakat dapat menjual hasil penjarangan sebagai kayu bakar sebanyak kira-kira 5 truk selama daur dengan harga 2 juta/truk. Dengan demikian dengan menunggu selama 5 – 6 tahun masyarakat mendapatkan hasil sebesar RP. 110.000.000/ha.

Ketika tanaman sengon ditumpangsarikan dengan tanaman pangan, masyarakat tidak perlu melakukan penjarangan karena jarak tanam sengon 5 x 10 m. Hasilnya lebih baik daripada yang ditanam monokultur sehingga harga yang didapat per batang lebih tinggi (Tabel 1). Di samping hasil dari tanaman pangan berupa uang, agroforestry juga dapat

(6)

6 meningkatkan ketahanan pangan. Jumlah dalam Tabel 1 tersebut belum menggambarkan keseluruhan hasil tanaman pangan, karena masih disisakan cabai, singkong dan talas untuk keperluan keluarga.

Tabel 1. Perkiraan pendapatan masyarakan Bojongsari Purbalingga dengan menerapkan pola agroforestry sengon-tanaman pangan per/ha/tahun

Jenis

pengusahaan komoditas

Jumlah

produksi Harga satuan Total 5-6 tahun* Monokultur Sengon (3 x 3) 200 batang

Kayu bakar penjarangan 500.000/btg 5 truk selama 5 tahun 100.000.000 10.000.000 Agroforestry Sengon (5 x 10) Cabe Talas Singkong 200 batang 1-2 ton/th 1 ton/th 4 ton/th 600.000/btg 5.000/kg 800/kg 500 12.000.000 2.500.000 – 5.000.000 4.000.000 10.000.000

*Jumlah tersebut belum dikurangi harga pembelian bibit (Rp. 500/batang), pupuk, sarprotan dan tenaga kerja

2. Kelompok Tani Sidomakmur Desa Kalimendong, Leksono, Wonosobo, Jawa Tengah Masyarakat desa ini membudidayakan salak di bawah tegakan sengon pada lahan milik. Sengon di tanam dengan jarak 5 x 4 m, sedangkan salak ditanam sebanyak 2000 rumpun/ha. Kelompok tani ini beranggotakan 500 orang dengan lahan yang digarap seluas 297 ha. Salak mulai di panen ketika berumur 3 tahun sampai 20 tahun (selama 17 tahun), sedangkan sengon dipanen pada umur 5 tahun. Rekapitulasi pendapatan kotor masyarakat (belum termasuk harga bibit, pupuk dan tenaga kerja) disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkiraan pendapatan masyarakan Kalimendong, Wonosobo dengan menerapkan pola agroforestry sengon-salak per/orang/tahun

Jenis

komoditas Produksi Harga satuan Total Pendapatan/orang/tahun* Sengon (batang) Salak (kg) 297 ha x 500 = 148.500 2000 x 297 x 17 th = 10.098.000 500.000 4.000 74.250.000.000 40.392.000.000 2.970.000 4.752.000

*Jumlah tersebut belum dikurangi harga pembelian bibit (Rp. 500/batang), pupuk, sarprotan dan tenaga kerja

3. Masyarakat Kelompok Tani Wonolestari, Desa Kare Kab. Madiun, Jawa Timur Masyarakat Desa Kare mengusahakan agroforestry antara Jati dengan tanaman pangan dan pakan ternak (agrosilvopastura). Kelompok tani yang beranggotakan 66 orang menanam jati pada lahan kosong milik kas desa seluas 66 ha. Di sela-sela tanaman jati masyarakat

(7)

7 menanam kacang tanah, jagung, singkong, jahe, kunyit, pisang dan rumput gajah. Masyarakat menanam rumput gajah untuk memberi pakan sapi perah sebanyak 32 ekor. Hasil kotoran dan sisa pakan sapi diolah menjadi bokashi dengan produksi 50 ton/tahun. Hasil peningkatan produksi karena optimasi lahan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Perkiraan pendapatan masyarakan Desa Kare Madiun dengan menerapkan pola agrofarmasilvopastura di bawah tegakan Jati muda per/hektar (orang)/tahun** Komoditas yang

dihasilkan Produksi Harga satuan Total*

Jagung Kacang tanah Singkong Pisang Jahe emprit Kunyit

Rumput gajah (susu 32 ekor sapi) Bokashi Jati 2 ton 500 kg kering 4 ton 50 tandan 2 ton 8 ton 116.800 liter 50 ton Belum dihitung 3000 10.000 500 10.000 20.000 600 2.450 400.000 6.000.000 5.000.000 2.000.000 500.000 40.000.000 4.800.000 286.160.000 20.000.000 ** anggota kelompok 66 orang mengelola bersama-sama

*Belum termasuk harga bibit, pupuk, sarprotan, tenaga kerja

Dengan demikian, dari Tabel 3 apabila dihitung rata-rata tambahan hasil yang diperoleh oleh petani masing-masing sebesar Rp. 5.522.120 rupiah/tahun belum termasuk bagi hasil panen jati yang akan diperoleh pada tahun ke-15.

