RELEVANSI SEMANGAT HIDUP DAN PELAYANAN SANTO DAMIAN DE VEUSTER BAGI PENDAMPINGAN PASTORAL PENDERITA
HIV/AIDS
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Gerardus Basenti Kelen
NIM: 061124028
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada sahabat-sahabat ODHA
v
MOTTO
“Jika saya tidak bisa menyembuhkan mereka, maka saya akan menjadi penghiburan bagi mereka.”
viii
ABSTRAK
Judul skripsi RELEVANSI SEMANGAT HIDUP DAN PELAYANAN SANTO DAMIAN DE VEUSTER BAGI PENDAMPINGAN PASTORAL PENDERITA HIV/AIDS dipilih berdasarkan pengalaman keterlibatan penulis dalam mendampingi seorang penderita HIV/AIDS di Yogyakarta. Pengalaman penulis menunjukkan bahwa mendampingi ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) bukanlah sebuah usaha yang mudah. Di dalam pendampingan tersebut, seorang pendamping harus setia mendampingi ODHA dalam menghadapi penderitaan, baik fisik maupun mental, sebagai dampak logis dari penyakitnya. Bertitik tolak pada kenyataan ini, maka skripsi ini dimaksudkan untuk menghadirkan butir-butir inspirasi semangat hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster yang relevan dengan usaha pendampingan pastoral ODHA, yang menyentuh inti hidup ODHA itu sendiri sehingga iman mereka semakin dewasa dalam pergulatan hidupnya sehari-hari.
Persoalan pokok dalam skripsi ini adalah bagaimana semangat hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster menjadi inspirasi bagi para pendamping ODHA yang memutuskan untuk mendampingi ODHA oleh karena imannya. Untuk mengurai masalah ini, penulis mengadakan studi pustaka untuk memperoleh pemikiran-pemikiran untuk direfleksikan, sehingga diperoleh gagasan-gagasan inspiratif yang dibutuhkan. Selain itu, penulis juga mengadakan observasi partisipatif di sebuah Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) yang ada di Yogyakarta.
ix
ABSTRACT
The thesis entitled THE RELEVANCE OF THE SPIRIT AND LIFE SERVICES OF SAINT DAMIEN DE VEUSTER FOR THE PASTORAL ASSISTANCE OF PEOPLE LIVING WITH HIV/AIDS was chosen based on the experience of the author's involvement in assisting a person with HIV/ AIDS in Yogyakarta. Author's experience shows that accompany the PLWHA (People Living with HIV/AIDS) is not an easy matter. In such assistance, a companion must be faithful in accompanying people living with HIV in facing suffering, both physically and mentally, as a logical impact of the disease. Based on this fact, the thesis is intended to bring some inspirational points of St. Damian de Veuster’s life and ministry that are relevant to the pastoral effort of assisting PLWHA, which touch the core of their lives so that their faith increasingly becomes mature in their daily struggle.
The principal issue in this thesis is how the spirit of life and ministry of St. Damian de Veuster become inspiration for a new PLWHA pastoral companion who has decided to assist because of his faith. To unravel this problem, the author conducted literature studies to get ideas for reflection to acquire inspiring ideas needed. In addition, the authors also conducted participative observation in a Peer Support Group (PSG) in Yogyakarta.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Bapa Sang Penyelenggara Ilahi karena
kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul RELEVANSI SEMANGAT HIDUP DAN PELAYANAN SANTO DAMIAN DE VEUSTER BAGI PENDAMPINGAN PASTORAL ORANG DENGAN HIV/AIDS.
Skripsi ini diilhami oleh keterlibatan penulis sendiri dalam karya
pendampingan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di kota Yogyakarta dan
ketertarikan penulis untuk mendalami semangat hidup dan pelayanan Santo
Damian de Veuster yang sangat inspiratif. Meskipun usaha pendampingan ODHA
yang ada di kota Yogyakarta ini sudah berkembang dengan baik, namun
pendampingan ODHA yang menggunakan pendekatan pastoral masih belum
nampak nyata. Oleh karena itu penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk
mendalami kekayaan makna pelayanan Santo Damian de Veuster dan sekaligus
menjadikannya sumber inspirasi pelayanan penulis ke depan. Selain itu, skripsi ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini dengan tulus hati
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, SJ., selaku dosen pembimbing skripsi
xi
penulis dengan penuh kesabaran, memberi masukan-masukan dan
kritikan-kritikan, sehingga penulis dapat lebih termotivasi dalam menuangkan
gagasan-gagasan dari awal hingga akhir penulisan skripsi ini.
2. Drs. L. Bambang Hendarto Y., M. Hum., selaku dosen wali dan penguji
kedua yang terus-menerus memberi semangat di setiap percakapan yang
ramah sehingga penulis selalu mendapatkan energi baru dalam penyelesaian
skripsi ini.
3. Drs. H.J. Suhardiyanto, SJ., selaku ketua panitia penguji dan Kepala Program
Studi IPPAK yang selalu memberi dukungannya melalui sapaan dan
tegurannya sehingga penulis selalu merasa percaya diri dalam penulisan
skripsi ini.
4. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK-JIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, yang telah mendidik dan
membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini. Keramahan
mereka menjadi inspirasi bagi saya dalam berelasi.
5. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaan Prodi IPPAK, dan seluruh
karyawan bagian lain yang telah memberi dukungan kepada penulis dan
penulisan skripsi ini.
6. Seorang sahabat ODHA (yang namanya tidak bisa saya sebut pada
kesempatan ini), yang telah menjadi sumber inspirasi paling nyata dalam
penulisan skripsi ini. Dia telah mengajarkan banyak hal bagi penulis, baik
xiii
DAFTAR ISI
JUDUL ………... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii
PENGESAHAN ………. iii
PERSEMBAHAN ………... iv
MOTTO ……….. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ……… vii ABSTRAK ……….. viii
ABSTRACT ………... ix
KATA PENGANTAR ………... x
DAFTAR ISI ………... xiii
DAFTAR SINGKATAN ……… xvi
BAB I. PENDAHULUAN ………. 1
A. Latar Belakang Penulisan Skripsi ………... 1
B. Rumusan Permasalahan ……….. 6
C. Tujuan Penulisan ………. 6
D. Metode Penulisan ………... 7
E. Sistematika Penulisan ………. 7
BAB II. SANTO DAMIAN DE VEUSTER ……….... 9
A. SANTO DAMIAN DE VEUSTER DAN KELUARGANYA ... 10
B. PANGGILAN HIDUP SANTO DAMIAN DE VEUSTER….. 14
1. Pergumulan Awal ………... 14
xiv
4. Damian de Veuster, Seorang Imam ……….. 20
C. KARYA SANTO DAMIAN DE VEUSTER ……… 22
BAB III. HIV/AIDS DAN PENDAMPINGAN PASTORAL ……… 31
A. HIV/AIDS DI KOTA YOGYAKARTA ……… 32
1. HIV/AIDS ……….………... 32
2. Penderitaan dan Ancaman HIV/AIDS ………. 37
3. Keadaan Kesehatan Penduduk Yogyakarta ………. 42
4. Perkembangan Kasus HIV/AIDS di Yogyakarta …………. 43
5. Peduli HIV/AIDS di Yogyakarta ………. 44
B. PENDAMPINGAN PASTORAL ……….. 48
1. Makna Pendampingan Pastoral ………. 48
2. Pendampingan Pastoral Orang Sakit ………. 55
a. Dasar Pendampingan Orang Sakit ……….. 56
b. Dinamika Pendampingan Orang Sakit ……… 58
c. Sikap dan Ketrampilan Dasar Dalam Pendampingan Orang Sakit ……….……… 61 3. Pendampingan Pastoral Orang Dengan HIV/AIDS ………. 63
C. TUNTUNAN PENDAMPINGAN PASTORAL ODHA MENURUT SEAN CONNOLLY ………. 68 1. Memahami HIV/AIDS ……….………. 68
2. Memahami Isu yang Mempengaruhi ODHA ……… 69
3. Memahami Dinamika Relasi ……… 72
4. Memahami Makna dan Proses Dukacita ……….. 74
BAB IV. SEMANGAT DAN PELAYANAN SANTO DAMIAN DE VEUSTER DALAM PENDAMPINGAN PASTORAL ODHA ….
79
A. HIV/AIDS DI TENGAH RELASI KASIH ANTARA ALLAH DAN MANUSIA ……….………...
81
xv
VEUSTER ……….……….……… 85
1. Butir-butir Inspirasi Semangat Santo Damian de Veuster … 86 a. Peduli Pada Usaha Membangun Komunitas …………... 86
b. Membentuk Pribadi yang Bermartabat ………... 92
c. Usaha untuk Menjalin Persahabatan ………... 98
d. Melayani dengan Antusias dan Total……….………….. 101
e. Cinta yang Bersedia Berkorban ……….. 104
2. Strategi Praktis Pendekatan Terhadap ODHA ………. 106
a. Mengenal Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) ………. 106
b. Menentukan Pola Pendampingan ……… 108
c. Memberi Dukungan ……….………... 111
d. Memberi Perhatian Khusus ………. 113
e. Menghadapi Penderitaan ………..………….. 116
BAB V. PENUTUP ……….……….………. 121
A. KESIMPULAN ……….……….. 121
B. SARAN ……….……….………. 122
DAFTAR PUSTAKA ……….……….…………... 125
xvi
DAFTAR SINGKATAN
AIDS: Acquired Immune Deficiency Syndrome, sekumpulan
gejala-gejala yang dijumpai pada fase akhir dari infeksi HIV
APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
ARV: Antiretroviral, obat yang dapat memperlambat kegiatan HIV
menulari sel CD4 yang masih sehat.
