BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS
2.1Kajian Teoretis
2.1.1 Konsep Dasar Kecerdasan Emosinal
Di bawah ini akan dijelaskan konsep dasar kecerdasan emosional menurut
para ahli sebagai berikut.
Menurut Thoha (2008:53) bahwa “kecerdasan emosi merupakan salah satu
kompetensi perilaku.” Hal ini diperjelas Goleman (2006:56) yang mengelompokkan kompetensi sesuai dengan wilayah kecerdasan emosi.
Kompetensi, yang merupakan kecerdasan emosi, dibagi dalam dua golongan besar
yaitu: (1) kompetensi personal (personal competence) dan (2) kompetensi sosial
(sosial competence). Kompetensi personal dimaksud dimana seseorang yang
memiliki kecerdasan emosional adalah seseorang yang mampu mengendalikan
dirinya. Selanjutnya, kompetensi sosial dimaksud dimana seseorang yang
memiliki kecerdasan emosional adalah orang yang mampu berinteraksi dengan
orang lain.
Emosi merupakan perasaan yang diakibatkan oleh respon terhadap
rangsangan dari luar. Seseorang dikatakan mengalami situasi emosi jika dia
merespon stimulus atau rangsangan dari orang lain. Hal ini diperjelas oleh Wade
dan Tavris sebagai berikut.
Wade dan Tavris (2007:105) menjelaskan bahwa “emosi adalah situasi
stimulasi yang melibatkan perubahan pada tubuh wajah, aktivasi pada otak,
tindakan, yang dibentuk seluruhnya oleh peraturan-peraturan yang terdapat di
suatu kebudayaan. Lebih lanjut juga emosi adalah jantung dan jiwa pengalaman
manusia.”
Sedangkan menurut Goleman (dalam Ali dan Asrori 2011:62) “emosi
sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan
mental yang hebat dan meluap-luap. Goleman juga mengatakan bahwa emosi
merujuk kepada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan
biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.”
Menurut Crow dan Crow (dalam Sunarto dan Hartono 2008:150) “emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian diri individu tentang
keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkahlaku yang tampak.”
Disamping itu, emosi juga dapat mempengaruhi perubahan-perubahan
fisik pada seseorang. Salah satu contoh disaat kita marah maka tensi darah kita
akan meningkat. Hal dibenarkan oleh Sunartono dan Hartono sebagai berikut.
Menurut Sunartono dan Hartono (2008:105) emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Pada saat terjadi emosi seringkali terjadi perubahan-perubahan pada fisik, antara lain berupa: (1) reaksi elektris pada kulit (meningkat bila terpesona), (2) peredaran darah (bertambah cepat bila marah), (3) denyut jantung (bertambah cepat bila terkejut), (4) pernapasan: bernapas panjang bila kecewa, (5) pupil mata (membesar bila marah), (6) liur (mengering kalau takut atau tegang), (7) bulu roma (berdiri kalau takut), (8) pencernaan (mencret-mencret kalau tegang), (9) otot (ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar), (10) komposisi darah (komposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang menyebabkan kelenjar-kelenjar lebih aktif).
Selain itu, Poerbakawatja juga menjelaskan tentang pengertian emosi yang
Poerbakawatja (dalam Ali dan asrori 2011:62) menyatakan bahwa “emosi adalah suatu respon terhadap suatu perangsang yang menyebabkan perubahan
psikologis disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung kemungkinan
untuk meletus.”
Dari beberapa penjelasan para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan
pengertian emosi adalah situlasi yang melibatkan perubahan pada fisik, psikis dan
psikologis seseorang. Selanjutnya akan dibahas tentang pengertian kecerdasan
emosional menurut para ahli sebagai berikut.
Menurut Goleman (dalam Fatimah 2010:114), “kecerdasan emosioanal adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri,
ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda
kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa.” Dengan kecerdasan emosional seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan
mengatur suasana hati.
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang
dalam mengendalikan respon terhadap rangsangan tertentu. Artinya dapat
mengendalikan diri dalam merealisasikan emosi.
Sama halnya dengan apa yang dikatakan oleh Cooper dan Sawaf (dalam
Fatimah 2010:114), “kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai
sumber energi dan pengaruh yang manusiawi.” Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan, pada diri dan
orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi
emosi dalam kehidupan sehari-hari.
