• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh stresor dengan metode bising dan metode aktivitas fisik maksimal terhadap efek analgesik parasetamol pada mencit putih jantan - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh stresor dengan metode bising dan metode aktivitas fisik maksimal terhadap efek analgesik parasetamol pada mencit putih jantan - USD Repository"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH STRESOR DENGAN METODE BISING DAN METODE AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL TERHADAP EFEK ANALGESIK

PARASETAMOL PADA MENCIT PUTIH JANTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Reyneldis Aprilia Adista Boleng NIM : 088114066

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

ii

PENGARUH STRESOR DENGAN METODE BISING DAN METODE AKTIVITAS FISIK MAKSIMAL TERHADAP EFEK ANALGESIK

PARASETAMOL PADA MENCIT PUTIH JANTAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Reyneldis Aprilia Adista Boleng NIM : 088114066

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

v

(6)
(7)
(8)

viii PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat, rahmat dan penyertaan-Nya yang menjadi inspirasi serta kekuatan selama penulis menuntut ilmu di Universitas Sanata Dharma hingga terselesaikannya penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Pengaruh Stresor dengan Metode Bising dan Metode Aktivitas Fisik Maksimal terhadap Efek Analgesik Parasetamol pada Mencit Putih Jantan”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar kesarjanaan Strata Satu (S1) Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Keberhasilan penelitian serta penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dukungan dari berbagai pihak yang dengan tulus hati membantu hingga terselesaikannya skripsi ini, oleh karena itu dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Farmasi Sanata Dharma, atas bimbingannya selama penulis berproses di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Alm. Drs. Mulyono, Apt. yang telah membantu dalam proses pencarian judul skripsi kami.

3. Bapak Ipang Djunarko M.Sc., Apt., sebagai dosen pembimbing yang telah sabar memberi bimbingan, memberi arahan dan saran, serta kritik selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.

(9)

ix

5. dosen penguji atas kesediaan menguji serta memberi kritik, saran, dan arahan yang telah diberikan dalam skripsi ini.

6. Ibu Rini Dwiastuti M.Sc., Apt. selaku Kepala Penanggungjawab Laboratorium Fakultas Farmasi yang telah memberi izin dalam penggunaan fasilitas Laboratorium Hayati Imono demi terselesaikannya skripsi ini.

7. Bapak Dr. Ignasius Edi Santosa M.S. selaku kepala penanggungjawab laboratorium fisika yang telah member izin dalam peminjaman alat “sound level meter” demi terselesaikannya skripsi ini.

8. Papa, mama, dan adikku tersayang atas doa, motivasi, kesabaran, perhatian dan kasih sayang serta dukungannya dalam setiap proses hidup penulis. Semoga karya ini dapat menjadi kebanggaan dan dapat diterima sebagai tanda bakti dan terima kasihku.

9. Oma, tante, om dan saudara-saudaraku yang selalu memberikan dukungan, doa dan kasih sayangnya.

10.Sahabat serta teman seperjuanganku dalam penelitian dan penyusunan skripsi (Arum, Prima, Utik, Ledy) atas bantuan, kritik dan saran, serta kebersamaan dan perhatian kalian atas segala hal yang ada dalam proses ini.

11.Laboran Laboratorium (Mas Parjiman, Mas Heru, dan Mas Satijo) dan drh. Ary atas bantuannya dalam memberikan saran, serta dalam penyediaan sarana dan prasarana penelitian.

(10)

x

13.Teman-teman kost (Sinta dan Tika) yang membantu dalam proses belajar dan kebersamaan serta dukungan semangatnya.

14.Semua teman-teman angkatan 2008, Teman-teman FKK-A 2008. Terima kasih untuk dukungan dan kebersamaannya selama ini.

15.Semua pihak, yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan serta banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Untuk itu penulis mengharapkan adanya kritik serta saran yang membangun untuk menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan berperan dalam pengembangan untuk kemajuan masyarakat.

Yogyakarta, 20 September 2012 Penulis

(11)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PENGESAHAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii

(12)

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 8

G. Hubungan Stres dengan Sistem Endokrin ... 17

H. Stres Memicu Timbulnya Nyeri ... 19

I. Nyeri ... 20

J. Analgetika ... 21

K. Parasetamol ... 22

L. Metode Pengujian Daya Analgesik secara in-vivo ... 23

M. Landasan Teori ... 23

N. Hipotesis ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 25

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 25

(13)

1. Penentuan metode perlakuan stres... 28

2. Penentuan metode uji efek analgesik ... 28

3. Pembuatan sediaan ... 28

4. Penentuan dosis ... 29

5. Penentuan selang waktu pemberian asam asetat ... 29

6. Perlakuan hewan uji ... 30

F. Analisis Hasil………. 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

A. Pengaruh Stresor dengan Metode Bising dan Metode Aktivitas Fisik Maksimal terhadap Efek Analgesik Parasetamol ………. 1. Pengaruh Stresor dengan Metode Aktivitas Fisik Maksimal terhadap Efek Analgesik Parasetamol………. 2. Pengaruh Stresor dengan Metode Bising terhadap Efek Analgesik Parasetamol……….. 32 33 37 B. Persentase Daya Analgesik Parasetamol yang Diakibatkan oleh Stresor dengan Metode Aktivitas Fisik Maksimal dan Metode Bising………. 42

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……… 46

A. Kesimpulan ………. 46

B. Saran ... 46

(14)

DAFTAR PUSTAKA ... 47 LAMPIRAN ... 50 BIOGRAFI PENULIS ... 67

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Rata-rata Jumlah Geliat Mencit Pada Kelompok Stresor

dengan Metode Aktivitas Fisik Maksimal... 34 Tabel II. Hasil Uji One Way Anova dengan Taraf Kepercayaan 95%

pada Kelompok Stresor dengan Metode Aktivitas Fisik

Maksimal………... 35 Tabel III. Hasil Uji Post Hoc dengan taraf kepercayaan 95% pada

Kelompok Stresor dengan Metode Aktivitas Fisik

Maksimal………... 36

Tabel IV. Rata-rata Jumlah Geliat Mencit Pada Kelompok Stresor

dengan Metode Bising……… 38

Tabel V. Hasil Uji One Way Anova dengan Taraf Kepercayaan 95%

pada Kelompok Stresor dengan Metode Bising………….. 38 Tabel VI. Hasil Uji Post Hoc dengan taraf kepercayaan 95% pada

Kelompok Stresor dengan Metode Bising……… 39

Tabel VII. Nilai rata-rata % daya analgesik……….. 38 Tabel VIII. Hasil Uji Independent t-test persen daya analgesik……... 44

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Skema Stres Sebagai Suatu Stimulus ... 9

Gambar 2. Skema Stres Sebagai Suatu Respon……… 10

Gambar 3. Skema Respon Stres ... 18

Gambar 4. Struktur Parasetamol ... 22

Gambar 5. Diagram Batang Kelompok Kontrol dan Perlakuan vs rata – rata jumlah geliat pada stresor metode aktivitas fisik maksimal... 35

Gambar 6. Diagram Batang Kelompok Kontrol dan Perlakuan vs rata – rata jumlah geliat pada stresor metode bising………... 39

Gambar 7. Diagram Batang kelompok vs persen daya analgesik parasetamol ... ………. 43

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Foto Pemberian Stresor dengan Metode Bising pada

Mencit……... 51 Lampiran 2 Foto Pemberian Stresor dengan Metode Aktivitas Fisik

Maksimal pada Mencit ……… 51

Lampiran 3. Foto Geliat Mencit………... 52

Lampiran 4. Konversi Dosis Parasetamol dari Manusia ke Mencit 20 g

BB………... 52

Lampiran 5. Perhitungan % Daya Analgesik dengan Pemberian

Parasetamol ……… 53

Lampiran 6. Jumlah Geliat pada Kelompok Kontrol CMC dan

Parasetamol………...…………... 54

Lampiran 7. Jumlah Geliat pada Kelompok Kontrol AFM dan

Perlakuan AFM….………...…………... 55

Lampiran 8. Jumlah Geliat pada Kelompok Kontrol dan Perlakuan

Bising………..….………...…………... 55

Lampiran 9. Uji Normalitas pada Masing – Masing Kelompok ……... 56

Lampiran 10. Hasil Uji One Way Anova pada Kelompok AFM……… 59 Lampiran 11. Hasil Uji One Way Anova Hasil dari Transformasi pada

kelompok stresor dengan metode aktivitas fisik

maksimal………. 60

(18)

Lampiran 12. Hasil Uji One Way Anova pada Kelompok

Bising……….………... 60

Lampiran 13. Uji Post Hoc kelompok stresor dengan metode aktivitas

fisik maksimal………... 61

Lampiran 14. Uji Post Hoc kelompok stresor dengan metode Bising… 62 Lampiran 15. Uji Independent t test kelompok perlakuan

parasetamol+aktiitas fisik maksimal dengan kelompok

perlakuan parasetamol+bising……….. 63

Lampiran 16. Uji Independent t test % daya analgesik kelompok kontrol parasetamol dengan perlakuan parasetamol+aktivitas fisik

maksimal……….. 64

Lampiran 17. .

