• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAN. Manusia sebagai seorang individu memiliki kepentingan-kepentingan yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAN. Manusia sebagai seorang individu memiliki kepentingan-kepentingan yang"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKAN

2.1.Konflik Peran Ganda

2.1.1. Pengertian Konflik Peran Ganda

Manusia sebagai seorang individu memiliki kepentingan-kepentingan yang ingin dipenuhi, namun jika kepentingan-kepentingan tersebut datang bersamaan dan memiliki intensitas yang sama maka akan menimbulkan konflik dalam diri individu tersebut. Secara umum konflik dapat diartikan sebagai kondisi dimana terjadi ketidakcocokan antara nilai dan tujuan yang ingin dicapai, baik nilai atau tujuan yang ada di dalam diri sendiri maupun dalam hubungan dengan orang lain (Wijono, 2010).

Irwanto dkk.(1991) dalam Rahmadita (2013) menjelaskan konflik dapat terjadi pada saat muncul dua kebutuhan atau lebih secara bersamaan.Menurut Gibson et al. (1990) konflik peran terjadi apabila seseorang dihadapkan pada suatu situasi dimana terdapat dua atau lebih persyaratan untuk melaksanakan peran yang satu dan dapat menghalangi pelaksanaan peran yang lain. Salah satu bentuk konflik peran adalah konflik pekerjaan-keluarga (konflik peran ganda).

Pada perempuan yang bekerja mereka dihadapkan pada banyak pilihan yang ditimbulkan oleh perubahan peran dalam masyarakat, disatu sisi mereka harus berperan sebagai ibu rumah tangga yang tentu saja bisa dikatakan memiliki tugas yang cukup berat dan di sisi yang lain mereka juga harus berperan sebagai wanita yang harus bekerja untuk menyokong keuangan keluarga.

(2)

Wanita yang mempunyai peran ganda akan mengalami konflik dalam dirinya kerena seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit. Konflik peran sering timbul ketika salah satu dari peran tersebut menuntut lebih atau membutuhkan lebih banyak perhatian (Susanto, 2010).

Menurut Greenhaus dan Beutell (1985)mendefenisikan konflik peran ganda sebagai bentuk konflik peran dimana tuntutan peran pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal. Seseorang akan menghabiskan waktu yang lebih untuk digunakan dalam memenuhi peran yang penting bagi mereka, oleh karena itu bisa kekurangan waktu untuk peran yang lainnya.

Greenhaus dan Beutell (1985) menyatakan bahwa seseorang yang mengalami konflik peran ganda akan merasakan ketegangan dalam bekerja. Konflik peran ini bersifat psikologis, gejala yang terlihat pada individu yang mengalami konflik peran ini antara lain adalah rasa bersalah, kegelisahan, keletihan dan frustasi.

Putrianti (2007) mengutip pendapat Rooss dan Gatta (1999) menjelaskan bahwa peran ganda adalah sikap dalam menghadapi dua hal yang berbeda yaitu pekerjaan dan tanggung jawab keluarga.

Frone dan Bellavia(2005) mendefenisikan konflik pekerjaan-keluarga sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana di satu sisi ia harus melakukan pekerjaan di tempat kerja dan di sisi lain ia harus memperhatikan keluarga secara utuh, sehingga sulit membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan mengganggu keluarga artinya sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk melakukan pekerjaan sehingga waktu

(3)

untuk keluarga menjadi berkurang. Sebaliknya keluarga mengganggu pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan perhatiannya digunakan untuk menyelasaikan urusan keluarga sehingga mengganggu pekerjaan. Konflik pekerjaan-keluarga ini terjadi ketika kehidupan rumah seseorang berbenturan dengan tanggung jawabnya di tempat kerja, seperti masuk kerja tepat waktu, menyelesaikan tugas harian, atau kerja lembur. Demikian juga tuntutan kehidupan rumah yang menghalangi seseorang untuk meluangkan waktu untuk pekerjaannya.

2.1.2. Jenis Konflik Peran Ganda

Judge et. al. (1994) menyebutkan bahwa konflik pekerjaan-keluarga mempunyai dua komponen yaitu :

a. Konflik pekerjaan terhadap keluarga (work-family conflict) yaitu konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab pekerjaan mengganggu tanggung jawab terhadap keluarga. Misalnya membawa pekerjaan ke rumah dan mencoba menyelesaikannya dengan mengorbankan waktu keluarga.

b. Konflik keluarga terhadap pekerjaan (family-work conflict) yaitu konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab terhadap keluarga mengganggu tanggung jawab terhadap pekerjaan. Misalnya membatalkan datang ke tempat kerja karena tiba-tiba anak sakit.

Konflik peran ganda muncul apabila wanita merasakan ketegangan antara peran pekerjaan dengan peran keluarga keluarga. Greenhaus dan Beutell (1985)mengidentifikasi tiga jenis konflik pekerjaan-keluarga yaitu :

(4)

a. Konflik berdasarkan waktu (time-based conflict), yaitu konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan untuk memenuhi satu peran (keluarga atau pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya (pekerjaan atau keluarga), artinya pada saat yang bersamaan seseorang yang mengalami konflik peran ganda tidak akan bisa melakukan dua atau lebih paran sekaligus. Misalnya terlambat pulang dari tempat bekerja menyebabkan waktu untuk keluarga menjadi berkurang atau merawat anak yang sakit dapat menyebabkan pekerjaan di tempat kerja menjadi tertunda.

b. Konflik berdasarkan tekanan (strain-based conflict), yaitu tekanan yang dihasilkan oleh salah satu peran mempengaruhi kinerja peran yang lain. Misalnya tekanan kecemasan dan kemarahan di tempat kerja menyebabkan berkurangnya perhatian sebagai orang tua atau sebagai istri di rumah atau tekanan di rumah dapat menjadikan semangat kerja berkurang.

c. Konflik berdasarkan perilaku (behavior-based conflict) yaitu konflik yang muncul ketika pengharapan dari suatu perilku yang berbeda dengan pengharapan dari perilaku peran lainnya (pekerjaan atau keluarga). Misalnya di rumah dituntut untuk memainkan peran pasif yang harus selalu siap memberikan bantuan pada keluarganya, sedangkan di tempat kerja ibu diharapkan menjadi seseorang yang agresif dan tahu bagaimana menjaga diri sendiri.

