• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 4. Dalam bab ini kita akan membahas beberapa hal pokok dari pembuatan. Pembuatan Topeng. 4.1 Bahan Pembuatan Topeng

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 4. Dalam bab ini kita akan membahas beberapa hal pokok dari pembuatan. Pembuatan Topeng. 4.1 Bahan Pembuatan Topeng"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 4

Pembuatan Topeng

D

alam bab ini kita akan membahas beberapa hal pokok dari pembuatan topeng, yakni: (1) bahan dan alat yang dipergunakan, (2) seniman pembuat topeng, dan (3) pengguna atau pemerhati topeng.

4.1 Bahan Pembuatan Topeng

Bahan yang digunakan untuk membuat topeng sebagian dibangun oleh suatu tradisi (kebiasaan, kepercayaan, atau sejarah) yang panjang. Sebagian lagi didasari oleh keinginan atau gagasan pembuatnya, dan sebagian lagi oleh ketersediaan bahan yang ada. Namun, apa pun alasannya, bahan yang dipilih akan menentukan jenis, kualitas, bentuk, atau karakternya, dan dengan sendirinya akan pula menuntut teknik dan peralatan yang berbeda-beda. Untuk membuat topeng emas, tembaga, kayu, kulit, karet, kain, gerabah, dan lain-lain, diperlukan alat dan cara yang berlainan. Bahan seperti karet busa dan kain, misalnya, tidak dapat diukir seperti bahan kayu. Karena itu pula, setelah jadi, masing-masing akan memiliki sifat atau karakter tersendiri.

Pemilihan bahan bukan saja berkaitan dengan perwujudan gagasan artistik sang seniman, melainkan berhubungan pula dengan fungsi dan kebutuhan pemakaiannya. Ada topeng yang dibuat hanya untuk kepentingan sesaat, seperti topeng yang terbuat dari kelopak batang pisang, kelopak bambu, dedaunan, buah-buahan, dan sebagainya. Sebaliknya, ada topeng yang dibuat dalam jangka waktu yang lama, sampai puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun.

▸ Baca selengkapnya: topeng mata melotot dan gigi menyeringai topeng tersebut biasanya berkarakter

(2)

Proses pembuatannya pun berbeda-beda. Ada topeng yang dibentuk hanya dengan beberapa menit, lalu ada pula yang berbulan-bulan. Kita tidak bisa menyimpulkan manakah yang lebih baik—topeng yang terbuat dari kayu atau logam, yang dibentuk dengan jangka waktu sebentar atau lama. Semua itu tergantung pada tujuan dan fungsinya masing-masing.

Pembuatan topeng, yang memerlukan teknik dan alat-alat yang memadai, jelas terkait dengan perkembangan teknologi. Jika suatu masyarakat menggunakan perunggu sebagai bahannya, berarti masyarakat yang bersangkutan telah menemukan teknologi pengolahan perunggu, kecuali jika topeng tersebut merupakan barang impor. Jika suatu topeng berukir hiasan yang lembut dan rumit, menandakan bahwa masyarakatnya mempunyai keterampilan pengukiran yang rumit pula.

Gbr. 4-1: Kayu untuk beberapa macam topeng yang sudah

Gbr. 4-2: Bahan topeng yang sudah tampak bentuk mukanya.

Gbr. 4-3: Topeng Bali yang raut mukanya sudah muncul, diukir dengan alat-alat

(3)

Demikian pula dengan proses pewarnaanya, bergantung pada perkembangan teknologi. Jika topeng diwarnai dengan cat minyak, berarti masyarakatnya telah mengenal teknologi itu, meskipun bahan dasarnya (jenis cairan dan pewarna) belum tentu diproduksi oleh masyarakat setempat. Akan tetapi, perkembangan teknologi tidak berarti akan mengubah idiom atau

estetika dalam pembuatan barang seni. Masyarakat Jawa dan Bali, misalnya,

telah lama mengenal teknologi cat minyak. Namun sampai saat ini, bahan pewarna untuk topeng yang dianggap terbaik adalah yang memakai bahan dan teknologi lama. Cairannya berasal dari bahan organik yang terbuat dari tulang ikan (ancur). Serbuk pewarnanya berasal dari berbagai bahan. Tulang binatang yang dibakar, lalu ditumbuk halus akan menghasilkan warna putih, serbuk dari jelaga menghasilkan warna hitam, dan batu-batuan atau buah-buahan menghasilkan warna coklat, kuning, dan ungu. Di samping itu, terdapat pula serbuk impor alami seperti gincu untuk warna merah, dan warna lain buatan pabrik (water colour).

Ironisnya, bahan-bahan tradisional itu kini justru lebih sulit diperoleh, proses pengerjaannya lebih lama, serta harganya pun lebih mahal daripada harga cat minyak impor buatan pabrik. Meskipun demikian, para seniman lebih suka menggunakan cairan pewarna tradisional, karena menghasilkan kualitas warna yang diinginkan. Dengan kasus ini, dari sudut pandang kesenian, kita lihat bahwa teknologi mutakhir belum tentu lebih baik daripada yang tradisional.

4.1.1 Kayu dan Bambu

Sebenarnya, topeng yang terbuat hanya dari satu macam bahan sangatlah

Gbr. 4-4: Berbagai bentuk pisau ukir di Bali.

Gbr. 4-5: Pak Tangguh, salah seorang pengukir topeng terkenal di Bali, berusia sekitar 80 tahun, masih

(4)

Gbr 4-8: Topeng Jauk Keras yang diwarnai dengan bahan

Gbr: 4-9: Bapak Made Sija (78 tahun) memperagakan topeng bondres (lucu) Gbr. 4-6: Bahan-bahan cat pewarna: yang

tradisional (dalam kotak anyaman) dan yang

Gbr. 4-7: Patung-patung buatan Pak Tangguh diwarnai dengan cat modern.

(5)

jarang. Akan tetapi, secara umum orang melihat hanya dari bahan utamanya saja, misalnya “topeng kayu,” meskipun topeng itu terbuat dari beberapa macam bahan, seperti rambut, kulit, kain, kaca, kaleng, dan sebagainya. Dalam katalog museum atau pameran, biasanya semua jenis bahannya disebutkan.

Kayu merupakan bahan yang paling umum digunakan. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kayu merupakan bahan yang relatif murah dan mudah didapat. Kedua, kayu termasuk mudah diukir, tidak perlu menggunakan peralatan yang rumit, dibandingkan dengan bahan logam. Ketiga, topeng dari kayu relatif ringan. Karena itu, jenis kayu untuk pembuatan topeng umumnya dipilih yang tidak terlalu keras, tetapi seratnya kuat agar tidak mudah pecah. Satu hal lagi, yang cukup mencengangkan, walau kebenarannya masih perlu diuji, adalah adanya topeng kayu peninggalan ribuan tahun yang lalu. Topeng itu telah menjadi fosil, bagian dari mummy (semacam “peti” mayat) di Mesir, seperti pada gambar di bawah.

