• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

1. Teori Tindakan Beralasan (The Theory of Reasoned Action)

Teori ini disusun menggunakan asumsi dasar bahwa berperilaku dengan cara yang sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Teori ini dikembangkan oleh Martin Fishbein dan Icek Ajzen (1975).

“theory of reasoned action, is one of the three Classic Persuasion models. The theory is used to predict how individuals will behave based on their pre-existing attitudes and behavioral intentions. "Behavioral intentions are determined by attitudes to behaviors and subjective norms". In this context, attitudes are a person's opinions about whether a behavior is positive or negative, while "a subjective norm is a perceived social pressure arising from one's perception".

Teori tindakan beralasan, adalah salah satu dari model klasik persuasi. Teori yang digunakan untuk memprediksi bagaimana individu akan berperilaku berdasarkan sikap mereka yang sudah ada dan niat pelaku. Niat pelaku ditentukan oleh sikap perilaku dan norma subjektif. Dalam konteks ini, sikap adalah pendapat seseorang tentang apakah perilaku positif dan negatif, sementara norma subjektif adalah tekanan sosial yang dirasakan timbul dari persepsi seseorang.

Dalam upaya mengungkapkan pengaruh sikap dan norma subjektif terhadap niat untuk dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku, teori tindakan beralasan ini dilengkapi dengan keyakinan (beliefs). Bahwa sikap berasal dari

(2)

keyakinan terhadap perilaku (behavioral beliefs), sedangkan norma subjektif berasal dari keyakinan normatif (normative beliefs).

Auditor memang sudah seharusnya memiliki pengetahuan dan pengalaman namun karena adanya faktor yang mempengaruhi perilaku manusia tersebut maka seringkali auditor tersebut memiliki niat yang melanggar etika profesi dan standar profesional yang berlaku sehingga auditor tersebut tidak bisa bersikap profesional. Teori tindakan beralasan ini dapat membantu auditor dalam membuat judgment. Jika seorang auditor memiliki sikap dan perilaku yang baik dan memiliki hubungan pengaruh sosial dengan norma subjektif maka kecenderungan auditor tersebut telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang banyak sehingga auditor tersebut akan dapat menghasilkan judgment yang baik dalam laporan keuangan.

2. Teori Penetapan Tujuan (Goal Setting Theory)

Teori ini dikemukakan oleh Edwin Locke pada tahun 1978. Teori ini menjelaskan tentang hubungan antara tujuan dengan perilaku.

“Goal setting (also goal setting theory) involves the development of an action plan designed to motivate and guide a person or group toward a goal. Goal setting can be guided by goal-setting criteria (or rules) such as SMART criteria. Goal setting is a major component of personal-development and management literature”

.Teori penetapan tujuan melibatkan pengembangan rencana aksi yang dirancang untuk memotivasi dan membimbing seseorang atau kelompok kearah tujuan. Penetapan tujuan dapat dipandu oleh kriteria penetapan tujuan atau aturan

(3)

seperti kriteria SMART. Penetapan tujuan adalah komponen utama dari pribadi pembangunan dan literatur manajemen. Locke mengemukakan bahwa niat mencapai sebuah tujuan merupakan sumber motivasi kinerja utama. Tujuan akan memberitahu seorang individu apa yang harus dilakukan dan berapa banyak usaha yang harus dilakukan.

Teori penetapan tujuan menegaskan bahwa tujuan yang lebih spesifik, sulit dan menantang akan menghasilkan kinerja yang lebih tinggi dan baik dibandingkan dengan tujuan yang tidak jelas. Seperti yang mudah atau tidak ada tujuan sama sekali (Siti, 2010). Teori ini mengasumsikan bahwa ada hubungan langsung antara definisi dari tujuan yang spesifik dan terukur dengan kinerja, jika manager mengetahi apa sebenarnya tujuan yang ingin dicapai oleh mereka, maka mereka akan lebih termotivasi untuk mengerahkan usaha yang dapat meningkatkan kinerja mereka.

Auditor yang dapat memahami apa yang menjadi tujuannya dan apa yang dia harapkan atas hasil kinerjanya, tidak akan bersikap menyimpang ketika mendapat tekanan dari atasaan atau entitas yang diperiksa dan tugas audit yang kompleks. Pemahaman mengenai tujuannya dapat membantu auditor membuat suatu audit judgment yang baik. Auditor seharusnya memahami bahwa tugas auditor adalah memberikan jasa professional untuk menilai kewajaran informasi keuangan yang disajikan manajemen kepada masyarakat yang berkepentingan terhadap laporan keuangan tersebut. Melalui pemahaman ini auditor akan tetap bersikap professional sesuai dengan etika profesi dan standar professional yang berlaku meskipun menghadapi rintangan dalam tugas auditnya.

(4)

3. Auditing

1) Pengertian Auditing

Menurut Internasional Standard on Auditing ( 2015 : 81 ) mengemukakan bahwa auditing adalah proses menghimpun bukti agar auditor dapat menyimpulkan apakah laporan keuangan yang diauditnya, bebas dari (atau justru mengandung) salah saji yang material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun manipulasi, sehingga ia dapat merumuskan opini auditnya. Menurut Arens et. Al (2015 : 2) mengemukakan bahwa auditing adalah pengumpulan dan evaluasi bukti mengenai informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antara informasi tersebut dengan kinerja yang telah ditetapkan. Audit harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen.

Dari definisi mengenai auditing diatas, maka dapat disimpulkan bahwa auditing merupakan proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi, yang dapat diukur, mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan oleh seseorang yang kompeten dan independen, untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian antar informasi yang dimaksudkan dengan kriteria - kriteria yang telah ditetapkan dan dikomunikasikan kepada pihak – pihak yang berkepentingan.

