• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dan kesejahteraan, dimana negara, masyarakat, dan orang tua maupun keluarga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dan kesejahteraan, dimana negara, masyarakat, dan orang tua maupun keluarga"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus mendapat perlindungan dan kesejahteraan, dimana negara, masyarakat, dan orang tua maupun keluarga wajib dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Dalam diri setiap anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak asasi sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak ( fundamental rights and freedoms of children ) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.

Dalam perspektif kenegaraan, komitmen negara untuk melindungi warga negaranya termasuk di dalamnya terhadap anak, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Hal tersebut tercermin dalam kalimat : “…Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan bangsa Indonesia itu…”.1

Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, menyebutkan : “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 34 UUD 1945 hasil perubahan keempat, yang disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dalam Pasal 34 UUD 1945 tersebut disebutkan :

(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

(2)

(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.2

Pasal 52 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak-hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak. 3

Hal tersebut juga ditegaskan dalam Undang-Undang yang lebih khusus yaitu Undang No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pasal 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan : “Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi :

a. Non-diskriminasi ;

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak ;

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan ; dan d. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan partisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

2Ibid, Pasal 28B dan Pasal 34.

3Undang Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Tahun 2000 dan

(3)

kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera ( Pasal 3 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 ).4

Berdasarkan perkembangan di masyarakat dapat dilihat masih banyak anak-anak yang belum memperoleh hak-haknya sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh undang-undang perlindungan anak. Hal tersebut tampak bahwa masih banyak anak-anak yang seharusnya memperoleh pendidikan namun karena keadaan ekonomi yang sulit, anak tersebut harus bekerja. Faktor lain juga dari kondisi orang tua anak yang tidak memungkinkan untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap anak yang dilahirkannya. Misalnya akibat permasalahan ekonomi, akibat perceraian, status anak dalam keadaan tidak memiliki orang tua (yatim piatu), penelantaran atau tindakan buruk lainnya. Kondisi ini menempatkan anak sebagai alasan dan keterbatasan orang-orang dewasa dalam menyelesaikan masalah dalam hidupnya. Alasan kesulitan ekonomi menjadikan anak diperalat atau dipekerjakan. Anak menjadi korban kegagalan orang dewasa dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang ada. Himpitan hidup dan peningkatan tuntutan hidup membuat semakin meluasnya kesempatan yang dilakukan dan mengorbankan anak-anak.

Penelantaran hak-hak anak atau pengabaian hak-hak anak dapat kita lihat pada tempat-tempat umum yaitu pengemis jalanan yang menggendong bayi dengan kasih sayang demi sesuap nasi, pembuangan bayi, gizi buruk hingga penularan HIV/Aids. Melihat pada situasi tersebut, maka negara sebagai penjamin

4 Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia dan Departemen Sosial

Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

(4)

perlindungan hak-hak anak memiliki peran dan fungsi dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang belum memperoleh haknya sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang perlindungan anak. Kegiatan untuk melakukan pembinaan, pengembangan, dan perlindungan anak, diperlukan peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.

Kepedulian terhadap persoalan anak mulai tercatat semenjak tahun 1920an, seusai Perang Dunia I. Dalam perang tersebut, pihak yang paling banyak menderita adalah kaum perempuan dan anak. Laki-laki dewasa boleh saja terluka, tetapi dia masih bisa menegakkan kepala, membanggakan cerita kepahlawanannya ketika perang. Namun tidak demikian dengan perempuan dan anak-anak yang harus berlari, bersembunyi, terancam dan tertekan baik secara fisik maupun psikis ketika perang. Setelah perang, para perempuan dan anak-anak harus mendapati kenyataan pahit dimana suami atau saudaranya hilang bahkan juga ikut terluka. Para perempuan menjadi janda dan anak-anak menjadi yatim-piatu, sehingga kehilangan sosok keluarga yang melindunginya. Akibat dari Perang Dunia I tersebut, muncullah keprihatinan terhadap nasib perempuan dan anak melalui berbagai macam aksi yang mendesak dunia memperhatikan secara serius nasib perempuan dan anak-anak setelah terjadinya perang.

