• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata fides yang berarti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata fides yang berarti"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang

Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata “fides” yang berarti kepercayaan. Sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan hukum antara debitur (pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusia) merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah dilunasi hutangnya. Sebaliknya penerima fidusia percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan menyalahgunakan barang jaminan yang berada pada kekuasaannya. Pranata Jaminan Fidusia telah dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat umum Romawi. Ada 2 (dua) bentuk Jaminan Fidusia yaitu jaminan fiducia cum creditore dan fiducia cum amico.Keduanya timbul dari perjanjian yang disebutpactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atauin iure cessio.1

Fiducia cum creditoreadalah suatu penyerahan hak milik dari debitur kepada kreditur karena adanya hutang dari debitur tersebut dan penyerahan hak milik tersebut dilakukan berdasarkan asas kepercayaan sebagai jaminan hutang debitur tersebut. Sedangkan Fiducia cum amico adalah suatu penyerahan hak milik dari seseorang kepada orang lain berdasarkan kepercayaan untuk dititipkan sementara tanpa adanya hutang dari pemberi titipan tersebut. Fiducia cum amico disebut juga 1 Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2007, hal. 6

(2)

dengan penitipan barang untuk sementara waktu.Pactum fiduciaeaadalah perjanjian berdasarkan asas kepercayaan. In iure cessio maksudnya adalah perpindahan hak kepemilikan dari suatu benda yang pada awalnya merupakan penyerahan hak milik asas kepercayaan.2

Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Jaminan Fidusia (UUJF) No. 42 Tahun 1999 menyebutkan bahwa, “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.” Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud dan tidak berwujud, terdaftar maupun tidak terdaftar dan juga bergerak maupun tidak bergerak dengan syarat bahwa benda tersebut tidak dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan atau hipotek

sebagaimana dimaksud pada Pasal 314 ayat (3) KUH Dagang Jis Pasal 1162 KUH Perdata.3

Pengertian fidusia juga dapat disimpulkan dari beberapa arti yang dijadikan sumber hukum Jaminan Fidusia (Keputusan HR. 21-6-1929) 29-10-1096), yaitu perjanjian dimana salah satu pihak mengikatkan diri untuk menyerahkan hak milik atas benda bergerak sebagai jaminan, penyerahan hak milik dimaksud merupakan

titelyang sempurna dari penyerahan bersifat abstrak. Dalam pelaksanaan yang terjadi di masyarakat timbulnya perjanjian pengikatan Jaminan Fidusia pada umumnya 2Deny Lukman Hadi,Asas-Asas Hukum Jaminan Fidusia, Liberty, Yogyakarta, 2011, hal. 76 3Sri Soedewi Masjoen Sofyan,Hukum dan Jaminan Perorangan,Liberty, Yogyakarta, 1995, hal. 40

(3)

berawal dari adanya perjanjian hutang-piutang antara kreditur dengan debitur dimana perjanjian pengikatan Jaminan Fidusia itu bertujuan sebagai tindakan antisipasi bagi kreditur apabila ternyata debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk melunasi hutangnya sebagaimana yang telah termuat dan disepakati dalam perjanjian utang piutang tersebut. Adanya kewajiban menyerahkan sesuatu hak kebendaan barang bergerak kepada pihak lain, membuktikan bahwa perjanjian pengikatan Jaminan Fidusia merupakan perjanjian yang bersifat kebendaan (zakelijk).4 Tidak berbeda dengan jaminan kebendaan yang lain, Jaminan Fidusia lahir dari terwujudnya perjanjian utang piutang yang diikuti dengan perjanjian secara fidusia. Para sarjana pada umumnya menyepakati sifat perjanjian Jaminan Fidusia yang accesoir yang menginduk pada perjanjian utang piutang selaku perjanjian pokoknya. Namun demikian ada sebagian sarjana yang menyanggupi perjanjian tersebut sebagai perjanjian yang berdiri sendiri, sehingga lahir dan berakhirnya penyerahan hak milik secara fidusia harus melalui perbuatan hukum itu sendiri. Mengingat bentuknya, perjanjian fidusia lazimnya dituangkan dalam bentuk tertulis, bahkan tidak jarang dituangkan dalam akta notaris dengan tujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum kreditur.

