• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. tertentu (Marpaung, 2002). Sedangkan Hamid (1996) mendefenisikan obyek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. tertentu (Marpaung, 2002). Sedangkan Hamid (1996) mendefenisikan obyek"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Obyek dan Daya Tarik Wisata

Obyek dan daya tarik wisata adalah suatu bentukan dan/atau aktivitas dan fasilitas yang berhubungan serta dapat menarik minat wisatawan atau pengunjung untuk datang ke suatu daerah/tempat tertentu. Daya tarik yang tidak atau belum dikembangkan semata - mata hanya merupakan sumberdaya potensial dan belum dapat disebut sebagai daya tarik wisata sampai adanya suatu jenis pengembangan tertentu (Marpaung, 2002). Sedangkan Hamid (1996) mendefenisikan obyek wisata sebagai segala sesuatu yang menarik dan telah dikunjungi wisatawan sedangkan daya tarik adalah segala sesuatu yang menarik namun belum tentu dikunjungi. Daya tarik tersebut masih memerlukan pengelolaan dan pengembangan sehingga menjadi obyek wisata yang mampu menarik kunjungan.

Menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan, objek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata. Objek dan daya tarik wisata terdiri atas :

1. Objek dan daya tarik wisata ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang berwujud keadaan alam, serta flora dan fauna;

2. Objek dan daya tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi dan tempat hiburan.

Selanjutnya dijelaskan bahwa pembangunan objek dan daya tarik wisata dilakukan dengan cara mengusahakan, mengelola, dan membuat objek-objek baru sebagai objek dan daya tarik wisata.

(2)

Suwantoro (1997) menyatakan bahwa objek wisata alam adalah sumber daya alam yang berpotensi dan berdaya tarik bagi wisatawan serta ditujukan untuk pembinaan cinta alam, baik dalam kegiatan alam maupun setelah pembudidayaan. Selanjutnya juga dijelaskan bahwa daya tarik wisata yang juga disebut objek wisata merupakan potensi yang menjadi pendorong kehadiran wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata.

Menurut Wiwoho (1990) daya tarik tersebut antara lain dapat berupa : 1. Sumber-sumber daya tarik yang bersifat alamiah seperti iklim, pemandangan

alam, lingkungan hidup, fauna, flora, kawah, danau, sungai, karang dan ikan di bawah laut, gua-gua, tebing, lembah dan gunung.

2. Sumber-sumber buatan manusia berupa sisa-sisa peradaban masa lampau, monumen bersejarah, rumah peribadatan, museum, peralatan musik, tempat pemakaman dan lain-lain.

3. Sumber-sumber daya tarik yang bersifat manusiawi. Sumber manusiawi melekat pada penduduk dalam bentuk warisan budaya misalnya tarian, sandiwara, drama, upacara adat, upacara penguburan mayat, upacara keagamaan, upacara perkawinan dan lain-lain.

Menurut MacKinnon et al. (1990), faktor-faktor yang membuat suatu kawasan menarik bagi pengunjung adalah :

1. Letaknya dekat, cukup dekat atau jauh dengan bandar udara internasional atau pusat wisata utama.

2. Perjalanan ke kawasan tersebut mudah dan nyaman, perlu sedikit usaha, sulit atau berbahaya.

(3)

3. Kawasan tersebut memiliki atraksi yang menonjol misalnya satwa liar yang menarik dan representatif untuk tempat tertentu.

4. Keberhasilan untuk melihat satwa terjamin.

5. Kawasan tersebut memiliki beberapa keistimewaan yang berbeda.

6. Memiliki tambahan budaya yang sangat menarik serta beberapa atraksi wisata.

7. Unik dalam penampilannya.

8. Memiliki fasilitas rekreasi pantai atau tepian danau, sungai, air terjun, kolam renang atau tempat rekreasi lainnya.

9. Kawasan cukup dekat dengan lokasi lain yang menarik wisatawan sehingga menjadi bagian kegiatan wisatawan.

10. Sekitar kawasan tersebut memiliki pemandangan indah. 11. Keadaan makanan dan akomodasi tersedia.

Wisata Alam dan Ekowisata

Kata wisata (tourism) pertama kali muncul dalam Oxford English Dictionary tahun 1811, yang mendeskripsikan atau menerangkan tentang perjalanan untuk mengisi waktu luang. Namun, konsepnya mungkin dapat dilacak balik dari budaya nenek moyang Yunani dan Romawi yang sering melakukan perjalanan menuju negeri-negeri tertentu untuk mencari tempat-tempat indah di Eropa atau Mediterania (Hakim, 2004).

