• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kekuasaan Kehakiman 1. Kekuasaan Kehakiman - ADE YIYIT SUTANTO BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kekuasaan Kehakiman 1. Kekuasaan Kehakiman - ADE YIYIT SUTANTO BAB II"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Kekuasaan Kehakiman 1. Kekuasaan Kehakiman

Kemerdekaan kekuasaan kehakiman (Selanjutnya akan disebut dengan istilah independensi) memang sudah sejak lama dipandang perlu dalam sistem peradilan, tetapi konsep tersebut tidak memperoleh perhatian yang cukup berarti dalam praktiknya. Namun demikian, indepedensi kekuasaan kehakiman sebagai suatu konsep telah mendapat perhatian penuh dan menjadi bahan kajian (Ahmad Kamil, 2012: 206).

Berkembangnya kekuasaan kehakiman tidak terlepas dari peran dan organisasi internasional seperti Internasional Commision of Jurist yang berhasil mengajukan dokumen Milan Principles yang diadopsi oleh sidang umum United Nations pada tahun 1985. Pada tingkat regional, Komite Menteri pada Dewan Eropa menerima Recommendation on the Indepedence, Efficiency, and the Role of Judges, dan kemudian diadopsi oleh Dewan Uni-Eropa pada tahun 1998 dengan sebutan European Chaier on the Statute for Judges (Djohansyah, 2008:123).

(2)

mempertimbangkan prinsip-prinsip independensi kekuasaan kehakiman yang telah diadopsi oleh United Nations dalam setiap pembuatan peraturan perundang-undangan mereka. Pada dasarnya negara-negara di dunia mengakui pentingnya independensi kekuasaan kehakiman untuk diterapkan di negara masing-masing tentunya berdasarkan landasan teoritis dan filosofis masing-masing negara. Secara umum pendekatan teoritis tentang independensi kekuasaan kehakiman, seputar ajaran kepastian hukum dan keadilan hukum (Ahmad Kamil, 2012: 207).

Macdonald, Matscher dan Petzold, dalam bukunya yang berjudul “

The euoropean System for the Protection of Human Rights”(1993).

sebgaimana dikutip Jimmly Asshidiqieu: “ Indepedence judicary is a fundamental requierement for democracy. Within this undestanding is the nation that judicial indepedence must first exist in relation to the executive and in relation to the parties. It must also involve indepedence in relation to the legislative powers as well as in relation to political, economic, or social pressure groups.

(3)

Kekuasaan Kehakiman adalah ciri pokok dari negara hukum (rechtsstaaat) dan prinsip the rule of law. Dalam catatan sejarah, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, perkembangan lembaga kekuasaan kehakiman dapat dikatakan sangat bergantung pada keinginan baik (political will) pembuat Undang-undang atau rezim yang berkuasa. Desain kelembagaan maupun status dan kedudukannya amat ditentukan oleh siapa yang memerintah. Jika sang penguasa menghendaki agar lembaga kekuasaan kehakiman berada di bawah pengaruhnya, kekuasaan kehakiman pun tidak dapat berbuat banyak. Hal itu semakin mengkristalkan jika konstitusi tidak secara eksplisit menjamin kemandirian dan imparsialitas kekuasaan kehakiman (Komisi Yudisial, 2014:4).

(4)

Karena independensi kekuasaan kehakiman adalah sebuah ide yang kompleks, tidak semata-mata sebagai sesuatu nilai, tetapi sebagai instrumen yang bermanfaat untuk mengejar nilai-nilai lain yang lebih tinggi, yaitu rule of law. Kompleksitas pemikiran tentang independensi kekuasaan kehakiman terjadi karena pemikiran tersebut tidak dapat dilepaskan dari ide lain dalam masyarakat, khususnya mengenai kekuasaan kehakiman dan fungsinya. Ide-ide tersebut, termasuk ide mengenai independensi kekuasaan kehakiman digambarkan seperti matriks yang saling berkaitan.

Franken, (1997: 9,10) ahli hukum Belanda, menyatakan bahwa indepedensi kekuasaan kehakiman dapat dibedakan ke dalam 4 (empat) bentuk yaitu :

a. Indepedensi Konstitusional (Constitusionale Onafhan Kelikjheid). b. Indepedensi Fungsional (Zakelijke of Functionale Onafhankelijekheid). c. Indepedensi Personal Hakim (Persoonlijke of Rechtspositionale

Onafhankelijekheid).

d. Indepedensi Praktis yang Nyata (Praktische of Feitelijke Onafhankelijekheid).