Perjanjian fidusia dilakukan secara tertulis dengan tujuan agar kreditur pemegang fidusia demi kepentingannya akan menuntut cara yang paling mudah untuk membuktikan adanya penyerahan jaminannya tersebut terhadap debitur. Hal paling

4Mariam Darus Badrulzaman,KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan dan Penjelasannya, Bandung, Alumni, 1993, hal. 92

(4)

penting lainnya dibuatnya perjanjian fidusia secara tertulis adalah untuk mengantisipasi hal-hal diluar dugaan dan diluar kekuasaan manusia seperti debitur meninggal dunia, sebelum kreditur memperoleh haknya. Tanpa akta Jaminan Fidusia yang sah akan sulit bagi kreditur untuk membuktikan hak-haknya terhadap ahli waris debitur.5

Menurut Pasal 5 ayat (1) UUJF No. 42 Tahun 1999 bahwa, “Pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia”. Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) UUJF No. 42 Tahun 1999 terhadap pembuatan akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut di atas dikenakan biaya yang besarnya diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 11 ayat (1) UUJF No. 42 Tahun 1999 menyebutkan bahwa, “Benda dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan”. Pendaftaran akta fidusia dilakukan dengan melalui sistem online sebagaimana diatur di dalam Permenkumham Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik dimana pada Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa, “Pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik adalah pendaftaran Jaminan Fidusia yang dilakukan oleh pemohon dengan mengisi aplikasi secara elektronik.Selanjutnya Pasal 2 ayat (1) Permenkumham Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik menyebutkan bahwa, “Pendaftaran fidusia secara elektronik meliputi a. pendaftaran permohonan jaminan fidusia, b.

5 Tiong Oey Hoey, Fudusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 47

(5)

pendaftaran perubahan Jaminan Fidusia dan c. penghapusan fidusia yang dilakukan melalui kios pelayanan pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik di seluruh kantor pendaftaran fidusia”. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa dalam pembebanan benda yang diikat dengan Jaminan Fidusia maka pembebanan tersebut wajib dilaksanakan dengan menggunakan akta autentik notaris secara manual, sedangkan pendaftaran akta Jaminan Fidusia tersebut dilaksanakan secara online

melalui sistem elektronik di kios-kios tempat pendaftaran Jaminan Fidusia secara elektronik tersebut.

Dalam fidusia debitur melakukan penyerahan benda bergerak secara hak kepemilikan dimana debitur tetap menguasai barang jaminan tersebut. Mengenai penguasaan ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yang pertama bila yang difudisiakan adalah barang-barang inventaris maka debitur menguasai barang jaminan atas dasar jaminan pinjam pakai dengan kreditur, yang kedua bila yang difudusiakan adalah barang-barang dagangan maka debitur menguasai barang jaminan atas dasar konsinyasi(consignatie)atau penitipan.6

Dalam pelaksanaan pelaksanaannya di masyarakat pengikatan objek agunan dengan menggunakan lembaga Jaminan Fidusia sering digunakan oleh bank maupun perusahaan-perusahaan pembiayaan kendaraann bermotor (mobil) dalam suatu perjanjian kredit. Pada prinsipnya dalam suatu perjanjian kredit baik oleh bank maupun oleh perusahaan pembiayaan, pengikatan objek agunan dengan

6 Gunadi Rahman, Pengertian Fidusia dan Pelaksanaannya dalam Perjanjian Kredit

(6)

menggunakan lembaga Jaminan Fidusia adalah dengan tujuan mengamankan aset bank/perusahaan yang diberikan kepada debitur melalui suatu perjanjian kredit dari resiko debitur tidak mampu mengembalikan hutang-hutangnya kepada pihak bank atau perusahaan pembiayaan tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan pengikatan objek agunan dengan menggunakan lembaga Jaminan Fidusia merupakan suatu perjanjian accesoir, dimana perjanjian kredit yang terlebih dahulu dilaksanakan sebagai perjanjian pokoknya.7

Di dalam dunia bank penyaluran kredit baik untuk kepentingan usaha maupun untuk kepentingan konsumtif dilaksanakan oleh bank kepada para nasabah peminjam dengan mewajibkan nasabah peminjam menyerahkan benda jaminan baik bergerak maupun tidak bergerak kepada bank untuk diikat sebagai Jaminan Fidusia dalam hal pengamanan penyaluran kreditnya. Salah satu jaminan yang sering digunakan bank dalam suatu perjanjian kredit tersebut adalah penyerahan benda bergerak dengan melaksanakan pembebanan Jaminan Fidusia yang diikat melalui suatu akta notaris serta didaftarkan secara online sesuai ketentuan Permenkumham Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pemberlakuan Pendaftaran Jaminan Fidusia Secara Elektronik.

Perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam pengamanan pemberian kredit tersebut sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Bank yang merupakan perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Perjanjian kredit

7Gunawan Widjaja & Ahmad Yani,Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 104

(7)

tidak ada pengaturannya apakah dilakukan secara tertulis atau lisan. Pada umumnya di dalam pelaksanaan pelaksanaan perjanjian kredit debitur yang mengajukan permohonan kredit kepada bank harus membuat permohonan kredit secara tertulis dan juga setelah kreditur tersebut telah disetujui oleh bank maka akan dilakukan perjanjian kredit juga dalam bentuk tertulis.

Perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia timbul karena adanya perjanjian pokok, yang berupa perjanjian hutang piutang /pinjam meminjam uang antara bank selaku kreditur dan debitur pemberi jaminan fidusia. Dengan demikian perjanjian Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan (accesoir) dari perjanjian pokok yang bergantung sepenuhnya terhadap perjanjian pokok. Apabila perjanjian pokok berakhir atau telah hapus maka perjanjian jaminan dengan sendirinya juga akan berakhir atau hapus.8

Barang-barang yang termasuk ke dalam benda bergerak yang dapat diikat dengan Jaminan Fidusia diantaranya adanya kendaraan bermotor, truck/alat-alat berat, peralatan kantor, emas, dan barang-barang berharga lainnya yang sifatnya bergerak (mobile). Perjanjian jaminan terhadap benda bergerak dalam suatu perjanjian kredit umumnya debitur sebagai pemilik jaminan tetap ingin mengusai bendanya untuk digunakan dalam menjalankan aktivitas dan kegiatan usahanya. Oleh karena itu menurut Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, bahwa pemberian fidusia dilakukan melalui proses yang disebut dengan “Constitutum Prossesorium”(penyerahan kepemilihan benda tanpa menyerahkan fisik bendanya).9

88 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 26

9Munir Fuady,Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 36

(8)

Perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia yang terjadi antara bank selaku kreditur dengan debitur pemberi Jaminan Fidusia dalam pelaksanaannya ada kalanya objek Jaminan Fidusia tersebut musnah karena sesuatu hal pada saat pelaksanaan perjanjian kredit antara bank selaku kreditur dan debitur pemberi Jaminan Fidusia masih berlangsung. Hal ini tentu menimbulkan permasalahan bagi pihak bank karena objek jaminan yang seharusnya dijadikan pegangan bagi bank dalam pengamanan penyaluran kreditnya maupun dalam hal pengambilan pelunasan piutangnya apabila debitur pemberi Jaminan Fidusia wanprestasi dalam melaksanakan pembayaran hutang-hutangnya kepada bank, tidak dapat lagi dieksekusi oleh pihak bank selaku kreditur karena telah musnah.

Dalam suatu perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia pada umumnya di dalam klausul perjanjian kredit yang telah disepakati oleh pihak bank selaku kreditur dan debitur pemberi Jaminan Fidusia bank mewajibkan debitur pemberi Jaminan Fidusia untuk mengasuransikan benda Jaminan Fidusia tersebut terhadap pihak ketiga yaitu pihak asuransi. Kewajiban mengasuransikan benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia adalah bertujuan untuk mengamankan objek Jaminan Fidusia tersebut dari resiko musnahnya benda Jaminan Fidusia akibat sesuatu hal yang diluar kekuasaan manusia(force majeure).

Syarat untuk mengasuransikan benda yang telah diikat dengan Jaminan Fidusia tersebut sudah merupakan syarat tambahan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha agar kreditnya dapat disetujui oleh bank yang memberikan pinjaman/kredit.

(9)

Oleh karena itu dalam mengantisipasi kemungkinan rusak atau hilangnya barang yang dijadikan objek Jaminan Fidusia akibat bencana alam atau kesengajaan dari pihak debitur pemberi jaminan fidusia, maka pihak bank selaku kreditur mengatisipasinya dengan cara menambahkan atau menyertakan perjanjian asuransi atas benda yang dijadikan objek Jaminan Fidusia dalam perjanjian kredit tersebut. Perjanjian untuk mengasuransikan benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia dalam suatu perjanjian kredit dilakukan saat pengikatan atau penandatanganan perjanjian kredit yang telah disepakati oleh para pihak yakni pelaku usaha sebagai debitur pemberi Jaminan Fidusia dan bank sebagai kreditur pemegang sertipikat jaminan fidusia.10

Pihak bank sebagai kreditur menyerahkan sepenuhnya terhadap debitur untuk memilih perusahaan asuransi yang akan digunakan dalam mengasuransikan benda yang yang dijadikan objek Jaminan Fidusia pada perjanjian kredit tersebut. Namun ada kalanya pihak bank sebagai kreditur telah menetapkan perusahaan asuransi sebagai tempat mengasuransikan benda yang telah dibebani Jaminan Fidusia tersebut. Tujuan diasuransikan benda yang dijadikan objek Jaminan Fidusia tersebut adalah untuk mengalihkan resiko kepada pihak ketiga yaitu pihak asuransi atas musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut. Dengan ditandatanganinya polis asuransi oleh debitur dan perusahaan asuransi dalam perjanjian asuransi, maka pihak debitur telah terikat untuk membayar sejumlah premi sedangkan pihak perusahaan asuransi

10HMN Purwo Sujipto,Pengantar Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid VIII (Asuransi), Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 27.

