• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L.) - PENGARUH EKSTRAK RIMPANG LENGKUAS (Alpinia galanga L.) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.) -

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L.) - PENGARUH EKSTRAK RIMPANG LENGKUAS (Alpinia galanga L.) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici PENYEBAB PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA TANAMAN CABAI (Capsicum annum L.) - "

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L.)

Tanaman cabai merupakan salah satu komoditi penting yang berasal dari Meksiko (Kusandriani 1996; Suwandi 1996). Menurut Suwandi (1996), tanaman cabai diperkenalkan ke Asia pada abad 16 oleh pengembara Portugis dan Spanyol dari Amerika Selatan dalam perjalanan dagangnya dan menyebar sampai ke Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Menurut Cronquist (1981) cabai merah keriting diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisio : Magnoliophyta Classis : Magnoliopsida Ordo : Solanales Famili : Solanaceae Genus : Capsicum

Species : Capsicum annum L.

(2)

Cabai merah merupakan herba tegak, 1 tahun atau menahun, sering kuat dan bercabang lebar, tinggi 1-2,5 m. Pada bagian batang yang muda berambut halus. Daunnya tersebar 2-3 helai dengan ukuran yang berbeda, panjang tangkai daun 0,5-2,5 cm dan helaian daunnya berbentuk bulat telur memanjang atau elips bentuk lanset pada bagian pangkal meruncing sedangkan bagian ujungnya runcing. Pada bagian bunganya mengangguk dengan tangkai 10-18 mm. Bunga cabai ini memiliki kelopak yang berusuk berbentuk lonceng, gundul, panjangnya 2-3 mm dan memepunyai 5 gigi. Mahkotanya berbentuk roda, terbagi menjadi 5, tinggi tabung 2 mm, tepian terbentang luas, dengan garis tengah 1,5-2 cm dan taju berbentuk runcing. Selain itu juga memiliki kepala sari yang semula ungu kemudian berubah menjadi hijau perunggu (van Steenis dkk, 2008). Buah cabai merah keriting berwarna hijau pada saat masih muda dan berwarna merah pada saat panen. Permukaan buah rata, licin dan yang sudah matang berwarna cerah mengkilat (Indroprahasto dan Madyasari, 2005). Panjang buah berkisar 9-15 cm, diameternya 1-1,75 cm dan berat bervariasi antara 7,5-15 g/buah. Letak buah menggantung pada percabangan atau ketiak daun (Sastradiharja, 2011).

(3)

runcing, kulit buah mengkilat pada buah muda berwarna hijau tua dan buah tua berwarna merah (Prajnanta, 1991).

2.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Cabai

Menurut Setiadi (2000) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan cabai antara lain : persiapan tanam (meliputi tempat pembenihan dan benih), perawatan semaian, dan lokasi budidaya.

(4)

2.1.2 Gangguan atau Kendala pada Tanaman Cabai

Selain diperlukannya biaya yang besar dan ketelatenan oleh petani, kendala lain yang dihadapi oleh petani dalam budidaya cabai yaitu adanya gangguan penyakit atau hama pada tanaman cabai tersebut (Mujahid, 2012).

a. Hama yang menyerang pada tanaman cabai

Hama yang menyerang pada tanaman cabai yang selama ini petani alami adalah berupa hama trips (Thrips parvispinus karny) dan ulat grayak (Spodoptera litura F.). Hama thrips sudah tidak asing lagi bagi para petani cabai. Thrips yang menyerang cabai tergolong sebagai pemangsa segala jenis tanaman. Dengan panjang tubuh sekitar ± 1 mm, serangga ini tergolong sangat kecil tetapi masih dapat dilihat dengan mata telanjang. Thrips biasanya menyerang bagian daun muda dan bunga. Serangan paling parah biasanya terjadi pada musim kemarau, tetapi tidak menutup kemungkinan pada saat musim hujan bisa juga terjadi serangan. Gejala yang dapat dikenali dari kehadiran hama ini adalah adanya strip-strip pada daun dan berwarna keperakan. Adanya noda keperakan itu tidak lain akibat adanya luka dari cara makan hama thrips. Dalam beberapa waktu kemudian, noda tersebut akan berubah warna menjadi coklat muda. Yang paling membahayakan dari thrips adalah selain dia sebagai hama perusak, juga sebagai carrier atau pembawa bibit penyakit (berupa virus) yang menyebabkan penyakit pada tanaman cabai. Untuk itu, apabila mampu mengendalikan hama thrips, tidak hanya memberantas dari serangan hama tetapi juga dapat mencegah penyebaran penyakit akibat virus yang dibawanya (Mujahid, 2012).