CB: Kongregasi Suster-Suster Cintakasih St. Carolus Borromeus
CD4: Cluster of Differentiation 4, sel-sel limfosit T yang berfungsi
dalam sistem imun (kekebalan) tubuh.
D.I.: Daerah Istimewa
DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DIY: Daerah Istimewa Yogyakarta
HIV: Human Immunodeficiency Virus, virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia.
KDS: Kelompok Dukungan Sebaya, kelompok ini bertujuan untuk
menciptakan suasana nyaman dan terjaga kerahasiaannya;
tempat untuk berkenalan, bicara secara terbuka, didengarkan dan
mendapat dukungan..
KLMT: Kecil, Lemah, Miskin, Tertindas
KPA: Komisi Penanggulangan AIDS, komisi yang dibentuk negara
untuk mengatasi penyakit HIV/AIDS.
xvii
(provinsi dan kabupaten /kota)
LP: Lembaga Pemasyarakatan
LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat
Napi: Nara Pidana
ODHA: Orang Dengan HIV/AIDS, penderita HIV/AIDS
PLWHA: People Living With HIV/AIDS
RNA: Ribonucleic Acid, bahan genetik yang hanya mampu
memperbanyak diri (replikasi) dalam sel yang hidup.
SS.CC.: Sacrorum Cordium, yang berarti Hati Kudus; Kongregasi Hati
Kudus Yesus dan Hati Suci Maria.
TB: Tuberkulosis
UU: Undang-Undang
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENULISAN SKRIPSI
Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan, manusia masih memiliki berbagai
persoalan yang belum bisa diselesaikan. Perkembangan teknologi belum mampu
menuntaskan segala persoalan yang ada. Kemiskinan, penderitaan dan keresahan
masih merupakan ciri wajah manusia sekarang.
Salah satu keresahan yang melanda umat manusia di tiga dekade terakhir
ini adalah virus yang menyerang kekebalan tubuh manusia, atau yang lebih
dikenal dengan HIV (Human Immunodeficiency Virus). HIV menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia, memperlemah dan merusaknya, sehingga tubuh
menjadi lebih mudah diserang oleh berbagai penyakit. Atau dengan kata lain,
ketika sistem kekebalan tubuh manusia itu menjadi lemah dan berhenti berfungsi
karena terinveksi HIV, tubuh tidak mampu lagi melindungi dirinya dari segala
jenis penyakit atau virus lain yang hendak menyerang.
Wikipedia Indonesia menjelaskan HIV, demikian:
Pada individu dengan HIV positif, sistem imunitasnya akan mengalami
penurunan dan membutuhkan waktu beberapa tahun hingga ditemukannya gejala
tahap lanjut dan dinyatakan sebagai penderita AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome). Penderita AIDS akan mudah sakit atau terserang penyakit
tertentu dan kemudian mati karena penyakit tersebut.
Keresahan umat manusia akan epidemi HIV/AIDS ini bukan tidak
beralasan. HIV/AIDS bisa menyerang siapa saja tanpa mengenal batasan usia,
jenis kelamin dan jabatan atau kedudukan seseorang di dalam masyarakat.
HIV/AIDS juga bisa menyerang sahabat, rekan kerja dan anggota keluarga.
Teror atau ketakutan yang disebarkan oleh HIV/AIDS tidak hanya berhenti
di sini. Kemajuan ilmu kedokteran hingga sekarang belum berhasil menemukan
obat atau vaksin yang bisa mematikan atau menghentikan penyebaran virus ini.
Sekali seseorang dinyatakan HIV positif, orang tersebut tidak bisa menghindari
kenyataan yang memilukan itu. Bayang-bayang kematian yang akan datang lebih
cepat terus menghantui pasien dan orang-orang terdekatnya.
Kecemasan pasien atau Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) semakin
bertambah ketika menghadapi stigma yang ada di dalam masyarakat. ODHA
menghadapi situasi hidup yang sulit. Mereka sendiri sering menghadapi kenyataan
tanpa dukungan dari teman dan keluarga. Keadaan ini menimbulkan kecemasan,
depresi, rasa bersalah dan pemikiran atau perilaku bunuh diri yang merupakan
“contoh kegagalan, ketiadaan harapan dan tragedi dalam kehidupan manusia”
(Campbell, 1994: 33). ODHA dalam situasi seperti ini sangat membutuhkan
Sebuah pendampingan terhadap ODHA perlu diusahakan di tengah
kenyataan ini. Namun pendampingan yang diharapkan tersebut bukanlah sebuah
pendampingan yang biasa. Sebuah pendampingan yang tidak hanya membutuhan
kerja keras, dukungan dana dan penemuan baru di bidang ilmu yang terlibat
seperti psikologi, antropologi dan kesehatan, tetapi juga dilandasi kasih Allah
yang setia mencintai semua manusia tanpa terkecuali. Pendampingan yang
dimaksud adalah pendampingan Pastoral.
Kata pendampingan berarti penemanan. Penemanan di sini dimaksudkan
agar ’orang yang sedang menderitatidak merasa sendirian dan diringankan beban
psikisnya” (Totok Wiryasaputra, 1995: 7). Pendampingan jenis ini memiliki dua
fungsi yakni yang pertama adalah yang bersifat penggembalaan seperti
menyembuhkan, meneguhkan, mendorong, mendukung sehingga orang yang
didampingi semakin berkembang, berani menghadapi pergumulan dan perjuangan
hidup. Sedangkan fungsi yang kedua adalah untuk membangkitkan
potensi-potensi dalam diri orang yang didampingi, sehingga mempunyai harapan untuk
bergerak maju.
Melalui tulisannya, Alastair Campbell merumuskan tujuan dasar
pendampingan Pastoral sebagai sebuah usaha membantu orang untuk mengenal
kasih. Dengan kasih orang dibantu untuk ”menemukan jalan keluar dari hutan
belantara yang telah dibuat mereka ataupun orang lain, sebelum mereka terlambat
untuk ditolong” (1994: 12).
Pendampingan Pastoral dengan demikian langsung menyentuh inti
sendiri, yakni mengasihi Allah (yang sudah terlebih dahulu mengasihi kita) dan
mengasihi sesama. Dengan kasih, orang dapat keluar dari penderitaan dan mulai
merangkul sebuah kehidupan baru dengan semangat baru, bahkan dengan bebas
menjumpai kematiannya.
Situasi yang dialami oleh para ODHA dan keluarganya mengingatkan kita
akan pergulatan yang dialami oleh para penderita kusta di masa silam. Sebelum
ditemukan obat pembunuh bakteri yang menyerang bagian kulit, saraf tepi dan
jaringan lain pada manusia ini, penderitanya hidup dalam tekanan, ketiadaan
harapan atau putus asa, diskriminasi yang menyakitkan dan bahkan keterasingan
dari segala akses kehidupan masyarakat sosial. Banyak dari mereka yang
diasingkan di tempat tertentu supaya Mycobacterium Leprae tidak menyerang
manusia lain. Pengasingan ini membuat penderita kusta mengakhiri hidupnya
dalam penderitaan fisik dan mental yang memilukan.
Santo Damian de Veuster, seorang imam dari Kongregasi Hati Kudus
Yesus dan Maria (SS.CC.), merasa terpanggil untuk mendampingi para penderita
kusta tersebut. Beliau menerima dengan sepenuh hati tawaran Bapa Uskup
Maigret untuk menempatkan seorang imam Katolik di sebuah tempat pembuangan
orang kusta yang ditentukan oleh pemerintahan Kerajaan Hawai, yakni di Pulau
Molokai. Gereja, melalui Uskup Maigret merasakan sebuah kebutuhan yang
mendalam untuk secara efektif melayani sekitar dua ratus umat Katolik yang ada
di tempat pembuangan kusta tersebut (Stewart, 2000: 89).
Santo Damian de Veuster menjalankan sebuah pendampingan Pastoral
kepahlawanan telah berani menyerahkan diri sepenuhnya kepada para penderita
kusta, agar mereka dapat menerima dan membagikan kasih, memiliki martabat
sebagai anak-anak Allah, dan berani merangkul penderitaan dan kematiannya.
Santo Damian de Veuster tampil dan merangkul mereka, baik fisik maupun
spiritual, dan memampukan mereka untuk berkembang di tengah ketakberdayaan
mereka sendiri.
Berdasarkan kisah hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster di atas
dan tanpa mengabaikan masing-masing penderitaan yang khas yang dialami oleh
penderita kusta dan ODHA, penulis memiliki sebuah pertanyaan yang mendasar:
bagaimana semangat hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster terhadap
penderita kusta bisa dijadikan inspirasi baru dalam mendampingi ODHA di masa
sekarang ini?
Sebagai seorang pendidik iman, penulis hendak membagikan kekayaan
yang terkandung dalam semangat hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster
kepada pribadi-pribadi yang oleh imannya akan Yesus Kristus merasa terpanggil
dan memutuskan untuk mendampingi ODHA. Oleh karena itu, judul skripsi ini
adalah: ”Relevansi Semangat Hidup dan Pelayanan Santo Damian de Veuster
Bagi Pendampingan Pastoral Penderita HIV/AIDS”.