(10)

terikat untuk bertanggung jawab melakukan ganti rugi terhadap barang bergerak yang dijadikan objek Jaminan Fidusia apabila mengalami kerusakan atau musnah akibat bencana alam atau hal-hal yang diluar kekuasaan manusia(force majeure).11

Namun demikian ada juga musnahnya objek Jaminan Fidusia disebabkan oleh kesalahan dari debitur atau debitur dengan sengaja menghilangkan objek jaminan fidusia sehingga bank selaku kreditur tidak dapat lagi melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia tersebut dalam permasalahan dimana debitur pemberi Jaminan Fidusia melakukan kesalahan atau dengan sengaja mengakibatkan musnahnya Jaminan Fidusia sehingga tidak dapat lagi dieksekusi bank selaku kreditur. Apabila hal tersebut terbukti dalam penyelidikan pihak asuransi maka pihak asuransi tidak akan melakukan ganti rugi terhadap objek jaminan fidusia yang telah diasuransikan tersebut. Tanggung jawab terhadap penggantian objek jaminan fidusia tersebut sepenuhnya berada di tangan debitur pemberi jaminan fidusia.

Dalam hal ini debitur wajib mengganti objek jaminan fidusia dengan nilai yang sama dengan objek jaminan fidusia yang telah musnah sebelumnya tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam musnahnya objek jaminan fidusia dapat dibedakan menjadi dua bagian besar yaitu :

1. Musnahnya objek Jaminan Fidusia disebabkan bukan karena kesalahan dari debitur pemberi jaminan fidusia atau diluar kekuasaan pemberi Jaminan Fidusia(force majeure).

(11)

2. Musnahnya objek Jaminan Fidusia disebabkan karena kesalahan sepenuhnya dari debitur pemberi Jaminan Fidusia atau debitur pemberi jaminan fidusia dengan sengaja memusnahkan atau menghilangkan objek jaminan fidusia tersebut sehingga tidak dapat lagi dieksekusi oleh bank selaku kreditur pemegang jaminan fidusia.

Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur sebagai berikut :

(1) Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut : a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;

b. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima Fidusia; atau c. Musnahnya Benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia.

(2) Musnahnya Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b.

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia mengatur tentang pengecualian terhadap pembebanan jaminan atas benda atau piutang yang diperoleh dengan perjanjian jaminan tersendiri yaitu pada huruf (b) yaitu Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia diasuransikan. Jika mengkaji Pasal 25 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia tersebut di atas, maka tidak jelas atau adanya kekaburan pengaturan tentang indikator musnahnya Jaminan Fidusia dan lebih lanjut juga terjadi ketidakjelasan pengaturan tentang tanggung jawab pihak-pihak dalam perjanjian khususnya dalam hal perjanjian kredit di bank. Selain itu, tidak jelas perlindungan hukum bagi para pihak karena musnahnya jaminan fidusia. Dengan demikian, penting untuk melakukan penelitian terkait dengan adanya kekaburan

(12)

norma (Vague van Normen) terhadap tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda Jaminan Fidusia dalam perjanjian kredit bank.12

Apabila pada saat pelaksanaan perjanjian kredit antara debitur pemberi Jaminan Fidusia dan bank selaku kreditur masih berlangsung, sedangkan objek Jaminan Fidusia yang dijaminkan dalam perjanjian kredit tersebut telah musnah, maka sesuai ketentuan yang telah termuat baik dalam perjanjian kredit maupun dalam perjanjian polis asuransi maka pihak yang menanggung resiko atas musnahnya benda Jaminan Fidusia tersebut adalah pihak perusahaan asuransi. Meskipun dalam UUJF No. 42 Tahun 1999 tidak diatur secara tegas dan jelas tentang akibat hukum apabila benda yang dijadikan objek Jaminan Fidusia musnah karena hal-hal yang berada di luar kekuasaan manusia.

UUJF No. 42 Tahun 1999 khususnya pada Pasal 25 hanya mengatur tentang hapusnya Jaminan Fidusia apabila hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia, pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima Fidusia dan musnahnya benda yang menjadi Objek Jaminan Fidusia. Dengan demikian dapat dikatakan Jaminan Fidusia akan hapus apabila benda yang dijadikan objek Jaminan Fidusia telah musnah namun demikian ketentuan Pasal 25 ayat (2) UUJF No. 42 Tahun 1999 mengatur secara jelas bahwa musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meskipun objek Jaminan Fidusia telah musnah yang mengakibatkan hapusnya Jaminan Fidusia

12 Hartoni Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, 2010, hal. 18

(13)

namun debitur pemberi Jaminan Fidusia tetap memiliki hak untuk menuntut pihak asuransi mengganti kerugian atas musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut didasarkan kepada perjanjian asuransi yang telah dilaksanakan oleh pihak debitur pemberi Jaminan Fidusia dengan pihak perusahaan asuransi tersebut. Oleh karena itu musnahnya benda Jaminan Fidusia tidak menghapus klaim asuransi terhadap perusahaan asuransi yang menjadi hak dari debitur pemberi Jaminan Fidusia atas objek Jaminan Fidusia yang telah musnah tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pengikatan jaminan fidusia dalam suatu perjanjian kredit bank? 2. Bagaimanakah tanggung jawab debitur benda jaminan fidusia yang musnah

dalam perjanjian kredit bank?

3. Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap musnahnya benda Jaminan Fidusia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui praktek pelaksanaan pengikatan jaminan fidusia dalam suatu perjanjian kredit bank

(14)

2. Untuk mengetahui tanggung jawab debitur benda jaminan fidusia yang musnah dalam perjanjian kredit bank

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank terhadap musnahnya benda Jaminan Fidusia

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atas kegunaan baik secara teoritis dan praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para akademisi maupun masyarakat umum serta diharapkan dapat memberikan manfaat guna menambah khasanah ilmu hukum secara umum dan pembebanan Jaminan Fidusia serta pendaftarannya serta bagaimana pertanggung jawaban dan perlindungan hukum terhadap para pihak berkaitan dengan musnahnya objek Jaminan Fidusia secara khusus dalam suatu perjanjian kredit bank.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Bank dalam mengantisipasi apabila objek Jaminan Fidusia tersebut musnah dalam masa perjanjian kredit dan bagaimana pertanggung jawaban debitur serta perlindungan hukum bagi para pihak tersebut dalam perjanjian kredit bank;

b. Sebagai informasi dan inspirasi bagi para praktisi bank dalam melaksanakan perjanjian kredit dengan menggunakan Jaminan Fidusia dimana objek

(15)

Jaminan Fidusia tersebut musnah dalam masa perjanjian kredit tersebut berlangsung;

c. Sebagai bahan kajian bagi masyarakat yang dapat mengambil poin-poin atau modul-modul pembelajaran dan penelitian ini dan diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dalam pelaksanaan perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia dalam suatu perjanjian kredit bank apabila objek Jaminan Fidusia tersebut musnah dalam masa perjanjian kredit tersebut.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan Sekolah Pasca Sarjana universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian yang dilakukan dengan judul “Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank” belum pernah dilakukan, namun demikian terdapat beberapa judul yang membahas tentang perjanjian tanpa agunan, antara lain oleh:

1. Kemala Atika Hayati, 097011042/MKn, dengan judul tesis “Perlindungan Hukum Kreditor Pemegang Jaminan Fidusia Terhadap Eksekusi Yang Diumumkan Oleh Kreditor Lain Atas Debitor Yang Dinyatakan Pailit”.

Pemasalahan yang dibahas :

a. Bagaimanakah kedudukan benda Jaminan Fidusia dengan pailitnya pemberi fidusia pada Bank CIMB Niaga?

(16)

b. Bagaimana kedudukan penerima fidusia (kreditur) pemegang Jaminan Fidusia yang pemberi fidusianya pailit pada Bank CIMB Niaga?

c. Bagaimana eksekusi benda jaminan yang memberi fidusianya pailit pada Bank CIMB Niaga?

2. Mirza Prima Kusumaningayu NIM. 127011166 /M.Kn dengan dengan judul tesis, “Perlindungan Hukum Kreditur Pemegang Hak Fidusia Terhadap Objek Jaminan Fidusia Yang Disita Pengadilan Berkaitan Dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 1607 K/PID.SUS/2012)” Pemasalahan yang dibahas

a. Bagaimana kriteria penilaian kreditur terhadap debitur yang dipandang layak dalam suatu perjanjian kredit mobil yang diikat dengan jaminan fidusia? b. Bagaimana status hukum objek Jaminan Fidusia yang dirampas/disita oleh

negara melalui suatu putusan pengadilan berkaitan dengan kasus tindak pidana pencucian uang dalam hal debitur tidak mampu membayar hutangnya? c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur penerima Jaminan Fidusia

terhadap objek Jaminan Fidusia yang disita oleh negara melalui putusan pengadilan berkaitan dengan kasus tindak pidana pencucian uang?

3. Martinus Tjipto, NIM. 077011079/MKn, dengan judul tesis “Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Dalam Perjanjian Fidusia Secara Di Bawah Tangan (Penelitian Pada PT Olympindo Multi Finance Cabang Medan Dan PT ORIX Indonesia Finance Cabang Medan)”.

(17)

Pemasalahan yang dibahas

a. Apakah faktor-faktor penyebab lembaga pembiayaan melakukan perjanjian fidusia yang dibuat secara di bawah tangan?

b. Bagaimana kedudukan hukum perjanjian fidusia yang dibuat secara di bawah tangan?

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditur dalam perjanjian fidusia yang dibuat secara di bawah tangan jika terjadi wanprestasi?

