• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM ESTETIKA DAN TEORI PENILAIAN DALAM KRITIK SASTRA Oleh: Drs. Heru Marwata,M.Hum.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUKUM ESTETIKA DAN TEORI PENILAIAN DALAM KRITIK SASTRA Oleh: Drs. Heru Marwata,M.Hum."

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM ESTETIKA DAN

TEORI PENILAIAN DALAM KRITIK SASTRA Oleh: Drs. Heru Marwata,M.Hum. A. Pengantar 1

Sekarang ini beredar buku-buku yang dapat dikatakan sebagai pemandu bagi para penulis pemula. Isi buku-buku seperti itu biasanya penjelasan tentang cara menulis, berisi teori dan sekaligus contoh pemraktikannya. Dalam buku-buku itu tentu saja terdapat pula hal-hal yang disarankan untuk ditempuh dan hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan. Inilah hal menggelitik berkaitan dengan membahas hukum estetika, khususnya tentang hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam menulis.

Masalah estetika juga berhubungan dengan penilaian terhadap suatu karya sastra. Penilaian terhadap sebuah karya tak jarang dikaitkan dengan estetik tidaknya karya tersebut. Untuk sekedar memberikan gambaran tentang keduanya, dalam diktat ini akan dikedepankan masalah hukum estetika dan beberapa model penilaian terhadap karya sastra. Agar gambaran yang disajikan lebih jelas, pengutaraan masalah akan ditampilkan satu per satu secara berurutan mulai dan hukum estetika.

1. Ribuan Pertanyaan Inginkan Jawaban

Benarkah bahwa yang diperlukan oleh seorang penulis pemula (calon sastrawan, khususnya) adalah seperangkat aturan yang berisi petunjuk tentang sesuatu yang boleh bisa dilakukan dan yang tidak dapat atau tidak boleh dilakukan dalam menulis sebuah fiksi? Kalau benar, bukankah sekarang ini banyak beredar buku yang secara “berani” mengklaim diri sebagai petunjuk cara menulis (fiksi)? Nah, selesai sudah masalah itu.

Bukankah buku yang berisi teknik menulis (fiksi) itu “bilang” bahwa menulis itu gampang? Bukankah itu menyiratkan bahwa yang disebut sebagai aturan menulis itu memang ada, dan sekaligus dapat dibaca, dipelajari, dihafal, dan dipraktikkan? Dengan demikian, bukankah dapat dijamin bahwa orang yang memahami dan menghafal aturan-aturan itu akan dapat menulis (fiksi) secara baik (dan benar)?

(2)

Atau, benarkah bahwa orang yang dapat menulis secara baik hanyalah yang menguasai teknik menulis, memahami aturan dan mengerti hukum estetika? Bagaimanakah kedudukan bakat dan latihan dalam hubungan ini? Lalu, apakah yang disebut hukum estetika itu ada? Jika ada, bisakah dipelajari atau dihafal dan dipraktikkan?

2. Sastrawan >< Virus Hukum Estetika

Jika seorang penulis berkeyakinan bahwa ketika ia menulis ada hal-hal tertentu yang harus dihindari atau harus dilakukan, sesungguhnya saat itu ia telah terinfeksi oleh virus yang oleh John Gardner (1991) disebut sebagai aesthetic arthritis--virus permasalahan estetik. Permasalahan itu mengarah ke keadaan yang identik dengan pameran keilmuan secara buta, dan cenderung mengesampingkan, bahkan membuang intuisi. Agar tidak terinfeksi virus hukum estetika, orang seyogyanya menghilangkan keyakinan tentang adanya hal yang haram dan yang halal bagi seorang penulis.

3. Seni dan Hukumnya Sendiri

Menurut Gardner, setiap karya seni--yang sebenarnya-- harus dinilai oleh hukum-hukumnya sendiri. Jika tidak memiliki hukum sendiri, atau jika hukumnya tidak koheren, seni itu telah gagal sejak masih di dasar pijakannya. Artinya, apakah ini merupakan fakta bahwa dalam sastra memang ada hukum?

Sebenarnya, kata Gardner, pencarian hukum estetika yang mutlak adalah membuang energi secara salah. Memang layak dipercaya bahwa ada estetika umum. Namun, ia ada di tingkat yang tinggi dan suatu abstraksi. Pengandaian adanya estetika mutlak selalu berada dalam tekanan. Hukum estetika itu memang ada, tetapi terpecah-pecah.

