• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS. kompetensi perilaku. Hal ini diperjelas Goleman (2006:56) yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS. kompetensi perilaku. Hal ini diperjelas Goleman (2006:56) yang"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS

2.1Kajian Teoretis

2.1.1 Konsep Dasar Kecerdasan Emosinal

Di bawah ini akan dijelaskan konsep dasar kecerdasan emosional menurut

para ahli sebagai berikut.

Menurut Thoha (2008:53) bahwa “kecerdasan emosi merupakan salah satu

kompetensi perilaku.” Hal ini diperjelas Goleman (2006:56) yang mengelompokkan kompetensi sesuai dengan wilayah kecerdasan emosi.

Kompetensi, yang merupakan kecerdasan emosi, dibagi dalam dua golongan besar

yaitu: (1) kompetensi personal (personal competence) dan (2) kompetensi sosial

(sosial competence). Kompetensi personal dimaksud dimana seseorang yang

memiliki kecerdasan emosional adalah seseorang yang mampu mengendalikan

dirinya. Selanjutnya, kompetensi sosial dimaksud dimana seseorang yang

memiliki kecerdasan emosional adalah orang yang mampu berinteraksi dengan

orang lain.

Emosi merupakan perasaan yang diakibatkan oleh respon terhadap

rangsangan dari luar. Seseorang dikatakan mengalami situasi emosi jika dia

merespon stimulus atau rangsangan dari orang lain. Hal ini diperjelas oleh Wade

dan Tavris sebagai berikut.

Wade dan Tavris (2007:105) menjelaskan bahwa “emosi adalah situasi

stimulasi yang melibatkan perubahan pada tubuh wajah, aktivasi pada otak,

(2)

tindakan, yang dibentuk seluruhnya oleh peraturan-peraturan yang terdapat di

suatu kebudayaan. Lebih lanjut juga emosi adalah jantung dan jiwa pengalaman

manusia.”

Sedangkan menurut Goleman (dalam Ali dan Asrori 2011:62) “emosi

sebagai setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan

mental yang hebat dan meluap-luap. Goleman juga mengatakan bahwa emosi

merujuk kepada suatu perasaan dan pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan

biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.”

Menurut Crow dan Crow (dalam Sunarto dan Hartono 2008:150) “emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian diri individu tentang

keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkahlaku yang tampak.”

Disamping itu, emosi juga dapat mempengaruhi perubahan-perubahan

fisik pada seseorang. Salah satu contoh disaat kita marah maka tensi darah kita

akan meningkat. Hal dibenarkan oleh Sunartono dan Hartono sebagai berikut.

Menurut Sunartono dan Hartono (2008:105) emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Pada saat terjadi emosi seringkali terjadi perubahan-perubahan pada fisik, antara lain berupa: (1) reaksi elektris pada kulit (meningkat bila terpesona), (2) peredaran darah (bertambah cepat bila marah), (3) denyut jantung (bertambah cepat bila terkejut), (4) pernapasan: bernapas panjang bila kecewa, (5) pupil mata (membesar bila marah), (6) liur (mengering kalau takut atau tegang), (7) bulu roma (berdiri kalau takut), (8) pencernaan (mencret-mencret kalau tegang), (9) otot (ketegangan dan ketakutan menyebabkan otot menegang atau bergetar), (10) komposisi darah (komposisi darah akan ikut berubah karena emosional yang menyebabkan kelenjar-kelenjar lebih aktif).

Selain itu, Poerbakawatja juga menjelaskan tentang pengertian emosi yang

(3)

Poerbakawatja (dalam Ali dan asrori 2011:62) menyatakan bahwa “emosi adalah suatu respon terhadap suatu perangsang yang menyebabkan perubahan

psikologis disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung kemungkinan

untuk meletus.”

Dari beberapa penjelasan para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan

pengertian emosi adalah situlasi yang melibatkan perubahan pada fisik, psikis dan

psikologis seseorang. Selanjutnya akan dibahas tentang pengertian kecerdasan

emosional menurut para ahli sebagai berikut.

