HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN
PENYESUAIAN SOSIAL MAHASISWA PAPUA
YANG KULIAH DI YOGYAKARTA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Ladyane Agustin
NIM : 029114095
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
HALAMAN MOTTO
Kau harus m enjadi dirim u sendiri.
Bersikaplah sangat jujur t ent ang siapa dan apa dirim u.
Dan jika orang m asih m enyukaim u, it u bagus.
Jika m ereka t idak m enyukaim u, it u m asalah m ereka
Sting
Kebahagiaan t erbesar dalam hidup adalah keyakinan bahwa kit a dicint ai
dicint ai karena diri kit a sendiri,
atau tepatnya,
dicint ai sepert i apa pun diri kit a
Viktor Hugo
Bila kit a benar- benar m encint ai dan m enerim a
sert a m engakui diri kit a apa adanya,
m aka sem ua dalam kehidupan ini akan berhasil
Louise Hay
Hidup adalah anugerah, terimalah
Hidup adalah tantangan, hadapilah
Hidup adalah pertandingan, menangkanlah
Hidup adalah teka-teki, pecahkanlah
Hidup adalah kasih, bagikanlah
Hidup adalah kesempatan, gunakanlah
Hidup adalah keindahan, bersyukurlah
Bertindak
dan isilah hidupm u bagi
kem uliaanNya
Karya sederhana ini, kupersembahkan untuk
Prib a di Mulia ya ng m e nja di Sa ha b a t se ja ti da la m hidupku, Ye sus
Kristus sum b e r Im a n, Pe ng ha ra pa n da n Ka sihku da la m m e ng ha da pi
se g a la ha l...Ka u ya ng te rb a ik, te rinda h da n te rm a nis da la m
hidupku, da n Ka u a la sa n ku untuk hidup
Alla h tida k p e rna h b e rja nji
b a hwa tida k a ka n a da ma sa la h
da la m hidup , na mun Dia
b e rja nji b a hwa Ia a ka n se la lu
b e rsa ma da n me nye rta i kita
da la m me la lui ma sa la h
kita ..Ka ta Nya ke p a da ku,
“Marilah kepadaku, semua yang letih
lesu dan berbeban berat, Aku akan
memberikan kelegaan kepadamu”
(Matius 11: 28)
Tuha n me mb ua t se g a la se sua tu
ind a h p a d a wa ktuNya
(Pe ng kho tb a h 3:11a )
Papa Mamaku yang terkasih, yang telah memberikan segenap kasih
dan cinta yang terbaik dalam hidupku. Kalian adalah anugrah
terindah di dalam hidupku
Tuhan Yesus Memberkati kalian selamanya.
Sungguh indah rasanya saat ayahmu bukan dewa, melainkan
manusia biasa bagimu_saat ia turun dari gunung dan kau melihatnya
sebagai pria yang juga memiliki kelemahan. Dan kau tetap mencintai
segenap dirinya, bukan hanya sebagai tokoh
(Robin Williams)
I love you Pa..
Tidak pernah cukup rasa terima kasihku
bagi hatimu, keringatmu, air matamu, doamu
dan beribu-ribu hal yang telah kau lakukan untukku
I love you Ma...
vi
ABSTRAKSI
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN PENYESUAIAN SOSIAL MAHASISWA PAPUA YANG KULIAH
DI YOGYAKARTA
Ladyane Agsutin (029114095)
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Penelitian ini merupakan jenis penelitian korelasional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsep diri dan penyesuaian sosial mahasiswa Papua yang kuliah di Yogyakarta. Mahasiswa Papua sebagai perantau di Yogyakarta harus melakukan penyesuaian sosial dengan masyarakat setempat.. Penyesuaian sosial individu dapat berhasil dilakukan jika didukung oleh konsep diri yang baik.
Subyek penelitian ini berjumlah 40 mahasiswa Papua yang berusia 18-21 tahun. Alat yang digunakan sebagai pengumpul data adalah skala yaitu skala Konsep Diri dan skala Penyesuaian Sosial. Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini berbunyi bahwa ada hubungan yang positif antara konsep diri dan penyesuaian sosial mahasiswa Papua. Semakin tinggi Konsep Diri, maka semakin tinggi pula Penyesuaian Sosial mahasiswa Papua.
Hasil uji validitas butir skala Konsep Diri diperoleh koefisien korelasi item total yang berkisar antara 0,013-0,636. Koefisien reliabilitasnya sebesar 0,934. Uji validitas butir skala Penyesuaian Sosial menghasilkan koefisien korelasi item total yang berkisar antara -0,298-0,654. Koefisien reliabilitasnya sebesar 0,844. Data penelitian diolah dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari
Pearson. Koefisien korelasinya sebesar 0,547 dengan probabilitasnya (p) 0,000 (p<0,01). Hal tersebut berarti hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan positif antara konsep diri dan penyesuaian sosial mahasiswa Papua dapat diterima.
ABSTRACTION
RELATION BETWEEN SELF-CONCEPT AND SOCIAL
ADJUSTMENTOF PAPUA STUDENTS THAT TAKE LECTUREIN
YOGYAKARTA
Ladyane Agustin (029114095)
Psychology Faculty of Sanata Dharma University Yogyakarta
This research is kind of correlation research with aim to know relation between self-concept and social adjustment of Papua students that take lecture in Yogyakarta. Papua Student as emigrate in Yogyakarta must do social adjustment with local society. Social adjustment of individual can be successfully executed if it is supported by good self-concept.
This research subject amounts to 40 students Papua having age 18-21 years. Equipment applied as data compiler is scale i.e. Self-Concept and Social Adjustment Scale. Hypothesis applied in this research say that there is relationship which are positive between Self-Concepts and social adjustment of Papua student. Higher Self-Concept, hence Social Adjustment of Papua student also higher.
Validity test result item of Self-Concept is obtained by total item correlation coefficient ranging from 0,013-0,636. The reliability coefficient is 0,934. Validity test item Social Adjustment Scale yields ranging total item correlation coefficient - 0,298-0,654. The reliability coefficient is 0,844. Research data process by using Product Moment of Pearson correlation technique. Its correlation coefficient 0,547 with the probability (p) o,oo (p<0,01 ). The means hypothesis expressing that there is positive relationship between self-concepts and social adjustment of Papua student is acceptable.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang karena kasih karunia dan kemurahanNyalah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan oleh pertolongan serta penyertaan Roh Kudus senantiasa, yang telah memampukan penulis dalam menjalani perkuliahan selama di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Penulis sangat menyadari bahwa selama perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini, penulis penuh dengan keterbatasan dan tidak terlepas dari bantuan dan dukungan orang-orang dan komunitas yang ada di sekitar penulis, baik dukungan moril, spiritual, maupun materi. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang mendalam dan penghargaan kepada :
1. ‘Bu Arie (ML. Anantasari, S. Psi, M. Si) selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. ‘Bu, makasih banyak untuk semua bantuan, masukan dan dukungan yang tidak pernah berhenti kepada penulis, meskipun di
tengah begitu banyak kesibukan, Ibu tetap bersedia mendampingi penulis selama waktu pembimbingan skripsi yang cukup panjang. Semoga Tuhan memberkati Ibu sekeluarga.
2. Bpk. Eddy Suhartanto, M. Si selaku Dekan Fakultas Psikologi USD, atas bantuan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis selama menjalani masa studi. Trima kasih juga karena telah menjadi dosen penguji yang sangat mendukung penulis dengan memberikan masukan dalam perbaikan skripsi.
3. ‘Bu Agnes selaku dosen penguji skripsi, karena telah menjadi dosen penguji yang sangat mendukung penulis dalam menyempurnakan skripsi ini. Makasih ya ‘Bu..
4. Para dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah membimbing dan membekali penulis dengan berbagai ilmu Psikologi sebagai bekal dalam menjalani masa yang akan datang.
5. Papa ‘n Mama terkasih, T. Karel Tania dan L. Levina Dimalouw, untuk segala kasih sayang, dukungan dan pengorbanan yang dilimpahkan
kepada penulis, baik dalam dukungan doa, perhatian maupun materi. Kedua kakakku tersayang, Cici Grace ‘n Koko Gerald atas semua perhatian dan kasih sayang yang tercurah untuk penulis. Thanx a lot...GBU ALL..
6. Keluarga besar Tania dan Dimalouw di manapun berada, atas segala perhatian dan dukungan kepada penulis selama ini. Special thanx to ‘Ama’ nenekku tercinta yang telah mengasihi dan mendoakan penulis selama ini. GBU ALL..
