• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi membuat arus informasi menjadi tidak terbendung. Gaya hidup

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. komunikasi membuat arus informasi menjadi tidak terbendung. Gaya hidup"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

A. Latar Belakang Masalah

Globalisasi, liberalisasi serta kemajuan dibidang teknologi dan komunikasi membuat arus informasi menjadi tidak terbendung. Gaya hidup dan modernisasi membuat gaya hidup remaja di perkotaan ikut mengalami perubahan, pada satu sisi hal tersebut dianggap memberikan manfaat dan memberikan kemudahan namun di sisi lain dapat pula mendorong remaja memiliki kecenderungan berperilaku negatif dengan pola hidup konsumtif, selain itu rapuhnya tatanan dan nilai-nilai yang ditanamkan pada usia dini bagi remaja di lingkungan keluarga dan teman sepergaulan dianggap ikut memberikan kontribusi dan mendorong remaja terpengaruh lingkungan pergaulan yang kurang sehat, sehingga tidak jarang diantara remaja tersebut ada yang terjerumus ingin coba-coba akibat rasa ingin tahu akibat bujukan teman sepergaulan dan memilih untuk mengkonsumsi Narkotika, obat-obatan terlarang dan zat adiktif lainnya, sebagai alat untuk melepaskan diri dari

tekanan dan himpitan permasalahan yang individu hadapi (Melati, 2014).

Menurut Soedjono (dalam Rukiman, 2005) penyalahgunaan Narkotika merupakan permasalahan nasional dan internasional, karena berdampak negatif terhadap kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara.Tahun 1971, Indonesia sebagai negara lalu lintas penyelundupan narkotika Internasional dan peredarannya secara gelap mendapat dukungan para pecandu yang tidak

(2)

kecil jumlahnya, dan sebagian besar penggunanya adalah anak-anak remaja.Penyalahgunaan narkotika tersebar secara merata dari kalangan atas hingga anak jalanan terutama di kalangan remaja, pelajar dan mahasiswa.

Di Indonesia pengguna NAPZA mencapai 3,8 juta jiwa, sebagian besar pengguna tersebut ternyata adalah usia produktif, dan sebagian besar di antaranya adalah remaja dan dewasa awal (20-30 tahun). 70 persen dari total pengguna NAPZA di Indonesia anak diusia sekolah, 4 persen lebih siswa SMA dan selebihnya mahasiswa (BNN, 2012).Penyalahgunaan narkoba di Indonesia sudah sampai ke tingkat yang sangat mengkhawatirkan, fakta di lapangan menunjukkan bahwa 50% penghuni LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan) disebabkan oleh kasus narkoba (Eleanora, 2011).Sedangkan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Purwokerto, terdapat 66 remaja dengan kasus penyalahgunaan obat-obatan jenis NAPZA.

Pada umumnya penggunaan NAPZA hanya sebagai pelampiasan kekesalan.Banyak di antara individu yang mempunyai sikap menyukai beberapa jenis NAPZA karena individu beranggapan bahwa dengan memakai NAPZA segala persoalan yang sedang individu hadapi dapat terselesaikan. Individu ini beranggapan bahwa menggunakan NAPZA dapat memberikan sugesti keberanian dan kekuatan, menghilangkan rasa malu dan dapat diterima oleh teman-teman sebayanya tanpa mengenal status sosial dan ekonomi. Sebaliknya ada pula individu yang menunjukkan sikap tidak menyukai menggunakan NAPZA, individu tersebut menganggap dengan menggunakan NAPZAakan merusak dan dapat menghambat aktivitasnya

(3)

sehingga dapat merugikan dirinya sendiri (Anisyah, 2009).Santrock (2003) menemukan beberapa alasan remaja mengkonsumsi narkoba yaitu karena rasa ingin tahu, untuk meningkatkan rasa percaya diri, solidaritas, adaptasi dengan lingkungan, maupun untuk kompensasi. Sedangkan Syamsu (2014) menyebutkan faktor-faktor penyebab seorang remaja menyalahgunakan NAPZA adalah karena ingin tampil berbeda atau menonjol, melarikan diri dari dari kenyataan, rasa kesetiakawanan, serta rasa ingin tahu.