(5)

hewan yang sangat rakus. Hanya dalam waktu yang tidak lama, daun-daun cabai bisa rusak olehnya. Ulat yang setelah dewasa berubah menjadi sejenis ngengat ini akan memakan daun-daunan pada masa larva untuk menunjang perkembangan metamorfosis-nya. Ulat grayak tidak hanya menyerang tanaman cabai saja melainkan juga tanaman pisang, bawang, pepaya, kentang, padi, kacang dan lain-lain (Semangun, 1994).

b. Penyakit yang menyerang tanaman cabai

(6)

menyerang batang, tangkai daun serta tangkai bunga. Seperti halnya layu bakteri, cendawan Cercospora capsici penyebab bercak daun ini dapat bertahan hidup pada sisa-sisa tanaman. Sedangkan yang terakhir penyakit bercak bakteri ini disebabkan oleh Xanthomonas campetres. Tanaman cabai yang terserang penyakit ini awalnya terlihat memiliki bercak sirkuler berukuran kecil, kemudian timbul bisul berwarna hijau pucat yang ditengahnya melekuk kedalam. Patogen ini menyerang daun, buah, dan batang. Di tempat terserang tampak bintik-bintik berwarna cokelat di tengah dan dikelilingi lingkaran klorosis tidak beraturan. Gejala sangat jelas terlihat di permukaan daun sebelah atas. Di buah, gejala serangan ditandai adanya bercak cokelat (Semangun,1994).

2.1.3 Antraknosa

(7)

Nurhayati (2006), menyatakan bahwa untuk mengatasi antraknosa telah digunakan fungisida yang alami antara lain dengan menggunakan ekstrak daun sirih, kulit jeruk, daun nimba, brotowali dan biji jarak.

Gambar 2.1 Cabai yang terserang antrakosa

a. Klasifikasi Colletotrichum capsici

Penyakit antraknosa pada tanaman cabai (C. capsici) merupakan penyakit yang menjadi kendala utama dalam usaha budidaya cabai. Klasifikasi jamur C. capsici pada tanaman cabai (C. annum) menurut Singh (1998), diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom: Fungi

Divisio : Aschomycotina Classis : Pyrenomycetes Ordo : Sphaeriales Famili : Polystigmataceae Genus : Colletotrichum Spesies : C. capsici

(8)

berarti bagi tanaman, tetapi dari bagian inilah penyakit dapat berkembang ke buah dan menimbulkan masalah yang sangat serius. Buah yang terserang akan menimbulkan gejala bercak bewarna hitam dan dapat berkembang menjadi busuk lunak. Serangan yang berat dapat menyebabkan seluruh buah mengering, keriput dan buah menjadi rontok ke tanah (Semangun, 1994).

b. Morfologi Colletotrichum capsici

C. capsici semula disebut Colletotrichum nigrum yang diduga juga sama dengan Vermicularia capsici. Jamur ini mempunyai banyak aservulus, tersebar di wilayah kutikula atau pada permukaan, garis tengahnya sampai 100 µ m, berwarna hitam dengan mempunyai banyak seta. Setanya berwarna coklat tua, mempunyai sekat, kaku, dan bentuknya meruncing ke atas dengan ukuran 75 -100x2-6,2 µ m. Konidium hialain, berbentuk tabung (silindris), 18,6 -25,0 x 3,5-5,3 µ m, ujung-ujungnya tumpul atau bengkok seperti sabit. Jamur membentuk banyak sklerotium dalam jaringan tanaman sakit atau dalam medium biakan (Semangun, 1994).

c. Siklus Hidup

(9)

d. Gejala Serangan

Gejala serangan yang ditimbulkan oleh jamur C. capsici yang terdapat pada tanaman cabai yaitu mula-mula berbentuk bintik-bintik kecil berwarna kehitaman dan berlekuk, pada buah yang masih hijau atau yang sudah masak. Bintik-bintik ini tepinya berwarna kuning, membesar dan memanjang. Bagian tengahnya menjadi semakin gelap (Semangun, 1994).

2.2 Fungisida

Fungisida adalah zat kimia yang digunakan untuk mengendalikan cendawan (fungi). Fungisida umumnya dibagi menurut cara kerjanya di dalam tubuh tanaman sasaran yang diaplikasi, yakni fungisida nonsistemik, sistemik, dan sistemik local. Pada fungisida, terutama fungisida sistemik dan non sistemik, pembagian ini erat hubungannya dengan sifat dan aktifitas fungisida terhadap jasad sasarannya. Fungisida nonsistemik tidak dapat diserap dan ditranslokasikan didalam jaringan tanaman. Fungisida nonsistemik hanya membentuk lapisan penghalang di permukaan tanaman (umumnya daun) tempat fungisida disemprotkan berfungsi mencegah infeksi cendawan dengan cara menghambat perkecambahan spora atau miselia jamur yang menempel di permukaan tanaman (Chaube, 2006).