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi dasar perbandingan, pegangan teoritis.13 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman/ petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.14

Kerangka teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum. Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa

13M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80 14Lexy Molloeng, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal. 35

(18)

keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum iitu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hukum antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.15

Hukum pada hakikatnya adalah bersifat abstrak meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud konkret. Dalam suatu perjanjian kredit dengan menggunakan Jaminan Fidusia yang dilakukan oleh bank selaku kreditur dan debitur pemberi jainan fidusia pada prinsipnya agar kedua belah pihak memperoleh kepastian hukum atas perbuatan hukum yang telah dilakukannya. Pihak bank selaku kreditur pemegang sertipikat Jaminan Fidusia memperoleh kepastian hukum dalam hal mengamankan aset yang berupa penyaluran dana yang dilakukannya terhadap debitur pemberi Jaminan Fidusia dengan adanya pengikatan Jaminan Fidusia tersebut. Benda yang telah diikat dengan Jaminan Fidusia tersebut akan sepenuhnya berada di tangan penguasaan pihak bank selaku kreditur apabila dikemudian hari ternyata debitur pemberi hak tanggungan wanprestasi dalam melaksanakan kewajibannya untuk membayar hutang-hutangnya kepada bank selaku kreditur tersebut.

Disamping itu pihak debitur pemberi Jaminan Fidusia juga memperoleh kepastian hukum atas hak dan kewajibannya dalam suatu perjanjian kredit dengan

15Meter Mahmud Marzuki,Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008, hal. 158

(19)

pengikatan Jaminan Fidusia tersebut. Pihak bank selaku kreditur akan melakukan eksekusi terhadap objek Jaminan Fidusia apabila debitur pemberi Jaminan Fidusia wanprestasi dalam melaksanakan kewajibannya dan pihak bank selaku kreditur memiliki hak untuk mengambil pelunasan atas piutangnya kepada debitur pemberi Jaminan Fidusia dengan melakukan penjualan melalui lelang atas objek Jaminan Fidusia tersebut. Apabila ada sisa dari penjualan objek Jaminan Fidusia tersebut maka sisa penjualan tersebut wajib dikembalikan kepada debitur pemberi jaminan fidusia.

Dalam suatu perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia untuk memberikan perlindungan hukum kepada bank selaku kreditur atas objek Jaminan Fidusia tersebut maka bank selaku kreditur mewajibkan debitur pemberi Jaminan Fidusia untuk mengasuransikan objek Jaminan Fidusia tersebut kepada pihak ketiga (perusahaan asuransi) dengan tujuan melaksanakan pengalihan resiko dari pihak debitur pemberi Jaminan Fidusia maupun pihak bank selaku kreditur kepada pihak asuransi apabila dikemudian hari objek Jaminan Fidusia tersebut musnah akibat sesuatu hal yang berada disuatu kekuasaan manusia. Apabila objek Jaminan Fidusia tersebut ternyata dikemudian hari musnah akibat sesuatu hal yang berada di luar kekuasaan manusia maka pihak debitur pemberi Jaminan Fidusia memiliki kepastian hukum untuk menuntut (mengklaim) perusahaan asuransi dalam hal mengganti kerugian atas objek Jaminan Fidusia yang telah musnah tersebut.16

Pelaksanaan perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia yang diatur di dalam UUJF No. 42 Tahun 1999 tidak memuat ketentuan yang jelas dan tegas tentang hal

16Sri Rezeky Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal. 34

(20)

yang menyangkut musnahnya benda yang telah diikat dengan jaminan fidusia. UUJF No. 42 Tahun 1999 hanya mengatur tentang hapusnya perjanjian Jaminan Fidusia apabila hutang yang dijamin dengan Jaminan Fidusia tersebut telah lunas, hak atas Jaminan Fidusia dilepaskan oleh penerima fidusia atau benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia musnah. Dalam hal ini UUJF No. 42 Tahun 1999 tidak menjelaskan secara rinci bagaimana bila benda yang telah diikat dengan Jaminan Fidusia dalam suatu perjanjian kredit musnah, akan tetapi musnahnya benda Jaminan Fidusia tidak menghilangkan hak untuk menuntut klaim asuransi terhadap musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut.

Dari uraian di atas dapat dikatakan meskipun objek Jaminan Fidusia tersebut telah musnah namun pihak pemberi Jaminan Fidusia yang telah melakukan perjanjian asuransi terhadap objek Jaminan Fidusia tersebut kepada pihak ketiga yaitu perusahaan asuransi tetap memiliki hak untuk menuntut / mengklaim asuransi yang telah disepakati dan telah ditandatangani debitur pemberi Jaminan Fidusia dengan pihak perusahaan asuransi tersebut.17 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepastian hukum atas musnahnya benda Jaminan Fidusia terhadap perlindungan hukum bagi pihak debitur pemberi Jaminan Fidusia adalah debitur dapat melakukan tuntutan / klaim terhadap perusahaan asuransi untuk mengganti kerugian atas nilai ekonomi objek Jaminan Fidusia yang telah musnah tersebut. Apabila debitur pemberi Jaminan Fidusia tidak dapat lagi melunasi kewajibannya terhadap bank selaku kreditur maka pelaksanaan klaim / tuntutan ganti rugi atas objek Jaminan Fidusia

(21)

yang telah musnah tersebut dilakukan oleh debitur pemberi Jaminan Fidusia atas nama bank selaku kreditur, atau bank selaku kreditur juga berhak melakukan klaim / tuntutan atas objek Jaminan Fidusia yang telah musnah tersebut kepada perusahaan asuransi sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati di dalam polis asuransi tersebut.

