• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL UNTUK MEWUJUDKAN TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN PENDIDIKAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL UNTUK MEWUJUDKAN TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

216 Seminar Nasional Filsafat, 17 Maret 2017

Email: iketutsudarsana@ihdn.ac.id ABSTRACT

Education is really the place where wisdom deepened as the capital knowledge to people who are strongly associated with the issue of nationality. Educational development based on local wisdom to create inter-religious tolerance is important as a frame of reference in the education system today so that the education system is based on the reality of indigenous peoples, not with the idea which is abstract and far from the reality of the lives of the learners.

Keywords: Education Based on Local Wisdom, Tolerance, Religious ABSTRAK

Pendidikan sesungguhnya merupakan tempat di mana kebijaksanaan atau kearifan diperdalam sebagai modal pengetahuan bagi masyarakat yang sangat terkait dengan persoalan kebangsaan. Pengembangan pendidikan berbasis kearifan lokal untuk mewujudkan toleransi antar umat beragama menjadi penting sebagai kerangka acuan dalam sistem pendidikan dewasa ini, sehingga sistem pendidikan yang terbangun adalah sistem pendidikan yang berlandaskan pada realitas kearifan lokal bangsa, bukan dengan gagasan yang sifatnya abstrak serta jauh dari realitas kehidupan peserta didik.

Kata Kunci: Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal, Toleransi, Umat Beragama I. PENDAHULUAN

Keyakinan yang kuat sehingga memunculkan klaim kebenaran menjadi permulaan dari permasalahan hubungan antar umat beragama di Indonesia. Bentuk klaim-klaim tersebut umumnya didasarkan pada keyakinan membabibuta terhadap hasil interpretasi atas kitab suci agamanya. Menurut Jamuin (1999:2) mengerasnya klaim kebenaran umumnya bermula dari sikap pemeluk agama yang berpegang kuat terhadap suatu hasil interpretasi tertentu. Padahal, kemampuan akal dalam melakukan interpretasi terhadap suatu teks selalu mengalami banyak kelemahan. Selain itu, karena kepentingan tertentu, produk interpretasi itu seringkali juga mengalami banyak distorsi. Oleh karena itu, sikap fanatic terhadap suatu hasil interpretasi atas teks sumber ajaran agama perlu dikoreksi kembali.

Pusaran pengaruh politik, seperti yang terjadi pada pemilihan kepala daerah serentak tahun 2017, khususnya mengenai isu penistaan agama yang terjadi di DKI Jakarta, telah membuka mata betapa rendahnya kesadaran masyarakat akan toleransi antar umat beragama. Ajaran agama akhirnya dipergunakan sebagai alat politik untuk mencapai kemenangan dalam pemilihan kepala daerah. Fenomena rendahnya kesadaran toleransi masyarakat ini tentu berakar dari pendidikan agama yang dalam pembelajarannya lebih menekankan pengetahuan kognitif tanpa mengadopsi kearifan lokalyang ada. Pendidikan agama yang full text,tidak hanya membuat lembaga pendidikan kehilangan

(2)

ruang gerak social-spiritual, akan tetapi juga semakin menipisnya pemahaman masyarakat tentangkearifan lokal, semangat serta nilai-nilai yang tersimpan di dalamnya.

Manusia secara konkret hanya dapat dipahami dalam hubungan dengan lingkungannya, dalam situasinya yang kongkret, dalam posisi yang didudukinya dalam lingkungan sosio-kultural, dengan memperhatikan latar belakang historinya, dalam kebebasan memilih dan memutuskan atas tanggungjawabnya, serta pada pertemuan dan percakapan-percakapan dalam dunianya. Bebas memilih dan memutuskan atas tanggungjawabnya berarti juga bebas untuk terikat oleh paham dan nilai-nilai yang selaras dengan martabat kemanusiaan dan hakekat pribadinya; jadi lepas dari ikatan-ikatan yang asing dan tidak sesuai dengan inti pribadinya (Simandjuntak dan Pasaribu, 1986:56).