(10)

Penggunaan fungisida yang berbahan dasar kimia, selama ini telah banyak digunakan oleh para petani cabai. Hasilnya memuaskan namun fugsisida sistemik dan nonsistemik ini harganya relatif mahal dan berdampak buruk bagi lingkungan. Biofungisida bersifat ramah lingkungan sehingga aman bagi lingkungan, manusia dan hewan karena tidak menyisakan residu bahan kimia yang berbahaya di dalam tanah, sangat baik untuk pertanian organik (Prapagdee et al., 2008).

(11)

2.4Lengkuas (Alpinia galanga L.)

2.4.1 Deskripsi Lengkuas (Alpinia galanga L.)

Klasifikasi tanaman lengkuas berdasarkan penggolongan dan tata nama tumbuhan menurut Conqruist (1981) adalah :

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Bangsa : Zingiberales Suku : Zingiberaceae Marga : Alpinia

Jenis : Alpinia galanga. L.

Gambar 2.2 Rimpang lengkuas

(12)

Bentuk batang lengkuas tegak, tersusun oleh pelepah-pelepah daun yang bersatu membentuk batang semu, berwarna hijau agak keputih-putihan. Batang muda keluar sebagai tunas dari pangkal batang tua (Abuanjeli, 2010).

Daun tunggal berwarna hijau, bertangkai pendek tersusun berseling. Daun disebelah bawah dan atas biasanya lebih kecil daripada yang ditengah. Bentuk daun lanset memanjang dan ujungnya runcing, pangkal tumpul dengan tepi daun rata. Pertulangan daun menyirip, panjang daun sekitar 20-60 cm, dan lebarnya 4-15 cm. Pelepah daun kira-kira 15-30 cm, beralur dan berwarna hijau (Abuanjeli, 2010).

Bunganya merupakan bunga majemuk berbentuk lonceng, berbau harum, berwarna putih kehijauan atau putih kekuningan. Ukuran perbungaan kurang lebih 10-30 cm x 5-7 cm. Jumlah bunga dibagian bawah tandan lebih banyak daripada di bagian atas, panjang bibir bunga 2,5 cm, berwarna putih dengan garis miring warna merah muda pada tiap sisi. Mahkota bunga yang masih kuncup pada bagian ujungnya berwarna putih, sedangkan pangkalnya berwarna hijau (Abuanjeli, 2010).

Buahnya merupakan buah buni, berbentuk bulat, keras, ketika muda berwarna hijau-kuning, setelah tua berubah menjadi hitam kecoklatan, berdiameter ± 1 cm. Ada juga yang buahnya berwarna merah, bijinya kecil-kecil berbentuk lonjong dan berwarna hitam (Sinaga, 2000.

2.4.2 Kandungan Kimia Lengkuas

(13)

Terpenoid dikenal sebagai kelompok utama pada tanaman sebagai penyusun minyak atsiri. Terpenoid mempunyai rumus dasar (C5H8)n atau dengan satu unit isopren. Jumlah n menunjukkan klasifikai pada terpenoid yang dikenal dengan monoterpen, seskwiterpen, diterpen, triterpen, tetraterpen dan politerpen. Struktur terpenoid ada yang berbentuk siklik dan ada yang tidak (Wallis, 1981).

(14)

4.2.3 Penggunaan Lengkuas

Tanaman lengkuas dikenal sebagai tanaman penghasil bahan pewangi dan penambah flavor masakan. Rimpang yang muda dan segar dapat dimanfaatkan untuk mengawetkan masakan. Rimpang lengkuas yang berwarna putih pemanfaatanya banyak digunakan pada bidang pangan. Rimpang lengkuas selama ini dikenal sebagai pengempuk daging dalam masakan dan digunakan sebagai salah satu rempah bagi berbagai jenis bumbu masakan tradiional Indonesia (Heyne, 1987).