Sebagai contoh, ada pemikiran bahwa semua harapan yang ditimbulkan oleh karya sastra harus terpuaskan, baik secara implisit maupun eksplisit. Artinya, Dalam fiksi, pertanyaan yang muncul dalam pikiran pembaca harus terjawab, dengan cara yang cerdik, di dalam karya itu sendiri. Apakah memang harus demikian?

Jika kita menyatakan bahwa seorang polisi dalam cerita yang kita tulis adalah seorang doktor ilmu ekonomi, harapan yang timbul dalam diri pembaca adalah bahwa bagaimanapun caranya ilmu ekonomi itu akan membantu si polisi dalam melaksanakan tugasnya. Jika ilmu itu tidak kita sebut lagi dalam cerita, kita

(3)

mungkin merasa kehilangan sesuatu. Akibatnya, sangat mungkin ada pembaca yang mengatakan bahwa kita telah menulis secara sembrono, serampangan, atau bahkan ada yang secara sinis mengatakan bahwa kita tidak cermat. Dengan demikian, apakah berarti bahwa karya sastra harus menjawab semua pertanyaan yang timbul? Apakah dengan demikian juga berarti bahwa semua unsur sebuah karya harus mencukupi diri mereka sendiri (seperti yang ditegaskan dalam prinsip strukturalisme)?

4. Prinsip-prinsip Menulis Tetap Bermanfaat

Mungkin tidak ada yang menyangkal bahwa prinsip-prinsip menulis bermanfaat bagi penulis pemula, khususnya jika diterapkan secara benar. Mungkin tidak ada yang mengingkari bahwa setiap saat seorang penulis melengkapi karya barunya dengan prinsip-prinsip itu. Akan tetapi, kenyataannya, hukum estetika tetap jauh dan mutlak atau absolut. Apalagi sedari awal para penulis besar memang telah menunjukkan ketidaksabaran terhadap prinsip-prinsip itu. Ada pula yang tidak ambil pusing, tidak peduli, barangkali.

Pada saat membaca teks sastra kita selalu berhadapan dengan pertanyaan pertanyaan yang muncul dalam din kita. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu ada yang mudah, ada yang agak sulit, dan ada pula yang sangat sukar kita peroleh. Apakah ini berarti bahwa prinsip-prinsip umum tadi kurang bermanfaat? 5. Estetika Melawan Perasaan

Seni sangat tergantung pada perasaan, intuisi, dan rasa. Perasaanlah, bukan beberapa peraturan, yang menyuruh (mengilhami, katakanlah demikian) seorang pelukis memilih warna hijau, kumng, atau merah (untuk “kampanye”?). Perasaanlah yang menuntun serang pelukis agar wama tertentu diletakkan di suatu tempat, dan bukan di tempat lain. Namun, perasaan pulalah yang nantinya mungkin mengatakan bahwa warna-wama itu harus diganti (kuningisasi (penguningan) >< putihisasi (pemutihan?) atau hijauisasi (penghijauan?)) dengan warna lainnya.

Perasaanlah yang membimbing seorang komposer untuk mengubah nada suatu lagu. Kepada penulis, perasaan memberi irama dalam kalimat, memberi pola pada awal dan akhir episode, memberi proporsi unsur- unsur alternatif sehingga alurnya menjadi lancar, dan seterusnya. Apakah ini berarti bahwa ada

(4)

perlawanan antara hukum estetika dengan perasaan, atau mungkinkan perasaan itu sebenarnya adalah bagian dan hukum estetika, atau justru sebaliknya?

6. Insting >< Kecerdasan

Penulis besar memiliki insting kuat untuk melakukan hal-hal yang disebut di atas. Ia memiliki kemampuan mengolah waktu secara sempuma. Insting itu menyentuh dan menyatu seperti menyatunya setiap benang dengan kain yang dibentuknya (setiap unsur dengan struktur?). Ia mengetahui secara pasti--lewat ketajaman intuisi, kekuatan insting, dan kepekaan perasaannya--kapan dan di mana harus berpikir dan kapan serta di mana memunculkan kejutan. Hal-hal seperti ini biasanya terdapat dalam karya-karya besar, dan amat jarang muncul dalam karya sastra “biasa”.