(5)

Independensi fungsional berkaitan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh hakim ketika menghadapi sengketa dan harus memberikan suatu putusan. Independensi hakim berarti bahwa setiap hakim boleh menjalankan kebebasannya untuk menafsirkan Undang-undang apabila Undang-undang tidak memberikan pengertian yang jelas. Karena bagaimanapun hakim mempunyai kebebasan untuk menerapkan isi Undang-undang pada kasus atau sengketa yang sedang berjalan.

Independensi hakim adalah mengenai kebebasan hakim secara individu ketika berhadapan dengan suatu sengketa. Brenninkmeijer mengatakan bahwa: “ De zakelike onafhankelijekheid moet worden gezien als een uitvloeisel van de persoonlijke onafhankeljkeheid. Ik denk dat men eerder van het omgekerde kan spreken, aangeizen de zakelijke onafhankelijkheid direct betrekking heeft of de invulling van de Constitusionele toegedachte taken.”(franken, H. 1997: 41).

Independensi fungsional harus dilihat sebagai hasil dari indepedensi personal hakim. Saya berpendapat bahwa orang dapat saja berbicara lebih dahulu secara kebalikannya, melihat indepedensi personal memiliki hubungan langsung dengan tugas-tugas yang ditetapkan oleh konstitusi.”

(6)

norma-norma sosial ke dalam kehidupan bermasyarakat (Ahmad Kamil, 2012: 217).

Dalam transaksi politik di Indonesia pasca orde baru, memang terdapat perubahan mendasar kedudukan kekuasaan kehakiman di dalam UUD 1945 yang baru yang menandakan adanya transisi rezim ke demokrasi secara signifikan. Perubahan dimaksud dimuat dalam pasal 24 A ayat (1) yang berbunyi kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Ayat (2)- nya berbunyi kekuasaan kehakiman tidak hanya dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, tetapi juga oleh sebuah Mahkamah Konsitusi.

(7)

Kekuasaan kehakiman sejak awal kemerdekaan diniatkan sebagai cabang yang terpisah dari lembaga-lembaga politik seperti MPR/DPR dan Presiden. Dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan ditentukan “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan Undang-undang tentang kedudukan hakim”.

Terhadap dua pasal beserta penjelasannya itu Prof. Wirjono Prodjodikoro, S.H. memberikan pengertian sebagai berikut:

a. Bahwa ada Kekuasaan Kehakiman (Yudikatif) terlepas dari kekuasaan perundang-undangan (Legislatif) dan Kekuasaan pemerintah (Eksekutif).

b. Bahwa kekuasaan kehakiman ini adalah merdeka dalam arti terlepas dari pengaruh pemerintah.

c. Bahwa ada satu Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan tertinggi di Indonesia.

d. Bahwa adanya badan-badan pengadilan lain di Indonesia diserahkan pada Undang-undang untuk menentukannya.

e. Bahwa susunan dan kekuasaan in concerto dari Mahkamah Agung dan lain-lain badan pengadilan itu diserahkan kepada Undang-undang untuk mengaturnya.

(8)

dijamin kedudukan yang layak dari para hakim di tengah tengah masyarakat (Bambang Arumanadi, 1990:86).

Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu unsur kekuasaan di Indonesia selain kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Ketiga cabang tersebut bersinergi dan saling berhubungan satu sama lain baik dengan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) maupun pembagian kekuasaan (distribution power) (Jimmly Asshiddiqe, 2006:23).

Pemberian dan pembatasan kekuasaan dari lembaga-lembaga negara secara konstitusional tersebut dalam perkembangannya berevolusi dalam beragam bentuk dan mekanisme sesuai dengan dinamika politik dan ketatanegaraan suatu negara yang tergambar dalam konstitusi bangsa itu sendiri. Dalam hubungan antar lembaga negara dikenal adanya suatu mekanisme saling mengawasi dan saling mengimbangi (check and balances) diantara cabang kekuasaan negara tersebut dalam menjalankan kewenangannya.

(9)

would act as on each other” (2016: 78).

Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, pada Pasal 19 menyebutkan bahwa demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentigan masyarakat yang sangat mendesak, presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan. Tentu sangat jelas bahwa norma kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam penjelasan UUD 1945 tidak dapat diterjemahkan, meminjam bahasa laku dalam doktrin orde baru, pelaksanaan secara konsisten dan konsekuen dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964. Pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang merdeka sangat bergantung pada sistem dan corak politik kekuasaan yang berlangsung.

(10)

guna menegakan hukum dan keadilan”. Jaminan konstitusi yang kuat hadir untuk memastikan bahwa kekuasaan kehakiman merdeka dari campur tangan kekuasaan kehakiman.