4. Masyarakat Donorejo Kec. Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah

Masyarakat Donorejo memiliki lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) Bangun memanfaatkan lahan bawah tegakan Pinus milik Perum Perhutani dengan menerapkan pola agrofarmasilvopastura. Masyarakat menanam pakan ternak kambing etawa, tanaman pangan, jahe dengan jumlah seperti disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkiraan pendapatan masyarakan Desa Donorejo dengan menerapkan pola agrofarmasilvopastura di bawah tegakan pinus (per hektar)

Komoditas yang

dihasilkan Produksi Harga satuan Total

Jagung pipil

Kacang tanah wose Singkong Jahe Kaliandra 250 kg 220 kg 900 kg 900 kg 3 ton 3000 10.000 1.000 4.000 400.000 750.000 2.200.000 900.000 3.600.000 1.200.000* *Kaliandra tidak dijual tetapi digunakan sebagai pakan kambing etawa

(8)

8 Masyarakat tidak memperoleh banyak tambahan pendapatan dari hasil tanaman pertanian karena tanaman pinus sudah besar (tajuknya rimbun). Tetapi masyarakat mendapat pembagian dari hasil sadapan pinus sebesar 5% netto. Pada umumnya masyarakat juga menjadi buruh penyadap dengan upah sesuai standar yang berlaku. Keuntungan yang paling dirasakan oleh masyarakat adalah ternak kambing etawa mereka yang tumbuh dan berkembang biak dengan baik karena kecukupan pakan dari hasil menanam kaliandra di bawah tegakan pinus tersebut.

5. LMDH Argomulyo Desa Sugihwaras, Nganjuk beranggotakan 239 KK mengelola lahan hutan Jati milik Perum Perhutani dengan menanam tanaman porang di bawah tegakan. Dalam tiap hektar masyarakat menyiapkan bibit Rp. 2.000.000 setelah setahun dapat memanen porang 10 ton/ha dengan harga 1000/kg. Selain umbi porang, sebelum dipanen tanaman porang juga menghasilkan umbi kecil-kecil di daun yang disebut “katak” yang dapat dijadikan sebagai bibit. Dalam tiap hektar dapat dipanen setidaknya 950 kg “katak” dengan harga Rp. 15.000/kg sehingga didapatkan 14.250.000/ha. Selain umbi dan “katak” masyarakat juga dapat memanen iles-iles yang tumbuh liar di bawah tegakan jati. Tiap hektar masyarakat dapat memperoleh 10 ton iles-iles dengan harga Rp. 300/kg. Dengan demikian untuk tiap hektar (biasanya disanggem 4 orang) masyarakat mendapatkan tambahan 8.000.000 (panen porang), 14.000.000 (panen katak) dan 3.000.000 (panen iles-iles) = (21 juta/ha) atau per orang/tahun didapatkan tambahan income sebesar 5.250.000 rupiah/tahun.

6. Agroforestry juga dipraktekkan di China dan Korea dengan memanfaatkan lahan bawah tegakan dengan tanaman ginseng dan tanaman obat lainnya. Hasil kegiatan tersebut dapat menghasilkan kayu dan kayu bakar yang berkualitas lebih baik dari pada di hutan tanpa agroforestry. Tambahan hasil ginseng sebesar $370/pound. Adapun di China di bawah tanaman poplar digunakan untuk meliarkan ayam (Gambar 3).

(9)

9 7. Agroforestry di Lahan Gambut Menjadi Mata Pencaharian Utama Desa Kelampangan,

Kalimantan Tengah

Masyarakat desa ini umumnya merupakan transmigran asal Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selama menjadi transmigran masyarakat gagal mengusahakan tanaman pertanian dan kehutanan selama beberapa tahun karena masyarakat yang berasal dari Jawa tidak memiliki pengalaman bercocok tanam di lahan gambut. Akibatnya mereka menyiapkan lahan dengan membakar secara berpindah-pindah di lahan milik mereka yang seluas 2 ha. Akhirnya pada tahun 2001 BPDAS Kahayan Kalteng memberi pendampingan masyarakat untuk menanam HHBK Jelutung yang ditumpangsarikan dengan tanaman sayur mayur dan tanaman pangan. Setelah 7 tahun diberi bantuan pupuk, amelioran dan pendampingan teknis, agroforestry di lahan gambut dapat menjadi mata pencaharian utama masyarakat. Mereka membentuk kelompok tani hutan beranggotakan 24 KK mengelola lahan milik mereka seluas 24 ha (24 ha lainnya dibiarkan menghutan) dengan hasil yang sangat mencengangkan (Tabel 7).