Uji Independent t test % daya analgesik kelompok kontrol

parasetamol dengan perlakuan parasetamol+bising……… 65 Lampiran 18. Uji Independent t test % daya analgesik kelompok

perlakuan parasetamol+aktiitas fisik maksimal dengan

kelompok perlakuan parasetamol+bising……… 66

(19)

INTISARI

Stres merupakan suatu ketegangan fisiologis maupun psikologis yang disebabkan oleh adanya rangsangan yang merugikan. Emotional stress atau kecemasan yang disebabkan oleh stres dapat meningkatkan nyeri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh stresor menggunakan metode bising dan aktivitas fisik maksimal dalam menurunkan efek analgesik parasetamol.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Metode perlakuan stres menggunakan metode bising (diberi suara rotor selama 2 jam) dan AFM (dengan perlakuan renang selama 30 menit), sedangkan uji efek analgesik menggunakan metode rangsang kimia, dan untuk subyek uji menggunakan mencit putih jantan,umur antara 2-3 bulan. Mencit dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu kelompok kontrol CMC tanpa perlakuan stres; kelompok kontrol parasetamol tanpa perlakuan stres; kelompok perlakuan CMC + AFM dengan perlakuan stres; kelompok perlakuan PCT + AFM dengan perlakuan stres; kelompok perlakuan CMC + bising dengan perlakuan stres; dan kelompok perlakuan PCT + bising dengan perlakuan stres. Pengamatan dilakukan dengan melihat jumlah geliat setiap menit selama 1 jam. Data yang diperoleh dan dianalisis secara statistik dengan one-way Anova tests,

Post Hoc test dan Independent T Tests dengan taraf kepercayaan 95%.

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang tidak signifikan antara kelompok perlakuan bising dengan kelompok perlakuan aktivitas fisik maksimal terhadap efek analgesik parasetamol.

Kata kunci: stres, stresor, metode bising, AFM, parasetamol, analgesik

(20)

ABSTRACT

Stress is a physiological or psychological strain caused by the presence of harmful stimuli. Emotional stress or anxiety caused by stress can increase pain. This study aims to determine the effect of stressors using the method of noise and maximal physical activity to decrease the analgesic effect of paracetamol.

This research is a pure experimental wich the program of this research is random research plan, complete, and one direction pattern. The treatment method are using the method of noise stress (given voice rotor for 2 hours) and maximal physical activity (with treatment of swimming for 30 minutes), whereas the analgesic effect test using the method of chemical stimuli, This research uses white male mice as a subject, aged between 2-3 months. Mice were divided into 6 groups: control group without treatment of stress CMC; paracetamol control group without stress treatment; maximal physical activity control group with treatment of stress; maximal physical activity group treated with the treatment of stress; noise control group with treatment of stress; and noisy group treated with the treatment of stress. Observations made by looking at the amount of stretching every 5 minute for 1 hour. The data obtained and analyzed statistically with one-way ANOVA tests and Independent T Tests with 95% confidence level.

Based on the analysis, it is found that there are not significant differences between the treatment method of noise and the treatment method of maximum physical activity of analgesic paracetamol.

Key Words: Stress, Stressor, Noisy methode, maximal physical activity, paracetamol, analgesic

(21)

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan, semua individu pasti pernah mengalami suatu keadaan di mana ada perasaan tertekan atau stres. Menurut Nevid, Rathus, dan Greene (2005), sumber stres kebanyakan disebabkan oleh berbagai peristiwa kehidupan yang kita alami serta dalam respon fisik dan emosi kita saat menghadapinya.

Stres dapat didefinisikan sebagai pengalaman emosional negatif yang disertai dengan adanya perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif serta perilaku yang bertujuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres. Faktor yang dapat memicu terjadinya stres disebut dengan stresor. Menurut teorinya, stresor fisik maupun psikologik dapat mengakibatkan 3 tingkatan gejala yaitu tahap reaksi alam, resistensi dan tahap kehabisan tenaga (Gunawan, Sumadiono, 2007). Penyebab stres (stresor) dikelompokkan menjadi dua yaitu: stresor fisik dan stresor psikososial (Gunarsa, 2002). Stresor dapat terjadi dengan berbagai macam metode, salah satu metodenya yaitu metode bising dan metode aktivitas fisik maksimal. Metode bising merupakan metode pemberian stres dengan paparan bising menggunakan intensitas 85-100 dB di mana intensitas ini merupakan batas tertinggi dari kondisi jalan raya yang hiruk pikuk dan perusahaan yang gaduh (Inayah, 2008). Sedangkan metode aktivitas fisik maksimal merupakan metode dengan berenang selama 25-45 menit hingga

mencapai aktivitas maksimal (Harahap, 2008).

(22)

Stres bukan merupakan suatu penyakit itu sendiri, tetapi banyak penyakit manusia yang bila ditelurusi berakar pada kondisi stres dari si pengidap. Stres akan memicu berbagai macam penyakit mulai dari gangguan pencernaan, tekanan darah tinggi, asma, migrain, sampai depresi dan penyakit lainnya (Looker dan Gregson, 2005). Individu yang mengalami stres dapat merasakan nyeri yang lebih hebat. Seperti pada penderita pasca bedah selektif yang mengalami kecemasan merasakan nyeri lebih tinggi dari pada yang tidak mengalami kecemasan (Suwito, Putra, Sudiana, dan Mu’afiro, 2004).

Ketika tubuh kita mengalami paparan oleh stresor dan mengakibatkan stres, hipotalamus akan menstimulasi sistem saraf simpatik yang akan menyebabkan adrenal medulla akan mampu mensekresikan katekolamin. katekolamin akan masuk ke sirkulasi darah dan memicu peningkatan irama jantung, pernafasan, serta metabolisme glukosa. Pada saat yang sama hipotalamus juga akan melepaskan hormon Corticotropin-releasing-hormone (CRH) yang dihantarkan oleh sirkulasi darah menuju ke kelenjar pituitaridan selanjutnya akan mensekresi hormon lain termasuk Adrenocorticotropic hormone (ACTH), yang mengaktivasi kelenjar adrenal yang dan akan melepaskan kortisol (Seligman, Walker, Rosenham, 2001).

(23)

sebelumnya yang menunjukkan bahwa stres dapat menurunkan efek analgesik parasetamol dosis terapi (91 mg/kg) yang ditunjukkan dengan terjadinya penurunan persen proteksi geliat tiap interval waktu pada kelompok perlakuan parasetamol yang diberi pra-perlakuan stres terhadap kelompok perlakuan parasetamol tanpa diberi pra-perlakuan stres (Bertiyanto, 2009).

Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan (Sukandar,Andrajati, Sigit, Adyana, Setiadi, Kusnandar, 2008). Nyeri berdasarkan durasi muncul nyeri yaitu nyeri akut dan kronik. Nyeri kronik biasanya terjadi karena kerusakan saraf, sedangkan nyeri akut merupakan nyeri yang menimbulkan reflek untuk menghindari sumber nyeri.

Salah satu contoh obat yang tergolong analgesik di mana mampu menekan ataupun menghilangkan rasa nyeri adalah parasetamol atau disebut juga dengan asetaminofen. Obat jenis ini berguna untuk analgetik dan antipiretik. Parasetamol ini menginhibisi sintesis prostaglandin pada sistem saraf pusat dan perifer dengan memblok impuls nyeri (Lacy, Amstrong, Goldman, Lance, 2009). Parasetamol ini mudah didapatkan dan tidak memiliki daya kerja sebagai antiradang, serta tidak menimbulkan iritasi pada lambung. Selain itu, efek samping yang ditimbulkan paling ringan.

(24)

obat analgesik pada keadaan stres yang disebabkan oleh metode stresor yang berbeda dalam hal ini metode stresor dengan metode bising dan metode aktivitas fisik maksimal.

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka permasalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana pengaruh pemberian stresor dengan metode bising dan metode aktivitas fisik maksimal tehadap efek analgesik parasetamol?

b. Apakah terdapat perbedaan pengaruh stresor dengan metode bising dan metode aktivitas fisik maksimal terhadap efek analgesik parasetamol?

2. Keaslian penelitian

Sejauh pengamatan penulis, telah dilakukan penelitian yang terkait dengan pengaruh stresor :

a. Pengaruh Stresor Psikososial Terhadap Peningkatan Kadar Kortisol dan

IL-1 Beta Serum pada Tikus Jantan Galur Wistar yang dilakukan oleh Suwito, dkk.(2004). Hasil analisis menunjukkan bahwa stresor psikososial

restraint test meningkatkan kadar kortisol dan IL-1 beta serum pada tikus jantan galur Wistar.