7. Sodaraku Berto yang sangat membantu penulis dalam melakukan penelitian. Thanx a lot ‘bro..Semoga Tuhan memberkatimu dalam setiap pelayananmu dan juga studimu. Thanx juga buat Jack, yang juga telah banyak membantu dalam penelitian ini, God Bless u ‘bro..Tak lupa my sister ‘Noni’ yang cantik tapi tomboy, thanx untuk bantuannya dalam banyak hal, selama pengeditan skripsi ini..GBU Sista..
8. Brother ‘n sister di “Impact”, thanq untuk semua doa dan dukungan yang besar bagi penulis. Keep on fire guys, “nyatakan kemuliaan dan kasihNya dalam setiap langkahmu“ Jesus Bless Us...
9. Sahabat-sahabat terbaikku Eyen ‘n Ty atas persahabatan ‘n semua kebersamaan yang indah. Thanx untuk bantuan, dukungan dan perhatian kalian bagi penulis, banyak hal yang telah penulis belajar dari kebersamaan kita selama ini, thanq sista. Wish u all the best...GBU
10.Donat, Ei, Ira, yang selama ini telah banyak membantu dan mendukung
penulis, ‘n temen-temen PSF ‘Angel Voice’, thanq untuk semua keceriaan dan kebersamaannya. Good luck ya...GBU
11.Pace Mace di Asrama Serui, Asrama Manokwari dan semua anak-anak Papua yang telah bersedia membantu penulis dalam penelitian ini. GBU...
12.Guru Sekolah Minggu GKJ Sawokembar terutama K’Vj, K’Ika, Shenly, M’Wita, M’Neni, dan Miss Purple M’Dian (‘Dian Group’ ;) ) thanx
untuk semua dukungan doanya juga pengertiannya selama penulis melakukan penelitian. “Jangan pernah lelah kerja di ladangnya Tuhan, Semoga Tuhan menyertai dan memberkati pelayanan kalian”.
13.P’Gie, M’Gandung, M’Muji (Mr. Beckham), M’Nani, n M’Doni untuk semua pelayanan dan bantuannya kepada penulis. Semua yang telah penulis capai hingga saat ini, tidak terlepas dari semua kerjasama dan bantuan kalian...Trima Kasih...GBU
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan, oleh karena itu penulis terbuka terhadap kritik dan saran. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua yang membaca.
Yogyakarta, 27 Agustus 2007
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN KEASLIAN KARYA ...vii
ABSTRAKSI ... viii
ABSTRACT... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI... xiii
DAFTAR TABEL... xvi
DAFTAR GAMBAR ...xvii
BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 5
BAB. II LANDASAN TEORI A. Konsep Diri 1. Pengertian Konsep Diri ...7
2. Aspek-Aspek Konsep Diri ...8
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri ...10
4. Karakteristik Orang yang Memiliki Konsep Diri Positif dan Negatif ...12
B. PENYESUAIAN SOSIAL 1. Pengertian Penyesuaian Sosial ...16
2. Aspek-Aspek Penyesuaian Sosial ...18
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial ...20
4. Tanda-Tanda Kemampuan Penyesuaian Sosial ...23
C. Mahasiswa ...24
D. Identitas Diri Orang Papua ...26
E. Identitas Mahasiswa Papua ...29
F. Budaya Jawa ...30
G. Hubungan antara Konsep Diri dan Penyesuaian Sosial Mahasiswa Papua ...31
H. Hipotesis ...35
BAB. III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ...36
B. Identifikasi Variabel Penelitian ...36
C. Definisi Operasional 1. Konsep Diri ...36
2. Penyesuaian Sosial ...37
D. Subyek Penelitian ...39
E. Metode Dan Alat Pengumpulan Data ...40
F. Validitas Dan Reliabilitas ...44
G. Teknik Analisis Data ...46
BAB. IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN A. Persiapan Penelitian 1. Pelaksanaan Uji Coba ...47
2. Hasil Uji Coba ...48
B. Pelaksanaan Penelitian ...51
C. Deskripsi Subyek Penelitian ...51
D. Deskripsi Data Penelitian ...52
E. Analisis Data Penelitian 1. Uji Asumsi ...55
2. Uji Hipotesis ...56
F. Pembahasan ...58
BAB. V PENUTUP A. Kesimpulan ...65
B. Saran ...65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Tabel Penyebaran Item Skala Konsep Diri
Mahasiswa Papua ... 42
Tabel 2. Tabel Nilai Jawaban Favorabel dan Unfavorabel Skala Konsep Diri Mahasiswa Papua ... 42
Tabel 3. Tabel Penyebaran Item Skala Penyesuaian Sosial Mahasiswa Papua ... 43
Tabel 4. Tabel Nilai Jawaban Favorabel dan Unfavorabel Skala Penyesuaian Sosial Mahasiswa Papua ... 44
Tabel 5. Penyebaran Item Skala Konsep Diri Mahasiswa Papua Setelah Uji Coba ... 49
Tabel 6. Penyebaran Item Skala Penyesuaian Sosial Mahasiswa Papua Setelah Uji Coba ... 50
Tabel 7. Tabel Data Penelitian ... 52
Tabel 8. Tabel Norma Kategorisasi Konsep Diri dan Penyesuaian Sosial ... 53
Tabel 9. Tabel Norma Kategorisasi Konsep Diri... 54
Tabel 10. Tabel Norma Kategorisasi Penyesuaian Sosial... 55
Tabel 11. Tabel Normalitas... 56
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Skema Alur Penelitian ...34
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Yogyakarta adalah sebuah kota yang dijuluki sebagai Kota Pelajar,
dimana setiap tahunnya didatangi oleh berbagai pelajar dari segala penjuru
tanah air yakni dari Sabang sampai Merauke. Sebagian besar pelajar yang
datang ke Daerah Istimewa Yogyakarta bertujuan untuk melanjutkan
pendidikan di jenjang Perguruan Tinggi dan pada umumnya mereka di kenal
dengan nama mahasiswa.
Rata-rata mahasiswa strata 1 berusia antara 18 hingga 24 tahun. Dalam
sudut pandang perkembangan, usia 18 hingga 21 tahun termasuk dalam masa
remaja. Pedoman umum yang digunakan di Indonesia sebagai batasan usia
remaja adalah umur 11 tahun hingga 24 tahun (Sarwono, 2006). Dengan
demikian, mahasiswa dalam rentang usia tersebut berada dalam masa remaja.
Pada masa ini, mahasiswa harus melakukan penyesuaian dalam berbagai hal
yang salah satunya adalah mengembangkan hati nurani, tanggung jawab,
moralitas dan nilai-nilai yang sesuai dengan lingkungan dan kebudayaan
(Carballo dalam Sarwono, 2006). Proses menyesuaikan diri dengan
lingkungan di sekitarnya lebih dikenal dengan istilah penyesuaian sosial.
Schneiders (1964) mengatakan bahwa penyesuaian sosial merupakan
kemampuan untuk bereaksi secara adekuat terhadap kenyataan, situasi, dan
hubungan sosial. Mahasiswa merupakan salah satu status baru yang dimiliki
oleh sebagian remaja yang melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi.
Dengan status yang baru, mahasiswa akan dihadapkan pada berbagai
persoalan dalam pergaulan maupun studi. Persoalan pergaulan terjadi karena
mahasiswa akan bertemu dengan teman-teman yang baru dan memulai
hubungan-hubungan baru yang lebih matang, sedangkan persoalan studi
terjadi karena mahasiswa mengalami perbedaan kurikulum antara SMU dan
Perguruan Tinggi (Gunarsa & Gunarsa, 2001). Persoalan menjadi lebih
banyak bagi mahasiswa yang berasal dari luar kota, dalam hal ini di luar
Daerah Istimewa Yogyakarta yang salah satunya adalah dari Papua.
Papua adalah wilayah paling timur dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berbentuk seekor burung raksasa. Ilmu suku bangsa tidak
menggolongkan penduduk asli pulau tersebut ke dalam ras Melayu seperti
bangsa Indonesia pada umumnya (Boelaars, 1986). Papua dan Daerah
Istimewa Yogyakarta berada dalam negara yang sama, namun memiliki cukup
banyak perbedaan seperti budaya, adat istiadat, bahasa, gaya hidup maupun
nilai-nilai kehidupan lainnya karena didasari oleh perbedaan ras diantara
keduanya.
Perbedaan-perbedaan tersebut akan menjadi benturan dalam
interaksinya dengan masyarakat jika mahasiswa Papua tidak dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya di Yogyakarta. Berdasarkan
pengamatan peneliti, sebagian mahasiswa Papua belum mampu menyesuaikan
berlaku dalam masyarakat. Mahasiswa Papua yang demikian akan menerima
respon yang buruk bahkan penolakan dari masyarakat.