Pembaharuan peradilan meliputi banyak agenda, mulai dari penyatuatapan, perbaikan sistem kepegawaian dan pengkajian, penerapan sistem informasi di pengadilan , dan lain sebagainya. Namun, kekuasan kehakiman belum sepenuhnya dipercaya hadir oleh masyarakat. Apabila pada masa lalu kekuasaan kehakiman tidak merdeka dari campur tangan kekuasaan lain, pada masa reformasi dunia peradilan justru dicurigai tidak merdeka secara oleh begitu banyak persoalan yang bisa terpicu secara eksternal (Komisi Yudisial, 2014: 289).

Di dalam dunia peradilan, prinsip-prinsip dasar kekuasaan kehakiman yang mandiri yang harus dihormati oleh setiap negara yang melakukan rule of law , antara lain meliputi:

(11)

b. Objective of the judiciary, tujuan peradilan adalah:

1) Menjamin setiap orang dapat hidup dengan aman dibawah the rule of law .

2) Meningkatkan penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia. 3) Melaksanakan hukum secara adil dalam sengketa antara sesama

warga masyarakat dan antar warga masyarakat dengan negara. c. Appoinment of Judges. Para hakim harus diangkat beradasarkan

kemampuannya yang nyata, integritas yang tinggi dan mandiri, dan harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga akan menjamin bahwa hanya yang terbaik yang dapat menduduki jabatan tersebut. Prosedur pengangkatannya harus transparan dan tanpa diskriminasi (Suku, warna, kulit, agama, gender, aliran politik, dan sebagainya).

(12)

Secara khusus kekuasaan kehakiman telah diatur pula dalam UU No 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Dengan demikian UU No 48 Tahun 2009 merupakan undang-undang organik, sekaligus sebagai induk dan kerangka umum yang meletakan asas-asas, landasan dan pedoman bagi seluruh lingkungan peradilan di Indonesia.

Pasal 18 UU No 48 Tahun 2009 menyatakan bahwa: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh Mahkamah Konstitusi”.

Dengan demikian, badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan :

a. Peradilan Umum b. Peradilan Agama c. Peradilan Militer

d. Peradilan Tata Usaha Negara

Mengenai kedudukan dan wewenang masing-masing lingkungan peradilan tersebut, telah diatur lebih lanjut dalam beberapa peraturan perundang-undangan di bawah ini, yakni :

a. UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan beberapa perubahannya dalam UU No 5 Tahun 2004 dan UU No 3 Tahun 2009. b. UU No 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan beberapa

(13)

c. UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan beberapa perubahannya dalam UU No 9 Tahun 2004 dan UU No 51 Tahun 2009.

d. UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan perubahannya

dalam UU No 3 Tahun 2006 dan UU No 50 Tahun 2009. e. UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

f. UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan perubahannya dalam UU No 8 Tahun 2011.

g. UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan perubahannnya.

Sasaran penyelenggaraan kekuasaan kehakiman adalah untuk menciptakan kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan peradilan yang berkualitas. Kemandirian para penyelenggara dilakukan dengan meningatkan integritas, ilmu pengetahuan, dan kemampuan. Adapun peradilan yang berkualitas merupakan produk dari kinerja para penyelenggara peradilan tersebut (Muhammad Nuh, 2011:95).

Kompetensi atau wewenang pengadilan dibedakan atas lingkungan dan tingkat peradilan, berdasarkan lingkungannya pengadilan dibedakan atas :

a. Pengadilan Negeri

(14)

b. Pengadilan Agama

Adalah suatu peradilan yang memeriksa dan memutuskan perkara-perkara yang timbul antara orang-orang islam yang berkaitan dengan nikah, rujuk, talak, nafkah waris dan lain-lain.

c. Pengadilan Tata Usaha Negara

Adalah pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus semua sengketa tata usaha negara pada tingkat pertama.

d. Pengadilan Militer

Adalah pengadilan yang berwenang mengadili dalam lapangan pidana bagi anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia atau orang yang disamakan dengannya.

Wewenang peradilan berdasarkan tingkatannya dibedakan atas: a. Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri)

Wewenang pengadilan tingkat pertama adalah memeriksa dan memutuskan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang khususnya tentang:

1) Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyelidikan atau penghentian tuntutan.

2) Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan. b. Pengadilan Tingkat Kedua

Wewenang pengadilan tingkat kedua adalah :

(15)

2) Berwenang untuk memerintahkan pengiriman berkas-berkas perkara dan surat-surat untuk diteliti dan memberi penilaian terhadap kecakapan dan kerajinan hakim.

c. Kasasi oleh Mahkamah Agung

Wewenang Mahkamah Agung adalah sebagai berikut : 1) Mengadili semua perkara yang dimintakan kasasi.