Kecerdasan emosi adalah seseorang yang mampu mengendalikan
emosinya seperti; marah, sedih, bahagia, kecewa, dan sebagainya. Hal ini dapat
dilihat pada seorang penyabar dan juga orang yang mudah bergaul dengan orang
lain.
Howes dan Herald (dalam Fatimah 2010:114), juga berpendapat bahwa pada intinya kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.
Dari beberapa pendapat para ahli tentang emosi dan kecerdasan emosi,
dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar
mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan
menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam
kehidupan dan pekerjaan sehari – hari. Unsur penting kecerdasan emosional
terdiri dari: kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial
(menangani suatu hubungan); dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah
2.1.2 Ciri-Ciri Kecerdasan Emosional
Berdasarkan pengertian emosi dan kecerdasan emosinal maka di bawah ini
akan dijelaskan ciri-ciri dari kecerdasan emosional menurut para ahli sebagai
berikut.
Menurut Biehler (dalam Sunarto dan Hartono 2008:156) ciri-ciri emosi
remaja usia 15 – 18 tahun adalah sebagai berikut:
a. Pemberontakan remaja merupakan pernyataan-pernyataan/ekspresi dan
perubahan yang universal dari masa kanak-kanak ke dewasa.
b. Karena bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaja yang mengalami
konflik dengan orang tua mereka. Mereka mungkin mengharapkan simpati
dan nasihat orang tua atau guru.
c. Siswa pada usia ini seringkali melamun, memikirkan masa depan mereka.
Dengan demikian dapat disimpulkan ketiga ciri tersebut yaitu: (a) bentuk
emosi yang menyatakan tidak setuju di tunjukan oleh seseorang pada saat ia ada
pada masa remaja yakni dengan melakukan pemberontakan; (b) remaja yang
mulai memiliki kebebasan memilih terkadang apa yang menjadi pilihannya tidak
sejalan dengan pilihan orang tua atau orang disekitarnya dan akhirnya berujung
konflik; (c) banyak di antara mereka terlalu tinggi menafsir kemampuan mereka
sendiri dan merasa berpeluang besar untuk memasuki pekerjaan dan memegang
Goleman (dalam Ali dan Asrori 2011:63) mengidentifikasikan sejumlah
kelompok emosi, yaitu sebagai berikut.
a. Amarah, di dalamnya meliputi brutal, mengamuk, benci, marah besar,
jengkel, kesal hati, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, tindak
kekerasan, dan kebencian patologis.
b. Kesedihan, di dalamnya meliputi pedih, sedih, muram, suram, melankolis,
mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi.
c. Rasa takut, di dalamnya meliputi cemas, takut, gugup, khawatir, waswas,
perasaan takut sekali, sedih, waspada, tidak tenang, ngeri, kecut, panik,
dan fobia.
d. Kenikmatan, di dalamnya meliputi bahagia, gembira, ringan puas, riang,
senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, terpesona, puas,
rasa terpenuhi, girang, senang sekali, dan mania.
e. Cinta, di dalamnya meliputi penerimaan, persahabatan, kepercayaan,
kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih sayang.
f. Terkejut,di dalamnya meliputi terkesiap, takjub, dan terpana.
g. Jengkel, di dalamnya meliputi hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka,
dan mau muntah.
h. Malu, di dalamnya meliputi rasa bersalah, malu hati, kesal hati, menyesal,
hina, aib, dan hati hancur lebur.
Beberapa ciri-ciri emosi tersebut sudah mewakili berbagai emosi yang ada
pada diri individu. Selanjutnya akan dibahas tentang ciri-ciri kecerdasan
Menurut Setiabudhi (2002:52) ciri-ciri kecerdasan emosional sebagai
berikut: “(1) kemampuan mengenal emosi diri, (2) kemampuan mengelola emosi,
(3) kemampuan memotivasi diri, (4) kemampuan mengenal emosi orang lain, (5)
kemampuan membina hubungan dengan orang lain”.
Kelima ciri tersebut saling berkaitan dimana seseorang yang memiliki
kecerdasan emosi maka pertama-tama individu itu mampu untuk mengenali emosi
dirinya seperti marah, sedih, kecewa, bahagia, cinta, dan sebagainya, sehingga
individu itu mampu menempatkan emosinya tersebut. Kedua, individu yang sudah
mampu mengenal emosinya maka dengan mudah ia mampu untuk mengelola
emosinya. Ketiga, setelah individu mengenal dan mengelola emosinya dengan
baik maka individu itu akan memperolah cara untuk memotivasi dirinya.