Di Bali, jenis kayu yang paling banyak digunakan adalah kayu pule, sedangkan di Jawa adalah kayu mentaos. Beberapa jenis kayu lain juga biasa digunakan, seperti kayu kepah, jepun, waru, jaran, duren, kenanga, dan sebagainya. Kayu yang terlalu lunak, seperti kayu randu (kayu kapuk), jarang dipakai, karena kurang kuat dan malah sulit untuk diukir. Ketika mata pahat atau pisau ditorehkan, kayu yang terlalu lunak tersebut bukannya terkerat, melainkan tertekan masuk, sehingga tidak dapat menghasilkan garis ukir yang baik. Kayu randu digunakan untuk jenis-jenis topeng yang tidak memerlukan pengukiran rumit.

Sebatang pohon ukuran sedang, cukup untuk menghasilkan puluhan topeng. Untuk membuat sebuah topeng, seorang pengukir ada yang hanya memerlukan beberapa jam, ada yang berhari-hari, bahkan ada pula yang berbulan-bulan, tergantung dari kerumitan pembuatannya dan kekhususan kerja senimannya. Bagi seseorang yang pekerjaan utamanya membuat topeng, sebatang pohon akan cukup untuk bekerja setahun atau lebih. Namun jika seseorang membuat topeng hanya sebagai pekerjaan sampingan, ia akan mencari bahan untuk satu atau dua buah topeng saja. Sebaliknya, jika pembuatan topeng merupakan perusahaan, dengan belasan pekerja, mungkin akan memerlukan beberapa batang kayu setiap tahunnya.

Peralatan yang digunakan bermacam-macam. Para pengukir profesional mempunyai alat-alat khusus, sedangkan yang sambilan cukup dengan menggunakan alat-alat yang biasa dipakai untuk pekerjaan lain. Tahap awal pembuatan topeng memerlukan alat-alat yang besar, seperti kapak, gergaji, dan golok. Ketika pekerjaannya lebih halus, seperti untuk mengukir hiasan-hiasan yang lembut, dipakai alat-alat yang kecil, seperti pisau raut, pahat, dan sebagainya. Pengukir di Jawa dan Bali biasanya memiliki satu set pisau dan

(6)

pahat-ukir, yang jumlahnya belasan atau puluhan buah.

Bagian yang dianggap penting dalam pembuatan topeng bukan hanya bagian luar (mukanya), tapi juga bagian belakang atau bagian dalamnya. Di Cirebon, bagian ini disebut batokan, mungkin karena bentuknya mirip bagian dalam dari tempurung kelapa (batok dalam bahasa setempat). Bagian ini dihaluskan bukan hanya supaya nyaman digunakan, melainkan juga agar dapat dilukis dengan bagus, seperti tampak pada Gambar 4-16. Padahal, ketika digunakan, bagian ini tidak terlihat oleh penonton.

Kemungkinan bagian dalam topeng merupakan sisi yang penting bagi penari agar bisa mengenali topeng yang akan dikenakannya, karena topeng diambil dari sebuah kotak di mana terdapat beberapa buah yang bagian depannya terbungkus kain. Akan tetapi, jika kita memperhatikan lukisan itu dengan saksama, bagian tersebut tidak hanya sekedar sebagai tanda pengenal, karena dilukis hampir sama rumit dengan bagian luarnya. Meskipun tidak ada informasi yang jelas mengenai fungsi yang sesungguhnya, tetapi cukup menunjukkan bahwa kesenian atau keindahan itu bukan hanya penting bagi penonton atau pembelinya, melainkan juga untuk penari atau pembuatnya. Perhatikan pula bagaimana detail lukisan pada hiasan topeng Klana Surakarta (Gbr. 4-14). Lukisan yang lembut seperti itu tidak akan terlihat oleh penontonnya, tapi sangat penting bagi senimannya.

Bambu umumnya dipergunakan untuk kerangka topeng-topeng besar seperti ondel-ondel, liong, ogoh-ogoh, dan sebagainya, seperti yang akan disinggung lagi dalam bagian “Topeng Kertas”. Silinder bambu juga umumnya akan

Gbr. 4-10: Topeng kayu, dari mummy (semacam peti mayat) perempuan di Mesir,

sekitar 3500 tahun yang lalu (1570 - 1070

Gbr. 4-11: Topeng kayu dari mummy, yang konon berasal dari Mesir, dinasti XXVIIth - XXX, tahun 525 - 343 BC.

(7)

Gbr. 4-12: Topeng raksasa dari

Padepokan Mangun Dharma, Malang Gbr. 4-13: Topeng orang-tua dari museum di desa, di Jepang, yang tidak berwarna. Lubang-lubang itu merupakan bekas tempat

Gbr. 4-15: Tampak depan topeng Rumyang

dari Cirebon. bagian belakang (topeng Rumyang) itu dilukis cukup Gbr. 4-16: Walau tidak kelihatan oleh penonton, rinci. Tampak pula “lidah” dari kulit untuk digigit Gbr. 4-14: Detail pelukisan dan pewarnaan dari topeng

(8)

terlalu kecil untuk ukuran muka. Namun demikian, banyak topeng-topeng hiasan yang dibuat dari bambu. Bagian pangkal bambu yang tebal bisa diukir seperti halnya kayu. Malahan, akarnya banyak digunakan, dimanipulasi sebagai rambut, karena bentuknya yang sudah seperti serabut. Selain itu, bambu juga bisa dikerat, dikelupas tipis-tipis, sehingga dapat dijadikan bagian rambut atau janggutnya, seperti pada gambar di bawah ini (lihat pula Gambar 3-37 dalam Bab 3).

4.1.2 Logam

Logam merupakan bahan yang mahal dan sulit pengerjaannya. Namun demikian, banyak sekali topeng yang terbuat dari logam, bahkan dari logam

Gbr. 4-20: Bambu dipakau untuk membuat kerangka tubuh Singa Barong: cukup kuat

untuk ditunggangi anak sunat. Gbr. 4-19: Kerangka “kepala singa”

untuk reyog Ponorogo, dibuat dari Gbr. 4-17: Pangkal bambu yang diukir menjadi patung: akar menjadi rambutnya.

Gbr. 4-18: Topeng bambu pada suatu toko souvenir di Seoul, Korea:

(9)

mulia sekalipun sejak jaman purbakala(lihat Gbr. 4-25). Tentu saja, topeng-topeng seperti ini dahulu hanya digunakan untuk keperluan yang amat khusus, dan hanya orang kaya, atau raja saja yang mampu memilikinya.

Topeng logam umumnya tidak diwarnai dengan cat seperti halnya topeng kayu. Hal itu kemungkinan disebabkan oleh gosokan dan tempaannya sendiri telah menghasilkan gradasi warna. Warna hitam atau gelap akibat pembakaran dianggap memiliki kualitas warna tersendiri, yang tidak dapat dihasilkan dengan pengecatan. Jenis logam dan teknik pengerjaan itu dipilih mungkin juga berdasarkan pada pertimbangan gradasi warna yang ditimbulkannya, serta kekuatan dan harganya. Bermacam-macam logam yang biasa digunakan untuk topeng, seperti kaleng, besi, perunggu, tembaga, perak, dan emas, dengan teknik pengerjaannya yang bermacam-macam pula: pembakaran, penempaan, penggosokan, dan sebagainya.