Lengkuas yang biasanya digunakan untuk pengobatan untuk pengobatan adalah jenis lengkuas merah. Dalam farmakologi Cina dan pengobatan tradisional lainnya disebutkan, lengkuas merah mempunyai sifat antijamur dan antikembung. Efek farmakologi ini umumnya diperoleh dari rimpang yang mengandung basonin, eugenol, galangan dan galangol. Basonin dikenal memiliki efek merangsang semangat, eugenol sebagai antijamur C. albicans, antikejang, analgetik, dan anastetik, galangan meredakan rasa lelah, meredakan rasa lelah dan antimutagenik, sementara galangol dapat merangsang semangat dan menghangatkan tubuh. Khasiat rimpang lengkuas juga sudah dibuktikan secara ilmiah melalui berbagai penelitian sebagai antijamur, terutama pada penyakit kulit seperti panu (Hezmela, 2006). Ekstrak lengkuas diketahui mampu menghambat pertumbuhan koloni kapang dermatofit pada kelinci (Gholib dan Kusumaningtyas, 2007). Penelitian lain oleh Soesanti dan Purwoko (2008) yaitu ekstrak rimpang lengkuas yang mampu menghambat pertumbuhan jamur Aspergillus sp.

(15)

Pengujian aktivitas antijamur merupakan cara untuk menentukan kerentanan jamur terhadap suatu zat antijamur. Beberapa faktor yang mempengaruhi aktifitas antijamur secara in vitro antara lain adalah pH lingkungan, komponen media, stabilitas zat antijamur, ukuran inokulum, masa inkubasi, dan aktivitas metabolisme mikroorganisme (Asmaedy, 1991). Menurut Ganiswara (1995), metode pengujian aktivitas antijamur in vitro berdasarkan prinsipnya dibagi menjadi :

a. Metode Difusi

Pada metode difusi, zat anti jamur ditentukan aktifitasnya berdasarkan kemampuan berdifusi pada lempeng agar yang telah diinokulasi dengan jamur uji. Dasar pengamatannya adalah dengan melihat ada atau tidaknya zona hambatan (daerah bening yang tidak memperlihatkan adanya pertumbuhan jamur) yang terbentuk disekeliling zat antijamur. Metode ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu cara cakram dan sumur (Ganiswara, 1995).

1) Cara cakram (disc)

(16)

2) Cara sumur

Pada cara ini dipergunakan cakram kertas saring yang mengandung suatu zat antijamur dengan kekuatan tertentu yang diletakkan pada lempeng agar yang telah diinokulasi dengan jamur uji, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37° C selama 7 samapi 14 hari. Pengamatan dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya zona hambatan di sekeliling sumur (Ganiswara, 1995).

b. Metode Dilusi

Pada metode ini zat antijamur dicampur dengan media agar yang kemudian diinokulasi dengan jamur uji. Pengamatan dilakukan dengan melihat tumbuh atau tidaknya jamur dalam media. Aktifitas zat antijamur ditentukan dengan melihat konsentrasi hambat minimum (KHM), yaitu konsentrasi hambatan terkecil dari zat antijamur yang dapat menghambat pertumbuhan jamur uji. Metode ini dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu cara penipisan lempeng agar dan pengenceran tabung.

1) Cara penipisan lempeng agar

Pada cara ini, zat uji diencerkan sehingga diperoleh suatu larutan uji yang mengandung 100µg/ml, larutan ini sebagai larutan sediaan. Dari larutan sediaan dibuat secara serial penipisan larutan uji dengan metode pengenceran kelipatan dua dalam media agar yang masih cair, kemudian dituang ke dalam cawan petri. Jamur uji diinokulasikan setelah agar membeku dan kering. Zat diinkubasi pada suhu 37% C selama 7 sampai 14 hari. Aktivitas zat uji ditentukan sebagai KHM (Ganiswara, 1995).

(17)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

‘Have you ever woken up,’ said the Doctor, ‘and looked out of the window at the world, and thought, today anything could happen, today I could be anyone, today everything

Pada akhir tenggang waktu tersebut atau atas usul Hakim Pengawas atau atas permintaan, dan setelah mendengar seperti yang dimaksud dalam ayat (1) tersebut di atas, pengadilan

Ketiga , dari sudut te- ori pendidikan modern, corak tujuan pendi- dikan Muhammadiyah lebih dekat dengan teori pendidikan progresif, namun karena fondasinya religius, maka

Dengan melihat hadits yang diriwayatkan Abdullâh bin ‘Umar dan beberapa riwayat lain serta melihat proses turunnya syariat yang tanpa diawali sebab-sebab tertentu serta beberapa

The aims of this study are to find out the portrayals of the characters and the biblical values conveyed through the five people that Eddie meets in heaven in Mitch Albom’s The

c. Mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan dengan persepsi siswa tentang perilaku seksual di SMA X Purwokerto. Mengetahui hubungan paparan media masa dengan

Maka dari itu, akan didirikan Pabrik Trisodium Fosfat dengan kapasitas 45.000 ton/tahun untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan untuk peluang ekspor1. Pabrik