Peristiwa musnahnya objek Jaminan Fidusia yang diakibatkan sesuatu hal yang berada di luar kekuasaan manusia tersebut akan menimbulkan suatu ketidakpastian hukum atas siapa yang bertanggung jawab terhadap musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut. Namun demikian dengan dilaksanakannya perjanjian asuransi terhadap objek jaminan fidusia, maka dalam hal ini telah terjadi pengalihan resiko dari pihak pemberi Jaminan Fidusia dan pihak bank selaku kreditur terhadap pihak ketiga yaitu perusahaan asuransi. Apabila objek Jaminan Fidusia tersebut musnah dikemudian hari pada saat perjanjian kredit masih berlangsung, maka kepastian pertanggung jawaban terhadap penggantian rugi atas objek Jaminan Fidusia yang telah musnah tersebut telah dialihkan kepada perusahaan asuransi sebagai perusahaan penanggung ganti rugi atas musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut.18

Dari uraian di atas dapat dikatakan meskipun UUJF No. 42 Tahun 1999 tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang pertanggung jawaban terhadap musnahnya objek jaminan fidusia, namun dalam pelaksanaan pelaksanaan perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia yang dilaksanakan oleh bank dalam upaya mengamankan

18 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 2003. hal. 125

(22)

objek Jaminan Fidusia tersebut dan memberikan kepastian hukum atas pertanggung jawaban musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut maka pihak bank sesuai dengan ketentuan peraturan tentang perjanjian kredit maka pihak bank mewajibkan debitur pemberi Jaminan Fidusia tersebut untuk mengasuransikan objek Jaminan Fidusia tersebut kepada pihak ketiga (perusahaan asuransi) agar kepastian siapa yang bertanggung jawab atas musnahnya benda Jaminan Fidusia tersebut menjadi jelas dengan dialilhkannya resiko kerugian terhadap pihak ketiga yaitu pihak perusahaan asuransi.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational defenition.19 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu :

1. Tanggung jawab adalah suatu keadaan dimana seseorang harus bertanggung jawab dalam hal terjadinya kerugian terhadap orang lain yang diakibatkan adanya unsur kesalahan oleh dirinya maupun semua orang, hewan dan benda lainnya yang berada dalam pengawasan dan perlindungannya.

19Sutan Reny Sjahdeini,Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para

(23)

2. Debitur adalah pihak yang berhutang ke pihak lain yang pada umumnya menerima sesuatu dari pihak lain (kreditur) yang dijanjikan debitur untuk dibayar kembali pada masa yang akan datang.

3. Kreditur adalah pihak (perorangan maupun kelompok organisasi, perusahaan) yang memiliki piutang kepada pihak lain yang disebut dengan debitur dalam bentuk benda atau uang dalam suatu perjanjian dimana diperjanjikan bahwa pihak yang berhutang tersebut akan mengembalikan hutangnya kepada pihak yang berpiutang (kreditur) dalam waktu tertentu sebagaimana termuat dalam perjanjian tersebut.

4. Musnah adalah suatu keadaan dimana suatu benda yang pada mulanya dapat kelihatan atau berwujud atau dapat digunakan dengan baik menjadi hilang / lenyap atau tidak dapat dipergunakan lagi sebagaimana mestinya.

5. Objek Jaminan Fidusia adalah benda bergerak yang dapat berupa mobil, sepeda motor, alat-alat kantor yang telah diikat dengan Jaminan Fidusia melalui suatu akta otentik notariil dan telah didaftarkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Perjanjian pengikatan Jaminan Fidusia adalah suatu perjanjian pengikatan barang bergerak sebagai objek Jaminan Fidusia yang dilakukan oleh bank selaku kreditur dengan menggunakan akta notaris dimana pemberi fidusia adalah konsumen selaku debitur dan penerima fidusia adalah perusahaan pembiayaan selaku kreditur dengan tujuan sebagai jaminan hutang dan

(24)

jaminan pelunasan hutang debitur apabila debitur tak mampu membayar hutangnya.

