• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Peradilan Tata Usaha Negara. Terbentuk Pengadilan Tata Usaha Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Peradilan Tata Usaha Negara. Terbentuk Pengadilan Tata Usaha Negara"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Terbentuk Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang berdiri sendiri yang bertujuan sebagai kontrol terhadap Pejabat Tata Usaha Negara atau Aparatur Pemerintah dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat, agar tidak berbuat atau bertindak melanggar hukum yang

merugikan hak warga negara.1 Peradilan Tata Usaha Negara pada hakikatnya

merupakan suatu akibat atau konsekuensi logis dari asas bahwa pemerintah

harus didasarkan pada undang-undang (wetmatigheid van het bestuur). Bahkan,

dalam pengertian yang luas yaitu harus didasarkan pada hukum.2

Pengawasan segi hukum yang dilakukan oleh Badan Peradilan Tata Usaha Negara terhadap Pejabat Tata Usaha Negara atau Pemerintah baik dipusat maupun didaerah, merupakan hakikat kompetensi atau kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara yang bertujuan untuk menciptakan tata pemerintahan yang

baik (good governance).3 Kompetensi utama badan Peradilan Tata Usaha

Negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pengadilan bertugas dan

1 R. Soegijatno Tjakranegara, 2000, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia,

Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.22

2

Paulus Effendi Lotulung, 2013, Hukum Tata Usaha Negara dan Kekuasaan, Salemba Humanika, Jakarta, hlm.7

3 R.O.B. Siringoringo, et al, 2011, Menjawab Permasalahan Teori dan Praktik Peradilan Tata

(2)

berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara masyarakat dengan pemerintah yang ditimbulkan sebagai akibat ditetapkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang merugikan masyarakat atau

badan hukum perdata sebagai pihak pencari keadilan.4

Asas dari Hukum Tata Usaha Negara yang melandasi hukum Acara Tata

Usaha Negara adalah asas praduga rechtmatig atau vermoeden van

rechmatigheid atau praesumptio iustse causa artinya bahwa setiap tindakan

Penguasa atau Pemerintah selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada

pembatalan.5 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap keputusan Tata

Usaha Negara selalu dianggap sah, sampai ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang menerangkan bahwa keputusan Tata Usaha Negara itu dinyatakan batal atau tidak sah. Sebagai akibat dari adanya

asas vermoeden van rechmatigheid, maka setiap keputusan Tata Usaha Negara

yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara secara langsung dapat dilaksanakan, meskipun menurut pendapat orang atau badan hukum

4 Ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Lihat juga ketentuan pada Pasal 1 angka 9 dan 10 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Angka 9, yaitu “ keputusan tata usaha negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Dan Angka 10, yaitu “ sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

5 Philipus M. Hadjon dkk, 1995, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada

(3)

perdata yang merasa dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan tata usaha

negara tersebut terdapat cacat yuridis.6

Asas ini kemudian dipertegas dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tantang Peradilan Tata Usaha Negara, yang menjelaskan bahwa gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Pengecualian dari asas ini adalah penundaan pelaksanaan terhadap

suatu keputusan tata usaha negara.7

Perlindungan hukum kepada masyarakat pencari keadilan terhadap berlakunya Keputusan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan : “penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang

memperoleh kekuatan hukum tetap”.8

Tujuan penundaan yang terdapat dalam pasal ini adalah untuk memberikan perlindungan hukum dan jaminan bagi si Penggugat agar terhindar dari kerugian sebagai akibat dilaksanakanya Keputusan Tata Usaha Negara.

Permasalahan yang mendasar dalam perjalanan lembaga Peradilan Tata Usaha Negara berkaitan dengan eksekusi. Pada Peradilan Tata Usaha Negara,

6 R. Wiyono, 2013, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Ketiga, Sinar Grafika,

Jakarta, hlm.228-229

7

Ketentuan Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

8 Ketentuan Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

(4)

eksekusi tidak hanya terkait dengan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewisjde) akan tetapi

eksekusi terkait pula dengan penetapan penundaan pelaksanaan keputusan tata

usaha negara.9 Permasalahan yang terjadi adalah ketidakpatuhan Pemerintah

atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam melaksanakan penetapan penundaan PTUN.