(25)

efek analgesik parasetamol. Persen proteksi geliat kelompok perlakuan parasetamol tanpa pra perlakuan stres dengan pra-perlakuan stres berturut-turut sebesar 47,94% dan 25,29% serta terdapat perbedaan bermakna antara kelompok parasetamol tanpa pra-perlakuan stres dengan kelompok perlakuan parasetamol yang diberi pra perlakuan stres.

c. Pengaruh Kebisingan Terhadap Jumlah Leukosit Mencit BALB/C yang dilakukan oleh Inayah (2008). Kesimpulan dari penelitian ini, menunjukkan bahwa jumlah leukosit kelompok yang diberi kebisingan akut lebih tinggi disbanding kelompok kontrol tetapi masih dalam rentang yang normal.

d. Pengaruh Aktivitas Fisik Maksimal Terhadap Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Leukosit pada Mencit (Mus musculus L) Jantan yang dilakukan oleh Harahap (2008). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Aktivitas Fisik Maksimal (AFM) dapat meningkatkan jumlah leukosit dan hitung jenis limfosit secara signifikan dan AFM dapat menurunkan hitung jenis neutrophil, eosinophil, dan monosit secara signifikan, sedangkan hitung jenis basophil tidak ada perubahan.

(26)

yang digunakan untuk melihat efek analgesik pada penelitian ini ada dua macam metode dan waktu penelitiannya berbeda.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis: memberikan tambahan informasi di bidang kefarmasian mengenai pengaruh stresor dengan metode bising dan metode aktivitas fisik maksimal terhadap efek analgesik.

b. Manfaat praktis: memberi informasi baru bagi pelayanan kefarmasian pada masyarakat tentang pengaruh stresor dengan metode bising dan metode aktivitas fisik maksimal terhadap efek analgesik dari parasetamol. c. Manfaat metodologis: menjadi salah satu metode alternatif untuk

(27)

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Menambah informasi tentang pengaruh stresor dengan metode bising dan metode aktivitas fisik maksimal terhadap efek analgesik.

2. Tujuan khusus

(28)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Stres

Stres didefinisikan sebagai suatu ketegangan fisiologis maupun psikologis yang disebabkan oleh adanya rangsangan merugikan, fisik, mental atau emosi, internal ataupun eksternal, yang cenderung mengganggu fungsi organisme dan keinginan alamiah organisme tersebut untuk menghindar (Dorland and Newman, 2000). Stres juga memiliki wujud dengan ukuran, bentuk, dan intensitas yang berbeda-beda. Beberapa orang sering kali lebih cemas daripada orang lain, dan sebagian di antaranya memilih meledakkan amarah untuk mengatasinya (Roizen dan Oz, 2009).

Dalam kamus Webster's, stres dinyatakan bahwa stres adalah faktor fisik, kimia, atau emosional yang dapat menyebabkan ketegangan pada tubuh maupun mental dan dapat bertindak sebagai faktor penyebab penyakit. Berbagai hal dapat bertindak sebagai penyebab dari stres dan hanya kemampuan kita dalam hal mengelola munculnya faktor penyebab stres yang dapat menentukan seberapa besar tingkatan stres yang akan terjadi pada kita (Colbert, 2011). Stres menurut Looker dan Gregson (2005) adalah sebuah keadaan ketika ada ketidaksesuaian antara tuntutan yang harus dijalani dan kemampuan untuk mengatasinya. Stres merupakan keseimbangan antara bagaimana kita memandang tuntutan tersebut dan bagaimana kita berpikir bahwa kita dapat mengatasi semua tuntutan yang menentukan kita merasakan stres atau tidak.

(29)

Dalam perkembangannya ada tiga pendekatan stres. Pendekatan yang pertama yaitu stres sebagai suatu stimulus. Berdasarkan konsep stres sebagai suatu stimulus ini titik beratnya terdapat pada lingkungan dan stres dalam hal ini digambarkan sebagai stimulus atau variabel bebas. Konsep pendekatan ini ditunjukkan dalam gambar 1 dibawah ini.

Gambar 1. Stres sebagai suatu stimulus (Smet, 1994)

Kelemahan dari model pendekatan ini ditunjukkan oleh perbedaan individual, tingkat toleransi seseorang dan harapan-harapannya serta tidak adanya kriteria yang obyektif yang dapat mengukur situai penuh stres (Smet,1994).

Pendekatan yang kedua yaitu pendekatan stres sebagai respon. Pada gambar 2 ditunjukkan bahwa fokusnya terletak pada reaksi seseorang terhadap stresor. Respon stres yang terjadi terdiri dari respon psikologi, fisiologi dan tingkah laku.

LINGKUNGAN

Respon Ketegangan

stres

(30)

LINGKUNGAN

Stimulus  Respon

Gambar 2. Stres sebagai suatu respon (Smet, 1994)

Pendekatan yang ketiga yaitu pendekatan yang menggambarkan stres sebagai interaksi antara individu dengan lingkungan. Pada pendekatan ini, stres merupakan proses antara pengantara (agen) yang aktif dapat mempengaruhi stresor.

B. Distres dan Eustres

Distres didefinisikan sebagai suatu penderitaan atau kengerian fisik maupun mental (Dorland, 2000). Distres juga didefinisikan sebagai suatu stres yang berkelanjutan yang tidak dapat terselesaikan oleh mekanisme penyelesaian masalah atau adaptasi dan dapat memberikan dorongan untuk melarikan diri pada perilaku menarik diri dalam keadaan depresi (Nurdin, 2011). Ketika menghadapi jumlah tuntutan yang semakin banyak atau memandang tuntutan yang menghadang kita sebagai ancaman, kita perlu membuat satu penilaian tentang kemampuan untuk menghadapinya. Distres juga dapat muncul karena terlalu sedikitnya tuntutan yang merangsang, yang dapat menyebabkan kebosanan dan

(31)

frustasi. Dalam kasus ini, kemampuan yang dirasakan lebih berat dari pada tuntutannya (Looker dan Gregson, 2005).

Eustres merupakan stres yang dianggap dapat meningkatkan fungsi fisik (Nurdin, 2011). Eustres dapat dialami ketika kemampuan yang kita rasakan untuk mengatasi tekanan yang dirasakan. Situasi eustres dapat membangkitkan rasa percaya diri, menjadi terkontrol dan mampu mengatasi dan menangani tugas, tantangan, dan tuntutan- tuntutan (Looker dan Gregson, 2005).

C. Stresor

Stresor adalah semua kondisi stimulasi yang berbahaya dan menghasilkan reaksi stres, misalnya jumlah semua respon fisiologik nonspesifik yang menyebabkan kerusakan dalam sistem biologis (Sriati, 2008). Stresor merupakan sumber penyebab terjadinya stres. Stresor menyangkut faktor-faktor psikologis dan perubahan hidup (Nevid, Rathus, Greene, 2005). Menurut Nasution (2007) stresor dapat berwujud atau fisik, seperti polusi udara dan dapat juga berkaitan dengan lingkungan sosial, seperti interaksi sosial. Penyebab stres yang disebut sebagai stresor dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu: stresor fisik dan stresor psikososial (Gunarsa, 2002).

(32)

obat-obatan, hamil, abortus, operasi, cedera, penyakit, panas, dingin haus dan kelelahan (Gunarsa,2002).

Stresor psikososial merupakan setiap situasi sosial, yaitu peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seorang, sehingga orang tersebut harus beradaptasi, berusaha menanggulangi stresor yang muncul (Gunarsa, 2002). Menurut Nasution (2007) ada beberapa jenis stresor psikososial, yaitu: tekanan, frustasi, dan konflik. Diyakini bahwa otak sendirilah yang mempersepsikan apakah situasi maupun keadan tertentu, merupakan penyebab dari stres. Sehingga bila sejak awal sudah menganggap suatu situasi tersebut menjadi sebuah ancaman atau penyebab stres. Jadi pikiran kita menjadi salah satu faktor yang penting dalam peranannya atas terjadinya stres (Colbert, 2011).

D. Bising

(33)

dibedakan menjadi efek jangka panjang dan efek jangka pendek. Efek jangka pendek yang terjadi dapat berupa reflek otot (kontraksi otot-otot), dan respon sistem kardiovaskular berupa takikardi dan meningkatnya tekanan darah. Pada respon gastrointestinal efek ini dapat berupa gangguan dismotilitas sampai timbulnya keluhan dispepsia. Sedangakan efek jangka panjang dapat berupa gangguan homeostatis tubuh karena hilangnya keseimbangan simpatis dan parasimpatis yang secara klinis dapat berupa keluhan psikosomatik akibat angguan saraf otonom (Arifiani, 2004).