Baik konflik pekerjaan terhadap keluarga (work-family conflict) dan konflik keluarga terhadap pekerjaan (family-work conflict) dapat menyebabkan terjadinya stres kerja. Konflik pekerjaan terhadap keluarga cenderung mengarah pada stres kerja

(5)

karena ketika urusan pekerjaan mencampuri kehidupan keluarga, tekanan sering terjadi pada individu untuk mengurangi waktu yang dihabiskan dalam pekerjaan dan menyediakan lebih banyak waktu keluarga. Sama halnya dengan konflik keluarga terhadap pekerjaan dapat mengarah pada stres kerja dikarenakan banyaknya waktu untuk berkumpul bersama keluarga menyebabkan kurangnya waktu yang dibutuhkan dalam menangani urusan pekerjaan dan ini merupakan sumber potensial terjadinya stres kerja (Judgeet. al. 1994).

2.1.3. Sumber-sumber Konflik Peran Ganda

2.1.3.1.Konflik Berdasarkan Waktu(Time Based Conflict) 1. Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan

Konflik pekerjaan-keluarga berhubungan positif dengan jumlah jam kerja dalam setiap minggunya (Burke et. al, 1980; Keith and Schafer, 1980; Pleck et. al, 1980 dalam Greenhaus dan Beutell, 1985) dan jumlah jam perjalanan pulang-pergi rumah ke tempat kerja dalam setiap minggunya (Bohen dan Viveros-Long, 1981 dalam Greenhaus dan Beutell, 1985). Konflik pekerjaan-keluarga juga memiliki hubungan yang positif dengan jumlah dan frekuensi lembur serta adanya ketidakteraturan dalam pengaturan jam kerja (Pleck et. al, 1980 dalam Greenhaus dan Beutell, 1985). Jadwal kerja yang tidak fleksibel juga akan menimbulkan konflik pekerjaan-keluarga (Pleck et. al, 1980 dalam Greenhaus dan Beutell, 1985). Khususnya pada ibu yang memiliki tanggung jawab mengurus anak.

(6)

2. Sumber konflik yang berasal dari keluarga

Karakteristik peran keluarga yang mengharuskan seseorang menghabiskan sebagian besar dari waktunya dalam aktivitas keluarga dapat menghasilkan konflik pekerjaan-keluarga. Sependapat dengan itu, Herman dan Gyllstrom, 1977 dalam Greenhaus dan Beutell, 1985 menemukan bahwa orang-orang yang menikah lebih banyak mengalami konflik pekerjaan-keluarga dibanding dengan mereka yang tidak menikah. Selanjutnya dapat diperkirakan bahwa yang memiliki anak akan mengalami konflik pekerjaan-keluarga yang lebih besar ketimbang mereka yang belum memiliki anak. Tanggung jawab yang besar dalam perkembangan anak mungkin akan menjadi konstributor yang besar bagi konflik pekerjaan-keluarga (Bohen dan Viveros-Long, 1981dalam Greenhaus dan Beutell, 1985).

Sejumlah studi menunjukkan bahwa orang tua dari anak yang masih kecil (usia pra sekolah) merasakan konflik yang lebih besar daripada orang tua yang memiliki anak relatif lebih besar (Beutell dan Greenhaus, 1980; Greenhaus dan Kopelman, 1981; Plect et. al, 1980). Keluarga yang besar yang diasumsikan memiliki lebih banyak tuntutan daripada keluarga kecil, memiliki hubungan yang positif dengan tingginya tingkat konflik pekerjaan-keluarga (Cartwright, 1978; Keith dan Schafer, 1980 dalam Greenhaus dan Beutell, 1985).

2.1.3.2. Konflik Berdasarkan Tekanan (Strain Based Conflict) 1. Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan.

Peran dalam pekerjaan yang tidak jelas dan atau konflik dalam peran di pekerjaan memiliki hubungan yang positif dengan konflik pekerjaan-keluarga (Jones

(7)

dan Butler, 1980; Kopelman et. al, 1983; See Burke et. al, 1980 dalam Greenhaus dan Beutell, 1985). Kurangnya dukungan dari atasan juga menyebabkan tingginya konflik peran pekerjaan-keluarga (Jones dan Butler, 1980 dalam Greenhaus dan Beutell, 1985). Menurut Burke et. al, 1980 dalam Greenhaus dan Beutell, 1985, stresor yang berasal dari pekerjaan seperti budaya kerja yang berubah-ubah, stres dalam komunikasi, dan konsentrasi yang dibutuhkan dalam menjalankan pekerjaan memiliki hubungan yang positif dengan konflik pekerjaan keluarga. Selain itu penggunaan sebagian besar waktu untuk melakukan salah satu peran juga dapat mengakibatkan ketegangan. Seperti jam kerja yang panjang dan tidak fleksibel, serta adanya kerja lembur dapat menyebabkan time based conflict begitu juga strain based conflict. Walaupun keduanya merupakan konsep yang berbeda, namun ada beberapa sumber konflik yang dapat digolongkan kepada kedua dimensi konflik tersebut. 2. Sumber konflik yang berasal dari keluarga.