2) Standar Auditing

Internasional Standard on Auditings (ISA) tahun 2015 membagi standar auditing dengan kategori seperti halnya SPAP. Pada ISA, tidak ada Standar Umum, Standar Pekerjaan Lapangan dan Standar Pelaporan. Penyajian standar-standar yang ada di ISA sudah memcerminkan proses

(5)

pergerjaan auditing. ISA berisi prinsip-prinsip dasar dan prosedur-prosedur esensial bersama dengan panduan yang berhubungan dalam bentuk penjelasan dan materi yang lain. Prinsip-prinsip dasar dan prosedur-prosedur esensial diinterprestasikan di dalam konteks penjelasan dan materi lain yang menyediakan panduan didalam aplikasinya.

Pendekatan pekerjaan audit menurut ISA dibagi kedalam enam tahap, dan dari keenam tahap tersebut tidak jauh berbeda dengan pengaturan dalam SPAP yang menjadi pedoman audit bagi Kantor Akuntan Publik (KAP) di Indonesia. Adapun keenam tahap tersebut yaitu:

1. Persetujuan penugasan;

2. Pengumpulan informasi, pemahaman bisnis dan sistem akuntansi klien serta penentuan unit yang akan diaudit;

3. Pengembangan strategi audit; 4. Melaksanakan audit;

5. Membentuk opini; dan 6. Membuat laporan audit. 4. Audit judgment

Menurut ISA 200 paragraf A24 tahun 2015 profesional judgment adalah penerapan pengetahuan dan pengalaman yang relevan, dalam konteks auditng, acounting dan standar etika, untuk mencapai keputusan yang tepat dalam situasi atau keadan selama berlangsungnya penugasan audit. Audit judgmentmerupakan suatu pertimbangan pribadi atau cara pandang auditor dalam menanggapi

(6)

informasi yang mempengaruhi dokumentasi bukti serta pembuatan keputusan pendapat auditor atas laporan keuangan suatu entitas. Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) pada seksi 341 menyebutkan bahwa :

“ Audit judgment atas kemampuan kesatuan usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya pada ada tidaknya kesangsian dalam diri auditor itu sendiri terhadap kemampuan suatu usaha dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam periode satu tahun sejak tanggal laporan keuangan auditan.”

Menurut Pritta (2013) Judgment auditor adalah pertimbangan auditor dalam menanggapi informasi yang ada yang akan mempengaruhi opini akhir dalam suatu pelaporan audit. Pertimbangan pribadi auditor tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya faktor perilaku individu.

Judgment sering dibutuhkan oleh auditor dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan suatu entitas (Zulaikha, 2006). Audit judgment melekat pada setiap tahap dalam proses audit laporan keuangan, yaitu penerimaan perikatan audit, perencanaan audit, pelaksanaan pengujian audit, dan pelaporan audit. Contoh penggunaan audit dalam pengambilan keputusan audit berkait dengan penetapan materialitas, penilaian sistem pengendalian internal, penetapan tingkat risiko, penetapan strategi audit yang digunakan, penentuan prosedur audit, evaluasi bukti yang diperoleh, penilaian going concern perusahaan, dan sampai pada opini yang akan diberikan oleh auditor. American Institute of Certified Public Accountant (AICPA) menyatakan bahwa judgment merupakan faktor penting dalam semua tahap pengauditan, tetapi dalam banyak situasi adalah tidak

(7)

mungkin secara praktikal untuk menetapkan standar mengenai bagaimana pertimbangan diterapkan oleh auditor.

Audit judgment diperlukan karena audit tidak dilakukan terhadap seluruh bukti. Bukti inilah yang digunakan untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan, sehingga dapat dikatakan bahwa audit judgment ikut menentukan hasil dari pelaksanaan audit. Rochmawati (2009) menjelaskan tahapan-tahapan yang dilakukan pada saat melakukan audit judgment yaitu merumuskan persoalan, mengumpulkan informasi yang relevan, mencari alternatif tindakan, menganalisis alternatif yang fleksibel, memilih alternatif yang terbaik, kemudian pelaksanaan dan evaluasi hasilnya.

Judgment adalah perilaku yang paling dipengaruhi oleh persepsi situasi (Mutmainah, 2006). Puspitasari (2010) menjelaskan judgment sebagai perilaku paling berpengaruh dalam mempersiapkan situasi, dimana faktor utama yang mempengaruhinya adalah materialitas dan apa yang diyakini sebagai kebenaran.

Menurut Jamilah, dkk (2007) audit judgment adalah kebijakan auditor dalam menentukan pendapat mengenai hasil auditnya yang mengacu pada pembentukan suatu gagasan, pendapat atau perkiraan tentang suatu objek, peristiwa, status, atau jenis peristiwa lainnya. Proses judgment tergantung pada kedatangan informasi yang terus menerus, sehingga dapat mempengaruhi pilihan dan cara pilihan tersebut dibuat. Setiap langkah dalam proses incremental judgment, jika informasi terus menerus datang akan muncul pertimbangan baru dan keputusan atau pilihan baru.

(8)

5. Etika Profesi

1) Pengertian Etika

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2015) etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Etika dalam (Yunani Kuno) “ethikos”, berarti “timbul dari kebiasaan” adalah sebuah sesuatu di mana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.

Menurut Arens (2015:90), mendefinisikan etika sebagai serangkaian prinsip atau nilai moral. Setiap orang memiliki rangkaian nilai tersebut, walaupun kita memperlihatkan atau tidak memperlihatkan secara eksplisit. Menurut Brooks (2007), etika adalah cabang dari filsafat yang menyelidiki penilaian normatif tentang apakah perilaku ini benar atau apa yang seharusnya dilakukan. Kebutuhan akan etika muncul dari keinginan untuk menghindari permasalahan-permasalahan didunia nyata.

Kode etik atau etika profesi menurut Internasional Standard on Auditing dalam buku Audit Kontemporer (2015 : 50) adalah pengakuan akan tanggung jawab untuk bertindak atas nama kepentingan umum. Oleh karenanya, tanggung jawab akuntan profesional tidaklah semata-mata memuaskan kebutuhan klien atau pegawainya. Disamping kode etik yang merupakan “payung moral profesi”, juga ada aturan-aturan mengenai perilaku

(9)

anggota profesi (rules of profesional conduct). Dalam budaya aristokratis, diawal lahirnya profesi, cara berpakaian dan sapaan kepada sesama anggota profesi, diatur dalam aturan perilaku. Saat ini kode etik dan aturan perilaku tidak lagi terbuai dengan keagungan profesi semata, tapi lebih membumi dan berkaitan langsung dengan pemeliharaan kepercayaan masyarakat terhadap profesi.