Berdasarkan hal tersebut, kebudayaan berkembang sejalan dengan meningkatnya kemampuan manusia untuk menguasai tantangan alam dan kemampuan untuk memenuhi hajatnya, sesuai dengan kemanusiaannya. Dari kondisi tersebut memunculkan kearifan-kearifan lokal yang menjadi pengenjawantahan inti dari kebudayaan tersebut. Kearifan-kearifan lokal tersebut kemudian terus dipertahankan dalam kerangkap pendidikan masyarakat.

Dalam konteks pendidikan yang kemudian berbasis kearifan lokal, rencana pembelajaran mesti mencerminkan usaha bersama untuk mengubah sikap hidup yang kurang baik dan membentuk mentalitas masyarakat yang ingin hidup damai, bersandingan dengan pemeluk keyakinan lainnya. Isi rencana pembelajaran membayangkan kemungkinan pendidikan pemuda dan pembinaan orang dewasa yang nantinya dapat ikut serta secara konstruktif dalam persaudaraannya. Bahan-bahan pelajaran akan berisikan nilai-nilai yang merupakan syarat bagi perkembangan suatu lingkungan social dengan orang yang bertanggungjawab.

Meskipun secara teoritis, kondisi ideal pendidikan selalu diharapkan menjadi salah satu sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, namun dalam kenyataannya tidaklah demikian, justru yang terjadi adalah kemajuan dan kecerdasan pendidikan di nusantara ini masih diukur dalam tataran kognitif saja, seperti nilai rapor persemester dan hasil ujian nasional setiap tahun. Padahal, tolok ukur keberhasilan pendidikan tidaklah diukur hanya dari beberapa faktor kognitif semata, akan tetapi juga di ukur dari sejauh mana pendidikan tersebut mampu membangun moralitas sosial masyarakat yang terhubung dengan realitas tolerasi antar umat beragama dan kehidupan sosial masyarakatnya.

Pendidikan sebagai sarana pencerdasan kehidupan bangsa, mengisyaratkan bahwa pendidikan adalah tempat di mana kebijaksanaan atau kearifan di produksi sebagai modal pengetahuan bagi peserta didik yang tentunya sangat terkait dengan persoalan amanat sosial kebangsaan. Tentunya, pengembangan pendidikan berbasis kearifan lokal untuk mewujudkan toleransi antar umat beragama menjadi penting sebagai kerangka acuan dalam sistem pendidikan dewasa ini, sehingga sistem pendidikan yang terbangun adalah sistem pendidikan yang berlandaskan pada realitas kearifan lokal bangsa, bukan dengan gagasan yang sifatnya mengawang serta jauh dari realitas kehidupan peserta didik.

(3)

218 Seminar Nasional Filsafat, 17 Maret 2017

kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan mesti diikuti.

Konsep kearifan lokal dalam konteks kehidupan dan relasi sosial di tengah komunitas yang majemuk memiliki kekuatan (Power) dalam menciptakan suasana sosial yang kondusif. Maka dengan memahami dan mengangkat kearifan lokal dalam konteks kehidupan di tengah masyarakat yang prularis, secara sejatinya dapat memberikan peran bagi tertatanya hubungan sosial yang harmonis dengan semangat saling menghargai dan menghormati (Sudarma, 2007:3).

Sumber lain yang bisa dipergunakan untuk memahami kearifan lokal dapat dilihat dari kamus Inggris Indonesia, dimana kearifan lokal terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Wisdomberarti kebijaksanaan, sedangkanlokal sama dengan setempat. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Jika dilihat dari pengertian diatas, maka kearifan lokal merupakan kebijakan manusia dalam mengembangkan keunggulan lokal yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kesimpulan pendidikan berbasis kearifan lokal yang dapat ditarik dari penjelasan tersebut adalah pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dan global dalamaspek ekonomi, seni budaya, sumber daya manusia, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain ke dalam kurikulum sekolah yang akhirnya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik yang dapat dimanfaatkan untuk persaingan global.