Judul ini dipilih karena penulis, sebagai seorang pengagum Santo Damian
de Veuster, pernah diminta untuk mendampingi seorang penderita HIV/AIDS dan
mengalami kesulitan dalam membantu si penderita untuk menemukan kembali
terus belajar mendampingi si penderita tersebut dan ODHA yang lain di bawah
terang semangat Santo Damian de Veuster.
B. RUMUSAN PERMASALAHAN
1. Bagaimana Santo Damian de Veuster menghayati tugas pelayanannya
terhadap para penderita kusta di Molokai?
2. Bagaimana pendampingan ODHA pada zaman sekarang dilaksanakan di kota
Yogyakarta?
3. Bagaimana butir-butir semangat hidup dan pelayanan Santo Damian de
Veuster relevan dengan pendampingan Pastoral ODHA?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Skripsi ini ditulis untuk memperkenalkan kisah hidup dan pelayanan Santo
Damian de Veuster dalam melayani penderita kusta di Molokai.
2. Skripsi ini ditulis untuk menghadirkan kenyataan pendampingan pastoral
ODHA yang dilaksanakan di kota Yogyakarta sekarang ini.
3. Skripsi ini ditulis untuk memaparkan butir-butir inspirasi semangat hidup dan
pelayanan Santo Damian de Veuster yang relevan dengan pendampingan
Pastoral ODHA di kota Yogyakarta.
4. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan Sarjana Strata
Satu (S1) di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Ilmu
Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik – Universitas Sanata
D. METODE PENULISAN
Dalam menulis skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif
analisis untuk menjelaskan relevansi antara butir-butir semangat hidup dan
pelayanan Santo Damian de Veuster dan usaha pendampingan Pastoral ODHA di
zaman sekarang. Selain berdasarkan sumber-sumber pustaka yang ada, penulis
juga mengolah data dengan menggunakan metode observasi partisipatif di
Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) yang ada di kota Yogyakarta.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Secara garis besar, penulis akan membagi skripsi ini dalam lima bagian
atau bab, yakni:
BAB I. PENDAHULUAN
Dalam bab satu ini, penulis akan menguraikan latar belakang penulisan, rumusan
permasalahan, tujuan penulisan dan sistematika penulisan skripsi ini.
BAB II. SANTO DAMIAN DE VEUSTER
Bab II menjelaskan semangat hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster.
Penulis akan membagi bab ini ke dalam tiga bagian. Bagian pertama
membicarakan mengenai Santo Damian de Veuster dan keluarganya. Bagian
kedua akan menjelaskan panggilan hidup Santo Damian de Veuster. Sedangkan
bagian ketiga akan menguraikan karya pelayanan Santo Damian de Veuster
terhadap penderita kusta di Molokai.
Bab tiga akan menguraikan kenyataan pendampingan ODHA di Yogyakarta baik
pendampingan sekuler maupun pendampingan pastoral. Oleh karena itu, bab III
ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan menggambarkan situasi
kehidupan ODHA di Kota Yogyakarta sebagai bagian dari gambaran kehidupan
ODHA pada umumnya. Bagian kedua menguraikan Pendampingan Pastoral
ODHA. Sedangkan bagian ketiga dari bab ini akan menghadirkan sebuah usulan
petunjuk pendampingan pastoral ODHA yang dikembangkan oleh Sean Connolly.
BAB IV. SEMANGAT DAN PELAYANAN SANTO DAMIAN DE VEUSTER DALAM PENDAMPINGAN PASTORAL ODHA
Penulis akan menguraikan relevansi atau keterkaitan antara semangat hidup dan
pelayanan Santo Damian de Veuster dan pendampingan Pastoral ODHA dalam
bab ini. Namun sebelumnya, penulis akan menghadirkan pemikiran yang reflektif
mengenai keberadaan HIV/AIDS sendiri di tengah konteks kehidupan beriman
Kristiani, agar kita dapat terbebas dari jebakan pemikiran mengenai HIV/AIDS
sebagai hukuman atau kutukan Allah.
BAB V. PENUTUP
Bagian terakhir dari skripsi ini akan menyajikan kesimpulan yang disertai dengan
saran-saran penulis berdasarkan uraian dan analisa di bagian-bagian tulisan
BAB II
SANTO DAMIAN DE VEUSTER
Santo Damian de Veuster bukanlah seorang teolog atau penulis buku
spiritual. Beliau adalah seorang imam yang aktif. Ketika hidupnya, beliau menulis
beberapa surat kepada keluarganya di Belgia, kepada pemimpin biaranya di Paris
dan kepada Dinas Kesehatan di Honolulu. Dari surat-surat tersebut, kita bisa
menemukan kekayaan pemikiran, semangat dan karya Santo Damian de Veuster
yang mampu membawa kebahagiaan dan harapan di tengah-tengah kehidupan
penderita kusta di Molokai.
Santo Damian de Veuster juga merupakan seorang gembala yang ulung
dan inspiratif. Beliau memberikan dirinya dengan sepenuh hati untuk karya
penggembalaannya yang kemudian membuat seluruh mata dunia tertuju padanya.
Bahkan, hingga sekarang karyanya yang menakjubkan tersebut mampu
menginspirasi dunia yang sakit, baik oleh karena penyakit, maupun oleh dosa.
Paus Benediktus XVI (www.stmonica.com.) dalam homilinya yang disampaikan
pada hari orang sakit sedunia yang jatuh pada tanggal 11 Februari 2010 yang lalu
menyebutkan secara eksplisit nama Santo Damian de Veuster sebagai salah
seorang tokoh yang peduli pada orang sakit:
Tanpa bermaksud untuk menyajikan sebuah data biografi yang lengkap
mengenai Santo Damian de Veuster, bab ini hendak menguraikan beberapa bagian
penting dari kehidupan beliau yang dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama
menguraikan kehidupan Damian de Veuster selama masa muda di tengah
keluarganya. Bagian kedua menyajikan kisah panggilan hidup Santo Damian de
Veuster. Sedangkan bagian ketiga akan mengisahkan karyanya di tengah-tengah
penderita kusta yang terbuang di pulau Molokai.
A. SANTO DAMIAN DE VEUSTER DAN KELUARGANYA
Santo Damian de Veuster dilahirkan pada tanggal 3 Januari 1840 di
Tremelo, sebuah desa kecil di Belgia. Nama aslinya adalah Yosef de Veuster.
Beliau berasal dari sebuah keluarga sederhana golongan menengah ke bawah yang
berbahasa Flemish dan dikenal sebagai keluarga yang beriman dan saleh.
Ayahnya bernama Frans de Veuster dan ibunya bernama Anna Wauters. Keluarga
besar de Veuster memiliki usaha perdagangan dan perkebunan gandum.
Pasangan Frans dan Anna de Veuster memiliki delapan orang anak, empat
putera dan empat puteri. Yosef adalah anak laki-laki termuda dan merupakan anak
ketujuh (Eynikel, 1999: 1). Walaupun Anna dikenal sebagai ibu yang mudah
marah, tetapi melalui asuhannya, dari delapan bersaudara tersebut, dua putera
menjadi biarawan dan dua puteri menjadi biarawati.
Pada saat Yosef de Veuster berusia tiga tahun, kakak perempuan
setelah itu meninggal dunia karena penyakit tipus. Kakak perempuannya yang
lain, Pauline, kemudian memutuskan untuk bergabung di biara yang sama.
Pada bulan Agustus 1853, saudaranya Auguste yang berusia lebih tua dua
tahun darinya masuk biara Hati Kudus Yesus dan Maria (SS.CC.)1 di Malines
(Stewart, 2000: 18). Auguste kemudian memilih nama Pamphile, sesuai dengan
nama St. Pamphilus, untuk menjadi nama biaranya, dan selanjutnya beliau dikenal
dengan nama Pater Pamphile.
Tidak banyak orang yang tahu mengenai masa kecil Yosef de Veuster.
Kisah mengenai masa kecilnya kebanyakan berasal dari catatan pribadi Pater
Pamphile, saudaranya. Dari catatan pribadi itu kita bisa mengetahui bahwa
pengalaman masa kecil Yosef de Veuster cukup banyak mempengaruhi kualitas
hidup dan karyanya di kemudian hari.
Semasa kecilnya, Jef – begitu beliau disapa – sempat tinggal di rumah
kakeknya, Hendrik de Veuster bersama dengan dua sepupunya, Henri Vinckx dan
Felix de Veuster. Jef melalui saat yang bahagia bersama kakeknya. Mereka
menghabiskan banyak waktu bersama untuk mengelilingi ladang gandum sambil
mempelajari beberapa keterampilan berladang dan menunggang kuda. Kakeknya
mengajari mereka untuk membedakan tanaman yang beracun dari tanaman yang
berkhasiat untuk menyembuhkan sakit. Kakeknya juga mengajari bagaimana
1
menggemburkan tanah yang sangat basah sehingga mudah ditumbuhi tanaman
yang bermanfaat.
Kebahagiaannya tinggal bersama sang kakek tidak berlangsung lama.
Setelah kakeknya meninggal dunia pada bulan Juni 1845 (Eynikel, 1999: 2), Jef
kembali ke rumah dan memulai aktivitas seperti sebelumnya, di bawah asuhan
ibunya yang dikenal sebagai ibu yang tempramental (mudah marah).