2) Prinsip Etika Profesi

Prinsip etika profesi dalam Kode Etik IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) menurut Internasional Standar Auditing (ISA) dalam buku Audit Kontemporer (2015 : 51) adalah sebagai berikut :

1) Integritas

Lurus atau tidak “berbelok ke kanan dan ke kiri”, lugas jujur dalam semua hubungan profesional dan bisnis.

2) Objektif

Tidak membiarkan bias, benturan kepentingan atau tekanan pihak lain menghilangkan kearifan dan akal sehat profesional dan bisnis.

3) Kompetensi dan kehati-hatian profesional

Memelihara pengetahuan dan keterampilan profesional untuk memastikan bahwa klien atau karyawan mendapatkan jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan terakhir dalam praktik,

(10)

ketentuan perundangan teknik, dan bertindak sesuai dengan standar teknis dan standar profesional.

4) Konfidensialitas

Menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh dari hubungan profesional dan bisnis dan, karenanya, tidak mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak ketiga tanpa hak/wewenang yang tepat dan spesifik; kecuali jika ada hak dan kewajiban hukum atau profesional untuk mengungkapkannya. Juga, tidak mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak ketiga, untuk keuntungan pribadi akuntan atau pihak lain.

5) Perilaku Profesional

Memenuhi ketentuan undang-undang dan aturan perundangan lainnya dan menghindari perbuatan yang merendahkan martabat profesi. 6. Pengalaman Auditor

Pengalaman auditor adalah pengalaman dalam melakukan audit laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu, banyaknya penugasan maupun jenis-jenis perusahaan yang pernah ditangani (Asih, 2006:26). Definisi lain menyebutkan bahwa pengalaman merupakan suatu proses pembelajaran dan pertambahan potensi bertingkah laku baik dari pendidikan formal maupun non formal atau bisa diartikan sebagai suatu proses yang membawa seseorang kepada suatu pola tingkah laku yang lebih tinggi. Suatu pembelajaran juga mencakup perubahan yang relatif tepat dari perilaku yang mengakibatkan pengalaman, pemahaman, dan praktik (Knoers & Harditono, 1999 dalam Asih, 2006:12).

(11)

Kompetensi teknis berupa pengalaman kerja auditor merupakan kemampuan individu dan dianggap menjadi faktor penting dalam pertimbangan audit. Dilihat dari segi jenis audit, pengetahuan dan pengalaman akan membantu dalam pengambilan keputusan (Abdolmohammadi dan Wright, 1987 dalam Martinov dan Pflugrath, 2008). Herliansyah (2006) menyatakan bahwa secara spesifik pengalaman dapat diukur dengan rentang waku yang telah digunakan terhadap suatu tugas atau pekerjaan. Indah (2011) membedakan proses pemerolehan keahlian menjadi 5 tahap, yang terdiri atas:

a) Tahap pertama disebut Novice, yaitu tahapan pengenalan terhadap kenyataan dan membuat pendapat hanya berdasarkan aturan-aturan yang tersedia. Keahlian pada tahap pertama ini biasanya dimiliki oleh staf audit pemula yang baru lulus dari perguruan tinggi.

b) Tahap kedua disebut advanced beginner, auditor sangat bergantung pada aturan dan tidak mempunyai kemampuan untuk merasionalkan segala tindakan audit. Auditor pada tahap ini mulai dapat membedakan aturan yang sesuai dengan suatu tindakan.

c) Tahap ketiga disebut competence. Auditor harus mempunyai cukup pengalaman untuk menghadapi situasi yang kompleks. Tindakan yang diambil disesuaikan dengan tujuan yang ada dalam pikirannya dan kurang sadar terhadap pemilihan, penerapan, dan prosedur aturan audit.

d) Tahap keempat disebut profiency. Pada tahap ini segala sesuatu menjadi rutin, sehingga dalam bekerja auditor cenderung tergantung pada

(12)

pengalaman yang lalu. Instuisi digunakan dan akhirnya pemikiran audit akan terus berjalan sehingga diperoleh analisis yang substansial.

e) Tahap kelima atau terakhir adalah expertise. Pada tahap ini auditor mengetahui sesuatu karena kematangannya dan pemahamannya terhadap praktek yang ada. Dengan demikian segala tindakan auditor pada tahap ini sangat rasional dan mereka bergantung pada instuisinya bukan pada peraturan-peraturan yang ada.

Farmer et al (1987), mengemukakan bahwa auditor yang berpengalaman kurang bila dibandingkan dengan auditor yang tidak berpengalaman untuk menyetujui perlakuan akuntansi yang dipreferensikan klien. Disimpulkan bahwa justru auditor staf yang cenderung lebih memperhatikan dalam mempertahankan dan menyenangkan klien dibandingkan dengan para partnernya. Gusnardi (2003:8) mengemukakan bahwa pengalaman audit dapat diukur dari jenjang jabatan dalam struktur tempat auditor bekerja, tahun pengalaman, gabungan antara jenjang jabatan dan tahun pengalaman, keahlian yang dimiliki auditor yang berhubungan dengan audit, serta pelatihan-pelatihan yang pernah diikuti oleh auditor tentang audit. Masalah penting yang berhubungan dengan pengalaman auditor akan berkaitan dengan tingkat ketelitian auditor.