Insting memang sangat penting. Akan tetapi, bukan berarti bahwa kecerdasan bukan hal yang penting pula. Seorang penulis harus berpikir secara lengkap, apa arti fiksinya, atau mencoba memberi arti pada karyanya itu. Dalam hal inilah ia harus menimbang, mengingat-ingat, dan memutuskan sesuatu secara cermat. Ia harus berpikir seteliti seorang ahli matematika, tetapi ia pun harus mengetahui dengan intuisinya ketika mengorbankan ketepatannya untuk mencapai beberapa tingkatan kebaikan yang lebih tinggi, ketika menyederhanakan sesuatu untuk mendapatkan efek tertentu, ketika mengambil potongan-potongan pendek untuk disusun ulang, ketika menjaga bagian awal tetap di depan dan bagian akhir di belakang, dan seterusnya. Ketajaman insting yang dipadu dengan kecerdasan akan menjadi kesatuan yang “anggun” sekaligus “kokoh” dalam proses pelahiran karya sastra.

7. Terkoyak sebelum Beranjak

Ada banyak teknik yang dapat dipelajari dan diajarkan. Ada pertimbangan-pertimbangan moral dan estetik yang secara cepat atau lambat diambil sedikit oleh seorang penulis serius untuk kesempumaan karyanya. Ada kesalahan-kesalahan umum yang berulangkali terjadi dalam suatu karya (yang gagal), kesalahan yang dapat ditunjukkan apa saja macam atau jenisnya dengan analisis. Pendeknya, banyak hal yang harus diperhatikan oleh seorang penulis serius. Akan tetapi, di sana tetap tidak ada aturan, tidak ada hukum. Apalagi hukuman bagi para pelanggamya: sungguh-sungguh tidak ada.

(5)

Banyak sastrawan yang menawarkan beberapa karya baru dan sekaligus “mengoyak” aturan-aturan di atas sebelum aturan itu meyakinkan orang (tentang keberadaan dan bentuknya). Kebaruan merupakan masalah utama seni. Merupakan satu kesenangan besar setiap sastrawan jika kemunculannya membuat hal yang sangat buruk menjadi berterima, sebagaimana ketika seorang pelukis membuat harmonis warna- warna yang berbeda secara tajam (kontras), atau ketika seorang penulis dalam tradisi superrealis berhasil menghadirkan hantu dan sekaligus memperkenalkannya secara meyakinkan.

Deskripsi dan penjelasan-penjelasan di atas bukan untuk menyatakan bahwa tak seorang pun benar-benar mengetahui apakah fiksi itu, atau apa saja batas-batasnya. Adalah hal mudah untuk mengakui bahwa nilai atau staying power (kekuatan yang menetap?) dan setiap unsur sastra telah ada lengkap dengan sifat/ciri dan kepribadian pengarang yang menciptakannya: pengarang yang mencipta dengan instingnya, dengan pengetahuannya tentang seni dan dunia, dengan penguasaannya (ke-master-annya). Yang diperlukan penulis pemula bukanlah seperangkat aturan, tetapi penguasaan, kemasteran.

Jika kita cukup tua (dalam usia) dan cukup berpengalaman, misalnya, kita akan dapat dengan mudah mengetahui dan mengenali apakah sesuatu itu membosankan, menyenangkan, terlalu sederhana, terlalu kompleks, dan seterusnya. Memang harus diakui bahwa untuk pembacaan yang baik diperlukan semacam penguasaan atau kemasteran tertentu--apa pun itu.

8. Unsur-unsur Penguasaan/Kemasteran yang Berbaur

Unsur kepengarangan seorang penulis besar terdiri dan dua macam. Pertama, mungkin kita dapat menyebutnya secara bebas sebagai “kewarasan kemanusiaan”, yakni keadaan yang membuatnya layak dipercaya sebagai seorang hakim untuk berbagai masalah. Sifat itu berakar secara mantap dalam sejumlah kualitas kompleks dan sifat dan kepnbadian penulis (kearifan, kedermawanan, belas kasihan, keinginan yang kuat, dan lain-lainnya) terhadap apa yang kita tanggapi, ketika kita menanggapi sesuatu yang terbaik dalam diri sahabat kita dengan pengakuan dan kekaguman yang tepat.