Pemerintah atau Pejabat Tata Usaha Negara yang melaksanakan fungsi pemerintahan baik dilingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya, mempunyai fungsi sebagaimana dalam Pasal (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, pemberdayaan dan perlindungan. Pemerintah yang seharusnya memberikan pelayanan yang baik dan perlindungan hukum kepada masyarakat, sebagaimana tujuan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yaitu menciptakan kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan aparatur pemerintah, serta

memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga masyarakat.10

Seharusnya Pemerintah atau Pejabat tata Usaha Negara patuh terhadap perintah penetapan penundaan PTUN, bukan dengan melakukan hal yang sebaliknya yang berpotensi dapat merugikan hak warga masyarakat.

Sejak mulai efektif dioperasionalkannya Peradilan TUN hingga saat ini, eksistensi dan peran Peradilan TUN sebagai suatu lembaga peradilan yang

9

Asmuni, “ Eksekutabilitas Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara “, Perspektif Hukum, Vol. 16, No.1 Mei 2016, hlm.101-102.

10 Ketentuan dalam Pasal 1 poin 2 dan Pasal 3 huruf b, e, dan g Undang-undang Nomor 30 Tahun

(5)

mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang memeriksa, memutus, dan mengadili sengketa tata usaha negara melalui Putusan atau Penetapan. Dirasakan oleh berbagai kalangan belum dapat memberikan kontribusi dan sumbangsih yang memadai dalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat serta dalam menciptakan perilaku Pemerintah bersih, serta sadar akan tugas dan fungsinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat. Hal tersebut disebabkan masih terdapat Putusan atau Penetapan penundaan PTUN yang tidak

dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.11

Di Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya, setidaknya pada tahun 2014 – 2016, ada lima sengketa terkait ketidakpatuhan pada penetapan penundaan. Dua sengketa masih diproses di Pengadilan dan tiga sengketa lainnya sudah

mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht). Tiga sengketa tersebut, antara

lain : sengketa terkait pemilihan kepala desa Kedungrejo antara Asmunif melawan Panitia Pemilihan Kepala Desa Kedungrejo; sengketa terkait penutupan sendiri pasar Koblen antara PT.Dwi Budi Daya melawan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Surabaya; dan yang terakhir sengketa mengenai pengenaan denda administratif dan penutupan sendiri hotel cemara antara Hotel Cemara melawan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota

Surabaya dan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Surabaya.12

Permasalahan ketidakpatuhan pada perintah penundaaan sebagaimana yang terjadi di PTUN Surabaya memberikan dampak buruk pada citra

11 Titik Triwulandari dan Ismu Gunadi Widodo, 2014, Hukum Tata Usaha Negara dan Acara

Peradilan Tata Usaha Negara, Kencana, Jakarta, hlm.567

12 Wawancara dengan Penitera Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya, Nursyam B. Sudharsono

dan Panitera Muda Hukum PTUN Surabaya, H. Dwi Riyadi, serta Panitera Muda Perkara PTUN Surabaya, Andry Marsanto. ( 15 Maret 2017 ).

(6)

Pengadilan di mata masyarakat. Ketidakpatuhan pada perintah penundaan merupakan bentuk penghinaan terhadap kekuasaan peradilan tata usaha negara. Di Australia, Pejabat yang tidak mematuhi perintah Hakim bisa dituduh

melakukan contempt of court.13 Berbeda dengan Indonesia, meskipun perintah

penundaan tidak dipatuhi oleh Pejabat TUN, dari lima sengketa di PTUN Surabaya yang berujung pada ketidakpatuhan terhadap penundaan tidak ada

tuduhan sebagai contempt of court.