Topeng-topeng modern yang terbuat dari logam umumnya bukan untuk dipakai, melainkan sebagai karya seni seperti halnya seni patung. Selain itu, topeng lebih banyak sebagai barang hiasan, baik berupa perhiasan mahal, seperti gelang atau kalung yang terbuat dari perak atau emas; maupun hiasan-hiasan yang relatif murah, seperti tempat lilin yang terbuat dari kuningan, tembaga, ataupun kaleng.

4.1.3 Gerabah dan Batu

Dalam bab 1 kita telah mempelajari topeng-topeng kuno yang terbuat dari gerabah atau keramik. Ini tidak berarti bahwa pada zaman itu bahan lain (kayu,

Gbr. 4-21: Topeng Mas dari mummy Raja Mesir terkenal, Tutankhamun, yang meninggal 1343 sebelum Masehi, tapi baru ditemukan kuburannya

(10)

Gbr. 4-29: Topeng logam sebagai hiasan tempat lilin, banyak terdapat di toko-toko di Bali, dengan

Gbr. 4-23: Topeng perunggu

“macan tutul” dari Nigeria, Gbr. 4-24: Topeng logam dari Gbr. 4-25: Topeng tembaga besar,

karya baru, dalam suatu pameran di

Gbr. 4-30: Boneka karya baru dari Jawa, mukanya dari kayu, tapi penuh hiasan perak. Gbr. 4-26: Topeng logam

(tembaga) berjudul “Queen,” karya Titiana Irawani dari

Gbr. 4-27: Topeng logam (kuningan dan tembaga), berjudul “ Oshimaa,” dengan

ornamen kecil-kecil dari batu dan kayu, karya yang Gbr. 4-28: Topeng tembaga pada suatu

toko suvenir di Seoul, Korea: campuran gaya tradisional dan kreasi baru.

(11)

Gbr. 4-31: Topeng gerabah dari Mesir dari 3300-an tahun yang lalu, jaman “Kerajaan Baru” 1353-1190 Gbr. 4-32: Topeng batu permata (jade) peninggalan Dinasti Chin,

200-Gbr. 4-33: Topeng batu permata dari Meksiko, berasal antara tahun 200–750 Masehi.

Gbr. 4-34: Topeng batu dari Jawa. Pertunjukannya tidak dipakai melainkan digendong berkeliling dalam suatu upacara

kulit, serabut, dan sebagainya) tidak digunakan, melainkan mungkin karena bahan-bahan tersebut tidak tahan ribuan tahun seperti halnya keramik. Namun demikian, meski saat ini topeng-topeng keramik tetap diproduksi, topeng dari bahan itu tidak umum dimainkan dalam seni pertunjukan.

Tanah adalah bahan yang mudah ditemukan di mana saja. Di kampung-kampung, tanah liat dapat diperoleh tanpa dibeli. Di daerah yang memiliki pengolahan gerabah untuk genteng dan perabotan rumah tangga, bahan tanah liat mudah diperoleh dengan harga murah. Pembentukannya pun relatif mudah, tanpa harus menggunakan alat-alat yang rumit. Pengolahan bahannya memerlukan kesabaran dan ketelitian, agar adukan (adonan) tanah bisa lekat, lentur, dan halus. Jika kita tidak menyukai bentuk hasilnya, asalkan belum dibakar, tanah liat bisa dibentuk kembali dengan membasahinya. Proses pembakarannya memang tidak mudah, karena umumnya proses itu untuk membakar gerabah dalam jumlah banyak. Namun, jika tidak terlalu diperlukan, gerabah yang sudah jadi tidak harus dibakar, cukup dikeringkan saja.

4.1.4 Kulit Binatang dan Kulit Kerang

Di Indonesia, kulit binatang jarang digunakan sebagai bahan baku topeng. Kulit hanya digunakan pada bagian tertentu dari topeng, seperti kumis atau

(12)

Gbr. 4-39: Wajah dari patung keramik modern karya Bodi Darma dari Gbr. 4-35: Topeng batu

buatan baru di Bali, sebagai Gbr. 4-36: Salah satu karakter dari topeng keramik kuna Yunani, untuk pertunjukan drama di Epidaurus, sekitar

Gbr. 4-37: Topeng keramik “kera” dari masyarakat Indian-Piaroa, di Lembah

Gbr. 4-38: Wajah (topeng) dari patung keramik

Gbr. 4-40: Karya seni gerabah anak-anak (usia SD) dari sanggar Jendela Ide di

(13)

Gbr. 4-41: Patung keramik modern karya Bodi Darma dari Minangkabau, Sumatera Barat: disertai hiasan

batu-cincin, dengan topi stilasi tanduk kerbau.

Gbr. 4-42 dan 4-43: Patung keramik kreasi baru, di Jawa, yang kini sangat

Gbr. 4-44: Bentuk barong atau makara di atas gerbang bangunan tradisional Bali. Figur seperti ini disebut Gbr. 4-42

(14)

Gbr. 4-45: Topeng Jauk Keras: giginya dari kulit kerang warna

perak, rambut dan kumisnya

hiasan lain yang menempel. Di Bali, penggunaan kulit pada topeng cukup dominan, baik untuk kumis, janggut, alis, dan rambut maupun untuk hiasan lainnya, seperti pada topeng barong (gambar 3-160), dan topeng Rangda (gambar 3-159). Bahan kulit kuat dan lentur, sehingga mudah diukir dengan halus, serta mudah pula ditempeli benda-benda lain, seperti manik-manik atau kaca, dengan cara dilem dan/atau dijahitkan.

Di Italia, terdapat tradisi topeng setengah-muka yang terkenal, commedia dell’arte. Topeng itu terbuat dari kulit binatang (Gambar 1-52 dalam Bab 1). Proses Pembuatannya sangat khusus. Kulit yang telah lama direndam, diletakkan pada model negatif. Kemudian melalui pemukulan yang hati-hati dan lama, kulit akan tercetak pada cetakan-negatif. Proses itu hampir sama dengan teknik membuat sepatu kulit. Kulit binatang, terutama yang tebal, fleksibel ketika dibasahi, tapi akan kaku dan kuat setelah kering. Namun, kulit akan berubah teksturnya jika terkena air. Keuntungan topeng yang terbuat dari kulit adalah lebih tipis dan ringan ketimbang topeng kayu, dan tidak akan pecah. Selain itu, topeng kulit lebih dipilih mungkin karena teksturnya mendekati tekstur kulit muka manusia.