Beberapa kasus pertikaian pernah terjadi antara mahasiswa Papua
dengan masyarakat Yogyakarta maupun dengan mahasiswa dari daerah lain.
Peneliti melihat bahwa hal tersebut dipicu oleh beberapa faktor yang salah
satunya adalah ketidakmampuan mahasiswa Papua untuk menyesuaikan diri
dan berbaur dengan masyarakat setempat sehingga mudah terjadi
kesalahpahaman. Dalam hal ini, mahasiswa Papua sebagai perantau dituntut
untuk melakukan usaha yang lebih banyak sehingga dapat menyesuaikan diri
dengan baik dan diterima oleh lingkungan sosial setempat. Penyesuaian
sosialpun menjadi hal yang penting untuk diperhatikan sehingga tidak terjadi
lagi pertikaian di antara mahasiswa Papua dan masyarakat setempat karena
benturan kebiasaan dan budaya. Persoalan mahasiswa baru Papua pun meluas
bukan hanya dalam pergaulan dan studi di Perguruan Tinggi, tetapi juga
penyesuaian dengan lingkungan sosial setempat.
Usaha seseorang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan
sosialnya dapat berhasil dan juga gagal, begitu juga dengan mahasiswa Papua.
Bernard dan Huckins (dalam Purwaningsih, 1989) mengemukakan bahwa hal
tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor yang antara lain adalah kepribadian,
jenis kelamin, dan inteligensi. Faktor yang akan diuraikan lebih jauh adalah
faktor kepribadian atau lebih tepatnya inti dari pola kepribadian yaitu konsep
diri (Hurlock, 1980). Konsep diri menjadi hal yang penting untuk dibahas
seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungan (Fitts, dalam Agustiani
2006).
Konsep diri merupakan gambaran mental yang dimiliki oleh seseorang
mengenai dirinya dan selalu berpengaruh terhadap tingkah lakunya serta
menjadi dasar terbentuknya mekanisme penyesuaian tertentu (Surakhmad,
1980). Konsep diri biasanya bertambah stabil dalam periode masa remaja dan
memungkinkan remaja memandang diri dalam cara yang konsisten (Hurlock,
1980).
Remaja yang matang lebih awal mengembangkan konsep diri yang
menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik (Hurlock,
1980). Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Mu’tadin (2002) bahwa
untuk membantu tumbuhnya kemampuan penyesuaian diri, maka seseorang
harus diajarkan sejak anak-anak untuk lebih memahami dirinya sendiri baik
kekurangan maupun kelebihannya agar ia mampu mengendalikan dirinya dan
berlaku secara wajar dan normatif. Hal ini menunjukkan bahwa konsep diri
mempunyai keterkaitan dengan penyesuaian diri seseorang, khususnya dalam
hal ini adalah penyesuaian sosial (www.e-psikologi.com).
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan
untuk membuktikan hubungan konsep diri dengan penyesuaian sosial
mahasiswa Papua. Subyek penelitian adalah mahasiswa-mahasiswa yang
berasal dari Papua dan sedang kuliah di Yogyakarta. Peneliti sengaja memilih
subyek dari Papua karena peneliti melihat bahwa banyak perbedaan antara
maupun nilai-nilai kehidupan lainnya. Perbedaan yang ada tentu saja menuntut
kemampuan yang baik dalam menyesuaikan diri sebagai pendatang di
Yogyakarta yang harus berinteraksi dengan masyarakat setempat sehingga
mahasiswa Papua dapat diterima dengan baik sebagai anggota masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalahnya adalah
apakah ada hubungan antara konsep diri dengan penyesuaian diri mahasiswa
Papua yang kuliah di Yogyakarta.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
konsep diri dan penyesuaian sosial mahasiswa Papua yang kuliah di
Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan dalam bidang Psikologi Perkembangan,
terutama dalam hal konsep diri dan hubungannya dengan penyesuaian
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Pendidik
Apabila terbukti, penelitian ini akan berguna bagi para pendidik
yaitu guru dan orang tua agar dapat memahami hubungan antara konsep
diri dan penyesuaian sosial dalam lingkungan masyarakat. Dalam hal ini
pendidik dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan
pertimbangan dalam mendidik anak-anaknya.
b. Bagi Mahasiswa
Bagi para mahasiswa Papua khususnya, maupun remaja umumnya
yang telah membaca penelitian ini, penelitian ini bermanfaat untuk
memberi masukan mengenai keterkaitan antara konsep diri dan
penyesuaian sosial.
c. Bagi Peneliti lain
Penelitian ini dapat menjadi bahan acuan bagi peneliti yang
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KONSEP DIRI
1. Pengertian Konsep Diri
Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang
dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh
dari interaksi dengan lingkungan. Dasar dari konsep diri individu
ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang
mempengaruhi tingkah lakunya dikemudian hari (Agustiani, 2006). Hal
tersebut memperkuat pendapat Fitts (dalam Agustiani ,2006) bahwa
konsep diri merupakan aspek yang penting dalam diri seseorang, karena
konsep diri merupakan kerangka acuan bagi seseorang dalam berinteraksi
dengan lingkungan.
Joan Rais (dalam Gunarsa & Gunarsa, 1986) mengemukakan
bahwa istilah konsep diri harus dibedakan dengan istilah kepribadian.
Kepribadian terbentuk berdasarkan penglihatan orang lain terhadap diri
individu, sedangkan konsep diri merupakan sesuatu yang ada di dalam diri
individu sendiri. Dengan kata lain kepribadian adalah individu seperti
orang lain melihat individu tersebut dan konsep diri adalah individu seperti
individu melihat dirinya sendiri. Brooks (dalam Rakhmat, 2001) juga
berpendapat yang serupa bahwa konsep diri adalah pandangan dan
perasaan individu tentang dirinya sendiri.
Secara umum, konsep diri dapat didefinisikan sebagai penilaian
menyeluruh tentang kepribadian seseorang. Konsep diri berasal dari
evaluasi subyektif seseorang tentang perilakunya sendiri sehingga orang
cenderung menilai secara subyektif ciri-ciri perilakunya sendiri. Hal inilah
yang menyebabkan konsep diri seseorang dapat bersifat positif maupun
negatif (Bruno, 1989).
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas, maka konsep diri
dapat disimpulkan sebagai pendapat dan pandangan serta penilaian
individu terhadap dirinya sendiri yang terbentuk melalui interaksi dengan
lingkungan dan selanjutnya akan menjadi kerangka acuan dalam
berinteraksi dengan lingkungan.
2. Aspek-Aspek Konsep Diri
Fitts (dalam Agustiani, 2006) mengemukakan bahwa aspek-aspek
yang terkandung dalam konsep diri, yaitu :
a. Diri Fisik
aspek ini meliputi persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara
fisik. Dalam hal ini terlihat persepsi seseorang mengenai kesehatan
dirinya, penampilan dirinya, dan keadaan tubuhnya.
b. Diri Keluarga
aspek ini mencakup perasaan dan harga diri seseorang dalam
kedudukannya sebagai anggota keluarga. Hal ini menunjukkan
anggota keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi yang dijalankan
sebagai anggota suatu keluarga.
c. Diri Pribadi
aspek ini merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan
pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan
dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana individu
merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana individu merasa
dirinya sebagai pribadi yang tepat.
d. Diri Moral Etik
aspek ini meliputi persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari
standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut
bagaimana perasaan seseorang mengenai hubungannya dengan Tuhan,
kepuasan seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai-nilai
moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk.
e. Diri Sosial
aspek ini meliputi penilaian seseorang terhadap interaksi dirinya
dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya.
Berdasarkan beberapa aspek yang dikemukakan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa konsep diri mengandung aspek diri fisik, diri
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Menurut Hurlock (1980), pembentukan konsep diri pada masa
remaja dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut :
a. Usia Kematangan
Remaja yang matang lebih awal dan diperlakukan seperti orang yang
hampir dewasa, mengembangkan konsep diri yang menyenangkan
sehingga dapat menyesuaikan diri dengan matang.
b. Hubungan Keluarga
Hubungan yang erat dengan keluarga akan membuat remaja lebih
mudah untuk mengembangkan pola kepribadiannya melalui
identifikasi dengan anggota keluarga tersebut. Remaja dapat
mengembangkan konsep diri yang layak untuk jenis kelaminnya, bila
ia berhubungan erat dengan anggota keluarga yang sesama jenis.
c. Penampilan Diri
Keadaan fisik merupakan hal yang sangat penting bagi remaja. Cacat
fisik menjadi sumber yang memalukan dan menimbulkan perasaan
rendah diri. Sebaliknya, daya tarik fisik akan memberikan penilaian
yang menyenangkan dan menambah dukungan sosial.
d. Nama dan Julukan
Julukan yang diberikan teman-teman mempengaruhi konsep diri
seseorang. Julukan seperti si bodoh, ladang jerawat, dan sebagainya
e. Teman-Teman Sebaya
Teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara.
Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan tentang konsep
teman-teman terhadap dirinya. Kedua, remaja berada dalam tekanan
untuk mengembangkan ciri kepribadian yang diakui kelompok.
f. Kepatutan Seks
Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat dan perilaku membantu
membentuk konsep diri.
g. Cita-Cita
Cita-cita yang tidak realistik membuatnya mengalami kegagalan dan
menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Sebaliknya, cita-cita yang
realistik cenderung mengalami keberhasilan sehingga membuatnya
percaya diri.
h. Kreativitas
Remaja yang sejak kanak-kanak didorong untuk mengembangkan
kreativitasnya membuatnya mampu mengembangkan perasaan
individualitas dan identitas yang berpengaruh baik terhadap konsep
dirinya.
Berdasarkan faktor yang diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri adalah usia
kematangan, hubungan keluarga, penampilan diri, nama dan julukan,
4. Karakteristik Orang Yang Memiliki Konsep Diri Positif dan Negatif
Hamachek (dalam Rakhmat, 2001) mengungkapkan bahwa
karakteristik orang yang memiliki konsep diri positif yaitu :
a. Meyakini betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia
mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang
kuat. Ia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah
prinsip-prinsip itu bila pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukkan bahwa
ia salah.
b. Mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa
bersalah yang berlebih-lebihan, atau menyesali tindakannya jika orang
lain tidak menyetujui tindakannya.
c. Tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa
yang akan terjadi besok, apa yang telah terjadi diwaktu yang lalu, dan
apa yang sedang terjadi waktu sekarang.
d. Memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan,
bahkan ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran.
e. Merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau
rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar
belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya.
f. Sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai
bagi orang lain, paling tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai
g. Dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati dan menerima
penghargaan tanpa merasa bersalah.
h. Cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.
i. Sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan
berbagai dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta,
dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai
kepuasan yang mendalam pula.
j. Mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang
meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif,
persahabatan, atau sekedar mengisi waktu.
k. Peka terhadap kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah
diterima, terutama pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang
dengan mengorbankan orang lain.
Brooks dan Emmert (dalam Rakhmat, 2001) mengemukakan
bahwa orang yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal,
yaitu :
a. Yakin akan kemampuannya mengatasi masalah
b. Merasa setara dengan orang lain
c. Menerima pujian tanpa rasa malu
d. Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan,
keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh
e. Mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan
aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha
mengubahnya.
Seseorang dengan konsep diri positif akan terlihat lebih optimis,
penuh percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu,
termasuk kegagalan yang dialaminya. Kegagalan dipandang sebagai
penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke depan. Orang yang
memiliki konsep diri positif juga mampu menghargai dirinya dan melihat
hal-hal positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan dimasa yang akan
datang (Rini, (2002) www.e-psikologi.com).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa individu
dengan konsep diri positif memiliki karakteristik sebagai individu yang
memiliki keyakinan pada kemampuan dan prinsip yang kuat namun mau
memperbaiki diri bila memang ada kesalahan, bersikap obyektif dalam
menanggapi berbagai hal, bersifat terbuka untuk mengakui perasaannya
dan peka terhadap lingkungan sekitarnya serta mampu menikmati segala
kegiatan yang dijalani.
Sebaliknya, orang yang memiliki konsep diri yang negatif
merupakan individu yang meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah,
tidak berdaya dan tidak dapat berbuat apa-apa, tidak berkompeten, gagal,
malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap
hidup. Orang dengan konsep diri negatif cenderung bersikap pesimistik
demikian tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, melainkan sebagai
halangan. Orang dengan konsep diri negatif akan dengan mudah menyerah
sebelum berperang dan ketika gagal akan ada dua pihak yang disalahkan,
baik dirinya sendiri ataupun orang lain (Rini, (2002)
www.e-psikologi.com).
Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Hurlock (1996) mengenai
ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri negatif bahwa orang yang
demikian akan mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri.
Orang dengan konsep diri negatif menjadi individu yang masih ragu dan
kurang pecaya diri sehingga menumbuhkan penyesuaian diri yang buruk,
baik secara pribadi maupun sosial.
Brooks dan Emmert (dalam Rakhmat, 2001) juga mengemukakan
bahwa orang dengan konsep diri yang negatif memiliki tanda-tanda
sebagai berikut :
a. Peka terhadap kritik yang diterimanya. Ia mudah marah karena koreksi
seringkali dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya
b. Sangat responsif terhadap pujian. Bersamaan dengan kesenangannya
terhadap pujian, ia cenderung bersikap hiperkritis yakni selalu
mengeluh, mencela, maupun meremehkan apapun dan siapapun dan
tidak sanggup untuk mengungkapkan penghargaan atau pengakuan
terhadap kelebihan orang lain.
c. Cenderung merasa tidak disenangi oleh orang lain. Ia merasa tidak
tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan. Ia
tidak akan pernah mempersalahkan dirinya, melainkan menganggap
dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres.
d. Pesimis terhadap kompetisi dan enggan untuk bersaing dengan orang
lain dalam membuat prestasi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa individu
dengan konsep diri negatif memiliki karakteristik sebagai individu yang
merasa lemah dan tidak berdaya sehingga cenderung pesimis dan mudah
menyerah dalam menghadapi berbagai tantangan dalam hidup. Individu
juga menjadi rendah diri dan kurang percaya diri karena merasa dirinya
tidak menarik dan merasa ditolak oleh orang di sekitarnya sehingga
individu mudah tersinggung saat menerima kritikan.
B. PENYESUAIAN SOSIAL
1. Pengertian Penyesuaian Sosial
Kartono (1985) berpendapat bahwa penyesuaian sosial adalah
keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada
umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya, dimana individu
mengidentifikasikan dirinya. Seseorang dipandang memiliki penyesuaian
sosial yang baik jika ia memiliki keterampilan sosial dan kemampuan
berhubungan dengan orang lain, baik dengan teman ataupun orang yang
Schneiders (1964) juga mengemukakan bahwa penyesuaian sosial
merupakan kemampuan untuk bereaksi secara efektif terhadap kenyataan,
situasi, dan hubungan sosial. Kemampuan tersebut dapat dikembangkan
jika individu menghormati hak-hak orang lain, belajar bergaul dengan
baik, mengembangkan persahabatan dan berpartisipasi dalam
aktivitas-aktivitas sosial.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa penyesuaian sosial merupakan kemampuan individu untuk bereaksi
secara efektif terhadap kenyataan, situasi, dan hubungan sosial di
lingkungan hidupnya yakni dengan orang lain maupun kelompok dimana
individu mengidentifikasikan dirinya, yang dapat dilakukan dengan cara
menghormati hak-hak orang lain, belajar bergaul dengan baik,
mengembangkan persahabatan dan berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas
2. Aspek-Aspek Penyesuaian Sosial
Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik mempelajari
berbagai keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan
secara diplomatis dengan orang lain, baik teman maupun orang yang tidak
dikenal sehingga orang lain bersikap menyenangkan kepada mereka.
Beberapa aspek yang terdapat dalam penyesuaian sosial antara lain
(Hurlock, 1988) :
a. Penampilan Nyata
Penampilan fisik merupakan suatu modal dalam menjalin hubungan
dengan lingkungan sosialnya. Individu yang berpenampilan fisik
menarik memiliki potensi yang menguntungkan seperti kemudahan
dalam berteman. Hal ini terjadi karena individu yang berpenampilan
menarik lebih mudah diterima dalam pergaulan dan dinilai lebih positif
oleh orang lain dibanding teman-temannya yang kurang menarik. Hal
ini memungkinkan individu yang berpenampilan menarik untuk lebih
berbahagia dan lebih mudah menyesuaikan diri (Hurlock, 1980).