Ketika seorang remaja telah terjerumus ke dalam penggunaan NAPZA, semakin lama dosis pengunaannya semakin meningkat (Rosyidah dan Nurdibyanandaru, 2011). Hal tersebut senada dengan Santrock (2007) bahwa ketika remaja terus menerus mengkonsumsi NAPZA, tubuh remaja akan membangun batas toleransi, yang berarti tubuh remaja membutuhkan obat dalam jumlah yang lebih besar agar dapat memberikan efek yang sama. Selain itu peggunaan NAPZA juga menyebabkan ketergantungan fisik, dimana kebutuhan fisik terhadap suatu obat disertai dengan gejala ketagihan yang tidak menyenangkan ketika pemakaian obat dihentikan.Gejala-gejala yang mungkin muncul menurut Pinel (2009) seperti mual, gangguan pencernaan, keringat berlebih, menggigil dan kedinginan, tremor, dan gangguan tidur, yang menyebabkan munculnya perasaan-perasaan negatif lainnya. Hal ini membuat seseorang menjadi ketergantungan terhadap suatu obat, atau dengan kata lain individu tersebut mengalami kecanduan.

Dijelaskan pula dalam DSM-IV kecanduan merupakan kumpulan gejala yang mengindikasikan bahwa seseorang memiliki kesulitan untuk

(4)

mengontrol penggunaan suatu zat dan meneruskan penggunaanya tanpa memperdulikan akibatnya. Sedangkan pecandu NAPZA adalah seorang penyalahguna NAPZA yang telah mengalami ketergantungan terhadap satu atau lebih narkotik, psikotropika, dan zat adiktif lain, baik secara fisik maupun psikis.

Pada dosis yang rendah, individu yang mengkonsumsi NAPZA akan mengalami perubahan perasaan menjadi segar-bugar; kegelisahan dan kegembiraan diawal kemudian diikuti oleh keadaan yang terbebas dari beban pikiran seperti mimpi; perubahan persepsi indrawi termasuk mengenai ruang dan waktu; indera peraba, penglihatan, penciuman, pengecap dan suara yang lebih tajam dari biasanya; serta perubahan-perubahan dalam berpikir, secara sekilas kondisi-kondisi tersebut tidak berbeda dengan kondisi orang pada umumnya (Pinel, 2009).

Perubahan-perubahan yang terjadi pada seseorang yang mengkonsumsi NAPZA pada dosis rendah tidak terlalu terlihat, tetapi pada dosis tinggi maka sangat berpengaruh pada kondisi psikologisnya. Kemampuan individu dalam melaksanakan tugas, yang sudah mengalami kecanduan NAPZA pada dosis tinggi cenderung menurun. Dalam berbicara menjadi terbata-bata, sehingga sulit melakukan komunikasi secara efektif.Mengalami halusinasi, kondisi emosionalnya menjadi tidak terkontrol, mengalami distorsi penginderaan, mengalami perasaan paranoia, dan mempengaruhi kemampuan motoriknya (Pinel, 2009).

(5)

Berdasarkan hasil wawancara pada tiga subyek, ketiganya mengaku awal mula menggunakan obat-obatan jenis NAPZA karena rasa penasaran.Bahkan subyek AN awalnya dimintai tolong oleh temannya untuk membeli obat-obatan tersebut, karena subyek merasa penasaran akhirnya subyek mulai mencoba mengkonsumsi. Ketika mengkonsumsi obat-obatan tersebut An merasakan dirinya lebih percaya diri dari sebelumnya, dan ketika subyek tidak lagi mengkonsumsi obat-obatan tersebut merasakan mual, gemetar dan kedinginan sehingga subyek terus mengkonsumsinya bahkan menambahkan dosisnya. Karena kebutuhan obat-obatan tersebut semakin tinggi, subyek berusaha memenuhi kebutuhannya dengan menjual obat-obatan tersebut kepada teman-temannya. Walaupun masih dalam skala kecil, tetapi tetap saja merugikan sampai akhirnya subyek terjaring dalam razia petugas dan masuk dalam LAPAS.