2) Meminta keterangan dari semua pengadilan lingkungan peradilan. Pengadilan dalam menegakan hukum yang telah di buat dan disediakan oleh pembentuk Undang-undang, berbeda dengan komponen eksekutif, yaitu menjalankan penegakan hukum itu dengan aktif, sedangkan peradilan dapat disebut pasif, karena harus menunggu datangnya pihak-pihak yang membutuhkan jasa peradilan. Para pencari keadilan datang membawa persoalan mereka untuk diselesaikan melalui proses peradilan.

(16)

undang itu lengkap dan tuntas. Tidak mungkin Undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas, karena kegiatan manusia itu tidak terbilang banyaknya.

Sejalan dengan pernyataan diatas, Ismail Shaleh menyatakan bahwa Menegakan hukum bukanlah sekedar melaksanakan huruf, kalimat atau Pasal “mati” dalam peraturan Perundang-undangan

sebagai hukum positif. Hukum positif mempunyai kekurangan-kekurangan atau kekosongan-kekosongan, karena hukum positif memang tidak dapat mengikuti kecepatan dinamika perkembangan masyarakat, bahkan dalam beberapa hal ketinggalan dengan masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat. Kekosongan hukum tersebut dapat diisi oleh hakim, sehingga hakim pun dalam hal ini menjadi pembuat hukum.

(17)

Undang-undang menciptakan atau membentuk Undang-undang yang bersifat umum, agar hakim tidak akan menghadapinya dan akan lebih bebas untuk menafsirkannya”.

Selain dengan pernyataan diatas, Lie Oen Hock dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia menegaskan bahwa : “Hakim dalam menjalankan tugasnya, yaitu melakukan peradilan, turut serta menciptakan hukum. Ini berarti di samping hukum yang terdapat dalam Undang-undang terdapat pula hukum hakim (rechterrecht), yang lebih dikenal dengan yurisprudensi”.

Pernyataan diatas menunjukan bahwa penegakan hukum melalui peradilan, disuatu pihak menerapkan atau melaksanakan peraturan perundang-undangan, dan di pihak lain melakukan diskresi dalam keadaan tertentu dengan menciptakan hukum melalui putusannya (Komisi Yudisial, 2014: 147).

B. Tinjauan tentang Hakim 1. Pengertian Hakim

(18)

bertentangan dengan asas dan sendi peradilan berdasar Tuhan Yang Maha Esa (Bambang Waluyo, 1991:11).

Pengertian hakim menurut pasal 1 ayat (5) UU komisi Yudisial Nomor 22 Tahun 2004 adalah hakim agung dan hakim pada badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Hakikat keberadaan hakim adalah sebagai penengah dan penjembatan bilamana terdapat konflik antara dua belah pihak. Penyelesaian sengketa mengalami perkembangan jika awalnya hanya melibatkan dua pihak (two party) kini melibatkan pihak ketiga (third party) sebagai upaya menyelesaikan sengketa (Ahmad syahrizal, 2006: 46).

Hakim adalah suatu elemen dasar dalam sistem peradilan selain jaksa dan penyidik (Kejaksaan dan Kepolisian), sebagai subjek yang melakukan tindakan putusan atas suatu perkara di dalam suatu pengadilan. Hakim yang merupakan personafikasi atas hukum harus menjamin rasa keadilan bagi setiap orang yang mencari keadilan melalui proses hukum legal, dan untuk menjamin rasa keadilan itu maka seorang hakim dibatasi oleh rambu-rambu seperti akuntabilitas, integritas, moral dan etika, transparansi dan pengawasan.

(19)

2. Etika Profesi Hakim

Etika profesi hakim telah dituangkan dalam keputusan bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P-KY/IV/2009, tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, yang mengatur perilaku hakim sebagai berikut:

a. Berperilaku Adil

Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum.

b. Berperilaku Jujur

Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang ikut dan mengakibatkan kesadaran akan hakikat yang hak dan yang batil.

c. Berlaku Arif dan Bijaksana

(20)

d. Bersikap Mandiri

Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapa pun dan bebas dari pengaruh apapun. e. Berintegritas Tinggi

Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakikatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas.

f. Bertanggung Jawab

Bertanggung jawab bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.

g. Menjunjung Tinggi Harga Diri

Harga diri bermakna bahwa diri manusia melekatkan martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang.

h. Berdisplin Tinggi

Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan.

i. Berperilaku Rendah Hati

(21)

j. Bersikap Profesional

Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, ketrampilan dan wawasan (H.M Agus Santoso, 2014:102).