Pendapat lain yang mendukung dikemukakan oleh Mappiare (1982)
menyatakan bahwa remaja menyadari bahwa penerimaan sosial sangat
dipengaruhi oleh kesan keseluruhan yang ditampakkan oleh si remaja
kepada sekitarnya baik penampilan fisik seperti bentuk tubuh,
b. Penyesuaian Diri terhadap berbagai kelompok
Penyesuaian diri pada dasarnya bertujuan untuk mengubah perilaku
individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai dan menyenangkan
antara diri individu dengan lingkungannya. Tujuan ini dapat dicapai ketika
individu mampu memenuhi tuntutan lingkungan sehingga memiliki
hubungan yang harmonis antara individu dengan kelompok di mana
individu berada (Mu’tadin, (2002) www.e-psikologi.com). Dalam hal ini
individu lebih banyak mengabaikan kepentingan pribadi demi
kepentingan kelompok sehingga terjadi hubungan yang lebih sesuai
dan menyenangkan antara diri individu dengan kelompok.
c. Sikap Sosial
Sikap sosial ini berupa sikap yang baik dan menyenangkan terhadap
orang lain dan berpartisipasi sosial serta memiliki peran dalam
kelompok sosial. Individu yang memiliki kesempatan luas untuk
mengikuti berbagai kegiatan sosial akan memiliki wawasan sosial yang
baik, dan hal ini membuat individu dapat menilai lingkungan sosialnya
dengan lebih baik sehingga penyesuaian diri dalam situasi sosial
semakin baik (Hurlock, 1980). Keberhasilan individu dalam
menyesuaikan diri ditentukan oleh minatnya untuk melibatkan diri dan
menyatu dengan orang lain, dan adanya rasa memiliki dan menyatu
d. Kepuasan Pribadi
Individu yang mampu menyesuaikan diri dengan baik secara sosial
akan memiliki kepuasan terhadap kontak sosialnya dan peran yang
dimilikinya dalam situasi sosial. Prestasi yang baik dapat memberi
kepuasan bagi individu serta menimbulkan harga diri yang tinggi, dan
harga diri yang tinggi sangat mendukung individu dalam
menyesuaikan diri. Sebaliknya individu yang tidak puas pada diri
sendiri cenderung mempunyai sikap-sikap menolak dirinya sehingga ia
tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik (Hurlock, 1980).
Berdasarkan aspek-aspek yang diuraikan di atas, maka disimpulkan
bahwa penyesuaian sosial mengandung beberapa aspek yaitu penampilan
nyata, penyesuaian diri dalam kelompok, sikap sosial, dan kepuasan
pribadi.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial
Menurut Hurlock (1988), penyesuaian sosial bukanlah hal yang
mudah untuk dilakukan, sehingga banyak individu yang kurang mampu
menyesuaikan diri dengan baik. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu (Kartono, 1989) :
a. Kondisi dan Konstitusi Fisiknya
Faktor ini meliputi sistem persyarafan, sistem kelenjar, sistem otot dan
kesehatan, untuk berinteraksi dengan lingkungan. Individu yang tidak
sehingga akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri. Hal ini
terkait dengan konsep diri individu, karena individu yang tidak dapat
menerima kondisi fisiknya akan memandang dirinya dengan negatif
dan ia menjadi tidak percaya diri untuk berhubungan dan menjadi
anggota dalam suatu kelompok.
b. Konsep Diri
Faktor ini meliputi persepsi, penilaian dan bagaimana reaksi individu
dan terhadap dirinya yang menunjukkan suatu kesadaran diri dan
kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya
seperti yang dilakukan terhadap dunia di luar dirinya. Konsep diri
adalah aspek yang penting dalam diri individu karena merupakan
kerangka acuan dalam berinterakasi dengan lingkungan (Fitts, dalam
Agustiani 2006). Mappiare (1982) juga mengemukakan bahwa remaja
yang memiliki penilaian diri yang kurang dan tidak menerima dirinya
akan memproyeksikan penolakan diri terhadap keadaan masyarakat
c. Kematangan Taraf Pertumbuhan dan Perkembangannya
Kematangan yang dimaksud dalam hal ini meliputi kematangan
intelektual, kematangan sosial dan moral serta kematangan emosional.
Individu yang memiliki kematangan-kematangan tersebut akan mampu
mengembangkan pola pikir yang lebih dewasa dalam merespon
d. Determinan Psikologis
Faktor-faktor psikologis ini meliputi pengalaman-pengalaman,
trauma-trauma, situasi-situasi maupun kebiasaan yang berperan sebagai
kondisi pendahulu bagi terbentuknya tingkah laku.
e. Kondisi Lingkungan dan Alam Sekitar
Kondisi keluarga, sekolah dan teman-teman turut berperan dalam
menentukan keberhasilan individu dalam menyesuaikan diri. Kondisi
yang mendukung akan membantu individu untuk mencapai
keberhasilan dalam menyesuaikan diri.
f. Adat istiadat, Norma-norma Sosial, Kepercayaan dan Kebudayaan
Faktor ini mengatur perilaku individu dalam lingkungannya, sehingga
individu belajar untuk menyesuaikan diri. Individu akan berusaha
menyesuaikan diri dengan adat istiadat, norma, kepercayaan dan
kebudayaan agar diterima dalam lingkungannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang mempengaruhi penyesuaian sosial adalah kondisi fisik, konsep diri,
kondisi lingkungan sekitar, tingkat kematangan, kondisi psikologis dan
4. Tanda-tanda Kemampuan Penyesuaian Sosial
Cole (1963) mengemukakan beberapa tanda yang menunjukkan
kemampuan dalam menyesuaikan diri, tanda-tanda tersebut antara lain :
a. Tanda-tanda kemasakan emosional, antara lain berupa perilaku tidak
tergantung pada orang lain, tidak sering meminta bantuan, tidak sering
meminta perhatian khusus, tidak berusaha menarik perhatian,
menunjukkan perilaku yang bertanggung jawab dan tidak bersikap
kekanak-kanakan.
b. Tanda-tanda kecakapan sosial, antara lain tidak ada perasaan malu
yang berlebihan, memiliki rasa percaya diri, suka berkumpul dengan
teman-teman, mampu bergaul, tidak menghindari teman dari jenis
kelamin lain dan diterima oleh teman-teman, mengikuti acara atau
kegiatan di lingkungan sekitarnya, tidak secara terus-menerus merasa
tidak aman atau cemas, dan rendah hati.
c. Tidak memiliki kecenderungan melakukan perbuatan-perbuatan untuk
menarik perhatian, antara lain tidak berusaha mentraktir teman-teman
agar disukai, menolong teman bila memang dibutuhkan, tidak
berlebihan dalam sopan santun dan rasa hormat, tidak selalu
menyetujui semua yang dikatakan oleh orang lain, tidak suka membual
dengan hal-hal yang berlebihan, bisa menerima kritik, tidak cenderung
membenarkan diri sendiri, dan tidak suka pamer.
d. Tanda-tanda kenormalan emosi, antara lain tidak mudah tenggelam
dan murung, tidak mudah sakit hati, tidak peka yang berlebihan
terhadap gangguan, dan tidak terlalu khawatir.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kemampuan dalam menyesuaikan diri secara umum ditandai dengan
adanya kematangan emosional, kecakapan sosial, serta memiliki perilaku
yang sewajarnya dan emosi yang normal.
C. MAHASISWA
Mahasiswa adalah pelajar di perguruan tinggi (Hoetomo, 2005). Para
pelajar yang beruntung akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi setelah menjalani pendidikan sejak TK, SD, SMP, dan SMU. Kartono
(1985) memandang mahasiswa dalam beberapa sudut pandang, yang dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Mahasiswa adalah manusia dalam masa perkembangan.
Masa perkembangan pada mahasiswa sangat berkaitan erat dengan masa
remaja, meskipun tidak semua mahasiswa masih bisa digolongkan ke
dalam masa remaja. Masa remaja maupun masa menjadi mahasiswa
merupakan masa yang penuh tantangan dan kesukaran, yang menuntut
mereka menentukan sikap dan pilihan serta menuntut kemampuan
2. Mahasiswa adalah anggota masyarakat
Mahasiswa sebagai anggota masyarakat memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu :
a. Mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk belajar di Perguruan
tinggi.
b. Dengan kesempatan di atas diharapkan nantinya akan bertindak
sebagai pemimpin yang mampu dan terampil, baik sebagai pemimpin
masyarakat ataupun dalam dunia kerja.
c. Diharapkan menjadi daya penggerak yang dinamis bagi proses
modernisasi.
d. Dengan pembinaan di Perguruan tinggi diharapkan dapat memasuki
dunia kerja sebagai tenaga kerja yang profesional.