Unsur yang kedua, yang mungkin harus disebut “kekuasaan”, adalah kepercayaan mutlak kita terhadap penulis (tetapi bukan kepercayaan yang buta) dalam hal penilaian estetik dan insting. Kepercayaan itu berdasar pada keintelektualan dan kesensitifan penulis, pada kemampuannya untuk menyadari

(6)

dan memahami dunia di sekitarnya. Sebagian kepercayaan kita itu berdasar pada pengalaman penulis sebagai seorang “perajin” dengan kekerasan standarnya sendiri, pada pengetahuannya, pada hasil latihannya yang lama, serta pada yang akan dikerjakannya dan yang tidak.

9. Latihan bagi Penulis = Konser bagi Pianis

Dalam istilah praktis, penulis pemula yang ingin mencapai tingkat penguasaan atau kemasteran harus membaca secara luas dan mendalam, dan harus menulis, tidak hanya harus secara hati-hati, tetapi harus pula secara terus-menerus (kontinu). Latihan, bagi penulis, seperti halnya konser bagi pianis: yakni usaha untuk terus memahami dan mendalami masalah. Usaha yang terus-menerus inilah yang akan mencetak seorang “master”.

10. Pendidikan Formal: Haruskah?

Meskipun sastrawan iseng mungkin dapat menulis cerita yang baik, sekarang dan nanti, penulis yang sebenarnya adalah salah seorang dari mereka yang menjadikan teknik sebagai sifat kedua (maksudnya, kedua setelah insting dan kecerdasan). Teknik seringkali sangat berkaitan dengan universitas atau pendidikan formal tertentu, dengan kursus-kursus penulisan fiksi, lokaraya, latihan-latihan, puisi, dan seterusnya. Namun, beberapa penulis penting mengatakan yang sebaliknya. Ernest Hemingway, misalnya, berkeyakinan bahwa cara melatih keterampilan seorang penulis adalah menulis dan terus menulis.

Memang ada penulis yang dapat dikatakan tidak berpendidikan. Banyak pula orang berpendidikan yang justru cenderung menjadi ahli sejarah seni atau peneliti, atau lainnya--selain sastrawan. Mungkin benar bahwa kehidupan di kampus jarang menghasilkan karya yang benar-benar bagus (Umar Kayam dan Sapardi Djoko Damono atau Budi Darma mungkin termasuk perkecualian). Juga hampir tidak ada penulis bodoh--dalam arti tidak berpendidikan--yang menghasilkan karya besar. Meskipun demikian, ternyata tidak hanya pengalaman dalam berargumentasilah yang membuat penulis bodoh menghasilkan karya yang buruk, atau penulis berpendidikan menghasilkan karya yang baik.

Secara umum orang yang mendidik dirinya sendiri berada dalam posisi yang lebih tinggi daripada yang tidak berpendidikan sama sekali. Namun, karya mereka tetap membawa sifat-sifat dan keterbatasan penulisnya. Sementara itu, sebenamya universitas juga tidak dapat melakukan apa pun lebih daripada

(7)

sekedar menawarkan kesempatan. Hanya saja harus diingat bahwa kesempatan bisa bermuara ke mana saja. Kesempatan mebaca banyak buku yang tersedia, diskusi, debat, dan konsultasi, misalnya, tentu banyak artinya. Banyak kesempatan yang dapat diperoleh dengan mudah di lembaga pendidikan, tetapi sangat sulit, atau bahkan tidak dapat diperoleh di luar.

11. Yang Sebenarnya Diperlukan Seorang Penulis

Memahami sastra juga merupakan sebuah disiplin yang penting bagi seorang penulis. Tak seorang pun dapat berharap bisa benar- benar menulis fiksi secara baik jika ia tidak pernah belajar cara menganalisis fiksi, cara mengenali sebuah simbol saat “melewatinya”, cara mengungkapkan tema dalam sebuah karya, dan cara memperhitungkan tulisan serta menyusun detail-detail fiksional.

Yang sebenamya diperlukan seorang penulis adalah pengalaman di dunia (dalam arti yang sangat luas dan mencakup berbagai hal), bukan latihan saja, baik membaca maupun menulis. Subjek utama fiksi adalah (dan selalu) emosi manusia, nilai-nilai, dan kepercayaan. Dalam menulis fiksi seseorang memerlukan cinta, kesakitan, kehilangan, kebosanan, kemarahan, rasa bersalah, ketakutan, dan kematian.

