• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PELAKSANAAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI ANGKUTAN DARAT ANTARA KONSUMEN DENGAN CV. ASI MURNI MENGGUNAKAN PERJANJIAN BAKU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PELAKSANAAN PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI ANGKUTAN DARAT ANTARA KONSUMEN DENGAN CV. ASI MURNI MENGGUNAKAN PERJANJIAN BAKU"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

ANGKUTAN DARAT ANTARA KONSUMEN DENGAN CV. ASI MURNI MENGGUNAKAN PERJANJIAN BAKU

A. Perihal Perjanjian Secara Umum 1. Pengertian Perjanjian

Pengaturan umum mengenai perjanjian di Indonesia terdapat di dalam Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang Perikatan. Buku III KUHPerdata tersebut menganut sistem terbuka(open system),artinya setiap orang bebas mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, baik perjanjian bernama

(nominaat)maupun perjanjian tidak bernama (innominaat), asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. ”Sedangkan pasal-pasal dari Hukum Perjanjian yang terdapat dalam Buku III tersebut merupakan apa yang dinamakan

aanvulendrechtatau hukum pelengkap(optional law),yang berarti bahwa pasal-pasal dalam Buku III KUHPerdata boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian”.50

Kemudian, ”sistem terbuka dalam KUHPerdata tersebut mengandung suatu asas yang disebut asas kebebasan berkontrak, yang lazimnya disimpulkan dari Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata, dan dengan melihat pada Pasal 1319 KUHPerdata maka diakui 2 (dua) macam perjanjian dalam Hukum Perjanjian yaitu Perjanjian

Nominaatdan PerjanjianInnominaat”.51

50

Subekti,Op.cit,hal. 13.

51Salim HS.,Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia,cet. 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 6.

(2)

”Ketentuan tersebut menyatakan bahwa perjanjian apa saja, baik yang diatur dalam KUHPerdata (nominaat) dan yang diatur di luar KUHPerdata (innominaat)

tunduk pada ketentuan-ketentuan umum dari Buku III KUHPerdata yang ada dalam Bab I dan Bab II”.52

Perjanjian nominaatatau perjanjian bernama yaitu perjanjian-perjanjian yang diatur di dalam Buku III KUHPerdata dari Bab V sampai dengan Bab XVIII, seperti Perjanjian Jual-Beli, Perjanjian Sewa-Menyewa, Perjanjian Tukar-Menukar, dan sebagainya. Sedangkan, perjanjian innominaat atau perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian yang terdapat di luar Buku III KUHPerdata, yang timbul, tumbuh, berkembang dalam praktik dan masyarakat, dengan kata lain perjanjian tersebut belum dikenal saat KUHPerdata diundangkan. ”Timbulnya perjanjian ini karena adanya asas kebebasan berkontrak sebagaimana tercantum dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata”.53

Pengertian perjanjian tersebut masih kurang jelas, oleh karena itu para sarjana merumuskan pula definisi perjanjian, antara lain yaitu Subekti, memberikan definisi perjanjian adalah sebagai, “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.54

Sedangkan pengertian perjanjian menurut Wirjono Prodjodikoro, yaitu: “perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak,

52

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet. 1, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 73.

53 Salim HS,Op.cit.,hal. 1. 54 Subekti,Op.cit.,hal. 1

(3)

di mana salah satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu”.55

2. Hubungan Perikatan Dengan Perjanjian

Untuk pemahaman pengertian tentang perjanjian, maka tidak akan terlepas hubungannya dengan perikatan, karena perjanjian adalah sumber yang terpenting bagi lahirnya perikatan. Pasal 1233 Buku III KUHPerdata menyatakan bahwa: ”Tiap-tiap perikatan lahir baik karena persetujuan, baik karena Undang-undang”.

Sehingga dapat dikatakan, perikatan lahir melalui perjanjian yaitu dengan dikehendaki oleh para pihak dan juga melalui Undang-undang, artinya perikatan dapat lahir antara orang atau pihak yang satu dengan pihak yang lain baik dengan atau tanpa orang-orang tersebut menghendakinya.

Mengenai pengertian atas perikatan, tidak satu pasalpun dalam KUHPerdata yang menguraikan apa yang dimaksud dengan perikatan. Subekti berusaha memberikan batasan atas apa yang dimaksud dengan pengertian perikatan ialah: “suatu perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”56

Dalam perikatan, kewajiban tersebut disebut sebagai prestasi dapat dilihat dalam Pasal 1234 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat

55 Wirjono Prodjodikoro,Op.cit., hal. 4. 56 Subekti,Op.cit.,hal. 1.

(4)

sesuatu.”

Pihak-pihak dalam perikatan, sekurangnya ”terdiri dari 2 (dua) pihak yaitu yang mempunyai kewajiban itu dinamakan juga pihak yang berhutang atau debitur, sedangkan pihak yang mempunyai hak itu disebut juga pihak penagih atau kreditur (pihak berpiutang)”.57

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perikatan adalah: “suatu hubungan hukum di antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu”.58

Sedangkan menurut Subekti, yang dimaksud dengan perikatan adalah: “suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”.59

Berdasarkan definisi tersebut dapat diuraikan unsur dari perikatan yaitu: a. Adanya suatu hubungan hukum;

b. Biasanya mengenai kekayaan atau harta benda; c. Antara dua orang/pihak atau lebih;

d. Memberikan hak kepada pihak yang satu, yaitu kreditur; e. Meletakkan kewajiban pada pihak yang lain, yaitu debitur; f. Adanya prestasi.60

3. Asas-Asas Umum Dalam Hukum Perjanjian

Setiap ketentuan hukum mempunyai sistem tersendiri yang berlaku sebagai

57Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,cet. 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 18.

58

Mariam Darus Badrulzaman,Aneka Hukum Bisnis, Op.cit.,hal. 3. 59

Subekti,Pokok-pokok Hukum Perdata,Cet. XXXI, Intermasa, Jakarta, 2003, hal. 122. 60I.G. Rai Widjaya,Merancang Suatu Kontrak; Contract Drafting Teori dan Praktek,Edisi Revisi, Kesaint Blanc, Jakarta, 2003, hal. 21-22.