Salah satu diantara para aktivis perempuan itu adalah Eglantyne Jebb, yang kemudian mengembangkan butir-butir pernyataan tentang hak anak yang pada

(5)

tahun 1923 diadopsi menjadi Save the Children Fund International Union, yang antara lain berupa :

1. Anak harus dilindungi di luar dari segala pertimbangan ras, kebangsaan dan kepercayaan;

2. Anak harus dipelihara dengan tetap menghargai keutuhan keluarga;

3. Anak harus disediakan sarana-sarana yang diperlukan untuk perkembangan secara normal, baik material, moral dan spiritual;

4. Anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak cacat mental atau cacat tubuh harus dididik, anak yatim piatu dan anak terlantar harus diurus/ diberi pemahaman;

5. Anaklah yang pertama-tama harus mendapatkan bantuan/ pertolongan pada saat terjadi kesengsaraan;

6. Anak harus menikmati dan sepenuhnya mendapat manfaat dari program kesejahteraan dan jaminan sosial, mendapat pelatihan agar pada saat diperlukan nanti dapat dipergunakan untuk mencari nafkah, serta harus mendapat perlindungan dari segala bentuk eksploitasi ; dan

7. Anak harus diasuh dan dididik dengan suatu pemahaman bahwa bakatnya dibutuhkan untuk pengabdian kepada sesama umat.

Hadi Supeno mengatakan bahwa sejatinya anak membutuhkan pihak-pihak tertentu, baik orangtua/ keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara selaku

(6)

pembuat regulasi (regulator body), pelaksana pemenuhan hak-hak anak (executive body), dan pengemban kewajiban negara (state obligation).5

Sementara itu, Peter Newel, seorang expert dalam perlindungan anak, mengemukakan beberapa alasan subjektif dari sisi keberadaan anak, sehingga anak membutuhkan perlindungan, antara lain :6

a. Biaya pemulihan (recovery) akibat kegagalan dalam memberikan perlindungan anak sangat tinggi. Jauh lebih tinggi daripada biaya yang dikeluarkan jika anak-anak memperoleh perlindungan;

b. Anak-anak sangat berpengaruh langsung dan berjangka panjang atas perbuatan (action) dari pemerintah dan kelompok lainnya;

c. Anak-anak selalu mengalami pemisahan atau kesenjangan dalam pemberian pelayanan publik;

d. Anak-anak tidak mempunyai hak suara, dan tidak mempunyai kekuatan lobi untuk mempengaruhi agenda kebijakan pemerintah;

e. Anak-anak pada banyak keadaan tidak dapat mengakses perlindungan dan penataan hak-hak anak; dan

f. Anak-anak lebih berisiko dalam eksploitasi dan penyalahgunaan.

Berbagai macam tuntutan yang meminta agar ada perhatian khusus pada anak, membuahkan hasilnya dengan memasukkan hak-hak anak dalam Piagam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 10 Desember 1948. Misalnya dalam Pasal 25 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Ibu dan anak-anak berhak

5M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), hal. 24-25.

(7)

mendapatkan perhatian dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus menikmati perlindungan sosial yang sama.”

Selanjutnya upaya perlindungan anak juga direspon dalam Majelis Umum PBB yang kembali mengeluarkan pernyataan Deklarasi Hak Anak pada 20 November 1959 yang dapat dilihat Asas 1, Asas 2 dan Asas 9, yang pada prinsipnya antara lain mengatakan bahwa :

- Asas 1, “anak hendaknya menikmati semua hak yang dinyatakan dalam deklarasi ini. Setiap anak, tanpa pengecualian apapun, harus menerima hak-hak ini, tanpa perbedaan atau diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan lainnya, asal usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran, atau status sosial lainnya, baik dirinya maupun keluarganya.”

- Asas 2, “anak harus menikmati perlindungan khusus dan harus diberikan kesempatan dan fasilitas, oleh hukum atau peraturan lainnya, untuk memungkinkan tumbuh jasmaninya, rohaninya, budinya, kejiwaannya, dan kemasyarakatannya dalam keadaan sehat dan wajar dalam kondisi yang bebas dan bermartabat. Dalam penetapan hukum untuk tujuan ini, perhatian yang terbaik adalah pada saat anak harus menjadi pertimbangan pertama.”

- Asas 9, “anak harus dilindungi dari semua bentuk kelalaian, kekejaman dan eksploitasi. Anak tidak boleh menjadi sasaran perdagangan dalam segala bentuknya.”

(8)

Selanjutnya, upaya perlindungan anak akhirnya membuahkan hasil nyata dengan dideklarasikan Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of The Child) secara bulat oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 20 November 1989 (Resolusi PBB No.44/25 tanggal 5 Desember 1989). Sejak saat itu, maka anak-anak seluruh dunia memperoleh perhatian khusus dalam standar Internasional.