Menurut Goleman (dalam Fatimah 2010:114), “kecerdasan emosioanal adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri,

ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda

kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa.” Dengan kecerdasan emosional seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan

mengatur suasana hati.

Kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang

dalam mengendalikan respon terhadap rangsangan tertentu. Artinya dapat

mengendalikan diri dalam merealisasikan emosi.

Sama halnya dengan apa yang dikatakan oleh Cooper dan Sawaf (dalam

Fatimah 2010:114), “kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai

sumber energi dan pengaruh yang manusiawi.” Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan, pada diri dan

(4)

orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi

emosi dalam kehidupan sehari-hari.

Kecerdasan emosi adalah seseorang yang mampu mengendalikan

emosinya seperti; marah, sedih, bahagia, kecewa, dan sebagainya. Hal ini dapat

dilihat pada seorang penyabar dan juga orang yang mudah bergaul dengan orang

lain.

Howes dan Herald (dalam Fatimah 2010:114), juga berpendapat bahwa pada intinya kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.

Dari beberapa pendapat para ahli tentang emosi dan kecerdasan emosi,

dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar

mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan

menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam

kehidupan dan pekerjaan sehari – hari. Unsur penting kecerdasan emosional

terdiri dari: kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri); kecakapan sosial

(menangani suatu hubungan); dan keterampilan sosial (kepandaian menggugah

(5)

2.1.2 Ciri-Ciri Kecerdasan Emosional

Berdasarkan pengertian emosi dan kecerdasan emosinal maka di bawah ini

akan dijelaskan ciri-ciri dari kecerdasan emosional menurut para ahli sebagai

berikut.

Menurut Biehler (dalam Sunarto dan Hartono 2008:156) ciri-ciri emosi

remaja usia 15 – 18 tahun adalah sebagai berikut:

a. Pemberontakan remaja merupakan pernyataan-pernyataan/ekspresi dan

perubahan yang universal dari masa kanak-kanak ke dewasa.

b. Karena bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaja yang mengalami

konflik dengan orang tua mereka. Mereka mungkin mengharapkan simpati

dan nasihat orang tua atau guru.

c. Siswa pada usia ini seringkali melamun, memikirkan masa depan mereka.

Dengan demikian dapat disimpulkan ketiga ciri tersebut yaitu: (a) bentuk

emosi yang menyatakan tidak setuju di tunjukan oleh seseorang pada saat ia ada

pada masa remaja yakni dengan melakukan pemberontakan; (b) remaja yang

mulai memiliki kebebasan memilih terkadang apa yang menjadi pilihannya tidak

sejalan dengan pilihan orang tua atau orang disekitarnya dan akhirnya berujung

konflik; (c) banyak di antara mereka terlalu tinggi menafsir kemampuan mereka

sendiri dan merasa berpeluang besar untuk memasuki pekerjaan dan memegang

(6)

Goleman (dalam Ali dan Asrori 2011:63) mengidentifikasikan sejumlah

kelompok emosi, yaitu sebagai berikut.

a. Amarah, di dalamnya meliputi brutal, mengamuk, benci, marah besar,

jengkel, kesal hati, rasa pahit, berang, tersinggung, bermusuhan, tindak

kekerasan, dan kebencian patologis.

b. Kesedihan, di dalamnya meliputi pedih, sedih, muram, suram, melankolis,

mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi.

c. Rasa takut, di dalamnya meliputi cemas, takut, gugup, khawatir, waswas,

perasaan takut sekali, sedih, waspada, tidak tenang, ngeri, kecut, panik,

dan fobia.

d. Kenikmatan, di dalamnya meliputi bahagia, gembira, ringan puas, riang,

senang, terhibur, bangga, kenikmatan indrawi, takjub, terpesona, puas,

rasa terpenuhi, girang, senang sekali, dan mania.

e. Cinta, di dalamnya meliputi penerimaan, persahabatan, kepercayaan,

kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kasmaran, dan kasih sayang.

f. Terkejut,di dalamnya meliputi terkesiap, takjub, dan terpana.

g. Jengkel, di dalamnya meliputi hina, jijik, muak, mual, benci, tidak suka,

dan mau muntah.

h. Malu, di dalamnya meliputi rasa bersalah, malu hati, kesal hati, menyesal,

hina, aib, dan hati hancur lebur.

