• Tidak ada hasil yang ditemukan

STANDAR PELAYANAN MINIMAL DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STANDAR PELAYANAN MINIMAL DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Bunga Rampai Administrasi Publik

Lembaga Administrasi Negara, 2014

|

1

STANDAR PELAYANAN MINIMAL

DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Abdul Muis

Peneliti Madya Pusat Inovasi Tata Pemerintahan

ARAH KEBIJAKAN

Desentralisasi pelayanan publik merupakan salah satu langkah strategis dalam rangka menciptakan kepemerintahan yang baik, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan kualitas pelayanan, oleh sebab itu pemerintah daerah harus mampu menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan warga daerahnya, atau yang lazim diterjemahkan “pelayanan dasar”, dalam rangka memenuhi pelayanan dasar yang diperuntukkan bagi warga daerah tersebut, diperkenalkan konsep tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM).

Standar Pelayanan Minimal (SPM) didefinisikan sebagai “tolak ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan urusan wajib daerah yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat”, bagi pemerintah daerah SPM dapat dijadikan tolak ukur untuk penentuan biaya yang diperlukan untuk membiayai pelayanan, sedangkan bagi masyarakat SPM dapat dijadikan acuan yang berkaitan dengan kualitas dan kuantitas pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah. SPM merupakan standar pelayanan yang minimal dan wajib disediakan oleh pemerintah daerah kepada warganya, dengan diterapkannya SPM tersebut akan

(2)

Bunga Rampai Administrasi Publik

2

|

Lembaga Administrasi Negara, 2014

menjamin minimal pelayanan yang berhak diperoleh masyarakat, disamping itu SPM dapat mengembangkan dan menerapkan standar kinerja untuk kewenangan daerah.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal, masing-masing level pemerintahan mulai dari pusat sampai dengan kabupaten/kota mempunyai tugas dalam penyusunan SPM, SPM dimaksud berdasarkan pada penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib yang dilaksanakan secara bertahap dan berjenjang, SPM dimaksud pertama-tama dirumuskan oleh masing-masing kementerian/lembaga, hal tersebut sesuai dengan tugas pemerintah (pusat) adalah merumuskan Norma, Standar, Pedoman dan Kriteria yang akan diberlakukan oleh pemerintah daerah, sedangkan pemerintah propinsi berdasarkan SPM yang telah disusun oleh Kementerian/Lembaga tersebut dalam kapasitasnya sebagai wakil pemerintah (pusat) di daerah dapat bekerjasama dengan pemerintah Kabupaten/Kota untuk membahas bagaimana strategi pencapaian SPM yang telah ditetapkan oleh pemerintah (pusat) tersebut, dalam kaitan ini pemerintah propinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota dalam wilayah kerjanya bersama-sama merumuskan pencapaian SPM dengan mempertimbangakan kondisi obyektif yang ada di setiap daerah, sedangkan pemerintah Kabupaten/Kota melalui Peraturan Daerah (perda) menentukan cara pelaksanaan pelayanan berdasarkan SPM yang telah disepakati pencapaiannya dengan pemerintah propinsi, SPM yang diimplementasikan di tingkat kabupaten/kota menjadi dasar bagi pemerintah propinsi untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.

Pelayanan-pelayanan yang berbasis SPM tersebut pada langkah berikutnya diakomodasikan kedalam Renstra Daerah dan silaksanakan setiap tahunnya melalui APBD, pelaksanaan SPM tersebut kemudian dievaluasi untuk melihat sejauh mana pelaksanaannya dan

(3)

masalah-Bunga Rampai Administrasi Publik

Lembaga Administrasi Negara, 2014

|

3

masalah apa yang menghambat dalam penerapannya untuk dijadikan umpan balik (penyempurnaan).

Dalam penerapan standar pelayanan minimal juga telah dirumuskan beberapa prinsip yang dijadikan acuan yakni :

1. SPM diterapkan pada kewenangan wajib daerah, namun demikian daerah dapat mengembangkan dan menerapkan standar kinerja untuk kewenangan daerah yang lain;

2. SPM ditetapkan pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh daerahkabupaten/kota;

3. SPM harus mamppu menjalin terwujudnya hak-hak individu serta dapat menjamin akses masyarakat mendapat pelayanan dasar dari pemerintah daerah sesuai patokan dan ukuran yang ditetapkan oleh pemeriintah; 4. SPM bersifat dinamis dan perlu dikaji ulang dan diperbaiki dari waktu ke

waktu sesuai dengan perubahan kebutuhan nasional dan perkembangan kapasitas daerah;

5. SPM harus memenuhi beberapa ketentuan, sebagai berikut :

a. Pemerintah Pusat menentukan SPM secara jelas dan konkrit, sesederhana mungkin, tidak terlalu banyak dan mudah diukur untuk dipedomani oleh setiap unit organisasi perangkat daerah, atau badan usaha milik daerah atau lembaga mitra pemerintah daerah yang melaksanakan kewenangan wajib daerah;

b. Indikator SPM memberikan informasi kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah secara kualitas (seberapa berarti kemajuan yang telah dilakukan) dan secara kuantitas (seberapa banyak yang telah dilakukan) dengan mempunayi nilai bobot;

c. Karakteristik indikator meliputi :

1) Masukan, yaitu bagaimana tingkat atau besaran sumberdaya yang digunakan;

(4)

Bunga Rampai Administrasi Publik

4

|

Lembaga Administrasi Negara, 2014

2) Proses yang digunakan, yaitu termasuk upaya pengukurannya seperti program atau kegaiatan yang dilakukan mencakup waktu, lokasi, isi program atau kegiatan, penerapannya dan pengelolaannya;

3) Hasil, yaitu wujud pencapaian kinerja, termasuk pelayanan yang diberikan, persepsi publik terhadap pelayanan tersebut, perubahan prilaku publik;

4) Manfaat, yaitu tingkat kemanfaatan yang dirasakan sebagai nilai tambah, termasuk kualitas hidup, kepuasan konsumen/masyarakat, maupun pemerintah daerah;