Bagi mereka yang mempunyai pasangan yang mendukung dapat mengurangi tingkat konflik pekerjaan-keluarga (Holahan dan Gilbert, 1979 dalam Greenhaus dan Beutell, 1985). Menurut Greenhaus dan Beutell(1985) perempuan yang memiliki orientasi karier yang berbeda dengan suaminya, merasakan tingkatan konflik antar peran yang lebih tinggi. Besar kemungkinan perbedaan pasangan dalam keyakinan-keyakinan fundamental dapat melemahkan sistem dukungan mutual dan dapat menghasilkan stres.

(8)

2.1.3.3. Konflik Berdasarkan Perilaku (Behavior Based Conflict) 1. Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan

Ditempat kerja seorang tenaga kerja dibutuhkan pola perilaku yanglogika, agresif dan objektif. Apabila pola perilaku ini diterapkan di dalam keluarga hal ini mungkin tidak cocok atau bertentangan. Sebab anggota keluarga mengharapkan seorang pekerja wanita bersikap hangat, peka, dan penuh kesabaran ketika berinteraksi dengan mereka. Jika pekerja wanita tidak mampu melakukan penyesuaian perilaku untuk memenuhi harapan ini maka ia akan mengalami konflik peran dari pekerjaan ke keluarga (Greenhaus dan Beutell, 1985).

2. Sumber konflik yang berasal dari keluarga.

Saat berada di rumah seorang tenaga kerja wanita dalam berurusan dengan anggota keluarganya yaitu suami, anak-anak dan anggota keluarga lainnya, diharapkan bertindak dengan kehangatan, pengasuhan, peka dan penuh kesabaran. Namun di tempat kerja seorang tenaga kerja wanita diharapkan agresif, logika, dan objektif dalam melakukan tugas-tugas yang ditetapkan perusahaan. Jika pekerja wanita tidak mampu melakukan penyesuaian perilaku maka ia akan mengalami konflik peran dari keluarga ke pekerjaan (Greenhaus dan Beutell, 1985).

2.1.4.Pengharapan Peran yang Bertentangan (Incompatibility)

Tekanan-tekanan yang berhubungan dengan keluarga (family domain) berdasarkan tiga bentuk konflik peran ganda membuat sulit untuk memenuhi permintaan atau tekanan pada pekerjaan (Greenhaus dan Beutell, 1985).Konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab terhadap keluarga mengganggu tanggung jawab

(9)

terhadap pekerjaandisebut konflik keluarga terhadap pekerjaan (family-work conflict) (Judge et. al. 1994).

Tekanan-tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan (work domain) berdasarkan tiga bentuk konflik peran ganda membuat sulit untuk memenuhi permintaan atau tekanan pada keluarga (Greenhaus dan Beutell, 1985). Konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab terhadap pekerjaan mengganggu tanggung jawab terhadap keluargadisebut konflik pekerjaan terhadap keluarga (work-family conflict) (Judge et. al. 1994).

Konflik peran ganda (work-family conflict) baik yang berhubungan dengan konflik pekerjaan terhadap keluarga (work-family conflict) maupun konflik keluarga terhadap pekerjaan (family-work conflict) dapat menyebabkan terjadinya stres kerja (Judge et. al. 1994).

2.2.Dukungan Sosial

2.2.1. Pengertian Dukungan Sosial

Dukungan sosial merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menerangkan bagaimana hubungan sosial menyumbang manfaat bagi kesehatan mental atau kesehatan fisik individu. Dalam kehidupan hari-hari manusia membutuhkan orang lain untuk dapat memenuhi kebutuhannya, baik itu kebutuhan fisik, sosial maupun kebutuhan psikis. Lingkungan sosial berpotensi untuk memberikan dukungan soaial bagi individu (Maslihah, 2011).

(10)

Dukungan sosial adalah suatu hubungan yang didalamnya terkandung isi pemberian bantuan yang dapat berupa dorongan, semangat, nasehat yang dapat diberikan melalui aliran emosi atau afeks serta dapat meningkatkan kemampuan dalam menghadapi stres akibat konflik, dimana pemberinya bersumber dari orang-orang yang mempunyai hubungan berarti dengan individu, yaitu keluarga, teman dekat, guru, saudara, tetangga, dan sebagainya (Kumolohadi, 2007).

2.2.2.Sumber-sumber Dukungan Sosial

Menurut Quick dan Quick (1984) dalam Almasitoh (2011) dukungan sosial dapat bersumber dari jaringan sosial yang dimiliki oleh individu yaitu dari lingkungan pekerjaan seperti dari atasan, rekan kerja, bawahan, dan dari lingkungan keluarga yaitu dari pasangan, anak, dan saudara.

Menurut Strauss dan Saylessseperti yang dikutip Cahyolaksono (2008) ada tiga sumber dukungan sosial dalam konteks kerja, yaitu :

a. Keluarga

Keluarga merupakan tempat dimana pertumbuhan dan perkembangan seseorang terjadi. Kebutuhan-kebutuhan fisik dan spikologis mula-mula terpenuhi di lingkungan keluarga, dan juga keluarga merupakan kelompok terdekat bagi seorang individu. Sehingga keluarga akan menjadi tempat bercerita dan mengeluarkan keluhan-keluhan bagi individu.

b. Teman sekerja

Seorang individu yang bekerja tentu saja akan berinteraksi dengan teman sekerja dan juga memerlukan dukungan moral dari teman sekerjanya. Bentuk

(11)

dukungan moral ini bisa berupa kualitas hubungan kerja, kehangatan dalam berteman dan rasa saling percaya.

c. Atasan

Bagi seorang bawahan dukungan dan penerimaan dari atasan merupakan suatu bentuk dukungan yang akan membuatnya semakin lancar dalam bekerja.

