• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORITIK. A. Hakikat Pengadilan Tata Usaha Negara. sendiri berawal dari negara Perancis, suatu negara yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORITIK. A. Hakikat Pengadilan Tata Usaha Negara. sendiri berawal dari negara Perancis, suatu negara yang"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

37

BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. Hakikat Pengadilan Tata Usaha Negara

Asal mula lembaga Peradilan Tata Usaha Negara sendiri berawal dari negara Perancis, suatu negara yang menurut fakta sejarahnya merupakan pelopor kelahiran lembaga sejenis ini untuk pertama kali. Peranan negara ini terasa sampai sekarang. Antara lain negara ini berperan sebagai pemuka dalam “Association Internationale des

Houstes Jurisdictions Adminitrstives/International Assosiation of Supreme Administrative Jurisdictions”. Sejarah kelahiran Peradilan Administrasi di Perancis dimulai sekitar tahun 1790, dengan Undang-Undang tanggal 16 dan 24 Agustus 1790, yang memberi fungsi kepada Conseil d’Etat untuk bertindak sebagai lembaga pengawas (Judiciil Controle) terhadap administrasi atau pemerintah dan lembaga peradilan umum dilepaskan wewenangnya untuk memeriksa dan mengadili sengketa administrasi, dan saat

(2)

38

itulah dapat dikatakan sebagai awal mulanya penafsiran dari prinsip yang mengakibatkan lahirnya sistem Perancis tentang kontrol administrasi yang dilakukan oleh suatu Peradilan

Administrasi yang bebas dan terpisah.1

Pada mulanya Lembaga Conseil d’Etat merupakan satu-satunya lembaga Peradilan Administrasi dalam arti umum untuk seluruh Perancis, yang berarti bahwasannya semua sengketa administratif diadili oleh Conseil d’Etat kecuali sengketa-sengketa yang secara tegas diserahkan penyelesaiannya kepada badan-badan Peradilan Administrasi khusus lainnya. Akibatnya, beban lembaga Conseil d’Etat tiap hari kian banyak, sehingga pada tahun 1953 saja jumlah perkara yang diajukan kepada lembaga ini mencapai 26.000 perkara, yang mengakibatkan hal-hal tersebut justru sangat merugikan kepada semua pihak, sehingga perlu ditempuh jalan keluar untuk mengatasinya. Sebagai jalan keluarnya pada tahun 1953 dibentuklah apa yang kita kenal sekarang

1 Benjamin Mangkoedilaga. “Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara Suatu

(3)

39

sebagai “Tribunal Admnistratif”, yang berkedudukan di

daerah tersebut dan merupakan lembaga Peradilan

Administratif dalam tingkat pertama.2

Selanjutnya mengenai Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia awal mulanya dan merupakan tonggak sejarah berdirinya Peradilan Tata Usaha Negara yakni dengan adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian dilakukan perubahan dengan adanya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Selanjutnya dilakukan perubahan lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

2 Benjamin Mangkoedilaga. “Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara Suatu

(4)

40

Mengenai konsep rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya sudah lama dibicarakan bahkan pada tahun 1948 sudah dibicarakan tentang konsep rancangan hukum acara ini. Pada waktu itu, rancangan Undang-Undang ini disusun oleh Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, SH kira-kira pada tahun 1948 atas perintah Menteri Kehakiman Drs. Susanto Tirtoprodjo, SH di Yokyakarta sebelum ada penyerahan kedaulatan oleh

Belanda pada penghabisan tahun 1949.3

Pernah juga disusun rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dirumuskan dan

dimatangkan oleh Lembaga Pembinaan Hukum

Nasional/LPHN pada tanggal 10 Januari 1966, dan dipublikasi di dalam penerbitan 1 LPHN 1967. Tetapi

rancangan Undang-Undang tersebut belum sempat

dimajukan oleh pemerintah kepada DPR GR, oleh DPR pernah diusahakan sebagai unsul inisiatif oleh DPR GR

(5)

41

tahun 1967 tetapi rancangan tersebut gagal atau tidak dapat

menyelesaikan.4

Di tempat yang sama pernah juga dilaksanakan simposium dimana dalam simposium tersebut membahas konsep naskah rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional di Jakarta tanggal 5-7 Februari