Wisata alam atau pariwisata ekologis adalah perjalanan ke tempat-tempat alami yang relatif masih belum terganggu atau terkontaminasi (tercemari) dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan,

(4)

tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, serta bentuk-bentuk menifestasi budaya masyarakat yang ada, baik dari masa lampau maupun masa kini (Handayawati et al., 2010).

Wisata alam adalah bentuk kegiatan wisata yang memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan tata lingkungan. Kegiatan wisata alam merupakan kegiatan rekreasi dan pariwisata pendidikan, penelitian, kebudayaan dan cinta alam yang dilakukan di dalam obyek wisata (Suwantoro, 1997). Menurut PHPA (1996) kegiatan wisata alam di dalam kawasan konservasi diarahkan pada upaya pendayagunaan potensi obyek wisata alam dengan tetap memperhatikan prinsip keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan pelestarian alam.

Ekowisata merupakan salah satu bentuk kegiatan wisata khusus. Bentuknya yang khusus itu menjadikan ekowisata sering diposisikan sebagai lawan dari wisata massal. Sebenarnya yang lebih membedakannya dari wisata massal adalah karakteristik produk dan pasar. Perbedaan ini tentu berimplikasi

pada kebutuhan perencanaan dan pengelolaan yang tipikal (Damanik dan Weber, 2006).

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia (2003) menyatakan bahwa secara konseptual ekowisata dapat didefinisikan sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat dan pemerintah setempat. Berdasarkan segi pengelolaannya ekowisata dapat didefinisikan sebagai penyelenggaraan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami dan atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam yang secara ekonomi berkelanjutan dan mendukung

(5)

upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang sangat erat dengan prinsip konservasi. Bahkan dalam strategi pengembangan ekowisata juga menggunakan strategi konservasi. Dengan demikian ekowisata sangat tepat dan berdayaguna dalam mempertahankan keutuhan dan keaslian ekosistem di areal yang masih alami. Bahkan dengan ekowisata pelestarian alam dapat ditingkatkan kualitasnya karena desakan dan tuntutan dari padar eco-traveler (Fandeli, 2000). Handayati (2010) menyatakan bahwa ekowisata merupakan upaya untuk memaksimalkan dan sekaligus melestarikan potensi sumber-sumber alam dan budaya untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan yang berkesinambungan. Dengan kata lain ekowisata adalah kegiatan wisata alam plus plus.

Di dalam pemanfaatan areal hutan alam untuk ekowisata mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan “pelestarian” dibanding pemanfaatan. Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan mengatur

conservation tax untuk membiayai secara langsung kebutuhan kawasan dan masyarakat lokal (Lindberg, 1991).

Perencanaan Pengembangan Objek dan Daya Tarik Wisata Alam

Dewasa ini, ekowisata merupakan salah satu pendekatan untuk mewujudkan pembangunan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Ekowisata didefenisikan oleh International Ecotourism Society sebagai : a responsible travel

(6)

and improves the welfare of local people. Sementara itu, menurut Hadinoto, ekowisata adalah suatu bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan keaslian lingkungan alam, dimana terjadi interaksi antara lingkungan alam dan aktivitas rekreasi, konservasi dan pengembangan, serta antara penduduk dan wisatawan. Dari defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan ekowisata mengintegrasikan kegiatan pariwisata, konservasi dan pemberdayaan masyarakat lokal, sehingga masyarakat setempat dapat ikut serta menikmati keuntungan dari kegiatan wisata tersebut melalui pengembangan potensi-potensi lokal yang dimiliki (Mukaryanti et al., 2005).

Perencanaan merupakan proses pembuatan keputusan tentang apa yang harus dikerjakan dimasa depan dan bagaimana melakukannya. Perencanaan harus memperhatikan keadaan sekarang secara realistis dan faktor potensial yang dapat dikembangkan. Perencanaan usaha harus dimulai dengan survei terperinci mengenai sifat dan bentuk pengembangan yang direncanakan terutama dalam hal sumberdaya yang dimiliki (Kusmayadi, 2004).

Page dan Ross (2002) dalam Romani (2006) mendefinisikan perencanaan sebagai sebuah proses dengan tujuan tertentu yang akan dicapai, menanggulangi dan memonitor perubahan yang akan terjadi untuk dapat menjaga/memelihara kelangsungan kawasan serta dapat meningkatkan pengalaman wisatawan terhadap kawasan atau lokasi tersebut. Menurut Fandeli dan Nurdin (2005) suatu hal penting dalam membuat perencanaan adalah perlu mempertimbangkan faktor kemudahan untuk diikuti dan bersifat praktis sehingga cepat dapat ditindaklanjuti dan mempunyai standar yang memudahkan penilaian keberhasilan perencanaan.