2.2 Pengembangan Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal

Kenyataan dari apa yang ada di Inonesia saat ini, masing-masing suku memiliki kearifan lokal sendiri. Misalnya saja suku Bali yang hidup di pulau Bali sangat kental dengan keterbukaan dan persaudaraan. Lebih dari itu, kearifan lokal Bali mengedepankan keakraban dan keramahan dengan lingkungan alam yang mengitarinya. Kearifan lokal itu tentu tidak muncul serta-merta, tapi berproses panjang sehingga akhirnya terbukti, hal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan masyarakat. Bukti nyata yang selama ini berlangsung di Bali, membuat kearifan lokal menjadi budaya yang mentradisi, melekat kuat pada kehidupan masyarakat. Apa yang terjadi tersebut, sesungguhnya tidak bisa terlepas dari intensitasnya, kesatuan visi terciptanya kehidupan bermartabat, sejahtera dan damai. Dalam bingkai kearifan lokal ini, masyarakat Bali bereksistensi, dan berkoeksistensi satu dengan yang lain.

(4)

Masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat Bali didalamnya sudah sepatutnya untuk kembali kepada jati diri melalui pemaknaan kembali dan rekonstruksi nilai-nilai luhur budayanya. Dalam kerangka itu, upaya pendidikan berkelanjutan yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan lokal.

Sebagai masyarakat beragama, pluralitas manusia terkadang menyebabkan wajah kebenaran tersebut tampil berbeda ketika akan dimaknakan dan dibahasakan. Sebab perbedaan ini menurut Kahmad (2003:170) tidak dapat dilepaskan begiru saja dari berbagai referensi dan latar belakang yang diambil orang yang meyakininya, dari konsepsi ideal turun kebentuk-bentuk normative yang bersifat kultural. Ini biasanya digugat oleh berbagai gerakan keagamaan pada umumnya.

Pada tataran tersebut, persoalannya adalah bagaimana pengembangan pendidikan berbasis kearifan lokal untuk mewujudkan toleransi antar umat beragama.Dalam konteks ini diperlukan adanya revitalisasi kearifan lokal yang relevan untuk mewujudkan toleransi antar umat beragama. Hal ini dikarenakan kearifan lokal di daerah pada gilirannya akan mampu mengantarkan masyarakat untuk mencintai daerahnya. Kecintaan masyarakat pada daerahnya tidak hanya akan mewujudkan kerukunan di daerah bersangkutan, tetapi juga diseluruh Indonesia. Kerukunansesungguhnya kemampuan masyarakat untuk hidup berdampingan sesuai dengan konsep yang diyakini kebenarannya dengan jiwa yang tangguh, semangat yang tinggi, serta dengan cara memanfaatkan kebinnekaan secara bijaksana.

Pada konteks seperti yang disebutkan di atas, kearifan lokal menjadi relevan dalam mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Masyarakat Bali dan Indonesia secara umum sudah sewajarnya hidup berdampingan antar suku, agama dan ras yang berbeda. Seluruh masyarakat harus dipengenalkan lingkungan yang harmonis, mulai dari anak-anak yang bisa mencintai komunitasnya. Kearifan lokal mempunyai arti sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang majemuk, karena dengan mempelajari kearifan lokal masyarakat akan memahami arti dari toleransi itu sendiri.

Model pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan sebuah contoh pendidikan yang mempunyai relevansi tinggi bagi penumbuhkembangan kesadaran toleransi dengan berpijak pada optimalisasi kearifan lokal pada tiap-tiap daerah. Kearifan lokal sendiri dimilik sangat banyak dan beraneka ragam di Indonesia, terutama Bali sebagai pulau yang mayoritas masyarakatnya memeluk agama Hindu. Adapun langkah-langkah pengembangan pendidikan berbasis kearifan lokal dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan masyarakat.

Analisis kebutuhan merupakan suatu cara yang sistimatis untuk memilih dan menentukan prioritas kebutuhan sebagai masukan dalam pengambilan alternatif kebijakan tentang masyarakat bagi para pemimpin/pelaksana kegiatan. Keputusan diambil pada tahap perencanaan sebagai persiapan penyelenggaraan suatu program, yang didasarkan atas layak tidaknya kondisi

(5)

220 Seminar Nasional Filsafat, 17 Maret 2017 kemampuan yang diperlukan.

d. Aspirasi masyarakat mengenai kerukunan dan

pengembangan daerahnya.