Sementara itu, Puspa (2006) mengemukakan bahwa persuasi atas preferensi klien berdasarkan pengalaman audit masing-masing responden dalam penelitian ini memberikan hasil yang sangat bervariasi. Hal ini dikarenakan setiap responden dihadapkan pada empat kasus yang berbeda, sehingga judgment masing-masing responden juga bervariasi tergantung dari pengetahuan, intuisi,

(13)

dan persepsinya masing-masing. Hasil ini juga memberikan bukti bahwa auditor dengan tingkat pengalaman yang hampir sama (memiliki masa kerja dan penugasan yang hampir sama) ternyata memiliki pertimbangan yang berbeda-beda dan sangat bervariasi. Shelton (1999) juga menyatakan bahwa pengalaman akan mengurangi pengaruh informasi yang tidak relevan dalam pertimbangan auditor. Auditor yang berpengalaman (partner dan manajer) dalam membuat pertimbangan (judgment) mengenai going concern tidak dipengaruhi oleh kehadiran informasi yang tidak relevan. Sedangkan auditor yang kurang pengalamannya dalam membuat pertimbangan (judgment) mengenai going concern dipengaruhi oleh kehadiran informasi yang tidak relevan.

Menurut Lopa (2014) Pengalaman memainkan peran penting dalam orientasi kognitif riset perilaku akuntansi, terdapat dua alasan, yaitu :

1. Pengalaman merupakan ekspektasi yang berhubungan dengan keahlian kinerja.

2. Manipulasi sebagai suatu variabel independen telah menjadi efektif dalam mengidentifikasikan domain karakteristik dari pengetahuan spesifik. Lebih lanjut Menurut Arens (2015), sesuai dengan standar umum dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) bahwa auditor disyaratkan memiliki pengalaman kerja yang cukup dalam profesi yang ditekuninya, serta dituntut untuk memenuhi kualifikasi teknis dan berpengalaman dalam bidang industri yang digeluti. Terdapat beberapa alasan mengapa pengalaman audit mampu memengaruhi ketepatan penilaian auditor terhadap bukti-bukti yang diperlukan.

(14)

Pengalaman menumbuhkan kemampuan auditor dalam mengolah informasi, membuat perbandingan-perbandingan mental akan berbagai solusi alternatif dan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan. Dengan pengalaman audit mereka, auditor mengembangkan struktur memori yang luas dan kompleks yang membentuk kumpulan informasi yang dibutuhkan dalam membuat keputusan-keputusan (Libby, 1995). Oleh karena itu, penilaian sangat bergantung pada pengetahuan karena informasi yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas-tugas yang berasal dari dalam memori sehingga kesesuaian antara informasi dalam ingatan dengan kebutuhan tugas mempengaruhi hasil-hasil penialainnya (Federick & Libby, 1990). Auditor yang kurang berpengalaman belum memiliki struktur memori seperti ini sehingga mereka tidak mampu memberikan respon yang memadai mengakibatkan penilaian mereka kalah akurat dengan auditor yang berpengalaman.

Pengalaman dapat menghasilkan struktur dalam proses penilaian auditor. Menurut Gibbins (1984), struktur-struktur ini merupakan dasar dalam pengambilan keputusan dengan menginterpretasikan arti dan implikasi informasi-informasi spesifik. Struktur-struktur ini menentukan seleksi auditor, memahami dan bereaksi terhadap ruang lingkup tugas. Di samping itu, pengalaman juga mempengaruhi penyeleksian dan pembobotan nilai-nilai petunjuk informasi yang ada (Bonner, 1990). Saat auditor junior mengerjakan suatu tugas audit, ia belum memiliki struktur memori yang relevan untuk dapat memeriksa dan memilah dengan memadai informasi-informasi yang relevan dengan tugas-tugas yang dikerjakannya. Selain itu, auditor juga belum dapat menganalisa serta

(15)

mengintegrasikan informasi pada suatu tingkatan yang lebih dari hanya sekedar fitur-fitur permukaan tugasnya saja. Akibatnya muncul hasil-hasil penilaian yang kontradiktif. Sebaliknya, auditor yang berpengalaman memiliki struktur memori yang sangat berguna untuk membantu mereka dalam mengolah informasi pada tingkat yang lebih abstrak sehingga dapat meminimalkan hasil-hasil penilaian yang kontradiktif tersebut. Dengan struktur pengetahuan yang dimilikinya, auditor berpengalaman dapat mengidentifikasi petunjuk-petunjuk informasi tertentu mana yang harus dipilih untuk menyimpulkan penilaian-penilaian mereka (Bonner, 1990). Konsekuensi dari kemampuan ini adalah ketepatan penilaian yang lebih baik.

Di samping ketepatan evaluasi kontrol risiko, keyakinan auditor terhadap penilainnya sendiri juga penting. Dengan menyatakan keyakinan diri mereka, berarti auditor menegaskan penilaian mereka sebagai penilaian tingkat pertama. Fazio and Zanna (1978) serta Regan and Fazio (1977) merumuskan bahwa auditor yang kurang berpengalaman memiliki tingkat keparcayaan diri lebih rendah dibandingkan dengan auditor yang sudah berpengalaman. Fazio and Zanna (1978) menyebutkan dua alasan mengapa pengalaman menghasilkan tingkat kepercayaan diri yang lebih tinggi. Pertama, pengalaman menghasilkan banyak simpanan informasi dalam memori jangka panjang auditor. Bila auditor menghadapi tugas yang sama selain mereka dapat dengan mudah mengakses informasi yang tersimpan dalam memori, mereka dapat mengakses lebih banyak informasi. Dengan dukungan banyak informasi, auditor dapat mengerjakan tugasnya dengan lebih percaya diri. Kedua, saat auditor menjalankan suatu tugas, maka perilakunya

(16)

akan terfokus pada tugas tersebut. Dengan memfokuskan perilaku pada tugas, auditor lebih cepat membiasakan diri dengan tugas tersebut dan memperoleh lebih banyak pengetahuan.