Urusan penulis adalah membuat unsur-unsur di atas menjadi meyakinkan manusia, menciptakan situasi dan aksi-aksi yang mendasar sehingga mereka mengenali diri mereka sendiri, serta mengungkapkan diri mereka sendiri kepada pembaca agar dicerna atau diinterpretasi. Untuk urusan ini penulis perlu belajar, berlatih, mempelajari karya-karya besar, dan terus menulis.

12. Dan Teknik ke Penguasaan

Mempelajari teknik dan belajar secara baik merupakan cara yang paling utama untuk menjadi “master”: untuk membentuk karakter-karakter yang hidup, untuk mengetahui perbedaan antara emosi dan kesentimenan, untuk melihat perbedaan antara aksi dramatik yang lebih baik dan yang jelek, dan seterusnya. Tahap-tahap ini merupakan langkah-langkah pasti menuju “kemasteran”.

Mungkin seorang penulis mencapai tingkat penguasaan, mencapai sesuatu yang penuh dengan daftar aturan mental, tetapi penguasaan harus tetap menjadi tujuan utamanya. Ia harus mencapai taraf sebagai penghasil fiksi seni: dengan segala kompleksitasnya, dalam keseluruhan tradisi dan pilihan-pilihan tekniknya, melalui seluruh kerutan dan kesukaran jaring otak ke dalam darahnya.

(8)

Yang diperlukan penulis bukanlah mempelajari sastra lebih dahulu baru kemudian menulis. Kedua proses itu terpisah satu sama lain. Setiap penulis sebenarnya dapat memiliki pengalaman seorang penulis. Namun, perlu diingat bahwa penguasaan bukanlah sesuatu yang dapat diperoleh secara cepat, seperti instan, atau seperti kilat, tetapi merupakan sekumpulan kekuatan yang terus bergerak melewati jarak dan waktu, sebagaimana cuaca. Latihan, ketekunan, keinginan yang besar, semangat, dan pengalamanlah yang akan menopang kemasteran.

13. Beberapa Catatan I

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa sebenarnya seni tidak memiliki aturan umum (lomba dalam bidang seni yang disertai pembatasan-pembatasan dan aturan-aturan tertentu sama artinya dengan mengingkari hakikat seni) karena setiap seniman besar (dan seniman yang sebenarnya) selalu mengabaikan dan melupakan semua hukum estetik terdahulu. Ia menciptakan kebaruan. Belajar untuk menulis dengan baik harus dimulai dengan sebuah pemahaman yang jelas bahwa bagi seniman, hukum estetika adalah musuh utama.

Bagi seniman besar, segala sesuatu serba mungkin. Kebaruan, turunan spontan dan hukum baru, adalah pusat seni. Bagi penulis pemula--sebagaimana bagi penulis besar, yakni status yang ingin dicapai oleh setiap penulis--tidak ada aturan yang tegas, tidak ada sekat-sekat dan rambu-rambu, tidak ada pembatasan-pembatasan, semua serba mungkin. Hukum estetika telah mati, atau barangkali memang tidak atau belum pernah hidup!. Bagaimanapun, berkarya itu baik. Oleh karena itu, orang harus mengembangkan sebuah pandangan untuk selalu berkarya dengan standar-standar yang dibentuknya sendiri secara cermat, dan jika ada pertanyaan, “Apakah ada hukum estetika?’ jawab saja, “Tidak!” dengan mantap.

Bagaimana pendapat Anda?

B. Pengantar 2

Seperti disebut di bagian awal tulisan/diktat ini, penilaian kadang juga berkaitan dengan persoalan estetik, khususnya estetik tidaknya suatu karya. Jika dikaitkan dengan kritik, penilaian merupakan ujung sebuah kritik. Penilaian adalah

(9)

rangkaian kritik: analisis, penafsiran, evaluasi. Penilaian terhadap karya sastra diberikan oleh pembaca. Namun, tidak setiap pembaca menghasilkan penilaian yang sama saat menghadapi sebuah karya.

Dalam hal ini ada beberapa model deskripsi proses penilaian karya sastra. Salah satu di antaranya adalah model penilaian yang berdasarkan pada sistem norma sastra pembaca dan struktur teks.