2.Menentukan fungsi dan tujuan toleransi masyarakat.

Toleransi disini tidak diartikan sedang dipengaruhi oleh orang lain atau bergabung dengan masyarakat berlainan keyakinan, toleransi berarti menerima orang lain sebagaimana adanya dan tahu bagaimana bergaul. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, tidak seorang pun berhak memaksakan apapun tentang jenis toleransi ini, semua orang boleh memiliki pandangan sendiri-sendiri. Untuk itu pengembangan pendidikan berbasis kearifan lokal ini diarahkan pada:

a. Melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah. b. Meningkatkan kesadaran akan kemajemukan.

c. Meningkatkan kemampuan beradaptasi.

d. Meningkatkan penguasaan bahasa daerah untuk keperluan sehari-hari.

e. Meningkatkan penguasaan kebangsaan. 3. Menentukan kriteria bahan kajian.

Dalam era modern sekarang ini, dengan masifnya pengembangan teknologi, umat beragama dihadapkan pada serangkaian tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan yang pernah dialami sebelumnya. Perbedaan agama adalah fenomena nyata yang ada dalam kehidupan, karena itu toleransi sangat dibutuhkan. Kreteria bahan kajian yang dapat ditentukan seperti:

a. Kesesuaian dengan tingkat perkembangan peserta didik. b. Kemampuan guru atau pemuka agama dan ketersediaan

tenaga pendidik yang diperlukan. c. Tersedianya sarana dan prasarana.

d. Tidak bertentangan dengan nilai luhur bangsa. e. Tidak menimbulkan kerawanan sosial dan keamanan. f. Kelayakan berkaitan dengan pelaksanaan disekolah. 4. Menyusun kurikulum.

Toleransi dalam kehidupan beragama sesungguhnya tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan tumbuh dan menjadi karakter bangsa Indonesia melalui sebuah upaya penyadaran yang panjang. Lembaga pendidikan merupakan lembaga yang strategis untuk membangun penyadaran itu karena di sekolah atau perguruan tinggi itulah anak-anak bangsa yang matang, unggul, dan potensial sebagai pemimpin masa depan diasah kemampuan intelektualnya. Namun, kurikulum mengenai toleransi ini, baik yang eksplisit maupun hidden, tidak dapat dilakukan hanya dengan mengacu pada selera suatu lembaga pendidikan. Kurikulum mengenai toleransi tersebut harus pula

(6)

didesain dengan mengacu pada peraturan yang telah ada. Dalam konteks ini penyusunan kurikulum diarahkan pada:

a.

Penentuan topik keunggulan lokal yang dipilih serta standar kompetensi, kemampuan dasar, dan indikator.

b.

Pengorganisasian materi atau kompetensi muatan keunggulan lokal ke dalam kelas, semester dan lainnya yang berwujud silabus.

2.3 Kearifan Lokal Masyarakat Bali

Dalam banyak masyarakat, konflik sosial sering diawali olehgejala sekularisme yang oleh Giddens (Sunarto, 2004:69) diartikan sebagai proses, dimana agama kehilangan pengaruhnya terhadap berbagai segi kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat sangatlah kompleks. Sebuah toleransi muncul manakala kebudayaan berbagai kelompok ras yang bertemu tidak terjadi klaim kebenaran sepihak. Meskipun dalam kenyataannya akan memumculkan kelompok mayoritas dan minoritas.

Kajian sosiologi mengungkapkan bahwa keharmonisan masyarakat, selalu dimulai dari lingkungan keluarga. Menurut Reusseau (2007:5) keluarga merupakan leluhur dari semua kelompok masyarakat dan merupakan satu-satunya kelompok sosial yang paling alami. Dalam kaitan ini maka tiga jalur pendidikan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 sangatlah tepat. Pembudayaan makna toleransi akan lebih mendalam jika dimasukkan dalam ketiga jalur pendidikan tersebut secara berkelanjutan, termasuk didalamnya materi kearifan lokal.