7. Perjanjian kredit adalah suatu kesepakatan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dalam bentuk akta di bawah tangan maupun autentik mengenai perjanjian pinjam meminjam sejumlah dana antara bank selaku kreditur dan debitur dimana di dalam perjanjian tersebut termuat suatu ketentuan hak dan kewajiban masing-masing pihak yakni penyaluran dana oleh bank selaku kreditur kepada debitur dan juga pembayaran pinjaman tersebut oleh debitur dalam jangka waktu tertentu dengan pengembalian secara angsuran hingga pinjaman tersebut lunas dibayar oleh debitur.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Dengan demikian metode penelitian dapat diartikan sebagai proses prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.20

Jenis penelitian ini adalah penelitian ilmu hukum normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan perundang-undangan yang berlaku mengenai hukum jaminan fidusia, ketentuan tentang perjanjian kreit

(25)

bank dengan Jaminan Fidusia dimana objek Jaminan Fidusia tersebut musnah pada masa perjanjian kredit tersebut berlangsung, dimana debitur pemberi Jaminan Fidusia wajib bertanggung jawab secara terbatas apabila musnahnya objek Jaminan Fidusia tersebut disebabkan karena kesalahan, kelalaianatau kekurang hati-hatian dari debitur pemberi Jaminan Fidusia dalam menjaga objek Jaminan Fidusia tersebut.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, maksudnya adalah dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci dan sistematis tentang permasalahan yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan analisa terhadap hal-hal yang bersifat umum (deduktif) untuk kemudian disimpulkan ke dalam hal-hal yang bersifat khusus induktif.21

2. Sumber Data

Data penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan bahan-bahan hukum primer, sekunder maupun tertier yang dikumpulkan melalui studi dokumen dan kepustakaan yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer yang berupa norma/peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum perjanjian pada umumnya dan hukum Jaminan Fidusia pada khususnya serta ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang pengaturan hukum musnahnya objek Jaminan Fidusia pada saat

(26)

perjanjian kredit tersebut berlangsung dimana debitur memiliki tanggung jawab terbatas atas musnahnya Jaminan Fidusia tersebut. Dalam penelitian ini bahan hukum primer adalah UUJF No. 42 Tahun 1999, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Bank, KUH Perdata.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa buku, hasil-hasil penelitian dan atau karya ilmiah hukum tentang hukum jaminan perjanjian pada umumnya dan hukum Jaminan Fidusia pada umumnya, serta ketentuan hukum lainnya yang berkaitan dengan pengaturan pertanggung jawaban debitur secara terbatas terhadap musnahnya objek Jaminan Fidusia dalam masa perjanjian kredit sebagaimana termuat di dalam KUH Perdata.

c. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia, dan lain sebagainya.22

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik dan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research). Alat pengumpulan data yang digunakan yaitu studi dokumen untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi, dan menganalisa data primer, sekunder maupun tertier yang berkaitan dengan penelitian ini.23

22Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum dalam Teori dan Praktek, Bumi Intitama Sejahtera, 2010, hal 16.

23Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2011, hal.8.

(27)

4. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.24Di dalam penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis, sistematisasi yang berarti membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.25 Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan baik melalui studi dokumen. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan dianalisis dan disistematisasikan secara kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk menyediliki, menemukan, menggambarkan dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari suatu penelitian yang dilakukan dengan cara menjelaskan dengan kalimat sendiri semua kenyataan yang terungkap dari data yang ada baik primer, sekunder maupun tertier, sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula yaitu mengenai tanggung jawab debitur terhadap musnahnya benda jaminan fidusia dalam suatu perjanjian kredit bank, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat dengan metode deduktif, yaitu melakukan penarikan kesimpulan diawali dari hal-hal yang bersifat umum untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, sebagai jawaban yang benar dalam pembahasan permasalahan yang terdapat pada penelitian ini.

24

Bambang Sunggono,Metode Penelitian Hukum,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, Hal 106.

Referensi

Dokumen terkait

a. Faktor horisontal : dipengaruhi oleh letak lintang geografis, jenis tanah, tingkat kelembaban dan curah hujannya. Di daerah iklim tropis flora dan fauna tersebar dalam jumlah

Tujuan dari penelitian ini adalah : (a) membuat mesin freezer (b) menghitung kerja kompresor mesin freezer persatuan massa refrigeran (c) menghitung energi kalor

Magang dilakukan dalam bentuk tim berisi maksimal 5 (lima) orang mahasiswa. Klien magang proyek berbadan hokum. Tema magang proyek terkait dengan tema Ilmu Komunikasi

Mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis dan inovatif dalam konteks pengembangan atau implementasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang memperhatikan dan menerapkan

Oleh karena itu Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), melalui Direktorat Pendidikan Agama Islam perlu membentuk

Implementasi Perda Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Dinas Kesehatan Kabupaten Kolaka Utara dalam Menciptakan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat yaitu dengan

AJAX bukanlah sebuah bahasa tersendiri melainkan sebuah teknik pemrograman yang menggunakan bahasa JS dan berfungsi untuk melakukan proses request secara

Penelitian yang berjudul “ H UBUNGAN ANTARA INTIMACY DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA DI SANGGAR KEGIATAN BELAJAR ( SKB ) KECAMATAN KALIBAGOR” penelitian ini