5) Dampak, yaitu pengaruh pelayanan terhadap kondisi secara makro berdasarkan manfaat yang dihasilkan.

d. Indikator SPM menggambarkan indikasi variabel pelayanan dasar yang digunakan untuk mengevaluasi keadaan atau status dan menggambarkan keseluruhan pengukuran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu serta jenis pelaporan dasar kepada masyarakat terhadap kinerja unit organisasi perangkat daerah;

e. Indikator (termasuk nilai) pelayanan minimal merupakan keadaan minimal yang diharapkan secara nasional untuk suatu jenis pelayanan tertentu, yang dianggap minimal dapat merupakan rata-rata kondisi daerah-daerah;

f. Indikator Standar Pelyanan Minimal seharusnya diacu dalam perencanaan daerah, penganggaran daerah dan pemekaran dan penggabungan lembaga perangkat daerah, pengawasan, pelaporan dan salah satu dokumen Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Kepala Daerah serta penilaian kapasitas daerah;

g. Dalam upaya pencapaian SPM untuk jangka waktu tertentu ditetapkan batas awal pelayanan minimal (minimum service

(5)

Bunga Rampai Administrasi Publik

Lembaga Administrasi Negara, 2014

|

5

baselines) dan target pelayanan yang akan dicapai (minimum service target);

h. Minimum service baseline adalah spesifikasi peniingkatan kinerja pada tingkat awal berdasarkan data indikator SPM yang terbaru; i. Minimum service terget, adalah spesifikasi peningkatan kinerja

pelayanan yang harus dicapai dalam periode tertentu dalam siklus perencanaan daerah multi tahun untuk mencapai atau melebihi SPM. 6. SPM berbeda dengan standar teknis, dimana standar tehnis merupakan

faktor pendukung alat mengukur pencapaian SPM.

SPM merupakan alat untuk mengukur kinerja pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan pelayanan dasar. Tingkat kesejahteraan masyarakat akan sangat tergantung pada tingkat pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah, SPM sangat diperlukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat (warga daerah) sebagai konsumen pelayanan, bagi pemerintah daerah, siatu SPM dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam penentuan biaya yang diperlukan untuk menyeiakan pelayanan tertentu, sedangkan bagi masyarakat SPM akan dijadikan acuan dalam menilai kinerja pelayanan publik, yakni kualitas dan kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah.

Dilihat dari nilai manfaat yang diperoleh dalam penerapan standar pelayanan minimal sebagaimana (PKKOTDA LAN : 2009) antara lain : a. Akan lebih terjamin penyediaan pelayanan publik yang disediakan oleh

pemerintah daerah kepada masyarakat;

b. Untuk menentukan standar analisis biaya (SAB) yang sangat dbutuhkan oleh pemerintah daerah guna menentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik;

(6)

Bunga Rampai Administrasi Publik

6

|

Lembaga Administrasi Negara, 2014

c. Menjadi landasan dalam penentuan perimbangan keuangan yang lbih adil dan transparan baik Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK);

d. Dapat dijadikan dasar dalam menentukan anggaran kinerja dan membantu pemerintah daerah dalam melakukan alokasi anggaran yang lebih berimbang;

e. Dapat membantu penilaian kinerja (LPJ) Kepala Daerah secara lebih akurat dan terukur sehingga mengurangi kesewenang-wenangan dalam menilai kinerja pemerintah daerah;

f. Menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintahan daerah terhadap masyarakat, karena masyarakat akan dapat melihat keterkaitan antara pembiayaan dengan pelayanan publik yang dapat disediakan pemerintah daerah;

g. Menjadi argumen dalam melakukan rasionalisasi kelembagaan pemerintah daerah, kualifikasi pegawai, serta korelasinya dengan pelayanan kepada masyarakat.

STRATEGI PENERAPAN SPM.

Dari berbagai telaahan yang telah dilakukan, dalam rangka penerapan standar pelayanan minimal yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005, yang kemudian ditindak lanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Tehnis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal, dan Permendagri Nomor 79 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian SPM, dirumuskan strategi penerapan standar pelayanan minimal sebagai mana dibawah ini :

1. Penyusunan Rencana Pencapaian SPM.

Pemerintah daerah menyusun rencana pencapaian standar pelayanan minimal yang memuat batas waktu pencapaian SPM nasional dan

(7)

Bunga Rampai Administrasi Publik

Lembaga Administrasi Negara, 2014

|

7

daerah, pengintegrasian pencapaian SPM dengan perencanaan dan penganggaran, mekanisme pembelanjaan penerapan SPM, sistem penyampaian informasi rencana dan realisasi pencapaian target tahunan SPM kepada masyarakat. Tahap penyusunan rencana pencapaian SPM ini merupakan tahapan yang berat dikarenakan beberapa kendala, antara lain : (a) belum disusunnya seluruh dokumen SPM Nasional dari berbagai Kementerian/Lembaga, dan (b) mengintegrasikan dokumen SPN Nasional tersebut dengan dokumen perencanaan daerah, sehingga rencana pencapaian SPM tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Selain ke dua Undang-Undang tersebut diatas, juga perlu diintegrasikan dalam menyusun rencana pencapaian SPM adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Keuangan Negara dan Daerah, dan juga Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Hubungan Antara Keuangan Pusat dan Daerah, oleh sebab itu mengingat banyaknya keterkaitan berbagai kebijakan level Undang-Undang pada tahap ini, maka tidak berlebihan jika pada tahap ini merupakan tahapan kritis.

Rencana penncapaian standar pelayanan minimal juga dilakukan dengan mengikuti proses penyusunan perencanaan daerah mulai dari pembahasan RPJMD, Renstra SKPD dan RKPD, pada saat menyusun RPJMD Daerah (rencana 5 tahunan) pemerintah daerah seharusnya sudah mulai memasukkan program-program jangka menengah, karena RPJM Daerah ini akan menjadi acuan dalam menyusun Renstra SKPD dan RKPD (sering diterjemahkan rencana pembangunan tahunan). Rencana pencapaian dan penerapan SPM di daerah dengan mengikuti skenaria perencanaan pada lazimnya yakni dilaksanakan secara bertahap berdasarkan pada analisis kemampuan dan potensi darah,

(8)

Bunga Rampai Administrasi Publik

8

|

Lembaga Administrasi Negara, 2014

kemampuan dan potensi daerah ini meliputi kepegawaian, kelembagaan, kebijakan, sarana dan prasarana, keuangan, sumberdaya alam dan partisipasi masyarakat.