3. Tugas Hakim

Tugas daan kewajiban hakim dalam bidang peradilan menurut UU No 48 Tahun 2009 , Antara lain :

a. Tugas hakim secara normatif

1) Peradilan dilakukan “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 2 ayat (1) UU No 48

Tahun 2009).

2) Peradilan negara menerapkan dan menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila (Pasal 2 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009). 3) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim

konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 3 ayat (1 UU No 48 Tahun 2009).

4) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 4 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009).

(22)

6) Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat ( Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009).

7) Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan

kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum ( Pasal 5 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009).

8) Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati kode etik dan pedoman perilaku hakim (Pasal 5 ayat (3) UU No 48 Tahun 2009).

9) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, tetapi wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009).

10) Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan sekurang-kurangnya tiga orang hakim kecuali Undang-undang menyatakan lain ( Pasal 11 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009).

11) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 2 ayat (4) UU No 48 Tahun 2009).

(23)

13) Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ( Pasal 14 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009).

b. Tugas Hakim secara Konkret

1) Mengonstatir (mengonstatasi) yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konkret, hakim mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang telah diajukan para pihak di muka persidangan. Syaratnya adalah peristiwa itu konkret itu harus di buktikan terlebih dahulu, tanpa pembuktian hakim tidak boleh menyatakan bahwa suatu peristiwa konkret itu benar-benar terjadi. Mengonstatir berarti menetapkan peristiwa konkret dengan membuktikan peristiwanya atau menganggap telah terbuktinya peristiwa tersebut.

(24)

3) Mengkonstituir (mengkonstitusi atau memberikan konstitusinya) yaitu hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. Di sini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premisse mayor (peraturan hukumnya) dan premissse minor (peristiwanya). Dalam menyampaikan putusannya hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya di terapkan secara proporsional yaitu keadilan, kepastian hukumnya, dan kemanfaatannya (Muhammad Nuh, 2011:108).

C. Tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi 1. Pengertian Mahkamah Konstitusi

Pengertian Mahkamah Konstitusi menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi (Maruaar Siahaan, 2011:1).

2. Kedudukan dan Susunan Mahkamah Konstitusi a. Kedudukan

(25)

2) Mahkamah Konstitusi berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.

b. Susunan

1) Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 ( sembilan) orang anggota

hakim konstitusi yang ditetapkan dengan keputusan presiden. 2) Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang ketua

merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 ( tujuh) orang aggota hakim konstitusi.

3) Ketua dan wakil dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa

jabatan 3(tiga) tahun.

4) Hakim konstitusi adalah pejabat negara (Kansil:2011:129).

Lebih jelas lagi Jimlly Asshidiqie menguraikan sebagai berikut: “Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikontruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar negara secara konsisten dan bertanggung jawab”. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara bermasyarakat (cetak biru, 2004:4).

3. Wewenang Mahkamah Konstitusi

(26)

a. Peradilan dalam rangka pengujian konstitusionalisme Undang-undang. b. Peradilan sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara.

c. Peradilan perselisihan hasil pemilihan umum. d. Peradilan pembubaran partai politik.

e. Peradilan atas pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut Undang-undang.

Dalam menjalankan kewenangannya, Mahkamah Konstitusi memiliki kemerdekaan yudisial. secara kelembagaan, Mahkamah Konstitusi adalah merdeka dari campur tangan kekuasaan lembaga negara lainnya dalam menegakan hukum dan keadilan.

Mahkamah Konstitusi dalam rangka menjalankan kewenangannya sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman memiliki panduan dalam menjalankan persidangan. Panduan asas hukum yang digunakan sebagai pedoman para hakim dalam menjalankan konstitusi adalah sebagai berikut :

a. Persidangan terbuka untuk umum

(27)

b. Independen dan imparsial

Mahkamah Konstitusi merupakan pemegang kekuasaan kehakiman yang bersifat mandiri dan merdeka. Sifat mandiri dan mereka berkiatan dengan sikap imparsial (tidak memihak). Sikap independen dan imparsial yang harus dimiliki hakim bertujuan agar menciptakan peradilan yang netral dan bebas dari campur tangan pihak manapun. Sekaligus sebagai upaya pengawasan terhadap cabang kekuasaan lain.