Indonesia sendiri sebagai anggota PBB, meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak-Hak Anak (

Convention on the Rights of the Child ) yang menandakan bahwa Indonesia secara nasional memiliki perhatian khusus terhadap hak-hak anak. Berkaitan dengan penjabaran hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak, telah dijabarkan sebelumnya yang pada prinsipnya memuat empat kategori hak anak, yakni hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights), hak terhadap perlindungan (protection rights), hak untuk tumbuh kembang (development rights), dan hak untuk berpartisipasi (participation rights).7

Ratifikasi dalam bentuk Keputusan Presiden ini diterima oleh PBB pada tanggal 5 September 1990 sehingga Konvensi Hak Anak berlaku di Indonesia pada 5 Oktober pada tahun itu juga. Keprihatinan muncul terhadap cakupan dan luasnya reservasi saat Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak. Teks lengkap dari reservasi tersebut adalah sebagai berikut :

(9)

- Konstitusi Republik Indonesia 1945 menjamin hak-hak dasar anak tanpa memandang jenis kelamin, kesukuan dan ras. Konstitusi meminta hak-hak tersebut dilaksanakan melalui hukum-hukum nasional dan peraturan.

- Ratifikasi Konvensi Hak Anak oleh Republik Indonesia tidak secara langsung berarti penerimaan kewajiban-kewajiban di luar batas Konstitusional dan tidak juga berarti penerimaan kewajiban-kewajiban apapun untuk memperkenalkan hak apapun di luar yang telah diakui dalam Konstitusi.

- Terkait dengan aturan-aturan dalam Pasal 1, 14, 16, 17, 21, 22 dan 29 Konvensi ini, pemerintah Indonesia mendeklarasikan untuk mengaplikasikannya sepanjang sesuai dengan konstitusi.

- Kemudian, pada November 2005 pemerintah Indonesia mengeluarkan piagam penarikan pernyataan yaitu sebagai berikut :

Menimbang bahwa Republik Indonesia adalah Negara Peserta pada “United National Convention on the Rights of the Child” yang diterima di New York pada tanggal 20 November 1989.

Menimbang pula bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi Konvensi tahun 1989 dimaksud, bersama dengan pernyataannya atas ketentuan-ketentuan Pasal 1, 14, 16, 17, 21, 222 dan 29 dari Konvensi. Untuk itu, Pemerintah Republik Indonesia dengan mendasarkan pada kenyataan bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah dapat berpartisipasi penuh pada Konvensi tahun 1989 dimaksud.

(10)

Menyatakan menarik pernyataannya atas ketentuan-ketentuan Pasal 1, 14, 16, 17, 21, 22 dan 29 dari Konvensi tahun 1989 dimaksud.8

Adapun langkah-langkah implementasi umum Konvensi Hak Anak berisi ketentuan pasal-pasal 4, 42, dan 44 para.6. Isinya adalah kewajiban negara agar :

- Melakukan semua langkah legislatif, administratif dan langkah-langkah lainnya agar hak-hak yang diakui dalam Konvensi Hak Anak dilaksanakan. Dalam hal yang menyangkut hak-hak ekonomi, sosial dan budaya , negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah hingga batas maksimal sesuai sumber daya yang ada dan jika diperlukan dalam kerangka kerja sama internasional. Langkah-langkah yang seharusnya diambil adalah menarik reservasi, meratifikasi Instrumen Internasional HAM lainnya, menyesuaikan legislasi nasional dengan prinsip dan ketentuan Konvensi Hak Anak, merumuskan strategi nasional bagi anak yang secara komprehensif mengacu pada kerangka Konvensi Hak Anak berikut penetapan tujuan-tujuannya dan lain-lain.

- Prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Hak Anak bisa diketahui secara luas, dengan cara yang tepat dan aktif baik kepada masyarakat maupun anak-anak. Langkah yang diambil seharusnya dengan menerjemahkan Konvensi Hak Anak ke dalam bahasa nasional dan bahasa-bahasa daerah serta penyebarluasan Konvensi Hak Anak.

8

Ahmad Taufan, Laporan Tinjauan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak Di Indonesia

(11)

- Membuat laporan pemerintah berikut kesimpulan pengamatan Konvensi Hak Anak tersedia secara luas bagi publik di seluruh negeri.

Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan :

a. Diskriminasi

Misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik atau mental.

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual

Misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan.

c. Penelantaran

Misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat atau mengurus anak sebagaimana mestinya. d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan

Misalnya tindakan atau perbuatan secara zalim, keji, bengis, atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatan melukai dan/ atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.

(12)

Misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan yang lainnya, atau kesewenang-wenangan terhadap anak.

f. Perlakuan salah lainnya

Misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak.

Sehingga dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan di atas maka perlu dikenakan pemberatan hukum.9

Usaha kesejahteraan anak merupakan usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak, terutama terpenuhinya kebutuhan anak (Pasal 1 angka 1 huruf b PP No. 2 Tahun 1988 Tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah). Adapun usaha-usaha itu meliputi, pembinaan, pencegahan dan rehabilitasi. Pelaksanaannya adalah pemerintah dan/ atau masyarakat baik di dalam maupun di luar panti (Pasal 11 ayat (3) PP No. 2 Tahun 1988 Tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah). Pemerintah dalam hal ini memberikan pengarahan, bimbingan, bantuan, dan pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh masyarakat.

Usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat ditujukan terutama kepada anak yang mempunyai masalah. Antara lain anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, anak yang tidak mampu, anak yang mengalami masalah kelakuan, dan anak cacat. Usaha ini dimaksudkan

9 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2003), hal.

(13)

memberikan pemeliharaan, perlindungan, asuhan, perawatan, dan pemulihan kepada anak yang mempunyai masalah.

Pembinaan, pengembangan, pencegahan, dan rehabilitasi dilaksanakan dalam bentuk asuhan, bantuan, dan pelayanan khusus. Asuhan ditujukan kepada anak yang mempunyai masalah antara lain, anak yang tidak mempunyai orang tua dan terlantar, anak terlantar, dan anak yang mengalami masalah kelakuan.

Asuhan sesuai Pasal 7 (2) PP No. 2 Tahun 1988 diberikan antara lain dalam bentuk :

a. Penyuluhan/ bimbingan dan bentuk lainnya yang diperlukan ; b. Penyantunan dan pengentasan anak ;

c. Pembinaan/ peningkatan derajat sosial ; d. Pemberian/ peningkatan kesempatan belajar ; e. Pembinaan/ peningkatan keterampilan ;

Pelaksanaan dilakukan baik di dalam maupun di luar panti sosial, yaitu lembaga/ kesatuan kerja yang merupakan prasarana dan sarana yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan profesi pekerja sosial maupun di luar panti ( Pasal 1 ayat (6) PP No. 2 Tahun 1988).

Sementara bantuan ditujukan kepada anak yang tidak mampu berupa bantuan materi dalam rangka usaha pemenuhan kebutuhan pokok anak, bantuan jasa dalam rangka usaha pembinaan dan pengembangan untuk mengarahkan bakat dan keterampilan, bantuan fasilitas, diberikan dalam rangka usaha mengatasi hambatan-hambatan sosial (Pasal 7). Bantuan ini dapat diberikan secara langsung

(14)

kepada anak melalui orang tua/ wali, yang tata cara pemberian dan penggunaannya diatur oleh menteri.10

Salah satu dari kelompok anak yang membutuhkan perlindungan secara khusus tersebut adalah anak yatim piatu yang berada di yayasan sosial. Hal ini akan dikaji secara yuridis, perlindungan hak-hak anak yang diasuh pada Yayasan Sosial. Yayasan Sosial sebagai salah satu lembaga perlindungan anak haruslah memperhatikan ketentuan mengenai perlindungan anak sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Dalam Pasal 331a angka 4, menyebutkan “ Perwalian mulai berlaku bila suatu perkumpulan, yayasan atau lembaga sosial, bukan atas permintaan sendiri atau pernyataan bersedia, diangkat menjadi wali, pada saat menyatakan sanggup menerima pengangkatan itu”. Selain itu, Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 33 juga mengatur mengenai perwalian anak angkat. Perwalian terhadap anak angkat, dapat dikaji dari aspek defenisi anak sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa “Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.”11

10Ibid, hal. 83-85.