Beberapa ciri-ciri emosi tersebut sudah mewakili berbagai emosi yang ada

pada diri individu. Selanjutnya akan dibahas tentang ciri-ciri kecerdasan

(7)

Menurut Setiabudhi (2002:52) ciri-ciri kecerdasan emosional sebagai

berikut: “(1) kemampuan mengenal emosi diri, (2) kemampuan mengelola emosi,

(3) kemampuan memotivasi diri, (4) kemampuan mengenal emosi orang lain, (5)

kemampuan membina hubungan dengan orang lain”.

Kelima ciri tersebut saling berkaitan dimana seseorang yang memiliki

kecerdasan emosi maka pertama-tama individu itu mampu untuk mengenali emosi

dirinya seperti marah, sedih, kecewa, bahagia, cinta, dan sebagainya, sehingga

individu itu mampu menempatkan emosinya tersebut. Kedua, individu yang sudah

mampu mengenal emosinya maka dengan mudah ia mampu untuk mengelola

emosinya. Ketiga, setelah individu mengenal dan mengelola emosinya dengan

baik maka individu itu akan memperolah cara untuk memotivasi dirinya.

Keempat, setelah individu mampu mengenal, mengelola serta memotivasi dirinya

maka secara otomatis individu tersebut mampu untuk mengenali emosi orang lain.

Dan terakhir, setelah individu mampu untuk mengenal emosi orang lain maka hal

itu dapat mengantarkan individu untuk lebih mudah membina hubungan dengan

orang lain.

Dalam mendefinisikan emosi, para psikolog berfokus pada tiga komponen

utama perubahan fisiologis pada wajah, otak dan tubuh; proses kognitif seperti

interpretase suatu peristiwa; serta pengaruh budaya yang membentuk pengalaman

dan ekspresi emosi (Wade dan Tavris, 2007:106).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kecerdasan emosional

ialah kemampuan seseorang dalam mengelola emosi dalam bentuk apapun baik

(8)

2.1.3 Pentingnya Kecerdasan Emosional

Sebagai seorang siswa yang dituntut agar dapat berinteraksi dengan baik di

lingkungan sosial khususnya lingkungan sekolah, maka siswa tersebut harus

memiliki kecerdasan emosinal sehingga dalam pergaulannya dia dapat

berinteraksi dengan baik sehingga dapat meminimalisir perselisihan antara siswa

tersebut.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Suparno, dkk (tt:61) bahwa seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional akan mampu menghadapi masalah yang terjadi dalam kehidupan karena biasanya yang mempunyai kecerdasan emosional mempunyai kesadaran akan emosinya, mampu menumbuhkan motivasi dalam dirinya karena selalu tergerak melakukan aktivitas dengan baik dan ingin mencapai tujuan yang diinginkannya, dapat mengungkapkan perasaan secara baik, dan kontrol dirinya sangat kuat. Orang yang mempunyai kecerdasan emosional tinggi bukan berarti bahwa dia tidak pernah marah tetapi biasanya mereka marah pada saat yang tepat dengan disertai tujuan yang jelas. Orang-orang yang mempunyai kecerdasan emosional akan mandiri, berusaha keras dalam setiap aktivitas hidupnya, optimis, tidak pendedam dan tekun.

Seperti apa yang dikatakan oleh Goleman (2006:57) bahwa dengan

memiliki kecerdasan emosional maka seseorang dapat meraih sukses dalam

kehidupannya. Karena menurutnya dengan kecerdasan emosi yang baik,

seseorang akan memiliki kompetensi pripadi ataupun kompetensi sosial yang baik

pula. Goleman juga menambahkan bahwa seseorang yang cerdas emosinya adalah

orang yang mampu mengenali emosi diri dan orang lain, mampu mengelola

emosi, mampu memotivasi diri sendiri, serta mampu membina hubungan dengan

siapapun.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka kecerdasan emosional

(9)

emosional, individu mempu mengendalikan diri sehingga individu tersebut dapat

meraih kesuksesan dalam kehidupannya.