c. Peradilan cepat, sederhana dan murah

Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan kehakiman mengamanahkan bahwa peradilan harus dilaksanakan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Dalam prakteknya Mahkamah Konstitusi membuat terobosan besar dengan menyediakan sarana sidang jarak jauh melalui fasilitas video conference. Hal tersebut sebagai upaya dari mahkamah konstitusi mewujudkan persidangan yang efisien.

d. Putusan bersifat erga omnes

(28)

e. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et eltram partem)

Dalam berperkara semua pihak baik pemohon atau termohon beserta penasihat hukum yang ditunjuk berhak menyatakan pendapatnya di muka persidangan.

f. Hakim aktif dan pasif dalam persidangan

Karakteristik peradilan konstitusi adalah kental dengan kepentingan umum ketimbang kepentingan perorangan. Sehingga proses persidangan tidak dapat digantungkan seterusnya pada inisiatif para pihak. Mekanisme constitutional harus digerakan pemohon dengan satu permohonan dan dalam hal demikian hakim bersifat pasif dan tidak boleh aktif melakukan inisiatif untuk melakukan pengujian tanpa permohonan.

g. Ius curia novit

Pasal 16 UU kekuasaan kehakiman menyatakan pengadilan tidak boleh menolak memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih tidak ada dasar hukumnya atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dengan demikian pengadilan dianggap mengetahui hukum. Asas ini ditafsirkan sehingga mengarahkan hakim pada proses penemuan hukum untuk menemukan keadilan.

(29)

a. Undang- undang Mahkamah Konstitusi. b. Peraturan Mahkamah Konstitusi.

c. Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi.

d. Undang-undang Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Peradilan

Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Pidana. e. Pendapat Sarjana.

f. Hukum acara dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi (Marauarar Siahaan, 2006: 84).

4. Putusan Sidang Mahkamah Konstitusi

Putusan diambil dalam rapat permusyawaratan hakim yang dihadiri sekurang-kurangnya tujuh orang hakim konstitusi dan dibaca/diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang dihadiri oleh hakim konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat dan tidak ada upaya hukum.

(30)

dinyatakan tidak berwenang sebagai mana termaktub dalam Pasal 64 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi. Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.

Putusan declaratoir adalah putusan yang menjadikan hakim menyatakan apa yang berlaku sebagai hukum. Putusan hakim seperti ini adalah putusan yang menyatakan permohonan atau gugatan di tolak. Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat declaratoir ini ada dalam Pasal 56 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi. Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, Pasal dan/atau bagian dari Undang-undang yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara pengujian Undang-undang yang bersifat constitutif. Pada putusan ini Mahkamah Konstitusi menyatakan suatu Undang-undang bertentangan dengan konstitusi baik secara keseluruhan atau pada Pasal tertentu.

(31)

a. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima, dalam hal permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003.

b. Mengabulkan permohonan Pemohon, menyatakan bahwa materi

muatan ayat, Pasal dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945, Menyatakan bahwa materi muatan ayat, Pasal dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini permohonan beralasan sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (2) ayat (3), dan Pasal 57 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003.

c. Mengabulkan permohonan pemohon. Menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasaran UUD 1945, menyatakan UU tersebut tidak mempunyai Kekuataan hukum mengikat, dalam hal permohonan beralasan sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat (4) dan Pasal 57 ayat (2) UU No 24 Tahun 2003.

d. Menyatakan permohonan pemohon di tolak. Dalam hal UU yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan sebagiamana dimaksud Pasal 56 ayat (5).

(32)

constitutif. Artinya, putusan Mahkamah Konstitusi dapat menciptakan suatu keadaan hukum baru atau meniadakan suatu keadaan hukum. Posisi yang demikian menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator, putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai tiga kekuatan yaitu kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial. 1) Kekuatan mengikat

Sebuah putusan pengadilan bertujuan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapakan hak atau hukumnya. Sebagai salah satu lembaga peradilan khusus yang dibentuk melalui konstitusi Mahkamah Konstitusi juga mempunyai karakter khusus. Kekhususan tersebut juga terletak pada putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Sifat putusan yang bersifat final tersebut berarti putusan Mahkamah Konstitusi mau tidak mau harus dilaksanakan.

(33)

2) Kekuatan Pembuktian

Sebuah putusan pengadilan, khusunya putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan pembuktian. Dalam Pasal 60 UU Mahkamah Konstitusi menyatakan setiap muatan ayat, pasal dan/atau bagian dalam Undang-undang yang telah diuji tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali. Dengan demikian putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan sebagai alat bakti yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh kekuatan hukum yang pasti.