(34)

E. Aktivitas Fisik Maksimal

Aktivitas fisik adalah kerja fisik yang menyangkut sistem pada tubuh yang ditujukan untuk menjalankan aktivitas hidup sehari-hari. Aktivitas fisik akan menyebabkan perubahan-perubahan pada tubuh manusia, baik bersifat sementara maupun yang bersifat menetap. Aktivitas fisik berdasarkan intensitasnya terdiri tiga jenis yaitu: aktivitas fisik dengan intensitas rendah, aktivitas fisik dengan intensitas sedang dan aktivitas fisik dengan intensitas tinggi. Aktivitas fisik merupakan kegiatan hidup yang dikembangkan dengan harapan dapat memberikan pengaruh terhadap berbagai macam aspek (Harahap, 2008). Aktivitas fisik dengan intensitas maksimal dan melelahkan akan dapat menyebabkan gangguan imunitas (Hartanti, Pardede, Kodariah, 1999; Harahap, 2008). Aktivitas fisik maksimal ini juga dapat memicu terjadinya ketidak seimbangan antara produksi radikal bebas dan sistem pertahanan antioksidan tubuh (Leeuwenburgh dan Heinecke,2001)

(35)

F. Reaksi Stres

General Adaptation Syndrome atau Sindrom Adaptasi Umum (SAU) yang mengacu pada respon fisis terukur terhadap stres, terdiri 3 fase atau tahapan yaitu:

1. Tahapan pertama : Peringatan (Alarm)

Respon tubuh yang pertama kali setelah terjadi stres, yaitu keadaan peringatan. Gejala inisial sistem saraf otonom mulai muncul. Kadar nonadrenalin meningkat maka timbul respon fight or flight, sehingga perlu dilakukan kewaspadaan. Aksis Hipotalamus-hipofisis-adrenal aktif yang membantu pembentukan kortisol dan ketika stres berakhir aktivitasnya serta dari sistem saraf otonom akan kembali ke tingkat basal (Nurdin, 2011). Reaksi peringatan ini, umumnya menyebabkan melonjaknya sekresi hormon adrenalin dalam waktu yang singkat yang nantinya akan menambah jumlah energi untuk dapat melawan (fight) atau bereaksi. Kadar adrenalin yang meningkat dapat membuat seseorang merasa menjadi lebih kuat dan (Colbert, 2011). Sindrome Adaptasi Umum di mana pada saat tubuh terpapar stresor maka terjadi fase alarm di mana tubuh akan mengaktivasi aksis HPA dan sistem saraf simpatik, yang akan meningkatkan aktivitas mental dan psikologi (Seligman, dkk., 2001).

2. Tahap kedua : Resitensi (Resistence)

(36)

hipotalamus akan menghasilkan hormon CHR yang selanjutnya dapat menyebabkan lepasnya hormon ACTH (adrenocorticothropic hormone) oleh kelenjar pituitari. Hormon ACTH ini, akan menghasilkan kortisol. Pada keadaan stres, kadar kortisol semakin meningkat (Colbert, 2011). Tubuh memulai beradaptasi terhadap stresor lingkungannya dan mengupayakan pertahanan homeostatis melalui mekanisme penyelesaian masalah, sehingga mobilitas sistem energi dan pertahanan tubuh berlanjut pada tingkat lebih rendah dari keadaan awal. Pada kondisi tahap ini, tidak selamanya dapat ditoleransi terus menerus karena semakin berkurangnya sumber daya (Nurdin, 2011).

3. Tahap ketiga : Kelelahan (Exhaustion)

Bila mekanisme penyelesaian masalah tidak efisien dan efektif maka tubuh sudah tidak mampu lagi mempertahankan normalnya. Ketidakmampuan secara biologis untuk mempertahankan homeostasis yang berperan sebagai peringatan ulang. Pada titik inilah, gejala inisial sistem saraf otonom muncul dengan derajat yang lebih tinggi. Aksis hipotalamus dirangsang, sehingga kadar kortisol meningkat dan seolah mengalami akselerasi. Tahap akhir inilah terjadi bermacam-macam manifestasinya seperti terjadi penurunan fungsi imun, gangguan kardiovaskular, depresi dan lainnya. Bila sudah mencapai fase ini dan tidak segera diatasi maka akan menyebabkan terjadinya kematian (Nurdin, 2011).

(37)

menstimulasi sumber daya yang kita miliki selama menghadapi ancaman atau bahaya. Caranya yaitu dengan mengaktifkan organ-organ dalam agar tubuh kita siap mengambil tindakan segera, baik dengan melawan (fight) atau menghindar / melarikan diri (flight). Perubahan-perubahan ini meningkatkan kekuatan dan aktivitas mental kita.

G. Hubungan Stres dengan Sistem Endokrin

Selain mempengaruhi sistem saraf simpatis, stres dapat juga mempengaruhi hipotalamus. Adrenalin dan norepinefrin yang dikeluarkan untuk persiapan perlawanan terhadap situasi stres yang akan terjadi. Korteks adrenal yang memproduksi hormon steroid dalam usaha untuk membantu tubuh dalam menghadapi keadaan stres. Bila adrenalin dan norepinefrin cepat dimetabolisme tubuh, sedngkan steroid memilki struktur yang besa dan butuh waktu yang lama untuk dieliminasi. Steroid ini dapat menyebabkan peningkatan pelepasan energi, penekan respon imun dan respon inflamasi (Leatz and Stolar, 1993).

Ketika tubuh kita mengalami stres, hipotalamus akan menstimulasi sistem saraf simpatik yang akan menyebabkan adrenal medulla mensekresikan katekolamin yang akan masuk ke dalam sirkulasi darah dan memicu peningkatan irama jantung, pernafasan, serta metabolisme glukosa. Pada saat yang sama hipotalamus juga akan melepaskan hormon Corticotropin-releasing-hormone

(CRH) yang dihantarkan oleh sirkulasi darah menuju ke kelenjar pituitari. Kemudian kelenjar pituitari akan mensekresi hormon lain termasuk

(38)

Meningkatkan pelepasan energi

Menekan respon inflamasi

Menekan respon imun

dan akan melepaskan hormon stres yang disebut juga sebagai kortisol (Seligman,dkk., 2001). Seperti yang dijabarkan di atas, gambar 3 ini menunjukkan alur dari respon stres.

Gambar 3. Respon stres (Seligman, dkk., 2001)

(39)

H. Stres Memicu Timbulnya Nyeri

Stres dapat juga mempengaruhi nyeri, tetapi belum diketahui secara pasti penyebabnya. Beberapa bukti menunjukkan bahwa kecemasan yang disebabkan oleh stres dapat meningkatkan rasa sakit atau nyeri. Penjelasan yang masuk akal mengenai fenomena ini adalah bahwa emotional stress mungkin meningkatkan rasa sakit atau nyeri dengan peningkatan kecemasan di mana terjadi ketegangan otot dan respon fisiologik yang lain, yang memicu timbulnya sensasi nyeri (Bishop, 1994). Menurut Widiastuti (2005), banyak penelitian yang menunjukkan kaitan antara nyeri kepala tegang dengan maladaptasi faktor lingkungan,faktor kecemasan serta depresi. Faktor kecemasan yang menjadi salah satu faktor yang dapat menurunkan ambang nyeri dan toleransi terhadap nyeri sehingga akan lebih mudah terbentuk rasa nyeri kepala tegang. Nyeri dan cemas secara langsung dapat menimbulkan stres pada sistem imun, atau melalui peptide hipotalamik, kelenja pituitari dan katekolamin sebagai produk cabang simpatis. CRH, ACTH dan substansi P merupakan beberapa substansi yang menjadi penghubung antara kedua sistem otak dan sistem imun. Otak akan memberi respon terhadap stres dengan melepas CRH oleh PVN dan terjadi beberapa perubahan yang diinduksi stres, diantaranya aktivasi aksi HPA dan aksis Medula adrenal simpatik (Triyono,2005).

(40)

mencukupi sehingga terjadi ketidak seimbangan antara asupan oksigen yang diterima dan yang dikeluarkan. Ketidak seimbangan antara kebutuhan oksigen ini terkait dengan produksi radikal bebas yang dkenal sebagai stres oksidatif (Iriyanti,2008).

I. Nyeri

Menurut Sukandar dkk. (2008), nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan. Tahapan awal munculnya sensasi nyeri yaitu dengan adanya rangsangan atau stimulasi pada reseptor yang dikenal dengan nosiseptor. Reseptor ini terdapat pada struktur somatik dan viseral. Aktivasi reseptor ini dilakukan oleh rangsangan kimia, suhu, dan mekanis. Tahap berikutnya yaitu tahap transmisi (Dipiro, Talber, Matzke, Wells, Posey, 2008).

Suatu nyeri akan dirasakan secara sadar ketika proses transmisi nyeri menuju otak berjalan dengan baik. Tubuh secara alami akan dapat menangani rangsangan nosiseptif melalui tahap modulasi. Pada tahap modulasi ini yang dilakukan tubuh yaitu menghambat transmisi nyeri. Sistem saraf pusat juga memiliki sitem yang berguna untuk mengontrol transmisi nyeri (Dipiro et al,2008). Mekanisme terjadinya nyeri berkaitan dengan aktivitas enzim

cyclooxygenase (COX) yang memetabolisme asam arakhidonat menjadi prostaglandin (PG).