(7)

Aspek-aspek yang perlu diketahui dalam perencanaan pariwisata menurut Dimjati (1999) adalah :

1. Wisatawan (tourist) dengan melakukan penelitian tentang wisatawan sehingga dapat diketahui karakteristik wisatawan yang diharapkan datang. 2. Pengangkutan (transportasi) adalah bagaimana fasilitas transportasi yang

tersedia baik dari negara asal atau angkutan ke obyek wisata.

3. Atraksi/obyek wisata (attraction) mengenai apa yang dilihat, dilakukan dan dibeli di daerah tujuan wisata (DTW) yang dikunjungi.

4. Fasilitas pelayanan (service facilities).

5. Informasi dan promosi (information) yaitu cara-cara promosi yang akan dilakukan baik melalui iklan atau paket yang tersedia.

Pembangunan obyek dan daya tarik wisata menurut UU No. 9 Tahun 1990 dilakukan dengan memperhatikan :

1. Kemampuan untuk mendorong peningkatan perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial budaya.

2. Nilai-nilai agama, adat istiadat serta cara pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

3. Kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup. 4. Kelangsungan usaha pariwisata itu sendiri.

Menurut Suwantoro (1997), unsur pokok yang harus mendapat perhatian guna menunjang pengembangan pariwisata di daerah tujuan wisata yang menyangkut perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan pengembangannya meliputi 5 unsur :

(8)

Daya tarik wisata yang juga disebut objek wisata merupakan potensi yang menjadi pendorong kehadiran wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata. 2. Prasarana wisata.

Prasarana wisata adalah sumberdaya alam dan sumberdaya buatan manusia yang mutlak dibutuhkan oleh wisatawan dalam perjalanannya di daerah tujuan wisata.

3. Sarana wisata.

Sarana wisata merupakan kelengkapan daerah tujuan wisata yang diperlukan untuk melayani kebutuhan wisatawan dalam menikmati perjalanan wisatanya. 4. Tata laksana/infrastruktur.

Infrastruktur adalah situasi yang mendukung fungsi sarana dan prasarana wisata, baik yang berupa sistem pengaturan maupun bangunan fisik di atas permukaan tanah dan dibawah tanah.

5. Masyarakat/lingkungan.

Daerah tujuan wisata yang memiliki berbagai objek dan daya tarik wisata akan mengundang kehadiran wisatawan. Masyarakat di sekitar objek wisatalah yang akan menyambut kehadiran wisatawan tersebut dan sekaligus akan memberikan layanan yang diperlukan oleh para wisatawan.

Pembentukan kriteria untuk pengembangan pariwisata menurut Khodyat (1997) dalam Romani (2006) adalah :

1. Pembuatan keputusan tentang bentuk wisata di beberapa tempat harusnya dibuat dalam perundingan dengan masyarakat lokal dan dapat diterima bagi mereka.

(9)

2. Bagian yang layak mendapatkan keuntungan wisata harusnya kembali ke masyarakat.

3. Wisata harus berdasarkan prinsip ekologi dan lingkungan, menjadi sensitif bagi budaya lokal dan tradisi agama dan seharusnya tidak menempatkan masyarakat pada posisi yang rendah.

4. Jumlah kunjungan wisatawan di beberapa tempat seharusnya termasuk jumlah penduduk lokal dan menyangkal kemungkinan bertemu masyarakat asli.

Pengembangan Ekowisata dalam Kawasan Konservasi

Kawasan konservasi didefenisikan sebagai kawasan yang dilindungi karena ciri-ciri yang dimiliki kawasan tersebut. Ciri-ciri tersebut antara lain (Mac Kinnon et al., 1993 dalam Sulthoni, 2000) adalah:

1. Keunikan ekosistemnya, misalnya terdapat sumberdaya faunistik yang khas di Pulau Sulawesi antara garis abstrak Wallace dan Weber.

2. Adanya sumberdaya fauna yang telah terancam kepunahan, misalnya badak jawa bercula satu di Taman Nasional Ujung Kulon, banteng di Baluran dan jalak di Bali Barat.

3. Keanekaragaman jenis baik flora maupun faunanya, misalnya kawasan Gunung Gede Pangrango.

4. Panorama atau ciri geofisik yang memiliki nilai estetik, misalnya Gunung Bromo Tengger.

5. Karena fungsi hidro-orologi kawasan untuk pengaturan air, erosi dan kesuburan tanah, misalnya kawasan hutan lindung Plawangan Turgo Kaliurang.