Keempat, setelah individu mampu mengenal, mengelola serta memotivasi dirinya
maka secara otomatis individu tersebut mampu untuk mengenali emosi orang lain.
Dan terakhir, setelah individu mampu untuk mengenal emosi orang lain maka hal
itu dapat mengantarkan individu untuk lebih mudah membina hubungan dengan
orang lain.
Dalam mendefinisikan emosi, para psikolog berfokus pada tiga komponen
utama perubahan fisiologis pada wajah, otak dan tubuh; proses kognitif seperti
interpretase suatu peristiwa; serta pengaruh budaya yang membentuk pengalaman
dan ekspresi emosi (Wade dan Tavris, 2007:106).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kecerdasan emosional
ialah kemampuan seseorang dalam mengelola emosi dalam bentuk apapun baik
2.1.3 Pentingnya Kecerdasan Emosional
Sebagai seorang siswa yang dituntut agar dapat berinteraksi dengan baik di
lingkungan sosial khususnya lingkungan sekolah, maka siswa tersebut harus
memiliki kecerdasan emosinal sehingga dalam pergaulannya dia dapat
berinteraksi dengan baik sehingga dapat meminimalisir perselisihan antara siswa
tersebut.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Suparno, dkk (tt:61) bahwa seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional akan mampu menghadapi masalah yang terjadi dalam kehidupan karena biasanya yang mempunyai kecerdasan emosional mempunyai kesadaran akan emosinya, mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya karena selalu tergerak melakukan aktivitas dengan baik dan ingin mencapai tujuan yang diinginkannya, dapat mengungkapkan perasaan secara baik, dan kontrol dirinya sangat kuat. Orang yang mempunyai kecerdasan emosional tinggi bukan berarti bahwa dia tidak pernah marah tetapi biasanya mereka marah pada saat yang tepat dengan disertai tujuan yang jelas. Orang-orang yang mempunyai kecerdasan emosional akan mandiri, berusaha keras dalam setiap aktivitas hidupnya, optimis, tidak pendedam dan tekun.
Seperti apa yang dikatakan oleh Goleman (2006:57) bahwa dengan
memiliki kecerdasan emosional maka seseorang dapat meraih sukses dalam
kehidupannya. Karena menurutnya dengan kecerdasan emosi yang baik,
seseorang akan memiliki kompetensi pripadi ataupun kompetensi sosial yang baik
pula. Goleman juga menambahkan bahwa seseorang yang cerdas emosinya adalah
orang yang mampu mengenali emosi diri dan orang lain, mampu mengelola
emosi, mampu memotivasi diri sendiri, serta mampu membina hubungan dengan
siapapun.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka kecerdasan emosional
emosional, individu mempu mengendalikan diri sehingga individu tersebut dapat
meraih kesuksesan dalam kehidupannya.
2.1.4 Faktor-Faktor Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Berikut ini akan dijelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosional menurut para ahli yaitu.
Menurut Tridhonanto (2009:16) faktor-faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosinal antara lain: (a) faktor pengaruh lingkungan; (b) faktor
pengasuhan; (c) faktor pendidikan baik di sekolah maupun di rumah.
Selain itu, Agustian (dalam winarti, 2012) juga mengungkapkan beberapa
faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosinal yaitu :
a. Faktor Psikologis
Merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal ini
akan membantu individu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan dan
mengkondisikan keadaan emosi agar termanifestasi dalam perilaku secara efektif.
Jadi ketika seseorang yakin bahwa dia mampu menempatkan emosinya dengan
tepat maka akan terealisasi pada perilaku baik. Begitu juga sebaliknya, ketika
seseorang tidak yakin bahwa dia mampu menempatkan emosinya dengan tepat,
b. Faktor Pelatihan Emosi
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan
kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang
berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang
pun akan berkembang menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul
begitu saja tanpa dilatih.