Faktor kemampuan dan potensi daerah ini juga dapat digunakan untuk menentukan (a) status awal yang terkini dari pencapaian pelayanan dasar di daerah; (b) perbandingan antara status awal dengan target pencapaian dan batas waktu pencapaian SPM yang ditetapkan oleh pemerintah; (c) perhitungan pembiayaan atas target pencapaian SPM, analisis standar belanja kegiatan berkaitan SPM, dan (d) perkiraan kemampuan keuangan dan pendekatan penyediaan pelayanan dasar yang memaksimalkan sumberdaya daerah (PKK-OTDA LAN : 2009 hlm. 249).

Analisis kemampuan dan potensi daerah dilakukan untuk menyusun skala prioritas program dan kegiatan terkait rencana pencapaian dan penerapan SPM. Batas waktu pencapaian SPM menjadi batas waktu maksimal dari jangka waktu rencana pencapaian dalam penerapan SPM di daerah, namun demikian daerah dapat menetapkan rencana pencapaian dan penerapan SPM lebih cepat dari batas waktu yang ditetapkan oleh Menteri/Kepala LPND sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki oleh daerah. Rencana pencapaian dan penerapan SPM dalam batas waktu tertentu dijabarkan menjadi target tahunan pencapaian dan penerapan SPM, target tahunan pencapaian dan penerapan SPM dituangkan dalam Renja SKPD, RKPD, KUA, PPA, RKA-SKPD dan DPA-RKA-SKPD.

RPJM Daerah yang memuat rencana pencapaian pencapaian SPM menjadi pedoman penyusunan Renstra SKPD, Renja SKPD, RKPD, KUA dan PPA. Program dan kegiatan dalam dokumen perencanaan telah mempertimbangkan rencana pencapaian SPM bagi kewenangan wajib pemerintahan yang berbasis pada pelayanan dasar. Pengintegrasian

(9)

Bunga Rampai Administrasi Publik

Lembaga Administrasi Negara, 2014

|

9

rencana pencapaian SPM ke dalam RPJMD dilakukan dengan menggunakan format yang telah ditentukan (lampiran 2 Permendagri Nomor 79 Tahun 2007). Rencana tahunan pencapaian SPM yang dituangke dalam Rencana Kerja SKPD disusun berdasarkan Renstra SKPD, yang selanjutnya dibahas dalam forum Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan untuk dianggarkan dalam satu tahun anggaran dalam RKPD. Rencana pencapaian dan penerapan SPM merupakan tolok ukur tingkat prestasi kerja pelayanan dasar pada urusan wajib pemerintahan daerah. Tolok ukur tersebut merupakan salah satu elemen dalam penjabaran Visi, Misi dan Program prioritas Kepala Daerah. Tolok ukur tingkat prestasi kerja pelayanan dasar dalam pencapaian dan penerapan SPM dimuat dalam prpogram dan kegiatan prioritas pembangunan daerah disusun berdasarkan pembagian urusan pemerintahan dan disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi SKPD.

2. Model Keuangan Standar Pelayanan Minimal.

Pengelolaan keuangan standar pelayanan minimal tidak terlepas dari kebijakan yang mengatur keuangan daerah, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan kebijakan tersebut ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang kemudian ditindaklanjuti lagi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007, dimana Azas Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah disebutkan :

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah disusun dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan keuangan daerah; b. Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana

(10)

Bunga Rampai Administrasi Publik

10

|

Lembaga Administrasi Negara, 2014

Pembangunan Daerah (RKPD) dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tujuan negara;

c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah mempunyai fungsi otoritas, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi;

d. APBD, perubahan APBD, dan Pertanggungjawaban APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Aturan lebih lanjut yang mengatur tentang penganggaran yang berkaitan dengan penerapan standar pelayanan minimal di daerah diatur lebih lanjut dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 31 yang menyatakan :

a. Belanja daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) huruf b, dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan propinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan pilihan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan;

b. Belanja penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial;

c. Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diwujudkan melalui prestasi kerja dalam pencapaian standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(11)

Bunga Rampai Administrasi Publik

Lembaga Administrasi Negara, 2014

|

11

d. Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari belanja urusan wajib dan belanja urusan tambahan;

Dengan memperhatikan kebijakan yang mengatur keuangan yang berkaitan dengan standar pelayanan minimal sebagaimana diutarakan di atas, kiranya jelas sekali pembahasannya sudah dimulai semenjak pembahasan dan penyusunan dokumen-dokumen perencanaan pembangunan daerah, mulai dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes), pembahasan rencana kerja masing-masing dinas sampai pembahasan RPJM Daerah, sehingga penganggaran kegiatan yang berkaitan dengan standar pelayanan minimal di daerah benar-benar terintegrasi dan terdokumen dengan baik, sehingga kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan standar pelayanan minimal tersebut tidak menimbulkan kesan “muncul secara tiba-tiba”. Pengelolaan keuangan standar pelayanan minimal tidak terlepas dari pengelolaan keuangan daerah secara keseluruhan, dimana anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang akan dicapai selama periode tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan dan penyusunan anggaran, yang terkait dengan proses penentuan jumlah alokasi dana untuk masing-masing program dan aktivitas dalam suatu moneter, proses penganggaran dimulai dari kegiatan perumusan strategi dan perencanaan strategi dilakukan, anggaran merupakan artikulasi hasil perumusan dan perencanaan strategi yang telah dibuat, sehingga terlihat dengan jelas bahwa proses penganggaran menjadi sangat penting. Proses penganggaran harus dikendalikan mulai dari tahap perencanaan sampai tahap pelaporan.