(10)

Persyaratan pertama mintakat pemanfaatan adalah bentang alam yang stabil ekosistemnya dan resisten terhadap berbagai kegiatan manusia yang berlangsung di dalamnya. Syarat yang kedua adalah aksesibilitasnya, sehingga para pengunjung dengan mudah dapat menjangkau wilayah pemanfaatan untuk berwisata alam. Faktor aksesibilitas harus didukung oleh kemudahan untuk menjangkaunya, misalnya transportasi umum, kendaraan roda empat dengan tarif yang terjangkau oleh segala lapisan masyarakat. Faktor yang ketiga adalah kepuasan pengunjung selesai melakukan wisata di kawasan pelestarian tersebut (Sulthoni, 2000).

Berwisata secara lengkap memerlukan dua unsur pendukung yang membentuk minat untuk berwisata yaitu daya tarik budaya dan daya tarik alamnya. Oleh karena itu, wisata alam umumnya tidak dapat dilepaskan dari atraksi budaya masyarakat yang ada di sekitar kawasan. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata alam perlu memperhitungkan adanya hubungan dengan objek wisata lain, baik objek seni budaya ataupun peninggalan sejarah masa lalu (Sulthoni, 2000).

Pariwisata alam di dalam kawasan konservasi bertujuan untuk melestarikan keanekaragaman hayati ekosistemnya dan memperoleh penghasilan untuk kepentingan kawasan, masyarakat lokal, pemerintah daerah dan pengelola. Undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah khususnya dalam melakukan perencanaan kegiatan pembangunan secara mandiri, diharapkan mampu mengoptimalkan setiap sumber daya yang dimiliki bagi pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Berdasarkan hal tersebut dalam pengelolaan sumberdaya khususnya

(11)

sumberdaya alam yang berwawasan lingkungan berupa pengembangan wisata alam maupun ekowisata yang berbasis pada penguatan peran daerah dan masyarakat (Latupapua, 2008).

Kondisi Taman Wisata Alam Sibolangit

Kelompok hutan Sibolangit merupakan hutan dengan ekosistem hutan hujan tropis yang masih relatif utuh. Proses ekologi berjalan secara alami dan tidak banyak mendapat tekanan masyarakat di sekitarnya. Pada awalnya, kawasan Cagar Alam Sibolangit merupakan Kebun Raya (Botanical Garden) Sibolangit yang bangun oleh Tuan J.A. Lorzing sebagai cabang dari Kebun Raya Bogor. Selanjutnya pada tanggal 10 Maret 1938 dengan SK.Z.B. No.37/PK, Kebun Raya diubah statusnya menjadi Cagar Alam. Kelompok hutan Sibolangit ini merupakan daerah tangkapan air dan menjadi sumber air yang dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi yang mensuplai kebutuhan air bagi masyarakat kota Medan (BBKSDA, 2012).

Cagar Alam Sibolangit memiliki keindahan alam dengan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang ada yang berpotensi untuk menjadi tempat rekreasi. Potensi ekosistem dari kawasan Sibolangit yaitu merupakan kawasan hutan hujan tropis dimana dari sejarah pembentukannya sebagai kawasan ekosistem buatan hasil dari penanaman pohon pada awal abad 20 (tahun 1914) sejak Kebun Raya Sibolangit ini dirintis (Siswanda, 2006).

Mengingat Cagar Alam ini kaya akan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan (flora) yang bukan hanya sekedar untuk koleksi, melainkan juga memberikan juga memberikan kontribusi yang sangat penting bagi keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan (sebagai laboratorium alam) serta pengembangan pariwisata

(12)

(rekreasi), maka pada tahun 1980 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 636/Kpts/Um/9/1980 sebagai Cagar Alam Sibolangit (seluas ± 24,85 Ha) dialih fungsikan menjadi kawasan Taman Wisata Alam Sibolangit (Adieska, 2008).

Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit secara administratif terletak di Desa Sibolangit, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang Propinsi Sumatera Utara. Taman Wisata ini merupakan bagian dari kawasan Cagar Alam Sibolangit yang beralih fungsi sebagai hutan wisata. Luas TWA Sibolangit adalah 24, 85 Ha, sedangkan luas Cagar Alam (CA) Sibolangit saat ini adalah 95,15 Ha. Menurut administratif kehutanan kawasan ini dikelola oleh Unit Konservasi Sumber Daya Alam (UKSDA) I Sumatera Utara. (Rahmawaty, 2004).