Ketidakpatuhan pada perintah penundaan tidak hanya terjadi pada akhir-akhir ini, bahkan jauh sebelumnya permasalahan ini sudah ada. sebagaimana menurut Ketua PTTUN Jakarta Soebijanto dalam Media Indonesia, pada tanggal 31 juli 1996 mencapai angka 60 persen. Ketua PTUN Jakarta Siahaan menyatakan dalam surat kabar Tiras, pada tanggal 15 Februari 1996 bahwa : “memang, pelaksanaan putusan final adalah masalah kecil. Tidak terlalu banyak putusan yang sudah dieksekusi karena baru sedikit yang sudah masuk

Mahkamah Agung. Masalah besarnya ada diperintah penundaan.14

Permasalahan ketidakpatuhan Pejabat TUN terhadap penetapan penundaan yang terjadi di PTUN sudah berlangsung sejak lama, bahkan sampai hari ini permasalah tersebut masih menjadi bahan pembicaraan dikalangan masyarakat. Problem eksekusi di Peradilan Tata Usaha Negara merupakan suatu gejala

yang bersifat umum sebagaimana dikatakan oleh Paulus Effendie Lotulung,15

bahwa masalah eksekusi diberbagai negara meskipun diatur dengan berbagai

13 Adriaan W Bedner, 2010, Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Huma, Jakarta, hlm.307 14

Ibid, hlm.305-306

15 Paulus Effendi Lotulung, 2003, Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia Dibandingkan

dengan Peradilan Administarsi yang Berlaku Diberbagai Negara dalam Mengkaji Kembali Pokok-Pokok Pikiran Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara, LPP-HAN, Jakarta, hlm.64

(7)

peraturan dan mekanisme, tetap tidak tersedia upaya paksa dari segi yurudis yang cukup efektif untuk memaksakan instansi atau pejabat yang bersangkutan agar mentaati isi putusan.

Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan petunjuk jika tergugat tidak patuh terhadap perintah penundaan pelaksanaan KTUN yang disengketakan, maka ketentuan Pasal 116 ayat (4), (5), dan (6) dapat dijadikan pedoman dan dengan menyampaikan tembusannya kepada: Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Kehakiman RI, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI ( Surat Menpan Nomor B.471/4/1991 tanggal 29 Mei 1991 tentang Pelaksanaan

Putusan Tata Usaha Negara).16 Ketentuan tersebut sebagaimana dalam Buku II

Pedoman Teknis Administrasi dan Pedoman Teknis Peradilan Tata Usaha Negara Edisi 2009 huruf r, bahwa penetapan penundaan yang tidak dipatuhi oleh tergugat, secara kasuistis dapat diterapkan Pasal 116 Undang-Undang PERATUN sebagaimana yang diterapkan terhadap putusan yang telah

berkekuatan hukum tetap.17

16 Ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 1991 Pada Angka Romawi VI,

Angka 4 tentang Petunjuk Pelaksanaan Beberapa Ketentuan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Ketentuan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yaitu : pada ayat (4), bahwa dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif; ayat (5), bahwa Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan ayat (6), bahwa Disamping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.

17 Ketentuan Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Pedoman Teknis Peradilan Tata Usaha

(8)

Usaha Mahkamah Agung mengeluarkan petunjuk sebagai upaya preventif untuk mencegah ketidakpatuhan Pejabat TUN terhadap penetapan penundaan, nampaknya belum maksimal dalam mencegah ketidakpatuhan Pejabat TUN terhadap penetapan penundaan. Hal tersebut dibuktikan bahwa hingga saat ini ketidakpatuhan Pejabat TUN terhadap penetapan penundaan masih terjadi pada Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya. Ketidakpatuhan Pejabat TUN terhadap penetapan penundaaan berdampak pada ketidakpastian hukum yang dirasakan oleh masyarakat pencari keadilan untuk mendapatkan perlindungan hukum. Permohonan penundaan yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan atau Mejelis Hakim menjadi tidak berarti, karena penetapan tersebut seolah-olah hanya menjadi kertas kosong yang tidak mempunyai kekuatan dalam penyelesaian sengketa.

Penundaan merupakan hal yang menimbulkan kontroversi.18 Sejak tahun

2009, Mahkamah Agung tidak pernah lagi mengeluarkan petunjuk atau surat edaran maupun perma mengenai penundaan. Hal tersebut berakibat pada ketidak jelasan mengenai aturan penundaan ini. Ada beberapa yurisprudensi yang menjawab permasalahan atau kekurangan dalam hal penerapan penundaan, namun hal tersebut tidak efektif dalam meminimalisir terjadinya ketidakpatuhan terhadap penetapan penundaan.