3. Mahasiswa adalah manusia yang berpribadi
Pembinaan kemampuan dan keterampilan sebagai pemimpin dan manusia
cerdas yang terus belajar tidak akan lengkap jika tidak disertai dengan
pembinaan pribadi. Pribadi yang dituju adalah pribadi yang harmonis,
integral dan bulat, sehat dan seimbang, serta pribadi yang mandiri dan
dapat menyesuaikan diri dengan baik.
Berdasarkan beberapa sudut pandang tentang mahasiswa, maka dapat
didefinisikan bahwa mahasiswa merupakan remaja yang sedang menjalani
pendidikan di perguruan tinggi untuk mempersiapkan diri dalam memenuhi
harapan masyarakat dan menjalani perannya sebagai anggota masyarakat yang
mampu menyesuaikan diri dengan baik.
D. IDENTITAS DIRI ORANG PAPUA
Secara garis besar, penduduk Papua (Irian Jaya) terdiri atas kelompok
penduduk asli dan penduduk pendatang/ asing. Ada beberapa suku bangsa
yang merupakan penduduk asli Papua dan menempati beberapa daerah,
diantaranya Mey Brat di daerah Ayamaru, Waropen di daerah Mamberamo
sampai Yapen Waropen, Dani di Lembah Baliem, Nimboran dan Jagai di
Merauke, Sentani di sekitar danau Sentani, Biak di Teluk Cendrawasih, dan
Asmat di Merauke. Penduduk lain di Papua selain penduduk asli disebut
dengan suku bangsa pendatang yang berasal dari Jawa, Sunda, Bali, Ambon,
dan Makassar bahkan ada yang berasal dari luar negeri seperti Australia,
Amerika, serta Eropa (Profil Propinsi Republik Indonesia : Irian, 1992).
Seiring dengan masuknya pendatang dari luar Papua, maka
kebudayaan Papua pun semakin berkembang. Pengaruh unsur-unsur
kebudayaan dari luar mulai merasuki Papua (Irian Jaya), dan membawa
perubahan dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang ada. Kehidupan orang
Papua menjadi lebih teratur dan terarah, terutama dengan masuknya
agama-agama besar ke Papua (Irian Jaya). Perubahan-perubahan terjadi dalam
berbagai segi kehidupan, baik bidang ekonomi, teknologi maupun kebiasaan
hidup mereka yang nomaden menjadi permanen (Profil Propinsi Republik
Indonesia : Irian, 1992).
Boelaars (1986) mengemukakan bahwa orang Papua (Irian Jaya)
terdiri dari berbagai suku yang memiliki nilai-nilai dan kebiasaan yang
Papua. Orang Papua (Irian Jaya) sejak masa mudanya sudah belajar untuk
mencari makanannya sendiri, walaupun ia sudah mendapatkannya di rumah.
Ia tumbuh menjadi orang yang tidak bergantung pada orang lain serta hanya
percaya dan yakin pada kemampuannya sendiri.
Kehidupan masyarakat sehari-hari tidak banyak dijiwai oleh nilai
gotong royong dan tolong-menolong, karena sifat masyarakat sendiri dan
struktur dari hubungan-hubungan sosial pada dasarnya tidak sangat
membutuhkan aktivitas gotong royong dan tolong-menolong secara
besar-besaran. Suatu pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga kerja biasanya
dikerjakan bersama-sama dengan orang-orang yang masih termasuk kerabat
(Profil Propinsi Republik Indonesia : Irian, 1992).
Sikap individualis yang dikembangkan ini juga mengandung resiko
bahwa kegagalan selalu berasal dari kesalahannya, dan orang Papua (Irian
Jaya) juga menyadari bahwa ia memiliki keterbatasan. Orang Papua mau
mengakui kesalahan dan kegagalannya baik secara terbuka maupun berupa
sindiran dan humor bagi dirinya sendiri. Hal ini membuat orang Papua pun
mengharapkan agar orang lain dapat melakukan hal yang sama (Boelaars,
1986).
Orang Papua (Irian Jaya) bukanlah tipe manusia yang cocok dengan
pekerjaan yang menuntut investasi dan menunggu pemuasan sesudah jangka
waktu yang lama, karena mereka hanya berpegang pada hal-hal yang
menyenangkan saat ini. Hal paling tinggi yang harus diperoleh bagi mereka
sepuasnya, bernyanyi dan menari. Mereka ingin bebas menjadi diri sendiri dan
tidak terikat pada sesuatu atau seseorang (Boelaars, 1986).
Sikap orang Papua (Irian Jaya) dalam menjalin hubungan dengan
orang lain di tentukan oleh beberapa pertanyaan seperti apa yang anda
sarankan, apa yang anda sumbangkan, apa yang dapat saya harapkan dari anda
saat ini, apakah anda dapat menyenangkan saya, apakah anda dapat dipercaya,
dan apakah anda dapat melakukan apa yang anda janjikan?. Hal ini
menunjukkan bahwa keadaan ikatan-ikatan dalam struktur masyarakat Papua
(Irian) longgar (Boelaars, 1986)
Orang Papua tidak melekatkan diri pada suatu bentuk keterikatan yang
tetap. Ikatan orang tua dan anak, saudara atau saudari yang lebih tua dan lebih
muda, pemberi mempelai dan penerima mempelai, patri-klan atau matri-klan,
inulateralitas dan bilateralitas memang ada, namun tidak dapat mengikat
seseorang dengan sungguh-sungguh. Hal yang dianggap penting bagi orang
Papua adalah ikatan-ikatan persahabatan pribadi langsung dengan seorang pria
atau wanita serta ikatan perkawinan, tetapi ini pun berlangsung selama
hubungannya terjalin baik. Ikatan-ikatan yang mempunyai banyak arti bagi
seseorang akan dihayati dengan sangat emosional. Orang Papua dapat
bersikap baik sekali terhadap seseorang, tetapi saat terjadi masalah di antara
E. IDENTITAS MAHASISWA PAPUA
Masyarakat Papua semakin berkembang seiring dengan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Hal ini pun berpengaruh kepada
perkembangan dunia pendidikan dimana masyarakat semakin menyadari akan
pentingnya pendidikan. Dewasa ini, cukup banyak anak-anak Papua yang
mendapat kesempatan untuk bersekolah hingga berkuliah di Perguruan Tinggi,
namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada anak-anak Papua di daerah
tertentu yang belum mendapat kesempatan tersebut.
Banyak orang Papua yang merantau ke daerah lain dengan tujuan
untuk menuntut ilmu di Perguruan Tinggi, seperti halnya dengan orang Papua
yang sedang berkuliah di Yogyakarta yang dikenal sebagai mahasiswa Papua.
Berdasarkan identitas diri orang Papua yang telah diuraikan di atas, maka
dapat di simpulkan bahwa mahasiswa Papua pada umumnya merupakan orang
yang mandiri dan cenderung bersifat individualis karena tidak mau tergantung
ataupun terikat dengan orang lain. Selain itu, mahasiswa Papua pun
merupakan orang yang cenderung bersifat terbuka dalam mengungkapkan
sesuatu terhadap orang lain (Boelaars, 1986).
Identitas diri mahasiswa Papua bukan hanya sebagai orang Papua,
tetapi juga sebagai seorang mahasiswa yang sedang merantau di daerah lain
khususnya Yogyakarta. Identitas diri sebagai mahasiswa yang sedang
merantau menuntut mahasiswa Papua untuk mempersiapkan diri dalam
masyarakat yang mampu menyesuaikan diri dengan baik di Yogyakarta
maupun saat ia kembali ke Papua.
F. BUDAYA JAWA
Masyarakat Jawa dikenal memiliki budaya yang menjunjung nilai-nilai
kehalusan, pengendalian diri, penyembunyian perasaan, dan non-konfrontatif
dalam berperilaku. Tata krama merupakan salah satu bagian terpenting yang
tetap dijunjung oleh orang Jawa. Tata krama adalah kata lain dari etiket atau
sopan santun yang pada hakikatnya menyangkut pengaturan penampilan diri
dihadapan orang lain. Penampilan tersebut meliputi : cara berbicara atau budi
bahasa, cara berpakaian, cara makan, cara berjalan, cara duduk, dan cara-cara
menampilkan diri lainnya pada berbagai kesempatan (Adimassana, 2004).
Tata krama dalam masyarakat Jawa merupakan bagian dari budaya
Kraton yang mengungkap nilai kehalusan seorang pribadi sekaligus
mengandung nilai sosial yaitu penghormatan terhadap orang lain demi
menciptakan suasana kehidupan sosial yang harmonis. Tata krama Jawa
menggariskan bahwa orang tidak boleh berperilaku yang memalukan karena
tidak tahu tata krama, melainkan harus berilaku yang berkenan di hati orang
lain (Adimassana, 2004).