(5)

asas dalam hukum tersebut. Demikian pula halnya dalam hukum perjanjian, yang memiliki asas-asas sebagai berikut.

a. AsasPersonalia

”Asas personalia atau asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat perjanjian adalah hanya untuk kepentingan perseorangan saja”.61

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata, Pasal 1315 KUHPerdata berbunyi: “pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta diterapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri.”

Sedangkan Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: “persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.”

Namun, ketentuan tersebut terdapat pengecualiannya, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 1317 KUHPerdata, yang berbunyi: “dapat pula diadakan perjanjian untuk kepentingan orang ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung syarat seperti itu.”

b. Asas konsensualisme

”Asas konsensualisme adalah bahwa perjanjian itu terjadi karena adanya kata sepakat atau kehendak mengenai isi atau pokok perjanjian”.62

61

Salim HS.,Op.cit.,hal. 13.

62 Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan

(6)

Asas konsensualisme ini kemudian berpengaruh pada bentuk perjanjian, bahwa dengan adanya konsensualisme, perjanjian itu telah lahir atau terbentuk pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak sehingga tidak diperlukan formalitas lain.

c. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak(Freedom of Contract) diatur di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas ini merupakan asas yang paling penting dalam hukum perjanjian, karena dari asas inilah tampak adanya pernyataan dan ungkapan Hak Asasi Manusia dalam mengadakan perjanjian. Selain itu asas ini juga merupakan dasar dari hukum perjanjian. ”Asas kebebasan berkontrak tidak ditulis dengan kata-kata banyak didalam Undang-Undang tetapi seluruh hukum perdata kita didasarkan pada asas ini”.63

Artinya para pihak diberi kebebasan untuk membuat dan mengatur sendiri isi perjanjian tersebut, sepanjang tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, memenuhi syarat sebagai perjanjian, tidak dilarang oleh undang-undang, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, dan ”sepanjang perjanjian tersebut dilaksanakan dengan itikad baik dan mereka wajib melaksanakan perjanjian yang telah mereka buat layaknya undang-undang”.64

Oleh karena Buku III KUHPerdata bersistem terbuka dan pasal-pasalnya

63Purwahid Patrik,Op.cit., hal. 4. 64Munir Fuady,Op.cit., hal. 30.

(7)

merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap, maka para pihak boleh mengenyampingkan pasal-pasal dalam hukum perjanjian jika mereka menghendaki. ”Tetapi, jika dalam perjanjian tersebut para pihak tidak mengatur mengenai sesuatu hal, maka bagi sesuatu hal tersebut berlakulah ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata”.65

Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: 1. Membuat atau tidak membuat perjanjian.

2. Mengadakan perjanjian dengan siapapun.

3. Menentukan mengenai klausula/isi dalam perjanjian, pelaksanaan, serta persyaratannya.

4. Menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis atau lisan. 5. Menentukan cara membuat perjanjian.66

d. Asas Kepercayaan.

”Suatu perjanjian tidak akan terwujud apabila tidak ada kepercayaan antara para pihak yang mengikatkan diri di dalamnya, karena suatu perjanjian menimbulkan suatu akibat hukum bagi para pihak yaitu pemenuhan prestasi dikemudian hari”.67

e. Asas Kekuatan Mengikat.

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa dipenuhinya syarat sahnya perjanjian maka sejak saat itu pula perjanjian itu mengikat bagi para pihak. ”Mengikat sebagai Undang-undang berarti pelanggaran terhadap perjanjian yang dibuat tersebut berakibat hukum melanggar undang-undang”.68 f. Asas Itikad Baik

65

Subekti,Hukum Perjanjian,Op.cit.,hal. 13. 66

Salim HS,Op.cit., hal. 9.

67 Mariam Darus Badrulzaman,Kompilasi Hukum Perikatan,Op.cit.,hal. 87. 68 Ibid.,hal. 88.

(8)

Asas ini menghendaki agar suatu perjanjian dilaksanankan dengan itikad baik. Itikad baik dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

a. Itikad baik pada waktu akan mengadakan hubungan hukum tidak lain adalah perkiraan dalam hati sanubari yang bersangkutan bahwa syarat-syarat yang diperlukan untuk mengadakan hubungan hukum secara sah menurut hukum sudah terpenuhi semuanya.

b. Itikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari suatu hubungan hukum tidak lain maksudnya adalah itikad baik pada waktu melaksanakan perjanjian. Itikad baik disini juga terletak pada sanubari manusia, yang selalu ingat bahwa dalam melaksanakan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan keadilan, dengan menjauhkan diri dari perbuatan yang mungkin menimbulkan kerugian terhadap pihak lain.69

g. Asas Keseimbangan.

Asas ini menghendaki kedua belah pihak dalam perjanjian memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Salah satu pihak yang memiliki hak untuk menuntut prestasi (kreditur) berhak menuntut pelunasan atas prestasi dari pihak lainnya (debitur), namun kreditur juga memiliki beban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. ”Jadi, kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajiban untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang”.70

h. Asas Kepatutan dan Kebiasaan.

Asas ini dituangkan di dalam Pasal 1339 KUHPerdata, yang menegaskan bahwa: “perjanjian tidak hanya mengikat terhadap hal-hal yang diatur di dalamnya tetapi juga terhadap hal-hal yang menurut sifatnya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang”.

69

J.Satrio, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 379.