(12)

Bunga Rampai Administrasi Publik

12

|

Lembaga Administrasi Negara, 2014

3. Model Pelaporan Standar Pelayanan Minimal.

Sesuai dengan amanat yang telah ditegaskan dalam Permendagri Nomor 79 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian SPM bahwa rencana capaian target tahunan SPM dan realisasinya merupakan bagian tidak terpisahkan dari Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD), Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah (LKPD), dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD), namun demikian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tidak secara tegas dirumuskan bagaimana pemerintah daerah melaporkan capaian SPM, baru setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD) yang memuat capaian-capaian target SPM oleh pemerintah daerah secara jelas diatur. DINAMIKA PENERAPAN SPM.

Jika kita menelusuri kebijakan yang mengatur tentang standar pelayanan minimal, terdapat beberapa kebijakan yang telah ditetapkan antara lain :

1. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonum.

Kebijakan ini mengatur pedoman untuk menentukan standar pelayanan minimal dalam bidang yang wajib dilaksanakan oleh kabupaten/kota, sebagaimana diatur dalam pasal 2 mengatur mengenai kewenangan pemerintah pusat, sedangkan pasal 3 mengatur kewenangan pemerintah propinsi sebagai daerah otonum, dan penjelasan pasal 3 ayat (2) menyatakan bahwa pelaksanaan wajib merupakan pelayanan minimal pada bidang-bidang sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat 2 UU Nomor 22 Tahun 1999. Lebih lanjut, dalam pasal 9 ayat (2) menyatakan bahwa ketentuan mengenai kebijakan Norma, Standar, Prosedur dan

(13)

Bunga Rampai Administrasi Publik

Lembaga Administrasi Negara, 2014

|

13

Kriteria beserta Pedoman ditetapkan selambat-lambatnya dalam waktu 6 bulan semenjak ditetapkannya PP Nomor 25 Tahun 2000, dimana standar pelayanan minimal ini digunakan oleh propinsi, kabupaten/kota sebagai acuan dalam penyelenggaraan kewenangan wajib dan sebagai tolak ukur yang harus dicapai dalam memberikan pelayanan kepada warga masyarakatnya;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

Dalam pasal 20 menyatakan bahwa APBD yang disusun harus menggunakan pendekatan kinerja dengan memuat standar pelayanan yang diharapkan, dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan, lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan pasal 20 ayat (1) huruf b dinyatakan bahwa pengembangan standar pelayanan minimal dapat dilaksanakan secara bertahap dan harus dilakukan secara berkesinambungan;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.

Dalam PP Nomor 65 Tahun 2005 ini dengan jelas diatur bahwa standar pelayanan minimal disusun dan ditetapkan dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib pemerintahan daerah propinsi, kabupaten/kota yang berkaitan dengan pelayanan dasar.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam pasal 7 PP Nomor 38 Tahun 2007 ini secara terinci jumlah urusan wajib yang menjadi wewenang daerah mencapai 26 urusan wajib, urusan wajib tersebut berkaitan dengan pelayanan dasar yang harus diberikan pemerintah daerah bagi warga daerahnya. Untuk melaksanakan urusan wajib tersebut harus berpedoman pada standar pelayanan minimal.

(14)

Bunga Rampai Administrasi Publik

14

|

Lembaga Administrasi Negara, 2014

5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2007 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Tehnis Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal. Dalam Permendagri mengatur tentang (1) Jenis pelayanan dasar yang berpedoman pada standar pelayanan minimal; (2) Indikator dan nilai standar pelayanan minimal; (3) batas waktu pencapaian standar pelayanan minimal; (4) pengorganisasian penyelenggaraan standar pelayanan minimal.

6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal. Rencana pencapaian standar pelayanan minimal yang dimaksud dalam Permendagri ini adalah target pencapaian standar pelayanan minimal yang dituangkan dalam dokumen perencanaan daerah yang dijabarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), RKPD, Renstra SKPD, dan Renja SKPD untuk digunakan sebagai dasar perhitungan kebutuhan biaya dalam penyelenggaraan dasar.

Namun demikian, pada kenyataannya kebijakan-kebijakan tersebut belum semua ditindak lanjuti oleh pemerintah pusat (dalam hal ini Kementerian/Lembaga) untuk merumuskan standar pelayanan minimal menurut masing-masing sektor, menurut informasi dari pihat Ditjen OTDA pada acara Bimbingan Tehnis Manual Tatacara Penyusunan LPPD Tahun 2012, yang diselenggarakan pada 28 s/d 30 Januari 2013, sampai akhir tahun 2012 baru 13 sektor yang telah menyusun pedoman SPM, berarti baru mencapai 50% dari seluruh pedoman SPM yang harus dibuat (jumlah urusan wajib yang telah menjadi kewenangan pemerintah daerah mencapai 26 urusan wajib, sesuai dengan pasal 7 PP Nomor 38 Tahun 2007). Disamping itu permasalahan utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam rangka penerapan standar pelayanan minimal adalah terbatasnya anggaran, jika akan menerapkan standar pelayanan minimal secara utuh

(15)

Bunga Rampai Administrasi Publik

Lembaga Administrasi Negara, 2014

|

15

dikaitkan dengan ketersediaan anggaran maka hanya satu atau dua pelayanan saja yang dilaksanakan mengikuti norma SPM.

Dari hasil kajian yang telah dilaksanakan oleh Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah tahun 2009 tentang Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah, juga menunjukkan bahwa penerapan standar pelayanan minimal di daerah masih banyak mengalami hambatan, kajian yang dilakukan oleh PKK-OTDA tersebut melihat penerapan standar pelayanan minimal daerah dari aspek (a) Kebijakan Pemda yang mengatur standar pelayanan minimal; (b) Strategi penerapan standar pelaayanan minimal; dan (c) Capaian indikator standar pelayanan minimal.