Menurut Sasayzuch (2009) dukungan sosial dapat diperoleh dari : a. Suami

Hubungan perkawinan merupakan hubungan akrab yang diikuti oleh minat yang sama, kepentingan yang sama, saling membagi perasaan, saling mendukung, dan menyelesaikan permasalahan bersama.

b. Keluarga

Keluarga merupakan sumber dukungan sosial karena dalam hubungan keluarga tercipta hubungan yang saling mempercayai. Individu sebagai anggota keluarga akan menjadikan keluarga sebagai kumpulan harapan, tempat bercerita, tempat bertanya, dan tempat mengeluarkan keluhan-keluhan bilamana individu sedang mengalami permasalahan.

c. Teman

Teman dekat merupakan sumber dukungan sosial karena dapat memberikan rasa senang dan dukungan selama mengalami suatu permasalahan.

2.2.3. Bentuk-bentuk Dukungan Sosial

Menurut House (1981)seperti yang dikutip Junita (2011) membedakan bentuk dukungan sosial menjadi empat, antara lain :

(12)

a. Dukungan emosional

Dukungan ini meliputi ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan.

b. Dukungan penghargaan

Dukungan ini dapat diberikan dalam bentuk ungkapan hormat (penghargaan positif), dorongan motivasi ataupun dalam bentuk persetujuan untuk individu tersebut.

c. Dukungan instrumental

Dukungan ini berupa bantuan langsung seperti membantu istri dalam mengerjakan tugas rumah tangga maupun pekerjaan tambahan.

d. Dukungan informatif

Dukungan ini dapat berupa pemberian saran, pemberian petunjuk maupun nasehat-nasehat ataupun umpan balik.

Menurut Sarafino (1998) dalam Rahmadita (2013) dukungan sosial terdiri dari:

a. Dukungan Emosional berupa ekspresi seperti perhatian, empati, dan prihatin terhadap seseorang.

b. Dukungan Penghargaan melibatkan ekspresi berupa pernyataan setuju dan penilaian positif terhadap ide-ide, perasaan dan performa orang lain dalam lingkup pekerjaannya.

c. Dukungan Instrumental yaitu berupa bantuan secara langsung dan nyata seperti memberi atau meminjamkan uang atau membantu meringankan tugas seseorang.

(13)

d. Dukungan Informasi berupa nasehat, arahan, saran ataupun penilaian tentang bagaimana individu melakukan sesuatu dalam mengatasi masalah.

2.2.4. Manfaat Dukungan Sosial

Liebermen (1992) dalam Sasayzuch (2009).mengemukakan bahwa secara teoritis dukungan sosial dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian yang dapat mengakibatkan stres.

Penelitian Cahyolaksono (2008) terhadap staf pengajar (dosen perempuan) di Universitas Katolik Soegijapranata Semarang menemukan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara dukungan sosial suami dengan stres kerja pada dosen perempuan. Artinya semakin tinggi dukungan sosial suami yang diperoleh maka semakin rendah stres kerja yang dialami. Sebaliknya semakin rendah dukungan sosial suami yang diperoleh maka semakin tinggi stres kerja yang dialami.

Penelitian Fadhilah (2010) yang dilakukan terhadap 78 karyawan dibagian produksi PT Coca-Cola Amatil Indonesia (Central Java) menemukan bahwa dukungan sosial yang bersumber dari pasangan hidup/keluarga, rekan kerja dan atasan dapat mereduksi stres kerja karyawan.

2.3. Stres Kerja

2.3.1. Pengertian Stres Kerja

Pekerjaan merupakan peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia, maka pekerjaan dapat menimbulkan stres. Lingkungan kerja sama dengan lingkungan lainnya yang menuntut seseorang untuk dapat menyesuaikan diri agar dapat

(14)

menempatinya. Oleh karena itu individu akan memiliki kemungkinan untuk mengalami suatu keadaan stres dalam lingkungan kerja (Nova dan Ispriyanti, 2012).

Rice (1992) menyatakan seseorang dapat mengalami stres kerja jika :

a. Urusan stres yang dialami seseorang melibatkan juga pihak organisasi atau perusahaan tempat individu bekerja. Namun penyebabnya tidak hanya di dalam perusahaan, karena masalah rumah tangga yang terbawa ke dalam pekerjaan dan masalah pekerjaan yang terbawa ke dalam urusan rumah tangga dapat juga menjadi penyebab stres kerja.

b. Mengakibatkan dampak negatif bagi individu dan juga perusahaan.

Menurut Kavaganh, Hurst dan Rose (1990) dalam Wijono (2010), stres kerja adalah suatu ketidakseimbangan persepsi individu terhadap kemampuannya untuk melakukan tindakan.

Anoraga (2009) menjelaskan stres kerja adalah suatu bentuk tanggapan seseorang baik fisik maupun mental terhadap suatu perubahan di lingkungannya yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam. Selanjutnya Tarupolo (2002) dalam Junita (2011) mengartikan stres kerja sebagai suatu proses yang menyebabkan orang merasa sakit, tidak nyaman atau tegang karena pekerjaan, tempat kerja atau situasi kerja tertentu.

Riggio (2003) dalam Almasitoh (2011)menjelaskan stres kerja sebagai reaksi fisiologis dan atau psikologis terhadap suatu kejadian yang dipersepsi individu sebagai ancaman.