(9)

4. Syarat Sahnya Perjanjian

Persyaratan suatu perjanjian merupakan hal mendasar yang harus diketahui dan dipahami dengan baik. Suatu perjanjian akan mengikat dan berlaku apabila perjanjian tersebut dibuat dengan sah. Berikut ini akan dibahas mengenai persyaratan yang dituntut oleh Undang-undang bagi perjanjian agar dapat dikatakan sah. Terdapat 4 (empat) syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

Dalam tercapainya kata sepakat atau kesepakatan dalam mengadakan perjanjian, kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. ”Artinya, para pihak dalam perjanjian untuk mencapai kata sepakat tersebut tidak dalam keadaan menghadapi tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut”.71

Tidak dalam keadaan menghadapi tekanan tersebut dimaksudkan bahwa para pihak dalam mencapai kata sepakat harus terbebas dari kekhilafan (kesesatan), paksaan dan penipuan seperti yang tercantum dalam Pasal 1321 KUHPerdata, yang berbunyi: “Tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

Dalam Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, yaitu orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, dan perempuan 71 Ibid.,hal. 73.

(10)

yang bersuami. Tetapi pada subjek yang terakhir, yaitu perempuan bersuami telah dihapuskan oleh Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963, sehingga sekarang kedudukan perempuan yang bersuami diangkat ke derajat yang sama dengan pria dan cakap untuk mengadakan perbuatan hukum.

3. Suatu hal tertentu;

Artinya suatu perjanjian harus mempunyai sesuatu yang dijadikan sebagai objek dalam perjanjian tersebut. Mengenai suatu hal tertentu diatur di dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata.

Sebagai syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, apa yang diperjanjikan atau barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya dan tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barangnya tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.72

4. Suatu sebab yang halal.

Syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata adalah mengenai suatu sebab yang halal. Terkait dengan hal ini, Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa “tidak mungkin ada suatu persetujuan yang tidak memiliki sebab atau causa, oleh karena causa sebetulnya adalah isi dari persetujuan dan tiap-tiap persetujuan tentu mempunyai isi”.73

5. Hapusnya Perjanjian

72 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,Op.cit.,hal. 155. 73 Wirjono Prodjodikoro,Op.cit.,hal. 37.

(11)

Setiap pihak yang membuat perjanjian pastilah menginginkan pelaksanaan isi perjanjian dengan sempurna dan secara sukarela. Namun adakalanya salah satu pihak dalam perjanjian mengingkari terhadap isi dari perjanjian yang telah disepakati bersama tersebut. Terhadap keingkaran dari salah satu pihak memberi hak pada pihak lain untuk memaksakan pelaksanaan prestasi kepada debitur. Tentunya tidak dengan cara main hakim sendiri (eagen richting). Umumnya pemaksaan prestasi harus melalui kekuatan putusan vonis pengadilan.

Setelah perjanjian dilaksanakan kemudian akan diakhiri. Berakhirnya suatu perjanjian dapat disebabkan karena:

a. Ditentukan oleh para pihak yang bersangkutan dalam perjanjian. b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian.

c. Karena adanya suatu peristiwa tertentu, misalnya salah satu pihak meninggal dunia.

d. Karena putusan hakim.

e. Karena tujuan perjanjian telah tercapai. f. Dengan persetujuan para pihak.74

Sementara menurut Subekti suatu perjanjian akan berakhir apabila: a. Berakhir dengan sendirinya, apabila jangka waktu perjanjian ini habis. b. Berakhir sebelum jangka waktu berakhir, apabila:

1). Masing-masing pihak telah memenuhi segala hak dan kewajiban masing-masing sebelum jangka waktu perjanjian berakhir.

2). Salah satu pihak melanggar ketentuan-ketentuan dalam pasal ini dan atau menyebabkan kerugian terhadap pihak lain tanpa alasan yang sah. Terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan tersebut pihak yang dirugikan berhak untuk memutuskan perjanjian secara sepihak.

3). Berlakunya suatu syarat batal. Hapusnya perikatan akibat berlakunya suatu sarat batal dapat terjadi pada perikatan bersyarat, yaitu perikatan yang lahirnya maupun berakhirnya didasarkan pada suatu peristiwa yang belum atau tentu terjadi.

4). Lewat waktu (daluwarsa). Lewat waktu atau daluwarsa menurut Pasal 1946 KUHPerdata adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan. Lewat waktu untuk 74 R. Setiawan,Pokok-Pokok Hukum Perikatan,Bina Cipta, Bandung, 1977, hal, 107.

(12)

memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsaacquisitive, sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari perikatan disebut daluwarsa

extinctif.75

Apabila suatu perikatan yang lahirnya ditentukan oleh peristiwa yang belum terjadi dinamakan perikatan dengan syarat tangguh. Sedangkan perikatan yang berakhirnya ditentukan oleh peristiwa yang belum terjadi dinamakan dengan perikatan dengan syarat batal. Pasal 1265 KUHPerdata menentukan apabila syarat batal dipenuhi, maka menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian.

6. Perjanjian Pengangkutan

Kegiatan di dalam proses pengangkutan terdapat pihak-pihak yang saling mengikatkan diri yaitu pihak pengangkut dan pihak pengirim. Antara pihak pengangkut dan pihak pengirim terjadi suatu perjanjian yang mendasari pelaksanaan proses kegiatan pengangkutan yaitu perjanjian pengangkutan.

Mengenai pengertian perjanjian pengangkutan didalam Buku II KUHDagang tidak diberikan definisinya. Perjanjian pengangkutan itu sendiri bersifat konsensuil, sehingga untuk terciptanya perjanjian pengangkutan tidak diperlukan adanya syarat tertulis, jadi hanya bersifat konsensuil.

Perjanjian pengangkutan terjadi setelah ada kesepakatan antara para pihak yang mengadakannya. Pihak pengangkut dikatakan menerima barang dan sepakat untuk mengantarkan barang kiriman pada alamat yang dituju dan pihak pengirim sepakat untuk membayar biaya pengangkutannya. Kedua belah pihak diberikan hak-hak untuk mengatur sendiri segala sesuatu mengenai perjanjian yang dilakukan.