2.1.4 Faktor-Faktor Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Berikut ini akan dijelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

kecerdasan emosional menurut para ahli yaitu.

Menurut Tridhonanto (2009:16) faktor-faktor yang mempengaruhi

kecerdasan emosinal antara lain: (a) faktor pengaruh lingkungan; (b) faktor

pengasuhan; (c) faktor pendidikan baik di sekolah maupun di rumah.

Selain itu, Agustian (dalam winarti, 2012) juga mengungkapkan beberapa

faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosinal yaitu :

a. Faktor Psikologis

Merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal ini

akan membantu individu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan dan

mengkondisikan keadaan emosi agar termanifestasi dalam perilaku secara efektif.

Jadi ketika seseorang yakin bahwa dia mampu menempatkan emosinya dengan

tepat maka akan terealisasi pada perilaku baik. Begitu juga sebaliknya, ketika

seseorang tidak yakin bahwa dia mampu menempatkan emosinya dengan tepat,

(10)

b. Faktor Pelatihan Emosi

Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan

kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang

berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang

pun akan berkembang menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul

begitu saja tanpa dilatih.

Dengan demikian ketika seseorang pada proses pelatihan emosi misalnya

di lingkungan keluarga, seorang anak mendapatkan pengalaman-pengalaman

yang baik dari ayah ibunya pada saat situasi marah, sedih, ataupun bahagia maka

secara otomatis akan membentuk perilaku baik si anak yaitu dapat mengendalikan

diri pada situasi-situasi tersebut. Begitu juga sebaliknya, ketika seorang anak

mendapatkan pengalaman-pengalaman yang buruk dari ayah dan ibuya pada

situasi marah, sedih, ataupun bahagia maka secara otomatis akan membentuk

perilaku buruk pula bagi si anak yakni tidak dapat mengendalikan diri pada

situasi-situasi tersebut.

c. Faktor pendidikan

Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk

mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai di kenalkan dengan berbagai

bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya dalam melalui pendidikan. Dengan

demikian jika individu memiliki pengetahuan tentang berbagai macam bentuk

emosi, maka jelaslah dia dapat merealisasikan apa yang dia tahu pada kehidupan

sehari-hari. Sehingga individu mampu untuk menempatkan emosinya pada porsi

(11)

2.1.5 Pengertian Atmosfir Sekolah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian atmosfir adalah

suasana perasaan yang bersifat imajinatif. Di samping itu, menurut Notoseputro

(2008:173) bahwa atmosfir adalah suasana dan kondisi.

Sedangkan pengertian sekolah, menurut Yusuf (dalam Susilowati

2005:44) merupakan “lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka

membantu siswa agar mampu mengembangkan potensinya, baik yang

menyangkut aspek moral, spritual, intelektual, emosional, maupun sosial.”

Sekolah adalah lembaga pendidikan secara resmi menyelenggarakan

kegiatan pembelajaran secara sistematis, berencana, sengaja dan terarah yang

dilakukan oleh pendidik yang professional dengan program yang dituangkan ke

dalam kurikulum tertentu dan diikuti oleh peserta didik pada setiap jenjang

tertentu, mulai dari tingkat anak-anak sampai perhuruan tinggi.

Disamping itu, Sumitro, dkk (dalam Devamelodika, 2012:23) “Sekolah

adalah lingkungan pendidikan yang mengembangkan & meneruskan pendidikan

anak menjadi warga Negara yang cerdas, terampil & bertingkah laku baik”.

Sekolah sebagai tempat belajar bagi seorang siswa dan teman-temannya untuk

mendapatkan ilmu pengetahuan dari gurunya dimana pelaksanaan kegiatan belajar

dilaksanakan secara formal.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa atmosfir

(12)

dalam lembaga pendidikan formal yang secara sistematis melaksanakan program

pendidikan dan membantu siswa mengembangkan potensinya.