(15)

2.3.2. Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja

Menurut Cooper dalam Rice(1992) faktor penyebab stres kerja adalah : a. Faktor kondisi pekerjaan

1) Lingkungan kerja. Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab karyawan mudah sakit, mudah stres, sulit berkonsentrasi, dan menurunnya produktivitas kerja.

2) Overload dibedakan dapat secara kuantitatif dan kualitatif. Dikatakan

overload secara kuantitatif jika banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas karyawan tersebut. Akibatnya karyawan tersebut mudah lelah dan berada dalam “tegangan tinggi”. Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif karyawan.

3) Deprivational stres yaitu kondisi pekerjaan yang tidak lagi menantang atau tidak lagi menarik bagi karyawan. Biasanya keluhan yang muncul adalah kebosanan, ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang mengandung unsur sosial (kurangnya komunikasi sosial).

4) Pekerjaan beresiko tinggi. Jenis pekerjaan yang berisiko tinggi, atau berbahaya bagi keselamatan, misalnya pekerjaan di pertambangan minyak lepas pantai, tentara, dan pemadam kebakaran, berpotensi menimbulkan stres kerja karena mereka setiap saat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kecelakaan.

(16)

b. Faktor stres karena peran

Sebagian besar karyawan yang bekerja di perusahaan yang sangat besar, khususnya para wanita yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya, wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Wanita sangat dituntut perannya harus sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar sehingga banyak wanita karir yang merasa bersalah ketika harus bekerja. Perasaan bersalah ditambah dengan tuntutan dari dua sisi yaitu pekerjaan dan ekonomi rumah tangga, sangat berpotensi menyebabkan wanita bekerja mengalami stres.

c. Faktor interpersonal

Hubungan interpersonal di tempat kerja merupakan hal yang sangat penting di tempat kerja. Dukungan dari sesama pekerja, manajemen, keluarga dan teman-teman diyakini dapat menghambat timbulnya stres. Dengan demikian perlu ada kepedulian pihak manajemen pada karyawannya agar selalu tercipta hubungan yang harmonis. d. Faktor pengembangan karir

Karyawan biasanya mempunyai berbagai harapan dalam kehidupan karir kerjanya, yang ditujukan pada pencapaian prestasi dan pemenuhan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Apabila perusahaan tidak dapat memenuhi kebutuhan karyawan untuk berkarir, misalnya sistem promosi yang tidak jelas, kesempatan untuk meningkatkan penghasilan tidak ada, karyawan akan merasa kehilangan harapan, tumbuh perasaan ketidakpastian yang dapat menimbulkan perilaku stres.

(17)

e. Faktor struktur organisasi

Struktur organisasi berpotensi menimbulkan stres apabila diberlakukan secara kaku, pihak manajemen kurang mempedulikan inisiatif karyawan, tidak melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan, dan tidak adanya dukungan bagi kreativitas karyawan.

f. Faktor tampilan rumah-pekerjaan

Ketika pekerjaan berjalan dengan lancar, tekanan yang ada di rumah cenderung bisa dihilangkan. Bagi kebanyakan orang, rumah sebagai tempat untuk bersantai, mengumpulkan dan membangun kembali kekuatan yang hilang. Tetapi ketika keheningan terganggu, bisa karena pekerjaan atau konflik di rumah, efek dari stres cenderung meningkat.

Menurut Handoko (2012) faktor-faktor yang menyebabkan stres kerja ada dua kategori yaitu :

a. Di dalam pekerjaan (on the job) : 1. Beban kerja yang berlebih. 2. Tekanan atau desakan waktu. 3. Kualitas supervisi yang jelek. 4. Iklim politis yang tidak aman.

5. Umpan balik tentang pelaksanaan kerja yang tidak memadai.

6. Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab. 7. Kemenduaan peran (role ambiguity).

(18)

9. Konflik antar pribadi dan antar kelompok.

10. Perbedaan antara nilai-nilai perusahaan dan karyawan. 11. Berbagai bentuk perubahan.

b. Di luar pekerjaan (of the job) 1. Kekuatiran finansial

2. Masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak. 3. Masalah-masalah pisik.

4. Masalah-masalah perkawinan (misal, perceraian). 5. Perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal.

6. Masalah-masalah pribadi lainnya, seperti kematian sanak saudara.

Menurut Hendriket. al. (1994) dalam Triaryati (2003) ada dua faktor penyebab stres kerja yaitu :

a. Wanita pekerja dipengaruhi oleh sumber stres yang biasa dihadapi oleh laki-laki seperti beban kerja yang berlebihan, overskills atau underutilization skills kebosanan kerja, hubungan dengan pasangan atau anak, dan masalah keuangan. b. Sumber stres yang kedua bersifat unik dan berasal dari pekerjaan atau di luar

pekerjaan. Yang berasal dari pekerjaan mereka seperti kebosanan, rendahnya tingkat kekuasaan, permimtaan yang tinggi dalam pekerjaan, dan sedikitnya promosi yang diberikan. Sedangkan yang berasal dari luar pekerjaan seperti kekhawatiran terhadap usia, ketidakpuasan terhadap kehidupan perkawinan, peran utama dan tanggung jawab wanita dalam mengatur rumah tangga dan keluarganya.

(19)

Siagian (1995) dalam Triaryati (2003) menyatakan bahwa salah satu sumber stres yang diderita wanita yang bekerja adalah faktor individu dan masalah keluarga yang berkaitan dengan usaha membina keharmonisan rumah tangga mereka. Hal ini sejalan Namayandeh (2010) menjelaskan bahwa setiap individu yang mempunyai ragam latar belakang kehidupan pribadi berbeda-beda dapat berpengaruh terhadap timbulnya stres kerja karyawan karena faktor-faktor dalam kehidupan pribadi individu tidak dapat lepas dari lingkungan kerja dimana ia bekerja.