Kulit-kulit kerang pun kebanyakan digunakan untuk bagian-bagian tertentu dari topeng. Di Bali, kulit kerang yang berwarna perak digunakan untuk gigi pada karakter topeng tertentu. Di Lombok, terutama topeng-topeng yang ditujukan untuk para wisatawan, keratan kecil-kecil dari kulit kerang itu dipakai untuk hiasan dekoratif muka. Namun ada juga beberapa topeng yang hampir secara keseluruhan terbuat dari kulit binatang laut.

4.1.5 Kain, Benang, dan Tambang

Jika seseorang mau membuat topeng hanya untuk menyembunyikan dirinya, seperti telah disinggung dalam Bab 1 dan Bab 2, umumnya akan memakai

Gbr. 4-46: Topeng dari Korea yang dibuat dari kulit kambing beserta

(15)

Gbr. 4-53: Dua buah topeng dari masyarakat Kuba kalangan bangsawan, Kongo, Afrika: tebuat dari kayu,

kain, dan dengan pola-pola ornamental kulit kerang. Gbr. 4-47 dan 4-48: Topeng kulit dari Itali, untuk dipakai dalam

karnaval, dijual dan dapat dipesan melalui internet.

Gbr. 4-49: Topeng terbuat dari kulit kura-kura dan

kerang-kerangan, sebagai hiasan.

Gbr. 4-50: Topeng dari jaman Aztek (Abad XIV, Meksiko) terbuat dari kulit kura-kura dan

Gbr. 4-51: Topeng kayu dengan ditempeli kulit kerang dan kaca, tiruan dari topeng tradisional

Zaire, Afrika, sebagai barang

Gbr. 4-52: Topeng besar (sebesar daun pintu) dari kayu yang ditempeli kulit kerang, yang dijual di toko-toko hiasan Gbr. 4-47 Gbr. 4-48

(16)

bahan dari kain, karena bahan itu yang paling sederhana. Akan tetapi, ada pula topeng yang terbuat dari kain, atau terpal, yang sengaja dibentuk dan berfungsi sebagaimana topeng-topeng dari bahan lainnya, seperti misalnya topeng dari daerah Amazon, Amerika Selatan. Di Sulawesi, topeng burung kondobuleng dibuat dari kain yang diikatkan langsung pada kepala, dengan sedikit bingkai untuk membentuk paruhnya. Di Jepang, ada beberapa jenis topeng kain yang dipakai dalam upacara di kuil. Salah satunya berbentuk abstrak. Topeng itu dipertunjukkan pada suatu upacara kuil di Tokyo.

Beberapa jenis topeng terbuat dari benang atau rajutan tambang-tambang kecil. Topeng-topeng di Papua banyak terbuat dari bahan seperti ini. Ukurannya sangat besar, karena menyatu dengan bagian kostum tubuhnya. Di sana, topeng-topeng ini dipakai sebagai bagian dari upacara leluhur (Jipae) masyarakat Asmat.

Topeng-topeng seperti itu, benang atau tali bukan hanya sebagai bahan pengikat, melainkan membentuk bidang dan garis-garis. Tekstur dan konturnya kemudian menjadi sangat khas. Proses pewarnaannya berbeda dengan topeng dari bahan kayu yang diwarnai setelah topeng jadi. Untuk topeng dari bahan rajutan, benang-benang yang sudah berwarna dipilih terlebih dahulu. Kemudian benang disusun, dirajut, atau disulamkan pada bagian-bagian yang dikehendaki. Topeng benang dengan teknik rajutan, bukan hanya dipakai untuk topeng kuno, melainkan juga terdapat dalam karya-karya seni baru.

4.1.6 Kertas, Karet, Plastik, dan Fiberglas

Kertas adalah bahan yang relatif baru (produk pabrik), yang banyak digunakan untuk membuat topeng. Topeng kertas bukan hanya dipakai untuk

topeng-Gbr. 4-54: Topeng Dayak Kayan yang tampaknya

(17)

Gbr. 4-56: Topeng jipae dari masyarakat Asmat, Papua, terbuat dari susunan rajutan, rafia, kayu dan bambu

Gbr. 4-57: Topeng singa karya baru dari Brazil, yang dijual di pasaran, dibuat dari rajutan benang rafia. Gbr. 4-58: Topeng karya baru dari

(18)

Gbr. 4-59: Topeng kain (kulit

kayu), dari daerah Amazon, Gbr. 4-60: Topeng kain tebal (kulit kayu), dari Kepulauan Solomon, Gbr. 4-61: Topeng dari Kamerun, yang dibuat dari untaian manik-manik dan rajutan benang, di

Gbr. 4-65: Shisimai (singa) serupa barong, dari Okinawa, Jepang, tubuhnya terbuat

dari tempelan benang-benang (sisa). Gbr. 4-63: Topeng bertandung,

abstrak, dari Indian Amerika, terbuat dari kain, rambut, dan Gbr. 4-62: Topeng kain abstrak

dari Jepang, dipertunjukan pada upacara (matsuri) di kuil Shinto.

Gbr. 4-64: Topeng gajah, abstrak, terbuat dengan teknik sulaman benang, dari

(19)

topeng modern, atau topeng-topeng mainan anak, melainkan juga untuk topeng-topeng tradisional atau “betulan.” Topeng-topeng besar seperti ondel-ondel, liong, barongsay, umumnya dibuat dari kertas, dengan rangka bambu atau rotan, sehingga kuat dan ringan.

Demikian pula topeng-topeng tradisional yang berukuran kecil, banyak yang semenjak dahulu dibuat dari kertas. Topeng-topeng untuk wayang wong Yogyakarta (untuk peran raksasa dan kera); topeng-topeng di Thailand, Kamboja, Korea, dan beberapa jenis topeng India, sudah sejak beberapa dekade biasa dibuat dari kertas. Ini berarti bahwa topeng kertas bukan merupakan topeng-topeng mainan, melainkan digunakan pula oleh seniman-seniman profesional. Jika pembuatannya dilakukan dengan teliti, topeng kertas bisa tampak persis seperti kayu. Bahkan jika topeng tersebut tidak terkena air, dapat tahan puluhan tahun.

Kertas bekas kini merupakan bahan yang paling mudah dan murah didapat. Untuk membuat topeng, kita tidak memerlukan kertas bagus atau baru. Koran bekas dapat digunakan sebagai bahan topeng yang sempurna. Lima atau enam lembar kertas koran cukup untuk membuat topeng ukuran muka. Berarti, koran yang berjumlah 20-an halaman cukup untuk membuat 3 atau 4 buah topeng. Lem yang bagus, namun murah dan aman untuk digunakan adalah lem yang terbuat dari tepung ketela pohon (kanji) yang diseduh.

Ada dua macam teknik yang dapat kamu lakukan sendiri untuk membuat topeng kertas. Untuk membuat topeng besar, kita memerlukan kerangka dari bambu atau rotan, seperti untuk ogoh-ogoh atau ondel-ondel. Kertas ditempelkan pada kerangka tersebut, secara berlapis-lapis hingga kuat, lalu dijemur. Setelah kering, kertas yang membungkus kerangka itu menjadi kuat dan kaku (makin banyak lapisannya makin kuat dan kaku), barulah dicat. Lebih dari itu, topeng kertas tersebut dapat ditempeli lagi dengan bahan lain (dilem atau dijahit) seperti kain, karung, ijuk, dan kulit, misalnya untuk rambut, alis, jenggot dan sebagainya, atau untuk membuat tekstur mukanya secara keseluruhan.