Dengan demikian ketika seseorang pada proses pelatihan emosi misalnya
di lingkungan keluarga, seorang anak mendapatkan pengalaman-pengalaman
yang baik dari ayah ibunya pada saat situasi marah, sedih, ataupun bahagia maka
secara otomatis akan membentuk perilaku baik si anak yaitu dapat mengendalikan
diri pada situasi-situasi tersebut. Begitu juga sebaliknya, ketika seorang anak
mendapatkan pengalaman-pengalaman yang buruk dari ayah dan ibuya pada
situasi marah, sedih, ataupun bahagia maka secara otomatis akan membentuk
perilaku buruk pula bagi si anak yakni tidak dapat mengendalikan diri pada
situasi-situasi tersebut.
c. Faktor pendidikan
Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk
mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai di kenalkan dengan berbagai
bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya dalam melalui pendidikan. Dengan
demikian jika individu memiliki pengetahuan tentang berbagai macam bentuk
emosi, maka jelaslah dia dapat merealisasikan apa yang dia tahu pada kehidupan
sehari-hari. Sehingga individu mampu untuk menempatkan emosinya pada porsi
2.1.5 Pengertian Atmosfir Sekolah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian atmosfir adalah
suasana perasaan yang bersifat imajinatif. Di samping itu, menurut Notoseputro
(2008:173) bahwa atmosfir adalah suasana dan kondisi.
Sedangkan pengertian sekolah, menurut Yusuf (dalam Susilowati
2005:44) merupakan “lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka
membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang
menyangkut aspek moral, spritual, intelektual, emosional, maupun sosial.”
Sekolah adalah lembaga pendidikan secara resmi menyelenggarakan
kegiatan pembelajaran secara sistematis, berencana, sengaja dan terarah yang
dilakukan oleh pendidik yang professional dengan program yang dituangkan ke
dalam kurikulum tertentu dan diikuti oleh peserta didik pada setiap jenjang
tertentu, mulai dari tingkat anak-anak sampai perhuruan tinggi.
Disamping itu, Sumitro, dkk (dalam Devamelodika, 2012:23) “Sekolah
adalah lingkungan pendidikan yang mengembangkan & meneruskan pendidikan
anak menjadi warga Negara yang cerdas, terampil & bertingkah laku baik”.
Sekolah sebagai tempat belajar bagi seorang siswa dan teman-temannya untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan dari gurunya dimana pelaksanaan kegiatan belajar
dilaksanakan secara formal.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa atmosfir
dalam lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program
pendidikan dan membantu siswa mengembangkan potensinya.
2.1.6 Ruang Lingkup Atmosfir Sekolah
Selain pengertian atmosfir sekolah maka di bawah ini akan dijelaskan
tentang ruang lingkup atmosfir sekolah menurut para ahli sebagai berikut.
Tagiuri (dalam Mugiarsih, 2010) mengungkapkan tentang taksonomi
atmosfir sekolah yang mencakup empat dimensi, yaitu:
a. Ekologi; meliputi aspek-aspek fisik-materil, seperti bangunan
sekolah, ruang perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang
BK dan sejenisnya.
b. Milieu; karakteristik individu disekolah pada umumnya, seperti moral
kerja guru, latar belakang siswa, stabilitas staf dan sebagainya.
c. Sistem sosial; struktur formal maupun informal atau berbagai
peraturan untuk mengendalikan interaksi individu dan kelompok di
sekolah, mencakup komunikasi kepala sekolah-guru, partisipasi staf
dalam pengambilan keputusan, keterlibatan siswa dalam pengambilan
keputusan, kolegialitas, hubungan guiru-siswa.
d. Budaya; sistem nilai dan keyakinan, seperti norma pergaulan siswa,
ekspektasi keberhasilan, disiplin sekolah.
Adapun menurut Abu Ahmadi (dalam Susilowati 2005:45) ruang lingkup
a. Letak lingkungan dan prasarana fisik sekolah (gedung sekolah,
meubelier, dan perlengkapan lain).
b. Kurikulum sekolah yang memuat gagasan-gagasan maupun fakta-fakta
yang menjadi keseluruhan program pendidikan.
c. Pribadi-pribadi yang merupakan warga sekolah yang terdiri atas siswa,
guru, non teaching specialist dan tenaga administrasi.
d. Nilai-nilai norma, sistem peraturan, dan iklim kehidupan sekolah.