Pada usia sepuluh tahun, Jef menerima Komuni Pertama di gereja Paroki
Tremelo. Pada usia yang masih muda itu, Jef sudah mencintai kesunyian dan
kontemplasi. Menurut catatan Pater Pamphile yang ditulis kembali oleh Pater
Richard Stewart, teman-teman kelasnya memanggil dia dengan sebutan le petit
berger – sang gembala kecil karena pada saat itu ‘dia suka menjelajahi padang
rumput dalam kesunyian bersama teman-teman gembala yang lain dengan
kawanan dombanya ... selama berjam-jam’ (2000: 18). Ketertarikannya akan
kesunyian dan kontemplasi tidak serta merta membawanya ke depan gerbang
biara. Jef harus terlebih dahulu mendapatkan restu dari kedua orang tuanya yang
pada saat itu masih berduka dengan kematian kakaknya Eugenie di biara yang
menghidupi semangat kemiskinan (Eynikel, 1999: 12).
Setelah menyelesaikan sekolah dasar yang mempelajari beberapa ilmu
dasar, Jef melanjutkan masa kecilnya di ladang gandum milik keluarga.
Berdasarkan keterampilan yang diajarkan oleh kakeknya, dia menunjukkan
keahlian dan keuletannya dalam bekerja. Hal inilah yang meyakinkan ayahnya,
Frans de Veuster, untuk menyekolahkan Jef di sebuah sekolah bisnis. Frans de
putera termudanya itu. Frans akhirnya memutuskan untuk mengirim Jef kembali
ke bangku sekolah.
Pada tahun 1857, Frans de Veuster mendaftarkan Jef di Cours Moyen
College di Braine-le-Comte, sebuah sekolah berasrama di Hainault yang
warganya berbahasa Prancis dan kurang bertoleransi dengan orang yang tidak
mampu berbahasa Prancis (Stewart, 2000: 20). Melalui sekolah ini Jef diharapkan
untuk bisa mempelajari bahasa Prancis yang kemudian akan sangat berguna saat
dia melanjutkan studi di sekolah bisnis. Pada saat itu, Jef berusia enam belas
tahun.
Hari-hari pertama Jef di tempat yang baru ini adalah hari-hari yang penuh
dengan tantangan. Teman-teman kelasnya yang berbahasa Prancis selalu
menggoda Jef karena keterbatasannya dalam berbicara dengan bahasa Prancis.
Hilde Eynikel menggambarkan situasi awal sekolah Jef sebagai berikut:
Dia duduk di kelas seolah-olah tuli dan bisu dan merasa seperti seorang yang bodoh. Teman kelasnya yang berasal dari daerah tersebut memanggilnya dengan sebutan seorang petani berbahasa Flemish dan menertawai dia karena dia tidak bisa berbahasa Prancis (Eynikel, 1999: 12).
Di tengah situasi sulit seperti itu, Jef tetap semangat dalam memaknai
semua pelajaran yang diberikan. Dia harus merubah cara menulis huruf dan
mengeja setiap kata Bahasa Prancis yang baru. Dia meminta teman kelasnya
untuk menyebut semua benda yang dijumpai dan berusaha menghafal setiap kata
baru dan menulis kembali setiap kata tersebut selama berjam-jam lamanya, hingga
(Eynikel, 199:13). Dengan daya ingatannya yang kuat, kerja kerasnya ini akhirnya
membuahkan hasil yang menggembirakan.
B. PANGGILAN HIDUP SANTO DAMIAN DE VEUSTER 1. Pergumulan Awal
Menurut catatan saudaranya, Pater Pamphile, benih panggilan dalam diri
Jef sudah ada dan bertumbuh sejak masih kecil. Namun, ada banyak hal yang
memaksanya untuk tidak mengungkapkan adanya benih panggilan itu di hadapan
keluarga. Bahkan saudaranya tersebut mengungkapkan, seperti yang ditulis oleh
Pater Richard Stewart, Jef pernah “mengabaikan idamannya untuk menjadi
seorang imam” (2000:19).
Setidaknya ada dua alasan mengapa Jef sempat mengabaikan idamannya
untuk menjadi seorang imam. Pater Richard Stewart mengemukakan alasan
pertama yang berasal dari keadaan Jef sendiri pada saat itu. Jef belum pernah
belajar Bahasa Latin, Bahasa Prancis dan ilmu Humanistik, yang pada saat itu
menjadi syarat bagi seseorang untuk masuk seminari SS.CC.. Sedangkan alasan
kedua datang dari kehendak keluarganya sendiri yakni menghendaki Jef untuk
meneruskan usaha gandum keluarga. Pada saat yang sama, Joseph Goovaerts –
kakeknya, mewariskan kepemilikan perusahaan dan bisnis gandumnya kepada Jef.
Di tengah situasi seperti itu, ayahnya memutuskan Jef untuk kembali bersekolah
agar dapat mengelola usaha dagang gandum ayahnya dengan lebih baik di
kemudian hari. Keputusan ini memaksa Jef untuk pindah ke lain daerah di Belgia
Di tempat baru inilah Jef de Veuster mendapat kesempatan retret yang
diadakan oleh para imam Redemptoris. Dari retret tersebut dia menemukan
kembali panggilannya yang sempat ‘diabaikan’. Dia melukiskan panggilan di
hatinya sebagai ‘penderitaan jiwa’ yang sulit disembuhkan, dengan mengutip
sebuah kalimat yang amat terkenal saat itu: penderitaan jiwa sulit untuk
disembuhkan(Eynikel, 1999:13).
Dia merasakan panggilan ini sebagai sebuah kehendak Allah atas dirinya,
dan tidak ada seorang pun yang bisa menghalanginya. Dia berusaha untuk
meyakinkan orangtuanya bahwa keputusannya untuk masuk biara tidak sekedar
mengikuti jejak ketiga kakaknya. Inilah saatnya untuk memilih jalan hidup yang
harus dia jalani: “saya berharap bahwa inilah saatnya bagi saya … untuk memilih
jalan yang saya dambakan untuk dijalani”(Eynikel, 1999:14).
2. Damian de Veuster, Seorang Biarawan Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria (SS.CC.)
Jef de Veuster masuk biara Hati Kudus Yesus dan Maria (SS.CC.) di usia
sembilan belas tahun. Pada saat itu, dia hadir sebagai seorang tamu biara. Dia
masih mengenakan pakaian pribadinya dan masih dikenal dengan nama ‘Jef’.
Hanya beberapa pekan awal kehadirannya di Novisiat, Caprais Verhaerghe
yang adalah pemimpin novisiat saat itu telah berhasil menangkap kualitas hidup
membiara yang dijalankan oleh Jef. Jef mampu beradaptasi dengan kehidupan
biara yang monoton dan ketat. Jef sanggup bangun lebih awal di pagi hari, tenang
tetap bertahan dalam keheningan selama sarapan. Meskipun pelajaran Kitab Suci
diberikan dalam ruangan yang kotor dan panas, Jef tidak pernah mengeluh. Dia
bahkan memberi perhatian yang penuh terhadap surat para misionaris yang
dibacakan selama makan siang berlangsung (Eynikel, 1999:17).
Sebuah langkah pertama yang penting dalam memenuhi idaman hati
diambilnya pada tanggal 2 Februari 1859. Pada hari itu Jef mengucapkan tiga kaul
kebiaraan untuk pertama kalinya. Sejak saat itu, Jef mengikatkan dirinya dengan
masa percobaan dalam Kongregasi Hati Kudus Yesus dan Maria (SS.CC.). Beliau
mulai dikenal dengan nama Damian Yosep de Veuster (Eynikel, 1999: 18).
Ternyata sejak kecil, Damian Yosep de Veuster sangat mengagumi kisah hidup
Santo Damian, yang menyerahkan hidupnya untuk melayani orang miskin,
bersama saudara kembarnya, Santo Kosmas. Kisah kedua dokter kembar yang
kemudian mati sebagai martir itu menyentuh hatinya hingga beliau memilih nama
‘Damian’ sebagai nama biaranya.
Karena Damian de Veuster belum belajar Bahasa Latin, maka beliau
diterima sebagai seorang calon bruder di biara SS.CC. di Louvain. Namun
keinginan yang besar untuk menjadi seorang imam membuat beliau untuk
bersungguh-sungguh belajar bahasa Latin di bawah asuhan saudaranya, Pater
Pamphile dan Pater Germain. Usahanya ini berhasil dalam waktu yang relatif
cepat dan kemudian beliau diterima sebagai seorang calon imam.
Setelah mengucapkan kaul kekal pada tanggal 7 Oktober 1860 di Paris –
Prancis, di mana rumah induk biara berada, beliau kembali lagi ke Louvain untuk
bersemangat dalam mempelajari sesuatu, padahal saudaranya Pamphile-lah yang
terkenal di keluarga sebagai putera yang memiliki keunggulan itu.
Damian sangat menikmati kehidupan di biara. Beliau bahagia dan terlihat
sering tertawa dan bercanda. Beliau juga sangat menikmati kehidupan doa,
adorasi dan keheningan. Tidak jarang beliau menempati ‘posisi kedua’ pada saat
makan, di mana makanan mulai terlihat berkurang. Beliau bahkan sering
membagikan jatah makanannya untuk saudara yang lain. Beliau juga sering
melakukan penyangkalan diri dan memilih cara hidup yang susah seperti tidur di
atas lantai tanpa alas tidur dan menghabiskan banyak waktu tidurnya untuk berdoa
(Eynikel, 1999: 23).