Adapun untuk membuat topeng yang relatif kecil, tak jauh dari ukuran muka, kertas tersebut tidak harus ditempelkan pada suatu kerangka, melainkan pada sebuah model yang dibuat terlebih dahulu dari tanah liat atau semen. Kemudian, secara sedikit demi sedikit sobekan kertas dilemkan mengikuti model tersebut, sekitar 8 lapis. Setelah kering, topeng dilepas dari modelnya. Kini kita akan mendapatkan topeng kertas seperti bentuk modelnya. Untuk menghaluskan bagian permukaannya, kita dapat memakai dempul sebelum dicat. Jika kita ingin membuat tekstur khusus bisa dilakukan dengan menggunakan “bubur kertas” (kertas direndam lama, kemudian ditumbuk dan dicampur dengan lem), adukan serbuk gergaji dengan lem

(20)

kayu, atau dengan menempelkan bahan lain seperti serabut kelapa, kain, karung, rambut, dan lain-lain, sebagaimana yang dilakukan pada topeng dengan kerangka di atas.

4.1.7 Ijuk, Daun, dan Kulit Buah

Ingatkah kalian dengan topeng perang Nias yang terbuat dari ijuk, yang telah dibahas dalam Bab 1? Kita perhatikan lagi topeng itu dari posisi belakang. Dari posisi itu kita bisa melihat bagaimana ijuk itu dijahitkan pada sehelai

Gbr. 4-66: Raja Gergasi, milik Tuanku Lukman Sinar, Medan, Sumut, untuk pertunjukan teater

Gbr. 4-68: Topeng Orang Tua dari kertas, tradisi Tionghoa

(buatan Dulwahab,

Gbr. 4-69: Topeng kertas dengan rambut,

Gbr. 4-70: Topeng kertas dari Jerman, untuk

Gbr. 4-71: Topeng plastik dari Eropa yang biasa dipakai dalam acara pawai

Gbr. 4-72: Topeng kertas baru, buatan Galis (Jakarta) untuk pertunjukan karya tari baru Panji Gbr. 4-67: Topeng kertas dari

(21)

kain atau karton. Topeng dari ijuk seperti ini ditemukan di beberapa tempat.

Gbr. 4-73: Topeng kertas dari Belanda, untuk pertunjukan drama, dibuat tahun

1950-Gbr. 4-74: Topeng fiberglass dari Itali, untuk dipakai dalam

Gbr. 4-76: Kijang, Gbr. 4-77: Singa, dan Gbr. 4-78: Kerbau. Topeng yang dibuat dari kertas. Gbr. 4-76 Gbr. 4-77 Gbr. 4-78

Gbr. 4-80: Ogoh-ogoh Bali: dalam proses

4-75 Topeng hiasan kreasi baru, terbuat dari kaca, dari

Cili, Amerika Selatan.

Gbr. 4-79: Topeng kertas yang pipih, karya siswa Sekolah Dasar.

(22)

Gbr. 4-81: Topeng tradisional dari kertas, yang dibuat secara halus seperti kayu.

Gbr. 4-82: Topeng kertas gaya Tionghoa, Bojonegoro, Jatim, yang

permukaannya dibuat halus.

Gbr. 4-83: Topeng untuk pertunjukan drama-tari khon

(ceritera Ramayana) dari Thailand, yang dibuat dari kertas, dengan hiasan kepala

Gbr. 4-87: Liong dalam persiapan pertunjukan perayaan Tahun Baru Tionghoa di Kobe, Jepang: topengnya dibuat

dari berbagai bahan: bambu, kertas, kawat, kain, dan Gbr. 4-85: Topeng kertas burung dari Itali .

Gbr. 4-86: Topeng kertas naga dan kerbau (latar-belakang) dari

(23)

Ada pula topeng yang terbuat dari selaput ijuk yang tipis seperti karton atau kain. Di Flores, misalnya, terdapat topeng yang terbuat dari selaput ijuk dengan hiasan daun kelapa. Ijuk juga sering digunakan untuk rambut. Bahkan ijuk juga dipakai untuk kostum yang menutupi seluruh tubuh, sehingga tampak seperti binatang berbulu lebat, seperti tampak pada gambar hudoq dari Kalimantan.

Daun-daunan kering juga dapat digunakan sebagai topeng. Dedaunan yang kuat, tahan lama, dan mudah diperoleh adalah “daun” jagung, seperti topeng dari Swiss (lihatlah kembali Bab 1, Gambar 1-85). Di Kalimantan, daun pisang dipakai sebagai kostum tari hudoq, yang melingkupi seluruh tubuh sehingga topeng kayu dan daun-daun itu menjadi satu kesatuan wujud, serupa dengan topeng Berutuk dari Trunyan di Bali.

Selain itu, meski bukan untuk dipakai, banyak benda-benda yang berbentuk muka dibuat dari daun kelapa, seperti pada bagian sesaji di Bali. Pada tradisi upacara bissu masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan, terdapat figur-figur hewan, burung, dan manusia, yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Teknik itu mirip dengan pembuatan ketupat atau origami dari Jepang.

Tempurung kelapa adalah bahan yang dapat digolongkan dalam kelompok “kulit buah-buahan”. Bahan ini merupakan sebuah bahan organik bulat, yang jika dibelah terlihat menyerupai muka. Bahannya sangat keras, sulit diukir, dan mudah pecah. Mungkin karena itu pula tempurung jarang dipakai sebagai bahan topeng. Contoh topeng yang terbuat dari tempurung kelapa telah disampaikan dalam Bab 1, yaitu topeng dari Filipina dan topeng Nini Thowok dari Jawa, meskipun kita belum tahu apakah topeng itu dipakai atau tidak.

Selain itu, terdapat juga topeng kulit labu yang sangat terkenal di Amerika. Topeng itu dibuat pada hari Halloween tanggal 31 Oktober. Awalnya, upacara itu merupakan ritus keagamaan yang berkaitan dengan upacara makam. Namun, kini lebih merupakan ritus sekuler. Hampir semua orang membuat topeng dari labu (pumpkin) yang telah dikosongkan dalamnya. Di dalam labu itu diletakkan lilin yang menyala. Labu itu kemudian diletakkan di depan rumah, sebagai pertanda pula bahwa pemilik rumah mempersilakan anak-anak datang di malam hari, mengetuk pintu untuk menerima pemberian yang biasanya berupa permen atau kue-kue kecil. Di Bali, topeng yang serupa itu dibentuk dengan sangat menarik sebagai hiasan pada hidangan buah-buahan pada acara hajatan.