2.1.6 Ruang Lingkup Atmosfir Sekolah

Selain pengertian atmosfir sekolah maka di bawah ini akan dijelaskan

tentang ruang lingkup atmosfir sekolah menurut para ahli sebagai berikut.

Tagiuri (dalam Mugiarsih, 2010) mengungkapkan tentang taksonomi

atmosfir sekolah yang mencakup empat dimensi, yaitu:

a. Ekologi; meliputi aspek-aspek fisik-materil, seperti bangunan

sekolah, ruang perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang

BK dan sejenisnya.

b. Milieu; karakteristik individu disekolah pada umumnya, seperti moral

kerja guru, latar belakang siswa, stabilitas staf dan sebagainya.

c. Sistem sosial; struktur formal maupun informal atau berbagai

peraturan untuk mengendalikan interaksi individu dan kelompok di

sekolah, mencakup komunikasi kepala sekolah-guru, partisipasi staf

dalam pengambilan keputusan, keterlibatan siswa dalam pengambilan

keputusan, kolegialitas, hubungan guiru-siswa.

d. Budaya; sistem nilai dan keyakinan, seperti norma pergaulan siswa,

ekspektasi keberhasilan, disiplin sekolah.

Adapun menurut Abu Ahmadi (dalam Susilowati 2005:45) ruang lingkup

(13)

a. Letak lingkungan dan prasarana fisik sekolah (gedung sekolah,

meubelier, dan perlengkapan lain).

b. Kurikulum sekolah yang memuat gagasan-gagasan maupun fakta-fakta

yang menjadi keseluruhan program pendidikan.

c. Pribadi-pribadi yang merupakan warga sekolah yang terdiri atas siswa,

guru, non teaching specialist dan tenaga administrasi.

d. Nilai-nilai norma, sistem peraturan, dan iklim kehidupan sekolah.

Dari kedua pendapat para ahli tersebut, peneliti akan menggunakan ruang

lingkup atmosfir sekolah menurut Taguiri sebagai indikator penelitian, karena

penjelasannya sudah mencakup seluruh aspek dalam atmosfir sekolah antara lain:

ekologi yang meliputi aspek-aspek fisik; milieu, meiputi karakteristik individu

yang ada disekolah; sistem sosial, meliputi interaksi individu dan kelompok di

sekolah; dan budaya, meliputi sistem nilai dan keyakinan.

2.1.7 Hubungan antara Atmosfir Sekolah dengan Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosi memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai

kesuksesan dalam berkomunikasi di lingkungan sekolah. Sehingga dalam proses

komunikasi tersebut dapat melatih emosi pada diri siswa.

Menurut Goleman (2006:273) bahwa keberhasilan seorang anak di sekolah

tidak hanya dilihat dari kemampuan dirinya untuk membaca, melainkan juga

dilihat pada aspek emosionalnya.

Emosi salah satu aspek yang ada pada individu untuk mencapai suatu

(14)

memiliki kecerdasan emosional maka seseorang dapat meraih sukses dalam

kehidupannya. Hal ini dapat memperkuat bahwa seseorang yang ingin

memperoleh kesuksesan maka ia harus bisa memahami, mengendalikan serta

mengelola emosinya.

Emosi itu bisa dibentuk dengan baik, dan lingkungan yang paling tepat

untuk mengkondisikannya tidak lain adalah lingkungan sekolah. Lingkungan

sekolah dimaksud dapat diartikan dengan atmosfir sekolah. Hal ini dikarenakan

bahwa individu di sekolah sebagian besar waktunya di gunakan untuk melakukan

aktivitas pembelajaran. Dalam aktivitas pembelajaran itulah para guru dan seluruh

pihak perlu bekerja keras untuk membentuk kecerdasan emosi siswa. Sehingga

siswa akan mampu untuk mengenal, mengendalikan emosinya. Sebagaimana

dikatakan oleh Sumitro, dkk (dalam Devamelodika, 2012:23) bahwa sekolah

adalah lingkungan pendidikan yang mengembangkan & meneruskan pendidikan

anak menjadi warga Negara yang cerdas, terampil & bertingkah laku baik.