(13)

Dari segi hukum, khususnya hukum perjanjian, pengangkutan merupakan ”perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim barang atau penumpang, dimana pihak pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelengarakan pengangkutan barang atau orang ke suatu tempat tujuan tertentu, dan pihak pengirim barang atau penumpang mengikatkan diri untuk membayar ongkos angkutannya”.76

Penggunaan terhadap jasa pengangkutan barang akan mengakibatkan terjadi kesepakatan antara perusahaan angkutan barang dan pengguna jasa angkutan. Kesepakatan itu berujud lisan ataupun tulisan. Kesepakatan yang dilakukan para pihak, dalam hal ini berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, telah melahirkan suatu perjanjian yang mengikat para pihak. ”Menurut sistem hukum yang masih berlaku di Indonesia, untuk mengadakan perjanjian pengangkutan barang atau orang tidak disyaratkan harus secara tertulis, jadi cukup diwujudkan dengan persetujuan kehendak secara lisan saja”.77

Adanya kegiatan pengangkutan akan memberikan kemanfaatan terhadap daya guna dan nilai suatu barang/orang, yang pada dasarnya dapat dikemukakan dalam dua nilai kegunaan pokok, yaitu:

a. Kegunaan Tempat (place utility).

Dengan pengangkutan terjadi perpindahan barang dari satu tempat ke tempat lain yang menyebabkan barang menjadi lebih berguna dan bermanfaat bagi manusia, maka barang tadi sudah bertambah nilainya dengan adanya pengangkutan.

b. Kegunaan Waktu (time utility).

76H.M.N. Purwosutjipto,Op.cit., hal. 2.

(14)

Dengan adanya pengangkutan berarti bahwa dapat dimungkinkan terjadi perpindahan barang dari satu tempat ke tempat lain dimana barang lebih diperlukan tepat pada waktunya.78

Namun di dalam pelaksanaan pengangkutan barang melalui darat, tidak semua jenis barang dapat diangkut oleh pihak perusahaan pengangkut barang umum. Hal ini terkait adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang melarang terhadap perusahaan angkutan barang umum untuk mengangkut jenis-jenis barang tertentu dan hanya dapat diangkut oleh angkutan barang khusus.

Ketentuan yang mengatur mengenai larangan tersebut adalah sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 160 huruf b UULLAJ yang berbunyi:

Yang dimaksud dengan “angkutan barang khusus” adalah angkutan yang membutuhkan mobil barang yang dirancang khusus untuk mengangkut benda yang berbentuk curah, cair, dan gas, peti kemas, tumbuhan, hewan hidup, dan alat berat serta membawa barang berbahaya, antara lain:

a. Barang yang mudah meledak;

b. Gas mampat, gas cair, gas terlarut pada tekanan atau temperatur tertentu; c. Cairan mudah menyala;

d. Padatan mudah menyala; e. Bahan penghasil oksidan;

f. Racun dan bahan yang mudah menular; g. Barang yang bersifat radioaktif; dan h. Barang yang bersifat korosif.

7. Bentuk-Bentuk Perjanjian

Pembagian bentuk-bentuk perjanjian dapat dilakukan dengan banyak cara, yaitu antara lain:

a. Perjanjian konsensuil, yaitu “perjanjian yang dianggap sah jika telah ada konsensus antara para pihak yang membuat dan perjanjian ini tidak

78 Sri Redjeki Hartono, Pengangkutan dan Hukum Pengangkutan Darat, Seksi Hukum Dagang FH Universitas Diponegoro, Semarang, 2004, hal. 8.

(15)

memerlukan bentuk tertentu”.79

b. Perjanjian formil, yaitu “perjanjian yang harus dibuat dengan bentuk tertentu misalnya harus dibuat dengan akta notaris”.80

c. Perjanjian sepihak, yaitu “perjanjian dimana hak atau kewajiban hanya ada pada salah satu pihak saja”.81

d. Perjanjian timbal balik, yaitu “perjanjian yang membebankan hak dan kewajiban pada kedua belah pihak”.82

e. Perjanjian atas beban, yaitu “perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum”.83

f. Perjanjian obligatoir, yaitu “perjanjian dimana pihak-pihak sepakat mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain”.84

g. Perjanjian kebendaan (zakelijk), yaitu “perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain(levering, transfer)”.85

h. Perjanjian riil, yaitu “perjanjian didalam KUHPerdata yang hanya berlaku

79

Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, 1984, hal. 36. 80Ibid., hal. 36. 81Ibid., hal. 36. 82 Ibid., hal. 36. 83

Mariam Darus Badrulzaman,Kompilasi Hukum Perikatan, Op.cit.,hal. 67. 84Ibid.,hal. 67.

(16)

sesudah terjadi penyerahan barang”.86

i. Perjanjian liberatoir, yaitu “perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada”.87

j. Perjanjian pembuktian, yaitu “perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka”.88

k. Perjanjian publik, yaitu “perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta”.89

l. Perjanjian untung-untungan, yaitu “perjanjian yang obyeknya ditentukan kemudian”.90

m. Perjanjian pokok, yaitu “perjanjian yang dapat berdiri sendiri tanpa tergantung pada perjanjian lainnya”.91

n. Perjanjian accesoir, yaitu “perjanjian yang adanya tergantung pada perjanjian pokok dan tidak dapat berdiri sendiri tanpa perjanjian pokoknya”.92

o. Perjanjian yang dikenal dengan nama khusus atau sering disebut perjanjian bernama (benoemd, nominaatcontracten) yaitu “perjanjian-perjanjian yang diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari”.93

Adapun pembagian jenis pembagian bernama yang diatur dalam buku III 86 Ibid.,hal. 68. 87Ibid.,hal. 68. 88Ibid., hal. 69. 89Ibid., hal. 69. 90 Ibid., hal. 69. 91

Hartono Hadisoeprapto,Op.cit., hal. 3-7. 92Ibid., hal. 7.