Ada beberapa jenis labu yang setelah dikeringkan bagian luarnya menjadi keras seperti tempurung. Banyak masyarakat tradisional yang menggunakannya sebagai tempat air, mangkuk makanan, atau sebagai resonator alat musik, Namun, kami belum mengetahui apakah buah itu pernah menjadi bahan untuk

(24)

Gbr. 4-88: Salah satu penari hudoq memakai kostum dari ijuk masyarakat Dayak

Modang, Kalimantan.

Gbr. 4-89: Tampak belakang topeng armor Nias, dari bahan

Gbr. 4-90: Cimuntu, topeng dari Ijuk di Minangkabau: menutupi muka dan tidak

Gbr. 4-91: Topeng dibuat dari pelepah (selaput) ijuk dan karton, dengan kostum

dari daun lontar, dalam suatu pertunjukan di Moni,

Gbr. 4-92: Topeng Berutuk dari Bali, yang tubuhnya terkurung daun-daunan

Gbr. 4-93: Hudoq dari Dayak Modang, Kalimantan Timur: memakai kostum daun pisang yang menutupi seluruh

Gbr. 4-94: Daun kelapa yang direka topeng (muka), bersama bunga-bunga sebagai bagian dari

Gbr. 4-96: Gambaran burung dari daun kelapa sebagai bagian sesaji upacara Bissu, masyarakat Bugis, Gbr. 4-95: Gambaran muka

dari daun-daunan, sebagai bagian dari sesaji di Bali.

(25)

topeng, meskipun ukurannya lebih besar dari tempurung, dan lebih mendekati ukuran muka, kecuali topeng untuk ronggeng monyet. Di beberapa wilayah Nusantara ada buah (pohon) yang dapat dikeringkan dan difungsikan seperti labu tersebut, yakni buah maja. Dahulu, seharusnya di Jawa dan Bali terdapat banyak pohon maja, karena banyak nama kota dengan nama ini, termasuk Majapahit yang terkenal. Akan tetapi, kini pohon itu sangat jarang ditemukan

, (file lama) (file lama)

4-97. Kelapa yang direka topeng: DSC03148.JPG Gbr. 4-97: Topeng tempurung

dari Filipina (tampaknya merupakan sebuah peralatan

tapi belum diketahui kegunaannya—mungkin

Gbr. 4-98: Topeng tempurung dari Papua.

Gbr. 4-99: Topeng kulit labu yang dikeringkan, berbentuk

abstrak, dari masyarakat

Gbr. 4-100: Topeng dari buah labu di Bali, sebagai dekorasi sajian buah-buahan dalam

Gbr. 4-101: Labu (pumpkin) yang direka topeng, di dalamnya ditempatkan lilin pada waktu upacara Halloween di USA.

Gbr. 4-103: Kepala naga yang terbuat dari kue, sebagai sajian upacara di pura Pejeng, Gbr. 4-102: Kelapa yang direka topeng,

dan diisi lilin di dalamnya, karya siswa SMA SPVD, Bontang, Kaltim.

(26)

di Jawa. Bahkan buah itu lebih banyak terdapat di pulau-pulau lain, misalnya di Flores. Namun, belum ditemukan kasus buah itu dipakai sebagai bahan untuk membuat topeng,

4.2. Pewarnaan

Dalam Bab 3 telah disebutkan bahwa warna merupakan aspek penting dalam pembuatan topeng—bukan hanya dari segi estetis-ekspresif, melainkan juga dari simbol-simbol kultural atau filosofis. Dalam bab itu telah dibicarakan mengenai karakter warna. Suatu warna dapat berupa lambang dari suatu perwatakan. Telah pula disinggung tentang kekuatan dari warna yang menua atau rusak, yang umumnya lebih disukai daripada yang baru. Bagian ini akan mengupas bahan dan teknis pewarnaan secara singkat, baik yang tradisional, maupun yang modern. Namun demikian, perlu diingat bahwa tidak semua topeng diwarnai. Banyak budaya yang tidak mewarnai topengnya sama sekali, karena bahan dasarnya sendiri dianggap memiliki kekuatan warna alami, yang telah cukup mengungkapkan karakternya.

4.2.1. Bahan Dasar Warna

Sebelum cat pabrik dikenal, atau masih sangat sulit dan mahal harganya, pewarnaan topeng dilakukan secara tradisional. Umumnya, pewarnaan memakai bahan-bahan alami, seperti jelaga, batu-batuan, buah-buahan, dedaunan, dan sebagainya. Ada warna yang sesuai dengan bahan mentahnya, seperti hitam (jelaga), putih, kuning, coklat, hijau (batu-batuan), dan ungu (buah-buahan). Akan tetapi, ada juga warna yang ditimbulkan karena suatu proses persenyawaan kimiawi. Anda tahu orang menginang? Sirih, pinang, dan kapur, jika dilumatkan menghasilkan warna merah. Itulah salah satu contoh dari proses persenyawaan, menghasilkan warna baru yang tidak sesuai dengan warna dari bahan awalnya, seperti halnya daun pacar (hijau) yang dapat menghasilkan warna merah.

Pewarnaan topeng secara murni alamiah seperti tersebut di atas hampir-hampir tidak lagi dikenal. Cara pewarnaan tradisional yang dapat kita temukan di Bali dan Jawa adalah dengan memakai serbuk warna yang dilumatkan dengan cairan perekat. Untuk warna hitam, serbuknya cukup mudah dibuat, yakni dengan jelaga (endapan hitam dari api atau asap). Namun untuk warna-warna lain, proses pembuatannya cukup sulit atau lama. Warna putih, misalnya, yang terbaik dibuat dari tulang yang dibakar, kemudian ditumbuk sampai halus sekali. Sementara itu, warna-warna lainnya diambil dari bahan-bahan alami seperti batu-batuan, umbi-umbian, dan/atau buah-buahan.

(27)

negeri sudah dikenal sejak lama, mungkin sejak abad 19 atau sebelumnya. Bahan impor yang paling banyak digunakan adalah warna merah (gincu) dan emas (prada). Kedua bahan tersebut berasal dari Tiongkok. Bahan itulah yang bisa diperoleh dari masyarakat Tionghoa yang digunakan untuk pewarnaan artefak kebudayaan mereka (kelenteng, patung, wayang potehi, dan sebagainya), yang tersebar di banyak wilayah Nusantara.

Di sini kita tidak akan membicarakan satu-per satu bahan-bahan pewarna, karena terlalu berkepanjangan. Hanya satu hal lagi yang penting diketahui yaitu cairan atau perekatnya. Suatu pewarna bisa menempel pada suatu bidang karena memiliki daya lekat. Jika Anda mengoleskan tepung (serbuk) kapur pada sebidang papan, sebagian besar serbuk itu akan menempel, walau tidak terlalu kuat (mudah dihapus). Namun jika Anda mengoleskan tepung beras, sebagian besar akan jatuh lagi. Demikian pula, jika kita mengaduknya dengan air sebelum dioleskan. Bandingkanlah dengan serbuk bahan cat air, yang diaduk dengan air, kemudian dioleskan, daya tempelnya akan lebih kuat lagi. Hal itu menunjukkan bahwa tepung batu-kapur memiliki daya tempel lebih kuat daripada tepung beras, tapi lebih lemah daripada bahan cat air.