3. Damian de Veuster, Seorang Misionaris
Tiga tahun setelah Damian de Veuster mengucapkan kaul kekal, tepatnya
tanggal 28 Februari 1863, saudaranya Pamphile ditahbiskan menjadi imam
(Stewart, 2000:31). Perayaan pentahbisan tidak hanya menjadi perayaan biara,
tetapi juga merupakan perayaan keluarga besar de Veuster. Hilde Aynikel, penulis
buku Molokai, The Story of Father Damien yang menjadi sumber pembuatan film
dengan judul yang sama, mencatat bahwa pada saat itulah, Damian de Veuster
mendapat kesempatan untuk kembali ke rumah keluarganya di Tremelo untuk
merayakan pesta pentahbisan tersebut. (1999:24)
Sebagai seorang imam muda, tugas misi pertama yang diberikan kepada
Pater Pamphile adalah menjadi salah seorang misionaris yang akan dikirim ke
Hawai (Stewart, 2000:32). Pater Pamphile akan menjalankan misi Kongregasi di
daerah tersebut bersama dengan lima belas imam Kongregasi SS.CC. sesuai
dengan permintaan Uskup Louis Desire Maigret, pemimpin Kevikepan Kepulauan
Hawai.
Pater Pamphile secara diam-diam mengungkapkan isi hatinya terhadap
tugas baru tersebut kepada Damian de Veuster. Pater Pamphile mengungkapkan
bahwa dia akan menerima tantangan itu tetapi tidak dengan semangat yang tinggi.
Baginya, hidup di daerah asing yang terpencil seperti itu akan terasa sangat sulit
dan penuh dengan tantangan. Bukan sekedar persoalan meninggalkan rumah,
kampung halaman atau orang-orang yang dicintai, tetapi hidup di daerah yang
jauh dan terpencil menuntut seseorang untuk beradaptasi dengan cara hidup dan
makanan masyarakat lokalnya.
Di tengah kecemasan itu, Pater Pamphile akhirnya jatuh sakit. Wabah
tipus kembali melanda kota Louvain. Pater Pamphile adalah salah satu korbannya.
Stamina imam muda tersebut menjadi lemah dan demam memaksa dia untuk tetap
berada di tempat tidur. Dia sering menderita sakit kepala dan otot-otot tubuhnya
pun terasa sakit.
Damian de Veuster menghabiskan banyak waktu luangnya untuk merawat
kakaknya dan berdoa mohon kesembuhannya. Bagaimana pun juga, rasa duka
yang meliputi keluarga atas meninggalnya Eugene oleh karena wabah yang sama
menghantui kedua saudara tersebut.
Dalam keadaan seperti itu, Pater Pamphile tidak bisa lagi terhitung dalam
menghapus namanya dari daftar nama misionaris yang akan berlayar ke kepulauan
Sandwich pada bulan Oktober tahun itu. Sebagai gantinya, pimpinan biara
menawarkan posisi yang kosong tersebut kepada anggota biara yang sedang
mempersiapkan diri untuk menjadi imam.
Tawaran ini kemudian sampai di telinga Damian de Veuster. Seperti
saudaranya Pauline yang menggantikan posisi Eugene, Damian de Veuster
langsung menulis surat kepada pemimpin biara di Paris untuk menyatakan
kesediaannnya menggantikan posisi saudaranya, Pater Pamphile yang sedang
menderita sakit.
Pemimpin biara di Louvain – tempat tinggal Damian dan Pater Pamphile
saat itu, Pater Wenceslas, memiliki pandangan yang berbeda. Menurut beliau,
“Allah menghendaki imam-imam yang berkualitas atau misionaris yang sudah
terlatih dan yang sudah dithabiskan. Tantangan di tanah misi tidak bisa diabaikan
begitu saja, tetapi harus ditaklukan oleh missionaris yang bermutu” (Stewart,
2000: 36). Secara tidak langsung, Pater Wenceslas tidak mengizinkan frater atau
bruder yang sedang menjalankan studinya untuk berangkat ke tanah misi.
Meskipun demikian, pemimpin umum biara di Paris menerima kesediaan
Damian de Veuster dan mengizinkan beliau untuk ikut dalam kelompok misi ke
kepulauan Sandwich. Di hadapan Pater Pamphile, surat izin itu ditanggapi
Damian de Veuster dengan semangat: “Yes! Yes, I am to go instead of you! I am
to go instead of you!” (Stewart, 2000: 36).
Kehadiran surat dari París itu sekaligus menyatakan kepada Damian de
rekan-rekannya di Louvain. Semua orang turut berbangga karena pada zaman itu,
khususnya di desa kecil Tremelo, jarang sekali seorang imam dikirim ke
tempat-tempat yang jauh dan terpencil.
Saat itu, Damian menyadari bahwa semuanya akan menjadi yang terakhir;
pelukan terakhir, salaman terakhir dan tatapan terakhir. Beliau menyempatkan
dirinya berdoa bersama ibunda tercinta, di sebuah tempat doa di desanya. Hingga
akhirnya, kalimat penuh makna tersebut terucap:
Inilah saat terakhir untuk menatap tempat doa yang sangat saya kasihi ini. Biarlah mata saya menatapnya. Di tempat ini, saya meminta kepada Bunda kita yang terberkati selama dua belas tahun untuk mengizinkan saya bekerja di wilayah misi (Stewart, 2000:38).
Pada tanggal 21 Oktober 1863, kelompok misionaris Kongregasi Hati
Kudus Yesus dan Maria (SS.CC.) berlayar menuju Hawai dengan kapal R.W.
Wood. Setelah melewati 139 hari di laut dengan berbagai tantangannya, R.W.
Wood akhirnya bersandar di pantai Hawai pada tanggal 17 Maret 1864. Umat
Katolik setempat mengadakan upacara penyambutan para misionaris, termasuk
Damian de Veuster.
4. Damian de Veuster, Seorang Imam
Sebagai seorang calon imam, Damian de Veuster harus kembali
melanjutkan studi Teologi di Hawai bersama dengan dua frater yang lain, Clement
dan Lievin. Namun prioritas studi saat itu berbeda dengan apa yang terjadi di
Louvain. Mereka lebih memfokuskan studi mereka terhadap aspek-aspek teologi
praktis yang bermanfaat bagi seorang imam dari pada aspek akademisnya
pelajaran tambahan, selain ilmu teologi praktis yang bermanfaat bagi karya
imamat mereka kelak. Mereka juga belajar Bahasa Inggris dan Bahasa Hawai,
termasuk sejarah dan budaya negeri itu.
Pada hari Minggu tanggal 17 April 1864, bertepatan dengan pesta Santo
Yosep, ketiga frater itu, Damian, Clement dan Lievin, menerima pentahbisan
diakon, sebuah langkah lebih dekat menuju pentahbisan imamat. Selama empat
minggu setelah pentahbisan diakon, ketiga frater tersebut sangat sibuk dengan
persiapan pentahbisan imamat. Sebuah waktu yang sangat singkat bila
dibandingkan dengan waktu persiapan pentahbisan imamat di Eropa yang lazim
terjadi. Pada saat itu, persiapan pentahbisan imamat seharusnya membutuhkan
waktu yang cukup lama, bahkan berbulan-bulan.
Hari yang diidam-idamkan itu, akhirnya tiba juga. Damian de Veuster,
Clement dan Lieven ditahbiskan pada tanggal 21 Mei 1864, di Kathedral Our
Lady of Peace Honolulu, Hawai oleh Uskup Maigret. Sejak hari itu, Damian de
Veuster dikenal dengan Pater Yosep Damian de Veuster.
Pada hari sesudahnya, Pater Damian de Veuster merayakan perayaan Misa
Perdananya sebagai seorang imam. Beliau tidak mengalami kesulitan di saat
mengucapkan beberapa bagian dari liturgi dalam Bahasa Latin di hadapan ratusan
penduduk asli yang telah meninggalkan allah-allah mereka dan menjadi Katolik.
Khotbah pertamanya dalam bahasa Hawai pun berlangsung dengan tanpa
halangan yang berarti. Suratnya kepada Pater Pamphile mengungkapkan isi
hatinya mengenai pengalaman yang mengesankan itu:
kalinya saya mempersembahkan roti kehidupan kepada ratusan orang yang sebelumnya menyembah allah-allah yang lama dan yang sekarang dengan keikhlasan mendekati Altar Suci … (Eynikel, 1999: 42).
C. KARYA SANTO DAMIAN DE VEUSTER DI PULAU MOLOKAI
Ketiga imam baru, Pater Lievin, Pater Clement dan Pater Damian, siap
diutus untuk berkarya, sesuai dengan rencana awal pengiriman kelompok misi
dari Eropa. Di bawah kebijakan uskup Maigret, mereka bersedia ditempatkan di
mana saja sesuai kebutuhan gereja lokal, Gereja Hawai.
Di antara ketiga imam baru tersebut, pater Lievin lebih menonjol dalam
kemampuannya berbahasa Inggris baik lisan maupun tulisan dan ilmu bisnis.
Karena kelebihannya inilah maka dia ditempatkan oleh uskup di Sacred Hearts
College di Ahuimanu. Sedangkan uskup Maigret menempatkan Pater Damian dan
Pater Clement di wilayah misi yang ada di bagian utara pulau Hawai, pulau
terbesar di kepulauan Hawai (Stewart, 2000: 47).