1976.5

Kenginginan untuk segera membentuk Peradilan Tata Usaha Negara itu dipertegas lagi dalam pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia, Soeharto, di hadapan sidang pleno DPR pada tanggal 16 Agustus 1978 yang isinya tenta mekanisme untuk meratakan keadilan, yaitu :

4 http://makalah-perkuliah.blogspot.com/2013/06/sejarah-peradilan-tata-usaha-negara

(6)

42

1) Penyelesaian perkara seadil-adilnya dan secepat-cepatnya

2) Bantuan hukum untuk mereka yang kurang mampu

3) Segera akan dibentuknya Peradilan Tata usaha Negara

Lebih lanjut Presiden Soeharto mengirim surat kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia di Jakarta dengan Nomor: R.07/PU/V/1982, tanggal 13 Mei 1982 Perihal Ranangan Undang-Undang tentang Peradilan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Dimana isi surat tersebut pada pokoknya “untuk mohon dibiarakan dalam Sidang Dewan Perwakilan Rakyat guna mendapatkan persetujuan pada sidang 1981-1982. Selanjutnya untuk keperluan pembicaraan dalam persidangan

mengenai rancangan Undang-Undang tersebut kami

(7)

43

Kehakiman.6 Selanjutnya pada tahun 1986 pemerintah

mengajukan Rancangan Undang-Undang tersebut kepada DPR dan pada waktu itu DPR menyetujui.

Pada tanggal 29 Desember 1986 disahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 7 dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1986 oleh Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia Sudharmono, SH.

Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka ada angin segar tentang pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Sejak mulai efektif dioperasikan Undang-Undang tersebut pada tanggal 14 Januari 1991 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 Tentang Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang sebelumnya ditandai dengan diresmikannya tiga Pengadilan Tinggi Tata

(8)

44

Usaha Negara di Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang, serta lima Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta, Medan,

Palembang, Surabaya, dan Ujung Pandang.7 Maka sejak itu

terbentuklah Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia.

Kemudian seiring dengan berkembangnya maka semakin banyak pula dibentuk pengadilan di kota-kota lainnya. Sedangkan mengenai susunan Pengadilan Tata Usaha Negara terdiri atas Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris. Pimpinan Pengadilan terdiri atas seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua. Sedangkan Hakim anggota pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara adalah

Hakim Tinggi.8

7 Keppres Nomor 52 Tahun 1991 Tentang Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negaradi Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya, dan Ujung Pandang.

(9)

45

B. Objek Sengketa Pengadilan Tata Usaha Negara

Pengadilan Tata Usaha Negara sendiri adalah Pengadilan dalam lingkup hukum publik yang mempunyai

tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan sengketa Tata usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat maupun daerah sebagai akibat dikeluarkanya Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Subjek dan objek dari Peradilan Tata Usaha Negara sendiri adalah seseorang atau badan hukum perdata sebagai penggugat dan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai tergugat. Sementara itu yang menjadi objek di Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara.

(10)

46

Dilihat dari kedudukan para pihak dalam sengketa Tata Usaha negara, selalu menempatkan seseorang atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat Tata Usaha negara sebagai pihak tergugat. Mengenai Objek sengketa di Pengadian Tata Usaha Negara adalah keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan keputusan fiktif negatif berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu :

1. Keputusan Tata Usaha Negara.

Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menyatakan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara Yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final

(11)

47

yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

2. Keputusan Tata Usaha Negara Fiktif Negatif.

Objek sengketa Peradilan Tata Usaha Negara termaksud Keputusan Tata Usaha Negara yang fiktif negatif sebagaimana dimaksud Pasal 3 Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yaitu :

1. Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajiban maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

2. Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha

(12)

48

Negara tersebut dianggap telah menolak

mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

3. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menetukan jangka waktu maka setelah lewat jangka waktu 4 (empat) bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan.

Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak bisa dengan sendirinya, mau dikerjakan atau tidak dikerjakan karena sudah terang dan jelas kalau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam menjalan tugas, pokok, dan fungsinya dibatasi tentang penyelesaian suatu pekerjaan, sebagaimana yang sudah dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan, jika jangka waktu telah lewat sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau setelah lewat empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat

(13)

49

Tata Usaha Negara itu tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Oleh karena itu dalam hal sikap pasif Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak mengeluarkan keputusan itu dapat disamakan dengan keputusan tertulis yang berisi penolakan meskipun tidak tertulis dan memang tidak ada wujudnya atau dengan kata lain tidak ada barangnya. Keputusan demikian disebut keputusan fiktif negatif. Fiktif artinya tidak mengeluarkan keputusan tertulis dan memang tidak ada wujudnya, dan menurut penulis sikap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dapat dianggap telah mengeluarkan keputusan tertulis. Sedangkan negatif berarti karena isi keputusan itu berupa penolakan terhadap suatu permohonan yang diajukan oleh orang atau badan hukum perdata.

(14)

50

Jadi singkatnya mengenai keputusan fiktif negatif ini merupakan perluasan dari keputusan Tata Usaha Negara tertulis yang menjadi objek dalam sengketa Tata Usaha Negara. Oleh karena itu keputusan fiktif negatif juga merupakan objek sengketa Tata Usaha Negara.

C. Subjek Sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara

a. Penggugat

Penggugat adalah seorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berisi tuntutan menurut peraturan perundang-undangan. Isi dari tuntutan dari keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan yaitu menyatakan batal atau tidak sah dan Pejabat Tata Usaha Negara yang notabene sebagai tergugat untuk membayar ongkos atau biaya perkara di dalam sidang pengadilan.

(15)

51

Didalam persidangan Pengadilan Tata Usaha Negara, penggugat mengajukan terhadap penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang dijadikan objek gugatan selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.

b. Tergugat

Dalam hal orang atau badan hukum perdata mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara sudah pasti dalam gugatan menyebutkan siapa yang digugat. Tergugat sendiri adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.9

(16)

52

D. Asas-Asas Didalam Peradilan Tata Usaha Negara

Konsep negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut pemerintah atau eksekutif memeliki peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap perbuatan pemerintah untuk adanya check and balances. Salah satu bentuk kontrol atas tindakan pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Konsep atau ide dasar untuk membentuk peradilan administrasi sudah ada lama bahkan sebelum

kemerdekaan. Namun realisasi terhadap ide-ide

pembentukannya baru terwujud setelah diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara pada tanggal 29 Desember 1986, dan atas dasar Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 pemerintah menetapkan berlakunya Peradilan Tata Usaha Negara tersebut secara efektif pada tanggal 14 Januari 1991, kini Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 telah diubah

(17)

53

dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

a. Dalam melakukan proses berjalannya Peradilan Tata Usaha Negara terdapat beberapa asas-asas dalam

Peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri, yaitu10 :

1. Asas Praduga rechtmatig,yang mengandung

makna bahwa setiap tindakan pengusa selalu harus dianggap benar sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini, gugatan tidak menunda pelaksanaan Keputusan Tata usaha Negara yang dibuat.

2. Asas Pembuktian Bebas Hakim, yang menetapkan beban pembuktian. Hal ini berbeda dengan

10 Rozali Abdullah. “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara” CV Rajawali. Jakarta. 2002. Hal 23

(18)

54

ketentuan Pasal 1865 BW dengan ketentuan pada Pasal 100 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986.

3. Asas Keaktifan Hakim (dominus litis), keaktifan hakim dimaksud untuk mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak seimbang. Pihak tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menguasai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan dan atau dasar dikeluarkan keputusan yang digugat. Sedangkan pihak penggugat adalah orang-perorangan atau badan hukum perdata yang dalam posisi lemah, karena belum tentu mereka mengetahui betul peraturan perundang-undangan yang dijadikan sumber untuk dikeluarkannya keputusan yang digugat.

4. Asas putusan pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum mengikat (ergo omnes).

(19)

55

ranah hukum publik. Dimana akibat hukum yang timbul dari putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap akan mengikat tidak hanya para pihak yang bersengketa namun berdasarkan asas putusan tersebut akan mengikat siapa saja.11

5. Asas Peradilan Berjenjang. Jenjang peradilan dimulai dari tingkat yang paling bawah yaitu Pengadilan Tata usaha Negara, kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan puncaknya adalah Mahkamah Agung.

6. Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan. Asas ini menempatkan Pengadilan sebagai ultimatum remedium. Dalam

sengketa administrasi sedapat mungkin

diupayakan dulu penyelesaiannya melalui

musyawarah mufakat (upaya administratif),

11 Darda Syahrizal, SH “Hukum Administrasi Negara & Pengadilan Tata

Usaha Negara” Pustaka Yustisia. Yokyakarta. Cetakan Pertama 2012.

(20)

56

apabila musyawarah tidak mencapai mufakat, maka barulah penyelesaian melalui Peradilan Tata Usaha Negara dilakukan.

7. Asas Objektifitas. Untuk tercapai putusan yang

adil, maka hakim atau panitera wajib

mengundurkan diri apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat, atau penasihat hukum atau antara hakim dengan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat hubungan sebagaimana yang disebut diatas, atau

hakim atau penitera tersebut mempunyai

kepentingan langsung dan tidak langsung dengan sengketanya. (Pasal 78 dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara).

(21)

57

Dengan melihat apa yang ada di dalam asas-asas dalam Peradilan Tata Usaha Negara maka dapat dikatakan bahwa sebenarnya Undang-Undang telah memberikan berbagai kemudahan didalam mencari keadilan, namun demikian untuk mewujudkan asas-asas dan kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada pencari keadilan tersebut diatas agar terwujud dalam tataran praktek di Peradilan Tata Usaha Negara dan pemerintahan yang baik perlu adanya suatu komitmen bersama yg sungguh-sungguh bagi semua di lingkungan Peradilan.

E. Proses Pemeriksaan Persidangan

Setelah penggugat mengajukan gugatan ke

Pengadilan Tata Usaha Negara yang ditunjuk kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, maka langkah selanjutnya Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara menunjuk kepada hakim yang ada di Pengadilan Tata Usaha Negara yang terdiri dari satu Ketua Majelis Hakim dan dua anggota

(22)

58

Majelis Hakim, selanjutnya ditentukan pula Panitera. Selanjutnya ditentukan kapan dilakukan sidang, setelah ditentukan kapan tanggal dan hari sidang maka Panitera memanggil kepada para pihak.

Proses berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara pada pokoknya melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :

A. Pemeriksaan Pendahuluan :

1. Pemeriksaan administrasi di kepaniteraan perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara. Pemeriksaan pada surat gugatan seperti nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, pekerjaan, tempat kedudukan tergugat, dan pembayaran uang muka biaya perkara.

2. Dismissal prosedur oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986).

(1) “Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan denga suatu penetapan yang dilengkapi dengan

(23)

59

pertimbangan-pertimbangan bahwa

gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal :

a. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termaksud dalam wewenang Pengadilan.

b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi

oleh penggugat sekalipun ia telah

diberitahu dan diperingatkan.

c. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.

d. Apa yang dituntut dalam gugatan

sebenarnya sudah terpenuhi oleh

Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.

e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.

(24)

60

3. Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986). Dalam hal

pemeriksaan persiapan ini, merupakan

kewajiban yang harus dilakukan oleh Majelis Hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara, karena merupakan suatu kewajiban. Jadi pemeriksaan persiapan itu dilakukan hakim sebelum memeriksa pokok perkara dan dilakukan tidak dimuka umum. Dalam periode

pemeriksaan persiapan itu, dilakukan

pengumpuulan dokumen-dokumen atau

informasi-informasi resmi yang diperlukan yang berkaitan dengan sengketa yang sedang diperiksa oleh para pihak.

Mengenai ketentuan pemeriksaan persiapan diatur dalam pasal 63 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dalam pasal tersebut menyatakan :

(25)

61

Ayat (1) : “Sebelum pemeriksaan pokok sengketa

dimulai, Hakim wajib mengadakan

pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.”

Ayat (2) : “Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) Hakim :

a. Wajib memberi nasehat kepada penggugat

untuk memperbaiki gugatan dan

melengkapinya dengan data yang

diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari.

b. Dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat tata Usaha Negara yang bersangkutan.

Ayat (3) : “Apabila dalam jangka waktu sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) huruf a penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.