(17)

KUHPerdata diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII yaitu: 1). Jual beli (Bab V);

2). Tukar menukar (Bab VI); 3). Sewa menyewa (Bab VII);

4). Perjanjian-perjanjian untuk melakukan kegiatan (Bab VIIA); 5). Persekutuan (Bab VIII);

6). Perkumpulan (Bab IX); 7). Hibah (Bab X);

8). Penitipan barang (Bab XI); 9). Pinjam pakai (Bab XII); 10). Pinjam meminjam (Bab XIII);

11). Bunga tetap atau bunga abadi (Bab XIV); 12). Perjanjian untung-untungan (Bab XV); 13). Pemberian kuasa (Bab XVI);

14). Penanggungan (Bab XVII); 15). Perdamaian (Bab XVIII).

p. Perjanjian yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu atau yang sering disebut perjanjian tidak bernama (Onbenoemd, innominaatcontracten), yaitu ”perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata tetapi terdapat dalam masyarakat”.94

q. Perjanjian campuran, yaitu ”perjanjian yang mengandung berbagai unsur

(18)

perjanjian”.95

8. Klausula Eksonerasi

”Klausul baku yang berisi ketentuan dan persyaratan dikenal sebagai klausula eksonerasi(exoneration clouse)atau klausa eksemsi(exsemtion clause)”.96

Klausul baku yang merupakan klausul eksonerasi jelas telah merugikan pihak penutup kontrak atau penerima tawaran, karena ia harus bertanggungjawab atas akibat hukum tertentu dan memikul kewajiban tertentu yang menurut hukum bukan merupakan tanggungjawab atau kewajibannya.

Menurut Rijken klausula eksonerasi adalah “klausul yang dicantumkan dalam suatu perjanjian yang mana satu pihak akan menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang disebabkan karena wanprestasi atau perbuatan melawan hukum”.97

Klausula berat sebelah ini dalam bahasa Belanda disebut dengan onredelijk bezwarend atau dalam bahasa Inggris disebut dengan unreasonably onerrous. ”Dalam pustaka-pustaka Hukum Amerika Serikat, klausula itu disebut juga dengan istilah exculpatory clause; warranty disclaimer clause atau limitation of liability clause”.98

Sutan Remy Sjahdeni memberi pengertian klausula eksonerasi dengan istilah klausul eksemsi, yaitu: “klausul eksemsi adalah klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan

95 Ibid.,hal. 20.

96 Johannes Gunawan, Reorientasi Hukum Kontrak di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 No.6 Tahun 2003, hal. 45.

97

Seperti dijelaskan dalam Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis),Op.cit.,hal. 80.

(19)

pihak lainnya dalam yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut”.99

Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik. ”Eksonerasi terhadap kerugian yang timbul karena kesengajaan pengusaha adalah bertentangan dengan kesusilaan. Karena itu pengadilan dapat mengesampingkan klausula eksenorasi tersebut”.100

Bagaimanapun juga eksonerasi hanya dapat digunakan jika tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan jika terjadi sengketa mengenai tanggung jawab tersebut, konsumen dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menguji apakah eksonerasi yang ditetapkan pengusaha itu adalah layak, tidak dilarang oleh undang-undang, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.

Suatu perjanjian dengan memakai syarat-syarat eksonerasi disebut pula perjanjian dengan syarat-syarat untuk pembatasan berupa penghapusan ataupun pengalihan tanggung jawab. ”Melalui syarat-syarat semacam ini oleh salah satu dari pihak dibatasi atau dibedakan dari sesuatu tanggung jawab berdasarkan hukum. Beban tanggung jawab yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan dihapus oleh penyusun perjanjian melalui syarat-syarat eksonerasi tersebut”.101

Menurut Mariam Darus Badrulzaman terdapat jenis klausula baku eksonerasi yaitu:

99 Sutan Remy Sjahdeini,Op.cit., hal. 75. 100

Abdulkadir Muhammad,Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal. 20.

101 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 115.

(20)

a. Pengurangan atau penghapusan tanggung jawab terhadap akibat-akibat hukum, misalnya ganti rugi akibat wanprestasi,

b. Pembatasan atau penghapusan kewajiban-kewajiban sendiri.

c. Penciptaan kewajiban-kewajiban yang kemudian dibebankan kepada salah satu pihak misalnya penciptaan kewajiban ganti rugi kepada phak ketiga yang terbukti mengalami kerugian.102

Oleh karena itu syarat-syarat eksonerasi dapat berupa penghapusan/ pengurangan terhadap akibat hukum, atau pembatasan/penghapusan kewajiban sendiri dan menciptakan keajiban tetapi membebankan pihak lain.

Dalam suatu perjanjian dapat saja dirumuskan klausula eksonerasi karena keadaan memaksa atau karena perbuatan para pihak dalam perjanjian. Perbuatan para pihak tersebut dapat mengenai kepentingan pihak kedua dan pihak ketiga. Dengan demikian ada tiga kemungkinan eksonerasi yang dapat dirumuskan dalam syarat-syarat perjanjian:

1. Eksonerasi karena keadaan memaksa(force majeur);

Kerugian yang timbul karena keadaan memaksa bukan tanggung jawab para pihak, tetapi dalam syarat-syarat perjanjian dapat dibebankan kepada konsumen sehingga pengusaha dibebaskan dari beban tanggung jawab.

2. Eksonerasi karena kesalahan pelaku usaha yang merugikan pihak kedua dalam perjanjian;

Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi tanggung jawab pengusaha. Hal ini dapat terjadi karena tidak baik atau lalai melaksanakan prestasi terhadap pihak kedua. Tetapi dalam syarat-syarat perjanjian, kerugian dibebankan kepada konsumen dan pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab. Misalnya dalam perjanjian pengangkutan ditentukan bahwa bawaan yang rusak atau hilang, bukan tanggung jawab pengangkut. 3. Eksonerasi karena kesalahan pengusaha yang merugikan pihak ketiga;

Kerugian yang timbul karena kesalahan pengusaha seharusnya menjadi tanggung jawab pengusaha, namun dalam syarat-syarat perjanjian, kerugian yang timbul dibebankan kepada pihak kedua, yang ternyata menjadi beban pihak ketiga. Dalam hal ini pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab, termasuk juga terhadap tuntutan pihak ketiga.103

102

Ibid.,hal. 116.