11H.Ahmad Kamil, H.M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di

(15)

Anak-anak yang diasuh pada yayasan sosial tentunya memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Yayasan sosial sebagai salah satu lembaga perlindungan anak harus mampu memberikan kesejahteraan dan keseimbangan hidup dalam masa perkembangan anak. Anak harus memperoleh pendidikan, kehidupan yang layak, pertumbuhan sebagaimana anak-anak pada umumnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka hal tersebut menarik diteliti yaitu “Tinjauan Yuridis Terhadap Hak-Hak Anak Yang Diasuh Di Panti Asuhan Di tinjau Dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ( Studi Pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan )”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penulisan ini permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan perlindungan anak berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ?

2. Bagaimana proses pengangkatan anak yatim piatu menjadi anak asuh dalam sistem Hukum Perdata Indonesia ?

3. Bagaimana implementasi terhadap hak-hak anak dalam hukum perlindungan anak?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari pembahasan penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan anak berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

(16)

2. Untuk mengetahui proses pengangkatan anak yatim piatu menjadi anak asuh dalam sistem Hukum Perdata Indonesia.

3. Untuk mengetahui implementasi terhadap hak-hak anak dalam perlindungan anak yang dilakukan oleh yayasan sosial.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan ini yaitu secara teoretis maupun praktis, yakni :

1. Secara Teoretis

Secara teoretis diharapkan pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dapat menambah pengetahuan dan melahirkan pemahaman bahwa pentingnya memberikan perhatian khusus mengenai perlindungan terhadap hak-hak anak yang diasuh pada lembaga-lembaga sosial ditinjau berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Sehingga hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan harkat dan martabatnya dapat terpenuhi.

2. Secara Praktis

Secara praktis dalam pembahasan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah, lembaga-lembaga sosial, masyarakat, maupun para orang tua dalam memberikan perlindungan terhadap anak, khususnya dalam memberikan hak-hak anak sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Perlindungan Anak.

(17)

Suatu karya ilmiah selalu disusun berdasarkan data-data yang benar dan bersifat objektif sehingga dapat diuji kebenarannya, serta tunduk pada suatu metodologi. Demikian juga halnya dengan penulisan skripsi ini, mempergunakan metode ilmiah dalam dalam mengumpulkan bahan-bahan atau sumber-sumber data yang dibutuhkan, sehinggga penulisan skripsi ini dapat diuji objektivitasnya berdasarkan metode-metode ilmiah. Adapun metode penelitian hukum yang dipergunakan, yaitu :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah kombinasi penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Sementara penelitian yuridis empiris adalah penelitian permasalahan mengenai hal-hal yang bersifat yuridis dan didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dengan mengacu kepada pola-pola perilaku masyarakat yang nyata di lapangan.12

Pendekatan hukum normatif dilakukan dengan cara penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan perlindungan anak, serta memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, majalah, situs internet, dan sebagainya.

Soerjono Soekanto, berpendapat bahwa penelitian hukum normatif meliputi, penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum,

(18)

penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum.13

Sementara penelitian hukum empiris dilakukan melalui prosedur dan teknik wawancara kepada informan atau responden yang terkait dengan penelitian ini.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan deskriptif analitis yaitu penelitian didasarkan atas satu atau dua variabel yang saling berhubungan yang didasarkan pada teori atau konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi ataupun hubungan seperangkat data dengan seperangkat data lainnya.14

3. Sumber data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet, media massa, dan kamus serta data yang terdiri atas :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu : Norma-norma atau kaedah-kaedah dasar seperti Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan yang meliputi, Undang-Undang, Konvensi.

b. Bahan Hukum sekunder, yaitu : Buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti

13Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada, 2007), hal.41. 14Ibid. hal. 37-38.

(19)

artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu : Kamus, Ensklopedia, bahan dari Internet dan lain-lain yang merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Sedangkan data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber data, yaitu melalui observasi, wawancara, dan penyebaran kuesioner yaitu pada Yayasan Sosial Sai Prema.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku milik pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk Peraturan Perundang-Undangan, dan untuk memperoleh data pendukung akan dilakukan wawancara secara mendalam ( in depth interviewing).15

5. Analisis Data

Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, metode kualitatif ini digunakan agar dapat mengerti dan memahami gejala yang ditelitinya.16

15Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta : Rieneka Cipta, 1996), hal. 59.

16 Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia

(20)

Seluruh data sekunder dan data primer yang diperoleh dari pustaka dan penelitian lapangan diklasifikasikan dan disusun secara sistematis, sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Langkah selanjutnya, dari data sekunder dan data primer yang telah disusun dan ditetapkan sebagai sumber dalam penyusunan skripsi ini kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif.