Pembaca + Sistem norma sastra -- Teks – Penilaian

Dalam model di atas tampak bahwa penilaian terhadap suatu teks yang dihasilkan oleh pembaca adalah penilaian yang dilandasi oleh sistem norma sastra pembaca. Perbedaan sistem norma sastra pembaca sangat memungkinkan terjadinya perbedaan penilaian. Pembaca dengan sistem norma sastra tertentu akan menghasilkan penilaian yang tertentu pula. Penilaian pembaca atas suatu karya juga sangat mungkin dipengaruhi oleh situasi khusus pada saat pembaca memberikan penilaian.

Sistem norma sastra1 dalam hal ini dapat disamakan dengan kritena sastra 12

lihat pula penjelasan Rien T. Segers dalam Studies in Semiotics The Evaluation of Literary Texts (Lisse: The Peter de Ridder Press, 1978), hlm. 67--68. yang secara sadar atau tidak sadar dipergunakan pembaca untuk menentukan kualitas kesastraan suatu teks. Kontak mendalam seorang pembaca terhadap unsur tertentu teks sastra, di satu sisi, sangat tergantung pada struktur teks dan, di sisi lain, pada nilai yang mendorongnya untuk mendekati unsur tersebut. Oleh karena itu, penilaian pembaca terhadap karya sastra juga dipengaruhi oleh kualitas teks. Hanya saja, dalam hal ini perlu lebih ditegaskan lagi criteria teks yang disebut berkualitas.

2. Beberapa Pendapat yang Relevan

Sebagai bagian dan rangkaian proses kritik, penilaian sangat penting. Menurut Wellek dan Warren kita tidak dapat memahami dan menganalisis suatu karya sastra tidak merujuk ke nilai. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan bahwa jika kita mengenali suatu struktur tertentu sebagai sebuah karya seni, secara tidak dalam pengenalan itu terimplikasi adanya penilaian.

Menurut Segers, idealnya dalam sebuah penilaian terefleksi kesadaran bahwa cara seseorang mengalami dan menilai sesuatu selalu terlibat di dalamnya. Dalam

(10)

kaitan ini, sebagai konsekuensinya, menurut Pepper konsep tentang evaluasi adalah membuat alasan yang mendasar terhadap keputusan dalam hubungan kemanusiaan. Oleh karena itu, Berleant menyebut evaluasi sebagai sebuah produk penafsiran intelektual. Proses penilaian hams berdasarkan pada alasan utama untuk mengobjektifkan hubungan subjektif dan subjek terhadap sebuah objek.

3. Penilaian Menurut Graham Hough

Graham Hough (1966) mengedepankan dua kriteria dalam menilai suatu karya. Kritena penilaian yang pertama adalah dan segi moral, sedangkan yang kedua dan segi formal.

3.1. Kriteria Moral

Kriteria moral dalam penilaian karya sastra berkaitan dengan relevansinya dengan kehidupan. Kita harus melihat bahwa sastra yang menggunakan bahasa sebagai medium merepresentasikan sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa orang, aksi atau tindakan, emosi dan rasa, serta hubungan antarketiganya. Dalam hal ini tentu saja tetap harus dipertimbangkan bahwa efek karya sangat mungkin berbeda dengan yang dimaksudkan oleh penulisnya, atau bahkan dapat saja sangat bertentangan. Dengan demikian, penilai hams mempergunakan secara cermat kriteria moral ini.

Dalam hubungan dengan kritena moral ini karya sastra yang baik adalah yang memiliki sumbangan berkat relevansinya dengan kehidupan. Sumbangan itu bisa diberikan melalui berbagai macam cara: penghadiran tokoh (orang) tertentu, pengedepanan aksi atau tindakan tertentu, pembeberan emosi atau rasa tertentu, atau pun penyajian hubungan antara ketiganya. Hanya saja, dalam hubungan ini harus ada kajian serius tentang penentuan relevansi antara sastra sebagai dunia fiksi dengan kehidupan manusia sebagai suatu realitas.

3.2. Kriteria Formal

Kriteria formal dalam penilaian karya sastra berhubungan dengan integirity (integritas/kesatuan), consonance (kecocokan/kesesuaian), dan radiance (daya sorot). Konsep integritas mengandung pengertian bahwa karya sastra yang baik haruslah merupakan satu kesatuan, bukan potongan-potongan atau irisan-irisan,

(11)

bukan bongkahan, gumpalan, tumpukan atau timbunan. Yang penting adalah kesatuan atau kesatupaduan.