Tata krama Jawa bertujuan untuk mengatur perilaku setiap individu
supaya tidak vulgar mengikuti dorongan perasaan, pikiran dan keinginan yang
norma-norma kepantasan sosial yang lazim (Suryomentaram dalam Adimassana,
2004)
G. HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DAN PENYESUAIAN SOSIAL
MAHASISWA PAPUA
Orang-orang Papua yang berkesempatan untuk meraih pendidikan di
Perguruan Tinggi khususnya yang berkuliah di Yogyakarta dikenal dengan
mahasiswa Papua. Identitas mahasiswa Papua sebagai orang Papua yang
sudah terbentuk sejak lahir hingga beranjak dewasa sebagai orang yang
mandiri dan cenderung bersifat individualis serta tidak mau terikat dan
tergantung dengan orang lain. Mahasiswa Papua juga cenderung bersikap
terbuka dalam mengungkapkan sesuatu terhadap orang lain (Boelaars, 1986).
Identitas lain yang dimiliki oleh mahasiswa Papua adalah sebagai seorang
mahasiswa yang sedang merantau di lingkungan masyarakat Yogyakarta
dengan budaya yang sangat menjunjung nilai-nilai kehalusan, pengendalian
diri, penyembunyian perasaan, dan menghindari konfrontasi dalam
berperilaku. Identitas mahasiswa Papua sebagai orang yang merantau
menuntutnya untuk mempersiapkan diri dalam memenuhi harapan masyarakat
dan menjalani perannya sebagai anggota masyarakat yang mampu
menyesuaikan diri dengan baik di Yogyakarta.
Fits Robinson (dalam Simon, 2006) mengemukakan bahwa konsep diri
merupakan faktor yang penting dalam menentukan kemampuan seseorang
seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Konsep diri dapat
ditinjau dari beberapa aspek yang antara lain adalah diri fisik, diri keluarga,
diri pribadi, diri moral etik, dan diri sosial (Fitts dalam Agustiani, 2006).
Mahasiswa Papua yang memiliki konsep diri positif akan memiliki
karakteristik sebagai individu yang memiliki keyakinan pada kemampuan dan
prinsip yang kuat, meskipun demikian individu tidak segan untuk
memperbaiki diri bila memang ada kesalahan. Mahasiswa Papua juga
memiliki sikap obyektif dalam menanggapi berbagai hal, terbuka dalam
mengakui perasaan dan peka terhadap lingkungan sekitarnya serta mampu
menikmati segala kegiatan yang dijalaninya. Karakteristik demikian
memungkinkan mahasiswa Papua untuk lebih peka dan mampu menunjukkan
simpati terhadap lingkungan sekitarnya sehingga dapat bereaksi secara efektif
dalam berbagai situasi dan lingkungan yang baru di Yogyakarta.
Sebaliknya, mahasiswa Papua dengan konsep diri negatif akan
memiliki karakteristik sebagai individu yang merasa lemah dan tidak berdaya
sehingga cenderung pesimis dan mudah menyerah dalam menghadapi
berbagai tantangan dalam hidup. Mahasiswa Papua juga akan merasa rendah
diri dan kurang percaya diri karena memandang dirinya sebagai individu yang
kurang menarik dan merasa ditolak oleh orang di sekitarnya sehingga individu
mudah tersinggung saat menerima kritikan. Karakteristik tersebut tentu akan
menghambat penyesuaian sosial mahasiwa Papua karena individu yang
menganggap dirinya tidak menarik cenderung tidak menerima dan menolak
lingkungan sosialnya juga menolak dirinya sehingga individu akan menutup
dirinya dan menolak orang lain. Mahasiswa Papua yang mengalami hambatan
dalam penyesuaian sosial akan mengembangkan penyesuaian sosial yang
buruk sehingga kurang mampu bereaksi secara efektif dengan situasi dan
lingkungan yang baru di Yogyakarta.
Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa dengan memiliki penyesuaian
sosial yang baik mahasiswa Papua dapat bereaksi secara efektif terhadap
kenyataan, situasi dan hubungan sosial di Yogyakarta, yakni dengan cara
menghormati hak-hak orang lain, belajar bergaul dengan baik,
mengembangkan persahabatan dan berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas
sosial. Penyesuaian sosial yang baik dapat diperoleh jika didukung oleh
• Diri Moral Etik
• Diri Sosial
Mahasiswa Papua menerima dirinya dan merasa bahwa lingkungan menerima dirinya sehingga mahasiswa Papua menjadi terbuka dan lebih peka serta mampu menunjukkan simpati terhadap lingkungan yang baru
Mahasiswa Papua tidak menerima dirinya dan cenderung menolak dirinya, kemudian merasa bahwa lingkungan menolak dirinya sehingga mahasiswa Papua menjadi tertutup terhadap lingkungan dan menolak orang lain
Penyesuaian Sosial Buruk
Memasuki masyarakat Yogyakarta dengan budaya
Jawa yang menjunjung nilai kehalusan, pengendalian diri, penyembunyian perasaan, dan
non-konfrontatif dalam berperilaku
Memasuki masyarakat Yogyakarta dengan budaya
Jawa yang menjunjung nilai kehalusan, pengendalian diri, penyembunyian perasaan, dan
non-konfrontatif dalam berperilaku
Mahasiswa Papua dengan Konsep Diri Negatif
• merasa lemah dan tidak berdaya
• pesimis dan mudah menyerah dalam menghadapi tantangan
• merasa rendah diri dan kurang percaya diri
• merasa kurang menarik dan merasa ditolak oleh orang lain
• mudah tersinggung saat menerima kritikan
Mahasiswa Papua dengan Konsep Diri Positif
• memiliki keyakinan pada kemampuan dan prinsip yang kuat
• mau memperbaiki diri bila memang ada kesalahan
• memiliki sikap obyektif dalam menanggapi berbagai hal
• terbuka dalam mengakui perasaan dan peka terhadap lingkungan
• mampu menikmati segala kegiatan yang dijalaninya
Penyesuaian Sosial Baik
H. HIPOTESIS
Setelah mengkaji landasan teori dari hubungan Penyesuaian Sosial dan
Konsep Diri mahasiswa Papua seperti diuraikan di atas, maka dapat diajukan
hipotesis yang berbunyi bahwa ada hubungan yang positif antara Konsep Diri
dan Penyesuaian Sosial mahasiswa Papua. Semakin tinggi Konsep Diri, maka
BAB III
METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah korelasional. Penelitian korelasional
bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara variabel. Dua atau lebih variabel
diteliti untuk melihat hubungan yang terjadi diantara mereka tanpa mengubah
atau mengadakan perlakuan terhadap variabel-variabel tersebut (Kountour,
2003). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kaitan antara dua
variabel yaitu konsep diri dan penyesuaian sosial mahasiswa Papua.
B. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
1. Variabel bebas : konsep diri
2. Variabel tergantung : penyesuaian sosial
C. DEFINISI OPERASIONAL
1. Konsep diri yaitu pengetahuan dan pemahaman serta penilaian subyek
terhadap dirinya sendiri baik positif maupun negatif yang meliputi lima
aspek, antara lain :
a. Diri Fisik, yaitu persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara
fisik, yang meliputi kesehatan, penampilan dan keadaan tubuhnya.
b. Diri Keluarga, yaitu perasaan dan harga diri seseorang dalam
kedudukannya sebagai anggota keluarga. Hal ini menunjukkan
seberapa jauh seseorang merasa adekuat terhadap dirinya sebagai
anggota keluarga, serta terhadap peran maupun fungsi yang dijalankan
sebagai anggota suatu keluarga.
c. Diri Pribadi, yaitu persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya
sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya serta merasa
sebagai pribadi yang tepat.
d. Diri Moral Etik, yaitu persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari
standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut
perasaan seseorang mengenai hubungannya dengan Tuhan, kepuasan
seseorang akan keagamaannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya
e. Diri Sosial, yaitu penilaian seseorang terhadap interaksi dirinya dengan
orang lain maupun lingkungan di sekitarnya.
Konsep diri seseorang dapat diungkapkan dengan menggunakan
instrumen berupa skala Konsep Diri yang meliputi kelima aspek di atas.