Berkaitan dengan contoh materi kearifan lokal yang bisa dimasukkan dan dibudayakan dalam lembaga pendidikan, seperti yang dimiliki oleh masyarakat Bali diantaranya;

1. Nilai kearifan Tri Hita Karana; suatu nilai kosmopolit tentang harmonisasi hubungan manusia dengan tuhan (sutata parhyangan), hubungan manusia dengan sesama umat manusia (sutata pawongan) dan harmonisasi hubungan manusia dengan alam lingkungannya (sutata palemahan). Nilai kearfian lokal ini telah mampu menjaga dan menata pola hubungan social masyarakat yang berjalan sangat dinamis.

2. Nilai kearifan lokal tri kaya parisuda; sebagai wujud keseimbangan dalam membangun karakter dan jatidiri insani, dengan menyatukan unsur pikiran, perkataan dan perbuatan. Tertanamnya nilai kearfan ini telah melahirkan insane yang berkarakter, memiliki konsistensi dan akuntabilitas dalam menjalankan kewajiban sosial.

3. Nilai kearifan lokal Tattwam Asi; kamu adalah aku dan aku adalah kamu, nilai ini memberikan fibrasi bagi sikap dan prilaku mengakui eksistensi seraya menghormati orang lain sebagaimana menghormati diri sendiri. Nilai ini menjadi dasar yang bijaksana dalam membangun peradaban demokrasi modern yang saat ini sedang digalakkan.

4. Nilai Salunglung sabayantaka, paras paros sarpanaya; sutu nilai sosial tentang perlunya kebersamaan dan kerjasama yang setara antara satu dengan yang lainnya sebagai satu kesatuan social yang saling menghargai dan menghormati.

(7)

222 Seminar Nasional Filsafat, 17 Maret 2017

6. Nilai kearifan lokal menyama braya; mengandung makna persamaan dan persaudaraan dan pengakuan sosial bahwa kita adalah bersaudara. Sebagai satu kesatuan sosial persaudaraan maka sikap dan prilaku dalam memandang orang lain sebagai saudara yang patut diajak bersama dalam suka dan duka (Wisnumurti, 2015).

Hal yang senada juga bisa dilihat dalam penelitian Suwindia (2013) yang berjudul Relasi Islam dan Hindu, Studi Kasus Tiga Daerah, Denpasar, Karangasem dan Singaraja Perspektif Masyarakat Multikultur di Bali. Terungkap bahwa masyarakat Bali memegang nilai kearifan lokal yang membuat hubungan Hindu dan Islam di pulau destinasi wisata dunia ini, selalu harmonis. Adapun nilai kearifan lokal Bali yang dimaksud, yakni:

1. Paras-paros. Masyarakat Bali senantiasa ‗paras-paros‟ di setiap kesempatan. Paras-paros artinya merasa senasib dan sepenanggungan, saling bahu-membahu dalam memecahkan masalah dan tantangan hidup sehari-hari.

2. Menyamabraya. Masyarakat Bali, meskipun berasal dari latar-belakang yang berbeda-beda, selalu merasa bersaudara. Bagi orang Bali semua orang adalah ‗nyama‘ (saudara dekat). Sejauh-jauhnya menganggap orang lain itu sebagai ‗braya‘ (saudara jauh). Sehingga secara keseluruhan, bingkainya selalu persaudaraan.

3. Matilesang raga. Masyarakat Bali menjujung tinggi sebuah nilai yang disebut ‗metilesang raga‘ yang artinya, kurang lebih: bisa menempatkan diri, sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan. Misalnya: ketika orang Hindu memiliki hajatan dan dikunjungi oleh warga Islam, masyarakat tahu harus menghidangkan makanan yang boleh dimakan oleh warga Islam.

4. Nawang lek. Nilai ‗nawang lek‟ ini membuat masyarakat Bali cenderung tidak berperilaku yang aneh-aneh, tidak neko-neko. Masyarakat merasa malu kalau sampai membuat masalah, apalagi sampai ribut-ribut. Masyarakat malu mengambil sesuatu yang bukan haknya. Malu kalau tidak hadir ketika ada warga lain dalam kesusahan. Malu kalau tidak membantu tetangga yang sedang punya hajatan, terlepas dari berbedaan latar belakang suku, agama, ras, dan yang lainnya.