Dalam konsep kecocokan atau kesesuaian terkandung pengertian bahwa suatu karya yang baik harus memiliki koherensi atau kepaduan dan proporsi atau harus proporsional. Dalam suatu karya, dengan demikian, harus terkandung dalam dirinya sendiri alasan mengapa sesuatu itu seperti itu dan mengapa tidak seperti yang lainnya. Karya yang baik mengandung nilai harmoni atau keseimbangan. Di sini secara umum terimplikasi adanya sebuah rekonsiliasi atau penyatuan aktifatas berbagai elemen yang berlainan. Karya yang baik bukanlah sebuah keseragaman pasif

Sementara itu, dalam konsep daya sorot tersirat pengertian bahwa karya sastra (yang dibedakan dan bentuk komunikasi verbal lainnya) yang baik harus mampu memuaskan dan sekaligus menerangi dengan permukaan verbalnya, dengan susunannya. Kepentingan integritas sebagai suatu kriteria penilaian muncul dengan kompleksitas materialnya yang terintegrasi.

4. Tujuh Kriteria Rien T. Segers

Menurut Segers dalam kritik sastra dapat dibedakan adanya beberapa norma. Oleh karena itu, lanjut Segers, mungkin berguna jika mengedepankan beberapa norma itu, utamanya yang memainkan peranan penting dalam kritik sastra. Beberapa norma yang dimaksud Segers itu adalah yang terurai berikut.

4.1. Imitasi

Dapat dikatakan bahwa konsep imitasi merupakan salah satu norma tertua dalam kritik sastra. Dalam hal ini ada asumsi bahwa dunia fiksi dalam teks sastra mencerminkan realitas sosial. Tentu saja nilai suatu karya dipertimbangkan terutama dan kedekatan hubungan atau kemiripannya dengan realitas kehidupan. Makin dekat suatu karya dengan kenyataan yang terjadi di luamya semakin baik nilainya. Karya sastra diasumsikan sebagai imitasi atau tiruan alam.

4.2. Fiksionalisasilfiksionalitas

Norma tentang fiksionalitas secara tidak langsung mengimplisitkan bahwa tanda-tanda kebahasaan yang dipergunakan dalam teks sastra tidak secara langsung merujuk ke dunia tempat kita hidup, tetapi merujuk ke dunia fiksional, ke

(12)

dunia rekaan. Dalam teks kesusastraan fungsi estetik sangat dominan. Kita perlu mengingat konsep imajinasi. Sastra adalah hasil imajinasi pengarang.

4.3. Penggunaan Bahasa yang Menyimpang

Penggunaan bahasa yang menyimpang (atau penggunaan konstruksi bahasa yang menyimpang) merupakan salah satu faktor yang menciptakan kerenggangan jarak pada tingkat penandaan. Karya sastra menggunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa hari. Oleh para ahli sering dikatakan bahwa bahasa sehari-hari memiliki arti, sementara bahasa sastra memiliki makna (arti dan arti).

Konsep penggunaan bahasa yang menyimpang im berkaitan sekali dengan konsep fiksionalitas, seperti dua sisi satu mata uang. Penyimpangan bahasa mungkin menjadi indikator adanya fiksionalitas, sedangkan fiksionalitas mungkin mensyaratkan adanya penyimpangan bahasa.

4.4. Pelanggaran Sistem Sosial danlatau Sistem Norma Pembaca

Konsep fiksionalitas dan penyimpangan bahasa bertujuan memberikan pengalaman baru kepada pembaca. Dalam kasus ini setiap kelompok pembaca memiliki sistem sosial dan sistem norma sastra sendiri. Sistem itu diperoleh lewat pendidikan, pengalaman baca, dan latar belakang sosial. Dewasa ini sastra bermaksud mematahkan sistem norma pembacanya. Kita perlu mengingat konsep invensi atau kebaruan. Karya sastra yang baru atau memunculkan kebaruanlah yang dianggap bemilai. Karya sastra yang tidak mengikuti tradisilah yang lebih dihargai mutunya. Kebaruan itu ditunjukkan dengan kemampuannya “mengecewakan’ pembaca karena memang menghadirkan sistem sosial dan sistem norma yang “mungkin” belum dikenal pembaca.