Misi pertama yang diterima oleh kedua imam baru yang lain memiliki
tantangan yang beragam. Tantangan-tantangan itu berasal dari berbagai arah, baik
dari kebudayaan dan kebiasaan masyarakat lokal, dari misi para misionaris
Protestan dan juga dari keadaan alam yang sulit dan berbahaya. Daerah yang
diyakini Pater Damian de Veuster sebagai “tempat yang menurut Penyelenggara
Ilahi cocok untuk dirinya” (Surat Pater Damian kepada Pater Pamphile, tertanggal
23 Agustus 1864) ini adalah daerah yang dikelilingi beberapa gunung berapi yang
masih aktif. Sejauh mata memandang hanya dapat terlihat lautan biru dan
gunung-gunung yang tinggi. Di saat kering, tanahnya berdebu, tetapi di saat hujan
Kehidupan masyarakat di bagian utara pulau ini sangat memprihatinkan. Tidak
ada pastor yang melayani mereka sudah lebih dari tujuh tahun (Stewart, 2000: 48).
Ada beberapa misionaris mengunjungi mereka, tetapi kunjungan yang
singkat tersebut tidak banyak bermanfaat. Kehidupan rohani mereka tidak dijaga
dengan baik sehingga banyak dari antara mereka akhirnya kembali pada cara
hidup yang lama, kembali menyembah dewa-dewa atau menjadi Protestan. Lebih
lanjut Hilde Eynikel menulis bahwa banyak anak-anak mengikuti kegiatan di
sekolah Protestan karena mereka tidak memiliki pilihan yang lain (1999: 46).
Pater Damian memulai karyanya dengan jumlah umat Katolik yang sangat
sedikit, yakni hanya berjumlah 350 jiwa (Eynikel, 1999: 47). Semuanya adalah
umat yang miskin. Selain itu, banyak dari antara mereka yang menderita sakit.
Keadaan tersebut tidak membuat Pater Damian untuk menyerah, bahkan beliau
meminta saudaranya Pamphile untuk datang dan menemani dia untuk membangun
Gereja di sana.
Pater Damian rajin mengunjungi rumah-rumah umat setempat, tidur
bersama di pondok-pondok mereka, berbagi makanan bersama dengan mereka
dan setia mendengarkan kisah hidup dan cerita mereka. Beliau membuat tulisan
yang sederhana mengenai sakramen, peristiwa-peristiwa dalam Doa Rosario, dan
liturgi dan menyebarkan tulisan itu secara gratis. Dari hasil kerja kerasnya inilah
beliau berhasil memenangkan hati dua puluh sembilan umat untuk dibaptis di
awal karyanya (Eynikel, 1999: 50).
Pada tahun 1853, Congregational Mission Board menghentikan bantuan
mempengaruhi pelayanan kesehatan umat di Hawai. Beberapa misionaris
Protestan menarik kembali dokter-dokter mereka yang berdampak pada
meningkatnya penyebaran beberapa penyakit kulit dan tuberkolosis.
Di antara para dokter misionari Protestan yang hendak meninggalkan
pulau Hawai, Dr. C.H. Wetmore adalah sahabat baik Pater Damian de Veuster.
Pater Damian memanfaatkan keberadaannya untuk belajar banyak hal dalam
menangani orang sakit. Bersama dia, Pater Damian belajar bagaimana
membersihkan luka, memilih dan memberi obat yang tepat kepada orang yang
menderita dan bahkan belajar bagaimana mengamputasi atau memotong bagian
tubuh yang terinfeksi. Beliau bahkan mampu mengenal tanda-tanda awal penyakit
kusta (Stewart, 2000: 83). Keterampilannya inilah yang kelak sangat bermanfaat
dalam melayani penderita kusta di Molokai.
Melayani umat di daerah yang luas, terpencil, miskin dan menderita sakit
adalah sebuah tugas yang amat berat. Apalagi sebagai seorang misionaris yang
berpisah jauh dari rekan misionaris yang lain selama berbulan-bulan akan sangat
tertekan. Tetapi di saat seperti itu, Pater Damian masih memancarkan kebahagiaan
dan keceriaan yang nampak dalam suratnya kepada Pater Pamphile di awal tahun
1867:
mengenai saya, syukur pada Allah, saya masih baik-baik saja, dalam kondisi kesehatan yang bagus dan sangat, sangat bahagia … Saya tidak mempunyai waktu untuk merasa jemu di tengah-tengah paroki saya yang luas ini, yang mana Sang Penyelamat telah mempercayakannya kepada saya … (Stewart, 2000: 72).
Dua tahun sebelumnya, tepatnya tanggal 3 Januari 1865, Parlamen Hawai
merebak di wilayahnya (Eynikel, 1999: 53). Bentuk perlawanan terhadap penyakit
yang mengerikan itu adalah dengan mengasingkan para penderita di pulau
Molokai, sebuah pulau yang sulit diakses. Sebuah dinding batu yang tingginya
mencapai enam ratusan meter membelah pulau itu dan meninggalkan tiga dataran
rendah yang selalu basah oleh hempasan ombak besar Lautan Pasifik. Ketiga
dataran rendah itu adalah Kalawao yang berada di pantai sebelah timur,
Makanalua yang terletak di bagian tengah dan Kalaupapa yang berada di sebelah
barat (Eynikel, 1999: 57).
Pada tahun 1872, keadaan di pulau Molokai sangat menyedihkan. Dua
sampai tiga persen penduduk asli Hawai terjangkit kusta dan diasingkan di pulau
tersebut (Stewart, 2000: 86). Kehidupan mereka diibaratkan dengan ‘kuburan
hidup’ karena bau busuk luka yang menganga lebar dan mayat yang tidak terawat
tercium dimana-mana. Selain itu banyak penderita, yang karena depresi,
melakukan perbuatan atau tindakan brutal yang sadis terhadap penderita yang lain,
seolah-olah tidak ada lagi hukum yang berlaku di antara mereka (Eynikel, 1999:
74)
Dengan adanya penambahan jumlah penderita kusta di Molokai, maka
kebutuhan akan dana kesehatan pun semakin bertambah. Sebagai imbasnya, pajak
yang harus dibayar oleh penduduk Hawai pun semakin tinggi. Penderitaan
penduduk Hawai yang semula oleh karena perpisahan dengan sanak keluarga, kini
ditambah dengan beban pajak yang mahal.
Situasi ini kemudian menjadi perhatian Uskup Maigret, karena banyak di
beberapa misionaris untuk melayani para penderita di Molokai. Namun atas
nasehat seorang dokter Jerman, Boniface Schaffer, yang menganjurkan agar
misionaris tidak boleh melakukan hubungan langsung atau makan bersama
dengan penderita kusta, maka pelayanan yang hendak dilaksanakan itu akan
dilakukan secara bergantian. Misionaris tidak boleh menetap di sana, tetapi harus
segera kembali setelah merayakan Ekaristi dan perayaan sakramen yang lain demi
kesehatan para misionaris sendiri.
Rencana Uskup Maigret ini kemudian ditawarkannya kepada para
misionaris yang ada di bawah otoritasnya. Ada empat imam misionaris, termasuk
Pater Damian menyatakan setuju terhadap tawaran itu (Eynikel, 1999: 74). Uskup
Maigret kemudian menunjuk Pater Damian de Veuster sebagai imam pertama
yang menjalankan tawaran tersebut.
Berita bahwa akan datang seorang imam berkulit putih ke Molokai cepat
tersebar, baik di Molokai, maupun di wilayah Hawai yang lain. Para penderita,
termasuk seorang pendeta yang terjangkit kusta, mengumpulkan tandatangan dan
mengirimkan surat kepada Uskup untuk membiarkan imam yang akan datang itu
tinggal lebih lama bersama mereka di sana.
Pater Damian tiba di pulau Molokai tanggal 10 Mei 1873 bersama dengan
Uskup Maigret dan beberapa imam yang lain. Setelah merayakan Ekaristi bersama
para penderita kusta, Uskup Maigret menjawab permintaan mereka di atas dengan
memperkenalkan Pater Damian de Veuster sebagai imam yang akan tinggal
di tempat itu (Eynikel, 1999: 76). Pater Damian melalui beberapa malam
pertamanya di Molokai di bawah naungan daun pandan.
Sebagai seorang imam dan seorang misionaris yang rajin dan berbakat,
Pater Damian mempersembahkan seluruh hidupnya demi kesejahteraan hidup
para penderita kusta di Molokai tanpa memandang perbedaan agama. Molokai
baginya adalah ‘kebun anggur’ Tuhan yang siap untuk dipanen. Dengan sedikit
terkesan memaksa, beliau menulis surat kepada provinsialnya untuk menyatakan
keinginannya agar tetap tinggal di sana: “Saya memohon kepadamu … saya
berharap untuk mengorbankan diri saya bagi para penderita kusta yang malang.
Panenan di sini terlihat matang – sudah siap dituai” (Eynikel, 1999: 80).
‘Kebun anggur’ yang ada di hadapannya adalah sekelompok penderita
yang hidupnya sengsara dan menakutkan. Dalam surat-suratnya, beliau
menyebutkan beberapa istilah yang dapat melukiskan keadaan yang menyedihkan
tersebut. Kepada provinsialnya (Eynikel, 1999: 79-80), beliau menggunakan
istilah ‘sekelompok orang yang mendekati kematian’. Kepada orangtuanya beliau
melukiskan bahwa ‘nafas mereka (penderita kusta) mencemari udara’. Kepada
Pater Pamphile, Pater Damian melukiskan penderitaan kusta yang lebih nyata: “…
orang-orang sakit yang memiliki luka yang dipenuhi dengan belatung seperti
mayat yang ada di dalam kubur …” (Stewart, 2000: 126). Dengan ini, kita dapat
membayangkan ketulusan hati dan kepahlawanan seorang misionaris muda dalam
melayani sesamanya yang menderita dan terabaikan.