Pada aspek kebijakan pemerintah daerah yang mengatur standar pelayanan minimal, dari 7 (tujuh) propinsi yang dijadikan lokus kajian belum ada pemerintah daerah yang menetapkan Peraturan Daerah tentang Standar Pelayanan Minimal, dari hasil kajiian ini juga diidentifikasi bahwa standar pelayan minimal yang telah dirumuskan oleh pemerintah pusat pada dasarnya telah diterapkan dengan cara mengintegrasikan standar pelayanan minimal tersebut dalam Rencana Kerja masing-masing SKPD, namun demikian diungkap juga masih lemahnya sosialisasi kebijakan oleh pemerintah pusat merupakan hambatan yang cukup besar, sehingga sering terjadi perbedaan persepsi dari berbagai pihak di daerah, hal lain yang menjadi kendala dalam penerapan standar pelayanan minimal di daerah adalah belum semua sektor merumuskan SPM sektornya untuk dijadikan acuan pemerintah daerah, sampai tahun 2009 ini baru 2 (dua) Kementerian yang telah menyusun SPM sektor yang rinci dan dapat diukur yakni SPM Kesehatan, dan SPM Pendidikan.

Dilihat dari aspek strategi penerapan standar pelayanan minimal, belum ada pemerintah daerah yang mempunyai strategi khusus untuk menerapkan standar pelayanan minimal, penjabaran target-target SPM Nasional ke dalam target-target daerah dan target tahunan sesuai

(16)

Bunga Rampai Administrasi Publik

16

|

Lembaga Administrasi Negara, 2014

kemampuan masing-masing daerah belum terlaksana dengan baik, hanya uurusan wajib yang telah memiliki SPM Nasional yang dapat dijabarkan oleh pemerintah daerah dalam bentuk strategi penerapan SPM. Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas pemerintah daerah mengambil kebijakan dokumen Renstra SKPD dapat dijadikan “proksi (alat untuk mendekati)” strategi penerapan SPM di Daerah, maka penjabaran program dan kegiatan yang ada dapat digunakan untuk melihat strategi penerapan SPM.

BELANJA DAERAH SEBAGAI GAMBARAN PENCAPAIAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Tujuan dari kebijakan otonomi daerah salah satnya adalah meningkatkan kesejahteraan masarakat yang diimplementasikan dalam bentuk pemberian pelayanan yang prima dengan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki oleh daerah dialokasikan semaksimal mungkin untuk dapat memenuhi kewajiban-kewajiban pemerintah daerah, dengan semangat untuk memberikan pelayanan yang berkualitas (prima) tersebut maka dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terdapat pengaturan yang menegaskan bahwa Belanja Daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat, untuk memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat tersebut tentunya diperlukan analisa yang tajam terhadap prioritas penggunaan anggaran daerah. Belanja daerah adalah belanja yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan, secara umum Belanja Daerah dapat dikategorikan dalam 2 (dua) bagian yakni (1) Belanja Aparatur, dan (2) Belanja Publik, belanja public merupakan belanja yang penggunaannya diarahkan dan dinikmati langsung oleh masyarakat.

(17)

Bunga Rampai Administrasi Publik

Lembaga Administrasi Negara, 2014

|

17

Dalam rangka implementasi kebijakan otonomi daerah, efektifitas belanja daerah dapat menjadi salah satu tolok ukur terhadap keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, terutama sejauh mana kebijakan desentralisasi yang dikelola oleh pemerintah daerah mampu mendorong tercapainya tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan masyarakat di daerah. Namun dalam realisasinya dari berbagai sumber yang kita terima, ternyata belanja daerah yang dialokasikan untuk belanja publik terdapat kecenderungan selalu lebih kecil dibanding dengan belanja aparatur.

Guna memberikan gambaran terhadap komposisi belanja daerah selama ini, dibawah ini akan diuraikan data-data yang berkaitan dengan belanja daerah yang penulis ramu yang bersumber dari Badan Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) Kementerian Dalam Negeri tahun 2012 yang lalu, hasil ramuan tersebut disajikan sebagai berikut :

Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2009-2011), total belanja secara nasional terus mengalami kenaikan rata-rata sebesar 9,52%. Secara nasional, total belanja daerah pada tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar 3,42% menjadi Rp. 444 trilyun dibanding tahun 2009 yang mencapai Rp. 429 trilyun, atau terjadi peningkatan sebesar Rp. 14,7 trilyun. Sedangkan pada tahun 2011 naik lebih besar yakni 15,62% atau terjadi peningkatan sebesar Rp. 69,3 trilyun.

Hal yang sama juga terjadi pada belanja propinsi, dimana dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2009-2011) total belanja propinsi mengalami kenaikan rata-rata 10,10% atau senilai Rp. 11,2 trilyun. Tahun 2010 belanja propinsi naik 7,14% dibandiing tahun 2009 yang mencapai Rp. 105,59 Trilyun, menjadi Rp. 113,13 trilyun, atau bertambah Rp. 7,5 trilyun, tahun 2011 belanja propinsi kembali naik, bahkan lebih besar, yakni 13,07% menjadi Rp. 127,9 trilyun, atau secara nominal naik Rp. 14,8 trilyun.

(18)

Bunga Rampai Administrasi Publik

18

|

Lembaga Administrasi Negara, 2014

Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2009-2011), total belanja Kabupaten/Kota juga terus mengalami kenaikan rata-rata sebesar 9,35% atau bertambah rata-rata Rp. 30,8 trilyun. Secara nasional total belanja Kabupaten/Kota pada tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar 2,20% disbanding dengan tahun 2009 yang secara nominal pada tahun 2010 mencapai Rp. 330,86 trilyun dari Rp. 323,73 trilyun pada tahun 2009, atau terjadi peningkatan sebesar Rp. 7,1 trilyun. Sedangkan pada tahun 2011kenaikannya lebih besar, mencapai 16,49%, secara nominal mencapai Rp. 385,41 trilyun, secara nominal terjadi kenaikan sebesar Rp. 54,5 trilyun. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2009-2011), total Belanja Tidak Langsung secara nasional mengalami kenaikan rata-rata sebesar 13,24%. Pada tahun 2010 Belanja Tidak Langsung mengalami kenaikan sebesar 14,45% menjadi Rp. 241 trilyun disbanding tahun 2009 belanja tidak langsungnya sebesar Rp. 211 trilyun, atau terjadi peningkatan sebesar Rp. 30 trilyun. Pada tahun 2011 Belanja Tidak Langsung naik sebesar 12,03% disbanding tahun 2010, secara nominal Belanja Tidak Langsung pada tahun 2011 mencapai Rp. 270,23 trilyun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp. 29 trilyun.(Belanja Tidak Langsung meliputi : Belanja Pegawai, Belanja Bunga, Belanja Subsidi, Belanja Hibah, Belanja Bantuan Sosial, Bagi Hasil Kepada Propinsi, Kabupaten, Kota dan Desa, Bantuan Keuangan Dari Propinsi atau Pemda Lainnya dan Belanja Tidak Terduga)