7. Tekanan Ketaatan

Praditaningrum dan Januarti (2011) mendefinisikan tekanan ketaatan sebagai tekanan yang umumnya dihasilkan oleh individu yang memiliki kekuasaan. Tekanan ketaatan ini diartikan sebagai tekanan yang diterima oleh auditor junior yang dihasilkan oleh auditor senior atau atasan dan entitas yang diperiksa untuk melakukan tindakan yang menyimpang dari standar etika dan profesionalisme. Tekanan ketaatan adalah jenis tekanan pengaruh sosial yang dihasilkan ketika individu dengan perintah langsung dari perilaku individu lain. Teori ketaatan menyatakan bahwa individu yang memiliki kekuasaan merupakan suatu sumber yang dapat mempengaruhi perilaku orang dengan perintah yang diberikannya. Hal ini disebabkan oleh keberadaan kekuasaan atau otoritas yang merupakan suatu bentuk legitimasi power atau kemampuan atasan untuk mempengaruhi bawahan karena ada posisi khusus dalam struktur hierarki organisasi. Menurut Milgram (1974), oleh auditor baru (junior) dari auditor senior atau atasan dan entitas yang diperiksa untuk melakukan tindakan yang menyimpang dari standar profesionalisme. Menurut Gredani dan Slamet (2007), instruksi atasan dalam suatu organisasi akan mempengaruhi perilaku bawahan karena atasan memiliki otoritas.

(17)

Lebih lanjut menurut Jamilah,dkk (2007), tekanan ketaatan merupakan kondisi dimana seorang auditor dihadapkan pada sebuah dilema penerapan standar profesi auditor. Klien atau pimpinan dapat saja menekan auditor untuk melakukan pelanggaran standar profesi auditor. Bahkan kadangkala tekanan dihasilkan oleh manajemen internal, dimana atasan ingin melakukan rekayasa terhadap hasil auditnya, baik karena adanya unsur kekerabatan, menjaga nama baik klien ataupun kerja sama dengan pihak-pihak tertentu. Hal ini tentunya akan menimbulkan tekanan pada diri auditor dan terjadi dilema untuk menuruti atau tidak menuruti kemauan klien maupun pimpinannya. Oleh sebab itu, seorang auditor seringkali dihadapkan kepada situasi dilema penerapan standar profesi auditor dalam pengambilan keputusannya. Kekuasaan klien dan pemimpin menyebabkan auditor tidak independen lagi, karena telah menimbulkan tekanan dalam menjalankan pekerjaannya. Biasanya tekanan ketaatan ini timbul karena adanya kesenjangan ekspektasi yang terjadi antara entitas yang diperiksa dengan auditor telah menimbulkan suatu konflik tersendiri bagi auditor.

Perilaku yang muncul dari tekanan ketaatan tersebut dihasilkan dari mekanisme normatif, meskipun perintah yang diberikan oleh atasannya menyimpang dari norma atau standar yang ada. Dalam artikelnya, DeZoort dan Lord (1984) mengutip teori pengaruh sosial yang dikemukakan Latane (1981),“... semakin kuat sumber kekuasaan, semakin besar pengaruhnya.”

DeZoort dan Lord (1994) mengoperasionalkan kekuatan sumber kekuasaan dengan menggunakan status atasan dalam Kantor Akuntan Publik (KAP). Perilaku bawahan akan lebih mudah berubah dari perilaku individu yang

(18)

mempunyai otonomi menjadi perilaku agen jika perintah datang dari atasan yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan demikian, dapat dihipotesiskan bahwa pengaruh tekanan ketaatan akan meningkat saat jarak hierarki antara atasan dengan bawahan semakin besar.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Campbell dan Fairey (1989) menunjukkan bahwa perilaku obedience yang tidak tepat dihasilkan dari mekanisme normatif (seperti kemampuan superior untuk memberi reward dan punish), ketika posisi atasan benar-benar salah. Pengaruh spesifik dari penerapan otoritas yang tidak tepat mungkin tergantung pada penilaian individual atas potensi cost dan benefit yang berhubungan dengan respon mereka. Sebagai contoh, auditor mungkin memprioritaskan pentingnya mengamankan evaluasi yang menguntungkan dari supervisor dibanding risiko tertangkap. Penjelasan perilaku ketaatan ini konsisten dengan pendapat umum yang menyatakan bahwa bawahan percaya bahwa superior/atasan bertanggung jawab atas perilaku profesional dalam perusahaan (Otley dan Pierce,1996).

Literatur akuntansi memberikan bukti yang terbatas yang mendukung rentannya auditor bawahan atas pengaruh yang tidak memadai dari atasannya (Lord dan DeZoort,1994). Hasil penelitian mereka mengindikasikan bahwa persiapan time budget auditor secara signifikan dipengaruhi oleh instruksi manajer.

Penelitian yang dilakukan oleh Lord dan DeZoort (1994) memberi bukti langsung bahwa tekanan ketaatan dapat mengakibatkan pengaruh yang

(19)

berlawanan pada pertimbangan audit. Hasil tersebut memberikan bukti yang konsisten bahwa auditor rentan terhadap obedience pressure dari atasan atau superior dalam perusahaan akuntansi. Namun demikian, sebagaimana dinyatakan oleh Solomon (1994), penelitian tersebut terbatas hanya pada evaluasi pengaruh obedience pressure ( tekanan ketaatan) pada pertimbangan-pertimbangan auditor mengenai tindakan yang direncanakan.

Penelitian ini memperluas pemahaman tentang pengaruh obedience pressure dengan peningkatan pengukuran pada ukuran outcome yang spesifik. Sebagaimana dideskripsikan pada bagian berikutnya, auditor diminta untuk menetapkan saldo yang dapat diterima yang akan mereka setujui dari rekening aset/aktiva yang nilai realisasinya dipertanyakan. Dalam konteks ini saldo yang ditetapkan lebih tinggi akan berakibat pada probabilitas kesalahan material yang lebih tinggi pada laporan keuangan dibanding saldo yang lebih rendah.

8. Kompleksitas Tugas

Kompleksitas merupakan sulitnya suatu tugas yang disebabkan oleh terbatasnya kapabilitas, daya ingat serta kemampuan untuk mengintegrasikan masalah yang dimiliki oleh seorang pembuat keputusan (Jamilah, dkk 2007 ). Auditor selalu dihadapkan pada tugas-tugas yang banyak, berbeda- beda dan saling terkait satu sama lain.