2.3.3. Gejala-gejala Stres Kerja

Beerhr dan Newman dalam Rice (1992) telah memeriksa sejumlah penelitian tentang stres kerja dan dirangkumkan ke dalam 3 tipe dari hal negatif individu terhadap stres kerja yaitu gejala fisik, gejala psikologi, dan gejala perilaku.

a. Gejala fisik dari stres kerja

Yang termasuk dalam gejala-gejala fisik yaitu : 1. Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah 2. Meningkatnya sekresi adrenalin dan non adrenalin 3. Timbulnya gangguan perut

4. Kelelahan fisik 5. Kematian

6. Timbulnya penyakit kardiovaskuler 7. Ketegangan otot

8. Keringat berlebihan 9. Gangguan kulit

(20)

10. Sakit kepala 11. Kanker

12. Gangguan tidur

b. Gejala psikologi dari stres kerja

Yang termasuk dalam gejala-gejala psikologis yaitu :

1. Ketegangan, kecemasan, kebingungan dan mudah tersinggung 2. Parasaan frustasi, marah dan kesal

3. Emosi yang menjadi sensitif dan hiperaktif 4. Perasaan tertekan

5. Kemampuan berkomunikasi efektif menjadi kurang 6. Menarik diri dan depresi

7. Perasaan terisolir dan terasing

8. Kebosanan dan ketidakpuasan dalam bekerja

9. Kelelahan mental dan menurunnya fungsi intelektual 10. Menurunnya harga diri

c. Gejala perilaku dari stres kerja

Yang termasuk dalam gejala-gejala perilaku yaitu : 1. Bermalas-malasan dan menghindari pekerjaan 2. Kinerja dan produktivitas menurun

3. Meningkatnya penggunaan alkohol dan obat-obat terlarang 4. Melakukan sabotase pada pekerjaan

(21)

6. Mengurangi makan sebagai perilaku menarik diri dan berkombinasi dengan depresi

7. Kehilangan selera makan dan menurunnya barat badan secara tiba-tiba 8. Meningkatnya perilaku berisiko tinggi

9. Agresif, brutal dan mencuri

10. Hubungan yang tidak harmonis dengan keluarga dan teman 11. Kecenderungan melakukan bunuh diri.

Wijono (2010) Ada beberapa gejala stres dapat dilihat dari berbagai faktor yang menunjukkan adanya perubahan baik secara fisiologis, psikologis, dan sikap a. Perubahan fisiologis ditandai oleh adanya gejala-gejala seperti merasa letih/lelah,

kehabisan tenaga, pusing, gangguan pencernaan, dan sebagainya.

b. Perubahan psikologis ditandai oleh adanya gejala-gejala seperti kecemasan berlarut-larut, sulit tidur, napas tersengal-sengal, dan sebagainya.

c. Perubahan sikap seperti keras kepala, mudah marah, tidak puas terhadap apa yang dicapai, dan sebagainya.

Gejala-gejala stres kerja menurut Anoraga (2009)antar lain :

a. Gejala badan : sakit kepala (cekot-cekot, pusing, vertigo), sakit maag, mudah kaget (berdebar-debar), banyak ke luar keringat dingin, gangguan pola tidur, lesu, letih, kaku leher belakang sampai punggung, dada rasa panas/nyeri, rasa tersumbat di kerongkongan, gangguan psikoseksual, nafsu makan menurun, mual, muntah, gejala kulit, bermacam-macam gangguan menstruasi, keputihan, kejang-kejang, pingsan dan sejumlah gejala lain.

(22)

b. Gejala Emosional : pelupa, sukar konsentrasi, sukar mengambil keputusan, cemas, was-was, kuatir, mimpi-mimpi buruk, murung, mudah marah/jengkel, mudah menangis, pikiran bunuh diri, gelisah, pandangan putus asa dan sebagainya.

c. Gejala sosial : makin banyak merokok/minum/makan. Menarik diri dari pergaulan sosial, mudah bertengkar, membunuh dan lainnya.

Menurut Tarupolo (2002) dalam Junita (2011) gejala-gejala stres kerja dapat berupa letih dan lelah, kecewa, perasaan tidak berdaya, gangguan tidur, kegelisahan, ketegangan, kecemasan, cepat marah, kehilangan percaya diri, perasaan kesepian atau keterasingan, makan terlalu sedikit, mudah tersinggung, dan sulit berkonsentrasi. 2.3.4. Dampak Stres Kerja

Rini (2002) menguraikan dampak dari stres kerja yaitu : a. Dampak pada perusahaan

Jika banyak diantara karyawan di dalam organisasi mengalami stres kerja, maka produktivitas dan kesehatan organisasi itu akan terganggu. Randall Schuller (1980) seperti yang dikutip Rini(2002) mengidentifikasi beberapa perilaku negatif karyawan yang berpengaruh terhadap organisasi.Menurut peneliti ini stres yang dihadapi karyawan berkolerasi dengan penurunan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja serta tendensi mengalami kecelakaan. Secara singkat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh stres kerja adalah :

1. Terhambat manajemen maupun operasional kerja. 2. Mengganggu kenormalan aktivitas kerja

(23)

4. Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan. b. Dampak terhadap individu

Dampak stres kerja bagi individu adalah munculnya masalah-masalah yang berhubungan dengan kesehatan, psikologi dan interaksi interpersonal.