Sedangkan Belanja Langsung secara nasional selama tahun 2009-2011 mengalami tren fluktuatif, namun secara rata-rata masih terjadi kenaikan sebesar 6,33%. Tahun 2010, Belanja Langsung terjadi penurunan sebesar 7,22% dibanding tahun 2009, secara nominal pada tahun 2010 Belanja Langsung mencapai Rp. 202,79 trilyun, atau berkurang senilai Rp. 15,8 trilyun, dari Rp. 218,56 trilyun pada tahun 2009, namun pada tahun 2011 terjadi kenaikan yang sangat signifikan sebesar 19,88% atau secara nominl bertambah Rp. 40,3 trilyun, dimana total Belanja Langsung tahun

(19)

Bunga Rampai Administrasi Publik

Lembaga Administrasi Negara, 2014

|

19

2011 mencapai Rp. 243,1 trilyun. (Belanja Langsung meliputi : Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, dan Belanja Modal).

Dalam komposisi Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung secara nasional selama periode 2009-2011, porsi Belanja Tidak Langsung rata-rata masih lebih besar dibandingkan dengan Belanja Langsung, dengan perbandingan 52% : 48%. Tahun 2009, porsi Belanja Langsung lebih besar dibanding Belanja Tidak Langsung, yakni 51% : 49%. Tahun 2010, terjadi perubahan, dimana Belanja Tidak Langsung lebih besar dibanding dengan Belanja Langsung, yakni 54% : 46%, demikian juga pada tahun 2011, Belanja Tidak Langsung lebih besar dibanding Belanja Langsung yakni 53% : 47%.

Sama halnya secara nasional, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2009-2011), total Belanja Tidak Langsung Propinsi juga mengalami kenaikan rata-rata sebesar 12,60%. Pada tahun 2010 Belanja Tidak Langsung mengalami kenaikan sebesar 10,23% secara nominal menjadi Rp. 54 trilyun, disbanding tahun 2009 sebesar Rp. 49 trilyun, atau terjadi peningkatan Rp. 5 trilyun. Tahun 2011, Belanja Tidak Langsung kembali mengalami kenaikan 14,97% dibanding tahun 2010 menjadi Rp. 61,9 trilyun atau bertambah Rp. 8 trilyun disbanding tahun sebelumnya.

Demikian juga untuk total Belanja Langsung mengalami kenaikan rata-rata sebesar 7,90% dibanding tahun 2009, atau bertambah Rp. 4,6 trilyun. Tahun 2010 Belanja Langsung Propinsi naik 4,47% dibanding tahun 2009 atau meningkat Rp. 2,5 trilyun, atau secara nominal tahun 2010 total Belanja Langsung Propinsi mencapai Rp. 59,22 trilyun, sedangkan pada tahun 2009 mencapai Rp. 56,68 trilyun. Sedangkan tahun 2011 kembali naik 11,34% dibanding 2010 menjadi Rp. 65,9 trilyun atau bertambah Rp. 6,7 trilyun.

Komposisi Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung Propinsi, kondisinya berbeda dengan nasional, jika komposisi Belanja Tidak Langsung

(20)

Bunga Rampai Administrasi Publik

20

|

Lembaga Administrasi Negara, 2014

dan Belanja Langsung Nasional selama periode 2009-2011, porsi Belanja Tidak Langsung rata-rata masih lebih besar dibanding Belanja Langsung dengan perbandingan 52% : 48%. Sebaliknya, untuk komposisi Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung Propinsi , porsi Belanja Langsung-nya lebih besar dibanding Belanja Tidak Langsung, dengan perbandingan yang sama, yakni 52% : 48%. Tahun 2009, porsi Belanja Langsung lebih besar dibanding Belanja Tidak Langsung, yakni 54% : 46%. Demikian juga di tahun 2010, Belanja Langsung lebih besar dibanding Belanja Tidak Langsung, yakni 52% : 48%, dan kondisi yang sama terus berlanjut hingga tahun 2011, dimana Belanja Langsung lebih besar disbanding Belanja Tidak Langsung, yakni tetap 52% : 48%.

Dalam rentang waktu 3 (tiga) tahun mulai dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2010, Belanja Tidak Langsung Kabupaten/Kota mengalami pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 13,46% atau bertambah Rp. 23,2 trilyun. Tahun 2010, Belanja Tidak Langsung Kabupaten/Kota naik 15,72% disbanding dengan tahun 2009 atau meningkat Rp. 25,4 trilyun, secara nominal Belanja Tidak Langsung Kabupaten/Kota pada tahun 2010 mencapai Rp. 187,29 trilyun, sedangkan tahun 2009, jumlah Belanja Tidak Langsung Kabupaten/Kota mencapai Rp. 161,85 trilyun. Sedangkan pada tahun 2011 Belanja Tidak Langsung Kabupaten Kota kembali naik, dan mencapai 11,19% dibanding dengan tahun 2010, secara nominal, jumlah Belanja Tidak Langsung Kabupaten/Kota tahun 2011 mencapai Rp. 208,25 trilyun. Tidak berbeda dengan Belanja Tidak Langsung Kabupaten/Kota yang menunjukkan tren yang fluktuatif, Belanja Langsung Kabupaten Kota juga menunjukkan angka yang fluktuatif, pada tahun 2009 secara nominal mencapai Rp. 161.88 trilyun, dan turun pada tahun 2010 sampai pada angka Rp. 143.57 trilyun atau turun 11,31%, dan naik pada tahun 2011 mencapai Rp. 177,16 trilyun, atau naik 23, 40%.