Menurut Gibson, Ivancenich and Donnelly, (1997), kompleksitas organisasi merupakan akibat langsung dari pembagian pekerjaan dan pembentukan departemen yang berfokus pada jumlah dan jenis pekerjaan,

(20)

pengelompkan jabatan, jumlah unit atau departemen yang berbeda secara nyata. Organisasi dengan berbagai jenis pekerjaan dan unit menimbulkan masalah manajerial dan organisasi yang lebih rumit karena terjadi ketergantungan tugas dan sifat tugas yang semakin kompleks.

James D.Thompson (1967) menyatakan bahwa kompleksitas dalam organisasi akan menimbulkan ketergantungan tugas diantara individu yang ada dalam tiap departemen dan problem koordinasi semakin kuat yang digambarkan sebagai ketergantungan reciprocal, sehingga memerlukan kolaborasi dan mutual adjustment lebih besar melalui anggota tim. Kompleksitas tugas merupakan tugas yang tidak terstruktur, membingungkan, dan rumit (Sanusi & Iskandar,2007). Beberapa tugas audit dipertimbangkan sebagai tugas dengan tingkat kompleksitas yang tinggi dan sulit, sementara yang lain mempersepsikannya sebagai tugas yang mudah ( Jimbalvo dan Pratt , 1982).

Pada tugas-tugas yang membingungkan (ambigous) dan tidak terstuktur, alternatif-alternatif yang ada tidak dapat didefinisikan, sehingga data tidak dapat diperoleh dan outputnya tidak dapat diprediksi. Pengujian terhadap kompleksitas tugas dalam audit juga bersifat penting karena kecenderungan bahwa tugas audit adalah tugas kompleks. Adanya kompleksitas tugas yang tinggi dapat merusak judgment yang dibuat oleh auditor (Abdolmohammadi dan Wright 1987).

(21)

Chung dan Monroe (2001) mengemukakan argumen yang sama, kompleksitas tugas itu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

a. Banyaknya informasi yang tidak relevan, artinya informasi tersebut tidak konsisten dengan kejadian yang akan diprediksikan.

b. Adanya ambiguitas yang tinggi, yaitu beragamnya outcome (hasil) yang diharapkan oleh klien dari kegiatan pengauditan.

9. Penelitian Terdahulu

Penelitian Marlis Dawati tahun 2013 dengan 70 Auditor yang ada di Jakarta Barat sebagai sampel penelitian menunjukan hasil bahwa profesionalisme dan etika profesi berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas, sedangkan Independensi tidak berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas.

Penelitian Pritta Amina Putri 2013 melakukan penelitian pada KAP yang berada di Kota Semarang dengan sampel sebanyak 43 orang auditor hasil penelitian menunjukan bahwa Hasil penelitian menunjukan bahwa Lingkungan etika dan Pengalaman menunjukan pengaruh positif terhadap audit judgment sedangkan variabel tekanan ketaatan yang besar akan memiliki probabilitas untuk memiliki audit judgment yang rendah.

Penelitian Victorio Tomasoa tahun 2015 melakukan penelitian pada Kantor Akuntan Publik di DKI Jakarta hasil penelitian menunjukan tekanan

(22)

judgment. Tekanan Anggaran Waktu dan Pengalaman Auditor berpengaruh secara signifikan terhadap audit judgment.

Penelitian Martinov dan Pflugrafth tahun 2008 meneliti pada kantor KAP di Melbeurne dan Sydney yang berjumlah 86 orang hasil penelitian menunjukan bahwa lingkungan etika dan pengalaman berpengaruh terhadap keputusan akhir auditor.

Nuryanto dan Dewi (2001) mengenai tinjauan etika atas pengambilan keputusan auditor berdasarkan pendekatan moral. Hasil tinjauan ini menunjukkan bahwa ternyata auditor pada umumnya kurang memahami nilai-nilai etika yang menjadi pedoman bagi para auditor dalam melaksanakan pemeriksaan laporan keuangan. Hal ini menyebabkan pengambilan keputusan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh IAI. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi antara pemahaman nilai-nilai etika dengan pengambilan keputusan. Semakin auditor memahami kode etik maka keputusan yang diambil akan semakin mendekati kewajaran, adil dan bermoral.

Penelitian Alim dkk, tahun 2007 meneliti tentang pengaruh kecerdasan kompetensi dan independen terhadap kualitas audit dengan etika auditor sebagai variabel moderating. Hasilnya menunjukan bahwa kompetensi dan independensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Sedangkan interaksi kompetensi dan etika auditor tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit

Jamilah, dkk. (2007) meneliti mengenai pengaruh gender, tekanan ketaatan, dan kompleksitas tugas terhadap audit judgment. Sampel penelitian ini

(23)

adalah auditor senior dan junior pada KAP di Jawa Timur. Alat pengujian yang digunakan dalam penelitian Jamilah,dkk. adalah analisis regresi berganda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hanya variabel tekanan ketaatan yang berpengaruh secara signifikan terhadap audit judgment, sedangkan variabel gender dan kompleksitas tugas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap audit judgment.

Zulaikha (2006) yang meneliti tentang pengaruh interaksi gender, kompleksitas tugas dan pengalaman auditor terhadap audit judgment. Penelitian ini menggunakan data primer dengan metode eksperimen, dimana sampel penelitian adalah partisipan mahasiswa lulusan S1 jurusan akuntansi yang menempuh Program Pendidikan Profesi Akuntansi (PPA) dan Program Magister Sains Akuntansi (Maksi). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam profesi sebagai auditor, peran ganda perempuan ternyata tidak berpengaruh secara signifikan terhadap akuratnya informasi yang diproses dalam membuat judgment. Pengalaman sebagai auditor juga memberikan pengaruh secara langsung terhadap judgment auditor. Sedangkan kompleksitas tugas tidak berpengaruh signifikan terhadap keakuratan judgment, demikian pula ketika kompleksitas berinteraksi dengan peran gender juga tidak berpengaruh secara signifikan.

Penelitian Rifan Adil Prakoso tahun 2015 mengenai pengaruh pengalaman auditor, kompleksitas tugas, tekanan ketaatan, dan gender terhadap Audit Judgment. Hasilnya menunjukan tekanan pengalaman, kompleksitas tugas, dan tekanan ketaatan berpengaruh signifikan terhadap audit judgment. Sedangkan gender tidak berpengaruh signifikan terhadap audit judgment.