Tabel 7. Perkiraan pendapatan masyarakat agroforestry di lahan gambut Kelampangan, Kalteng Komoditas Produksi/ha/6 bulan Harga

satuan Total Jagung Kangkung Bawang daun Cabai Sawi Jelutung* 500 – 800 kg 1.000 – 1.300 kg 1.000 – 1.300 kg 1.000 – 1.100 kg 1.000 – 1.200 kg 100 -140 kg (x 156 batang) 3.000 2.000 5.000 10.000 1.000 8.000 1.500.000 – 1.800.000 2.000.000 – 2.600.000 5.000.000 – 6.500.000 10.000.000 – 11.000.000 1.000.000 - 1.200.000 800.000– 1.120.000 (x 156 batang) *Jelutung mulai bisa dipanen pada umur 7 tahun

Pendapatan masyarakat dari agroforestry sebelum bisa memanen jelutung pada umur & tahun minimal rata-rata Rp. 3.500.000 per bulan. Pendapatan ini bersih karena sebelum masyarakat bisa mandiri semua sarprotan dibantu oleh BPDAS, adapun tenaga kerja adalah anggota keluarga atau anggota kelompok yang bekerja secara gotong royong (Widyati, 2009).

PENUTUP

Optimasi produktivitas lahan merupakan salah satu solusi untuk menjawab issu FEWS. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan menerapkan sistem agroforestry baik di bawah tegakan tanaman muda atau di bawah tegakan tanaman yang sudah produktif/tegakan jadi. Kegiatan ini akan memberi manfaat baik secara ekologi, ekonomi maupun sosial, yaitu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat tidak hanya mendapatkan manfaat langsung berupa pendapatan uang, tetapi juga mendapat manfaat tidak langsung seperti tercukupinya pakan ternak serta air bersih. Pola yang

(10)

10 dipilih sebaiknya ditentukan berdasarkan kondisi biofisik dan sosial budaya setempat. Selain memperhatikan kondisi dan status lahan, hal lain yang harus menjadi pertimbangan adalah permintaan pasar dan kebiasaan masyarakat dalam melakukan budidaya tanaman.

PUSTAKA ACUAN

Food and Agricultural Organization, 2006. Agroforestry systems. Dapat diakses di http://www.fao.org/forestry/tof/50667/en/)

Gintings, A. N., E. Widyati, Syafrudin. 2007. Laporan Hasil Kajian Sukses Story Pembangunan Hutan Bersama Masyarakat di Jawa. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor

Widyati, E. 2009. Kajian ameliorasi tanah gambut di Sumatera dan Kalimantan. Laporan Penelitian. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.

Gambar

Gambar 1. Agroforestry dapat dilakukan dengan menanam pohon di antara tanaman  pertanian (kiri), atau menanam tanaman pangan di hutan (kanan)
Gambar 2. Lansekap agroforestry yang ditata secara atraktif dapat dikembangkan  sebagai kawasan ekowisata
Tabel 1. Perkiraan pendapatan masyarakan Bojongsari Purbalingga dengan menerapkan pola  agroforestry sengon-tanaman pangan per/ha/tahun
Tabel  3.  Perkiraan  pendapatan  masyarakan  Desa  Kare  Madiun  dengan  menerapkan  pola  agrofarmasilvopastura di bawah tegakan Jati muda per/hektar (orang)/tahun**
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian dengan judul “Responsivitas PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) dalam menyediakan informasi publik (Studi Pada Dinas Kesehatan Provisnsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Bangka Belitung Hak Bebas Royalti Nonekslusif Non-exclusive Royalti-Free Right atas skripsi saya

DBL INDONESIA (Studi tentang Implementasi Integrated Marketing Communications dalam Komunikasi Pemasaran PT. DBL Indonesia 2014) ini disusun sebagai bentuk

DAN ENTITAS ANAK CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN KONSOLIDASIAN LANJUTAN TAHUN BERAKHIR 31 DESEMBER 2016 DAN 2015 Dinyatakan dalam jutaan Rupiah, kecuali dinyatakan lain PT

hasil yang berbeda ditunjukkan dengan studi yang dilakukan oleh (Dwiwiyati Astogini et al., 2011) yang mengatakan bahwa tingkat religiusitas tidak mempunyai pengaruh yang

Gambar 2.10 Perspektif Zona A – Tahap Mengerti (Pendapa) Zona A merupakan zona untuk pengenalan akan fasilitas ini, berisi area penerima, galeri, dan museum alat

Guspri Devi Artanti, S.Pd, M.Si selaku Koordinator Program Studi Pendidikan Tata Boga, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Jakarta, sekaligus dosen pembimbing yang

Membuat kue burayot pada anak tunagrahita ringan kelas xii di slb c ykb garut Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu. Kotak plastik