(26)

62

Ayat (4) : “Terhadap putusan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (3) tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.” Jadi ada kalanya penggugat atau kuasa hukum penggugat dalam membuat gugatan kurang jelas, maka hakim dalam hal ini mempunyai kewajiban untuk menyampaikan kepada Penggugat untunk melengkapi atau memperbaiki terhadap gugatannya sehingga gugatan menjadi terang dan jelas, artinya hakim wajib mengadakan pemeriksaan persiapan, bagi gugatan yang kurang lengkap maka hakim menyuruh kepada penggugat untunk melengkapi gugatan dan untuk gugatan yang ada kekeliruan atau salah maka hakim wajib membri nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki.

Mengenai jangka waktu untuk memperbaiki gugatan tersebut yang diberikan oleh Undang-Undang adalah 30 hari, namun jika dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh Undang-Undang sedangkan penggugat tidak melakukan perbaikanterhadap gugatan dan bahkan penggugat entah

(27)

63

kemana perginya maka dalam hal keadaan yang demikian itu hakim dapat menyatakan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.

Untuk putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena penggugat tidak dapat melakukan perbaikan terhadap gugatan sedangkan waktu yang telah diberikan Undang-Undang telah habis, maka penggugat tidak dapat melakukan upaya hukum namun langkah yang dapat ditempuh oleh penggugat adalah dengan mengajukan gugatan baru.

Sedangkan untuk tergugat pada saat pemeriksaan persiapan biasanya hakim meminta keterangan kepada tergugat. Mengenai permintaan keterangan kepada tergugat ini biasanya berkaitan dengan apakah objek gugatan yang merupakan keputusan Tata Usaha Negara merupakan keputusan yang dikeluarkan oleh tergugat, kemudian dokumen-dokumen resmi yang berkaitan dengan keputusan yang disengketakan.

(28)

64

B. Pemeriksaan Persidangan :

1. Pembacaan Gugatan (Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986) “Pemeriksaan sengketa dimulai dengan

membaca isi gugatan dan surat yang memuat jawabannya, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya.”

2. Pembacaan Jawaban (Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986) “Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membaca isi gugatan dan surat yang memuat jawabannya, pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan jawabannya.”

3. Replik (Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986) “penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatan hanya samapai dengan replik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan

(29)

65

kepentingan tergugat, dan hal tersebut harus diperhatikan dengan saksama oleh hakim.” 4. Duplik (Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986) “Tergugat dapat mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik, asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat dan hal tersebut harus

dipertimbangkan dengan saksama oleh

hakim.”

5. Pembuktian (Pasal 100 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986) yang dapat dijadikan alat bukti di dalam persidangan adalah sebagai berikut : Surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, pengetahuan hakim,

6. Kesimpulan (Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986) “Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan,

(30)

66

kedua belah pihak diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan masing-masing.”

7. Putusan (Pasal 108 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986)

(1) Putusan pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

(2) Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu Putusan Pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu disampaikan denga surat tercatat kepada yang bersangkutan.

(3) Tidak dipenuhinya ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakibat putusan Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

(31)

67

Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai Pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di

persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau

menyelesaikan suatu perkara atau masalah antar pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh Hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim12.

Putusan akhir dalam suatu sengketa yang diputuskan oleh hakim yang memeriksa dalam persidangan umumnya mengandung sanksi berupa hukuman terhadap pihak yang dikalahkan dalam suatu persidangan di pengadilan. Sangsi hukuman ini baik dalam Hukum Acara Perdata maupun Hukum Acara Pidana pelaksanaannya dapat dipaksakan kepada para pelanggar hak tanpa pandang bulu, hanya saja bedanya dalam Hukum Acara Perdata hukumannya berupa pemenuhan prestasi dan atau pemberian ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan atau yang dimenangkan dalam persidangan pengadilan dalam suatu sengketa, sedangkan

12 Sudikno Mertokusumo. 1998. Hukum acara Perdata Indonesia. Yogjakarta:. Liberty.hal 210

(32)

68

dalam Hukum Acara Pidana umumnya hukumannya penjara dan atau denda13.

Tujuan suatu dimuka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, artinya putusan hakim yang tidak dapat diubah lagi. dengan putusan ini, hubungan antara kedua Belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selama-lamanya dengan maksud supaya apabila tidak ditaati secara sukarela, dipaksakan dengan bantuan alat -alat Negara (dengan kekuatan umum).