(41)

J. Analgetika

Analgetik ini terdiri dari dua jenis yaitu analgetik narkotik dan analgetik non narkotik. Analgetik narkotik merupakan turunan opium yang digunakan untuk meredakan nyeri sedang sampai hebat dan nyeri yang bersumber dari organ viseral. Kerja analgetik narkotik yaitu mengurangi nyeri dengan menurunkan persepsi rasa nyeri atau menaikkan nilai ambang rasa sakit.analgetik narkotik ini tidak mempengaruhi sistem saraf perifer. Contoh analgetik parasetamol yang masih digunaan hingga sekarang : morfin HCl, kodein, petidin, dan fentanyl HCl (Priyanto, 2008),

(42)

K. Parasetamol

Parasetamol merupakan analgesik lemah yang banyak digunakan, secara normal mengalami glukoronnidasi dan sulfatasi (Neal, 2005). Parasetamol merupakan serbuk hablur putih, tidak berbau, dan memiliki rasa pahit. Parasetamol larut dalam air mendidih, NaOH, dan mudah larut dalam etanol. Bobot molekul parasetamol 151,16 dengan rumus molekul C8H9NO2 (Direktorat

Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995). Gambaran dari bentuk struktur parasetamol atau C8H9NO2 ditunjukkan pada gambar 4.

Gambar 4. Struktur Parasetamol (Anonim, 2011).

(43)

L. Metode Pengujian Daya Analgesik secara in-vivo

Salah satu metode pengujian daya efek analgesik secara in-vivo pada golongan analgetika non narkotika, yaitu metode rangsang kimia. Metode rangsang kimia ini menggunakan zat kimia yang diinjeksikan pada heawan uji secara i.p (intraperitonial), sehingga akan menimbulkan nyeri. Beberapa zat kimia yang biasanya digunakan antara lain asam asetat dan fenil kuinon. Metode ini cukup peka untuk pengujian senyawa analgesik dengan daya analgesik lemah, selain itu metode ini sederhana. Pemberian analgesik akan mengurangi rasa nyeri sehingga jumlah geliat dalam jangka waktu tertentu akan berkurang. Daya analgesik dapat dievaluasi menggunakan persamaan menurut Handerson dan Forsaith.

Keterangan :

O = jumlah kumulatif geliat mencit kelompok perlakuan.

K = jumlah kumulatif geliat mencit kelompok kontrol. (Turner, 1965).

M.Landasan Teori

(44)

dipengaruhi oleh stresor. Metode stresor yang digunakan adalah metode aktivitas fisik maksimal yaitu dengan berenang selama 30 menit (Harahap,2008) dan metode bising yaitu pemberian paparan bising dengan intensitas >85 dB (Inayah,2008). Stres ini dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit. Salah satu penyakit yang diakibatkan oleh keadaan stres ini adalah nyeri. Nyeri merupakan suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan (Sukandar, 2008). Untuk mengurangi nyeri diberikan obat golongan analgesik perifer yaitu parasetamol. Metode yang digunakan untuk menguji efek analgesik adalah metode rangsang kimia, yaitu dengan memberikan injeksi asam asetat yang berfungsi sebagai pemberi rasa nyeri.

Pada penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya diketahui bahwa efek analgesik parasetamol dosis terapi (91 mg/kg) menurun pada kondisi atau keadaan stres. Penurunan efek tersebut ditunjukkan dengan terjadinya penurunan persen proteksi geliat tiap interval waktu pada kelompok perlakuan parasetamol yang diberi pra-perlakuan stres terhadap kelompok perlakuan parasetamol tanpa diberi pra-perlakuan stres (Bertiyanto,2009).

N. Hipotesis

1. Stres yang disebabkan stresor dapat menurunkan efek analgesik parasetamol, baik pada metode bising maupun aktivitas fisik maksimal.

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni, di mana dilakukan perlakuan terhadap seluruh subyek uji dan bersifat eksploratif yaitu untuk mengetahui pengaruh stresor dengan metode bising dan metode aktivitas fisik maksimal terhadap efek analgesik parasetamol.

Rancangan penelitian yang digunakan merupakan rancangan acak lengkap pola searah. Acak berarti pengelompokan mencit dilakukan secara random, setiap subyek uji memiliki kesempatan yang sama untuk dimasukkan ke dalam kelompok perlakuan.

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel

a. Variabel utama

1) Variable bebas: pengaruh jenis stresor dengan metode bising dan metode aktivitas fisik maksimal terhadap parasetamol.

2) Variable tergantung: jumlah geliat mencit. b. Variabel pengacau terkendali

1) Jenis kelamin mencit : mencit putih jantan 2) Galur mencit : Wistar

3) Berat badan mencit (20-30 gram)

(46)

4) Umur mencit (2-3 bulan) c. Variabel pengacau tak terkendali

1) Kondisi patologis dari mencit yang digunakan pada penelitian ini.

2. Definisi Operasional

a. Stres merupakan keadaan di mana merasa adanya ancaman dengan sesuatu atau ketidak mampuan dalam mengatasi yang dapat mempengaruhi keadaan fisiologis maupun psikologis. Dalam penelitian stres pada hewan uji adalah ketika hewan uji diberi paparan stresor dengan metode yang ditentukan.

b. Aktivitas fisik maksimal adalah kerja fisik dengan intensitas tinggi yang menyangkut sistem pada tubuh dan menyebabkan perubahan-perubahan pada tubuh. Aktivitas fisik maksimal berupa renang selama 30 menit yang dilakukan selama 3 hari.

c. Kebisingan merupakan bunyi yang tidak dikehendaki serta dapat membahayakan kesehatan. Pemaparan bising yang diberikan menggunakan intensitas 85 sampai 100 dB selama 2 jam per hari yang dilakukan selama 3 hari.

d. Pengukuran intensitas bunyi untuk bising menggunakan alat sound level meter.

e. Nyeri ditunjukkan dengan munculnya geliat setelah diberi asam asetat. f. Analgetika adalah senyawa yang dapat mengurangi rasa nyeri, tanpa

(47)

g. Geliat merupakan suatu respon dari mencit yaitu ketika kaki belakang dijulurkan ke arah belakang dan bagian perut menempel pada alas atau tempat pengamatan.

h. Metode rangsang kimia merupakan salah satu metode uji efek analgesik dengan mengukur jumlah geliat tiap 5 menit selama 60 menit setelah mencit diinjeksi asam asetat secara i.p.

C. Bahan atau Materi Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: hewan uji mencit putih jantan galur Wistar sehat dengan umur 2-3 bulan dan memiliki berat badan 20-30 gram sebanyak 30 ekor. Seluruh bahan diperoleh dari Laboratorium Hayati Imono, Laboratorium Biokimia-Fisiologi Manusia, dan Farmakologi-Biofarmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

D. Alat atau Instrumen yang Digunakan

(48)

E. Tata Cara Penelitian

1. Penentuan metode perlakuan stres

a. Untuk kelompok perlakuan stres dengan metode aktivitas fisik maksimal, masing-masing mencit dimasukkan dalam bejana atau aquarium berisi air yang nantinya mencit tersebut berusaha untuk berenang. Perlakuan ini dilakukan selama 30 menit selama 3 hari berturut-turut.

b. Untuk kelompok perlakuan stresor dengan metode bising, masing-masing mencit dimasukkan ke dalam wadah kaca bersekat yang diberi suara bising dengan intensitas 85-100 dB. Perlakuan tersebut dilakukan selama 2 jam per hari selama 3 hari berturut-turut.

2. Penentuan metode uji efek analgesik

Pada penelitian ini peneliti memilih metode uji efek analgesiknya adalah metode uji rangsang kimia, karena metode ini mudah dilakukan dan pengerjaannya relatif singkat serta hasil yang diperoleh cukup akurat. lain itu hasil yang ditunjukkan mudah untuk diamati.

3. Pembuatan sediaan

a. Pembuatan larutan asam asetat 1% dengan dosis 100 mg/kg BB

(49)

b. Pembuatan larutan CMC-Na 1% 100 ml

Menimbang dengan seksama serbuk CMC-Na sebanyak 1 gram dilarutkan dengan air panas secukupnya sambil diaduk sampai 100,0 ml. CMC yang digunakan adalah Natrium karboksil metil selulosa (bersifat higroskopik).

c. Pembuatan suspensi parasetamol dalam CMC-Na 1%

Suspensi parasetamol dibuat dengan mensuspensikan parasetamol sebanyak 0,1 gram dalam CMC-Na 1% yang telah dibuat hingga volumenya 10 ml.