Lintong Oloan Siahaan,19 mengemukakan bahwa berbicara tentang

pelaksanaan putusan penundaan, berarti secara tidak langsung juga

18

Adriaan W Bedner, Op Cit, hlm.155

19 Lintong Oloan Siahaan, 2005, Prospek PTUN Sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa

Administrasi di Indonesia Studi tentang Keberadaan PTUN selama Satya Dasawarsa 1991-2001, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, hlm.235

(9)

membicarakan ketentuan-ketentuan hukum tentang bagaimana seharusnya putusan itu dilaksanakan. Undang-undang tidak mengatur secara khusus tentang pelaksanaan penundaan ini. Hal ini berkembang sendiri di dalam praktek dengan mempedomani segala ketentuan tentang hukum eksekusi. Seharusnya ada peraturan yang berskala nasional mengenai penundaan ini, agar dapat meminimalisir terjadinya ketidakpatuhan Pejabat TUN terhadap penetapan penundaan sehingga tercipta perlindungan hukum kepada masyarakat pencari keadilan sebagaimana tujuan dibentuknya Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apa faktor penyebab ketidakpatuhan Pejabat Tata Usaha Negara (Tergugat)

terhadap penetapan penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara?

2. Bagaimana seharusnya aturan mengenai penundaan (skorsing) pelaksanaan

keputusan tata usaha negara (beschikking) ke depannya?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam melakukan penelitian ini, adalah :

1. Untuk mengetahui dan mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan

ketidakpatuhan Pejabat Tata Usaha Negara (Tergugat) terhadap penetapan penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara.

2. Untuk memahami dan merumuskan aturan mengenai penundaan (skorsing)

(10)

depan, agar dapat memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat

pencari keadilan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran baik secara akademis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut :

1. Secara Akademis

Dari penelitian yang dilakukan ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam ilmu hukum, khususnya hukum administrasi negara atau tata usaha negara baik materill maupun formil dan lebih khusus

lagi terkait penundaan (skorsing) pelaksanaan keputusan tata usaha negara

(beschikking) dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara.

2. Secara Praktis

Dari penelitian yang dilakukan, diharapkan bermanfaat dan dapat memperkaya referensi yang dapat dijadikan masukan dan pertimbangan bagi para penegak hukum terutama hakim dan pengacara, para pencari keadilan, para mahasiswa serta masyarakat pada umumnya dalam menyelesaikan sengketa di PTUN terkait penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara.

E. Keaslian Penelitian

Sepengetahuan Penulis yang telah melakukan penelusuran di berbagai media, termasuk di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada maupun di perpustakaan lain serta penelusuran melalui media internet. Penulis

(11)

dapat kemukakan bahwa belum ada Tesis maupun penelitian yang spesifik

membahas mengenai Penundaan (Skorsing) Pelaksanaan Keputusan Tata

Usaha Negara (Beschikking) dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Tata

Usaha Negara.

Berdasarkan penelusuran penulis di Perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Atma Jaya, terdapat penelitian yang serupa yaitu Pertama,

penelitian yang berjudul “Pertimbangan Hakim dan Ketua Pengadilan dalam Memutus Permohonan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara Semarang” ditulis oleh Junirahardjo,SH, Y. Sri Pudyatmoko,SH, W. Riawan Tjandra,SH, R. Sigit Widiarto,SH, Laporan Penelitian pada Fakultas Hukum

Atma Jaya Yogyakarta.20 Penelitian tersebut mengkaji mengenai apa dasar

pertimbangan hakim dan ketua pengadilan melakukan penundaan atau tidak terhadap keputusan tata usaha negara yang disengketakan dan bagaimana proses yang terjadi dalam menetapkan penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara oleh pengadilan.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang penulis teliti, karena dalam penelitian ini hanya membahas tentang pertimbangan Hakim dan Ketua Pengadilan untuk melakukan penundaan atau tidak terhadap KTUN dan juga membahas mengenai proses yang terjadi dalam menetapkan penundaan. Sedangkan penelitian yang penulis teliti mengenai penyebab ketidakpatuhan Pajabat TUN terhadap penetapan penundaan dan penundaan seharusnya

20 Junirahardjo, Y Sri Pudyatmoko, W Riawan Tjandra, dan R Sigit Widiarto, 1996, Pertimbangan

Hakim dan Ketua Pengadilan dalam Memutus Permohonan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara Semarang, Penelitian, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta.