4.5. Kompleksitas

Penyimpangan bahasa dan pelanggaran norma-norma mungkin sekali mengarah ke kompleksitas struktur yang pada gilirannya juga memunculkan kebervariasian interpretasi. kebervariasian interpretasi.

4.6. Kesatuan

Meskipun menggunakan norma-norma seperti penyimpangan bahasa, pelanggaran norma, dan kompleksitas, teks sastra tetap dituntut untuk memiliki struktur yang padu atau memiliki koherensi, memiliki kesatuan. Nilai suatu teks

(13)

muncul dalam proporsinya menunjukkan kestuan struktur dalam unsur-unsur spesifiknya.

4.7. Ujian sang Waktu

Konsep ketujuh atau terakhir yang dikedepankan Segers ini menempati posisi khusus. Berlawanan dengan enam norma di atas, konsep ujian sang waktu tidak mengacu pada kekayaan teks. Dalam konsep ini terasumsikan bahwa teks yang mampu bertahan dari kerusakan akibat perjalan sang waktu mungkin dapat disebut sebagai sastra (kesusastraan). Makin lama suatu teks dibaca, akan makin tinggi nilainya. Salah satu batu ujian atas kebesaran suatu karya seni adalah kemampuannya untuk “berbicara” dan generasi ke generasi. Hanya karya yang disebut masterpiece sajalah yang dapat dipertimbangkan sebagai karya besar. 5. Beberapa Catatan 2

Ada banyak kriteria penilaian atas suatu karya sastra. Namun, yang perlu diingat adalah bahwa penilaian dalam kesusastraan tidaklah absolut/mutlak dan definitif, tetapi gradual dan komparatif. Penilaian sastra bukanlah sistem deduktif yang muncul dan akar yang tunggal. Sastra menciptakan hubungan dengan kehidupan dalam banyak poin/titik dan lewat berbagai macam sarana.

Dalam hubungan dengan penilaian Vodicka mengatakan bahwa evaluasi mensyaratkan kriteria evaluasi yang tidak konstan. Dengan demikian, nilai suatu karya dipandang dan segi sumber sejarah bukanlah sebuah ukuran yang tetap atau tidak berubah. Tepatnya, karena kriteria untuk mengevaluasi dan nilai kesusastraan selalu mengalami perubahan dalam perkembangan sejarah, adalah tugas utama ilmu sejarah untuk melukiskan perubahan-perubahan tersebut.

Terlepas dan jenis kriteria yang dipilih pembaca untuk memberikan penilaian atas karya sastra yang dihadapinya, tetap ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Yang jelas, karena dalam kritik sastra ada banyak jenis pendekatan terhadap karya sastra, tentunya jenis pendekatan yang dipilih pun mempengaruhi penilaian yang muncul.

Perlu diingat pula bahwa sebenamya dalam kritik sastra ada banyak teori penilaian. Yang dibahas dalam diktat mi hanya yang dikemukakan oleh Graham Hough dan Rien T. Segers. Pana mahasiswa dipersilakan melakukan eksplorasi untuk mendapatkan sumber-sumber yang relevan dalam rangka memperkaya pemahaman terhadap beberapa teori penilaian yang ada.

Referensi

Dokumen terkait

Persiapan pra-acara lainnya adalah membantu mendownload dan merekap semua media-media para peserta lomba kreativitas baik siswa maupun guru dan dibagi

Bentuk-bentuk kepercayaan ini mempunyai fungsi yang Jangsung dengan kebutuh- an-kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat agraris misalnya : mengenai perhitungan waktu

Di Wilayah Jakarta Timur Provinsi DKI Jakarta rumah tangga yang berPHBS baru 53,3%, Menurut data Puskesmas tahun 2016 rumah tangga yang berperilaku hidup bersih

Alhamdulilah hirobil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

FTIR spectra of piroxicam, betacyclodextrin, physical mixture of piroxica- betacyclodextrin, and solid dispersion system of piroxicam-betacyclodextrin are shown in figure 6, 7, and

[r]

'Dim imgGray As Image(Of Gray, Byte) Dim pctwajah As PictureBox. Dim gbr_Rata(,) As Double Dim gbrDipilih

Calista Beach Hotel merupakan hotel yang bergerak di bidang jasa di kota Bau-Bau sejak tahun 2012, dilihat dari perkembangan yang ada, Calista Beach Hotel