Dari kedua pendapat para ahli tersebut, peneliti akan menggunakan ruang
lingkup atmosfir sekolah menurut Taguiri sebagai indikator penelitian, karena
penjelasannya sudah mencakup seluruh aspek dalam atmosfir sekolah antara lain:
ekologi yang meliputi aspek-aspek fisik; milieu, meiputi karakteristik individu
yang ada disekolah; sistem sosial, meliputi interaksi individu dan kelompok di
sekolah; dan budaya, meliputi sistem nilai dan keyakinan.
2.1.7 Hubungan antara Atmosfir Sekolah dengan Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosi memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai
kesuksesan dalam berkomunikasi di lingkungan sekolah. Sehingga dalam proses
komunikasi tersebut dapat melatih emosi pada diri siswa.
Menurut Goleman (2006:273) bahwa keberhasilan seorang anak di sekolah
tidak hanya dilihat dari kemampuan dirinya untuk membaca, melainkan juga
dilihat pada aspek emosionalnya.
Emosi salah satu aspek yang ada pada individu untuk mencapai suatu
memiliki kecerdasan emosional maka seseorang dapat meraih sukses dalam
kehidupannya. Hal ini dapat memperkuat bahwa seseorang yang ingin
memperoleh kesuksesan maka ia harus bisa memahami, mengendalikan serta
mengelola emosinya.
Emosi itu bisa dibentuk dengan baik, dan lingkungan yang paling tepat
untuk mengkondisikannya tidak lain adalah lingkungan sekolah. Lingkungan
sekolah dimaksud dapat diartikan dengan atmosfir sekolah. Hal ini dikarenakan
bahwa individu di sekolah sebagian besar waktunya di gunakan untuk melakukan
aktivitas pembelajaran. Dalam aktivitas pembelajaran itulah para guru dan seluruh
pihak perlu bekerja keras untuk membentuk kecerdasan emosi siswa. Sehingga
siswa akan mampu untuk mengenal, mengendalikan emosinya. Sebagaimana
dikatakan oleh Sumitro, dkk (dalam Devamelodika, 2012:23) bahwa sekolah
adalah lingkungan pendidikan yang mengembangkan & meneruskan pendidikan
anak menjadi warga Negara yang cerdas, terampil & bertingkah laku baik.
Lebih lanjut Setiabudhy (2002:53) mengemukakan bahwa “lingkungan
sekolah dalam mengembangkan kecerdasan emosional memiliki pengaruh yang
sangat besar.” Hal ini dapat dilihat karena lingkungan sekolah memfasilitasi siswa
untuk melakukan interaksi sosial dimana siswa dihadapkan pada karakteristik
individu ataupun kelompok yang berbeda-beda. Seperti perbedaan karakteristik
teman sebaya, guru, kurikulum dan fasilitas sekolah.
Thoha (2008:50) juga berpendapat bahwa “kecerdasan dipengaruhi oleh
faktor lingkungan sehingga kecerdasan emosional dapat berubah dan
dikembangkan jika lingkungan sekolah memberikan suasana yang kondusif bagi
siswa.
Dengan demikian disimpulkan dari pendapat para ahli bahwa ada
hubungan antara atmosfir sekolah dengan kecerdasan emosional, dimana siswa di
sekolah secara tidak langsung dihadapkan pada situasi emosi yang berbeda-beda
sesuai dengan karakteristik situasi di lingkungannya. Dari situlah siswa
mendapatkan pembelajaran untuk mengubah, melatih dan mengembangkan
kecerdasan emosinya. Jika siswa sudah memiliki kecerdasan emosional maka
siswa tersebut mampu untuk mengenal emosi diri, mengenal emosi orang lain,
mampu mengendalikan emosi, mampu mengelola emosi, serta mampu membina
2.2Kerangka Berfikir
2.3Hipotesis
Adapun hipotesis dalam penelitian korelasional ini berbunyi: Terdapat
hubungan antara atmosfir sekolah dengan kecerdasan emosinal siswa kelas X di
SMKN 3 Gorontalo. Indikator: 1.Kemampuan mengenal emosi. 2.Kemampuan mengelola emosi. 3.Kemampuan memotivasi diri. 4.Kemampuan mengenal emosi orang lain. 5.Kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Indikator: 1. Ekologi 2. Miliu 3. Sistem Sosial 4. Budaya BAIK KECERDASAN EMOSIONAL