Menurut Hutapea (2010) pada awal menjalani kehidupan di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), seorang narapidana memasuki suatu dunia yang amat berbeda dengan kehidupan sebelumnya diluar Lembaga Permasyarakatan. Cohen dan Tylor (dalam Hutapea, 2011) bahkan

menyebutnya sebagai keruntuhan hidup menyeluruh (“massive life

disruption”). Hasil penelitian Holmes dan Rahe (dalam Liwarti, 2013),

hukuman penjara menempati urutan keempat dalam skala urutan pengalaman hidup yang menimbulkan stres. Remaja yang telah masuk dalam LembagaPermasyarakatan akan mendapatkan stereotip buruk dari

(6)

masyarakat, selain itu kondisi yang penuh tekanan juga akan mempengaruhi kondisi mental para remaja.

Beberapa perubahan hidup yang dialami oleh para remaja dapat membawa remaja ini dalam suatu perasaan ketidaknyamanan fisik dan psikis (Liwarti, 2013). Di dalamLembaga Permasyarakatan, para remaja memiliki keterbatasan untuk menjalin hubungan antara sesama narapidana, adanya rasa takut untuk bergaul dengan lainnya, hilangnya privasi dan individualitas, berkurangnya otonomi serta setiap saat individu dapat menerima perlakuan buruk, baik dari sesama yang lebih kuat atau lebih berpengaruh maupun dari pihak yang memiliki otoritas (Hutapea, 2011).

Berdasarkan keterangan dari ketiga subyek, pada saat awal berada dalam lembaga pemasyarakatan subyek merasa mendapat tekanan seperti takut mendapatkan stereotip buruk dari masyarakat, takut untuk bergaul dengan sesama narapidana, takut mendapatkan perlakuan buruk hal tersebut tentunya mempengaruhi kondisi psikologis remaja.

Menurut Handayani (2010) menjalani kehidupan di LAPAS merupakan bentuk pertanggungjawaban yang harus dipenuhi oleh remaja yang melanggar hukum.Tujuan dari pembinaan adalah agar narapidana tidak mengulangi lagi perbuatannya, menemukan kembali kepercayaan dirinya, dan dapat diterima menjadi bagian dari anggota masyarakat.Selama menjalani masa hukuman di LAPAS berbagai permasalahan dialami narapidana remaja diantaranya adalah perubahan hidup, hilangnya kebebasan, hak-hak yang semakin terbatas, dan perolehan label penjahat.Narapidana yang masih

(7)

tergolongremaja membutuhkan arahan, bimbingan, serta pendampingan dari orangtua agar individu dapat berkembang ke arah pendewasaan yang lebih positif.

Penelitian Sholichatun (dalam Nelfice dkk, 2014)menunjukkan bahwa masalah yang menjadistresor bagi para anak didik di LAPAS adalahkerinduan pada keluarga, kejenuhan di LAPAS baikkarena bosan dengan kegiatan-kegiatannya, bosandengan makanannya, adanya masalah denganteman dan rasa bingung ketika memikirkan masadepannya nanti setelah keluar dari LAPAS.Ketiga subyek mengakui merasa bingung bagaimana dengan masa depannya, bagaimana pandangan masyarakat mengenai dirinya, apakah merasa masih dapat tetap melanjutkan sekolah atau tidak. Subyek A dan T mengaku merasa bosan berada di dalam LAPAS, dan ingin cepat kembali kerumah sedangkan An mengaku sudah mulai terbiasa menjalani aktifitas di LAPAS. Ketika An mulai merasa bosan, subyek berusaha membaur dengan narapidana lainnya.