Kekuatan hukum pasti yang terdapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi ada dua sisi yakni positif dan negatif. Sisi positif adalah bahwa apa yang diputus oleh hakim dianggap telah benar sehingga tidak diperlukan pembuktian. Sedangkan sifat negatifnya adalah hakim tidak diperbolehkan memutus perkara yang pernah diajukan sebelumnya.

3) Kekuatan Eksekutorial

(34)

D. Tinjauan tentang Komisi Yudisial 1. Komisi Yudisial

Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 24B Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Pengertian Komisi Yudisial menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 “Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana maksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Ketentuan ini menegaskan bahwa kedudukan, Yudisial adalah sebagai lembaga negara yang keberadaannya bersifat konstutisional.

2. Kedudukan dan Susunan Komisi Yudisial a. Kedudukan

1) Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.

2) Komisi Yudisial berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.

b. Susunan

1) Komisi Yudisal terdiri atas pemimpin dan anggota.

2) Pemimpin Komisi Yudisial terdiri dari atas seorang ketua dan seorang wakil ketua yang merangkap anggota.

(35)

adalah pejabat negara.

4) Keanggotan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat.

5) Pimpinan Komisi Yudisial dipilih dari anggota Komisi Yudisial (C.S.T Kansil, 2011: 137).

3. Wewenang Komisi Yudisial

Wewenang dan tugas Komisi Yudisial Republik Indonesia dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diimplementasikan dalam Pasal 13 Undang-undang No.22 Tahun 2004 pada pokoknya wewenang dari Komisi Yudisial adalah :

a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapat persetujuan.

b. Menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

c. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama Mahkamah Agung.

d. Menjaga dan menegakan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

(36)

a. Melakukan pendaftaran calon hakim agung. b. Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung. c. Menetapkan calon agung, dan

d. Mengajukan calon hakim agung ke DPR.

Kemudian Pasal 20 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2011 mengatur bahwa :

a. Dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim, komisi yudisial mempunyai tugas: 1) Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim. 2) Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

3) Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. 4) Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik

dan Pedoman Perilaku Hakim.

5) Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.

b. Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), komisi Yudisial juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hukum.

(37)

huruf a, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) oleh hakim.

d. Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Disahkannya Undang-undang tersebut merupakan upaya untuk memperkuat wewenang dan tugas Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang independen yang menjalankan fungsi checks and balances di bidang kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang jujur, bersih, transparan dan profesional (Komisi Yudisial, 2014:270).

4. Proses Pemeriksaan Yang Dilakukan Komisi Yudisial

Dalam melakukan pengawasan sebagai mana di maksud dalam Pasal 20 ayat(1) huruf a, Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim yaitu :

a. Untuk melaksankan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial dapat meminta keterangan atau data kepada badan peradilan dan/atau hakim.

(38)

dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial diterima.

c. Apabilan badan peradilan dan/atau hakim belum memberikan keterangan atau data dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Komisi Yudisial meminta keterangan dan/atau data tersebut melalui pimpinan Mahkamah Agung.

d. Pimpinan Mahkamah Agung meminta kepada badan peradilan dan/atau hakim untuk memberikan keterangan atau data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial.

e. Apabila permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, pimpinan badan peradilan atau hakim yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

f. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Komisi Yudisial.(2016:126).

E. Judicial Review

1. Pengertian Judicial Review

(39)

instrumen konstitusi dan hukum. Menurut Pasal 24 C UUD 1945 Mahkamah Konstitusi mempunyai hak pengujian UU terhadap UUD sedangkan Mahkamah Agung menurut Pasal 24 A melakukan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Meski fungsi pengujian yang dilakukan oleh Mahkmah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebenarnya sama-sama merupakan judicial review tapi secara teknis pengujian UU terhadap UUD oleh Mahkamah Konstitusi biasa juga disebut Constitusional review sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-perundang-undangan yang lebih tinggi oleh Mahkamah Agung biasa disebut judicial review , secara umum keduanya disebut sebagai judicial review dalam arti pengujian yang dilakukan oleh lembaga yudisial.

Selain itu, di luar judicial review, sistem ketatanegaraan kita juga mengenal legislative review yakni peninjauan atau perubahan UU atau Perda oleh lembaga legislatif (DPR/DPRD dan Pemerintah/Pemda) sesuai dengan tingkatannya karena isinya dianggap tidak sesuai dengan hukum dan falsafah yang mendasarinya.

(40)

yudisial karena ada kekeliruan atau kebutuhan baru untuk meninjaunya (Moh. Mahfud MD, 2012: 65).