III. SIMPULAN

Pendidikan bebasis kearifan lokal merupakan pendidikan yang lebih didasarkan kepada pembudayaan nilai-nilai sosial keagamaan. Pendidikan ini akan memberikan pelajaran pada masyarakatuntuk selalu dekat dalam situasi dan konsisi nyata yang dihadapi sekaligus dilakukan setiap hari. Dalam konteks ini pendidikan bebasis kearifan lokal mengajak kepada seluruh masyarakat untuk selalu mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal dalam segala situasi/kondisi yang berlangsung di masayarakat tersebut.

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Jamuin, M. (1999). Manual Advokasi Resolusi Konflik Antar-Etnik dan Agama. Solo: CISCORE.

Kahmad, D. (2003). Sosiologi Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cetakan ke-11. Jakarta: Gramedia.

Rousseau, J. J. (2007). Du Contract Social (Perjanjian Sosial). Jakarta: Visimedia.

Simandjuntak, B. dan Pasaribu, I.L. (1986). Pendidikan dan Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung: Penerbit Tarsito. Sudarma, I K. (2007). Laporan Penelitian: Studi Ananlisis Kebutuhan Pendidikan Multikultural Berbasis Kompetensi Pada Siswa Sekolah Dasar di Kota Singaraja. Singaraja: Undiksha. Sudarsana, I. K. (2015, May). Peran Pendidikan Non Formal dalam

Pemberdayaan Perempuan. In Seminar Nasional (No. ISBN : 978-602-72630-0-0, pp. 135-139). Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat IHDN Denpasar.

Sudarsana, I. K. (2014, October). Kebertahanan Tradisi Magibung Sebagai Kearifan Lokal dalam Menjaga Persaudaraan Masyarakat Hindu. In Seminar Nasional (No. ISBN : 978-602-71598-0-8, pp. 137-143). Fakultas Brahma Widya IHDN Denpasar.

Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Suwindia, I G. (2013). Inilah Kearifan Lokal Yang Buat Toleransi di Bali Selalu Tinggi. Online Tersedia di

http://popbali.com/inilah-kearifan-lokal-yang-buat-toleransi-di-bali-selalu-tinggi.

Wisnumurti, A. A. G. O. (2015). Mengelola Nilai Kearifan Lokal Dalam Mewujudkan Kerukunan Umat Beragama(Suatu tinjauan Empiris-Sosiologis).Online Tersedia di http://www.yayasankorpribali.org/artikel-dan-berita/59- mengelola-nilai-kearifan-lokal-dalam-mewujudkan-kerukunan-umat-beragama.html

Referensi

Dokumen terkait

Rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana hasil desain struktur gedung beton bertulang 8 lantai dengan menggunakan sistem ganda serta

Dengan ini menyatakan bahwa seluruh materi dalam skripsi saya yang berjudul ANALISIS PRODUCT PLACEMENT DALAM SINETRON TUKANG OJEK PENGKOLAN , adalah hasil karya tulis

“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?”.. “Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar.” Jawab

Setinggi-tinggi penghargaan diucapkan kepada semua pihak yang terlibat dalam penjajaran kandungan DSKP KSSM bagi semua mata pelajaran pendidikan Islam dan bahasa Arab kegunaan

Dari Gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa kandungan total fenol pada ekstrak etanol daun alpukat (EEDA) lebih besar daripada ekstrak melalui hidrolisis dengan

Tujuan dalam penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui tingkat dukungan sosial teman sebaya remaja pada siswa kelas X di SMKN 2 Malang (2) untuk mengetahui tingkat konsep

Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Mahkamah Agung Pembinaan Administrasi dan Pengelolaan Keuangan Badan Urusan Administrasi.. 4.767.257.000

Dalam pengerjaan laporan ini difokuskan pada perancangan antarmuka, langkah yang dilakukan untuk merancang aplikasi ini adalah dengan menganalisis gedung dan sumber