(24)

Fitrianingsih (2011) meneliti tentang pengaruh gender, tekanan ketaatan, kompleksitas tugas terhadap audit judgment. Sampel penelitian ini adalah auditor di Kantor Akuntan Publik (KAP) Surakarta dan Yogyakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gender dan tekanan ketaatan tidak berpengaruh terhadap audit judgment. Sedangkan kompleksitas tugas berpengaruh secara signifikan terhadap audit judgment.

Berikut ini disajikan tabel ringkasan dari penelitian terdahulu yang menjadi dasar penelitian empiris ini.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian

1 Marlis, 2014 Pengaruh Profesionalisme,

Etika Profesi, dan

Independensi terhadap pertimbangan tingkat

materialitas dalam

pengauditan laporan

keuangan

Hasil penelitian menunjukan Profesionalisme Auditor, dan Etika Profesi berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat

materialitas, sedangkan

Independensi tidak berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas.

2 Pritta, 2013 Pengaruh Lingkungan

Etika, Pengalaman auditor, dan Tekanan Ketaatan terhadap kualitas Audit Judgment

Hasil penelitian menunjukan bahwa Lingkungan etika dan

Pengalaman menunjukan

pengaruh positif terhadap audit judgment sedangkan variabel tekanan ketaatan yang besar akan memiliki probabilitas untuk memiliki audit judgment yang rendah.

3 Victorio, 2015 Pengaruh Tekanan

ketaatan, Tekanan

anggaran waktu, keahlian audit, dan pengetahuan auditor terhadap audit judgment.

Tekanan Ketaatan dan Keahlian

Audit tidak berpengaruh

signifikan terhadap audit judgment. Tekanan Anggaran Waktu dan pengetahuan auditor berpengaruh secara signifikan terhadap audit judgment.

(25)

4 Martinov dan

Pflugrafth, 2008 Meneliti lingkungan etika dan keterkaitan

pengalaman auditor

dengan kualitas audit judgment

Hasil menunjukan bahwa

lingkungan etika dan pengalaman berpengaruh terhadap keputusan akhir auditor

5 Nuryanto dan

Dewi, 2001 Mengenai tinjauan etika atas pengambilan

keputusan auditor

berdasarkan pendekatan moral

Hasil penelitian menunjukan korelasi antara pemahaman nilai-nilai etika dengan pengambilan keputusan. Semakin auditor memahami kode etik maka keputusan yang diambil akan semakin mendekati kewajaran. 6 Alim, dkk, 2007 Pengaruh kecerdasan

kompetensi dan

Independen terhadap

kualitas audit dengan etika auditor sebagai Variabel Moderating

Kompetensi dan Independensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Sedangkan interaksi kompetensi dan etika auditor tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. 7 Jamilah, dkk,

2007 Pengaruh Gender, Tekanan ketaatan, dan kompleksitas tugas terhadap Audit Judgment

Gender dan Kompleksitas tugas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap audit judgment, sedangkan tekanan ketaatan berpengaruh signifikan terhadap audit judgment.

8 Zulaikha, 2006 Pengaruh gender,

kompleksitas tugas, dan

pengalaman auditor

terhadap audit judgment

Dalam profesi sebagai auditor, peran ganda wanita tidak berpengaruh secara signifikan terhadap akuratnya informasi yangdiproses dalam membuat judgment. Kompleksitas tugas tidak berpengaruh

terhadap keakuratan judgment.

9 Rifan, 2015 Pengaruh Pengalaman

Auditor, Kompleksitas tugas, Tekanan Ketaatan, dan Gender Terhadap Audit Judgment

Pengalaman Auditor,

Kompleksitas Tugas, dan

Tekanan ketaatan berpengaruh signifikan terhadap Audit Judgment, Sedangkan Gender tidak berpengaruh signifikan terhadap Audit Judgment.

10 Fitrianingsih,

2011 Pengaruh Gender, Tekanan Ketaatan, Kompleksitas tugas terhadap Audit Judgment

Gender, tekanan ketaatan tidak berpengaruh terhadap audit judgment.

Kompleksitas tugas berpengaruh secara signifikan terhadap audit judgment.

(26)

Persamaan dengan peneliti terdahulu :

1. Menggunakan variabel etika profesi, pengalaman auditor, dan tekanan ketaata dan audit judgment.

2. Menggunakan analisis regresi linear berganda.

3. Menggunakan data primer yang diperoleh dari jawaban responden melalui kuesioner.

Perbedaan dengan peneliti terdahulu :

1. Peneliti terdahulu hanya mengunakan beberapa variabel yang penulis gunakan. Pada penelitian ini Penulis mengkombinasikan variabel-variabel yang diteliti sebelumnya dan menambahkan variabel kompleksitas tugas. 2. Objek penelitian aauditor yang berada diwilayah Jakarta selatan.

Berdasarkan penelitian terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa pertimbangan auditor ditentukan oleh etika lingkungan, pengalaman auditor, tekanan ketaatan, dan kompleksitas tugas. Etika berkaitan dengan kode etik auditor dalam membuat suatu judgment. Pengalaman berkaitan dengan lama bekerja sebagai auditor dan berapa banyak penugasan yang pernah ditangani. Tekanan ketaatan berkaitan dengan seberapa taat auditor junior mendapat perintah langsung dari auditor senior ( atasan ). Dan Kompleksitas tugas berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas dan struktur tugas yang kompleks, daya ingat serta kemampuan pembuatan keputusan.