Cooke dkk (dalam Liwarti, 2013), menegaskan bahwa para remaja mengalami kehilangan beberapa hal yaitu, kehilangan kendali memilih hidup yang dijalani bahkan melakukan fungsi dasar seperti mencuci dan tidur, kehilangan keluarga dekat seperti anak dan suami, kurangnya stimulasi kegiatan sehari-hari karena kegiatan dilembaga pemasyarakatan cenderung monoton, serta kehilangan panutan terutama pada anak-anak dan remaja. Hal-hal seperti ini akan menimbulkan masalah-masalah yang akan sangat

(8)

Menurut Synder & Lopez (dalam Liwarti, 2013) Psychological well being dapat menjadikan gambaran mengenai level yang tertinggi dari fungsi individu sebagai manusia dan yang diidam-idamkannya sebagai makhluk yang memiliki tujuan dan berusaha berjuang untuk tujuan hidupnya. Individu

yang memiliki psychological well being yang positif adalah individu yang

memiliki respon positif terhadap dimensi-dimensi psychological well being

yang berkesinambungan. Pada intinya psychological well being merujuk pada

perasaan seseorang mengenai aktifitas hidup sehari-hari. Menurut Bradburn (dalam Liwarti, 2013) perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif misalnya, ketidakpuasan hidup, kecemasan merasa tertekan, rasa percaya diri yang rendah, dan sering berperilaku agresif, sampai pada kondisi mental yang positif seperti, realisasi potensi dan aktualisasi diri.

Menurut Ryff & Singer (Papalia dkk, 2008) kesehatan mental positif mengandung kenyamanan psikologis yang amat berkaitan dengan perasaan keberadaan diri yang sehat. Orang yang sehat secara psikologis memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Individu membuat keputusan sendiri dan mengatur perilakunya sendiri, serta lebih memilih atau membentuk lingkungan yang membuat hidupnya menjadi bermakna, serta berjuang dan mengembangkan dirinya sendiri semaksimal mungkin.

Menurut keterangan dari petugas beberapa remaja ada yang merasa malu dengan statusnya saat ini sebagai narapidana. Subyek T mengatakan bahwa dirinya merasa malu, minder, bersalah kepada keluarganya, dan ragu-ragu dan takut jika dirinya tidak dapat diterima kembali dimasyarakat selepas

(9)

masa tahanannya. Subyek A merasa bersalah, karena telah membuat malu keluarganya, subyek juga masih belum bisa menerima dirinya berada di lembaga pemasyarakatan sehingga subyek juga merasa sulit beradaptasi dengan lingkungannya. Sedangkan subyek An, awalnya memang merasa malu dan sangat bersalah karena membuat keluarganya sedih, tetapi seiring berjalannya waktu subyek mulai dapat menerima keadaannya dan berusaha membuktikan bahwa subyek dapat menjadi individu yang lebih baik lagi.Menurut Bartol (Azani, 2012) dampak psikologis hukuman penjara antara lain: kehilangan identitas diri, kehilangan rasa aman, kehilangan kemerdekaan individual, kehilangan kebebasan untuk berkomunikasi, kehilangan pelayanan, kehilangan kasih sayang keluarga, kehilangan harga diri, kehilangan rasa percaya diri dan kehilangan kehilangan kreatifitas bahkan impian serta cita-cita narapidana. Kehilangan hak-hak tersebut menyebabkan terjadinya perubahan dalam kehidupan para narapidana, yang menyebabkan para narapidana sulit untuk menerima dirinya sendiri.

Penerimaan diri adalah menurut Johnson(dalam Putri, 2012), penerimaan diri dipandang sebagai suatu keadaan dimana seseorang memiliki penghargaan yang tinggi pada dirinya sendiri. Untuk mencapai suatu konsep diri maka seseorang harus dapat menjalankan penerimaan atas dirinya. Jika seseorang memiliki konsep diri yang positif maka ia akan memiliki penerimaan diri yang positif, dan jika ia memiliki konsep diri yang negatif maka ia tidak akan memiliki penerimaan atas dirinya (Burns, dalam Putri, 2012).