(21)

Bunga Rampai Administrasi Publik

Lembaga Administrasi Negara, 2014

|

21

Komposisi Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung Kabupaten/Kota, sama dengan komposisi Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung secara Nasional, dimana selama periode 2009 sampai dengan tahun 2011 porsi Belanja Tidak Langsung rata-rata masih lebih besar disbanding Belanja Langsung dengan perbandingan 54% : 46%. Tahun 2009 porsi Belanja Langsung dengan Belanja Tidak Langsung berimbang, yakni 50% :50%, sedangkan pada tahun 2010 Belanja Tidak Langsung lebih besar dibanding Belanja Langsung, dengan perbandingan 57% : 43%, demikian juga pada tahun 2011 Belanja Tidak Langsung lebih besar disbanding dengan Belanja Langsung, yakni 54% : 46%.

Secara nasional porsi belanja pegawai terus meningkat, dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir (2009-2011) belanja pegawai mengalami peningkatan rata-rata 14,05% atau bertambah Rp. 23,4 trilyun pertahun. Tahun 2010, belanja pegawai naik 12,05 % atau bertambah Rp. 18,7 trilyun dibanding tahun 2009 yang secara nominal berjumlah Rp. 155.82 trilyun, sehingga jumlah belanja pegawai pada tahun 2010 mencapai Rp. 174,61 trilyun. Demikian juga tahun 2011, belanja pegawai kembali naik 16,05% atau 16,05% atau secara nominal kenaikan mencapai 28 trilyun, sehingga total belanja pegawai pada tahun 2011 mencapai Rp. 202,64 trilyun.

Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2009-2011), porsi belanja pegawai masih mendominasi komposisi Belanja Tidak Langsung secara nasional, dengan porsi rata-rata sebesar 74%, Komposisi secara nasional tersebut juga berlaku bagi belanja pegawai daerah baik propinsi maupun Kabupaten/Kota. Di tingkat Propinsi, selama kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir belanja pegawai mengalami kenaikan rata-rata 11,63% per tahun atau bertambah Rp. 3,1 trilyun per tahun. Tahun 2010, belanja pegawai naik 15,03% disbanding tahun 2009, jumlah belanja pegawai pada tahun 2009 mencapai Rp. 20,75 trilyun, dan pada tahun 2010 jumlah belanja

(22)

Bunga Rampai Administrasi Publik

22

|

Lembaga Administrasi Negara, 2014

pegawai mencapai Rp. 23,87 trilyun, dan pada tahun 2011 belanja pegawai propinsi mencapai Rp. 25,83 trilyun atau mengalami kenaikan sebesar 8,23%, sehingga dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir ini porsi belanja pegawai pada propinsi masih mendominasi komposisi Belanja Tidak Langsung Propinsi dengan porsi rata-rata per tahun mencapai 43%.

Belanja pegawai pada Belanja Tidak Langsung Kabupaten/Kota pada periode tahun 2009-2011 juga mengalami kenaikan, rata-rata kenaikan tersebut mencapai 14,44% atau secara nominal mencapai Rp. 20,9 trilyun per tahun. Tahun 2009 jumlah belanja pegawai Kabupaten/Kota mencapai Rp. 135,07 trilyun, dan pada tahun 2010 jumlah belanja pegawai meningkat menjadi Rp. 150,73 trilyun, atau mengalami kenaikan 16,60%. Sedangkan pada tahun 2011 jumlah belanja pegawai mencapai Rp. 176,80 trilyun, atau mengalami kenaikan mencapai 17,29% dari tahun 2010. Sehingga porsi belanja pegawai dalam komposisi Belanja Tidak Langsung Kabupaten/Kota dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun terakhir (2009-2011)sangat dominan, yakni mecapai 83% per tahun.

Sedangkan porsi belanja pegawai dalam Belanja Langsung selama 3 (tiga) tahun terakhir menunjukkan pertumbuhan posistif dengan kenaikan rata-rata 2,57% per tahun, atau secara nominal mencapai Rp. 608 milyar. Pada tahun 2009 jumlah belanja pegawai dalam Belanja Langsung sebesar Rp. 24,47 trilyun, dan pada tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 2,26%, sehingga jumlah belanja pegawainya hanya mencapai Rp. 23,92 trilyun, dan pada tahun 2011 jumlah belanja pegawai dalam Belana Langsung berjumlah Rp. 25,69 trilyun, atau mengalami kenaikan 7,4%. Sehingga komposisi belanja pegawai pada Belanja Langsung secara nasional posisinya mencapai 11%. Untuk tingkat propinsi, porsi belanja pegawai pada total Belanja Langsung Propinsi selama periode 2009-2011 terus mengalami tren positif. Pada tahun 2009 jumlah belanja pegawai mencapai Rp. 6,41 trilyun, pada tahun 2010 mencapai Rp. 5,96 trilyun dan

(23)

Bunga Rampai Administrasi Publik

Lembaga Administrasi Negara, 2014

|

23

pada tahun 2010 mencapai Rp. 5,71 trilyun. Komposisi belanja pegawai pada Belanja Langsung Propinsi berkisar 11% per tahun. Sedangkan porsi belanja pegawai dalam Belanja Langsung Kabupaten/Kota selama 2009-2011 menunjukkan pertumbuhan positif, rata-rata pertumbuhannya mencapai 5,36% per tahun, meskipun terjadi tren fluktuatif, jumlah belanja pegawai dalam Belanja Langsung Kabupaten/Kota pada tahun 2009 mencapai Rp. 18,06 trilyun, pada tahun 2010 mencapai Rp. 17,97 trilyun atau mengalami penurunan 0,55%, dan pada tahun 2011 belanja pegawai dalam Belanja Langsung Kabupaten/Kota mencapai Rp. 19,98 trilyun, atau mengalami kenaikan sebesar 11,28%. Sehingga porsi belanja pegawai terhadap Belanja Langsung Kabupaten/Kota berkisar 11% per tahun.