(27)

B. Rerangka Pemikiran

1. Pengaruh Etika Profesi Terhadap Audit Judgment

Hasil penelitian dari Marlis Dawati (2013) mengenai Pengaruh Profesionalisme, etika profesi, dan independensi terhadap pertimbangan tingkat materialitas hasilnya menunjukan bahwa etika profesi berpengaruh terhadap pertimbangan tingkat materialitas. Hal ini membuktikan bahwa etika profesi dapat mempengaruhi auditor dalam menentukan pertimbangan tingkat materialitas. 2. Pengaruh Pengalaman Auditor Terhadap Audit Judgment

Choo dan Trotman (1991) dalam Alim, dkk (2007) melakukan penelitian dengan membandingkan antara auditor yang berpengalaman dengan auditor yang tidak berpengalaman. Mereka menyatakan bahwa auditor berpengalaman menemukan banyak hal yang tidak umum dibandingkan auditor yang kurang berpengalaman, tetapi antara auditor yang berpengalaman dengan yang kurang berpengalaman tidak berbeda dalam menemukan sesuatu yang umum.

Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian oleh Tubbs dalam Alim, dkk (2007). Penelitian mereka menunjukkan bahwa auditor yang berpengalaman akan menemukan lebih banyak kesalahan pada item-item yang diperiksa dibandingkan dengan auditor yang kurang berpengalaman.

(28)

3. Pengaruh Tekanan Ketaatan Terhadap Audit Judgment

Seorang auditor sering mengalami dilema dalam penerapan standar profesi auditor pada pengambilan keputusannya. Kekuasaan klien dan pemimpin menyebabkan auditor tidak independen lagi, karena ia menjadi tertekan dalam menjalankan pekerjaannya. Klien atau pimpinan dapat saja menekan auditor untuk melanggar standar profesi auditor. Hal ini tentunya akan menimbulkan tekanan pada diri auditor untuk menuruti atau tidak menuruti dari kemauan klien maupun pimpinannya. Sehingga terkadang tekanan ini dapat membuat auditor mengambil tindakan yang melanggar standar pemeriksaan.

Dari pernyataan sebelumnya, Jamilah,dkk (2007) berkesimpulan bahwa tekanan ketaatan dapat diukur dengan keinginan untuk tidak memenuhi keinginan klien untuk berperilaku menyimpang dari standar profesional akan menentang klien karena menegakkan profesionalisme dan akan menentang atasan jika dipaksa melakukan hal yang bertentangan dengan standar profesional dan moral. 4. Pengaruh Kompleksitas Tugas Terhadap Audit Judgment

Kompleksitas tugas telah menjadi variabel penting dalam penelitian tentang penetapan tujuan, pengambilan keputusan, dan kinerja (Sanusi dan Iskandar, 2007). Dalam kasus di lingkungan audit, kompleksitas tugas merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kinerja audit judgment. Pemahaman mengenai kompleksitas tugas-tugas audit yang berbeda dapat membantu para manajer membuat tugas lebih baik dan pelatihan pengambilan keputusan (Bonner dalam Nadhiroh, 2010). Jamilah, dkk. (2007) menjelaskan terdapat dua aspek

(29)

penyusun dari kompleksitas tugas, yaitu tingkat kesulitan tugas dan stuktur tugas. Tingkat sulitnya tugas selalu dikaitkan dengan banyaknya informasi tentang tugas tersebut, sementara struktur tugas terkait dengan kejelasan informasi (information clarity). Adanya kompleksitas tugas yang tinggi dapat merusak judgment yang dibuat oleh auditor.

Hasil penelitian Chung dan Monroe (2001) mengatakan bahwa kompleksitas tugas yang tinggi berpengaruh terhadap judgment yang diambil oleh auditor. Auditor merasa bahwa tugas audit yang dihadapinya merupakan tugas yang kompleks sehingga auditor mengalami kesulitan dalam melakukan tugas dan tidak dapat membuat judgment profesional. Hal senada juga ditunjukan dalam penelitian Wijayatri (2010) yang menjelaskan bahwa kompleksitas tugas memiliki pengaruh yang paling dominan terhadap audit judgment. Akibatnya judgment yang diambil oleh auditor tersebut menjadi tidak sesuai dengan bukti yang diperoleh.

Berikut ini merupakan rerangka pemikiran secara ilustratif mengenai pengaruh etika profesi, pengalaman audit, tekanan ketaatan, dan kompleksitas tugas terhadap audit judgment.

(30)

Gambar 2.1 Rerangka Pemikiran Sumber : Data diolah oleh Penulis

C. Hipotesis

Ha1 : Etika profesi berpengaruh terhadap audit judgment

Ha2 : Pengalaman auditor berpengaruh terhadap audit judgment. Ha3 : Tekanan ketaatan berpengaruh terhadap audit judgment. Ha4 : Kompleksitas tugas berpengaruh terhadap auditjudgment

Etika Profesi Pengalaman Auditor Tekanan Ketaatan Audit Judgment Kompleksitas Tugas

Gambar

Tabel 2.1  Penelitian Terdahulu
Gambar 2.1  Rerangka Pemikiran  Sumber : Data diolah oleh Penulis

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi Android dengan berbasiskan Augmented Reality untuk memahami dongeng Timun Mas akan lebih cepat dalam memahami cerita dengan memperlihatkan gambar 3D, suara, dan text..

Evaporation of the solvent gave semi solid which on crystallization in chloroform-ethanol gives [2, 3 d] friedelin-3- selenadiazole (3). subtilis and in vitro antifungal activity

Berdasarkan daya serap klasikal dan ketuntasan belajar klasikal pada kegiatan pembelajaran siklus II, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan

Dalam penelitian ini, data diperoleh dari stasiun pencatat curah hujan sehingga dalam analisis nilai erosivitas hujan menggunakan data curah hujan bulanan

Dan memang jika dilihat apa yang mendasari pemikiran Bertrand Russell sampai lahirnya konsep tentang analitik logik sebagai suatu metode yang cocok bagi gerak

Dari permasalahan tersebut peneliti mencoba menerapkan layanan konseling kognitif perilaku dengan teknik restrukturisasi terhadap peserta didik yang memiliki harga

Kabupaten Lebak adalah iman dan taqwa dengan memperhatikan nilai–nilai kearifan lokal dan sistem budaya yang berlaku

Internet yaitu jaringan computer global yang bisa dibuka oleh computer serta saling terhubung pada computer satu dengan computer yang lain di Dunia.. Saya dapat wikipedia