F. Eksekusi Putusan Tata Usaha Negara

Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk untuk

menegakan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan

kepastian hukum sehingga dapat memberikan

pengayoman kepada masyarakat khusunya dalam hubungan antara Badan atan Pejabat Tata Usaha Negara dan masyarakat dalam hal pelaksanaan eksekusi terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah

13 Sarwono. 2011. Hukum Acara Perdata Toeri dan Praktik. Jakarta: Sinar Grafika. hal 2011.

(33)

69

berkekuatan hukum tetap secara terang dan jelas diatur dalam pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan mengalami perubahan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Dalam Pasal 116 tersebut menyatakan :

1. Salinan putusan Pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari kerja.

2. Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan

Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diterima tergugat tidak melaksanakan

kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara

(34)

70

yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

3. Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan

kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

4. Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi administratif.

5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan

(35)

71

diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

6. Disamping diumumkan pada media cetak setempat

dimaksud pada ayat (5), Ketua Pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan Pejabat tersebut melaksanakan

putusan pengadilan, dan kepada lembaga

perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.

7. Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis

sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa atau sanksi administratif diatur dengan peraturan Perundang-Undangan.

(36)

72

Dalam hal putusan Pengadilan berupa pengabulan gugatan (Pasal 97 ayat (7) huruf b), maka kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara meliputi:

a. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan.

b. Pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan yang baru.

c. Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

d. Membayar ganti rugi. e. Melakukan rehabilitasi.

Pasal 97 mengatur mengenai macam-macam bentuk putusan yaitu sebagai berikut: (7) Putusan Pengadilan dapat berupa:

a. gugatan ditolak b. gugatan dikabulkan

(37)

73 c. gugatan tidak diterima d. gugatan gugur

Dengan adanya ketentuan tersebut sebenarya sudah tidak ada kendala lagi dalam pelaksanaan eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, namun dalam hal tidak dipatuhi oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara ini salah satu faktor yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak bisa berjalan sesuai yang diharapkan.

Seperti yang terdapat dalam Pasal 116 ayat (2) “Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang dimaksud pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.” Yang dimaksud dalam ayat (2)

(38)

74

tidak mempunyai kekuatan hukum lagi adalah, suatu kebijakan hukum yang dibuat oleh Pejabat Tata Usaha Negara yang disengketakan, dimana setelah 60 (enam puluh) hari kerja kebijakan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Dalam contoh kasus diatas mengenai pembayaran gaji penggugat permasalahannya terletak pada Pejabat Tata Usaha Negara, karena yang berhak mengeksekusi putusan tersebut kembali lagi kepada Pejabat tata Usaha negara itu sendiri.

Pasal 116 ayat (3) dalam hal penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar

memerintahkan tergugat melaksanakan putusan

pengadilan tersebut masih menemui kendala, jika tergugat dalam hal ini Pejabat Tata Usaha Negara masih mempertahankan agar tidak mengeksekusi putusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara, maka akan berdampak pada ayat (4), (5), (6), dan (7).

Memang dalam Pasal 116 ayat (4), (5), (6), dan (7) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 secara

(39)

75

terang dan jelas kalau Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi administratif ayat (4), diumumkan kepada media cetak setempat oleh Panitera ayat (5), diajukan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi ayat (6), dan besaran uang paksa ayat (7) namun demikian timbul

pertanyaan apakah peraturan perundang-undangan

tentang upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi administratif sudah dibuat ? jika belum ada peraturannya sulit dalam memberikan sanksi kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Pasal 116 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara ayat (4), apabila tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan tata usaha

(2) Dalam hal empat bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan

(2)Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak melaksanakan

Seperti yang dijelaskan pada KUHAP pada Pasal 263 ayat (1) terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari

Namun Pasal 116 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 memberikan penyelesaian secara otomatis, yaitu apabila dalam waktu

Ditentukan pada ayat (3) pasal 116 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 bahwa dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya mencabut Keputusan Tata

Eksekusi dapat diartikan suatu tindakan lanjut dalam hal melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht).Eksekusi putusan

Pasal 116 ayat 3 sampai ayat 5, 6 dan ayat 7 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dikaitkan dengan kedudukan Kepala Daerah menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, dimana baik Daerah