4. Penentuan dosis

a. Penentuan dosis asetat

Dosis yang digunakan yaitu 50 mg/kg BB. Subyek uji diinjeksi secara i.p. dengan asam asetat dan diamati geliat setiap 5 menit selama 60 menit.

b. Penentuan dosis parasetamol

Dosis parasetamol yang biasa digunakan sebesar 500 mg/50 kg BB. Dosis ini akan dikonversikan ke mencit sehingga didapat dosis 91 mg/kg BB (dosis terapeutik).

5. Penentuan selang waktu pemberian asam asetat

(50)

15 menit. Selang waktu pemberian yang dipilih adalah selang waktu yang memberikan jumlah geliat paling sedikit dibanding dengan kelompok perlakuan lainnya.

6. Perlakuan pada hewan uji

Hewan uji dikelompokkan secara random kemudian ditimbang.

Dibagi menjadi 6 kelompok, masing-masing kelompok teridiri dari 5 mencit: 1. kelompok kontrol CMC tanpa perlakuan stres dengan pemberian

CMC-Na 1% b/v dan asam asetat 1% v/v.

2. kelompok kontrol parasetamol tanpa perlakuan stres dengan pemberian parasetamol 91 mg/kg BB dan asam asetat 1% v/v.

3. kelompok perlakuan CMC + aktivitas fisik maksimal (mencit diberenangkan selama 30 menit selama 3 hari) dengan pemberian CMC-Na 1% b/v dan asam asetat 1% v/v.

4. kelompok perlakuan parasetamol + aktivitas fisik maksimal (mencit diberenangkan selama 30 menit selama 3 hari) dengan pemberian parasetamol 91 mg/kg BB dan asam asetat 1% v/v.

(51)

6. kelompok perlakuan parasetamol + bising (mencit diberi suara bising selama 2 jam per hari selama 3 hari) dengan pemberian parasetamol 91 mg/kg BB dan asam asetat 1% v/v.

Masing-masing perlakuan dilakukan pengamatan jumlah geliat selama 60 menit

Mencari % daya analgesik dihitung dengan rumus :

% daya analgesik = 100% - ( × 100% )

F. Analisis Hasil

Data yang diperoleh berupa jumlah geliat mencit pada kelompok kontrol CMC (tanpa perlakuan stres); kelompok kontrol parasetamol (tanpa perlakuan stres); kelompok perlakuan CMC + aktivitas fisik maksimal; kelompok perlakuan parasetamol + aktivitas fisik maksimal; kelompok perlakuan CMC + bising; dan kelompok perlakuan PCT + bising. Kemudian dihitung jumlah geliatnya dan dianalisis secara statistik.

Penggujian yang dilakukan adalah uji Shapiro-Wilk (uji normalitas), uji

(52)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengaruh Stresor dengan Metode Bising dan Metode Aktivitas Fisik Maksimal tehadap Efek Analgesik Parasetamol

Pada penelitian ini, metode yang digunakan untuk meneliti efek analgesik yaitu dengan menggunakan metode rangsang kimia dengan pemberian asam asetat. Asam asetat ini merupakan iritan yang dapat merangsang nyeri, yang disuntikkan secara intraperitonial (i.p) dan dapat menimbulkan kerusakkan secara lokal. Mencit yang disuntik secara i.p dengan asam asetat akan menunjukkan respon berupa geliat. Geliat merupakan respon dari mencit yaitu ketika kaki belakang dari mencit menjulur ke belakang dan bagian perut menempel pada alas atau lantai. Geliat muncul karena respon dari rasa sakit yang dirasakan oleh mencit akibat pemberian asetat. Pengamatan jumlah geliat ini dilakukan setiap 5 menit selama 60 menit. Jumlah geliat yang ditunjukkan oleh kelompok mencit akan diamati dan selanjutnya akan dianalisis. Analisis secara statistik yang digunakan pada penelitian ini yaitu uji Shapiro-Wilk (uji normalitas), uji One Way Anova, uji Post Hoc dan uji Independent t-test.

Mengacu dari penelitian yang pernah ada yang dilakukan oleh Bertiyanto pada tahun 2009, dosis parasetamol yang digunakan untuk penelitian ini sebesar 91 mg/kg BB mencit. Alasan pemilihan dosis 91 mg/kg BB mencit karena dosis ini merupakan dosis terapi yang optimal dari parasetamol yang diberikan untuk

(53)

mencit. Pemberian parasetamol ini dilakukan setelah mencit mendapat perlakuan stres maupun tanpa perlakuan stres dan kemudian ditunggu hingga 15 menit setelah pemberian parasetamol. Selang waktu selama 15 menit dipilih berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan dan diuji dengan waktu lainnya. Waktu 15 menit ini menunjukkan bahwa dapat diasumsikan parasetamol yang diberikan sudah terabsorpsi sepenuhnya. Setelah 15 menit kemudian diberi asam asetat dengan dosis 50 mg/kg BB, di mana asam asetat ini berfungsi untuk memberikan rangsangan nyeri.

Penggunaan CMC-Na yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai pelarut parasetamol karena parasetamol tidak dapat larut dalam air (aquadest). Konsentrasi CMC-Na yang digunakan adalah CMC-Na sebesar 1 %. Suspensi CMC-Na ini hanya bersifat sebagai suspending agent sehingga tidak akan berpengaruh terhadap daya analgesik pada parasetamol.

1. Pengaruh Stresor dengan Metode Akifitas Fisik Maksimal terhadap Efek Analgesik Parasetamol

(54)

kelompok aktivitas fisik maksimal, diperoleh untuk rata-rata jumlah geliat yang telah diringkas dalam tabel I.

Tabel I. Rata-rata Jumlah Geliat Mencit pada Kelompok Stresor dengan Metode Aktivitas Fisik Maksimal

Kelompok Rata-rata Jumlah Geliat ± SD

Kontrol CMC 85,5 ± 9,5

Kontrol PCT 47, 6 ± 10,5

Perlakuan CMC + AFM 128 ± 23,8

Perlakuan PCT + AFM 51,2 ± 9,2

(55)

Tabel II. Hasil Uji One Way Anova dengan taraf kepercayaan 95 % pada kelompok stresor dengan metode aktivitas fisik maksimal

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups .619 3 .206 33.930 .000

Within Groups .097 16 .006

Berdasarkan data di tabel II. ditunjukkan nilai signifikansinya sebesar 0,000. Dengan ini, diketahui bahwa pada keempat kelompok stresor dengan metode aktivitas fisik maksimal ini memiliki perbedaan yang bermakna. Dan untuk menunjukkan gambaran rata-rata jumlah geliat mencit pada kelompok stresor dengan metode aktivitas fisik maksimal ditampilkan dalam diagram batang pada gambar 5.

G

ambar 5. Diagram batang kelompok kontrol dan perlakuan vs rata-rata jumlah geliat pada stresor metode aktivitas fisik maksimal

(56)

Tabel III. Hasil Uji Post Hoc dengan taraf kepercayaan 95 % pada kelompok stresor dengan metode aktivitas fisik maksimal

Kelompok Kelompok Nilai p =

Kontrol CMC

dengan

Kontrol PCT 0,000 Signifikan

Kontrol CMC P. CMC + AFM 0,003 Signifikan

Kontrol CMC P.PCT + AFM 0,000 Signifikan

Kontrol PCT P. CMC + AFM 0,000 Signifikan

Kontrol PCT P.PCT + AFM 0,487 Tidak Signifikan

P. CMC + AFM P.PCT + AFM 0,000 Signifikan

Nilai p < 0,05

(57)

tetapi hanya berbeda pada kontrolnya yang digunakan adalah parasetamol dan dapat dilihat dari nilai signifikansinya yaitu 0,003 (kontrol CMC – p.CMC+AFM) dengan 0,000 (kontrol CMC – p.PCT+AFM). Hanya untuk kelompok kontrol PCT dengan kelompok perlakuan PCT+AFM berbeda tidak bermakna karena nilainya melebihi dari 0,05 dan bila dilihat dari diagram batangnya antara kedua kelompok tersebut tingginya hampir sama, sehingga dapat dimungkinkan adanya pemberian stresor (renang) tidak berpengaruh terhadap jumlah geliat dari mencit, walaupun keduanya sama-sama diberi parasetamol.

2. Pengaruh Stresor dengan Metode Bising terhadap Efek Analgesik Parasetamol

Untuk uji perlakuan pada kelompok stresor dengan metode bising, berupa suara-suara bising seperti suara mesin kendaraan bermotor dan suara mesin pabrik. Metode suara bising ini menggunakan intensitas 85 -100 dB. Waktu yang digunakan untuk memberi paparan stresor dengan suara bising adalah 2 jam per hari selama 3 hari berturut-turut (Inayah, 2008).

(58)

diamati dan dicatat jumlah geliat mencit tiap 5 menit selama 60 menit dan selanjutnya akan dianalisis. Hasil perhitungan dari rata-rata jumlah geliat telah diringkas dalam tabel IV.