Pater Damian de Veuster adalah harapan baru bagi para penderita kusta.
kehidupan rohani maupun kesehatan dan kelayakan hidup jasmani. Beberapa kali
beliau menulis surat kepada Uskupnya, Provinsialnya, kepada saudaranya Pater
Pamphile dan kepada Dinas Kesehatan Hawai untuk mendatangkan bantuan
berupa pakaian yang layak, rumah ibadah yang baik, tempat tinggal yang nyaman
dan rumah sakit yang memadai. Hilde Eynikel menulis bahwa dia sendiri pernah
ke Honolulu, bukan untuk melarikan diri dari penderita kusta, melainkan mencari
bantuan dan pulang dengan banyak potongan pakaian yang layak pakai (1999:
93).
Kesungguhan untuk peduli pada kehidupan penderita kusta beliau
tunjukkan dengan sikap spontannya setiap hari terhadap mereka. Meskipun sudah
diingatkan oleh uskup untuk tidak bersentuhan langsung dengan mereka, tetapi
beliau berani membersihkan luka-luka mereka dengan tangannya sendiri (Eynikel,
1999: 86). Hampir setiap hari beliau menjumpai beberapa penderita kusta yang
sekarat, mendoakan mereka dan memberikan sakramen orang sakit. Beberapa
jenasah yang dijumpainya, dibersihkan, didoakan dan dikuburkan dengan baik.
Tidak jarang, beliau sendirilah yang menggali lubang kubur bagi jenasah-jenasah
itu.
Kata-katanya yang terkenal, ‘We Lepers …” (kami penderita kusta)
kembali menggarisbawahi semua tindakannya. Cintanya kepada penderita kusta
yang diasingkan di Molokai telah menghancurkan garis pembatas yang ada saat
itu: seorang imam yang berwibawa dengan umat di tanah buangan, misionaris
berkulit putih dengan penduduk asli yang malang dan terlebih-lebih antara
sebuah khotbahnya di hadapan penderita kusta di Molokai itu sekaligus
mengangkat kembali derajat penderita kusta sebagai manusia, anak-anak Allah
yang sama seperti umat manusia seluruhnya: “we, everyone of us without
exception …” (Eynikel, 1999: 91).
Penderitaan di Pulau Molokai sudah berlalu sekitar dua abad yang lalu.
Perkembangan dunia kesehatan telah berhasil menemukan obat yang mampu
mencegah dan membunuh perkembangan bakteri lepra sehingga ketakutan akan
penyakit yang menyerang kulit manusia tersebut kian memudar. Seiring dengan
itu, dunia kembali memiliki keyakinan bahwa selanjutnya dunia akan secara
bertahap terbebas dari penderitaan yang menghantui umat manusia oleh karena
kusta.
Namun dunia kembali menghadapi epidemi penyakit baru yang lebih
menakutkan, yaitu HIV/AIDS. Penderitaan akibat sakit fisik dan pengabaian
masyarakat terhadap penderita kusta kembali mendera sekelompok anak manusia
yang terinfeksi virus yang mematikan tersebut. Dunia kembali mendapat
tantangan baru.
Dewasa ini, HIV/AIDS tampil dengan wajah yang menakutkan karena,
seperti kusta, HIV/AIDS juga akan menyisakan penderitaan bagi umat manusia.
Gereja sebagai institusi keselamatan, kembali ditantang untuk terus berusaha agar
ODHA, sebagai anak-anak Allah yang ditebus oleh darah Yesus, tidak lagi
terpuruk dalam ketakberdayaan dan keputusasaan yang memilukan.
Tanpa bermaksud untuk mengabaikan penderita kusta dan penderitaannya
kusta zaman sekarang. Keputusaasaan dan ketakutan sebagai akibat logis dari
HIV/AIDS di tengah masyarakat, menjadi warna dasar penyakit yang mematikan
itu. Gereja tentu saja membutuhkan rasul-rasul baru seperti Santo Damian de
Veuster. Oleh karena itu, bab selanjutnya akan menyajikan pemahaman mengenai
pendampingan pastoral yang ditujukan kepada ODHA. Seperti melukiskan
suasana Molokai yang mencekam oleh karena penderitaan kusta, penulis akan
terlebih dahulu menggambarkan situasi kehidupan ODHA sehingga semangat dan
pelayanan Santo Damian de Veuster dapat kembali ditawarkan sebagai inspirasi
karya Gereja di masa sekarang.
BAB III
HIV/AIDS DAN PENDAMPINGAN PASTORAL DI YOGYAKARTA
Semangat dan karya pelayanan Santo Damian de Veuster di Pulau
Molokai yang telah dibahas pada bab sebelumnya merupakan sebuah karya
penggembalaan yang sesungguhnya. Sosok ideal seorang gembala yang baik
terpancar keluar dari dalam dirinya, melalui kata-kata dan perbuatannya. Seperti
Kristus, Sang Gembala Yang Baik, beliau memberi seluruh diri dan hidupnya
demi kebahagiaan dan masa depan kawanan dombanya. Beliau hadir dan
membawa mereka ke padang rumput yang hijau dan menjumpai air segar yang
mengalir dalam hidup mereka sebagai sesama anak-anak Bapa.
Kehidupan manusia zaman sekarang masih belum bebas dari penderitaan.
Wajah manusia masih memancarkan kecemasan, tangisan, pengabaian dan
semacamnya. Kegembiraan dan jati diri sebagai anak-anak Bapa yang penuh kasih
masih belum hadir di wajah sekelompok manusia tertentu, khususnya mereka
yang dinyatakan terinfeksi HIV/AIDS (ODHA). Ketakutan dan perlakuan yang
tidak adil oleh sesama manusia masih menghantui kehidupan mereka yang malang
sehingga muncullah harapan akan sosok gembala baru yang berani menjadi nabi
dan sahabat di tengah pergulatan hidup mereka.
Melalui bab ini penulis akan menggambarkan situasi kehidupan penderita
HIV/AIDS dan usaha pendampingan yang berlangsung selama ini di tengah
perkembangan dan kemajuan kota Yogyakarta. Selain itu, penulis juga akan
keduanya, HIV/AIDS dan pendampingan pastoral. Harapannya adalah dengan
memahami HIV/AIDS dan pendampingan pastoral secara benar, kita dapat
dengan mudah menemukan keterkaitannya dalam terang semangat Santo Damian
de Veuster. Dengan kata lain, pembahasan yang terdapat sepanjang bab ini
merupakan gambaran awal sebelum penulis memaparkan butir-butir relevansi
antara semangat hidup dan pelayanan Santo Damian de Veuster dengan
pendampingan pastoral ODHA sebagai bentuk usaha menjawab harapan akan
terciptanya wajah kehidupan yang lebih baik sebagai anak-anak Allah.
A. HIV/AIDS DI KOTA YOGYAKARTA 1. HIV/AIDS
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus (virus
penyebab penurunan kekebalan tubuh manusia). HIV sendiri merupakan golongan
keluarga retrovirus di mana gennya tersusun dari molekul ribonucleic acid
(RNA). Seperti virus pada umumnya, HIV tidak mampu memperbanyak diri
(replikasi) di luar sel yang hidup. Karena itulah, maka HIV hanya bisa
berkembang dalam diri manusia atau hewan yang hidup.
Virus ini menyerang bagian sel-sel darah putih yakni sel-sel limfosit T
(CD4) yang berfungsi dalam sistem imun (kekebalan) tubuh. Di dalam sel-sel
limfosit inilah HIV memperbanyak dirinya dan merusak sel-sel tersebut.
Pengrusakan sel-sel yang berfungsi dalam sistem kekebalan ini kemudian akan
mengakibatkan sistem imun terganggu dan daya tahan tubuh berangsur-angsur
penyakit oleh karena infeksi ataupun penyakit lain akan meningkat. Hal ini tentu
saja tidak akan terjadi dalam keadaan daya tahan tubuh yang normal. Infeksi yang
terjadi oleh karena daya tahan tubuh yang menurun itulah disebut infeksi
oportunistik atau opportunistic infections (Gunung, 2002: 29).
Sejak virus ini merebak dan mulai diperbincangkan oleh dunia sekitar
tahun 1970, HIV kemudian dibedakan menjad dua tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2.
Tipe HIV-1 pertama kali diidentifikasi pada tahun 1984 di Amerika Serikat,
sedangkan HIV-2 pada dua tahun kemudian (1986) dari penderita AIDS di Afrika
Barat (Gunung, 2002: 29). Kedua tipe ini memiliki kesamaan dalam struktur, cara
penularan dan infeksi oportunistik yang menyertainya. Cara pencegahan dan
penanggulangannya pun tidak jauh berbeda. Perbedaannya adalah area
penyebarannya dan masa inkubasinya, yakni HIV-2 jarang dijumpai di luar Afrika
dan memiliki masa inkubasi yang lebih panjang dibandingkan dengan HIV-1.
HIV hidup dan berkembang tidak hanya di benua Afrika atau Amerika.