TWA Sibolangit terbentang antara 98º36’36”- 98º36’56”Bujur Timur dan 3º17’50”-3º18’39” Lintang Utara, yang secara administraif berada di Desa Sibolangit Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang. Berdasarkan peta geologi Sumatera Utara formasi geologi pada lahan TWA Sibolangit terbentuk dari andesit dan bahan batuan vulkanik. Jenis tanah podsolik dan tekstur hablur sehingga mudah meresap air serta hanyut terbawa air. Memiliki topografi bergelombang dengan faktor kemiringan 5 – 10% sedangkan ketinggian berada 558 m di atas permukaan laut. Menurut pembagian iklim Schmidt dan Ferguson TWA Sibolangit termasuk dalam iklim tipe B dengan curah hujan 2.500-30.000 mm/tahun dengan kelembaban antara 60-80% suhu rata-rata maksimum 35,6º C dan minimum 25,3ºC (BBKSDA, 2012).

(13)

Flora yang tumbuh di kawasan ini sebagian merupakan jenis asli dan sebagian lagi berasal dari luar negeri sebagai hasil penanaman yang dilakukan oleh J.A. Lorzing. Tanaman dari luar pada umumnya terdiri dari pohon yang besar dengan diameter lebih dari 1 meter, diantaranya sono kembang (Dalbergia latifolia), angsana (Pterocarpus indicus), dan kelenjar (Samanea saman). Antara tahun 1914 dan 1924, J.A. Lorzing mencatat beberapa tanaman asli yang ada, seperti meranti (Shorea sp.), 30 jenis Ficus, 20 jenis kecing (Quercus sp.), kenanga, kulit manis, manggis dan Artocarpus sp.

Selain itu di kawasan ini juga terdapat tumbuhan semak seperti

Philodendron sp. Tanaman ini merupakan anggota dari genus Arthurium (Famili

Araceae). Adanya tumbuhan ini dikarenakan jumlah curah hujan yang cukup tinggi (diperkirakan 3.000 sampai 4.000 mm per tahun). Jenis tumbuhan bawah lainnya yang dapat dijumpai dalam kawasan TWA Sibolangit ini adalah jenis paku-pakuan, talas hutan, berbagai jenis rumput, serta berbagai jenis jamur. Di kawasan ini juga terdapat berbagai jenis anggrek hutan, palma dan pinang.

Jenis fauna yang sering terlihat di kawasan TWA Sibolangit yaitu monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung (Trachypithecus cristata), babi hutan (Sus scropa), napuh (Tragulus sp.) dan trenggiling (Manis javanica). Jenis burung yang hidup di kawasan ini diantaranya adalah rangkong (Famili Bucerotidae) dan srigunting (Dicrurus sp.) dan beberapa jenis lainnya. Jenis-jenis reptil yang hidup di kawasan ini diantaranya ular sanca (Phyto reticulates), kadal (Mabuya multifasciatus) dan biawak (Varanus salvator). Lokasi ini sangat dikenal karena banyak lintah dan pacet (Haemadipsa sp.) (Rahmawaty, 2004).

Referensi

Dokumen terkait

Secara lebih luas kecintaan Umar bin Abdul Aziz terlihat dari kegiatanXkegiatan dan kebijakan yang dilakukan yaitu beliau telah mengarahkan cendikawan Islam supaya

DM resistensi insulin ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah menetap yang disebabkan karena berkurangnya sensitivitas pada reseptor insulin, bukan karena

Creativity (kreativitas): Peserta didik bertanya tentang hal yang belum dipahami atau guru menyampaikan beberapa pertanyaan pemicu kepada siswa berkaitan dengan upacara

Parasomnia merupakan perilaku tidur abnormal yang kadang-kadang terjadi pada usia lanjut yaitu kebingungan pada malam hari (nactural confusion), jalan sambil tidur, gangguan

Sikap yang sopan dan ramah merupakan modal utama yang hrus dimiliki oleh seorang pramusaji. Sikap ini terutama berguna pada saat melayani tamu makan dan minum. o

Dalam penelitian ini, hal-hal terkait penelitian yang akan diobservasi sebagai berikut : Setting : lingkungan kelas kelompok A TK Permata Bunda Pontianak Timur,

Proses pembelajaran IPA yang berlangsung di SD 1 Prambatan Lor cenderung menempatkan guru sebagai sumber belajar utama, cara mengajar guru lebih banyak menggunakan

Faktor teknis adalah segala persyaratan yang harus dipenuhi dalam kegiatan pembenihan ikan kerapu macan yang berhubungan langsung dengan aspek teknis dalam