Konsep diri yang positif nampak pada keyakinan dan prinsip yang kuat,
mau memperbaiki diri, sikap yang obyektif dalam menanggapi berbagai
hal, terbuka dalam mengakui perasaan dan peka terhadap lingkungan
sekitarnya serta mampu menikmati segala kegiatan yang dijalaninya. Skor
total yang diperoleh dalam skala tersebut menunjukkan tinggi rendahnya
konsep diri individu. Skor yang tinggi menunjukkan bahwa individu
memiliki konsep diri yang positif, sedangkan skor yang rendah
2. Penyesuaian Sosial yaitu kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif
terhadap kenyataan, situasi, dan hubungan sosial di lingkungan hidupnya.
Penyesuaian sosial meliputi 4 aspek, yaitu :
a. Penampilan Nyata, kemampuan individu untuk bereaksi secara efektif
demi memenuhi harapan dan standar kelompoknya agar dapat diterima
dalam kelompok, baik dalam hal penampilan fisik maupun perilaku
sosial (Mappiare, 1982 & Hurlock, 1980).
b. Penyesuaian Diri terhadap berbagai kelompok, kemampuan individu
untuk bereaksi secara efektif terhadap berbagai kelompok, baik
kelompok teman sebaya maupun kelompok orang dewasa. Dalam hal
ini individu berusaha menyesuaikan diri dengan lebih banyak
mengabaikan kepentingan pribadi demi kepentingan kelompok
(Mappiare, 1982).
c. Sikap Sosial berupa kemampuan individu untuk bersikap baik dan
menyenangkan terhadap orang lain dan berpartisipasi sosial serta
memiliki peran dalam kelompok sosial.
d. Kepuasan Pribadi, merupakan kepuasan individu terhadap kontak sosial
atau interaksi sosialnya serta peran yang dimilikinya dalam situasi
sosial.
Penyesuaian sosial seseorang dapat diungkapkan dengan
menggunakan instrumen berupa skala Penyesuaian Sosial yang meliputi
keempat aspek di atas. Skor total yang diperoleh dalam skala tersebut
yang diperoleh, maka semakin tinggi pula penyesuaian sosialnya.
Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendah
pula penyesuaian sosialnya.
D. SUBYEK PENELITIAN
Subyek dalam penelitian ini adalah :
1. Mahasiswa Suku Papua
2. Berkuliah dalam tahun pertama/ kedua di Perguruan Tinggi Yogyakarta
3. Laki-laki dan perempuan
Alasan dipilihnya subyek tersebut karena :
1. Pengambilan subyek penelitian mahasiswa Papua karena mahasiswa Papua
berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dengan masyarakat
Yogyakarta. Latar belakang budaya yang berbeda membuat mahasiswa
Papua butuh upaya yang besar dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial di Yogyakarta.
2. Mahasiswa tingkat I dan II dipilih karena berada pada tahun pertama dan
kedua masa kuliah yang masih melakukan penyesuaian awal dengan
lingkungan sosial baru di Yogyakarta.
3. Berkuliah di Yogyakarta dipilih sebagai salah satu syarat karena
Yogyakarta merupakan salah satu Kota Pelajar di mana tiap tahun
dikunjungi oleh para pelajar dari segala penjuru, termasuk dari Papua.
Selain itu, peneliti sendiri berkuliah di Yogyakarta sehingga memudahkan
Hal tersebut mendorong peneliti tertarik untuk menelitinya. Teknik
yang digunakan untuk pengambilan subyek adalah purposive sampling yaitu
pemilihan sekelompok subyek didasarkan atas ciri atau sifat-sifat yang
dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat
populasi yang sudah diketahui (Hadi, 2000)
E. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data disebut dengan
instrumen. Instrumen dalam penelitian ini berbentuk skala yang terdiri atas
dua yaitu skala konsep diri dan skala penyesuaian sosial mahasiswa Papua
yang berkuliah di Yogyakarta. Kedua skala tersebut disusun oleh peneliti
dengan menggunakan skala Likert dimana variabel yang akan diukur
dijabarkan menjadi indikator. Indikator dijadikan titik tolak untuk menyusun
item-item instrumen yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan
(Sugiyono, 1999).
Jawaban setiap instrumen yang menggunakan skala Likert mempunyai
gradasi sangat positif sampai negatif yang dapat berupa sangat setuju (SS),
setuju (S), ragu-ragu (R), tidak setuju (TS), sangat tidak setuju (STS). Setiap
skala diberi kategori empat jawaban. Peneliti meniadakan jawaban ragu-ragu
karena tersedianya jawaban di tengah menimbulkan kecenderungan untuk
menjawab ke tengah terutama bagi mereka yang ragu-ragu terhadap
banyak menghilangkan data penelitian sehingga mengurangi informasi yang
dapat disaring dari para responden (Hadi, 1991).
Berikut ini, disajikan penyusunan skala konsep diri dan penyesuaian sosial
mahasiswa Papua yang berkuliah di Yogyakarta.
1. Skala Konsep Diri
Skala konsep diri disusun sendiri oleh peneliti. Pembuatan skala ini
mengacu pada teori Fitts (dalam Agustiani, 2006) yang terdiri atas lima
aspek konsep diri yang meliputi aspek diri fisik, diri keluarga, diri pribadi,
diri moral etik, diri sosial. Berdasarkan lima aspek tersebut dibuat 86 item
konsep diri. Jumlah item terbanyak berasal dari aspek diri sosial sebanyak
22 item karena aspek tersebut memiliki konteks yang luas dan
memungkinkan untuk dieksplorasi dalam banyak item. Jumlah item
terkecil berasal dari aspek diri keluarga dan diri moral etik karena kedua
aspek tersebut memiliki konteks yang sempit dan kurang memungkinkan
untuk dieksplorasi dalam banyak item. Penyebaran item dapat dilihat pada
Tabel 1
Tabel Penyebaran Item
Skala Konsep Diri Mahasiswa Papua
Aspek Item Favorabel Item Unfavorabel Jumlah
Diri Fisik 1, 12, 15, 27, 30, 32, 49,
Nilai jawaban untuk pernyataan favorabel dan unfavorabel dapat
dilihat pada tabel 2.
Tabel 2
Tabel Nilai Jawaban Favorabel dan Unfavorabel
Skala Konsep Diri Mahasiswa Papua
Jawaban Nilai Favorabel Nilai Unfavorabel
SS : sangat setuju 4 1
S : setuju 3 2
TS : tidak setuju 2 3
2. Skala Penyesuaian Sosial
Skala penyesuaian sosial disusun oleh peneliti sendiri dengan
mengacu pada teori Hurlock (1988) yang terdiri atas 4 aspek yaitu aspek
penampilan nyata, penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok, sikap
sosial, kepuasan pribadi. Berdasarkan empat aspek tersebut dibuat 74 item
yaang meliputi lingkungan masyarakat setempat dan lingkungan kampus.
Jumlah item terbanyak berasal dari aspek sikap sosial Penyebaran item
dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3
Tabel Penyebaran Item
Skala Penyesuaian Sosial Mahasiswa Papua
Aspek
Item Favorabel
Item
Unfavorabel Jumlah
Penampilan Nyata 1, 5, 8, 13, 23, 28,
Nilai jawaban untuk pernyataan favorabel dan unfavorabel skala
Tabel 4
Tabel Nilai Jawaban Favorabel dan Unfavorabel
Skala Penyesuaian Sosial Mahasiswa Papua
Jawaban Nilai Favorabel Nilai Unfavorabel
SS : sangat setuju 4 1
S : setuju 3 2
TS : tidak setuju 2 3
STS : sangat tidak setuju 1 4
F. VALIDITAS DAN RELIABILITAS
1. Validitas Isi
Setiap instrumen yang digunakan dalam penelitian harus memiliki
dua karakteristik yaitu valid dan realiabel. Suatu instrumen dikatakan valid
apabila instrumen dapat mengukur apa yang seharusnya diukur (Kountour,
2003). Menurut Azwar (2006) validitas adalah ketepatan dan kecermatan
skala dalam menjalankan fungsi ukurnya. Instrumen yang valid harus
memenuhi validitas internal dan validitas isi. Suatu instrumen mempunyai
validitas internal apabila kriteria yang ada pada instrumen telah
mencerminkan apa yang diukur (Sugiyono, 1999). Setelah terbukti bahwa
instrumen memenuhi validitas internal, maka hal lain yang harus
dilakukan selanjutnya adalah pengujian validitas isi. Validitas isi
menyangkut tingkat kebenaran suatu instrumen mengukur isi dari area
yang dimaksudkan untuk diukur (Kountour, 2003). Menurut Azwar
(2004), validitas isi merupakan validitas yang diestimasi melalui pengujian