Tabel IV. Rata-rata Jumlah Geliat Mencit pada Kelompok Stresor dengan Metode Bising

Kelompok Rata-rata Jumlah Geliat ± SD

Kontrol CMC 85,5 ± 9,5

Kontrol PCT 47, 6 ± 10,5

Perlakuan CMC + Bising 88,2 ± 15,6

Perlakuan PCT + Bising 67 ± 13,8

Data yang akan akan dilihat pengaruh stresor dengan metode bising ini, sebelumnya dilakukan uji normalitas menggunakan uji Shaphiro-Wilk. Nilai pengujian normalitas untuk kelompok perlakuan CMC+Bising p = 0,743 dan pada kelompok perlakuan PCT+Bising p = 0,610. Hal tersebut menunjukkan bahwa keduanya telah terdistribusi secara normal karena p > 0,05. Selanjutnya untuk pengujian One WayAnova. Hasil uji tercatat di dalam tabel V.

Tabel V. Hasil Uji One Way Anova dengan taraf kepercayaan 95 % pada masing-masing kelompok

Sum of

Squares dF Mean Square F Sig.

Between Groups 6017,750 3 2005,917

12,652 ,000

Within Groups 2536,800 16 158,550

(59)

Gambar 6. Diagram batang kelompok kontrol dan perlakuan vs rata-rata jumlah geliat pada stresor metode bising

Untuk mengetahui pada kelompok mana yang memiliki perbedaan yang bermakna maka perlu dilakukan uji statistik yang berfungsi untuk menunjukkan kelompok yang berbeda bermakna adalah uji Post Hoc.

Tabel VI. Hasil Uji Post Hoc dengan taraf kepercayaan 95 % pada kelompok stresor dengan metode bising

Kelompok Kelompok Nilai

p =

Kontrol CMC

dengan

Kontrol PCT 0,000 Signifikan

Kontrol CMC P. CMC + Bising 0,767 Tidak Signifikan

Kontrol CMC P.PCT + Bising 0,004 Signifikan

Kontrol PCT P. CMC + Bising 0,000 Signifikan

Kontrol PCT P.PCT + Bising 0,172 Tidak Signifikan

P. CMC + Bising P.PCT + Bising 0,002 Signifikan

Nilai p < 0,05

(60)
(61)

sehingga dapat dimungkinkan adanya pemberian stresor (suara mesin) tidak berpengaruh terhadap jumlah geliat dari mencit, walaupun keduanya sama-sama diberi parasetamol.

Hasil pada metode bising dan aktivitas fisik maksimal, dapat simpulkan bahwa dengan adanya pemberian stresor baik berupa paparan bising > 85 dB maupun berupa perlakuan berenang selama 30 menit tidak mampu menurunkan efek analgesik dari parasetamol. Penurunan efek analgesik hanya disebabkan adanya pemberian parasetamol. hal ini ditunjukkan dari diagram untuk kelompok kontrol parasetamol dengan kelompok perlakuan parasetamol+bising (gambar 6) dan diagram untuk kelompok kontrol parasetamol dengan kelompok perlakuan parasetamol+aktivitas fisik maksimal (gambar 5), rata-rata jumlah geliat yang diperoleh kelompok kontrol lebih sedikit dari pada kelompok perlakuan.

(62)

B. Perbedaan Pengaruh Stresor dengan Metode Aktivitas Fisik Maksimal dan Metode Bising Terhadap Efek Analgesik Parasetamol

Pada penelitian ini % daya analgesik dimaksudkan untuk melihat seberapa besar kemampuan dari parasetamol untuk menurunkan efek analgesik. Nilai rata-rata % daya analgesik pada kelompok aktivitas fisik maksimal dapat dilihat pada tabel VII.

Tabel VII. Nilai rata-rata % daya analgesik

% daya analgesik kelompok Nilai rata-rata % daya analgesik ± SD

parasetamol : subyek uji dengan pemberian suspensi

parasetamol 91 mg/kg BB tanpa perlakuan stres

metode aktivitas fisik maksimal : subyek uji dengan pemberian suspensi parasetamol 91 mg/kg BB dengan perlakuan stres (renang)

metode bising : subyek uji dengan pemberian suspensi

parasetamol 91 mg/kg BB dengan perlakuan stres (bising)

(63)

menggunakan metode aktivitas fisik maksimal memiliki % daya analgesik yang tinggi, sehingga menunjukkan kemampuan menurunkan efek analgesik yang baik. Persen daya analgesik dapat dilihat dari diagram di bawah ini.

Gambar 7. Diagram Batang kelompok vs persen daya analgesik parasetamol

(64)

menunjukkan kemampuan menurunkan efek analgesik pada kelompok yang menggunakan metode bising lebih kecil dibanding dengan kelompok metode aktivitas fisik maksimal.

Untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan pada kelompok yang memiliki persen daya analgesik, maka dilakukan pengujian secara statistik dengan menggunakan uji independent t-test. Tetapi sebelumnya dilakukan uji normalitas (Shappiro-Wilk) dan diperoleh data yang memiliki sebaran data yang normal karena nilai p > 0,05. Tabel VIII menunjukkan hasil dari uji independent t-test

antara kelompok kontrol, perlakuan PCT+AFM dan perlakuan PCT+bising. Tabel VIII. Hasil uji independent t-test persen daya analgesik

kelompok Nilai p

Perlakuan PCT+bising 0,286 0,321

(65)

ini menunjukkan bahwa antara kedua kelompok ini memiliki perbedaan yang tidak bermakna dalam kemampuan menurunkan efek analgesik parasetamol pada kelompok perlakuan aktivitas fisik maksimal dan bising yang sama-sama diberi parasetamol.

Pada penelitian ini perbedaan pengaruh pada stresor dengan metode aktivitas fisik maksimal dan metode bising dapat dilihat dengan menggunakan uji

independent t-test. Alasan penggunaan uji ini karena dua kelompok yang akan diuji tidak saling berkaitan. Dalam hal ini kelompok yang dibandingkan adalah kelompok perlakuan aktivitas fisik maksimal dengan kelompok perlakuan bising. Sebelum pengujian dengan uji independent t-test tidak berpasangan perlu dilakukan uji normalitas yaitu dengan menggunkan uji Saphiro-Wilk. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa kelompok perlakuan stresor metode bising menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,610 (p > 0,05) dan kelompok perlakuan stresor metode aktivitas fisik maksimal menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,482 (p > 0,05). Kedua nilai ini menunjukkan bahwa data tersebut terdistribusi secara normal dan kemudian dapat dilakukan uji t tidak berpasangan. Hasil uji

(66)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Adanya stresor dengan metode bising dan metode aktivitas fisik maksimal tidak dapat menurunkan efek analgesik dengan pemberian parasetamol.

2. Terdapat perbedaan yang tidak bermakna pada stresor dengan metode bising dan metode aktivitas fisik maksimal terhadap efek analgesik parasetamol.

B. Saran

Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui perubahan efek analgesik pada pemberian stresor dengan metode bising menggunakan tingkat intensitas yang berbeda-beda dan metode aktivitas fisik maksimal dalam jangka waktu yang lebih lama.

(67)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2011, Paracetamol (Acetaminofen),

http://www.ch.ic.ac.uk/rzepa/mim/drugs/html/paracet_text.htm, diakses tanggal 19 Oktober 2011.

Arifiani, N., 2004, Pengaruh Kebisingan Terhadap Kesehatan Tanaga Kerja, Cermin Dunia Kedokteran, 144, 24-28.

Babba, J., 2007, Hubungan Antara Intensitas Kebisingan di Lingkungan Kerja dengan Peningkatan Tekanan Darah, Tesis, 27-28, Universitas Diponegoro, Semarang.

Bertiyanto, S.Y., 2009, Pengaruh Stres Terhadap Efek Analgesik Parasetamol Pada Mencit Putih Jantan dengan Metode Rangsang Kimia, Skripsi, 38, 55, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Bishop, G.D., 1994, Health Psychology : Integrating Mind and Body, Allyn and Bacon, Boston London Toronto Sydney Tokyo Singapore, pp. 129-130, 395-396.

Colbert, 2011, Stress: Cara Mencegah dan Menanggulainya, Udayana University Press, Dendapasar-Bali.

Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1995, Farmakope Indonesia, Jilid IV, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, pp. 649.

Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., 2008, Pharmacotheraphy: A Patophysiologic Approach Seventh edition, McGraw Hill, Medical Publishing Division, USA, pp. 989-990.

Dorland, W.A., and Newman, 2000, Dorland’s Illustrated Medical Dictionary, diterjemahkan oleh Hartanto , H., dkk., Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 2080.

Durand, V.M., and Barlow, D.H., 2006, Intisari Psikologi Abnormal, 4th edition, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, pp. 341.

Gunarsa, S.D.,2002, Asas-Asas Psikologi Keluarga Idaman, Gunung Mulia, Jakarta.

Gunawan, B., Sumadiono, 2007, Stres dan Sistem Imun Tubuh: Suatu Pendakatan Psikoneuroimunologi, Cermin Dunia Kedokteran,154, 13-16.