4.2.2. Cairan Perekat Warna

Daya rekat tidak hanya ditentukan oleh bahan dasar warnanya saja, melainkan juga oleh cairannya. Jika bahan pewarna yang daya rekatnya lemah dicampur dengan cairan yang memiliki daya rekat kuat, maka cairan perekat itu akan menjadi bahan cat yang baik. Yang penting adalah zat pewarna dan zat perekat bisa bersenyawa dengan sempurna. Tepung batu kapur misalnya, bisa bersenyawa dengan air, tapi sulit dengan minyak tanah. Cat minyak dapat bersenyawa dengan turpentin dan minyak tanah, tetapi sulit bersenyawa dengan minyak kelapa, dan tidak bisa bersenyawa dengan air.

Mungkin Anda semua sudah tahu bahwa ada dua kategori cat yang umum: cat air dan cat minyak. Para pembuat topeng di Jawa dan Bali, memakai cat yang sifatnya lebih dekat dengan cat air. Namun, cairannya bukan dengan air semata, melainkan dibuat dengan bahan perekat (semacam lem) melalui proses yang khusus. Bahannya disebut ancur, yang dibuat oleh pabrik kecil (home industry). Bahan utamanya tulang-belulang ikan laut. Bahan tersebut direbus oleh cairan yang telah bersenyawa dengan arang (bara) dan kulit buah-buahan (buah jangkang atau kepuh). Dengan ancur inilah bahan pewarna itu diaduk hingga benar-benar lumat. Untuk mengaduk bahan yang berwarna hitam (jelaga) atau merah (gincu), tidaklah berat, karena serbuknya halus dan proses persenyawaan cepat. Namun, untuk warna putih yang bahannya dari tulang, atau warna lain dari bahan batu-batuan seperti disebut di atas, proses pelumatannya cukup lama, yaitu dihancurkan di atas piring dengan bantuan

(28)

batu halus.

Dari uraian di atas, tampak bahwa pewarnaan dengan cara tradisional itu lebih lama, dan lebih mahal juga. Walaupun demikian, hasil pewarnaan tradisional tetap lebih disukai oleh kalangan seniman profesional, karena bahan-bahan pewarna sintetis modern dianggap belum mampu menggantikan kualitasnya secara memuaskan. Dengan kata lain, teknologi modern yang lebih mudah, murah, dan menurut pandangan selintas dari orang awam tampak lebih bagus, belum tentu mampu menghasilkan kualitas yang menyamai teknik tradisional. Di Jepang, negara Asia yang paling modern, misalnya, teknik tradisional mereka masih tetap dipakai, meski di kalangan profesional masih sangat terbatas jumlahnya. Selain hasil warnanya lebih alamiah, pewarnaan dengan cara tradisional lebih kuat daya tahannya. Perubahan warna yang terjadi karena usia, umumnya tidak dianggap rusak, malah sebaliknya dianggap makin memperkuat daya ekspresinya.

4.3 Pembuat Topeng

Di beberapa tempat, banyak orang yang profesinya khusus membuat topeng. Umumnya para pembuat topeng dari kayu memiliki kemampuan untuk mengukir kayu untuk keperluan lain, seperti untuk hiasan rumah, rancak gamelan, mebel, bangunan, dan sebagainya. Karena itu, kebanyakan dari mereka memiliki alat-alat khusus, misalnya pahat ukir kayu. Ini tidak berarti bahwa setiap pengukir kayu tradisional dapat membuat topeng karena dalam pembuatan topeng terdapat aspek keterampilan khusus, misalnya dalam

Gbr. 4-104: Beberapa pembuat topeng sedang mewarnai secara

bersama-sama dengan cat pabrik. Mengecat banyak topeng

sekaligus, dianggap cara paling efisien: mengecat yang satu

Gbr. 4-105: Seorang pembuat topeng di Thailand sedang mewarnai beberapa buah topeng dan boneka.

justru topeng karya merekalah yang paling tepat untuk dipilih.

Dengan demikian, kita harus membedakan dua makna dari sebutan profesional. Pertama adalah orang yang memiliki keahlian khusus (yang tidak dimiliki oleh kebanyakan orang). Makna kedua adalah orang yang melakukan pekerjaan khusus (tidak mengerjakan bidang lainnya). Meskipun demikian, kedua maknanya bisa disebut sebagai profesional. Jika istilah profesional

(29)

membuat ekspresi wajah. Keahlian membuat wajah ini belum tentu dimiliki oleh para pengukir kayu pada umumnya. Jika di atas telah diuraikan bagaimana rumitnya membuat pewarna, misalnya, hal itu menunjukkan pula bahwa dalam tradisi tersebut ada profesionalisme, di mana seniman harus mempelajarinya secara intensif dalam waktu relatif lama.

4.3.1 Spesialis, Generalis, Profesional, dan Amatir

Ada beberapa topeng, baik lama maupun baru, yang memiliki ukiran yang halus dan rapi, tetapi ekspresinya dianggap tidak baik. Sebaliknya, ada pula yang ekspresinya dianggap sangat baik, tetapi ukirannya mengecewakan. Yang paling ideal adalah keduanya bagus. Namun jika harus memilih, para penari topeng cenderung memilih jenis yang kedua, karena mereka lebih mementingkan ekspresi daripada ornamen.

Untuk memperjelas perbedaan ini, kita dapat membandingkannya dengan pembuatan wayang kulit. Pada wayang kulit, selain ukiran raut muka, ukiran (pahatan) bagian ornamen juga merupakan penentu kualitas. Meskipun demikian, para dalang lebih mementingkan ukiran pada bagian raut muka wayang. Berbeda dengan orang awam yang lebih mementingkan keindahan ornamennya. Muka berhubungan dengan ekspresi yang mendalam, yang sulit dihayati oleh awam, tetapi justru lebih penting bagi seniman. Adapun ornamen merupakan bagian yang lebih kasat mata bagi awam sehingga lebih menjadi perhatian kebanyakan orang.

Karena itu, tidaklah mengherankan jika kini kita menemukan topeng-topeng lama yang ekspresinya dianggap sangat baik oleh pemiliknya—bahkan dikeramatkan karena merupakan warisan keluarga beberapa generasi— meskipun hiasannya tampak bukan hasil kerja pengukir kayu profesional. Ini menandakan bahwa pembuat topeng yang bukan spesialis pengukir kayu pun dapat menghasilkan pekerjaan yang bagus. Mungkin mereka adalah penari atau pemusik grup topeng, sehingga mengetahui benar ekspresi yang bagus untuk menari.