Lebih lanjut Setiabudhy (2002:53) mengemukakan bahwa “lingkungan

sekolah dalam mengembangkan kecerdasan emosional memiliki pengaruh yang

sangat besar.” Hal ini dapat dilihat karena lingkungan sekolah memfasilitasi siswa

untuk melakukan interaksi sosial dimana siswa dihadapkan pada karakteristik

individu ataupun kelompok yang berbeda-beda. Seperti perbedaan karakteristik

teman sebaya, guru, kurikulum dan fasilitas sekolah.

Thoha (2008:50) juga berpendapat bahwa “kecerdasan dipengaruhi oleh

faktor lingkungan sehingga kecerdasan emosional dapat berubah dan

(15)

dikembangkan jika lingkungan sekolah memberikan suasana yang kondusif bagi

siswa.

Dengan demikian disimpulkan dari pendapat para ahli bahwa ada

hubungan antara atmosfir sekolah dengan kecerdasan emosional, dimana siswa di

sekolah secara tidak langsung dihadapkan pada situasi emosi yang berbeda-beda

sesuai dengan karakteristik situasi di lingkungannya. Dari situlah siswa

mendapatkan pembelajaran untuk mengubah, melatih dan mengembangkan

kecerdasan emosinya. Jika siswa sudah memiliki kecerdasan emosional maka

siswa tersebut mampu untuk mengenal emosi diri, mengenal emosi orang lain,

mampu mengendalikan emosi, mampu mengelola emosi, serta mampu membina

(16)

2.2Kerangka Berfikir

2.3Hipotesis

Adapun hipotesis dalam penelitian korelasional ini berbunyi: Terdapat

hubungan antara atmosfir sekolah dengan kecerdasan emosinal siswa kelas X di

SMKN 3 Gorontalo. Indikator: 1.Kemampuan mengenal emosi. 2.Kemampuan mengelola emosi. 3.Kemampuan memotivasi diri. 4.Kemampuan mengenal emosi orang lain. 5.Kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Indikator: 1. Ekologi 2. Miliu 3. Sistem Sosial 4. Budaya BAIK KECERDASAN EMOSIONAL

ATMOSFIR

SEKOLAH

BURUK Kecerdasan Emosi Tinggi Kecerdasan Emosi Rendah

Referensi

Dokumen terkait

Konsep nilai waktu dari uang (time value of money) pada dasarnya menjelaskan bahwa uang dalam jumlah yang sama yang diterima hari ini nilainya lebih besar dari nilainya di masa

Dari hasil pengujian sistem penggunaan teknologi computer vision yang digunakan untuk mengenali sampah dibawah laut bisa dimplementasikan dengan menguji jenis

Di njau dari manajemen satuan pendidikan, maka penyusunan model inspirasi diversifi kasi kurikulum esensi dan muaranya adalah terwujudnya Kurikulum ngkat satuan

Kelebihan dari aplikasi ini adalah aplikasi ini dibuat dengan menggunakan elemen multimedia baik teks, gambar, suara animasi maupun video, sehingga lebih mudah dalam pemahaman

Penelitian yang dilakukan oleh Fitriansyah dkk (2013) dengan judul penelitian pengaruh gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional terhadap kepuasan kerja karyawan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1) Karakteristik industri rumah tangga caping; 2) Proses pembuatan caping; 3) Peta persebaran pemasaran industri rumah tangga caping;

Model Stimulasi Kecerdasan Visual Spasial Dan Kecerdasan Kinestetik Anak Usia Dini Melalui Metode Kindergarten Watching Siaga Bencana Gempa Bumi Di Paud

Porositas mortar dengan filler debu batu memberikan hasil yang lebih baik yaitu sebesar 23,50% pada penggunaan 60% pasir dan 40% debu batu dibandingkan filler