Harahap, N.S., 2008, Pengaruh Aktivitas Maksimal Terhadap Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Leukosit pada Mencit Jantan, Tesis, Universitas Sumatera Utara, Medan.

(68)

Hartanti, M., Pardede, H., Kodariah, R., 1999, Kadar Imunoglobulin A Dalam Air Liur Atlet Pasca Pertandingan, dalam Harahap, N.S., 2008, Pengaruh Aktivitas Maksimal Terhadap Jumlah Leukosit dan Hitung Jenis Leukosit pada Mencit Jantan,Tesis, Universitas Sumatera Utara, Medan. Inayah, 2008, Pengaruh Kebisingan Terhadap Jumlah Leukosit Mencit

BALB/C,Tesis.

Iryanti, E., 2008, Pengaruh Aktivitas Fisik Sedang terhadap Hitung Leukosit dan Hitung Jenis Sel Leukosit pada Orang yang Tidak Terlatih, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P.G., Lance, L.L., 2009, Drug Information Handbook, 18th edition, Lexi-Comp Inc., USA, pp. 25-26. Leatz, C.A., and Stolar M.W., 1993, Career Succes/Personal Stress,

McGraw-Hill, Inc., USA, pp.30-32.

Leeuwenburgh, C. dan Heinecke, J.W., 2001, Oxidative Stress And Antioxidant In Exercise Cuurent, Medical Chemistry, pp.829.

Looker, T., dan Gregson, O., 2005, Managing Stress : Mengatasi Stres Secara Mandiri, Penerbit Baca, Yogyakarta, pp. 44.

Nasution, I.K., 2007, Stres Pada Remaja, USU Repository, 2008, 6-10.

Neal, M.J., 2005, At a Glance Farmakologi Medis, ed.5, Penerbit Erlangga, Jakarta, pp. 15, 70-71.

Nevid, J.S., Rathus, S.A., Greene, B., 2005, Psikologi Abnormal edisi kelima jilid 1, Penerbit Erlangga, Jakarta, pp. 135.

Nurdin, A.E., 2011, Tumbuh Kembang Perilaku Manusia, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp. 287-299.

Priyanto, 2008, Farmakologi Dasar Untuk Mahasiswa Farmasi & Keperawatan

edisi II, Lembaga Studi dan Konsultasi Farmakologi (Leskonfi), Jakarta, pp.114, 118.

Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M., and Flower, R.J., 2007, Pharmacology, 6th ed., Churcill Livingstone, London, pp. 215.

Redza, N.R., 2010, Pengaruh Paparan Bising Intermittent Kronik terhadap CD8+ pada Tikus Putih (Rattus norvegicus), Skripsi, 48, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Roizen, M.F., Oz, M.C., 2009, You Staying Young : The Owners’ Manual

Extending Your Warranty,diterjemahkan oleh Rani Sundari, Penerbit Qanita, Bandung, pp. 97.

(69)

Sarafino, E.P., 2008, Health Psychology : Biopsychosocial interactions 6th ed., John Wiley & Sons INC., USA, pp. 306.

Seligman, M. E.P., Walker, E. F., Rosenham, D. C., 2001, Abnormal Psychology, edisi keempat, W W Norton & Co Inc, London, pp. 505-506.

Smet, B., 1994, Psikologi Kesehatan, PT Grasindo, Jakarta, pp. 107-118. Sriati, A., 2008, Tinjauan Tentang Stres, Universitas Padjajaran.

Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adyana, I.K., Setiadi, A.A.P., Kusnandar, 2008, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta, pp. 517.

Sulistyani, E., Barid, I., Isnaini, K., 2007, Pengaruh Stresor Rasa Nyeri pada Waktu Perdarahan Tikus Wistar Jantan, Denta Jurtnal Kedokteran Gigi FKG-UHT, Vol.1, No.2, 81-84.

Suwito, J., Putra, S.T., Sudiana, I.K., dan Mu’afiro, A., 2004, Pengaruh Stresor Psikososial Terhadap Peningkatan Kadar Kortisol dan IL-1 Beta Serum Pada Tikus Jantan Galur Wistar, Artocarpus, 4:1, 14-20.

Tanu, I., 2007, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, pp. 230-235.

Turner, P.A., 1965, Screening Method in Pharmacology, Academic Press, New York, pp. 100-107.

(70)

LAMPIRAN

(71)

Lampiran 1. Foto pemberian stresor dengan metode bising pada mencit

(72)

Lampiran 3. Foto geliat mencit

Lampiran 4. Konversi dosis parasetamol dari manusia ke mencit 20 g BB

(73)

Lampiran 5. Perhitungan % daya analgesik dengan pemberian parasetamol % daya analgesik = 100 % -

Perhitungan data % daya analgesik kelompok parasetamol :

 Mencit 1 = 100 % - = 100 % - = 49,9 %

 Mencit 2 = 100 % - = 100 % - = 60,4 %

 Mencit 3 = 100 % - = 100 % - = 47,6 %

 Mencit 4 = 100 % - = 100 % - = 34,7 %

 Mencit 5 = 100 % - = 100 % - = 30,1 %

Total :

Perhitungan data % daya analgesik kelompok perlakuan PCT + AFM

 Mencit 1 = 100 % - = 100 % - = 42,9 %

 Mencit 2 = 100 % - = 100 % - = 39,4 %

 Mencit 3 = 100 % - = 100 % - = 44,1 %

 Mencit 4 = 100 % - = 100 % - = 23,1 %

 Mencit 5 = 100 % - = 100 % - = 52,2 %

(74)

Perhitungan data % daya analgesik kelompok perlakuan PCT + Bising

(75)

Lampiran7. Jumlah geliat pada kelompok kontrol dan perlakuan AFM

(76)

Lampiran 9. Uji normalitas pada masing-masing kelompok

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Kontrol paracetamol .198 5 .200* .954 5 .763

Kontrol CMC .175 5 .200* .960 5 .810

Perlakuan CMC+AFM .233 5 .200* .908 5 .457

Perlakuan CMC+Bising .181 5 .200* .951 5 .743

Perlakuan PCT+AFM .265 5 .200* .912 5 .482

(77)
(78)
(79)
(80)

Lampiran 11. Uji One Way Anova Hasil dari Transformasi pada kelompok stresor dengan metode aktivitas fisik maksimal

Test of Homogeneity of Variances

Lampiran 12. Uji One Way Anova pada kelompok stresor metode bising

(81)

ANOVA

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 6017.750 3 2005.917 12.652 .000

Within Groups 2536.800 16 158.550

Total 8554.550 19

Lampiran 13. Uji Post Hoc kelompok stresor dengan metode AFM Multiple Comparisons

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

KETERANGAN :

Kelompok mencit 1 = kelompok kontrol CMC Kelompok mencit 2 = kelompok kontrol PCT

(82)

Lampiran 14. Uji Post Hoc kelompok stresor dengan metode bising

*The mean difference is significant at the 0.05 level.

KETERANGAN :

Kelompok mencit 1 = kelompok kontrol CMC Kelompok mencit 2 = kelompok kontrol PCT

(83)

Lampiran 15. Uji Independent t-test kelompok perlakuan parasetamol+aktivitas fisik maksimal dengan kelompok perlakuan

parasetamol+bising

Jumlah geliat Kelompok perlakuan stresor

metode AFM 5 51.20 9.203 4.116

t-test for Equality of Means

Gambar

Tabel  I. Rata-rata Jumlah Geliat Mencit Pada Kelompok Stresor
Gambar 1. Skema Stres Sebagai Suatu Stimulus ....................................
Gambar 1. Stres sebagai suatu stimulus (Smet, 1994)
Gambar 2. Stres sebagai suatu respon (Smet, 1994)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berkat, rahmat dan karunia-Nya, yang telah memberikan kekuatan dan kemampuan bagi Penulis untuk dapat melewati masa studi dan menyelesaikan Tugas Akhir berjudul “Pemodelan Metode

Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi Tidak Terkendali Pada Penderita yang Melakukan Pemeriksaan Rutin di Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut : 1). Mengidentifikasi sistem penyakapan pada lahan sawah di Kecamatan Labuapi Kabupaten Lombok Barat, 2).

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya berupa akal budi, ilmu pengetahuan, kesehatan dan keselamatan, sehingga

Apakah terdapat nilai keragaman genotipe dan fenotipe yang luas pada karakter keparahan penyakit dan karakter agronomi kedelai generasi F2 hasil persilangan Tanggamus x B3570..

A* juga dapat dijamin keoptimalannya untuk sembarang heuristik, yang berarti bahwa tidak ada satupun algoritma lain yang mempergunakan heuristik yang sama akan mengecek lebih

Syukur alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan seluruh rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis diberi kelancaran dan kemudahan dalam menyelesaikan

Deep Ecology memusatkan perhatian pada semua spesies termasuk spesies bukan manusia, demikian pula Deep Ecology tidak hanya memusatkan perhatian jangka pendek,