Analisis kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori-teori yuridis normatif yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan. Sedangkan metode deksriptif yaitu metode analisis dengan memilih data yang menggambarkan keadaan sebenarnya di lapangan. 17

6. Penarikan Kesimpulan

Sebagai akhir, penarikan kesimpulan dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan metode deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan yang konkret dihadapi. 18

F. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil pemeriksaan dan hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap Hak-Hak Anak Yang Diasuh Di Panti Asuhan Di tinjau Dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ( Studi Pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan ) belum pernah dilakukan dalam topik dan pembahasan yang sama. Penelitian terhadap

17Ibid, hal. 10.

(21)

judul skripsi ini juga telah diperiksa oleh pihak perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, judul skripsi ini belum pernah dikemukakan dan permasalahan yang diajukan juga belum pernah diteliti.

Adapun beberapa judul yang memiliki sedikit kesamaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara antara lain :

1. Perbandingan Ketentuan Pengangkatan Anak Dalam Staatsblad 1917 No. 129 dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 2. Pengaruh Lingkungan Terhadap Kenakalan dan Kejahatan Anak Di tinjau

dari Aspek Hukum Perlindungan Anak.

3. Kekerasan Seksual ( Sexual Abuse ) Terhadap Anak Dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ( studi kasus putusan Pengadilan Negeri Medan No. 3150/Pid B/2003 ).

Oleh karena itu, penulisan skripsi ini dapat dikatakan masih “asli” sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, objektif, serta terbuka sehingga keabsahannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

G. Sistematika Penulisan

Suatu karya ilmiah yang baik harus disusun secara sistematis guna mempermudah uraian pembahasan karya ilmiah yang bersangkutan. Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi beberapa bab yang saling berhubungan satu sama lain. Skripsi ini terdiri dari lima bab, yaitu sebagai berikut :

(22)

Bab I berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang di dalamnya terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi, permasalahan, kemudian dilanjutkan dengan tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, yang kemudian diakhiri oleh sistematika penulisan.

Bab II merupakan bab yang memberikan penjelasan mengenai pengertian anak, asas-asas hukum perlindungan anak, prinsip perlindungan hak-hak anak, perlindungan anak dalam kedudukan hukum dan ruang lingkup hukum perlindungan anak.

Bab III, Bab ini merupakan bab yang memberikan penjelasan tentang kebijakan pemerintah dalam mensejahterakan anak, menjelaskan tentang peran yayasan sosial sebagai tempat perlindungan anak, dan melihat kepedulian masyarakat terhadap perlindungan anak.

Bab IV, Bab ini merupakan bab yang memberikan penjelasan tentang pengaturan perlindungan anak ditinjau berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak, menjelaskan tentang peran lembaga sosial dalam perlindungan hak-hak anak pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan, Menjelaskan tentang implementasi perlindungan terhadap hak-hak anak pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan.

Bab V adalah bab terakhir dalam penulisan skripsi ini yang memaparkan garis besar dari karya tulis ilmiah ini dalam bagian kesimpulan dan bagian saran yang memuat pendapat-pendapat berkaitan dengan “Tinjauan Yuridis Terhadap Hak-Hak Anak Yang Di Asuh Di Panti Asuhan Di Tinjau Dari Undang-Undang No. 23

(23)

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ( Studi Pada Yayasan Sosial Sai Prema Medan ).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian dalam skripsinya Yudistira Ardana tahun 2011 tentang keaktifan berorganisasi, dilakukan survey terhadap beberapa mahasiswa Pendidikan Ekonomi Fakultas

Perbedaan mendasar dalam menentukan batas usia cakap hukum bagi seseorang adalah bahwa hukum pidana di Indonesia menetapkan bahwasanya seseorang dapat dikatakan

kisi-kisi instrumen final yang digunakan untuk mengukur variabel kompetensi.

Pasien bebas memilih obat yang diinginkan karena terdapat banyak produk obat bebas (OTC) saat ini, tetapi apoteker berada dalam posisi yang ideal untuk menilai dan membantu

Ketentuan sebagaimana termuat dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi

khususnya pelajaran matematika. Demikian juga halnya dengan penelitian yang ada, belum banyak penelitian yang membahas mengenai penerapan strategi pembelajaran

Dari hasil analisa tersebut dapat diambil kesim- pulan bahwa untuk memperoleh hasil penanganan atau pengendalian banjir di kawasan Bambu Kuning Kota Jayapura yang optimal