(12)

kedepan. Jelas penelitian ini berbeda, namun bisa dikatakan bahwa penelitian yang penulis teliti adalah penelitian lanjutan dari penelitian ini.

Kedua, penelitian Tesis, Sri Wahyu Adriani pada tahun 2015 Universitas Andalas Padang, yang berjudul Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Padang Dalam Menyelesaikan Permohonan Penundaan

Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara.21 Penelitian tersebut mengkaji

mengenai bagaimanakah proses pemeriksaan permohonan penundaan pelaksanaan KTUN oleh hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Padang, apa pertimbangan hukum hakim PTUN Padang dalam menyelesaikan permohonan penundaan pelaksanaan KTUN dan apa produk hukum yang dikeluarkan hakim PTUN Padang dalam menyelesaikan permohonan penundaan pelaksanaan KTUN.

Berdasarkan penelusuran tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian yang penulis lakukan berbeda dengan penelitian ini. Pada penelitian ini hanya membahas tentang proses pemeriksaan permohonan penundaan, pertimbangan hukum Hakim dalam menyelesaikan permohonan penundaan, dan produk hukum yang dikeluarkan oleh hakim PTUN Padang terkait permohonan penundaan. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan terkait untuk mengetahui dan mengkaji faktor penyebab ketidakpatuhan Pejabat Tata Usaha Negara (Tergugat) terhadap penetapan penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara dan untuk memahami dan merumuskan bagaimana seharusnya

21 Sri Wahyu Adriani, 2015, Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara

Padang Dalam Menyelesaikan Permohonan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara, Tesis, Universitas Andalas Padang, Padang.

(13)

penundaan (skorsing) pelaksanaan keputusan tata usaha negara (beschikking) ke depannya.

Ketiga, penelitian yang berjudul Eksekutabilitas Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara, oleh Asmuni pada Fakultas

Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya.22 Penelitian ini mengkaji tentang

masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan eksekusi penetapan penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara dan mengkaji tentang konsep pengaturan eksekusi penetapan penundaan pelaksanaan keputusan tata usaha negara ke depan yang dapat melindungi kepentingan pencari keadilan.

Penelitian ini berbeda dengan penelian yang penulis teliti, karena pada penelitian ini membahas tentang masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan eksekusi penetapan penundaan, sedangkan penelitian yang penulis teliti hanya terkait permasalahan ketidakpatuhan Pejabat TUN terhadap penetapan penundaan. Penelitian yang penulis juga lakukan adalah dengan mencari penyabab ketidakpatuhan Pejabat TUN, sedangkan pada penelitian ini tidak mencari penyebab masalah tetapi hanya mengemukakan saja. Pada penelitian yang penulis teliti juga terkait penundaan seharusnya kedepan, sedangkan penelitian ini hanya mengkaji pengaturan eksekusi penetapan penundaan kedepan. Penelitian yang penulis teliti, meneliti bukan hanya pengaturan eksekusi tetapi lebih dari itu. Jelas penelitian ini berbeda, namun penelitian yang penulis teliti bisa dikatakan lanjutan atau pelengkap dari penelitian yang sebelumnya.

22 Asmuni, 2016, Eksekutabilitas Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha

(14)

Diharapkan penelitian yang penulis teliti dengan tiga penelitian yang sebelumnya bisa saling melengkapi.

Referensi

Dokumen terkait

a) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman dibentuk dalam rangka menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum

eksekusi jenis kedua, maka diterapkanlah ketentuan Pasal 116 ayat (3) sampai dengan ayat (6), yaitu dengan cara adanya surat perintah dari ketua pengadilan yang ditujukan

Diharapkan Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Bandung selaku pihak tergugat dapat mematuhi dan melaksanakan isi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

(2) Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak

(1) Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) berisi kewajiban bagi tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9),

Berdasarkan ketentuan pasal 53 ayat 1 Undang-undang nomor 9 tahun 2004 yang menentukan: “orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan

Seperti yang terdapat dalam Pasal 116 ayat (2) “Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

(1) Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (11) apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna malaksanakan putusan Pengadilan