Ada beberapa kasus yang menunjukkan bahwa pembuat topeng yang baik bukan spesialis, yakni membuat topeng bukan pekerjaan utama sebagai mata pencaharian. Mereka bisa saja berprofesi sebagai petani, tokoh masyarakat, ketua adat, arsitek, pemusik, penari, dukun, guru, dan sebagainya. Seniman seperti itu dapat disebut sebagai generalis, yakni orang-orang yang memiliki keahlian berbagai bidang, tapi jelas tidak bisa disebut amatir. Mereka adalah professional, dalam arti seseorang yang memiliki kepandaian tersendiri, yang dapat membuat sesuatu dengan kualitas terbaik untuk keperluannya. Jika hasil karya topengnya ditujukan untuk keperluan pertunjukan upacara-upacara ritual atau komunal, yang sering menuntut syarat-syarat lain di luar teknis, mungkin

(30)

dalam arti umum mengacu pada seseorang yang memiliki keahlian khusus dan tidak dimiliki oleh kebanyakan orang, maka dalam pendekatan kultural justru harus dikaitkan dengan kualitas dan fungsi produknya, yang tidak selalu bernilai komersial.

4.3.2 Perkembangan Pariwisata dan Komunikasi Global

Saat ini sistem komunikasi sangat maju, frekuensi dan kecepatannya sangat tinggi, dan terus meningkat. Dunia pariwisata dan forum-forum kebudayaan internasional makin mencuat dan menjadi perhatian dunia bisnis. Hal itu berpengaruh pada pendekatan produksi kesenian, termasuk pembuatan topeng. Karakter pariwisata (tourism) dalam bidang kesenian secara umum adalah “dangkal,” karena para wisatawan memang tak memiliki kesempatan (termasuk minat atau kepedulian) untuk mendalami substansinya (kesenian). Para wisatawan melakukan perjalanan wisata untuk rekreasi atau liburan. Persinggahan mereka pada suatu lokasi sangat singkat sehingga

Gbr. 4-108: Sunewi mewarisi keahlian ayahnya. Ia adalah pembuat topeng perempuan, keahlian yang sangat langka, Gbr. 4-106: Topeng kayu dari Batak, sedang dalam

proses pembuatan.

Gbr. 4-107: Pembuat topeng di Padepokan Mangun Darma,

(31)

pengalamannya hanyalah selintas. Sementara itu, dunia pariwisata merupakan pendukung sektor ekonomi yang cukup besar terhadap bidang kesenian. Oleh karena itulah muncullah berbagai seni untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pengrajin topeng pun bermunculan di berbagai tempat pariwisata, termasuk di wilayah yang sebelumnya tidak ada pengrajinnya. Gaya-gaya topeng baru, yang seolah dan diakui sebagai gaya setempat, kini tumbuh. Gaya topeng Lombok, misalnya, yang berbentuk lonjong-panjang dengan bahan dasar kulit kerang itu, sulit untuk dicari kaitannyanya dengan gaya tradisi sebelumnya. Artinya, dunia pariwisata telah menciptakan gaya tersendiri, bukan hanya di Indonesia melainkan juga di berbagai pelosok dunia. Karena itu, saat ini banyak pengrajin topeng yang memproduksinya untuk tujuan pariwisata, yang mungkin tidak ada kaitannya dengan dunia pertunjukan topeng.

Pengrajin topeng tradisional, yang memang bagian dari dunia tradisi topeng setempat, tidak berarti terlepas dari dunia komunikasi global. Sebagian orang asing akan memperhatikan substansinya karena mereka memiliki minat besar untuk menelusuri kualitas atau “originalitas” kesenian. Umumnya mereka berasal dari kalangan akademis, yang juga turut menunjang faktor

Gbr. 4-109: Yonas Wan Beng, pembuat topeng di Dayak Modang, Kaltim.

Gbr. 4-110: Mengukir (memahat) bagian muka wayang kulit dianggap paling sulit oleh ahlinya, bukan bagian ornamennya yang

(32)

ekonomi.

Di Indonesia, dunia akademisi kesenian makin meningkat. Sekolah menengah dan perguruan tinggi kesenian (termasuk institut keguruan bidang seni), yang didirikan sejak awal tahun 60-an, kini sudah tersebar di belasan kota, antara lain Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Banyumas, Bandung, Jakarta, Denpasar, Singaraja, Padang Panjang, Padang, Medan, Makassar, Manado, dan Kupang.

Terlepas dari sudut pandang baik atau buruk dari sisi kesenian, dunia pariwisata dan akademis, secara langsung dan tidak, telah mendukung kelangsungan pembuatan topeng. Jika dibandingkan, pembuat topeng kini jauh lebih banyak ketimbang misalnya tahun 70-80-an. Di antara mereka, ada yang membuat topeng dalam jumlah banyak. Bahkan ada beberapa orang yang memilih pengrajin topeng sebagai profesi utamanya. Hasil karyanya bisa diperjualbelikan, digunakan untuk pertunjukan, ataupun sekedar hiasan-hiasan dinding seperti yang terdapat di toko-toko suvenir. 

(33)

Gbr. 4-111: Topeng yang mencampur gaya Cirebon (Setiawati, yang duduk), dan Bali

(Salya, yang tertidur), dalam karya teater eksperimental karya Takuo ENDO di Jepang,

Gbr. 4-112: “Topeng Baru” karya Rakidi dari Indramayu, yang mengambil karakter topeng no Jepang: idiom tradisional topeng

Cirebon-Gbr. 4-113: Tiga buah topeng yang dijual di toko, ditawarkan melalui internet, yang disebutkan

masing-masing (kiri ke kanan: Irian Jaya, Bali, dan Jepang. Dari bahan dan gayanya, kita bisa tahu bahwa semua adalah buatan di satu tempat atau bahkan satu

Gbr. 4-114: Selain kerajinan dari Sulawesi Selatan, toko suvenir di bandara Makassar juga menjual topeng-topeng dari berbagai wilayah budaya Indonesia, termasuk

Referensi

Dokumen terkait

officinalis yang tertangkap di Perairan Utara Aceh telah dilaporkan oleh dan kajian tentang genetik cumi sirip ( C. lessoniana) sudah dilakukan oleh, namun penelitian

1.Dalam penelitian yang mengungkapkan pola penggunaan iklan online, peneliti hanya memiliki 2 variabel. Peneliti menyadari masih banyak variabel lain yang dapat

Uji toksisitas ekstrak etil asetat spons dilakukan dengan menghitung persen kematian larva Artemia salina pada tiap konsentrasi lalu dibandingkan dengan kontrol dan

→ Menjawab pertanyaan tentang materi Reproduksi sel sebagai kegiatan untuk membentuk morfologi tubuh dan memperbanyak tubuh yang terdapat pada buku pegangan peserta didik atau

When referred to in a Requirement or Requirements Class, the boxes contained in the LandInfra UML figures may all be called “Classes” even if they are data types, enumerations,

Pembangunan ekonomi dilakukan dengan melakukan suatu transformasi potensi sumber daya wilayah pesisir dan laut menjadi barang dan jasa, melalui proses industri, sehingga

 Genus passiflora yang biasanya disebut sebagai buah markisa merupakan genus yang besar dengan persebaran yang luas dan termasuk spesies yang berada pada daerah tropis.  Tumbuhan