103 Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan,

(21)

Dalam sistem hukum Indonesia, tentang klausul baku yang berisi klausul eksonerasi telah diatur dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pada Bab V, Ketentuan Pencantuman Klausul Baku, Pasal 18 yang berbunyi:

1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klasul baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh kosumen;

f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak pelaku usaha dalam asa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. Menyatakan bahwa konsumen memberikan kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

3. Setiap klausul baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi kententuan sebagimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 dinyatakan batal demi hukum.

4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausul baku yang bertentangan dengan undang-undang ini

(22)

Berdasarkan sejarahnya tentang kontrak baku telah dikenal bangsa Romawi dimana yang disebut sebagai kontrak model. Hal tersebut sebagaimana dikutip oleh L.J.van Apeldoorn, yang menyatakan bahwa:

Dalam banyak cabang perdagangan dan perusahaan sejak lama lebih berlaku perjanjian dari pada undang-undang, karena untuk sebagian besar mereka tidak berpedoman kepada peraturan perundang-undangan, melainkan kepada model kontrak. Dalam perdagangan besar hampir umum dikuasai oleh syarat-syarat yang tetap yang diletakan dalam formulir-formulir. Apa yang mula-mula merupakan syarat dalam kontrak perseorangan kemudian menjadi syarat untuk masa dan akhirnya biasanya menjadi hukum objektif, hukum kebiasaan.104

B. Alasan Hukum CV. Asi Murni Menggunakan Perjanjian Baku Dalam Pelaksanaan Pengangkutan Barang.

Sistem hukum di Indonesia tidak mensyaratkan pembuatan perjanjian pengangkutan itu secara tertulis, cukup dengan lisan saja, asal ada persetujuan kehendak atau konsensus. Kewajiban dan hak pihak-pihak dapat diketahui dari penyelenggaraan pengangkutan, atau berdasarkan dokumen pengangkutan yang diterbitkan dalam perjanjian itu. Sementara itu, yang dimaksud dokumen pengangkutan ialah setiap tulisan yang dipakai sebagai bukti dalam pengangkutan, berupa naskah, tanda terima, tanda penyerahan, tanda milik atau hak.

Mengenai saat perjanjian pengangkutan terjadi dan mengikat pihak-pihak, sebagian ada ditentukan dalam undang-undang dan sebagian lagi tidak ada. Dalam hal tidak ada ketentuan, maka kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan diikuti oleh perusahaan pengangkutan.

104 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal. 170-171.

(23)

Undang-Undang memberikan hak kepada setiap orang untuk secara bebas membuat dan melaksanakan perjanjian. Pihak-pihak dalam perjanjian diberi kebebasan dalam menentukan aturan yang mereka kehendaki dalam perjanjian dan melaksanakannya sesuai dengan kesepakatan yang telah tercapai diantara mereka selama para pihak tidak melanggar ketentuan mengenai klausula yang halal, artinya ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, kesusilaan, kepatutan dan kebiasaan yang berlaku didalam masyarakat.

Walaupun setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian tetapi Undang-Undang mengatur batasan-batasan dari kebebasan tersebut. Suatu perjanjian dikatakan tidak boleh bertentangan dengan:

1. Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

2. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

3. Pasal 1339 KUHPerdata yang mengatur bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang.

Berdasarkan ketiga pasal tersebut maka ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan di dalam membuat suatu perjanjian baku, yaitu :

1. Tidak bertentangan dengan Undang-Undang, moral (kesusilaan), ketertiban umum, kepatutan, dan kebiasaan (Pasal 1337 dan Pasal 1339 KUHPerdata). 2. Memiliki itikad baik (Pasal 1338 KUHPerdata).

Moral (kesusilaan) diartikan sebagai moral yang dalam suatu masyarakat diakui oleh umum/khalayak ramai. Sedangkan ketertiban umum adalah kepentingan

(24)

masyarakat yang dilawankan dengan kepentingan perseorangan, yang dalam berhadapan dengan kepentingan perseorangan itu dipermasalahkan apakah kepentingan masyarakat itu dikesampingkan.

Keadilan dapat dimasukan ke dalam arti kepatutan. Dengan demikian sesuatu yang tidak adil berarti tidak patut. Dengan kata lain bila dikaitkan dengan kepatutan dalam arti keadilan, maka isi/klausula-klausula suatu perjanjian tidak boleh tidak adil. Klausula-klausula perjanjian yang secara tidak wajar sangat memberatkan pihak lainnya adalah syarat-syarat yang bertentangan dengan keadilan.

Sedangkan kebiasaan pada umumnya dapat diartikan sebagai kebiasaan setempat yaitu aturan-aturan yang diindahkan dalam lingkungan tertentu. Itikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan konsumen maupun tidak merugikan kepentingan umum. Niat tersebut harus merupakan niat yang jujur untuk tidak merugikan konsumen/merugikan kepentingan umum.

Dalam perjanjian pengangkutan di perusahaan CV. Asi Murni, tidak semua unsur dalam asas kebebasan berkontrak terpenuhi. Hal ini dikarenakan posisi tawar menawar (bargaining position) perusahaan pengangkut lebih kuat dari pihak pengirim (konsumen).

Pelaksanaan kebebasan berkontrak akan tercapai bila para pihak mempunyai posisi seimbang. Jika salah satu pihak lemah maka pihak yang memiliki posisi lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak yang lemah demi kepentingannya sendiri.