1. Kesehatan

Stres menyebabkan kelenjar hipotalamus melepaskan hormon adrenalin dan kortisol melalui kelenjar adrenal. Hormon-hormon ini menyebabkan reaksi metabolisme tertentu sehingga tubuh bereaksi untuk menghadapi sebuah situasi yang penuh tekanan dan tantangan. Reaksi ini meliputi peningkatan denyut jantung, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan produksi glukosa untuk meningkatkan pasokan energi serta menonaktifkan sementara sistem kekebalan tubuh dan sistem pencernaan.

2. Psikologis

Stres yang berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan dan kekuatiran yang terus menerus. Menurut istilah psikologi, stres berkepanjangan ini disebut stres kronis. Stres kronis sifatnya menggerogoti dan menghancurkan tubuh, pikiran dan seluruh kehidupan penderitanya secara perlahan-lahan. Akibatnya orang akan terus-menerus merasa tertekan dan kehilangan harapan.

3. Interaksi interpersonal

Orang yang sedang stres akan lebih sensitif, oleh karena itu sering terjadi salah persepsi dalam membaca dan mengartikan suatu keadaan, pendapat atau penilaian, kritik, nasihat, bahkan perilaku orang lain. Selain itu, orang stres cenderung

(24)

mengaitkan segala sesuatu dengan dirinya. Pada tingkat stres yang berat, orang bisa menjadi depresi, kehilangan rasa percaya diri dan harga diri. Akibatnya ia lebih banyak menarik diri dari lingkungan, tidak lagi mengikuti kegiatan yang biasa dilakukan, jarang berkumpul dengan sesama, lebih suka menyendiri, mudah tersinggung, mudah marah, mudah emosi. Tidak heran akibat dari sikapnya ini mereka dijauhkan oleh rekan-rekannya. Respon negatif dari lingkungan ini malah semakin menambah stres yang diderita karena persepsi yang selama ini ia bayangkan ternyata benar, bahwa ia kurang berharga di mata orang lain, kurang berguna, kurang disukai, kurang beruntung dan lain sebagainya.

Stres kerja menyebabkan terjadinya ketegangan dan konflik antara karyawan dengan pihak manajemen. Tingginya sensitivitas emosi berpotensi menyulut pertikaian dan menghambat kerja sama antara individu satu dengan yang lain.

2.4. Wanita Bekerja

2.4.1. Pengertian Wanita Bekerja

Menurut Ihromi (1990) dalam Ciptoningrum (2009) yang dimaksud ibu yang bekerja adalah wanita yang sudah bersuami, dalam kehidupan atau kegiatan sehari-harinya bekerja di luar rumah mencari nafkah sebagai pegawai negeri ataupun swasta.

Menurut Munandar (1985) dalam Ciptoningrum (2009)yang mendorong seorang wanita yang telah berkeluarga untuk bekerja yaitu untuk menembah penghasilan keluarga, untuk ekonomis tidak bergantung pada suaminya, untuk

(25)

menghindari kebosanan, karena mempunyai minat atau keahlian tertentu yang ingin dimanfaatkan, untuk memperoleh status dan penegembangan diri.

2.4.2. Karakteristik Wanita Bekerja

Wanita yang bekerja menghabiskan rata-rata 7 sampai 9 jam dalam satu hari, atau 42 sampai 54 jam dalam seminggu. Bararti ia hanya memiliki sisa waktu duapertiga dari wanita yang tidak bekerja. Waktu ini masih harus ia atur untuk pengasuhan anak, mengurus suami, bersosialisasi dengan keluarga besar dan lingkungan sosial, serta untuk mengurus diri wanita itu sendiri. Konsekuensi yang harus dihadapi adalah terbaginya waktu dan perhatian antara urusan di rumah dan urusan pekerjaan di kantor. Menurut Hochschild (1989) bagi wanita bekerja, waktu kerja yang panjang ditambah oleh tuntutan pekerjaan rumah tangga menyulitkan mereka untuk mengasuh anak dan mewujudkan attentive parenting.

Sementara dampak fisik dan pengaruh psikologis yang ia dapatkan dari aktivitas kerja adalah dengan tercurahnya perhatian wanita pada pekerjaan, maka sebagian besar energi dan waktu terbagi. Biasanya tenaga kerja wanita bekerja pada pagi hari sampai sore. Pada waktu tersebut kondisi fisik sedang prima dan selanjutnya wanita yang bekerja akan pulang ke rumah dengan sisa energi yang ada. Sulit bagi mereka yang bekerja misalnya sebagai buruh pabrik untuk menghemat energinya, karena bagi tenaga buruh ini, aktivitas fisik serta konsentrasi merupakan fokus utama pekerjaannya. Hal yang paling umum dikeluhkan pada wanita bekerja, terutama yang baru memulai pekerjaan salah satunya dampak pada faktor relasional dengan suami. Karena wanita mencurahkan seluruh waktu dan energinya untuk kesan bagus

(26)

dipekerjaan. Jika komunikasi tidak berjalan efektif dan dukungan suami dirasakan kurang, maka sangat mungkin menimbulkan masalah perkawinan (Rosiana, 2007).

2.5. Landasan Teori

Greenhaus dan Beutell (1985) mendefenisikan konflik peran ganda sebagai bentuk konflik peran dimana tuntutan peran pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal. Seseorang akan menghabiskan waktu yang lebih untuk digunakan dalam memenuhi peran yang penting bagi mereka, oleh karena itu bisa kekurangan waktu untuk peran yang lainnya.