Virus ini sudah menyebar di semua benua dan negara-negara di dunia dengan
sangat cepat. Penularannya pun melalui berbagai cara. Buku Pegangan Konselor
HIV/AIDS memaparkan bahwa HIV dapat menular melalui hubungan seksual
yang tidak aman, melalui jarum suntik (obat-obatan atau pembuatan tatoo), dari
ibu hamil kepada janin atau bayinya (selama masa kehamilan, saat melahirkan dan
selama menyusui) dan melalui transfusi baik berupa olahan darah atau
transplantasi organ tubuh (2002: 29). Departemen Kesehatan Republik Indonesia
penularan seksual, penularan parenteral (transfusi darah atau jarum yang terinfeksi
darah) dan penularan perinatal (ibu ke anak).
Departemen Kesehatan RI, dalam buku Petunjuk Pelaksanaan Konseling
Infeksi HIV/AIDS (1997: 10-12), mencatat ada tiga pola penyebaran HIV.
Masing-masing pola menunjukkan distribusi, waktu penularan dan cara penularan
yang berbeda. Pola pertama menunjukkan bahwa kebanyakan kasus terjadi pada
golongan laki-laki homoseks atau biseksual dan pengguna obat suntik intravena.
Pola penularan HIV ini secara intensif mulai pada akhir tahun 1970-an.
Sedangkan pada periode waktu ini penularan secara heteroseksual tampak
meningkat namun baru dalam batas proporsi yang kecil. Penularan melalui darah
atau produk darah pun sudah dilaporkan. Rasio penderita antara laki-laki dan
wanita sebagai perbandingan 10:1 sampai 15:1. Pola ini khusus dijumpai di
Amerika Utara, Eropa Barat, Australia dan New Zealand.
Pola kedua banyak terjadi di negara sub-sahara Afrika dan bagian dari
Caribia. Kebanyakan kasus di daerah ini terjadi melalui penularan secara
heteroseksual, dan rasio perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1.
Penularan dari wanita yang terinfeksi kepada janin atau bayinya sering terjadi
pada pola ini. Kasus penularan antara laki-laki homoseksual jarang terjadi
kalaupun terjadi hanya dalam presentase yang sangat kecil.
Pola penyebaran ketiga memiliki ciri tersendiri. Kedua cara penularan
seksual baik melalui homoseksual maupun heteroseksual dilaporkan sedang
terjadi. Kebanyakan kasus awal datang dari luar sebagai hasil perjalanan
epidemis atau daerah yang angka kejadian infeksi HIV cukup tinggi, atau
disebabkan oleh produk-produk darah yang diimpor. Pola ini mulai dikenal pada
pertengahan tahun 1980-an di Afrika Utara, Eropa Timur, negara-negara Asia
seperti Thailand dan banyak daerah-daerah di Pasifik.
Di tengah ancaman penyebaran HIV yang semakin luas, HIV ternyata
tidak ditularkan melalui tempat duduk WC atau sentuhan dengan pengidap HIV.
Lebih lanjut, Buku Pegangan Konselor HIV/AIDS menyatakan bahwa HIV juga
tidak ditularkan melalui bersin, batuk, ludah atau ciuman bibir (French Kissing),
melalui gigitan nyamuk atau kutu (Gunung, 2002: 29-30).
Banyak orang selalu menghubungkan HIV dengan AIDS karena hubungan
sebab-akibat antara keduanya. Departemen Kesehatan Republik Indonesia
mendefinisikan AIDS sebagai nama yang digunakan untuk sekelompok orang
yang rentan pada serangkaian penyakit infeksi oportunistik dan kanker-kanker
akibat penurunan daya tahan tubuh oleh HIV (1997: 5). Atau dengan kata lain,
AIDS (acquried immunodeficiency syndrome) merupakan sekumpulan
gejala-gejala (tergantung infeksi oportunistik yang menyerang tubuh) yang dijumpai
pada fase akhir dari inveksi HIV. Dengan demikian, seseorang yang terinfeksi
HIV membutuhkan waktu beberapa tahun (bahkan bisa sampai 15 tahun) untuk
dinyatakan sebagai penderita AIDS.
Setelah tubuh terinfeksi HIV, seseorang akan mengalami kemunduran
stamina dengan gejala-gejala yang dapat diidentifikasikan. Infeksi akut
merupakan stadium paling dini dan singkat. Selama 3-6 minggu awal, orang
minggu, layaknya penderita flu pada umumnya. Terkadang, pada fase ini, dia juga
mengalami sakit kepala, nyeri pada otot-otot tubuh, bisul dengan bercak-bercak
merah, sakit tenggorokan, pembengkakan kelenjar, diare, mual-mual dan bahkan
muntah-muntah (Gunung, 2002: 32).
Setelah melewati masa infeksi akut, keadaan fisiknya seolah-olah kembali
pulih layaknya orang sehat. Pada kebanyakan kasus, pengidap virus pada tahap ini
bisa bertahan hingga 10 tahun. Inilah yang dinamakan infeksi kronik, dimana
tubuh memberi perlawanan yang hebat terhadap virus. Meskipun tidak
menunjukkan gejala-gejala, sistem imun akan berangsur-angsur menurun. Pada
orang normal, didapatkan sel CD4 sebesar 450-1200 sel per ml. Bila sel CD4
menurun sampai 200 atau kurang, maka dia akan masuk dalam stadium AIDS
(Gunung, 2002: 33).
Berikut adalah rincian tahapan yang dimulai sejak seseorang terinveksi
HIV sampai timbul gejala AIDS, seperti yang dilansir oleh Komunitas AIDS
Indonesia (http://www.aids-ina.org):
a. Tahap 1: Periode Jendela
Tahap ini dimulai sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai terbentuknya
antibody terhadap HIV dalam darah. Selama tahap yang berlangsung antara
dua minggu hingga enam bulan ini, tubuh tampak normal dan sehat, tanpa ada
tanda-tanda khusus. Bahkan jika dilakukan tes HIV pada masa ini,
keberadaan HIV dalam tubuh belum bisa dideteksi.
Pada tahap ini, tes HIV sudah mampu mendeteksi keberadaan virus di dalam
tubuh manusia, karena telah terbentuk antibody terhadap HIV dalam darah.
Meskipun periode ini berlangsung relatif lama yakni antara lima hingga
sepuluh tahun (tergantung kekuatan daya tahan tubuh seseorang), tetapi tubuh
masih belum menunjukkan tanda-tanda khusus dan tampak sehat. Selama
periode ini HIV berkembang biak di dalam tubuh.
c. Tahap 3: HIV Positif (muncul gejala)
Seiring dengan bertambahnya jumlah virus dalam tubuh, kualitas sistem
kekebalan tubuh pun semakin menurun. Pada tahap ini, tubuh mulai
menunjukkan gejala-gejala khusus, seperti pembengkakan kelenjar limfa di
seluruh tubuh, diare yang berlangsung terus-menerus, flu dan lain-lain. Tahap
ini berlangsung relatif sangat singkat (satu bulan), tergantung kekuatan daya
tahan tubuh.
d. Tahap 4: AIDS
Pada tahap ini, kondisi tubuh sangat memprihatinkan, karena sistem
kekebalan tubuh menjadi sangat lemah dan beberapa penyakit lain (infeksi
oportunistik) semakin parah.
2. Penderitaan dan Ancaman HIV/AIDS
HIV tidak hanya mengganggu kestabilan kesehatan fisik seseorang tetapi
juga mengganggu keutuhan pribadi yang mengidapnya. Seseorang akan
memberikan reaksi yang berbeda-beda pada saat mengetahui dirinya HIV positif.
mental, dukungan atau penerimaan orang-orang sekitar, nilai budaya dan spiritual
yang terkait dengan AIDS, kesakitan, kematian, keadaan psikologis dan
kepribadian orang tersebut. Seseorang mungkin bisa berubah dari suatu respon ke
respon berikutnya hingga akhirnya sampai pada situasi menerima keadaannya,
atau perasaan mereka akan terus berubah-ubah. Suatu hari mereka merasa sangat
menolak hasil tes HIV dan menderita kesepian, di hari lain mereka merasa penuh
harapan dan kekuatan. Pada hari lain, mereka kembali merasa tertekan, hari
berikutnya mereka berubah menjadi pemarah.
Buku Pegangan Konselor HIV/AIDS (Gunung, 2002: 16-19) kembali
mencatat beberapa reaksi yang umumnya terjadi pada mereka yang mengetahui
dirinya sudah terinfeksi HIV. Syok (shock) adalah reaksi yang paling banyak
dijumpai. Sebaik apapun seseorang mempersiapkan diri untuk mendengarkan
hasil tes, orang itu akan terkejut dengan hasil positif yang disampaikan. Pertama
kali mereka mungkin tidak bisa percaya bahwa mereka terinfeksi HIV.
Kadang-kadang mereka berpikir bahwa dokter melakukan kesalahan atau menyangkal
karena merasa dirinya masih dalam keadaan sehat-sehat saja. Mereka kemudian
bersikap menolak terhadap hasil yang ada.
Penolakan itu biasanya disertai dengan kemarahan. Mereka mulai
mempersalahkan diri sendiri dan mulai menyalahkan orang lain yang menularkan
HIV pada tubuhnya. Terkadang, mereka bahkan menyalahkan Tuhan. Di tengah
kemarahan, mereka akan semakin jauh dari usaha untuk mengambil tindakan yang
positif karena fokus mereka hanya tertuju pada obyek kemarahan mereka, yakni