(25)

Jadi kedudukan pengangkut lebih dominan daripada pengirim, karena pengangkut mempunyai wewenang yang lebih untuk menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan perjanjian pengangkutan, sehingga asas kebebasan berkontrak tidak terpenuhi semuanya karena perjanjiannya sudah ditetapkan dalam bentuk yang baku, dimana bentuk dan isi perjanjian telah ditentukan oleh pihak perusahaan pengangkut secara sepihak tanpa mengikutsertakan pihak pengirim.105

Perjanjian pengangkutan dikatakan tidak sejalan dengan asas kebebasan berkontrak karena perjanjian pengangkutan menggunakan bentuk perjanjian baku dimana perjanjian yang didalam pembuatannya hanya ditentukan oleh salah satu pihak saja yaitu pengangkut, sementara pihak yang lain yaitu pengirim tidak diikutkan dalam pembuatannya dan karena sesuatu hal mau tidak mau pengirim harus memenuhi isi perjanjian pengangkutan tersebut yang sebetulnya tidak sesuai dengan keinginan pengirim.

Banyak pengirim barang yang tidak memperdulikan dalam pelaksanaan pengiriman barang menggunakan perjanjian dalam bentuk baku. Pada umumnya pengirim hanya tinggal menandatangani bukti pengiriman barang tanpa pernah membacakan isi dari hak-haknya. Menurut Hartono kondisi tersebut terjadi dikarenakan:

Beberapa pengirim barang mengatakan malas membaca syarat-syarat perjanjian yang ada dalam surat muatan karena tulisannya yang terlalu kecil, selain itu ada juga yang mengatakan tidak sempat membaca karena terburu-buru dan ada yang menganggapnya bukan merupakan suatu hal yang penting untuk dibaca, bahkan ada yang tidak tahu bahwa tulisan-tulisan yang ada dalam surat muatan itu adalah suatu perjanjian.106

105

Hasil wawancara dengan Edi Sahputra, Direktur CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.

106 Hasil wawancara dengan Hartono, Kepala Operasional CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.

(26)

Alasan lainnya pihak perusahaan CV. Asi Murni menggunakan perjanjian baku dikarenakan untuk mempermudah proses dalam pelaksanaan perjanjian pengangkutan. Hal ini dikarenakan setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. ”Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian standar (baku), maka tanda tangan itu membangkitan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani. Tidak mungkin seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya”.107

Selain itu, alasan penggunaan perjanjian baku dalam pengangkutan barang oleh pihak perusahaan CV. Asi Murni dikarenakan, ”penggunaan perjanjian baku dapat diperkenankan untuk digunakan dalam setiap perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan konsumen, asalkan isi/klausulnya tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan”.108

C. Alasan Ekonomi CV. Asi Murni Menggunakan Perjanjian Baku Dalam Pelaksanaan Pengangkutan Barang.

Aktivitas bisnis merupakan fenomena yang sangat komplek karena mencakup berbagai bidang baik hukum, ekonomi, dan politik. Dalam kehidupan masyarakat, seringkali dapat dilihat bahwa aktivitas manusia dalam dunia bisnis tidak lepas dari peran perusahaan pengangkutan selaku pemberi layanan dibidang jasa pengangkutan barang bagi masyarakat. ”Peranan pengangkutan dalam dunia perniagaan bersifat mutlak. Sebab nilai suatu barang itu tidak hanya tergantung

107

Hasil wawancara dengan Hartono, Kepala Operasional CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.

108 Hasil wawancara dengan Edi Sahputra, Direktur CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.

(27)

dari barang itu sendiri tetapi juga tergantung pada tempat dimana barang itu berada”.109

Salah satu bentuk bentuk layanan dibidang pengakutan adalah kecepatan dan ketepatan dalam pengiriman barang. Apabila angkutan terlambat atau macet maka seketika itu masyarakat gelisah dan harga barang-barang pun menjadi goncang. Pengangkutan bukan hanya berpengaruh terhadap sirkulasi barang tetapi juga berpengaruh pada tinggi rendahnya harga barang tersebut.

Peranan pengangkutan disamping untuk melancarkan arus barang dan mobilitas manusia juga untuk membantu tercapainya pengalokasian sumber-sumber ekonomi secara optimal. Untuk itu jasa angkutan harus tersedia secara merata dan terjangkau daya beli masyarakat. Salah satu sarana pengakutan melalui darat adalah dengan menggunakan kendaraan bermotor.

Terjadinya perjanjian pengangkutan menunjuk pada serangkaian perbuatan tentang penawaran dan penerimaan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim atau penumpang secara timbal balik. Serangkaian perbuatan semacam ini tidak terdapat pengaturannya dalam undang-undang, melainkan ada dalam kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan, oleh karena itu serangkaian perbuatan tersebut perlu ditelusuri melalui kasus perjanjian pengangkutan.

Pada awal dimulainya sistem perjanjian, prinsip penting di dalam perjanjian itu adalah kebebasan berkontrak di antara pihak dengan kedudukan seimbang dan tercapainya kesepakatan bagi para pihak-pihak. “Namun berhubung aspek-aspek perekonomian semakin berkembang, pihak perusahaan selanjutnya mencari format

(28)

yang lebih praktis dalam menjalankan operasionalnya dengan membuat perjanjian pengangkutan dalam bentuk baku”.110

Dalam penyelenggaraan usaha jasa di bidang pengangkutan, pihak perusahaan CV. Asi Murni telah menyiapkan atau menyediakan blanko/formulir/model yang isinya telah dibuat dalam bentuk baku. Blanko tersebut kemudian disodorkan kepada setiap konsumen jasa pengangkutan, yang isinya tidak diperbincangkan terlebih dahulu dengan konsumen. Pada tahap tersebut konsumen hanya dimintakan pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat yang tercantum dalam formulir tersebut atau menolaknya.