Konsep pembagian kekuasaan memberikan Wewenang untuk melakukan pembentukan hukum kepada legislatif. Apa yang dirumuskan oleh lembaga legislatif dilakukan dalam pembentukan Undang-undang setelah disahkan akan mempunyai kekuataan sebagai sebuah produk hukum.

UUD 1945 tidak memberikan definisi Undang-undang. Namun definisi Undang-undang dapat kita temukan pada Undang-undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang merupakan seperangkat aturan yang mendatangkan faedah bagi masyarakat. Undang-undang fungsinya bukan untuk menghukum masyarakat melainkan agar terciptanya ketertiban di masyarakat.

Dengan dianutnya paham konstitusionalisme yang menganut adanya pembatasan kekuasaan yang memiliki dua esensi yaitu pertama sebagai konsep negara hukum, bahwa hukum mengatasi kekuasaan negara, hukum akan melakukan kontrol terhadap politik, bukannya sebaliknya, kedua adalah konsep hak-hak sipil warga negara yang menyatakan, bahwa kebebasan warga negara dan kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi tak lain sebagai upaya menegakan prinsip negara hukum dan konstitusionalisme (Ni‟matul Huda, 2008: 30).

(41)

review sering diartikan sebagai pengujian Undang-undang terhadap Undang-undang dasar. Ketentuan judicial review di Amerika Serikat (As) tidak dicantumkan di dalam Konstitusi AS. Akan tetapi, pada 1803 John Marshal membuat sejarah baru dalam hukum konstitusi ketika Ketua Mahkamah Agung tersebut membatalkan judicary act 1789 secara sepihak dengan alasan act tersebut bertentangan dengan Konstitusi Amerika. Judicial review oleh Marshall ini kemudian menjadi konvensi di Amerika Serikat dan menjalar serta diikuti oleh berbagai negara dengan berbagai variasinya. Marshall mengemukakan alasan mengenai pengujian Undang-undang yaitu :

a. Hakim bersumpah menjunjung tinggi konstitusi, sehingga peraturan yang bertentangan dengan konstitusi harus melakukan uji materi. b. Konstitusi adalah the supreme law of the land sehingga harus ada

pengujian terhadap peraturan yang dbawahnya agar supreme law itu tidak dilangkahi oleh peraturan di bawahnya.

c. Hakim tidak boleh menolak perkara, sehingga kalau ada permohonan pengujian harus dipenuhi

(42)

2. Jenis-Jenis Pengujian Undang-undang

Maruarar Siahaan menyebutkan bahwa pengujian terhadap Undang-undang dapat dilakukan dua cara yakni :

a. Pengujian secara Formal (Formale Toetsingrecht)

Adalah pengujian Undang-undang berkenaan dengan bentuk dan pembentukan yang meliputi pembahasan, pengesahan, dan pemberlakuan .

b. Pengujian Secara Materiil (Materiele Toetsingrecht)

Adalah pengujian atas bagian Undang-undang yang bersangkutan, bagian tersebut berupa bab, ayat, Pasal, atau kata bahkan kalimat dalam suatu Pasal atau ayat dalam sebuah Undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dapat diminta untuk dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (Maruarar Siahaan, 24: 2006).

Referensi

Dokumen terkait

〔商法二〇二〕約束手形の支払期日の変造と手形法二〇条一項但書 の適用東京地裁昭和五〇年六月二五日判決 米津, 昭子Yonetsu, Teruko

Seperti kita ketahui bersama akhir- akhir ini barang-barang keperluan kantor mengalami kenaikan harga yang cukup tinggi, baik bahan baku kertas maupun barang-barang

Untuk mengambil sampel pada penelitian ini digunakan metode purposive sampling, yaitu sampel yang diambil oleh peneliti merupakan data yang telah dinilai oleh

Perpangkatan dari bentuk perkalian yang telah kamu pelajari tersebut memperjelas sifat berikut... Berapa joule besarnya energi listrik

Disisi lain perkembangan pinjaman, simpanan masyarakat serta nisbah pinjaman terhadap masyarakat pada BRI Udes, LDKP dan Bank pasar dalam kurun waktu terakhir menunjukkan

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak kunyit sampai level 0,06 ml pada ransum babi bali tidak mempengaruhi warna, aroma, tekstur, citarasa dan

Analisis telah dilakukan bagi melihat kaitan antara aspek pembolehubah tingkah laku keibubapaan (penglibatan, pemberian autonomi psikologi dan ketegasan/ penyeliaan)

Memimpin Pemberontakan Petani Terhadap Pemerintah Kolonial Belanda Di Nganjuk 1907) memiliki tiga fokus penelitian, yaitu: Bagaimanakah riwayat hidup Kyai Darmodjojo,