(10)

Berdasarkan penuturan petugas pada tanggal 24 Juli 2015,menuturkan, rata-rata remaja yang baru masuk dalam LAPASawalnya sulit untuk terbuka dan cenderung pendiam, menutup diri.Tetapi setelah diajak untuk berbaur dan mengikuti kegiatan, sedikit-sedikit mulai bisa membuka diri tetapi tidak semua, masih ada juga yang masih menutup diri karena malu, adanya rasa bersalah atau perasaan takut serta canggung karena berada ditempat baru.Termasuk subyek A, T dan AN, subyek A dan T masih merasakan adanya perasaan malu dan bersalah sedangkan subyek AN sudah mulai dapat beradaptasi dan sudah mulai dapat menerima keadaan dirinya serta berusaha membuktikan bahwa dirinya dapat menjadi individu yang lebih baik.

Penghuni Lembaga Pemasyarakatan memiliki hak untukmeningkatkan

psychological well being, para remaja memiliki hak untuk memiliki

kehidupan yang bahagia sekalipun berada dalam penjara.Selama berada dalam Lembaga Permasyarakatan, para remaja mendapatkan pembinaan agar kelak berfungsi secara layak ditengah masyarakat setelah selesai menjalani masa hukuman. Sehingga menurut Anthony (dalam Azani, 2012) para remaja ini dapat menerima kenyataan, dan dapat mengembangkan kesadaran diri, berpikir positif, memiliki kemandirian dan mempunyai kemampuan untuk memiliki, serta mencapai segala sesuatu yang diinginkan. Dengan kata lain, remaja di dalamLembaga Permasyarakatan sendiri, mendapatkan pembinaan atau bimbingan agar dapat menggali potensi-potensi yang ada dalam diri, serta membentuk mental yang positif dalam diri remaja. Namun pada

(11)

kenyataannya tidak semua remaja dapat merasakan hak individu untuk memiliki kehidupan yang bahagia. Tidak semua remaja mampu menerima keadaan dirinya, karena menyandang status sebagai narapidana. Menurut UU no. 12 tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilangkebebasan di dalam penjara.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada tanggal 27 Juli 2015 pada tigaremaja, terlihat subyek A dan T terlihat lebih pendiam dibandingkan dengan An.An terlihat dapat membaur dengan rekan-rekannya bahkan dengan petugas subyek tidak segan untuk bertanya, sedangkan A dan T hanya berbicara ketika ada rekannya atau petugas yang bertanya atau mengajak bicara, saat ada orang lain yang tidak dikenal kedua subyek lebih sering menunduk. Ketika peneliti bertemu dengan salah seorang remaja berinisial A, peneliti melakukan wawancara dengan didampingi seorang petugas. Subyek mengatakan, selama berada di dalamLembaga Pemasyarakatan memang merasakan kecemasan dan kekhawatiran bagaimana nanti menjalani kehidupan setelah bebas dari masa hukuman. Subyek juga merasa bersalah kepada keluarganya karena perbuatannya dan statusnya sebagai narapidana, subyek merasa malu jika nantinya bertemu kembali dengan masyarakat, subyek merasa dirinya tidak sama dengan orang lain karena statusnya sebagai narapidana. Setelah selesai menceritakan pengalamannya A langsung pergi kedalam lingkungan sel, selama proses wawancara A terlihat gelisah dan tidak tenang. Begitu pula dengan T, terlihat lebih banyak menunduk ketika diajak bicara dibandingkan dengan kedua subyek An terlihat lebih santai.