Dilihat dari ratio belanja pegawai terhadap Dana Alokasi Umum, menunjukkan bahwa sebagian besar DAU diperuntukkan untuk belanja pegawai, Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) tahun 2012 telah melakukan analisa terhadap 20 daerah (Propinsi, Kabupaten dan Kota) melansir data prosentase belanja pegawai terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) dimana pada tahun 2008 rata-rata ratio belanja pegawai mencapai 69%, tahun 2009 meningkat mencapai 76% dan pada tahun 2010 mencapai 88%, dari komposisi tersebut terlihat bahwa dana transfer dari pemerintah kepada daerah hampir seluruhnya diperuntukkan bagi kebutuhan birokrasi, hanya sebagian kecil yang dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat.

Dari data-data yang disajikan diatas, terlihat dengan jelas bahwa secara total, alokasi anggaran yang diperuntukkan bagi belanja pegawai menghabiskan sebagian besar belanja daerah, kondisi semacam ini jika terus dipertahankan tentu kurang elok bagi kelangsungan pemerintahan secara keseluruhan, artinya keberadaan pemerintah daerah justru menyita lebih banyak sumber dibandingkan dengan anggaran yang digunakan untuk melayani warganya, idealnya biaya aparatur pemerintahan porsinya lebih

(24)

Bunga Rampai Administrasi Publik

24

|

Lembaga Administrasi Negara, 2014

kecil dibandingkan dengan biaya yang dialokasikan untuk melayani warganya. Jika jumlah anggaran untuk birokrasi lebih besar dari jumlah anggaran pelayanan maka sama artinya APBD dipergunakan untuk membiayai diri sendiri (DR. Budi Setyono, UNDIP, 2012), Kondisi tersebut diperparah dengan rendahnya kapasitas pemerintah daerah dalam membelanjakan dana untuk pembangunan di daerahnya juga mempengaruhi pengelolaan keuangan daerah (sebagai misal adanya kecenderungan daerah untuk menginvestasikan uang daerah di SBI dan Deposito).

SARAN KEBIJAKAN.

Dengan memperhatikan permasalahan sebagaimana diungkap di atas, dalam rangka penerapan standar pelayanan minimal di daerah disarankan :

1. Perlu dirumuskan secara jelas dalam kebijakan yang mengatur pemerintahan daerah mengenai “kewajiban pemerintah” untuk menyelenggarakan “pelayanan dasar” dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, selama ini dalam kebijakan pemerintahan daerah baik Undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 hanya mengatur pelimpahan urusan pemerintahan baik urusan wajib maupun pilihan yang menjadi kewenangan daerah, dengan dirumuskannya kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan dasar tersebut maka tingkat kepastian akan hak-hak warga daerah lebih terjamin, penyelenggaraan pelayanan dasar tersebut sesuai dengan norma, standar yang ditetapkan pemerintah, dalam hal ini standar pelayanan minimal;

2. Berdasarkan kewajiban pemerintah menyelenggarakan pelayanan dasar bagi warganya tersebut pemerintah daerah telah menghitung secara pasti berapa kebutuhan anggaran yang dialokasikan yang dituangkan

(25)

Bunga Rampai Administrasi Publik

Lembaga Administrasi Negara, 2014

|

25

dalam belanja daerah, sehingga dalam formula Dana Alokasi Umum (DAU) sudah ditetapkan jumlah anggaran yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pelayanan dasar di daerahnya;

3. Rumusan pelayanan dasar yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah tersebut, dan masuk dalam formula Dana Alokasi Umum (DAU) diintegrasikan kedalam dokumen-dokumen perencanaan daerah.

Daftar Pustaka

Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (2006); Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Publik : Kiat dan Terobosan Kabupaten/Kota.

Lembaga Administrasi Negara (2011); Telaah Isu-isu Aktual di Bidang Kinerja Otonomi Daerah.

Lembaga Administrasi Negara (2009); Strategi Penerapan Standar Pelayanan Minimal di Daerah.

Lembaga Administrasi Negara (2009); Standar Pelayanan Publik, Langkah-langkah penyusunan.

Lembaga Administrasi Negara (2006); Strategi Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik.

Nasution, Nur, 2004, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), Jakarta : Ghalia Indonesia.

Dokumen

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal.

(26)

Bunga Rampai Administrasi Publik

26

|

Lembaga Administrasi Negara, 2014

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun 2007 Tentang Pedoman

Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimal.

Referensi

Dokumen terkait

Tahap ini adalah proses pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti untuk mendapatkan data sebanyak-banyaknya dan sesuai dengan tema penelitian, proses pengumpulan data

Bab 4 ini membahas mengenai pengolahan atau analisis data untuk menghasilkan penemuan yang berkaitan dengan pengaruh partisipasi masyarakat dalam konservasi cagar

dari pembelajaran generatif yang dikembangkan peneliti, yaitu (1) dalam RPP, untuk setiap materi baru, guru memberikan gambar (berupa media) dari permasalahan yang

Pemilihan spesifikasi tersebut didasarkan pada perancangan jaringan irigasi curah pada anggrek yaitu pemilihan debit yang keluar dari nozzle yang kecil dan

Penanganan pengaduan, saran dan masukan adalah tata cara pelaksanaan penanganan pengaduan dan tindak lanjut. Pemantauan, Evaluasi dan Mekanisme Pelaporan Hasil Penelitian SKM

Dalam penelitian ini penulis akan meneliti tentang perilaku ijime, dampak yang timbul dari ijime dan latar belakang yang dimiliki oleh tokoh yang pernah melakukan

Judul dan Kata Kunci dituliskan dalam Bahasa Indonesia, sedangkan Intisari dan Abstract, harus dituliskan dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.. Apabila judul terlalu panjang,

[r]