Ketentuan-ketentuan yang sudah dibakukan ini dapat dilihat dibagian belakang tanda bukti pengiriman (consigment note) ataupun pada tanda bukti terima kiriman yang tertuang dalam point-point. Perjanjian baku yang ditetapkan sepihak oleh pihak perusahaan pengangkutan dituangkan dalam bentuk formulir dan ditandatangani oleh pengirim. ”Dimana formulir ini sudah terlebih dulu disediakan dalam jumlah banyak sehingga memudahkan apabila sewaktu-waktu akan dipergunakan dan dapat menghemat waktu dikarenakan isi dari perjanjian baku ini berlaku bagi setiap konsumen pengguna jasa pengangkutan tanpa terkecuali”.111

Klausula baku muncul dengan alasan kepraktisan atas perkembangan ekonomi yang menuntut dilakukannya perjanjian, terutama untuk perjanjian dengan melibatkan banyak pihak, termasuk dalam perjanjian pengangkutan barang. ”Pihak perusahaan

110

Hasil wawancara dengan Edi Sahputra, Direktur CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.

111 Hasil wawancara dengan Edi Sahputra, Direktur CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.

(29)

terlebih dahulu menyiapkan syarat-syarat yang sudah distandarkan pada suatu format perjanjian yang telah dicetak, berupa kwitansi yang dibelakangnya tercantum perjanjian pengangkutan dan kemudian diberikan kepada pihak konsumen untuk disetujui dan ditandatangani”.112

Namun dalam kenyataannya penggunaan klausula baku dalam perjanjian banyak merugikan konsumen. Hal ini karena posisi konsumen yang tidak seimbang dengan posisi pelaku usaha. Dengan kondisi tersebut klausula yang diperjanjikan lebih banyak berpihak pada kepentingan pelaku usaha. Atas alasan tersebut maka diperlukan sebuah pengaturan tentang klausula baku, sehingga penggunaannya dalam kontrak tetap dapat menguntungkan para pihak dan tidak terdapat marginalisasi konsumen.

Pengaturan mengenai klausula baku merupakan konsekuensi dari upaya kebijakan untuk memberdayakan konsumen supaya dalam kondisi seimbang, yakni terdapatnya suatu hubungan kontraktual antara pelaku usaha dan konsumen dalam prinsip kebebasan berkontrak. ”Kebebasan berkontrak adalah apabila para pihak dikala melakukan perjanjian berada dalam situasi dan kondisi yang bebas menentukan kehendaknya dalam konsep atau rumusan perjanjian yang disepakati”.113

Perjanjian baku memiliki kelebihan dan kekurangannya. Kelebihan kontrak baku adalah lebih efisien, karena antara para pihak tidak perlu lagi merumuskan klausula yang akan dipakai dalam perjanjian tersebut, sedangkan kelemahan perjanjian baku adalah kurangnya salah satu pihak (dalam hal ini adalah

112

Hasil wawancara dengan Edi Sahputra, Direktur CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011. 113N.H.T Siahaan,Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta, 2005, hal. 105.

(30)

konsumen) untuk melakukan negosiasi atau mengubah klausula-klausula dalam kontrak yang bersangkutan.

Perusahaan pengangkutan yang pekerjaannya melayani orang banyak, tidak mungkin melakukan atau mengadakan perjanjian tertulis dengan tiap-tiap konsumennya secara individual karena akan membutuhkan banyak waktu, uang, dan tenaga. ”Hal ini juga dinilai tidak praktis dan kurang efisien. Karena itu pihak perusahaan selanjutnya menggunakan perjanjian baku dalam perjanjian pengangkutan yang dibuatnya”.114

Alasan lainnya perusahaan menggunakan perjanjian baku adalah dikarenakan masalah biaya. Hal ini menyangkut dalam pembuatan perjanjian baku tidak memerlukan biaya yang besar karena dibuat secara kolektif dan digunakan untuk secara menyeluruh dalam kegiatan pengangkutan barang .

Apabila menggunakan perjanjian dalam pengangkutan yang masing-masing konsumen saling berbeda atau juga menggunakan jasa Notaris, tentunya akan berdampak bagi biaya pembuatan perjanjian yang akan dikeluarkan lebih tinggi. Oleh sebab itu, untuk menyiasati agar biaya pengiriman tidak terlalu memberatkan konsumen dan juga terkait dengan persaingan biaya pengiriman antara perusahaan, maka pihak perusahaan membuat alternatif agar perjanjian pengangkutan dibuat dalam bentuk yang telah baku.115

”Penggunaan perjanjian baku yang dilakukan oleh perusahaan CV. Asi Murni dalam kegiatan usahanya apabila dilihat dari segi ekonomi dapat mengurangi beban pengeluaran, sehingga dengan demikian dapat menekan biaya pengiriman”.116

114 Hasil wawancara dengan Hartono, Kepala Operasional CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.

115

Hasil wawancara dengan Edi Sahputra, Direktur CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.

116 Hasil wawancara dengan Edi Sahputra, Direktur CV. Asi Murni pada tanggal 18 Mei 2011.

Referensi

Dokumen terkait

Putera Mataram Mitra Sejahtera dengan penyewa karena dalam perjanjian tersebut terlahir dari penerapan asas kebebasan berkontrak yang tidak maksimal, sehingga

Asas kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada para pihak untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, dengan demikian PT

Menggunakan asas kepercayaan dan asas kebebasan berkontrak, dapat dikatakan seperti itu karena penjual hanya berdasarkan asas kepercayaan bahwa pembeli akan membayar

Dalam skripsi ini hanya akan dibahas hal- hal yang berhubungan dengan pengangkutan darat saja, khususnya pada hal-hal yang menjadi aspek hukum perjanjian terhadap barang

Pelaksanaan perjanjian pengangkutan terjadi setelah para pihak sepakat dengan isi perjanjian dan menandatangani perjanjian tersebut.Bentuk pertanggungjawaban pengangkutan

Perjanjian pengangkutan juga dapat dibuat tertulis yang disebut perjanjian carter (charter party). Alasan perjanjian pengangkutan tidak tertulis karena kewajiban dan hak pihak –

Mengacu kepada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut, dapat diasumsikan adanya penyimpangan penerapan asas kebebasan berkontrak dalam kontrak baku kegiatan

Sepatu Bata Tbk dengan pengecer Bata muncul sebagai akibat dari hukum perjanjian yang menganut asas kebebasan berkontrak (contractvrijheid) 3 dan sistem terbuka