Judge et. al. (1994) menyebutkan bahwa konflik pekerjaan-keluarga mempunyai dua komponen yaitu :

a. Konflik pekerjaan terhadap keluarga (work-family conflict) yaitu konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab pekerjaan mengganggu tanggung jawab terhadap keluarga. Misalnya membawa pekerjaan ke rumah dan mencoba menyelesaikannya dengan mengorbankan waktu keluarga.

b. Konflik keluarga terhadap pekerjaan (family-work conflict) yaitu konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab terhadap keluarga mengganggu tanggung jawab terhadap pekerjaan. Misalnya membatalkan datang ke tempat kerja karena tiba-tiba anak sakit.

Greenhaus dan Beutell (1985)mengidentifikasi tiga jenis konflik pekerjaan-keluarga yaitu :

(27)

a. Konflik berdasarkan Waktu (time-based conflik), yaitu konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan untuk memenuhi satu peran (keluarga atau pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan yang lainnya (pekerjaan atau keluarga).

b. Konflik berdasarkan tekanan (strain-based conflict), yaitu tekanan yang dihasilkan oleh salah satu peran mempengaruhi kinerja peran yang lain.

c. Konflik berdasarkan perilaku (behavior-based conflict) yaitu konflik yang muncul ketika pengharapan dari suatu perilku yang berbeda dengan pengharapan dari perilaku peran lainnya (pekerjaan atau keluarga).

Tekanan-tekanan yang berhubungan dengan keluarga (family domain) berdasarkan tiga bentuk konflik peran ganda membuat sulit untuk memenuhi permintaan atau tekanan pada pekerjaan (Greenhaus dan Beutell, 1985). Konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab terhadap keluarga mengganggu tanggung jawab terhadap pekerjaandisebut konflik keluarga terhadap pekerjaan (family-work conflict) (Judge et. al. 1994).

Tekanan-tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan (work domain) berdasarkan tiga bentuk konflik peran ganda membuat sulit untuk memenuhi permintaan atau tekanan pada keluarga (Greenhaus dan Beutell, 1985). Konflik yang muncul dikarenakan tanggung jawab terhadap pekerjaan mengganggu tanggung jawab terhadap keluargadisebut konflik pekerjaan terhadap keluarga (work-family conflict) (Judge et. al. 1994).

(28)

Konflik peran ganda (work-family conflict) baik yang berhubungan dengan konflik pekerjaan terhadap keluarga (work-family conflict) maupun konflik keluarga terhadap pekerjaan (family-work conflict) dapat menyebabkan terjadinya stres kerja (Judge et. al. 1994).

Dukungan sosial adalah suatu hubungan yang didalamnya terkandung isi pemberian bantuan yang dapat berupa dorongan, semangat, nasehat yang dapat diberikan melalui aliran emosi atau afeks serta dapat meningkatkan kemampuan dalam menghadapi stres akibat konflik, dimana pemberinya bersumber dari orang-orang yang mempunyai hubungan berarti dengan individu, yaitu keluarga, teman dekat, guru, saudara, tetangga, dan sebagainya (Kumolohadi, 2007).

Menurut Quick dan Quick (1984) dalam Almasitoh (2011) dukungan sosial dapat bersumber dari jaringan sosial yang dimiliki oleh individu yaitu dari lingkungan pekerjaan seperti dari atasan, rekan kerja, bawahan, dan dari lingkungan keluarga yaitu dari pasangan, anak, dan saudara.

Anoraga (2009) menjelaskan stres kerja adalah suatu bentuk tanggapan seseorang baik fisik maupun mental terhadap suatu perubahan di lingkungannya yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya terancam.

Beerhr dan Newman dalam Rice (1992) telah memeriksa sejumlah penelitian tentang stres kerja dan dirangkumkan ke dalam 3 tipe dari hal negatif individu terhadap stres kerja yaitu gejala fisik (biologi), gejala psikologi, dan gejala perilaku (sosial).

(29)

2.6. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori maka dapat digabungkan menjadi suatu pemikiran yang terintegrasi. Pemikiran yang terintegrasi tersebut merupakan kerangka konsep dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian Konflik Peran Ganda

1. Konflik berdasarkan waktu (Time based conflict)

2. Konflik berdasarkan tekanan (Strain based conflict) 3. Konflik berdasarkan

perilaku (Behavior based conflict) Stres Kerja Dukungan Sosial 1. Suami 2. Rekan kerja 3. Atasan

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi gaya peng- aturan tempat duduk yang meliputi face to face style, chevron style, cluster style, seminar style,

Seorang abdi negara yang diharapkan adalah seseorang yang harus bisa bekerja baik itu sendiri ataupun tim, karena kadang adakalanya seseorang yang selalu ingin bekerja sendiri

Menurut Wahyudin (Hulu, 2009:3) bahwa pada masa sekarang ini para siswa sekolah menengah mesti mempersiapkan diri untuk hidup dalam masyarakat yang menuntut

Amril Hanafi Nasution (100304007) dengan judul skripsi Analisis Dampak Adopsi Teknologi Budidaya Jagung terhadap Pendapatan Petani (Kasus : Desa Bangun Panei Kecamatan Dolok

Komunikasi sangat penting guna mempermudah efektivitas dan efisiensi kerja. Komunikasi internal OZ dilakukan oleh semua staf, baik itu dengan sesama staf maupun antara staf

Diantara koneksi database ini ada yang merupakan antarmuka berbasis Object ada juga yang tidak berbasis object, kedua paradigma ini, menggunakan mesin databse microsoft Jet,

Manfaat praktis, dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak yang terkait dalam rangka mewujudkan program Kementrian Perempuan dan Perlindungan Anak dalam mewujudkan

Pada form utama sesudah login terdapat beberapa menu (dibedakan berdasarkan hak akses pemakai pada sistem), yakni : Menu Data Pemakai; Menu Data Master dengan sub menu