(12)

Tidak semua remaja dapat menerima semua aspek positif dan negatif yang ada dalam dirinya, yang menyebabkan turunnya rasa percaya diri pada masing-masing individu, tetapi ada juga beberapa individu yang kemudian menjadi agresif mudah marah, tersinggung dan sebagainya sehingga memancing adanya tindakan kekerasan seperti perkelahian.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan pihak LAPAS (Lembaga Pemasyarakatan) pada remaja yang berada di dalam sel merasakan perasaan bingung, putus asa karena harus mendekam dalam sel, jauh dari keluarga khususnya orang tua, dan kehilangan panutan. Karena di dalam sel sendiri terdiri dari para remaja yang juga bernasib sama, merasa bingung dan putus asa sehingga para remaja ini tidak tahu apa yang harus dilakukan. Karena menyandang predikat sebagai seorang narapidana, para remaja ini bingung bagaimana masa depannya kelak, masih dapatkah diterima kembali oleh keluarga masyarakat nantinya, masih dapatkah melanjutkan sekolah atau dapatkah remaja-remaja ini memperoleh lapangan pekerjaan. Turunnya rasa percaya diri, adanya perasaan malu dan bersalah, belum bisa menerimaa keadaan, serta putus asa yang dirasakan para remaja dapat berdampak pada penerimaan diri para remaja.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti pada ketiga remaja, ditemukan adanya perbedaan kondisi psychological well beingyang berbeda. Dimensi-dimensi yang terdapat dalam

psychological well being yakni penerimaan diri, hubungan positif dengan

(13)

pribadi. Dimana untuk mencapai psychological well being dimensi utama yang harus terpenuhi oleh seseorang adalah penerimaan diri.

Dua dari tiga subjek ditemukan masih belum mampu memperoleh

psychological well being.Subjek merasa bersalah kepada keluarganya dan

malu karena statusnya sebagai narapidana dan pernah mengkonsumsi NAPZA.Sedangkan satu dari ketiga subjek menunjukan sikap-sikap yang

merupakan bentuk dari psychological well being.Subjek menunjukan adanya

penerimaan diri yang baik dimana subjek sudah menyadari keadaannya saat ini dan subjek juga terus berusaha tumbuh dan berkembang menjadi individu yang lebih baik lagi.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian

mengenai pengaruh penerimaan diri terhadap psychological well

beingnarapidana remaja yang mengalami kecanduan NAPZA.

B. Perumusan Masalah

Bagaimana pengaruhpenerimaan diri terhadappsychological well

being pada narapidanaremaja Tahanan Polres Banyumasyang mengalami

kecanduanNAPZAdi Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

(14)

remajaTahanan Polres Banyumasyang mengalami kecanduanNAPZA di Lembaga Permasyarakatan Purwokerto ?

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengembangkan keilmuan di bidang psikologi, khususnya psikologi klinis.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat khususnya bagi narapidana remaja agar mampu meningkatkan penerimaan dirinya sehingga mendapatkan kesejahteraan psikologis.

Referensi

Dokumen terkait

Keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan sekolah perempuan desa Sumberejo terihat dari penerapan setelah melakukan srangkaian kegaiatan dan materi yang berkaitan

Pesan yang disampaikan melalui komunikasi diharapkan dapat diterima dengan pemahaman yang baik oleh penerimanya, dan dari pemahaman tersebut akan mendorong untuk

Karpet yang melapisi lantai dan dinding ruang pertemuan dapat menyerap bunyi.. Cara Menentukan Gagasan Pokok dan Gagasan Pendukung, yaitu: Bacalah paragraf dengan cermat

Dengan demikian, apabila ketiga faktor tersebut dimiliki oleh seorang auditor, maka pertimbangan auditor terhadap tingkat materialitas suatu laporan keuangan akan semakin

Demikian juga yang telah dilakukan Widayanti (2006), kajian molekuler daerah D-loop pada Tarsius tidak dapat dijadikan sebagai penanda genetik sedangkan pada gen

Hasil penelitian untuk variabel ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Parerung (2014) berjudul disiplin, kompensasi,dan pengembangan karir pengaruhnya

Semakin tinggi tingkat probabilitas audit dapat mempengaruhi psikologis wajib pajak, antara lain (1) ketakutan wajib pajak bila teraudit dan ada penggelapan pajak, (2) wajib

Metode perakitan yang bagian-bagian yang akan dirakit dapat ditukarkan satu sama lain, karena bagian tersebut dibuat oleh suatu pabrik secara massal dan sudah distandarkan